• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DAN WAWASAN UMUM GERAK NIAGA MALUKU-PAPUA ZONA EKONOMI DAN KEKUASAAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP DAN WAWASAN UMUM GERAK NIAGA MALUKU-PAPUA ZONA EKONOMI DAN KEKUASAAN ISLAM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

GERAK NIAGA MALUKU-PAPUA

ZONA EKONOMI DAN KEKUASAAN ISLAM

Wuri Handoko (Balai Arkeologi Ambon)

Abstract

Moluccas and of Papua, geographically bunch up and have potency of good natural resource. In Region Moluccas, standing centers power of Islam which consist of Ternate, Tidore, Bacan and Jailolo ( Moluko Kie Raha). History note, extension of power of Islam from one of the empire of that Islam till to region of Papua. Archaeological data also prove the existence of infl uence of Islam in region of Papua. Extension of Moluccan Islam to Papua, representing the effort which braid to braid with activity of trading. Of Moluccas region till to Papua, woke up by economic zona to strengthen and formation of trade network, at the same time as effort maintain and widen power of Islam.

Keyword: economic, trade network, Islam, power

Pendahuluan

Sejak dulu, Maluku dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran dunia. Oleh sebab itu wilayah ini telah dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan dunia sekaligus jalur lintasan perdagangan internasional yang menghubungkan berbagai negara untuk saling bertukar komoditi. Wilayah Maluku telah memainkan peran penting bagi perkembangan peradaban di Nusantara, sebagai salah satu wilayah yang menghubungkan berbagai negara di belahan dunia. Melalui wilayah ini pula, Nusantara dikenal seantero jagad.

Peran Maluku di dunia internasional tak dapat dipungkiri lagi, terbukti pada abad ke-10 Masehi, wilayah perairan ini terkenal sebagai salah satu lintasan Jalur Sutera. Pada abad X jalur sutera merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal balik baik dalam segi perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan. Perdagangan ini tidak hanya menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain terutama rempah-rempah

(2)

yang sangat dibutuhkan di Eropa. Justru karenanya belakangan orang menyebutnya sebagai jalur rempah-rempah. Hal ini karena justru rempah-rempah kemudian menjadi komoditi utama perdagangan dunia (Lapian, et.al. 2001: 39).

Wilayah Kepulauan Maluku atau terkenal dengan sebutan Spice Island oleh para ahli dikatakan sebagai wilayah yang memiliki posisi strategis menyangkut eksistensinya dalam kancah niaga dunia, sejak ribuan tahun lalu. Dari segi ekonomi, Maluku merupakan wilayah penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962:93-100; Ambary, 1998:150). Kiranya kita bisa mengerti bahwa wilayah Maluku oleh karena kekayaan rempah-rempahnya, telah menjadi perhatian dunia. Persaingan dunia yang kemudian juga melibatkan persaingan lokal dalam hal penguasaan perdagangan. Tidak bisa dipungkiri, wilayah Maluku telah menjadi ajang persaingan ekonomi dan perdagangan, sekaligus juga berhubungan dengan kekuasaan. Sudah jelas, kekuatan ekonomi dan perdagangan telah menegaskan adanya kekuatan-kekuatan politik atau kekuasaan dalam suatu wilayah untuk menguasai wilayah lainnya. Perdagangan dan ekonomi adalah salah satu sumbu utama kekuatan untuk menguatkan kekuasaan. Telah banyak diketahui bahwa wilayah Kepulauan Maluku, terutama di wilayah terdapat pusat-pusat kekuasaan yakni kerajaan-kerajaan yang sangat mapan, sosial, budaya, eokonomi dan politik yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha) serta Hitu dan Banda. Terutama Ternate dan Tidore, adalah dua pilar kekuasaan yang banyak mengembanagkan sayap politik, kekuasaan dan ekonominya ke wilayah lain. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam dengan kota-kota niaga dan bandarnya yang penuh hiruk pikuk inilah yang menandai puncak atau zaman keemasan perdagangan Nusantara. Perdagangan adalah jembatan utama dalam proses penguatan kekuasaan kerajaan-kerajaan di tanah rempah, Maluku.

Kekuataan perdagangan lainnya misalnya di wilayah Banda, sebagai pusat eksportir pala dan Hitu sebagai pelabuhan transito utama dan juga penghasil cengkeh, kemudian meluas hingga ke wilayah lain dengan perantara pelabuhan-pelabuhan yang ramai seperti Sulawesi, Jawa dan Malaka.

(3)

Gerak Niaga dan Zona Ekonomi Kerajaan

Gerak niaga antara wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, merupakan aktifi tas perdagangan yang seseungguhnya menghubungkan zona-zona kekuatan ekonomi antara wilayah Kepualuan Maluku dan Papua. Dapat dikatakan wilayah-wilayah yang dilalui sebagai lintasan perdagangan dari wilayah kerajaan terutama Ternate dan Tidore, merupakan sebuah formasi yang sengaja dibangun untuk memperkokoh kekuatan ekonomi kedua kerajaan tersebut. Di antara zona ekonomi ini dihubungkan melalui rantai pelabuhan yang menopang gerak atau laju perdagangan kedua wilayah. Di wilayah Kepulauan Maluku, kota-kota niaga atau kota pelabuhan terkenal seperti Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, Hitu, Banda adalah wilayah-wilayah pelabuhan yang saling berinteraksi jalur distribusi pertukaran produk dalam lintasan perniagaan lokal (Handoko, 2007a). Di beberapa wilayah itu menjalin gerak niaga yang lebih luas dengan daerah lainnya baik ke wilayah barat maupun ke wilayah lebih ke timur seperti ke kota-kota pesisir di wilayah Tanah Papua. Ternate, Tidore dan Bacan mungkin wilayah yang paling intensif melakukan ekspansi dagang ke wilayah Papua. Wilayah-wilayah terdekat dengan wilayah Papua seperti sisi timur Pulau Seram, seperti Kepulauan Gorom memegang peran penting dan strategis, menghubungkan kedua wilayah itu. Meskipun wilayah Kepulauan Gorom kecil, namun posisinya di tengah antara Pulau Seram menuju Pulau Papua dan wilayah Maluku Tenggara. Maka, bisa diduga, pada masa lampau wilayah ini cukup ramai dalam jalur lintasan budaya melalui perairan di wilayah timur ini. Wilayah ini menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antara Papua dengan Pulau Seram (Maluku Tengah dan sekitarnya). Wilayah ini juga menghubungkan antara Maluku Tenggara dengan Maluku Tengah dan Utara (Handoko, 2007b). Selanjutnya secara geografi s Pulau Gebe di Maluku Utara juga memiliki letak yang strategis yang dapat menghubungkan antara wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar dengan wilayah Raja Ampat, Papua.

Di Kepulauan Gorom, Seram Bagian Timur, Pelabuhan Ondor biasa disebut sebagai onderladen oleh masyarakat, yang diartikan sebagai pelabuhan tua. Pelabuhan ini telah dimanfaatkan masyarakat sejak dulu. Menurut informasi masyarakat, pelabuhan ini sejak dulu telah disinggahi kapal-kapal dari luar, baik dalam rangka dagang maupun urusan kepemerintahan. Pedagang-padagang China, Arab serta Bugis-Makassar, sejak dulu telah berdagang ke wilayah ini. Kawasan pelabuhan merupakan salah satu dari kluster situs Kerajaan Ondor. Berbagai temuan keramik asing periode Dinasti Ming (abad

(4)

14-16 M) dan Ching (abad 17-20 M) ditemukan terkonsentrasi di areal dekat pelabuhan kuno ini. Selain itu kapal-kapal pada masa ekspansi Kesultanan Tidore maupun masa Kolonial Portugis dan Belanda telah bersandar di Pelabuhan Gorom. Saat ini Pelabuhan Gorom menjadi pelabuhan lokal yang menghubungkan transportasi dari Ambon ibukota Propinsi Maluku maupun dari daerah terdekat lainnya, bahkan dari Sorong dan Fak-Fak, Papua (ibid).

Letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian atau tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini menjadi incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka terjadi hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fak-fak dengan pusat kerajaan di wilayah Maluku, terutama Ternate dan Tidore dan Bacan, sehingga banyak pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah tersebut.

Pada era perdagangan rempah di Asia Tenggara terbentuk jalur-jalur pelayaran yang menghubungkan antara tempat produksi dan tempat-tempat untuk memasarkan. Tercatat dalam sejarah pulau-pulau produsen rempah di kawasan timur Nusantara seperti Ternate, Tidore, Bacan dan Kepulauan Banda. Beberapa bandar yang membentuk jaringan pelayaran lokal. Di daerah Maluku Tengah terdapat Hitu sebagai pusat bandar yang membawahi bandar-bandar kecil lainnya seperti bandar pelabuhan di Gorom, Kei-Aru dan Tanimbar. Dari Hitu komoditi yang dihasilkan dari pelabuhan kecil tersebut, kemudian dibawa ke pelabuhan seperti Gresik dan Jepara. Di Maluku Utara, terdapat empat bandar besar seperti Ternate, Tidore , Bacan dan Jailolo. Tidore membawahi bandar-bandar Halmahera Timur, Kepulauan Raja Empat dan Papua Barat. Ternate membawahi bandar-bandar di Kepulauan Banggai, pesisir timur sampai utara Sulawesi; Jailolo membawahi bandar-bandar di Halmahera Barat (Utomo, 2008;15-16). Pola perdagangan seperti itu sesungguhnya dapat memberikan tentang gambaran pola penyesuaian sosio ekonomi pada masa lalu seperti yang dituliskan oleh Miksic (1981). Menurutnya kemungkinan besar, pola yang menghubungkan beberapa ekozone telah terbentuk, bahkan jauh sebelum masa klasik. Untuk mempertajam gagasan ini dibutuhkan data terperinci mengenai jenis dan jumlah komoditi yang ditukar tangan oleh para pihak penyalur komoditi, baik di wilayah pesisir, dataran, pedalamann, wilayah pusat (raja) dan penghulu (Miksic, 1981: 12).

(5)

Catatan penting lainnya adalah sebagaimana yang diungkapkan Heriyanti Ongkodharma Untoro, bahwa perdagangan merupakan bagian dari kegiatan ekonomi suatu masyarakat. Perkembangan perdagangan dari satu masa ke masa berikutnya mengalami perubahan, dapat dikatakan dari sistem yang sederhana menjadi sistem yang lebih kompleks. Akibatnya penjelasan serta pengertian tentang perdagangan menjadi semakin beragam sesuai dengan periode masyarakat pendukungnya (Untoro, 2007:13).

Dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca tahun 1364/65, disebutkan nama Wawanin. Wawanin menurut para ahli Jawa Kuno adalah nama lain untuk daerah Onin (Yamin, 1953; Usmany, 2009), suatu daerah di wilayah Fak-fak yang pada masa lampau merupakan pusat dagang di Papua dan memiliki hubungan sejarah migrasi penduduk dengan wilayah yang terbentang dari fak hingga Namatota, dan dari Fak-fak hingga Seget dan berbagai pulau di Raja Ampat dan Halmahera Selatan, Seram dan pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut) (Onim, 2006:47;ibid).

Selanjutnya, tercatat pula adanya hubungan antara Bacan dan Biak yang dilakukan melalui Raja Ampat; dan karena letak geografi snya yang lebih ke selatan maka jalur perlayaran yang digunakan pada waktu itu adalah melalui Seram, Misol dan selanjutnya Raja Ampat. Jalur pelayaran ini tidak terbatas antara Seram dan kepala burung saja, namun juga antara Seram, kepulauan Gorong dan Onin. (Lapian dan Masinambow, 1984:27; ibid). Kemungkinan, wilayah Kepulauan Raja Ampat pada masa lampau menjadi semacam pintu gerbang yang memberikan jalan lapang hubungan antara wilayah kerajaan di wilayah Maluku dengan wilayah daratan Papua lainnya. Sebaliknya wilayah-wilayah di Kepualuan Maluku seperti Ternate, Tidore, Ambon, Banda atau daerah yang lebih dekat dengan Papua, yakni Kepulauan Gorom di Seram Bagian Timur, masuk ke wilayah daratan Papua melalui pintu kepulauan Raja Empat. Wilayah kepulauan Raja Empat menjadi pintu keluar masuk yang menghubungkan wilayah ini menuju jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Teluk Cenderawasih dan Maluku sebagai pusat rempah-rempah dunia pada waktu itu yang menghubungkan barat dan timur. Oleh karena itu penting, menelusuri kembali jejak-jejak sejarah perdagangan kedua wilayah (Maluku-Papua) dengan dukungan bukti-bukti arkeologi yang dapat diamati baik fi tur maupun artefaktual, selain tentu saja penting pula mengungkap bukti-bukti pertukaran komoditi antara kedua wilayah yang kemungkinan masih berlangsung hingga saat ini.

(6)

nampak dipengaruhi oleh bentuk perahu di Maluku Utara, terlihat dari bentuk haluan dan buritannya yang sama. Dalam naskah Portugis tentang Sejarah Maluku yang ditulis oleh Antonio Galvao kira-kira tahun 1544, mengungkapkan bahwa bentuk perahu orang di Maluku Utara di tengah-tengah kapal menyerupai telur (he ovedo no meio) dan kedua ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian kapal bisa berlayar maju maupun berlayar mundur (Marwati dan Notosusanto, 1993:112). Pengaruh ini mungkin disebabkan banyaknya kunjungan orang Biak Numfor ke Maluku Utara dan terjalinnya hubungan baik antara orang Biak Numfor dan Kesultanan Tidore. Bahkan di masa VOC, orang Biak Numfor menjadi salah satu kekuatan armada laut bagi kerajaan Tidore (op.

cit).

Gerak niaga regional antara wilayah Maluku dan Papua, merupakan zona ekonomi menjadi semacam rantai-rantai perdagangan yang menghubungkan wilayah-wilayah niaga di Kepulauan Maluku dengan wilayah Papua. Hal ini karena kedua wilayah itu masing-masing memiliki komiditi andalan untuk saling dipertukarkan. Wilayah yang secara geografi s relatif berdekatan, serta dihubungkan dengan wilayah-wilayah perairan yang merupakan jalur perdagangan internasional sejak awal-awal Masehi. Bagi wilayah Maluku, wilayah perairan dan daratan Papua, sangat penting untuk menguatkan basis ekonomi kerajaan.

Jejaring Niaga dan Eksistensi kekuasaan Islam

Eksistensi kekuasaan Islam terutama di wilayah Maluku, tidak bisa dilepaskan dari kegiatan perdagangan, hal ini mengingat penyebaran pengaruh Islam salah satunya dimulai melalui aktivitas niaga oleh para pedagang muslim, meskipun sebagian ahli berpendapat, perdagangan tak bersangkut paut langsung dengan Islamisasi. Ricklefs (2008) menuliskan bahwa antara Islam dan perdagangan tampaknya ada semacam kaitan, meskipun banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, mengingat perdagangan oleh orang-orang muslim telah ada beberapa abad sebelum masa pengislaman Nusantara yang baru terjadi pada abad XIII dan terutama XIV dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa proses perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung jauh sebelum Islam berkembang, sehingga jika Islamisasi berlangung sejak dimulainya era perdagangan oleh bangsa-bangsa penyebar Islam, semestinya Islam tumbuh dan

(7)

berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa proses perdagangan yang berlangsung telah memperkuat eksistensi Islam di Nusantara. Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan bahwa munculnya jalur perdagangan sejak masa awal telah memicu terjalinnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan, dengan kota-kota bandarnya sejak abad 13-18 M (Tjandrasamita, 2009:39).

Di wilayah Kepulauan Maluku contohnya, tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam yang besar dan semakin kuat eksistensi kekuasaannya, salah satu faktor utama yang berpengaruh adalah karena kekuatan perdagangannya. Pada masa perkembangannya munculnya rivalitas kekuasaan terutama Ternate dan Tidore, justru menciptakan simpul-simpul wilayah kekuasaan sebagai bagian dari jejaring niaga untuk menguatkan eksistensi kekuasaan Islam. Ketika terjadi perebutan pengaruh kekuasaan antara Ternate dan Tidore, Ternate melakukan ekspansi di wilayah Pulau Seram (Maluku Tengah dan Ambon), sementara itu Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah paling timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya (Leirissa, 2001:8). Dalam sejarah kekuasaan kerajaan di wilayah Maluku Utara, daerah Kepulauan Raja Empat mungkin yang paling popular sebagai salah satu wilayah perluasan kekuasaan dari persaingan kekuasan antara Ternate dan Tidore.

Dalam beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa persaingan kedua kerajaan besar Ternate dan Tidore saling berebut pengaruh dan kekuasaan di wilayah itu. Pada intinya, secara umum Tanah Papua, merupakan salah satu wilayah yang berperan sebagai penyangga terhadap eksistensi kekuasaan kerajaan yang berkembang di wilayah utara terutama Ternate, Tidore dan Bacan yang merupakan tiga dari empat pilar utama kekuasaan kerajaan Islam yang disebut Molukie Kie Raha. Untuk menyambungkan zona-zona ekonomi itulah, banyak wilayah yang terletak antara wilayah Kerajaan Ternate dan Tidore ditaklukkan. Dari hasil penelitian arkeologi dan didukung sumber sejarah serta diperkuat tradisi tutur, diperoleh penjelasan bahwa wilayah Seram Timur termasuk Pulau Gorom dan Geser merupakan daerah ekspansi dari kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku Utara, yakni Tidore. Di wilayah Kepulauan Gorom terdapat 3 (tiga) aliansi kerajaan kecil yakni Amarsekaru, Kataloka dan Ondor yang mengakui sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Tidore (Handoko, 2007b). Kompleks makam Raja Amarsekaru, tugu

(8)

pelantikan raja dan masjid kuno dengan segala perlengkapannya, seluruhnya mengarah pada pengaruh Kerajaan Tidore.

Ambary, dalam tulisannya yang dikutip oleh Halwany Michrob mengatakan bahwa sejarah masuknya Islam di Sorong dan Fakfak terjadi melalui dua jalur, yakni:

a. Di daerah Sorong, perkembangannya di mulai sejak abad ke-15 ketika Raja-raja Ternate dan Tidore mengadakan pelayaran ke timur untuk mencari burung kuning yang berlokasi di Salawati

b. Perkembangan agama Islam di daerah Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang suku Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon (Mene, 2009).

Proses Islamisasi di wilayah Fakfak, dilakukan ketika para pedagang datang kemudian mereka menetap di pemukiman masyarakat di sekitar daerah pesisir pantai, selain berdagang mereka juga memperkenalkan agama Islam dengan mengajarkan penduduk untuk melakukan sholat (Onim, 2006;102-105; ibid).

Kedatangan pengaruh Islam ke Indonesia bagian timur, yaitu ke daerah Fakfak tidak terpisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat pelayaran internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate, Tidore serta Pulau Banda dan Seram karena dari sini Islam memasuki Kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan Semenajung Onin di Kabupaten Fakfak (ibid).

Secara geografi s tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena itu, dalam membahas sejarah masuknya Islam ke Fakfak, kedua alur komunikasi dan relasi ini perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja Ampat di Sorong, keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai Kepulauan Raja Ampat dan Semenajung Onim Fakfak.

(9)

Walaupun demikian tidak berarti bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh. Dengan adanya pengaruh kedua kesultanan Islam ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah dapat diduga (dipastikan) bahwa Islam masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak (dan pantai selatan daerah Kepala Burung pada umumnya) dalam lingkup pengaruh kedua kesultanan itu (Onim 2006; 83; ibid).

Kajian masuknya Islam di Tanah Papua juga pernah dilakukan oleh Thomas W. Arnold seorang orientalis Inggris didasarkan atas sumber-sumber primer antara lain dari Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Dalam bukunya yang berjudul The preaching

of Islam yang dikutip oleh Bagyo Prasetyo disebutkan bahwa pada awal abad ke-16,

suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati telah tunduk kepada Sultan Bacan salah seorang raja di Maluku kemudian Sultan Bacan meluaskan kekuasaannya sampai Semenanjung Onim (Fakfak), di barat laut Papua pada tahun 1606, melalui pengaruhnya dan pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau-pulau tadi memeluk agama Islam meskipun masyarakat pedalaman masih menganut animisme, tetapi rakyat pesisir adalah Islam. Beberapa kerajaan di Kepulauan Maluku yang wilayah teritorialnya sampai di Pulau Papua menjadikan Islam masuk pula di Pulau Cenderawasih ini. Namun, dibanding wilayah lain, perkembangan Islam di pulau hitam ini bisa dibilang tak terlalu besar. Klein juga menjelaskan fakta kapan kedatangan Islam di Papua. Di sana dia menulis pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi Kerajaan Bacan dimana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan. Kerajaan-kerajaan yang dimaksud itu adalah: Kerajaan Raja Ampat, Kerajaan Raja Rumbati, Kerajaan Atiati dan Kerajaan Fatagar. Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar (www.hidayatulloh.com).

Dari beberapa legenda yang berkembang di Raja Ampat dan Maluku, tersirat adanya hubungan antara Papua dan Maluku terutama dengan Bacan yang sudah terjalin berabad-abad yang lalu dimana jauh sebelum kerajan Tidore dan Ternate berkembang, kerajaan Bacan telah terlebih dahulu memiliki hubungan dengan Biak Numfor. Bacan telah dikenal sebagai pusat cengkeh di Maluku sebelum Ternate dan Tidore dikenal.

(10)

Bahkan pada abad ke-7 Masehi, Bacan telah memiliki hubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya yang dilakukan melalui jalur pelayaran kuno melewati pesisir pulau Jawa, Bali, NTB, NTT,Maluku Tenggara, hingga tiba di Banda, Hitu dan Bacan. Dalam legenda penduduk Bacan nama Papua disebutkan bahwa Bikusigara menemukan empat buah telur ular yang sesudah beberapa hari kemudian menetas. Tiga laki-laki dan seorang wanita.

Seorang menjadi raja Bacan, seorang menjadi raja Papua, seorang menjadi raja Butung dan Banggai, sedangkan wanita menjadi istri Raja Loloda di Halmahera Utara. Dalam Kroniek van het Rijk Bacan, telah diceriterakan bahwa sesudah kejadian malapetaka (letusan gunung?) dua putera sultan menghilang. Akhirnya mereka diketemukan, yang satu telah menjadi raja Misool yang lain di Waigeo (Abdurrahman, 1984:325).

Temuan masjid-masjid kuno di Kabupaten Fakfak, dapat menjadi bukti pengaruh masuknya Islam di wilayah itu. Selain itu ditemukan sejumlah data artefaktual diantaranya gong, bedug masjid, rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda raja dan adanya silsilah kerajaan dari kerajaan Ati-ati. Masjid-masjid kuno yang ditemukan tersebut tersebar di beberapa tempat diantaranya Masjid-masjid Patimburak, masjid Werpigan dan masjid Merapi. Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada empat raja yang berkuasa diantaranya Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Kaimana). Masing-masing raja tersebut mendirikan masjid dan masjid tersebut yang digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi masjid yang didirikan oleh raja Ati-ati pada saat itu pada umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak bisa lagi ditemukan wujud maupun sisa-sisanya. Satu-satunya masjid yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Ati-ati adalah masjid Werpigan yang dibangun pada tahun 1931 oleh raja ke-9. Mesjid tersebut telah mengalami renovasi, sehingga konstruksi aslinya telah hilang yang nampak adalah masjid yang baru (Tim peneliti, 1999; op.cit). Selanjutnya adalah masjid yang didirikan oleh Raja Fatagar yaitu masjid Merapi terletak di Kampung Merapi, dalam masjid terdapat bedug yang terbuat dari batang kayu kelapa. Di dekat masjid terdapat makam Raja Fatagar I dan II, makam terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok yang berada di dalam pagar dan kelompok yang berada di luar pagar. Selain itu bukti pengaruh masuknya Islam yaitu ditemukan rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, gong, tanda raja, tongkat cis, songkok raja dan adanya silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di wilayah tersebut (op.cit).

(11)

Dengan demikian, baik catatan sejarah maupun bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa wilayah Kepulauan Maluku dan Papua merupakan dua wilayah yang sejak dulu telah menjalin kontak. Pada masa keemasan ketika Islam berkuasa di wilayah Kepulauan Maluku, Kerajaan-kerajaan pusat kekuasaan Islam, seperti Ternate dan Tidore, dan sebelumnya Bacan, merupakan wilayah yang melakukan ekspansi ke Papua, terutama di Kepulauan Raja Empat, Fakfak dan Biak melalui jejaring niaga. Demikian halnya menyangkut pembahasan tentang gerak perniagaan di wilayah Maluku dengan Papua. Banyak hal yang kompleks yang sesungguhnya masih perlu dikaji lebih dalam lagi. Sepanjang lintasan dari wilayah Maluku ke Papua, terdapat wilayah-wilayah yang menjadi daerah ekspansi kekuasaan Ternate dan Tidore, yang jalin menjalin hingga mencapai wilayah Papua. Wilayah-wilayah antara Maluku hingga Papua, dapat dipahami sebagai wilayah-wilayah ekozone dalam upaya membangun jejaring niaga antara wilayah pusat kekuasaan Islam dengan wilayah-wilayah sayap kekuasaannya.

Kesimpulan

Sesungguhnya tulisan ini bermaksud menegaskan adanya kontak-kontak perdagangan pada masa keemasan zaman pengaruh Islam antara wilayah Kepulauan Maluku dan Papua. Tidak hanya persoalan niaga, lebih jauh Maluku diwakili oleh Kerajaan Ternate dan Tidore, serta Bacan, melakukan ekspansi ke Papua untuk menancapkan tongkat kekuasaan dan Islam. Berbicara tentang niaga, tentu saja tidak hanya melibatkan kerajaan-kerajaan Islam itu saja, wilayah lainnya seperti Banda, Seram dan wilayah di Maluku Tenggara juga telah jalin–menjalin membangun jejaring niaga dengan wilayah Papua. Namun, pada intinya hal ini merupakan formasi yang terbangun seiring agenda perluasan kekuasaan Islam oleh pusat-pusat kekuasaan Islam di Maluku.

Bagi pusat kekuasaan Islam di Maluku Utara, tentu saja wilayah Papua dimaksudkan sebagai zona ekonomi yang diharapkan dapat menopang eksistensi kekuasaan Kerajaan Islam yang berhasil melebarkan sayap kekuasaannya di Papua. Potensi sumberdaya alam serta komoditi lokal yang berharga tentu menjadi jaminan, sebuah wilayah dapat bertahan dalam kondisi persaingan. Dengan demikian, membangun zona ekonomi di Papua, dimaksudkan untuk memperkuat jejaring niaga dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan sekaligus penyebaran Islam.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Ambary, H. M. 1996. Laporan Penelitian Arkeologi Islam di Pulau Bacan, Maluku

Utara. Proyek Penelitian Arkeologi Maluku. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi

Nasional. (tidak terbit).

______1998. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesi. Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu.

Handoko, Wuri 2006. “Periode Awal Kerajaan Hitu Hingga Masa Surutnya. Retrospeksi Arkeologi Sejarah”. Kapata Arkeologi Vol. 2 Nomor 3 Tahun 2006. Balai Arkeologi Ambon.

______2007a. “Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya, Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku”. Berita Penelitian

Arkeologi (BPA) Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai Arkeologi Ambon.

______ 2007b. “Aktifi tas Perdagangan Lokal Maluku: Tinjauan Awal Berdasarkan Data Keramik Asing dan Komoditi”. Kapata Arkeologi. Vol. 3 Nomor 5. Balai Arkeologi Ambon.

Lapian, A.B 1984. “Masalah Perbudakan dalam Sejarah Indonesia: Hubungan Antara Maluku Dan Irian Jaya”, dalam E.K.M.Masinambow, Maluku dan Irian Jaya. Jakarta. Buletin Leknas,Vol.III, No.1. LIPI.

______2001. “Ternate Sekitar Pertengahan Abad Ke-16” dalam M.J. Abdulrahman, et.al.

Ternate: Bandar Jalur Sutera. Hlm. 39-54. Ternate: LInTas (Lembaga Informasi

dan Transformasi Sosial).

Leirissa, R.Z. 2001. “Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera”. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera. Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).

Marwati DJ dan Notosusanto N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Depdikbud.

Mene, Bau. 2009. “Pengaruh Masuknya Islam di Kabupaten Fak-fak”, makalah dalam EHPA Bali.

Paramita R. Abdurachman, 1984. Sumber-Sumber Sejarah Tentang Salawati, Raja Ampat dalam E.K.M.Masinambow (ed) Maluku dan Irian Jaya, Jakarta. Buletin Leknas Vol.III,No.1. LIPI.

Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

(13)

Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Untoro, Heriyanti Ongkodharma. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten

1522-1684. Kajian Arkeologi Ekonomi. Jakarta. Fakultas Imu Pengetahuan

Budaya (FIB) Univeritas Indonesia.

Utomo, Bambang Budi. 2008. “Traditional Cruise Smart Tourism Berlatar Kesejarahan dan Budaya”. Majalah Pesona, No.05/Tahun II- MingguII- Desember 2008. Depbudpar.

Usmany, Desyy. 2009. “Menapak Jejak Pelayaran Tradisional Orang Biak Numfor Abad 16 Hingga Awal Abad XX Kajian Sejarah Maritim”. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jayapura.

Referensi

Dokumen terkait

Bahagian ini akan membincangkan landskap epistemik di Brunei Darussalam (dan jaringan ilmu pengetahuan di Universiti Brunei Darussalam) dan membandingkan Universiti Brunei

Pada 1999, melanjutkan studi Pascasarjana pada program studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM)

Pada hari ketiga ditemui bahwa penambahan TCT 0% tidak berbeda nyata dengan 100% TCT, penambahan TCT 25% juga tidak berbeda nyata dengan penambahan TCT 75%, tetapi penambahan 50%

45.079.417.950/Thn pada tahap produksi sehingga bisa disimpulkan bahwa dari segi peningkatan pendapatan daerah proyek atau usaha tersebut layak

Pemanfaatan tumbuhan pangan oleh masyarakat Suku Dayak Kanayatn di Desa Pak Mayam digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu buah-buahan yang mempunyai

Program Dokumenter “Kauman Undercover” diharapkan mampu menjadi salah satu referensi bagi masyarakat untuk lebih mengenal dan memahami sejarah perkembangan suatu

Penekanan yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dengan melihat objek penelitian yang memfokuskan pada perusahaan

Selain itu, penulis juga ingin berterima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil sehingga Tugas Akhir dapat diselesaikan pada