• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Diabetes Mellitus - Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2012-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Diabetes Mellitus - Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2012-2013"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes Mellitus atau yang sering disebut dengan kencing manis adalah suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik kadar glukosa darah di atas normal yang terjadi

karena defisiensi insulin oleh pankreas, penurunan efektivitas insulin atau

kedua-duanya (Perkeni, 2011).

Diabetes Mellitus merupakan suatu keadaan hiperglikemia menahun yang

akan mengenai seluruh sistem tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh karena adanya

faktor yang menghambat kerja insulin atau jumlah menurun. Hiperglikemia

didefenisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dL.

Kadar glukosa serum normal adalah 110 mg/dL. Glukosa difiltrasi oleh

glomerulus dan hampir semuanya di filtrasi oleh tubulus ginjal selama kadar

glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dL (Price dan Wilson, 2006).

Diabetes Mellitus ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal

yaitu kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL dan kadar gula darah puasa ≥ 126

mg/dL (Misnadiarly, 2006). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah

tertentu di dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi.

Insulin yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar

(2)

2.2. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Ada beberapa klasifikasi DM yang dibedakan berdasarkan penyebab,

perjalanan klinik dan terapinya. Menurut ADA tahun 2012 dilihat dari

etiologisnya DM dibagi menjadi empat jenis. Klasifikasi ini telah disahkan oleh

WHO, yaitu: DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional (diabetes kehamilan), dan

DM tipe lainnya.

2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan

metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini

disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses autoimun maupun

idiopatik sehingga produksi insulin berkurang atau berhenti (Rustama dkk, 2010).

Tipe ini sering disebut insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) karena pasien harus membutuhkan insulin dan sampai saat ini belum dapat di sembuhkan

(Sulistia dan Gunawan, 2007). DM tipe 1 biasanya terjadi pada anak-anak atau

masa dewasa muda, prevalensinya Kurang lebih 5%-10% penderita dari kasus.

Individu yang kekurangan insulin hampir atau secara total dikatakan juga sebagai

diabetes “juvenile onset” atau “insulin dependent” atau “ketosis prone” Karena tanpa insulin terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan oleh

ketoasidosis (Purnamasary, 2009).

Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe 1.

Walaupun hampir 80% penderita DM tipe 1 tidak mempunyai riwayat keluarga

(3)

(infeksi virus, toksin dll) akan memicu seseorang yang rentan yang menimbulkan

DM tipe 1 (Rustama dkk, 2010).

2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin atau gangguan

sekresi insulin. Pada tipe 2 ini tidak selalu dibutuhkan insulin, kadang-kadang

cukup dengan diet dan antidiabetik oral. Karenanya DM ini disebut dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Sulistia dan Gunawan, 2007). DM ini biasanya terjadi setelah usia 40 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada semua

usia termasuk masa anak dan remaja. Dulu DM ini dikenal sebagai diabetes onset

dewasa (maturitity onset diabetes) atau diabetes stabil (Rustama dkk, 2010). DM ini merupakan tipe DM yang paling sering terjadi, yaitu kurang lebih 90%-95%

penderita mengalami DM tipe 2 dari kasus DM.Kebanyakan penderita kelebihan

berat badan, sekitar 80% pasien DM ini mengalami obesitas. Karena obesitas

berkaitan dengan resistensi Insulin (Price dan Wilson, 2006; Smeltzer dan Bare,

2001).

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak

bisa membawa glukosa masukke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin

yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksiglukosa oleh hati.

Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin

(4)

pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi

yangterjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa

berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Ndraha,

2014).

2.2.3. Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes Mellitus gestasional terjadi pada wanita yang tidak menderita

diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemia tejadi selama kehamilan akibat

sekresi hormon-hormon plasenta. Dalam kehamilan terjadi perubahan

metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi

janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin meningkat

sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal, bila seorang ibu tidak mampu

meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka mengakibatkan

hiperglikemia (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

Diabetes Mellitus gestasional dapat menimbulkan dampak yang buruk

untuk janin dalam kandungan jika tidak segera dilakukan pengobatan dengan

benar. Kelainan yang dapat ditimbulkan misalnya kelainan bawaan, gangguan

pernapasan, bahkan kematian janin (Tobing dkk, 2008). Setelah melahirkan bayi,

kadar glukosa darah pada wanita penderita diabetes gestasional akan kembali

normal. Namun banyak wanita yang mengalami DM ini dikemudian hari akan

(5)

2.2.4. Diabetes Mellitus Tipe Lain

Diabetes Mellitus tipe lain merupakan DM yang berhubungan dengan

keadaan atau sindrom tertentu. Hiperglikemia terjadi karena penyakit lain,

misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit

eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,

penyakit autoimun dan kelainan genetik lain (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

2.3. Patofisiologi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus terjadi karena produksi insulin tidak ada atau tidak

cukup. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau Langerhans di

dalam pankreas. Fungsi insulin adalah mengangkut glukosa ke dalam sel.

Keberadaan sel bergantung pada jumlah glukosa yang masuk, yang kemudian

diubah menjadi energi. Pada DM terjadi peningkatan glukosa dalam darah karena

glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel tanpa persediaan insulin yang cukup.

Keadaan ini pada akhirnya akan mengakibatkan hiperglikemia (Varney dkk,

2006).

Kadar tertinggi insulin terjadi sekitar 30-45 menit setelah makan makanan

tinggi karbohidrat. Kadar insulin kembali ke tingkat basal seiring dengan

penurunan kadar glukosa darah, sekitar 120 menit setelah makan. Pada keadaan

glukosa darah rendah (kurangnya asupan karbohidrat) kadar insulin akan menurun

dan keadaan ini akan merangsang sel alpha pankreas untuk mensekresikan

glukagon. Glukagon berfungsi untuk mempertahankan ketersediaan bahan bakar

apabila tidak tersedia glukosa makanan dengan merangsang glikogenolisis

(6)

glukosa dari asam amino, laktat, dan gliserol. Kadar glukosa darah tetap normal

melalui mekanisme timbal balik insulin – glukagon (Marks dkk, 2000).

Pada DM tipe 1, makin menurunnya insulin pasca makan akan

mempercepat proses katabolisme. Insulinopenia, menyebabkan glukosa oleh otot

dan lemak berkurang mengakibatkan hiperglikemia posprandial. Bila insulin

makin menurun glukosa akan merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis,

akan tetapi glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel maka hati akan

berusaha lebih keras lagi sehingga terjadi hiperglikemia puasa menimbulkan

diuresis osmotik disertai glukosuria dengan ambang ginjal sudah terlampaui (180

mg/dL). Tubuh akan kehilangan kalori, elektrolit dan cairan, terjadi dehidrasi

yang meningkatkan stress fisiologis dengan hipersekresi hormon stress.

Meningkatnya hormon stress dan menurunnya kadar insulin menyebakan

peningkatan glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis dan ketogenesis

ketoasidosis diabetik (Rustama dkk, 2010).Saat asidosis sudah menjalar keseluruh

tubuh, penderita akan mengalami koma yang akhirnya menyebabkan kematian.

Pada DM tipe 2, insulin di produksi tetapi sel resisten terhadap insulin,

sehingga dibutuhkan sekresi insulin dalam jumlah lebih besar. Pada akhirnya

pankreas tidak mampu memenuhi peningkatan insulin dan terjadilah

hiperglikemia. Pada DM ini tidak terjadi ketoasidosis, tetapi DM yang tidak

terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan HHNK.

Diabetes kehamilan sama dengan DM tipe 2, dalam hal ada persediaan insulin.

Akan tetapi perubahan hormon selama kehamilan akan mengubah kemampuan

(7)

2.4. Gejala Diabetes Mellitus

Gejala DM tipe 1 dan tipe 2 tidak banyak berbeda hanya gejalanya lebih

ringan dan prosesnya lambat, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya

gejala. Akibatnya penderita baru mengetahui menderita DM setelah timbul

komplikasi. Biasanya penderita tipe 1 sering mengalami penurunan berat badan,

sedangkan tipe 2 terjadi hal sebaliknya (Tobing dkk, 2008).

Gejala DM yang biasa terjadi pada penderita DM yaitu Poliuria (banyak

kencing), Polidipsi (banyak minum), dan Polifagia (banyak makan). Gejala ini

disebut juga dengan gejala klasik atau gejala khas. Poliuria akan terjadi jika kadar

gula darah melebihi nilai ambang ginjal (> 180 mg/dL), gula akan keluar bersama

urin. Untuk mengurangi kekentalan gula dalam urin, tubuh akan menarik air

sebanyak mungkin kedalam urin sehingga volume urin banyak dan menyebabkan

sering kencing. Dengan banyaknya urin yang keluar, tubuh akan mengalami

dehidrasi sehingga menyebabkan polidipsi karena sering haus. Sejumlah besar

kalori hilang kedalam air kemih sehingga penderita mengalami penurunan berat

badan. Untuk mengkompensasikan ini Tubuh akan meningkatkan asupan

makanan dengan timbulnya rasa lapar hal ini penderita DM jadi polifagia (Hartini,

2009)

Kadang-kadang DM tidak menunjukkan gejala khas tetapi langsung

menunjukkan gejala sesudah beberapa tahun mengidap penyakit DM. gejala ini

disebut gejala kronik atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah

kesemutan, kulit terasa panas seperti tertusuk-tusuk jarum, terasa tebal dikulit,

(8)

disekitar kemaluan terutama wanita, serta gigi mudah goyah dan mudah lepas

(Tjokroprawiro, 2011).

2.5. Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa

darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah

yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan

yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan enzimatik dengan bahan

darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosa di lakukan di klinik terpercaya,

tetapi dapat juga dengan dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO

(Purnamasary, 2009).Untuk tujuan pemantaun hasil pengobatan dapat dilakukan

dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer

(Perkeni, 2011).

Menurut Rustama dkk (2010) diagnosis DM dapat ditegakkan apabila

memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

1. Jika ditemukan gejala klasik (poliuria, polidipsia dan polifagia). Gejala ini

disampaikan pasien saat berkonsultasi dengan didukung hasil pemeriksaan

glukosa darah sewaktu yang lebih besar dari 200 mg/dL(11,1 mmol/L).

2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (7mmol/L). Puasa adalah tanpa

asupan kalori minimal selama 8 jam.

3. Pada penderita yang asimptomatik ditemukan kadar glukosa darah sewaktu

(9)

toleransi glukosa oral (TTGO) yang terganggu pada lebih dari satu kali

pemeriksaan.

Menurut WHO cara pelaksanaan TTGO dapat dilaksanakan dengan cara:

a. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti

biasa.

b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

c. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa.

d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1.75 gram/kgBB

(anak-anak), dilarutkan dalam air dan diminum dalam waktu 5 menit.

e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel dalam darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.

f. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.

g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.

Pemeriksaan kadar HbA1c (≥ 6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan

menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada saran laboratorium

yang telah terstandarisasi dengan baik (Perkeni, 2011). HbA1c adalah zat yang

terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin (bagian dari sel darah

merah). Pemeriksaan HbA1c digunakan sebagai indikator dalam memantau

(10)

penderita DM. Dengan mengukur glycohemoglobin dapat diketahui berapa besar persentasi hemoglobin yang mengandung gula.

Kadar HbA1c normal adalah 4 - 6% dari Hb total. Bila kadar gula darah

tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1c juga akan tinggi. Ikatan

HbA1c yang terbentuk bersifat stabil yang dapat bertahan hingga 2-3 bulan. Kadar

HbA1c akan mencerminkan rata-rata kadar dalam jangka waktu 2-3 bulan

sebelum pemeriksaan. Dengan mengukur kadar HbA1c dapat diketahui kualitas

kontrol penyakit DM dalam jangka panjang, sehingga diketahui ketaatan penderita

dalam menjalani perencanaan makan dan pengobatan (Dalimartha, 2004).

2.6. Epidemiologi Diabetes Mellitus 2.6.1. Distribusi dan Frekuensi a. Menurut Orang

Menurut WHO (2011) penderita DM di negara maju sebagian besar berada

pada kelompok umur ≥ 65 tahun, sedangkan di negara berkembang penderita DM

sebagian besar berada pada kelompok umur 45-64 tahun. Semua orang memiliki

resiko untuk mengalami diabetes. Secara global, prevalensi DM lebih tinggi pada

laki-laki. Menurut WHO (2008) prevalensi laki-laki (9,8%) lebih tingggi daripada

perempuan (9,2%)

Berdasarkan penelitian Butarbutar (2013) di RSUD Deli Serdang tahun

2012 proporsi penderita DM berusia ≤ 40 tahun yaitu 4,3% sedangkan yang

berusia > 40 tahun yang menderita DM yaitu 95,7%. Proporsi laki-laki menderita

(11)

b. Menurut Tempat

Menurut IDF (2010) bahwa lebih dari 371 juta orang di dunia yang

berumur 20-79 tahun, Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan prevalensi

DM tertinggi, di bawah China, India, USA, Brazil, Rusia dan Mexico.

Prevalensinya di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan, serta

cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi

(Kemenkes, 2013).

Menurut Riskesdas tahun 2013, Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter

tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara

(2,4%), dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter

atau berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi

Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur (3,3%).

c. Menurut waktu

Prevalensi penderita DM terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun

2000 jumlah penderita DM mencapai 171 juta orang dan meningkat menjadi 366

juta orang pada tahun 2011. Secara global, DM menyebabkan 4,6 juta kematian

setiap tahunnya. IDF memperkirakan DM akan meningkat menjadi 552 juta orang

pada tahun 2030 (IDF, 2011). Di Indonesia menurut laporan WHO, prevalensi

penderita DM tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang yang diperkirakan pada tahun

(12)

2.6.2. Determinan a. Genetik

Faktor genetik sangat berperan pada terjadinya DM.Hal ini terjadi karena

DNA pada orang menderita DM akan diturunkan pada gen berikutnya terkait

dengan penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Jika salah satu

anggota keluarga menderita DM maka resiko berkembangnya DM tipe 2 pada

anggota keluarga lainnya (saudara kandung) mendekati 40% dan 33% untuk anak

cucu. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam

diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of the young), yaitu subtipe penyakit DM yang diturunkan dengan pola autosomal dominan, jika

orang tua menderita DM tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan

sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe 2 (Price dan Wilson, 2001).

b. Usia

Faktor usia merupakan faktor pemicu DM yang tidak bisa di kontrol.

Orang yang berusia 40 tahun rentan terserang DM meskipun tidak menutupi

kemungkinan terjadi pada usia dibawah 40 tahun (Tobing dkk, 2008). Hal ini

terjadi karena umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara

drastis menurun dengan cepat pada usia 40 tahun. Penurunan ini akan beresiko

pada penurunan fungsi pankreas untuk memproduksi insulin.

Berdasarkan penelitian Sinaga (2012) di Rumah Sakit vita Insani

Pematangsiantar, proporsi penderita DM menurut kelompok umur tertinggi adalah

kelompok umur 51-60 tahun (33,3%) sedangkan proporsi terendah pada kelompok

(13)

c. Obesitas (Kegemukan)

Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang

akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas

disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita

obesitas yang mencukupi energi sel yang terlalu banyak (Riyadi dan Sukarmin,

2008).Menurut defenisi obesitas berarti berat badan berlebih sebanyak 20% dari

berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2 (Soewondo,

2007).

Pada DM tipe 2 kondisi obesitas memicu timbulnya DM yang memiliki

resiko 4 kali lebih besar dengan berat badan ideal. Obesitas merupakan faktor

utama terjadinya DM tipe 2. Penelitian Denmark menggambarkan penyebaran

obesitas pada pasien baru yang di diagnosis DM tipe 2 mencapai 80%, dimana

penyebaran obesitas dengan latar belakang populasi yang memiliki umur yang

sama sekitar 40% (Wicaksono, 2011).

d. Pola Makan (Diet)

Kurang gizi atau berlebihan sama-sama meningkatkan resiko terkena DM.

Malnutrisi dapat merusak pankreas sedangkan obesitas meningkatkan gangguan

kerja insulin. Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan

berperan pada ketidakstabilan kerja pankreas (Riyadi dan Sukarmin 2007).Makan

secara berlebihan dan melebihi jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh

menyebabkan jumlah/kadar insulin sel beta pankreas mempunyai kapasitas

maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu mengonsumsi makanan secara

(14)

menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan menyebabkan DM

(Wijayakusuma, 2008).

e. Kurangnya Aktivitas Fisik

Olahraga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin sehingga

insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh dan dosis pengobatan

dapat diturunkan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa meningkatkan aktifitas

fisik (sekitar 30 menit/hari) dapat mengurangi resiko DM. Olahraga juga dapat

digunakan untuk membakar lemak dalam tubuh sehingga dapat mengurangi berat

badan yang obesitas. Kebanyakan penderita DM tidak aktif berolahraga (Tobing

dkk, 2008).

Berdasarkan penelitian Wicaksono di Rumah Sakit Dr. Kariadi semarang

(2011) dengan menggunakan kasus-kontrol bahwa terdapat hubungan bermakna

antara kurangnya aktifitas fisik dengan kejadian DM dengan OR 3,00. Hal ini

menunjukkan bahwa orang yang kurang olahraga (aktifitas fisik) memiliki risiko 3

kali terjadi DM

f. Infeksi dan Penyakit

Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas

sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel beta pada

pankreas tidak bekerja optimal dalam mensekresi insulin. Beberapa penyakit

tertentu, seperti kolesterol tinggi dan displidemia dapat meningkatkan resiko

(15)

2.7. Komplikasi Diabetes Mellitus 2.7.1. Komplikasi Akut

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60

mg/dL. Hipoglikemia pada pasien DM tipe1 dan DM tipe 2 merupakan faktor

penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau

mendekati. Faktor utama terjadinya hipoglikemia adalah ketergantungan jaringan

saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia timbul akibat

peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin

atau karena obat yang meningkatkan insulin seperti sulfonilurea. Pernderita DM

rentan terhadap komplikasi hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai

waktu makan berikutnya. Oleh karena itu hipoglikemia sangat tinggi pada saat

makan dan malam hari.

Pada pasien DM tipe 2 jarang terjadi hipoglikemia berat, (Soemadji, 2009)

lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1. Insiden hipoglikemia sebagai

komplikasi dapat dikurangi dengan meningkatkan pemantauan gula darah. Gejala

hipoglikemia dapat terdiri dari gejala neurogenik berupa berkeringat, lapar, rasa

bergetar disekitar mulut, tremor, pucat, berdebar-debar, dan lemas. Selain itu ada

juga gejala neuroglikopenik berupa lemah, sakit kepala, gangguan penglihatan,

bicara tidak jelas, sulit berkonsentrasi, lelah, mengantuk, mudah marah, bingung,

(16)

2. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan kelebihan gula darah yang disebabkan oleh

makan secara berlebihan, stress, emosional, penghentian obat secara mendadak.

Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis diabetik (KAD) dan koma

hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HHNK) .

a. Ketoasidosis Diabetik ( KAD)

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik

yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketoasidosis terutama

disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon

kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan).

Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan glukosa sel

tubuh menurun. KAD merupakan komplikasi akut DM yang serius dan

membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat dieuresis osmotik, KAD

biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok

(Soewando, 2009). KAD merupakan penyebab tersering kematian yang

berhubungan dengan DM tipe 1 salah satu komplikasi terberatnya adalah edema

otak yang terjadi pada sekitar 0,5-0,9 % kasus KAD dan menyebabkan 21-24 %

kematian (Rustama dkk, 2010).

b. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)

Koma hiperosmolar hiperglikemia non ketotik ditandai oleh hiperglikemia,

hipersmolar tanpa disertai adanya ketosis. HHNK lebih sering ditemukan pada

perempuan dibandingkan dengan laki-laki, biasanya terjadi pada orang lanjut usia.

(17)

terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan

penyebab tersering (57,1%). Faktor yang memulai HHNK adalah diuresis

glukosuria. Glukosuria menyebabkan kegagalan pada ginjal dalam

mengkonsentrasikan urin yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air.

Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dan penurunan cairan tubuh total.

Terjadi peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan

intravaskular menyebabkan keadaan hipersmolar. Keadaan ini memicu sekresi

hormon anti diuretik dan rasa haus.

Pada hiperglikemia dan hipersmolar akan timbul dehirasi dan kemudian

hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya

menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium

terakhir dari hiperglikemia dimana telah timbul gangguan elektrolit berat.

Keluhan pasien HHNK adalah rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki

kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah namun lebih jarang jika

dibandingkan dengan KAD. Kadang disertai keluhan saraf seperti letargi,

disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Soewando, 2009).

2.7.2. Komplikasi Kronik

Komplikasi kronik jangka panjang atau dapat disebut juga dengan

komplikasi vaskular jangka DM melibatkan pembuluh pembuluh kecil

(mikrovaskular) dan pembuluh pembuluh sedang dan besar (makrovaskular). Menurut Tjokroprawiro (2011) risiko terjadinya komplikasi pada penderita DM

adalah 2 kali lebih mudah mengalami stroke, dua puluh 25 kali lebih mudah

(18)

17 kali lebih mudah mengalami gagal ginjal kronik, dan 5 kali lebih mudah

mengalami selulitis atau ganggrene. 1. Komplikasi Mikrovaskular a. Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering

ditemukan pada usia 20-74 tahun. Resikonya 25 kali lebih mudah mengalami

kebutaan dibandingkan dengan nondiabetes. Resikonya meningkat sejalan dengan

lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis DM tipe 1 ditegakkan retinopati diabetik

hanya ditemukan < 5% dari pasien. Setelah 10 tahun prevalensi meningkat

menjadi 40-50% dan setelah 20 tahun > 90 % pasien. Pada diabetes tipe 2 ketika

diagnosis ditegakkan 25 % retinopati diabetik nonpoliferatif dan setelah 20 tahun

meningkat menjadi 60 % (Pandelaki, 2009).

Retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh

darah kecil pada retina mata. Retina merupakan bagian mata yang menerima

bayangan dan mengirimkan informasi bayangan tersebut ke otak (Smeltzer dan

bare, 2001). Faktor resiko timbulnya retinopati adalah kadar gula yang tidak

terkontrol, durasi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia dan merokok. Retinopati

diabetik sering tidak bergejala hingga kelainan yang berat atau kerusakan retina

yang ireversibel sudah terjadi (Rustama dkk, 2010).

c. Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik pada DM ditandai dengan albuminuria menetap (>300

mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Di

(19)

dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi diantara semua komplikasi

DM dan penyebab kematian tersering karena komplikasi kardiovaskuler

(Hendromartono, 2009). Pada DM tipe 1 sering memperlihatkan tanda-tanda

penyakit renal setelah 15-20 tahun kemudian, sementara pada DM tipe 2 dapat

terkana renal dalam waktu 10 tahun sejak diagnosa DM (Soewando, 2009).

d. Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling

sering ditemukan pada DM. Resiko yang dihadapi pasien DM dengan neuropati

diabetik ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi

jari/kaki. Manifestasi neuropati sangat bervariasi, mulai dari tidak ada keluhan

dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektro fisiologis hingga keluhan

nyeri yang hebat. Bisa juga keluhan dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik

tergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi (Subekti, 2009).Neuropati

DM dapat menyerang semua tipe saraf termasuk perifer, otonom dan spinal.

Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia

penderita dan lamanya panyakit DM. prevalensi dapat meningkat 50 % pada

pasien menderita DM selama 25 tahun. Kenaikan glukosa selama bertahun-tahun

telah membawa implikasi pada neuropati (Smeltzer dan Bare, 2001).

2. Komplikasi Makrovaskular

a. Gangguan Pada kaki (Kaki Diabetes)

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi yang paling ditakuti,

karena sering berakhir dengan kecacatan dan kematian. Di Indonesia kaki diabetes

(20)

Terjadinya masalah kaki diabetes diawali dengan adanya hiperglikemia pada

penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada

pembuluh darah. Kelainan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit dan

otot kemudian terjadi perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan

selanjuntnya mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan infeksi

menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas (Waspadji, 2009)

b. Gangguan Pada Pembuluh Darah

Kerusakan pada pembuluh darah karena DM akan mengakibatkan masalah

pada jantung dan otak, serta gangguan pada pembuluh darah kaki akibatnya

sirkulasi terganggu, terjadi peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan infark hati

dan cerebral. Penyempitan pembuluh darah disebabkan adanya tumpukan lemak

pada dinding pembuluh darah. Penumpukan ini tidak hanya terjadi karena pola

makan yang tidak normal tetapi juga disebabkan oleh kontrol metabolisme

glukosa dalam hati tidak normal. Komplikasi dapat mengenai pembuluh darah

arteri yang lebih besar sehingga terjadi aterosklorosis. Perubahan ini

menyebabkan meningginya LDL-kolesterol dan trigliserida serta menurunnya

HDL kolesterol (Tobing dkk, 2008).

c. Gangguan Fungsi Jantung

Gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke

jantung terhambat atau terjadi iskhemia (kekurangan oksigen di otot jantung),

timbul angina pectoris bahkan akhirnya dapat menyebabkan serangan jantung dan

(21)

d. Gangguan Fungsi Pembuluh Otak

Pasien DM sering merasakan berat dibelakang kepala, leher, dan pundak,

pusing (vertigo) serta pendengaran dan penglihatan terganggu. Jika hal ini

dibiarkan, gangguan neurologis akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang

disebabkan penyumbatan atau pendarahan (Tobing dkk, 2008).

e. Gangguan Pada Paru

Pada penderita DM biasanya lebih mudah terserang infeksi Tuberkulosis

Paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara

sosioekonomi cukup. DM memperberat infeksi paru, demikian pula sebaliknya

sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).

f. Gangguan Pada Sistem Pencernaan

Mengidap DM terlalu lama dpat mengakibatatkan urat saraf yang

memelihara lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan

makanan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan lambung menjadi bergelembung

sehingga proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama

tertinggal lambung. Keadaan ini akan menimbulkan rasa mual, perut mudah terasa

penuh, kembung, makan tidak lekas turun, kadang timbul terasa sakit di ulu hati

atau makanan terhenti dalam dada, hal ini adalah akibat dari gangguan saraf

otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran pencernaan bisa juga

(22)

2.8. Pencegahan Diabetes Mellitus

Pencegahan DM terdiri dari 3 cara yaitu: pencegahan primer, pencegahan

sekunder, dan pencegahan tersier.

2.8.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah

timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi DM atau pada

populasi umum. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang

menjadi sasarannya adalah orang-orang yang belum sakit. Pada pencegahan ini

dilakukan dengan memprogandakan pola hidup yang sehat dan menghindri pola

hidup beresiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah lebih baik dari

pada mengobati. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang

mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang.

Selain makanan juga pola hidup beresiko lainnya juga harus dihindari.

Menjaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olahraga teratur hal ini merupakan

pencegahan primer yang efektif dan murah (Suyono, 2009).Pola hidup yang salah

juga perlu dihindari seperti berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol,

menghindari stress serta menghindari obat-obatan yang dapat menimbulkan DM

(Tobing dkk, 2008).

2.8.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan suatu tindakan untuk menemukan

penderita DM sedini mungkin misalnya dengan tes penyaringan terutama pada

(23)

dapat terjaring sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau

bila sudah ada komplikasi masih reversibel.

Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa harus selalu

terkendali mendekati angka normal sepanjang hari. Tekanan darah dan kadar lipid

juga harus normal, supaya tidak terjadi resistensi insulin. Dalam pencegahan

sekunder ini diutamakan dulu cara-cara nonfarmakologis secara maksimal,

misalnya dengan diet dan olahraga. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat

baik oral maupun insulin.

Pada pencegahan sekunder, penyuluhan tentang pola hidup sehat sperti

pencegahan sekunder perlu dilaksanakan. Ditambah dengan pelayanan kesehatan

primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit A sampai unit

paling depan yaitu puskesmas. Penyuluhan dilakukan kepada pasien dan juga

keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan

komplikasi (Suyono, 2009).

Menurut Perkeni (2011); Gunawan dan Sulistia (2007) didalam upaya

pencegahan sekunder diperlukan intervensi farmakoligis antara lain:

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

OHO biasanya diberikan pada penderita DM tipe 2 yang tidak dapat

dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja berdasarkan cara kerjanya

digolongkan menjadi:

1. Pemicu sekresi insulin : Sulfonilurea dan glinid

(24)

badan normal atau kurang, Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi. Sedangkan

golongan glinid cara kerjanya sama dengan Sulfonilurea namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama yang baik untuk mengatasi

hiperglikemia postprandial.

2. Peningkat sensivitas insulin: biguanid dan tiazolidindion

Golongan biguanid yang banyak digunakan adalah metformin. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja

insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan

produksi glukosa hati. Merupakan pilihan utama untuk penderita DM yang

gemuk disertai displidemia dan resistensi insulin. Tiazolidindion

menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, obat ini dikontraindikasikan pada gagal jantung

karena meningkatkan retensi cairan.

3. Penghambat glukoneogenesis: biguanid

Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi

produksi glukosa hati, dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal

dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien

dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis.

4. Penghambat glukosidase alfa : Acarbose

Acarbose Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus. Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan

(25)

peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptide yang dihasilkan oleh

sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk.

GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon.

Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolik yang tidak aktif oleh

enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin

dan menghambat penglepasan glukagon.

b. Insulin

Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 demi

kelangsungan hidup penderita. Beberapa jenis DM tipe 2, yang tidak dapat

diatasi hanya dengan diet dan atau OHO, pasien DM gestasional, DM

dengan ketoasidosis, koma non ketososis, atau komplikasi lain, sebelum

tindakan operasi. Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan tersebut

bukan hanya untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga memperbaiki

semua aspek metabolisme. Keadaan mendekati normaglisemia dicapai pada

DM dengan multiple dosis harian insulin, tujuannya mencapai glukosa

darah puasa 90-120 mg/dL, glukosa postprandial < 150 mg/dL, HbA1C <

7%. Pada pasien kurang patuh terhadap terapi mungkin perlu dicapai nilai

glukosa darah yang lebih tinggi (140 mg/dL) dan postprandial 200-250

mg/dL (Gunawan dan sulistia, 2007).

2.8.3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan upaya mencegah komplikasi atau kecacatan

akibat komplikasi. Upaya ini dilakukan untuk mencegah berlanjutnya komplikasi

(26)

kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan. Dalam upaya ini

diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter maupun antara

dokter ahli diabetes dengan dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal

ini penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien dalam

mengendalikan diabetesnya (Suyono, 2009).

2.9. Kerangka Konsep

Karakteristik penderita DM dengan komplikasi

1. Sosiodemografi : Umur

Jenis Kelamin Suku

Agama Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal 2. Keluhan Utama 3. Jenis Komplikasi 4. Pemeriksaan HBA1c :

Ada tidaknya pemeriksaan Kadar pemeriksaan

5. Pengobatan 6. Sumber Biaya

Referensi

Dokumen terkait

Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Kualitatif yaitu suatu Metode Analisis data Deskriptif Analitis yang menganalisis tentang undang-undang yang

[r]

Daftar Rekanan yang ditetapkan sebagai pemenang berdasarkan hasil evaluasi oleh Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dengan mengacu kepada Peraturan yang berlaku adalah

[r]

[r]

[r]

[r]

Dengan adanya sistem informasi penjadwalan ini diharapkan dapat membantu menyusun jadwal mata pelajaran sehingga proses belajar-mengajar dapat dilaksanakan dengan baik..