• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI. 2.1. Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan - Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati Di Jakarta 1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI. 2.1. Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan - Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati Di Jakarta 1998"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI

.

2.1. Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan

Sulit untuk menentukan kapan dan dimana sejarah kebudayaan waria mulai muncul.

Sejarah belum mampu mencatat secara pasti kapan waktu yang akurat. Sepertinya waria

belum masuk ke dalam lingkungan peradaban manusia normal. Sebab keberadaan mereka

belum di pandang sebagai suatu fenomena sejarah dan peradaban. Namun, budaya waria

tidak muncul begitu saja sebagai akibat modernisasi seperti sangkaan banyak orang, yang

menuduh bahwa mordernisasi menyebabkan kelainan- kelainan seksual seperti homoseksual

sebagai imbasnya.

Dalam sejarah bangsa Yunani memang tercatat adanya waria. Di jaman pertengahan,

seperti yang pernah direkam Hipocrates, telah muncul beberapa waria kelas elite seperti Raja

Henry III dari Prancis, Abbe de Choissy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New

York tahun 1702, Lord Cornbury. Mereka berdandan laiknya perempuan. Karena beberapa di

antaranya adalah orang- orang terpandang, maka atribut mereka tidak ditampakkan dalam

kehidupan sehari- hari. Menurut catatan itu, mereka adalah laki- laki berjiwa perempuan,

dengan pakaian perempuan dan lebih senang di anggap perempuan8

Siapakah waria? Waria adalah seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki- laki

yang dalam proses pertumbuhannya menunjukan sifat keperempuanan yang lebih menonjol

dan pada masa dewasanya menyatakan diri sebagai perempuan dan berdandan selayaknya

perempuan pada umumnya. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal dan

Abnormalitas Seksual, mengatakan bahwa istilah waria berasal dari kata ”wanita-pria”, .

8

(2)

disamping itu mendapat sebutan lain seperti wadam ( hawa-adam) atau banci9

Berdasarkan kajian sejarah kebudayaan, terdapat beberapa kebudayaan dimana waria

diasosiasikan dengan kekuatan spiritual yang lebih tinggi, seperti mediasi antara dewa dan

manusia. Dalam banyak kasus, gabungan laki- laki dan perempuan ini juga diasosiasikan

dengan kesuburan dan kesejahteraan komunitas secara keseluruhan

. Umumnya

waria bersikap dan memiliki perasaan yang halus seperti perempuan dan hal itu menimbulkan

rasa tidak nyaman bagi masyarakat umum yang menganggap mereka sebagai laki- laki yang

semestinya bersikap keras dan tegas.

10

. Bentuk seksualitas

sakral ini ditemukan penggunaannya dalam tantrisme, Taotisme, juga praktik spiritual di

Eropa, balkan dan Asia kuno11. Kebudayaan kuno tersebut menjadikan waria sebagai sesuatu

yang suci dan dihormati. Pada bangsa Turco- Mongol di gurun Siberia, dukun pria pada

umumnya berpakaian wanita, mereka umumnya mempunyai daya linuwih12, dan sangat

ditakuti orang. Dukun- dukun semacam ini juga dapat di jumpai di Malaysia, Sulawesi,

Patagona, Kepulauan Aleut, dan beberapa suku Indian Amerika Utara. Suku Indian Sioux dan

Crow, misalnya mengenal pria berpakaian wanita yang disebut berdache13

Di Indonesia juga terdapat beberapa kebudayaan yang mengenal, menghormati dan

mengasosiasikan waria sebagai pendeta misalnya Bissu di masyarakat Bugis, Sulawesi dan

Warok di Ponorogo, Jawa Timur. Dalam masyarakat Bugis terdapat lima gender yaitu: laki-

laki, perempuan, calabai, calalai dan bissu. Calabai adalah laki- laki yang bersikap seperti

perempuan, melakukan pekerjaan perempuan dan kerap memiliki pasangan laki- laki. Cabalai

umumnya melakukan berbagai fungsi dalam perayaan pernikahan. Calalai adalah perempuan .

9

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Sexual, 1989 ( Bandung: CV. Mandar Maju ) hal 265

10

Saskia E. Wieringa, Jurnal Gandrung, vol 1 no.12, Desember, 2010 ( Surabaya: Yayasan GAYa NUSANTARA) hal 26

11

Loc.cit

12

. Daya linuwih adalah kemampuan yang luar biasa yang dimiliki oleh dukun pria dan biasanya sangat ditakuti.

13

(3)

yang berpenampilan seperti laki- laki dan hidup bersama pasangan perempuannya dan

melakukan peran seperti laki- laki. Namun mereka tidak berperan dalam upacara- upacara

dan saat ini sudah jarang ditemukan. Cabalai bisa menjadi Bissu. Bissu mempunyai fungsi

ritual yang sangat penting, mereka adalah penjaga pusaka kerajaan dan dalam fungsi tersebut

mereka dipandang sebagai biseksual, karena pusaka- pusaka ini memerlukan persatuan

dengan lawan jenis. Maka Bissu dianggap sebagai “ pasangan hermafrodit pusaka”14

Bissu adalah seniman yang juga pendeta agama Bugis kuno (Sulawesi Selatan) pra-

Islam yang makin berkurang personilnya. Umumnya mereka adalah pria yang bersifat

kewanitaan ( calabai/ waria) dan dalam kehidupan keseharian selalu tampil sebagai wanita.

Walaupun Bissu adalah waria, mereka bukan waria biasa. Untuk menjadi Bissu, seorang

waria harus ditasbihkan (irebba) terlebih dahulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran dalam

upacara- upacara ritual. Mereka juga memiliki kedudukan dalam masyarakat sebagai penjaga

pusaka keramat (arajang) di istana yang dipercayai dihuni oleh roh- roh nenek moyang.

Tradisi transvestite (laki- laki yang berperan sebagai perempuan) dalam masyarakat Bugis

sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu

.

Status gender dan seksual ambigu Bissu sejak dulu hingga sekarang masih sangat

dihargai. Dalam peran- peran ritual, Bissu mengambil kondisi androgini yang simbolik guna

memastikan kesejahteraan dan kemakmuran penguasa dan komunitasnya. Terdapat juga

kemiripan peran Bissu dengan Basir atau Balian pada Dayak Ngaju di Kalimantan. Balian

adalah penyembuh dan peramal sakti yang berpakaian seperti perempuan.

15

Sekitar 1950 hingga 1965, meletus pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam

Indonesia (DI/TII) yang berusaha keras menghapuskan dan melarang semua yang dianggap

musyrik atau menyekutukan Tuhan bagi umat Islam. Jumlah Bissu terus menyusut terutama .

14

Ibid ., hal. 34

15

(4)

setelah peristiwa tragis yang dialami para Bissu selama Orde Lama dan Orde Baru. Tokoh

DI/TII di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar, menganggap kegiatan para Bissu termasuk

menyembah berhala. Karena itu, kegiatan, alat- alat upacara dan para pelakunya diberantas.

Ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun)

dan Bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras. Penderitaan ini masih

berlanjut pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan pembantaian besar- besaran itu

diberi nama Operasi Toba (Operasi Taubat) yang dilancarkan pada masa Orde Baru antara

1965- 1967.16

Meskipun demikian, masih ada lagi budaya lain di Indonesia yang mengenal tradisi

waria dalam kesenian tradisional yaitu masyarakat Jawa Timur yang berkecimpung dalam

dunia seni Warok di Ponorogo dan kesenian pentas tradisional Ludruk17

Indonesia merupakan negara yang berbasis agama. Penduduk Indonesia diwajibkan

menganut salah satu dari agama yang dinyatakan sah oleh negara. Oleh karena itu, banyak

pandangan dan nilai- nilai yang berlaku di masyarakat merupakan nilai moral berdasarkan

keyakinan agama. Agama mengajarkan tentang dua jenis kelamin yaitu laki- laki dan termasuk tari

ngremo dan gadrung. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan sikap tabu terhadap

kontak dengan wanita di luar pernikahan yang sah. Lain halnya dengan budaya keraton Jawa

di jaman Mataram. Waria termasuk dalam kelompok yang justru memiliki daya linuwih

karena kelainan yang dialaminya, sehingga mereka tidak disingkirkan namun menjadi simbol

kegaiban.

2.2 Pandangan Masyarakat Terhadap Waria

16

Wawancara dengan Fitri

17

(5)

perempuan sehingga keberadaan waria terasa asing dan sulit diterima. Dalam agama Islam

maupun Kristen yang memiliki banyak penganut, menjadi waria merupakan dosa, sehingga

menjadi aib bagi keluarga bila ada seorang laki- laki yang terlahir sebagai waria. Hal yang

seringkali terjadi adalah upaya menghindari aib dan dosa yang dilakukan keluarga dan

masyarakat menyebabkan diskriminasi terhadap waria.

Seorang anak laki- laki yang terlahir sebagai waria, tidak selalu menunjukan gejala

perbedaan sejak kecil. Umumnya ‘kelainan’ terlihat saat dia akil balig lalu berlanjut pada

keinginan mencari identitas diri karena merasa tidak nyaman dengan peran laki- laki yang

disandangnya. Waria di masa kanak- kanaknya lebih suka bermain bersama anak perempuan

dan memainkan permainan anak perempuan. Dia merasa tidak nyaman dengan permainan

anak laki- laki yang cenderung lebih keras dan kasar. Dan tak mengerti dengan selera

permainan laki- laki yang lebih agresif dibandingkan anak perempuan.

Di masa remajanya seorang waria semakin merasakan krisis identitas yang dirasa

sebagai ‘kekosongan’. Dia lebih tertarik pada sesama jenisnya. Dan memiliki perasaan dan

keinginan layaknya perempuan. Dengan fisik yang terlahir sebagai laki- laki, seorang waria

semakin merasa berbeda dengan lingkungannya yang menuntutnya memerankan figur

seorang laki- laki yang tegas dan berkarisma.

Di masa dewasanya, kebanyakan waria dengan berani menyatakan dirinya sebagai

bukan laki- laki namun juga tidak memiliki fisik sebagai perempuan sehingga muncul

sebutan waria. Beberapa diantaranya mengubah penampilan menyerupai perempuan dengan

rambut panjang dan berpakaian seperti perempuan umumnya. Sebagian lagi tetap

berpenampilan seperti laki- laki dengan rambut pendek namun terkadang memakai pakaian

(6)

Penampilan fisik waria yang tidak umum dan sulit diklasifikasikan sebagai satu dari

jenis kelamin yang dikenal umum menimbulkan perasaan asing dan sulit menerima

dikalangan keluarga dan masyarakat. Seringkali ketika seorang anak laki- laki menunjukan

gejala yang berbeda dibanding anak laki- laki lainnya, si anak menerima perlakuan kasar

sebagai reaksi atas perilakunya yang berbeda.

Ada beberapa pendapat berbeda yang beredar di kalangan masyarakat maupun para

ahli tentang penyebab “waria” muncul. Sebagian percaya, berdasarkan pengalaman empiris

bahwa seseorang menjadi waria disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Akibatnya waria

dianggap sebagai bentuk dari kelainan jiwa, dan harus diklasifikasikan sebagai pengidap sakit

jiwa yang perlu ditangani oleh ahli jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Sebagian lagi berpendapat,

berdasarkan penelitian terhadap gen manusia bahwa seseorang menjadi waria bukan karena

lingkungan melainkan akibat kelebihan kromosom tertentu, dan kekurangan testoteron dalam

darah sehingga ciri- ciri kewariaan muncul dalam diri seseorang. Dengan teori ini maka waria

tidak diklasifikasikan ke dalam kelainan jiwa tapi kelainan gen sehingga seorang waria tidak

termasuk dalam kategori pengidap kelainan jiwa, dan tidak perlu perawatan di Rumah Sakit

Jiwa.

Peta kelainan seksual dalam pandangan ilmu biologi terbagi dalam dua penggolongan

besar. Pertama, kelainan seksual karena kromosom18. Dari kelompok ini, seseorang ada yang

berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Kelainan pada laki- laki disebut sindroma

klienfelter19

18

. Kromosom adalah salah satu bagian dari dalam tubuh (yang berjumlah 46 bagi manusia normal) yang terdapat dalam nukleus sel, yaitu pembawa gen, berbentuk filamen kromatin yang lembut pada tahap awal yang kemudian mengkerut untuk membentuk sebuah silinder padat yang terbagi dalam dua lengan pada tingkat metafhase dan anafhase pada bagian sel dam mampu mereproduksi struktur kimia dan fisika secara terus- menerus.

19

. Sindroma klienfelter adalah kelainan kromosom, berupa tambahan satu atau dua kromosom X pada inti setiap sel seorang bayi laki- laki.

. Hal ini disebabkan oleh kelebihan kromosom X, bisa XXY, atau XXYY atau

(7)

pada saat meiosis20 yang pertama dan kedua. Hal ini disebabkan usia ibu yang mempengaruhi

proses reproduksi21

Di samping itu, perbedaan jenis kelamin juga ditentukan oleh ada tidaknya badan

kromatin

oleh karena itu semakin tua usia seorang ibu, maka akan semakin tidak

baik proses pembelahan sel dan akibatnya semakin besar kemungkinan menimbulkan

kelainan seks pada anaknya.

22

Jumlah seks kromatin pada seseorang yang mempunyai kelainan kromosom seperti

waria transeksual

yang sering disebut kromatin kelamin atau seks kromatin. Seks kromatin terdiri

dari salah satu dari dua buah kromosom X yang terdapat dalam inti sel tubuh wanita, yang

berarti sebuah kromosom X yang nonaktif. Jika wanita normal mempunyai dua kromosom X,

maka ia memiliki sebuah seks kromatin positif. Sebaliknya, laki- laki hanya mempunyai

sebuah kromosom X saja oleh sebab itu ia tidak mempunyai seks kromatin sehingga bersifat

seks kromatin negatif.

23

Kedua, kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Ditilik dari cara berpakaian,

waria dimasukan ke dalam dua kelompok yaitu, seorang transvestisme dan transeksualisme.

Transvestisme adalah sebuah nafsu patologis untuk memakai pakaian lawan jenisnya, dia

mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Di sini,

seorang transvestis tetap berusaha mempertahankan identitas kelaminnya meski dia memakai disebabkan dia mempunyai kromosom XXY. Jadi, dia adalah seorang

laki- laki yang memiliki satu seks kromatin, oleh sebab itu ia memiliki sifat- sifat kewanitaan

dalam dirinya.

20

. Meiosis adlah pembelahan sel.

21

.Usia seseorang untuk melakukan proses reproduksi memang banyak berpengaruh terhadap terhadap janin yang dilahirkan. Hal ini karena ovarium yang sudah mengandung telur- telur terlalu lama diam di dalam sehingga kromosom yang ada bisa menjadi lengket.

22

. Seks kromatin ditemukan oleh Barr dari University of Western Ontario USA pada 1940. Wanita memiliki seks kromatin (sehingga disebut bersifat seks kromatin positif) dan pria tidak memilikinya (sehingga disebut bersifat seks kromatin negatif)

23

(8)

rok jika laki- laki atau memakai pakaian laki- laki jika perempuan, seringkali transvestis

adalah seorang heteroseksual namun terdapat juga yang homoseksual. Dengan demikian,

transvestisme termasuk dalam gangguan psikoseksual parafia24

Para waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda.

Seorang transeksualis, secara fisik memiliki jenis kelamin yag sempurna dan jelas, tetapi

secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis

yang sampai saat ini belum

diketahui penyebabnya.

25

Apapun teori yang dipakai tetap saja keberadaan waria di tengah sebuah komunitas

masyarakat terasa janggal dan sulit di terima. Sehingga timbul rasa saling curiga dan menarik

diri antara waria dan masyarakat itu sendiri. Kecenderungan seorang laki- laki yang bersikap

seperti wanita, membuat para lelaki merasa risih dan tidak nyaman saat berada di dekat waria.

Timbul ketakutan terhadap orientasi seks waria yang cenderung penyuka sesama jenis. Di

samping itu muncul kecurigaan bahwa waria dapat menular sehingga laki- laki umumnya

memandang waria sebagai pengidap penyakit menular dan menghindarinya. Berbeda dengan . Yang terpenting di sini

adalah kondisi psikis dan bukan pakaian yang dipakai. Para transeksual sering dianggap

sebagai orang yang terjebak dalam jenis kelamin yang salah karena identitas kelaminnya

yang terganggu. Waria secara fisik terlahir sebagai laki- laki dengan jenis kelamin laki- laki

yang sempurna namun menolak dirinya sebagai laki- laki sehingga waria dimasukkan ke

dalam kelompok transeksual. Gejala transeksual yaitu gejala merasa memiliki seksualitas

yang berlawanan dengan struktur fisiknya dan memiliki keinginan yang kuat untuk

mengubah jenis kelamin karena dorongan psikologis. Keinginan untuk menjadi perempuan

pada waria bukan hanya terletak pada cara berpakaian tetapi juga pada sikap, perilaku dan

penampilannya.

24

. Parafilia adalah kelainan yang ditandai dengan ketidaklaziman pada objek serta situasi seksualnya. Penderita jenis ini memerlukan khayalan atau perbuatan yang tidak lazim untuk bisa bergairah.

25

(9)

cara pandang wanita terhadap waria. Wanita cenderung bersikap lebih ramah dan menerima

terhadap keberadaan waria. Kehalusan perasaan waria seperti wanita, membuat perasaan

“nyambung” antara wanita dengan waria. Namun para waria seringkali memandang wanita

sebagai saingan sehingga di masa dewasanya mereka kurang suka bergaul dengan wanita

karena perbedaan fisik.

Perbedaan sikap penerimaan wanita dan laki- laki terhadap waria dalam kelompok

masyarakat yang lebih sempit tercermin dari perilaku anggota keluarga terhadap waria.

Seorang ibu walaupun tidak iklas, lebih mampu bersikap toleransi dan melindungi terhadap

anaknya yang waria. Tetapi seorang ayah akan bersikap kasar bahkan melakukan kekerasan

dan kecaman terhadap anaknya yang menunjukan orientasi berbeda. Seringkali seorang ayah

dengan peran laki- lakinya mencoba mendidik kembali seorang anak laki- laki yang lemah

lembut dengan cara keras untuk memancing jiwa lelakinya yang “tertidur”. Tabu dan

kurangnya pengetahuan umum soal waria menyebabkan seorang ayah mengira bahwa dengan

memukul maka sikap feminin dalam diri anak laki- lakinya akan menghilang. Seorang ibu,

dengan perannya sebagai wanita hanya mampu berdiam diri, karena kurangnya pengetahuan

dan rasa malu akibat melahirkan anak “cacat” tidak berdaya dalam upaya melindungi dan

mencari solusi atas masalah anaknya yang seorang waria.

Kebanyakan waria merasakan kecenderungan menjadi waria sejak kecil dan merasa

keberadaan mereka adalah kodrat yang tak bisa ditolak. Maka peran ahli jiwa, psikiater untuk

menyembuhkan waria menjadi manusia normal merupakan hal yang sia- sia kecuali dengan

mengubah jenis kelaminnya sesuai keadaan psikologis. Kehadiran seorang waria secara

umum tidak diinginkan oleh keluarga manapun sehingga respon penolakan keluarga setelah

mengetahui keadaan adanya perilaku menyimpang dari anggota keluarganya menimbulkan

respon berupa reaksi- reaksi setelah keluarganya mengetahui perilakunya. Respon orang tua

(10)

pemutusan hubungan keluarga. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha mengaktualisasikan

diri sebagai wanita secara bebas dan total, berdandan dan memakai pakaian wanita sebagai

bentuk penyelesaian. Konflik yang terjadi memberikan ruang bagi waria untuk bersikap

mandiri secara ekonomi dan mengurangi kendali orang tua terhadap perilaku kewariaan

anaknya.

Peran keluarga sangat penting bagi perkembangan waria. Seorang waria yang

dilahirkan dalam keluarga yang baik- baik, taat beragama, berpendidikan ditambah lagi

keberadaan orangtua yang pada akhirnya menerima keberadaannya secara otomatis akan

memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan waria. Saat sebuah keluarga mau

menerima keberadaannya, maka dukungan positif secara moril dan materi akan didapatkan.

Dan mendorong waria tersebut menjadi warga yang baik sehingga diterima dengan baik oleh

masyarakat. Umumnya keberadaan waria di jalanan dan bekerja sebagai Pekerja Seks

Komersial adalah akibat tidak adanya penerimaan dari pihak keluarga.

Dalam kelompok yang lebih besar seperti di lingkungan pendidikan, seorang waria

seolah disamakan dengan pengidap cacat mental sehingga prestasinya kurang dihargai dan

tidak ditonjolkan. Hal ini menumbuhkan rasa tidak percaya diri dan perasaan kurang

berkompetensi dalam diri waria, sehingga banyak waria remaja yang kurang berminat dalam

hal pendidikan. Ditambah lagi banyaknya diskriminasi yang dialami waria oleh teman laki-

lakinya sehingga banyak waria yang putus sekolah atau kurang dalam hal pergaulan sesama

remaja. Sikap diskriminasi yang dilakukan teman sebaya dan guru membuat banyak waria

memilih menarik diri dari lingkungan dan memilih untuk tidak mempercayai siapapun

sehingga justru bersikap seenaknya sendiri dan diasosiasikan dengan kriminalitas.

Bagi waria yang berhasil menamatkan pendidikan hingga SMA, nasibnya seringkali

(11)

mencari pekerjaan. Tuntutan status jenis kelamin dalam hal pekerjaan menimbulkan banyak

penolakan terhadap waria yang dianggap dapat merusak citra dan nama baik perusahaan.

Beberapa waria yang bersikeras ingin tampil sebagai wanita mengalami penolakan dalam hal

pekerjaan, mereka cenderung dituntut tampil sebagai laki- laki sehingga untuk mendapatkan

pekerjaan mereka harus tampil sebagai laki- laki.

Penampilan waria yang agak berbeda dengan kebanyakan laki- laki ataupun wanita

menimbulkan steriotipe negatif di mata masyarakat tentang kompetensi mereka dalam hal

pekerjaan. Penampilannya yang menyimpang membuat masyarakat mengira bahwa waria

adalah sekelompok pembangkang yang tidak bisa dipercaya. Kesulitan mencari pekerjaan,

sikap kasar yang muncul akibat perbedaan membuat sebagian waria memilih untuk bersikap

kasar terhadap lingkungan dan hal ini berdampak negatif bagi sebagian waria yang berusaha

berbaur dengan masyarakat.

Keberanian waria dalam menunjukan siapa dirinya, malah dianggap sebagai bentuk

pelanggaran nilai moral dan agama. Yang lebih parahnya ketakutan akan dosa dan terhadap

orientasi seks waria membuat semakin panjang daftar bentuk diskriminasi terhadap kaum

waria, baik yang menarik diri maupun bagi yang mencoba berbaur. Agama seringkali

menjadi faktor utama yang memperlakukan waria dengan cara terburuk. Ide- ide radikal

seperti merajam, memukuli, mengusir bahkan menghukum mati waria justru datang dari

pihak agama yang diharapkan dapat menolong memberi jalan keluar. Dosa selalu menjadi

faktor utama penganiayaan. Pemukulan dianggap sebagai cara menghukum waria dari

dosanya yang menunjukan jatidirinya sebagai waria yang ditakutkan berimbas pada

masyarakat. Tak jarang cara- cara ekstrim dilakukan untuk mempermalukan waria, atas nama

(12)

Penerimaan masyarakat terhadap waria dapat dilihat dalam dua konteks yaitu

individual dan dalam komunitas. Konteks individual terkait dengan perilaku sosialnya sehari-

hari. Hal ini terlepas dari steriotipe tehadap waria sebagai PSK. Perilakunya dilihat

berdasarkan nilai- nilai masyarakat normal pada umumnya, sesuai dengan perilaku sehari-

hari bermasyarakat dan di nilai berdasarkan sopan santun dan perilaku baiknya. Sementara

dalam konteks komunitas, dunia waria dinilai dalam konstruksi yang bersifat historis,

sehingga menimbulkan pandangan yang ambigu. Di satu sisi, waria dipandang dengan

stigmatisasi sebagai PSK dengan segala atribut negatifnya. Dan di sisi lain, mereka menerima

waria hidup bersama di dalam lingkungan, baik karena kepentingan ekonomis atau

pertimbangan lainnya. Akibatnya meski masyarakat memahami seorang waria dalam

kehidupan sehari- harinya, namun dia dibatasi oleh konteks kultural, sehingga peraturan-

peraturan ketat diterapkan kepada waria tanpa kecuali. Masyarakat menerima atau menolak

kehadiran waria terutama ditentukan oleh usaha waria secara individual dan kolektif dalam

menunjukan perilaku kondusif sehari- hari. Pada dasarnya ruang sosial berikut aturan ketat

dalam masyarakat tersebut menjadi penekan sekaligus fasilitator.

Dunia cebongan26

26

. Cebongan adalah sebuah istilah di kalangan para waria yang berarti tempat pelacuran.

, adalah ruang tersendiri bagi waria untuk menunjukan

eksistensinya. Di sini, waria mengembangkan bentuk komunikasi tersendiri dengan

bahasanya yang khas sebagai ciri tersendiri dalam kelompok waria tersebut. Dunia cebongan

dalam kehidupan waria tidak hanya menjadi tempat bekerja tetapi juga menjadi media dalam

menegaskan identitasnya sebagai waria, karena di sini mereka mampu bersosialisasi dan

membangun solidaritas sesama waria. Ruang- ruang sosial tersebut banyak memberi

pengaruh dalam pola kehidupan waria. Menjalani kehidupan sebagai seorang waria

(13)

cenderung tidak memberi ruang dan belum sepenuhnya menerima dan memperlakukan waria

sejajar dengan jenis kelamin lainnya.

Berbagai macam pandangan tentang waria senantiasa diisi dengan penilaian negatif

tentang dunia pelacuran dan perilaku seks bebas dan hal negatif lainnya. Hal ini disebabkan

sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan sering berkumpul di malam hari dan

membentuk komunitas yang dikenal sebagai cebongan dan menjadi ciri khas waria dan

identifikasi mereka dengan steriotipe negatif.

Pemikiran negatif tentang waria yang timbul timbal balik antara sikap waria dan sikap

masyarakat menimbulkan ketegangan antara waria dan masyarakat. Tidak ada yang mau

mengalah dan semua pihak menolak kompromi. Bagi waria menjadi diri sendiri adalah hak

asasi dan menjadi urusan pribadinya dengan Tuhan. Bagi masyarakat menerima waria

dianggap sebagai penurunan nilai moral dan dapat merusak nilai- nilai yang dinyatakan

mapan yang telah lama dianut seperti sistem patriarkat.

Nilai- nilai partriarki mapan yang menjadi landasan hidup masyarakat di berbagai

kebudayaan, membuat laki- laki yang berpenampilan seperti wanita dianggap mengancam

stabilitas masyarakat. Laki- laki yang diharapkan selalu menjadi pemimpin dan bersikap

keras dalam memimpin serta mampu menjaga kelompoknya tidak dibenarkan untuk

berpenampilan tidak seperti laki- laki karena kuatir akan menimbulkan rasa mandiri dalam

diri wanita yang selam ini berada dalam pengaruh dan kekuasaan laki- laki. Oleh sebab itu

penyimpangan nilai yang dilakukan laki- laki lebih menjadi sorotan dibanding penyimpangan

yang dilakukan wanita.

Waria yang dalam usahanya untuk menjadi diri sendiri mengalami berbagai hambatan

dan tanggapan negatif dari berbagai golongan dan kelas masyarakat. Wanita yang selalu di

(14)

dalam memimpin laki- laki yang dianggap lebih kuat dan mampu. Waria yang tampil berbeda

dianggap semiwanita sehingga dinyatakan tidak memiliki kompetensi dalam memimpin dan

merusak citra laki- laki.

2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Waria

Akibat perselisihan yang timbul antara waria dan masyarakat, waria mengalami

semakin banyak kesulitan selain kekerasan fisik dan verbal yaitu penolakan. Penolakan pihak

keluarga mengakui sebagai anggota keluarga, penolakan pihak agama mengakui sebagai

penganut agama tersebut dan penolakan dalam hal mencari pekerjaan. Kesulitan yang

semakin banyak yang dialami waria menimbulkan ketidakberdayaan dalam hal ekonomi.

Penolakan pihak keluarga mendorong waria untuk bertahan hidup sendiri di tengah

masyarakat. Penolakan pihak agama membuat waria kesulitan mendapat bantuan dalam

mencari pekerjaan dan rekomendasi positif untuk mendapatkan pekerjaan. Penolakan pihak

perusahaan membuat waria mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi

sehari- harinya.

Sektor formal menuntut kejelasan status jenis kelamin dan penampilan fisik,

sedangkan waria akibat dorongan hatinya ingin bebas tampil seperti wanita. Akibat

penampilan fisiknya yang berbeda, seorang waria dianggap tidak mampu melakukan

pekerjaan- pekerjaan dengan baik. Penilaian umum berdasarkan penampilan fisik membuat

banyak penilaian negatif tentang kompetensi waria dalam pekerjaannya. Seakan saat waria

tampil beda, maka dia pasti tidak mampu menaati aturan yang berlaku. Selain masalah

kompetensi dalam hal menyelesaikan pekerjaannya, menerima seorang pekerja waria

dianggap dapat merusak citra perusahaan yang di nilai tidak hati- hati dalam memilih

(15)

dan kredibilitas seorang waria yang diasosiasikan sebagai pembangkang dengan kelainan

jiwa.

Sektor informal terutama menjadi alternatif pekerjaan bagi waria. Banyak waria yang

bekerja di salon, atau sebagai penjual jamu, atau pedagang asongan juga sebagai pengamen.

Namun, lagi- lagi akibat steriotipe negatif dalam masyarakat, usaha- usaha yang dilakukan

waria dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, mengalami hambatan dan kesulitan untuk

berkembang. Seringkali waria diperlakukan dengan kasar, dan ketika membalas dengan

kekerasan maka waria secara umum serta merta dihubungkan dengan pembuat onar dan

kriminalitas.

Akibat kebutuhan yang mendesak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi maka banyak

waria menggunakan jalan pintas dengan menjadi Pekerja Seks Komersial. Dengan begitu

sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan diasosiasikan sebagai penular HIV/ AIDS.

Orientasi seks waria yang penyuka sesama jenis, dan pekerjaannya sebagai PSK menambah

daftar panjang hal negatif tentang waria di mata masyarakat. Waria semakin dijauhi, ditakuti

dan dibenci.

Kekerasan yang sering dialami waria sejak kecil dan sikap diskriminasi yang sering

dialami saat dewasa membuat para waria kurang peduli lingkungan dan kesehatan. Mereka

terkesan “asal menjalani hidup”. Sehingga masyarakat umum menjadi semakin tidak mampu

bersikap toleransi terhadap sikap- sikap waria yang cenderung mengganggu ketentraman

umum.

Pemerintah sendiri sepertinya kurang peduli terhadap nasib kaum minoritas seperti

waria. Peraturan guna melindungi hak- hak waria kurang diperhatikan. Seringkali aparatur

(16)

Razia yang sering dilakukan polisi terhadap PSK seringkali lebih berat dialami waria

dibanding wanita. Saat razia maupun saat di tahanan, waria seringkali dipukuli dan diancam.

Ditambah lagi dengan tidak adanya perlindungan hukum bagi waria yang mengalami

tindak kejahatan. Kasus- kasus yang masuk seringkali diabaikan dan dalam suatu perselisihan

waria seringkali berada di pihak yang dipersalahkan. Banyak kasus penganiayaan bahkan

pembunuhan yang terjadi pada waria tidak ditangani dengan baik oleh pihak berwajib.

Ketidakadilan yang dialami waria di tengah masyarakat mendorong mereka untuk berusaha

bertahan hidup sendiri dengan aturan hukumnya sendiri. Hal ini berdampak munculnya

kasus- kasus kriminalitas yang dilakukan waria, yang berujung semakin sulit bagi waria

mendapatkan simpati masyarakat.

Kasus- kasus kejahatan yang melibatkan waria baik waria sebagai pelaku maupun

korban seringkali tidak adil bagi waria. Perbedaan penampilan yang ditunjukan waria

menimbulkan reaksi- reaksi negatif terhadap waria. Waria seringkali dipersalahkan dan

ketika korbannya waria aparat berwajib seringkali tutup mata dan berpura- pura tidak tahu.

Kurangnya wawasan di pihak waria membuat mereka menerima perlakuan tidak adil tersebut

dengan balas melakukan kekerasan. Sehingga waria selalu dikaitkan dengan tindak kejahatan.

Pekerjaan kebanyakan waria sebagai PSK, memunculkan anggapan bahwa semua waria PSK

dan membuat masyarakat semakin menjauh dan tidak mau peduli.

Sulitnya mendapat pekerjaan dan perlindungan hukum bagi waria akibat kurangnya

perhatian pemerintah terhadap waria, dipertegas dengan kesulitan mendapat status

kewarganegaraan waria yang tidak mendapat kepastian. Dalam kartu identitas kependudukan

warga Indonesia selain nama, dan agama, jenis kelamin juga menjadi salah satu identitas

warga Indonesia. Para waria menginginkan agar mereka memiliki identitasnya tersendiri

(17)

disebut sebagai laki- laki, namun pemerintah dan masyarakat tidak berkenan menyatakan

waria sebagai wanita. Para waria yang ingin tetap diizinkan berpenampilan sebagai wanita,

mengalami kesulitan saat di Kartu Tanda Penduduk ditulis sebagai laki- laki. Masalah KTP

membuat waria kesulitan saat melakukan segala urusan administrasi dalam kependudukan

dan pekerjaan.

Memperjuangkan hak transeksual, di antaranya adalah memperjuangkan hak untuk

bekerja pada sektor formal dan juga hak atas legal formal identitas mereka melalui proses

yang panjang dan rumit. Perjuangan untuk pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan juga

pemajuan Hak Asasi Manusia juga ditempuh melalui jalur legislasi. Jalur pemenuhan Hak

Asasi Manusia diperjuangkan keras ketika Amandemen Undang- Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945, yang tercantum dalam UUD pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

2.4 Pandangan Agama terhadap Waria

Hal serupa juga seringkali timbul dalam hal keagamaan, waria yang merupakan

warga negara Indonesia juga beragama. Dalam ajaran agama Islam laki- laki dan perempuan

duduk terpisah saat berada di Mesjid, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi waria soal

pembagian tempat ibadah. Ikut di barisan wanita, atau laki- laki, memakai mukenah atau

sarung dan peci. Terkadang ada waria yang memilih duduk di barisan laki- laki atau secara

sembunyi- sembunyi memakai mukenah dan solat sebagai wanita. Dan tidak jarang waria di

usir saat memasuki Masjid karena dianggap tidak pantas berada di sana. Diskriminasi yang

dialami waria hingga kini belum menemukan titik penyelesaian.

Kecenderungan beragama pada setiap manusia adalah melalui hubungan primordial,

(18)

dilahirkan dalam tradisi Kristiani, secara kultur dia akan menjadi kristiani. Begitu juga bila

seorang anak lahir di keluarga yang beragama Islam, secara otomatis dia menjadi muslim.

Dalam hal orientasi seksual, Islam memberi legitimasi moral bahwa orientasi seksual yang

benar adalah yang bersifat heteroseksual, tidak kepada yang lain seperti homoseksual27.

Tuhan telah menciptakan manusia dengan berpasang- pasangan, yaitu pasangan manusia

adalah laki- laki dengan perempuan. Masalah waria dari sisi agama dapat dilihat dengan

lebih jelas dalam kitab- kitab fikih klasik, karena selama ini sumber otoritas yang bisa

dibilang mampu mewakili dan cukup rinci dalam membahas persoalan waria adalah fikih.

Dari sisi fikih nampaknya waria dapat diterima sebagai realitas sehingga sama sekali tidak

ada pengingkaran atas keberadaan mereka28

Pandangan fikih seperti ini terkesan positivistik, karena hanya melihat waria dari sisi

biologis (alat kelamin), tanpa melihat dari sudut psikologi atau kejiwaan. Padahal persoalan

waria tidak dapat disederhanakan hanya dengan tolak ukur alat/ jenis kelamin. Problem waria

meliputi berbagai aspek sehingga dalam pemberlakuan hukum pun dia tidak dapat ditentukan

hanya dengan salah satu aspek dari sekian banyak aspek. Pandangan fikih yang demikian itu

kemudian akan menghasilkan pemahaman yang parsial terhadap konteks waria dan berakibat

pula pada hukum yang akan diberlakukan

. Waria dalam kitab fikih disebut dengan khuntsa

yang berarti lembut dan pendar. Khustsa juga berarti seseorang yang diragukan jenis

kelaminnya, apakah laki- laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin laki- laki dan

perempuan secara bersamaan atau pun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat

kelamin laki- laki maupun perempuan.

29

27

. M. Haryadi, “ Orientasi Seksual dalam Tradisi Islam”, tabloid Sehat, 14 September 2001, hal 4

28

. Lies Marcoes- Narstir, “ Wandu, Wadam, Waria, Khuntsa, dan Apalagi...; Sebuah Pengantar Pemetaan Masalah Gender dan Seksualitas Kaum Pasangan Sejenis”, Tabloid Sehat, tahun IV no: 23, P3M, 2000, hal 3.

29

. Zunly Nadia, op. Cit., hal 86

(19)

Pemahaman tentang khuntsa di dalam fikih hanya mengacu pada kasus

waria-hermafrodit (dalam perspektif medis). Hal ini terjadi karena pada masa itu problem waria

hanya didapati pada kaum waria hermafrodit. Sementara untuk saat ini dalam konteks waria

terdapat berbagai macam kasus waria- hermafrodit sampai pada waria- transeksual ( yang

saat banyak mendominasi) dan transvestisme yang kesemuanya membutuhkan kejelasan

status dan hukum, baik dalam hukum negara maupun agama.30

Untuk kasus waria- hermafrodit acuan terhadap aspek lahir mungkin masih bisa

diberlakukan, namun untuk kasus waria transeksual dan waria transvestisme di mana kelainan

yang terjadi lebih pada aspek psikologi dan bukan pada hal- hal yang lahiriah maka mengacu

pada hal- hal lahiriah tetap akan menjadi problem baru jika hukum tersebut diputuskan dan

diberlakukan. Bagaimanapun juga fikih adalah produk interpretasi para ulama terhadap

syari’ah yang dikembangkan semenjak abad kedua Hijriah dan merupakan sebuah ajaran

non-dasar, bersifat lokal, elastis dan tidak pemanen.31

Hadis menjadi sumber otoritatif kedua setelah Al-Qur’an seperti tercermin dari

firman- firman Allah yang mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu-Nya dan Sunnah

Rasul-Nya. Hadis juga merupakan interpretasi awal terhadap Al-Qur’an yang berperan untuk

memberikan bimbingan di dalam praktik aktual umat Islam.

32

Dalam Musnad Ahmad bin

Hanbal kitab Musnad Bani Hasyim 1878, 2150, 2901, 2984, 2177, dan 327933

30

. Loc. cit

31

. Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an ( Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 290

32

. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka,1995), hal 45

33

. Abi ‘Abdillah Al- Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, jus II, hal 353

dan di dalam

Sunan Al- Darimy, kitabIsti’dzad 2535 diungkapkan bahwa Rasulullah Saw melaknat orang

yang berpenampilan menyerupai lawan jenisnya, serta orang yang memilih hidup melajang

tanpa ikatan perkawinan. Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang dimaksud

(20)

perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki- laki, mereka harus dikeluarkan dari

rumah. Yang berarti mereka tidak diterima di dalam masyarakat dan tidak memiliki tempat di

surga. Berdasarkan hadis, maka waria-transeksual dan waria-transvestisme dimasukan ke

dalam golongan mukhannats yaitu pria yang dengan sadar dan sengaja memakai pakaian

wanita, dan wanita yang secara sadar dengan sengaja memakai pakaian pria sebagai

kesenangan dan melanggar kodrat, mereka ini diklaim sebagai orang terlaknat.

Masalah kejelasan status jenis kelamin waria menjadi momok yang belum

menemukan titik penyelesaian. Seringkali persoalan bila menyangkut waria, tidak

diperhatikan atau malah diabaikan. Sisi religi waria dianggap tidak pantas dan hanya kedok

untuk mendapatkan simpati. Padahal dalam kenyataannya, para waria benar- benar tulus

menjalani kehidupan agamanya dan mengharapkan penerimaan yang tulus dari pihak

keluarga, masyarakat dan pemerintahan. Ketakutan masyarakat terhadap akibat dari

penyimpangan waria dan kesulitan dalam memahami persoalan pribadi seorang waria

membuat banyak orang memilih untuk memusuhi dan ingin menghancurkan waria sampai ke

akar- akarnya.

Penerimaan waria dalam wacana masyarakat Muslim pada dasarnya berdasarkan hasil

produk hukum agama. Kekuatan agama menunjukan kemampuan menciptakan perubahan

sosial dalam masyarakat. Sebagai basis keyakinan dan iman masyarakat, agama mampu

mendorong pemeluknya untuk melihat realita sebagai obyek yang dijalani berdasarkan visi

teologis agama tersebut. Sedangkan dalam praktiknya perubahan yang di dorong oleh

semangat agama terkadang tidak sejalan dengan nilai kesucian agama tersebut.

Di bandingkan dengan produk agama, negara relatf lebih fleksibel dalam memandang

kehidupan waria, walaupun belum mampu menyentuh permasalahan yang lebih esensial di

(21)

penyakit sosial, seperti pelacuran dan kriminalitas. Hal ini menempatkan waria dalam

kelompok marjinal yang tidak mempengaruhi ataupun menghambat pembangunan.

Pengadaan panti waria, justru semakin menegaskan posisi mereka sebagai kelompok dengan

masalah sosial. Isolasi yang dilakukan memperjelas kedudukan waria sebagai kelompok yang

dianggap perlu dikucilkan dan diasingkan dari masyarakat. Respon tersebut bukan berarti

kesalaanh pemerintah sepenuhnya, hanya saja cara tersebut justru seakan ingin

menghilangkan waria dari masyarakat.

Pada akhirnya, karena baik hukum maupun agama belum menjamin kehidupan waria

sepenuhnya, maka etika sosial dalam masyarakat lah yang bekerja memberi penilaiannya

sendiri terhadap waria. Sebagian masyarakat, memandang kehidupan waria sebagai

kelompok sosial yang secara historis lebih cenderung di nilai sebagai penyandang penyakit

sosial. Dalam masyarakat yang memiliki tatanan sosial yang mapan, sulit untuk menerima

kehadiran waria, dengan alasan yang kurang jelas. Namun seringkali kelompok masyarakat

yang mapan ini, justru menikmati keberadaan waria dalam tingkatan tertentu seperti perilaku

lucu dalam acara televisi atau panggung hiburan. Sikap ambigu ini adalah cermin bagaimana

masyarakat kelas tertentu menggunakan standar ganda terhadap kehidupan waria.34

Pengakuan sosial merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk

diperhatikan berbagai pihak. Sebab, pengakuan sosial akan berdampak serius pada taraf

kehidupan waria selanjutnya. Tanpa pengakuan sosial steriotipe negatif terhadap waria tidak

akan pernah berubah. Hal ini dapat berakibat semakin mendalamnya jurang keterasingan

secara sosial dan menciptakan bentuk baru subkultur waria dengan berbagai atributnya

seperti, bahasa, tata nilai, gaya hidup dan bentuk solidaritasnya tersendiri. Dengan demikian

kehidupan waria akan menjadi suatu kehidupan asing yang berada di luar jangkauan

kehidupan masyarakat umum.

34

(22)

Pemberian ruang sosial terhadap waria bukan berarti membenarkan segala bentuk

penyimpangan dan memaafkan segala kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan waria

apalagi menganggap wajar perilaku dan gaya hidupnya. Namun, memberi ruang gerak sosial

sebagai upaya menghubungkan kehidupan waria yang terisolasi dari masyarakat umum dan

menciptakan harmonisasi diantara keduanya. Sedangkan dalam agama, pemberian ruang

sosial akan memberi wawasan yang mendalam yang lebih mendalam mengenai berbagai sisi

kehidupan waria. Memandang waria hanya dalam kerangka teks- teks normatif hanya akan

menimbulkan klaim- klaim buruk yang belum tentu benar.

Jika agama selalu memandang kehidupan waria dalam bentuk hitam-putih, maka teks-

teks ajaran agama tidak akan menemukan titik temu terhadap kehidupan nyata seorang waria.

Dalam masalah ini, persoalan waria sebaiknya dipandang dari berbagai macam latar belakang

yang menyebabkan mereka terbentuk menjadi berbagai macam kelompok yang memiliki

karakteristik hukum tersendiri. Karena tanpa hukum yang jelas kedudukan mereka dalam

Referensi

Dokumen terkait

Pengadaan benih di dusun ponggang juga tidak sulit dikarenakan adanya Balai Benih Ikan yang berada di Kota purwakarta, yang tidak jauh dari Dusun Ponggang

GENETIC DIVERSITY AMONG SUGARCANE ( Saccharum officinarum L.) GENOTYPES AS SHOWN BY RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD).. Dwi Hapsoro *) , Hayane Adeline Warganegara, Setyo

Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang disusun dalam penelitian ini yaitu ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang Pemeriksaan Kehamilan dengan

proses pembelajaran dapat diketahui bahwa penyampaian materi pemanasan guru olahraga kurang. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, kemampuan seorang guru pendidikan

Abdurrahman Khudlori yang diterapkan melalui pengembangan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam, sedikit demi sedikit minat dan kesadaran masyarakat akan arti

Demikian pula, dalam persamaan struktural yang dihasilkan, kualitas hidup dan Facebook secara bersama-sama memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap

Berhubung hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui hubungan- hubungan tersebut, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam

6.2 Melaporkan isi buku yang dibaca (judul, pengarang, jumlah halaman, dan isi) dengan kalimat yang runtut... Bahasa