BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prospek Dan Perkembangan Kelapa Sawit Di Indonesia
Industri minyak sawit merupakan kontributor penting dalam produksi di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cerah. Industri ini juga berkontribusi dalam pembangunan daerah, sebagai sumber daya penting untuk pengentasan kemiskinan melalui budidaya pertanian dan pemprosesan selanjutnya. Perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat, terutama peningkatan luas lahan dan produksi kelapa sawit (Yohansyah & Lubis, 2014).
Kelapa sawit merupakan sumber minyak nabati yang penting disamping biasa, kacang- kacangan, dan sebagainya. Penggunaan minyak kelapa sawit telah telah dimulai sejak abad ke 15, pemasaran ke Eropa baru di mulai pada tahun 1800 an. Minyak kelapa sawit yang di gunakan dari daging buah (Mesocarp) dan inti sawit atau kernel (endocarp). Dewasa ini kelapa sawit digunakan untuk berbagai macam keperluan misalnya bahan pembuatan mentega, minyak goreng, bahan industri tekstil, farmasi, kosmetik, bahan pembuatan sabun dan deterjen, (Setyamidjaja, 2006).
Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir meningkat dari 2.2 juta ha pada tahun 1997 menjadi 4.1 juta ha pada tahun 2007 atau meningkat 7.5%/tahun (Sunarko, 2009). Produktivitas CPO kelapa sawit meningkat dari 3.52 ton/ha pada tahun 2011 menjadi 3.57 ton/ha pada tahun 2012 dengan luasan 9 juta ha (Deptan, 2012). Sampai saat ini Industri Kelapa Sawit sudah mencatat prestasi yang cukup baik bukan hanya perkembangan industri saja tetapi juga kontribusinya dalam pembangunan nasional. Meskipun demikian, masa depan setelah 2020
khususnya dalam masa 2020-2030, Industri Sawit Nasional berpotensi lebih berkilau lagi dari masa sebelumnya (GAPKI, 2019).
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut status pengusahaannya diusahakan oleh perkebunan rakyat (smallholders) sebanyak 42,3 persen. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (DITJENBUN), perkebunan rakyat mengalami peningkatan luas areal perkebunan setiap tahunnya (Wiratmadja dkk., 2017). Luas areal perkebunan rakyat akan terus meningkat menjadi pemilik pangsa kepengusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia (Sibarani dkk., 2015). Perkebunan rakyat diusahakan oleh petani pola plasma dan petani pola swadaya. Petani swadaya adalah petani yang dengan inisiatif dan biaya sendiri membuka dan mengelola lahan, tidak terkait dengan perusahaan tertentu, konkret, dan benar-benar merupakan permasalahan prioritas masyarakat mitra (Zeweld dkk., 2017).
2.2 Botani Tanaman Kelapa Sawit
Dalam dunia botani, semua tumbuhan diklasifikasikan untuk memudahkan dalam identifikasi secara ilmiah (Adi, 2011). Klasifikasi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Klas : Monocotyedoneae Ordo : Palmales
Famili : Palmae Sub Famili : Cocoideae Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guinensis Jacq.
Bagian tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif meliputi daun, batang, dan akar; sedangkan bagian generatif meliputi bunga dan buah (Wahyuni, 2007). Kelapa sawit termasuk kedalam tanaman berkeping satu atau monokotil,
berakar serabut dan tidak memiliki akar tunggang. Batangnya tidak memiliki kambium serta pada umumnya tidak bercabang (Nurfadillah, dkk., 2017).
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit
Kondisi iklim dan tanah merupakan faktor fisik utama disamping faktor lainnya seperti genetis, biotis, kultur teknis ataupun perlakuan yang diberikan dan data karakteristik. Syarat tumbuh tanaman kelapa sawit terdapat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Syarat tumbuh tanaman kelapa sawit
No Uraian Syarat
1 Tinggi tempat 1 – 500 mdpl
2 Suhu 25 – 27˚C
3 Curah hujan (kelembapan) 2.500 – 3.000 mm/tahun (panas-lembab)
4 Jenis tanah Latosol, podsolik merah kuning, hidromorf kelabu, aluvial, dan organosol/gambut tipis
5 Sifat kimia tanah pH 4 – 6
6 Sifat fisik tanah Datar/sedikit miring, solum dalam dan mempunyai drainase yang baik, tanah gembur, subur, permeabilitas sedang, dan lapisan padas tidak terlalu dekat dengan permukaan tanah.
7 Lama penyinaran matahari 5 – 7 jam per-hari 8 Kecepatan angin 5 – 6 km per-jam Sumber: Purtanto, 2010
a. Curah Hujan
Tanaman kelapa sawit menghendaki curah hujan 1.500-4.000 mm/tahun. Namun curah hujan optimal yang paling cocok untuk tanaman kelapa sawit
adalah 2.000-3.000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan tidak lebih dari 180 hari/tahun. Pembagian hujan yang merata dalam satu tahunnya berpengaruh kurang baik karena pertumbuhan vegetatif lebih dominan dari pada pertumbuhan generatif, sehingga bunga atau buah yang tebentuk relatif lebih sedikit (Adi, 2011).
Pengukuran curah hujan menggunakan ombrometer dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Pengamatan untuk curah hujan harus dilakukan setiap hari pada jam 07.00 waktu setempat.
2) Jika curah hujan diperkirakan melebihi 25 mm sebelum mencapai skala 25 mm. kran ditutup dahulu, lakukan pembacaan dan catat. Kemudian lanjutkan pengukuran sampai air dalam bak penakar habis, seluruh yang dicatat dijumlahkan.
3) Untuk menghindari kesalahan parallax, pembacaan curah hujan pada gelas penakar dilakukan tepat pada dasar meniskusnya.
4) Bila dasar meniskus tidak tepat pada garis skala, diambil garis skala yang terdekat dengan dasar meniskus tadi.
5) Bila dasar meniskus tepat pada pertengahan antara dua garis skala, diambil atau dibaca ke angka yang ganjil.
Manalu (2008) yang menyatakan bahwa tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit dan curah hujan sangat erat hubungannya. Hujan berpengaruh terhadap pembungaan kelapa sawit. Faktor curah hujan terhadap produksi TBS berpengaruh dalam hal penyerapan unsur hara oleh akar, membantu perkembangan bunga betina, membantu kemasakan buah menjadi lebih sempurna dan berpengaruh terhadap berat janjang.
b. Bulan Kering
Kondisi curah hujan tahunan yang ideal untuk kelapa sawit adalah 2.000 mm. Curah hujan tersebut terdistribusi baik sepanjang tahun dengan tanpa periode kekeringan yang nyata atau bulan kering kurang dari satu bulan sepanjang tahun (Adiwiganda dkk., 1999).
Menurut Lakitan (2002) klasifikasi Schmidt Ferguson menggunakan nilai perbandingan (Q) antara rata-rata banyaknya bulan kering (Bk) dan rata-rata banyaknya bulan basah (Bb) dalam tahun penelitian. Adapun kategori untuk bulan kering (jika dalam satu bulan mempunyai jumlah curah hujan <60 mm), bulan lembab (jika dalam satu bulan mempunyai jumlah curah hujan 60 sampai 100 mm), dan bulan basah (jika dalam satu bulan mempunyai jumlah curah hujan >100 mm).
Rumus:
Kriteria dari bulan basah dan juga bulan kering:
1. Bulan Basah (BB) – Bulan dengan curah hujan >100 mm
2. Bulan Lembab (BL) – Bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm 3. Bulan Kering (BK) – Bulan dengan curah hujan <60 mm
c. Ketinggian
Ketinggian tempat yang ideal untuk kelapa sawit antara 1-500 mdpl (diatas permukaan laut), (Adi, 2011). Darlan et al. (2017) menyatakan bahwa budidaya kelapa sawit di dataran tinggi dihadapkan pada beberapa faktor pembatas seperti suhu udara minimum tahunan 2.500 mm tahun-1 . Tanaman kelapa sawit di dataran tinggi juga dilaporkan memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan tanaman kelapa sawit di dataran rendah (Darlan et al. 2014). Selanjutnya Darlan et al. (2015) juga menjelaskan bahwa tanaman kelapa sawit di dataran tinggi (>850 mdpl) memiliki laju fotosintesis 40% lebih rendah dibandingkan tanaman pada dataran rendah.
d. Bentuk Wilayah/Kemiringan Lereng
Karakter fisik lahan merupakan faktor penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit. Lahan yang miring memiliki potensi terjadinya kerusakan tanah
akibat erosi, seperti turunnya kandungan bahan organik tanah yang diikuti dengan berkurangnya kandungan unsur hara dan ketersediaan air tanah bagi tanaman. Tanah-tanah yang mengalami erosi berat umumnya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi sebagai akibat terkikisnya lapisan atas tanah yang lebih gembur (Yahya et al., 2010). Tanah-tanah yang tererosi akan mengalai degradasi yang ditandai dengan berkurangnya kualitas fisik, kimia dan biologis (Hermawan dan Bomke, 1997)
Pada lahan yang bertopografi miring atau berbukit, perrlu dibuat teras bersambung (continous terace) maupun teras individu (tapak kuda, plat form) yang dapat mengurangi bahaya erosi, sekaligus juga dapat mengawetkan tanah sehingga mampu menyimpan air dengan baik. Pada lahan berbukit proses pemanenan dirasa sedikit sulit, dibandingkan lahan yang bertopografi datar. Hal ini karena konsep jaringan jalan pada areal berbukit dibuat sesuai dengan kontur tanah. Selain itu faktor kekurangan unsur hara yang disebabkan dari hilangnya pupuk yang diberikan karena erosi atau hilang tercuci air hujan lebih besar sehingga berpengaruh terhadap produktivitas maupun pertumbuhan kelapa sawit (Mustafa, 2004 ).
e. Batuan Dipermukaan Dan Didalam Tanah
Kondisi permukaan lahan dinyatakan dalam persentase batuan singkapan (badrock) dan adanya batu di permukaan (rockness) terhadap unit lahan. Ju mlah badrock dan rockness yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit yaitu <1% (Rizky, 2017). Untuk mengetahui tipe dan karakteristik akuifer penyusun serta potensi relatif air tanah di wilayah kajian, maka dilakukan analisis hidrostratigrafi, yaitu penyusunan model rekonstruksi lapisan-lapisan batuan penyusun akuifer. Analisis ini didasarkan pada nilai tahanan jenis dan ketebalan lapisan batuan penyusun hasil pendugaan geolistrik, yang dianalisis dengan menganut cara O’Neill Schlumberger, yaitu pendugaan untuk mengetahui lapisan-lapisan batuan ke arah dalam secara vertikal (Zohdy, 1980).
f. Kedalaman Efektif
Kedalaman efektif tanah bagi tanaman kelapa sawit secara umum adalah memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas, sedangkan secara khusus untuk tanah mineral >100 cm (Rizky, 2017). Tekstur tanah yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah lempung berdebu, lempung liat berdebu, lempung berliat, dan lempung berpasir. Kedalaman efektif tanah yang baik adalah jika >100 cm, sebaliknya jika kedalaman efektif <50 cm dan tidak memungkinkan untuk diperbaiki maka tidak direkomendasikan untuk kelapa sawit.
g. Tekstur Tanah
Menurut Bahendra (2016), terjadi perubahan sifatsifat fisik dan biologi tanah akibat penanaman kelapa sawit pada perkebunan seiring dengan peningkatan umur tanaman. Perubahan sifat fisik yang terjadi antara lain, yaitu terjadi penurunan kandungan tanah 20 cm, penurunanliat pada kedalaman tanah 0 2020 cm, penurunan indeks stabilitas agregat pada kedalam 0bahan organik pada kedalaman tanah 0 40 cm, peningkatan bobot volume tanah padadan 20 40 cm, dan peningkatan permeabilitas.20 dan 20kedalaman 0 Dengan adanya praktik pengelolaan tanah pada beberapa penggunaan lahan perkebunan, seperti halnya pemupukan, pembukaan lahan, pembakaran, penggunaan bahan-bahan kimia, dan penggunaan alat-alat berat akan memengaruhi sifat-sifat tanah pada penggunaan lahan tersebut. Di mana diantara sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi tanah ada yang dapat mudah berubah (dinamik), sulit berubah, serta ada yang tidak berubah akibat pengolahan (Karlen et al. 1997)
Sifat-sifat fisik tanah yang secara nyata memengaruhi perkembangan bibit dan pertumbuhan kelapa sawit, yaitu; Struktur tanah, Air tanah, Suhu/temperatur tanah dan Aerasi tanah. Sifatsifat inilah yang memengaruhi
pertumbuhan pohon. Pada tingkat yang kritis dari sifat-sifat ini, maka dimasa yang akan datang pertumbuhan pohon akan dirugikan, namun demikian untuk sebagian besar tanah-tanah di wilayah tropika pengaruh ini belum banyak diketahui (Risnasari 2002).
Tekstur tanah mempengaruhi laju pergerakan air pada tanah yang berada dalam kondisi tak jenuh sehingga bertanggung jawab terhadap distribusi air dalam tanah (Zhu dan Sun, 2010). Pergerakan air didalam tanah memiliki keragaman spaisal yang sangat tinggi dibandingkan sifat-sifat fisik tanah lain (Iqbal et al., 2005) sehingga dapat menyebabkan keragaman produksi kelapa sawit yang cukup tinggi pada suatu unit lahan.
h. Kelas Drainase
Drainase tanah adalah cara pengumpulan dan pembuangan air dari permukaan tanah. Drainase tanah secara langsung maupun tidak sangat mempengaruhi aerasi tanah. Kriteria drainase yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit yaitu tanah dengan kelas berdrainase (beririgasi) baik (Rizky, 2017).
i. pH Tanah
Keasaman tanah (pH) merupakan aspek kimia tanah yang diperlukan dalam evaluasi lahan. Hal ini disebabkan karena pengaruh pH yang sangat besar terhadap kesesuaian lahan dan pertumbuhan tanaman. Kriteria kemasaman tanah yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit berada pada nilai 5-6 (Rizky, 2017). Dengan menggunakan pH Meter bisa langsung diketahui berapa skala pH tanah tersebut, sehingga mempermudah kita dalam memberikan perlakuan. Cara menggunakan pH meter tanah sangat mudah dan praktis, yaitu cukup dengan menusukkan ujung alat pH meter pada keempat ujung titik lahan dan satu titik ditengah-tengah lahan. Hasil yang diperoleh pada skala pH akan menunjukkan angka yang sudah dirata-ratakan. Mengukur kadar keasaman tanah menggunakan pH Meter sangat mempermudah kita
dalam pemberian dosis kapur pertanian. Karena angka atau skala pH hasil pengukuran dapat diketahui dengan pasti.
2.4 Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit
Menurut Sulistyo (2010), penilaian kesesuaian lahan ditujukan terhadap setiap satuan peta tanah (SPT) yang dikemukakan pada suatu areal. Untuk keperluan evaluasi lahan maka sifat fisik linkungan suatu wilayah dirinci kedalam suatu kualitas lahan dan setiap kualitas lahan biasanya teridirid dari satu atau lebih karakteristik lahan. Data karakteristik fisik lahan dideskripsi pada saat survei tanah dengan tingkat pemetaan tanah tertentu (tinjau mendalam, semi detail, atau detail). Selanjutnya karakteristik lahan yang diperlukan dalam penilaian lahan untuk kelapa sawit yang meliputi curah hujan, jumlah bulan kering, ketinggian di atas permukaan laut, bentuk daerah dan lereng, kandungan batuan atau bahan kasar didalam dan dipermukaan tanah, kedalaman efektif tanah. Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Penentuan kelas kesesuaian lahan
Kelas Kesesuaian Lahan Kriteria
S1 (Sangat Sesuai) Unit lahan yang memiliki tidak lebih dari
satu pembatas ringan (optimal).
S2 (Sesuai) Unit lahan yang memiliki lebih dari satu
pembatas ringan dan/atau tidak memiliki lebih dari satu pembatas sedang.
S3 (Agak Sesuai) Unit lahan yang memiliki lebih dari satu
pembatas sedang dan/atau tidak memiliki lebih dari satu pembatas berat.
N1 (Tidak Sesuai Bersyarat) Unit lahan yang memiliki dua atau lebih
pembatas berat yang masih dapat
diperbaiki.
N2 (Tidak Sesuai Permanen) Unit lahan yang memiliki pembatas berat yang tidak dapat diperbaiki.
Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit yang tumbuh di tanah mineral yang disurvei pada lokasi penelitian, mengacu pada kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di tanah mineral. Tabel 2.3
Tabel 2.3 Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit No. Karakteristik lahan Simbol
Intensitas Faktor Pembatas Tanpa(0) S1 Ringan(1) S2 Sedang(2) S3 Berat(3) N 1 Curah hujan (mm) H 1.750 -3.000 1.750 - 3.000 > 3.000 1.500 - 1.250 <1.250 2 Bulan kering (Bln) K <1 1–2 2–3 >3 3 Ketinggian diatas permukaan laut(m) I 0-200 200-300 300–400 > 400 4 Bentuk wilayah kemiringan(%) W Datar- berombak <8 Berombak-bergelomba ng 8- 15 Bergelomba ng - berbukit 15 –30 Berbukit-bergunung >30 5 Batuan di permukaan dan di dalam tanah (%- volume ) b < 3 3 – 15 15 - 40 > 40 6 Kedalaman Efektif(cm) s > 100 100 - 75 75 – 50 < 50 7 Tekstur tanah t Lempung berdebu, lempung liat berpasir, lempung liat;lempung berliat Liat ; liat berpasir, lempung berpasir, lempung Pasir berlempung; debu liat berat ; pasir
8 Kelas drainase d baik ;
sedang Agak terhambat, agak cepat Cepat ; terhambat sangat cepat; sangat terhambat; tergenang 9 Kemasaman (pH) a 5,0 - 6,0 4,0 - 5,0 6,0 -7,0 3,5 - 4,0 6,5- 7,0 <3,5 >7,0 Sumber: Lubis, 2008