• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telaah Buku. Judul Buku : L économie est une science morale Penulis : Amartya Sen Penerbit : La Découverte, Paris, 2003 Tebal : 126 hlm.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Telaah Buku. Judul Buku : L économie est une science morale Penulis : Amartya Sen Penerbit : La Découverte, Paris, 2003 Tebal : 126 hlm."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Membaca judul buku ini, pembaca akan segera tergelitik untuk mempertanyakan kebenaran pernyataan tersebut: dapatkah penalaran ekonomi bertautan dengan tuntutan moral? Apalagi semakin disadari bahwa sepak terjang ekonomi neo-liberal dan kapitalistik yang sedang menggejala di banyak belahan dunia menunjukkan realitas yang sebalik-nya. Fakta bahwa semakin banyak orang miskin tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, atau pun bahwa anak-anak miskin tidak dapat memperoleh pendidikan – seperti yang dapat kita cermati di Indo-nesia saat ini – cukup kuat memberi kesan bahwa cara berpikir ekonomi tidak punya sangkut paut dengan refleksi etika.

Justru di sinilah letak aktualitas buku Amartya Sen. Buku yang ditulis dengan menarik ini berbicara tentang kebebasan individual (individual freedom) sebagai landasan moral untuk mengevaluasi setiap teori ekonomi dan penerapannya. Buku ini terdiri atas dua buah makalah Amartya Sen dan sebuah catatan pengantar dari Marc Saint-Upéry.

Mengapa kebebasan? Untuk menjawab pertanyaan ini, Sen mengajak para pembacanya turut terlibat mengkaji suatu peristiwa brutal yang tidak dapat hilang dari ingatannya. Menurutnya, peristiwa ini memiliki dimensi ekonomi dan moral. Ketika masih berusia delapan tahun, Sen menyaksikan suatu kerusuhan sosial bermotif suku dan agama di Daka. Bentrokan antara orang Hindu dan Islam ini mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari pihak komunitas Hindu maupun Muslim. Apalagi, segerombolan pemuda berandal dari kedua kelompok tersebut ikut beria-ria melakukan aksi pembantaian secara kejam. “Suatu petang,” kisah Sen, “seorang laki-laki lewat di depan pintu rumah kami; ia berteriak, mengaduh kesakitan dengan amat mengenaskan. Tubuhnya bermandikan darah. Punggungnya ditikam. Ia seorang Muslim, seorang buruh harian, dan namanya – katanya – adalah Kader Mian. Ia datang untuk mengantar kayu ke rumah sebelah – hanya demi mengantongi imbalan yang tidak seberapa. Ketika ayahku membawanya ke rumah sakit, ia berulang-ulang mengatakan bahwa istrinya sebenarnya sudah meminta dia untuk tidak pergi ke kampung musuh selama ada kerusuhan di antara kedua komunitas tersebut. Tetapi

Telaah Buku

Judul Buku : L’économie est une science morale Penulis : Amartya Sen

Penerbit : La Découverte, Paris, 2003 Tebal : 126 hlm.

(2)

ia harus keluar dan pergi mencari pekerjaan, sebab keluarganya tidak punya apa-apa untuk makan. Sanksi dari tiadanya kebebasan ekonomi ini adalah bahwa ia harus mati; ia mati beberapa saat kemudian di rumah sakit” (hlm 46-47).

Kisah mengharukan yang dituturkan Sen memperlihatkan bahwa persoalan ekonomi dan penalaran ekonomi tidak dapat diceraikan dari masalah-masalah moral. Hidup dan martabat manusia terlalu berharga hanya untuk dijadikan tumbal persoalan ekonomi semata. Di mata Sen, sudah wajarlah jika nilai ‘kebebasan individual’ tidak dipinggirkan dalam setiap debat ekonomi.

Sen begitu antusias merajut kembali dialog antara ekonomi dan etika. Sesungguhnya, sebelum datangnya abad industrialisasi, ilmu ekonomi masih termasuk dalam refleksi filsafat moral. Tetapi kemudian, paradigma utilitaris – dalam sejarahnya – telah makin menjauhkan tindakan ekonomi dari akar-akar filosofisnya. Kaum utilitaris mendefinisikan manusia sebagai homo economicus murni tanpa dimensi afektif maupun moral. Oleh sebab itu, Sen menolak konsep-konsep utilitaris yang, di bawah pengaruh Jeremy Bentham, menuntut agar setiap ‘kegunaan’ dapat diukur dengan tepat secara matematis. Nah, ketika tuntutan Bentham ini diaplikasikan dalam bidang ekonomi, yang terjadi adalah bahwa para ekonom neo-utilitaris, dengan serta merta, menjadi malas memikirkan masalah distri-busi yang adil. Mereka lebih asyik dengan cara-cara mengukur dan me-maksimalkan, sebesar mungkin, nilai ‘kegunaan’ semua individu (seperti perasaan bahagia atau pun senang, pemuasan gairah, intensitas suatu preferensi dan sebagainya). Selain mencari kriteria tingkat kepuasan maksimal, logika utilitaris juga mengabaikan kebebasan individual. Bisa dimengerti bahwa, dalam paradigma utilitaris, mengorbankan hidup seorang individu tetap dapat dipandang sebagai suatu pilihan rasional sejauh hal itu bermanfaat bagi ‘kesejahteraan’ atau pun ‘kebaikan’ banyak orang. Di sinilah muncul masalah keadilan. Intuisi moral tidak dapat melegitimasi pemerkosaan hak-hak azasi manusia, sekalipun itu dengan dalih ‘demi kepentingan umum’.

Pemerkosaan hak-hak azasi manusia dengan sendirinya berarti pelanggaran atas prinsip keadilan. Prinsip keadilan inilah yang mendekatkan Sen dengan John Rawls. Keduanya sangat giat dalam mencari terobosan konseptual untuk mengatasi masalah ketidakdilan. Rawls telah mencoba menyusun daftar sumber-sumber yang ‘tidak dapat tidak diinginkan oleh setiap individu rasional’. Ia memberikan sederetan rincian “barang-barang pokok” (‘primary goods’) yang perlu didistribusi-kan dengan adil: a) hak-hak dan kebebasan-kebebasan fundamental, b) kebebasan gerak dan pilihan bebas atas suatu posisi dalam suatu konteks kesamaan kesempatan, c) kekuasaan dan prerogatif yang melekat pada fungsi dan posisi yang berbeda dalam lembaga-lembaga politis dan

(3)

ekonomis di tengah masyarakat, d) penghasilan-penghasilan moneter dan kekayaan dan, pada akhirnya, e) landasan sosial perihal harga diri (hlm 27-28).

Namun Sen masih belum puas dengan deretan ‘primary goods’ di atas. Ia berpendapat bahwa kenyataan sosial dan manusiawi begitu beragam. Kelas masyarakat, kondisi ekonomi atau pun tingkat pendidikan turut menentukan langgengnya ketidakadilan. Ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat individu-individu tidak dapat mewujudkan potensi-potensi mereka menjadi suatu potensi yang nyata (real freedom). Sen mengambil contoh orang-orang yang menderita cacat fisik (hlm. 62-63). Sekalipun secara teoretis diakui dan dijamin adanya pembagian adil atas barang-barang primer, orang-orang cacat ini tetap kurang bebas dalam upaya mewujudkan cita-cita kesejahteraan mereka. Potensi mereka tetap tinggal sebagai potensi. Individu-individu ini juga tidak dapat mewujudkan peran sosial mereka secara penuh dalam hidup kolektif, berhubung dengan keterbatasan fisik mereka.

Oleh sebab itu, menurut Sen, yang perlu dibagi dengan cara setara adalah juga capabilities untuk mengembangkan cara-cara fundamental berfungsinya manusia (human functionings). ‘Human functionings’ inilah yang memungkinkan manusia hidup layak dan masuk akal. Untuk jelasnya, kita dapat mengambil contoh dari pengalaman hidup sehari-hari. Kita mencoba membayangkan seseorang yang memperoleh gaji besar setiap bulannya. Sekalipun dapat hidup dengan gaji besar dan punya daya beli yang tinggi, individu tersebut tetap tidak dapat disebut hidup layak jika ia, misalnya, terus menerus menjadi pasien suatu penyakit kronis. Jadi, hidup layak dan rasional bukan melulu soal akumulasi benda-benda, melainkan menyangkut pengembangan potensi-potensi manusiawi secara penuh (human flourishing).

Sen juga cukup realistis mencermati kenyataan sosial. Menurutnya, pengakuan akan adanya kebebasan individual berarti juga pengakuan akan adanya pluralitas nilai-nilai. Bahkan tidak jarang, terjadi konflik di antara nilai-nilai yang baik. Dalam artikel kedua buku ini, ia memberikan sebuah contoh konflik antara tanggung jawab sosial terhadap anggota masyarakat yang tidak beruntung, di satu pihak, dan prinsip keuangan yang sehat, di lain pihak (hlm 80). Menurut prinsip keuangan yang sehat, setiap orang, atau kelompok atau pemerintah harus hidup sesuai dengan kemampuan finansialnya. Haruslah dihindari praktek pembukuan dimana pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Pemborosan identik dengan kemalangan. Suatu prinsip yang baik tentunya! Tetapi dilema akan muncul secara tak terelakkan ketika prinsip anti-inflasi ini berhadapan dengan prinsip keadilan sosial. Perlukah mempertahankan konsep ‘konservatisme finansial’ jika kita memiliki komitmen untuk memperjuangkan kebebasan bagi anggota-anggota masyarakat yang malang? Bagaimana menjaga agar

(4)

komitmen sosial dikelola sedemikian rupa supaya masyarakat tidak mengalami ‘pengeluaran publik yang berlebihan’? (hlm. 88). Manakah yang perlu mendapat prioritas bila terjadi konflik nilai-nilai? Demikianlah, konflik nilai-nilai akan selalu ada. Di sini terasa pentingnya suatu konsensus demokratis dalam masyarakat!

Ide menarik lain dari buku ini adalah bahwa piranti politik terbukti dapat menjadi salah satu sarana paling efektif untuk mencegah terjadinya kelaparan. Ia pernah menyaksikan wabah kelaparan yang menyapu tanah airnya pada tahun 1943. Padahal saat itu, persediaan pangan sebenarnya sedang melimpah. Tetapi ia menulis : “ada sekitar tiga juta orang meninggal. […] Saya berusia 9 tahun waktu itu dan saya adalah seorang murid sebuah sekolah di Bengala pedesaan. Di antara orang-orang yang saya kenal di sekolah dan di tengah-tengah keluarga mereka, tidak tampak tanda-tanda depresi dan, sebenarnya, seperti yang saya temukan lebih dari 30 tahun kemudian ketika mengkaji wabah kelaparan ini, selama berlangsung kelaparan, mayoritas penduduk Bengala tidak mengalami kekurangan makan. Kelaparan dan kekurangan makan hanya menimpa beberapa kelompok sosio-profesional tertentu saja […] sementara, bagi sebagian penduduk lainnya, secara garis besar, segala sesuatu berjalan dengan baik” (hlm 44-45). Timbul pertanyaan mengapa? Padahal sebenarnya telah tersusun pasal-pasal yuridis yang mengatur penanggulangan kelaparan. Pasal-pasal tersebut itu sudah tertulis sejak tahun 1880, ketika pemerintahan kolonial kerajaan Inggris menguasai negeri itu. Bagaimana menjelaskan kenyataan bahwa bencana kelaparan tetap saja tidak terelakkan 63 tahun kemudian?

Studi kritis Sen memperlihatkan bahwa ternyata pasal-pasal yuridis tahun 1880 tidak pernah dikutip atau pun sungguh-sungguh diterapkan sampai tahun 1943. Sebaliknya, setelah menjadi bangsa merdeka pada tahun 1947, India tidak pernah lagi dilanda wabah kelaparan. Dari situ, Sen menyimpulkan bahwa “Penghapusan bencana-bencana kelaparan di In-dia sebagian besar merupakan hasil dari intervensi publik yang dijalankan secara sistematis” (hlm. 53). “Berkat adanya press yang secara relatif bebas, pemilihan yang dijalankan secara periodik, partai-partai oposisi yang aktif, tak satu pun pemerintahan bisa luput dari sanksi yang keras jika ia menangguhkan aplikasi tindakan-tindakan preventif dan jika ia membiarkan suatu wabah hebat terjadi” (hlm 54). Pengalaman India dalam menanggulangi bencana kelaparan membuktikan bahwa demokrasi merupakan salah satu faktor pendukung ‘human developpement’.

Lewat buku yang sebelumnya pernah diterbitkan pada tahun 1999 ini, Amartya Sen – pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi tahun 1998 – menguraikan dengan memukau bahwa kebebasan tidaklah sinonim dengan neo-liberalisme. Kebebasan malahan mengandung suatu tuntutan kepedulian pada orang lain, khususnya yang lemah dan terlantar dalam

(5)

masyarakat. Namun buku ini memiliki kekurangan kecil yang berhubungan dengan tuntutan metodologi. Sebagai suatu terjemahan, buku ini seharusnya menyebutkan judul asli kedua makalah ekonom dan filsuf In-dia tersebut pada catatan kaki. Akan tetapi hal itu tidak kita jumpai. Judul asli tulisan pertama (yang terletak pada halaman 43), umpamanya, baru dapat kita ketahui ketika kita sedang asyik membalik-balik menikmati artikel kedua (‘Responsabilité sociale et démocratie: l’impératif d’équité et le conservatisme financier’) pada halaman 96. Padahal, pencantuman judul asli pada catatan kaki akan dapat memuaskan pembaca yang sedang penasaran mengetahui judul asli teks-teks di atas. Kendati demikian, kekurangan kecil ini tidak mengurangi bobot buku yang bagus tersebut. Karya yang mengandung ide-ide merangsang untuk didiskusikan ini tetap pantas dinikmati oleh siapa pun yang sedang bergulat mencari inspirasi mengenai makna kebebasan. Memang benar, tanpa kebebasan individual tak mungkin akan terwujud suatu cara berpikir dan tata ekonomi yang humanis.

Referensi

Dokumen terkait

• Faktor teknologi membantu dalam tata cahaya yang berkualitas dan efisien tetapi yang terpenting adalah produk dan penerapannya karena :. • teknologi yang sama kinerja produk

Bahasa tersebut sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau.. Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMP Kelompok Kompetensi Profesional C 5 bahasa

Jasa Latihan dan Pelayanan Lingkungan Kerja, Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja.. Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja

Perisai Tapak Macan ini tidak jauh berbeda dengan sistem tanam tapak macan, akan tetapi memiliki sedikit perbedaan pada penambahan tanaman pacing sebagai tanaman

peran Humas dilihat dari perencanaan Program, Perencanaan Strategi, Aplikasi Strategi, dan Evaluasi dan kontrol, jika semua itu diprioritaskan untuk

Untuk tujuan (1) digunakan analisis deskriptif dengan cara menggambarkan dan menjelaskan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan

Namun lingkungan yang dipengaruhi manusia ini dapat juga menguntungkan spesies tertentu seperti Lophomyrmex sp1 yang hanya ditemukan di perkebunan teh dan taman wisata.

daya manusia menjadi semakin penting sebagai fondasi pariwisata dalam membangun keunggulan kompetitif pariwisata melalui branding. Keterlibatan partisipasi masyarakat