• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan pendidikan modern 1 bagi orang Papua dimulai oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perkembangan pendidikan modern 1 bagi orang Papua dimulai oleh"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4

DARI MASA AWAL MISIONARIS SAMPAI

KE PEMERINTAHAN BELANDA

Pendidikan pada Awal Masa Penyebaran Agama oleh

Misionaris

P

erkembangan pendidikan modern1 bagi orang Papua dimulai oleh misionaris Protestan di bagian Utara Papua dan misionaris Katolik di bagian Selatan Papua, kemudian mulai merambah memasuki

pedalaman dan daerah pegunungan tengah Papua. Proses pendidikan dila-kukan dengan sangat hati-hati mengacu kepada tingkat peradaban yang dimiliki pada saat itu. Pembelajaran dilakukan dengan jenjang yang dise-suaikan kepada kemampuan adaptasi terhadap budaya maju pada setiap kelompok di setiap lokasi.

1

Pendidikan modern dalam pembahasan ini adalah pendidikan dengan baca tulis sebagai salah satu syarat umat manusia meninggalkan masa prasejarah dan memasuki peradaban maju. Selain itu pendidikan modern adalah proses belajar yang dikelompokkan secara khusus dengan menerapkan metode mengajar secara khusus berdasarkan tingkat perkembangan mental peserta didiknya.

(2)

76 PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA:

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial 1. Pendidikan Misionaris Protestan (Zendeling)

Awal mula pendidikan modern bagi penduduk asli Papua di pantai Utara dan Barat dimulai tahun 1856 di Pulau Mansinam oleh kedua peng-injil Eropa Ottow dan Gessler. Siswa pertamanya adalah orang-orang muda yang ditebus oleh kedua utusan injil, pada saat akan dijual sebagai budak kepada pedagang budak dari Seram yang secara periodik berkeliling pesisir pantai Barat Papua (van Hasselt, 1926 p. 65). Pendidikan dimulai dengan memperkenalkan kebiasaan sehari-hari yang baik, seperti menjaga kesehatan, ketertiban, bercocok tanam, kerajinan, membaca, menulis, berhitung, menyanyi dan berdoa, dalam istilah sekarang disebut kecakapan hidup (life skills). Model sekolah seperti ini diberi nama sebagai sekolah “pengadaban” atau Beschavingsschool.2 Sekolah seperti inilah kemudian berkembang dengan dipelopori oleh misionaris Gereja Protestan dan Katolik di berbagai lokasi pengembangan pos-pos penyebaran agama Kristen, dan menjadi satu paket antara gereja, sekolah dan pelayanan kesehatan.

Pada tahun 1904, jumlah sekolah yang telah dibuka dan aktif sebanyak 5 buah dengan siswa sebanyak 50 orang. Usaha yang gigih selama 40 tahun tampaknya kurang membuahkan hasil, karena hanya 193 umat baru termasuk anak-anak yang telah dibaptis dan mengikuti ajaran Kristen. Pekerjaan zendeling ini dianggap belum berhasil. Berkat keteguhan hati Zendeling Van Hasselt untuk tetap meneruskan Pekabaran Injil bagi orang Papua, sekalipun hasilnya belum memuaskan.

2

Istilah pengadaban (beschavings) dipakai oleh gereja pada saat itu karena ada anggapan bahwa semua kehidupan yang belum mengenal agama adalah kafir – dan karena itu orang-orang kafir perlu diadabkan. Sekolah pada saat itu juga berfungsi sebagai media pemberitaan amanat agung yaitu mengajarkan umat manusia untuk mengenal Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat.

(3)

JAMES MODOUW

77

Akhirnya dua tahun kemudian, pada akhir tahun 1906 melalui pela-yanan di Pulau Roon terjadi visi baru yang menggembirakan melalui kesaksian seorang murid Zendeling Bink yang bernama Yan. Penduduk pulau ini pada tahun 1907 secara massal mengambil keputusan mengikuti ajaran Kristen dan meninggalkan kepercayaan lamanya (van Haselt, 1926 p. 99). Tahun 1908 daerah Numfor telah memiliki jemaat dewasa sebanyak 126 orang dan anak-anak 81 orang. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1914, sekolah pengadaban meningkat jumlahnya menjadi 51 buah dengan jumlah guru 73 orang dan murid 2.353 orang.

S

ekolah Pengadaban (Beschavingsschool)di Enarotali (1950)3dan di Tehak,Ayamaru (1952)4

Berkat kerjasama yang erat antara para pendeta, penginjil, dan guru, dan dengan dilandasi semangat pengabdian yang tinggi, akhirnya pada tahun 1930 muncul jemaat-jemaat baru di pulau-pulau Teluk Cende-rawasih (Biak, Yapen) hingga Pantai Utara bagian timur Hollandia (seka-rang Jayapura) hingga Pantai Barat dan Selatan (Raja-Ampat, Sorong, dan

3

http://www.geheugenvannederland.nl/?/nl/items/KIT01:216994 4

(4)

78

Fakfak). Pada saat itu, gereja-gereja pribumi di Papua telah mempunyai warga jemaat sebanyak 45.810 orang, serta murid sekolah pengadaban sebanyak 7.692 orang (buku Tim Aspek Sejarah Daerah Irian Jaya, 1984).

2. Pendidikan Misionaris Katolik

PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA: Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

Salah satu sekolah di daerah pesisir Papua (1954)5

Pendidikan Katolik berkembang

bersama penyebaran agama pada awal pembukaan peradaban orang Papua di bagian selatan terbagi dalam 3 tahap, yaitu pertama, selama kurun waktu 1896 hingga tahun 1905. Tahap kedua dari tahun 1905 hingga 1920, dan tahap ketiga dimulai dari tahun 1920 hingga tahun 1940 (Tim Aspek Sejarah Daerah Irian Jaya, 1984, pp. 45-50). Tahap pertama dimulai oleh Ordo Misi Yesuit di Fakfak tahun 1896 yang akhirnya tidak berkembang karena

tewasnya Pater Le Cocq d’Armandville.

Pater Le Cocq

d’Armandville (1846- Selanjutnya tahap kedua, Ordo Hati Kudus

1896)6

yang berpusat di Langgur, Maluku Tenggara,

membuka pos penyebaran agama – yang adalah stasinya yang pertama, di Merauke, kemudian di Wendu tahun 1904, dan di Okaba tahun 1910. Pola pengembangan pendidikan dilakukan dengan dua model yaitu model

5 http://www.geheugenvannederland.nl/?/indonesie_onafhankelijk_-_fotos_1947-1953/items/previous:next/&p=1&i=4&o=0&st=onderwijs,glas&sc= (cql.serverChoice+all+onderwijs++AND+glas)&t=32 6 http://pojokheri.wordpress.com/2011/12/23/pater-le-cocq-darmandville-sj/

(5)

(1960)8

Kampung (dorpschool) di Enarotali Murid-murid perempuan Sekolah

Para murid dan guru sebuah sekolah Papua pada tahun 19357

(6)

JAMES MODOUW

79

stasi untuk sekolah kampung, dan model perkampuan baru untuk sekolah sambungan. Jenis sekolah-nya sama seperti yang dikembang-kan oleh misi zending Protestan, sekolah pengadaban.

Pendidikan dan penyebaran agama pada tahap kedua ini tidak

mengalami perkembangan yang berarti sekalipun telah dibuka stasi Merauke di Wendu, Okaba dan Muyu, di Mimika dan di Fakfak. Kegiatan pendidikan dan keagamaan mulai berkembang pesat pada tahapan ketiga bersamaan dengan adanya pemberian subsidi oleh pemerintah. Pada tahun 1926, dibuka sekolah di kalangan masyarakat Kamoro di Mimika, kemudian di Muting dan Ninati-Digul tahun 1930, selanjutnya di Kimaam

tahun 1936, selain itu di stasi lain-nya sudah berjalan.

Sekolah pengadaban

(Bescha-vingschool) sepenuhnya menjadi

tanggungan gereja. Subsidi peme-rintah diterima setelah sekolah pengadaban atau sekolah kampung (Dorpschool C) ditingkatkan status-nya hingga menjadi sekolah kam-pung kategori B (Dorpschool B). Pada tahun 1934 jumlah sekolah yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik

7

http://media-kitlv.nl/image/f034149d-8fd4-4cf9-b174-7df1199f63b0 8

(7)

80 PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA:

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

telah mencapai 107 sekolah (Merauke 54, Muyu 6, Mimika 28, Fakfak 19) dengan guru 115 orang dan murid 3302 orang.

Peradaban penduduk Papua di pesisir pantai pada masa kedatangan para misionaris masih sangat sederhana, atau dapat dikatakan masih berada pada zaman kebudayaan neolitik akhir. Kebutuhan akan pendidikanpun sesuai dengan tingkat adaptasi masyarakat terhadap perubahan ling-kungannya. Oleh karena itu pada masa ini sekolah lebih diutamakan sebagai suatu proses pembudayaan ketimbang pemberian ilmu pengetahun modern. Kebutuhan akan guru pun disesuaikan dengan kebutuhan adaptasi masyarakat terhadap peradaban maju pada saat itu.

Mengenalkan peradaban baru terhadap manusia yang perdabannya masih rendah dalam taraf prasejarah tentulah tidak mudah. Praktik mistik yang tinggi tidak dapat dihadapi oleh orang awam yang tidak memiliki kemampuan penangkal yang lebih unggul. Para utusan agamalah yang mampu menghadapi situasi seperti ini. Kondisi seperti itu masih ber-langsung di Papua hingga masa kini. Masih ada tempat-tempat terpencil yang belum tersentuh oleh utusan agama, apalagi pembangunan. Oleh sebab itu pendidikan dan pengembangan agama harus bekerja bersama untuk merambah daerah dan masyarakatnya yang belum terjangkau.

Pendidikan di Papua pernah mengalami masa kemunduran akibat Perang Dunia II yang dimulai dengan invasi militer Jepang di Asia dan Pasifik serta Indonesia, yaitu pada tahun 1942-1945. Pendidikan dalam masa ini mengalami tekanan dalam kepentingan invasi militer Jepang di Asia Pasifik dengan propaganda ajakan kerjasama “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” (Tim Aspek Sejarah Daerah Irian Jaya, 1984 pp. 51-53). Pengajaran dengan bahasa Melayu diganti dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda dilarang untuk digunakan dalam lingkungan sekolah. Pelajaran

(8)

JAMES MODOUW

81

Agama dilarang dan digantikan dengan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar kedua. Sekolah-sekolah di Papua pada saat itu banyak yang ditutup karena banyak guru meninggalkan sekolah, sementara guru-guru berkebangsaan Belanda ditawan. Kurikulum sekolah disesuaikan dengan program indoktrinasi ideologi Jepang berupa pengucapan sumpah dan janji kepada kaisar Jepang, penghormatan kepada matahari, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Jepang dan tata krama ala Jepang. Kegiatan sekolah juga dimanfaatkan untuk kerja massal dalam memenuhi kepentingan logistik tentara Jepang.

Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Setelah Jepang ditaklukan pada tahun 1944, Pemerintah Belanda (NICA) segera mengambil alih pemerintahan dan mulai melakukan reha-bilitasi terhadap kondisi pendidikan yang sudah tidak beraturan di wilayah kekuasaannya, termasuk di Papua. Banyak sekolah yang mengalami kesu-litan karena tidak tersedia guru. Hampir sebagian besar guru telah mening-galkan tugas dan pulang ke daerah masing-masing. Demikian juga banyak guru yang beralih fungsi menjadi tenaga administrasi di kantor.

Untuk itu pemerintah Belanda, pada awal tahun 1947 (Tim Aspek Sejarah Daerah Irian Jaya, 1984 pp. 54-79), mengangkat guru-guru darurat sebanyak 150 orang. Mereka ini berijazah sekolah sambungan dan menyerahkan kepada gereja sebagai penyelenggara sekolah. Pemerintah hanya menggaji guru, memberi subsidi dan melakukan pengawasan terhadap penyele-nggaran sekolah pada saat itu. Pada tahun 1948 hingga tahun 1953 pihak gereja mendatangkan banyak guru dari Maluku. Pada akhir tahun 1951 jumlah sekolah yang diselenggarakan oleh gereja-gereja telah mencapai

(9)

82 PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA:

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

525 buah dan yang telah bersubsidi sebanyak 90 buah, 317 buah yang termasuk kategori sekolah pengadaban dengan jumlah murid sebanyak 24.334 siswa yang didalamnya termasuk 10.931 murid perempuan.

Pendidikan Sekolah pada masa Belanda memiliki struktur yang me-nyesuaikan tingkat kemajuan peradaban masyarakat. Materi Pembelajaran disesuaikan dengan keadaan dan tingkat kebutuhan masyarakat kampung yang masih sederhana. Anak dari daerah yang sangat terpencil dibina dalam sekolah pengadaban yang bertujuan untuk lebih mengembangkan tingkat kehidupan sosialnya. Setelah itu mereka melanjutkan ke Sekolah Kampung model C (Dorpschool: setara kelas 1 hingga kelas 3) selama dua tahun, atau ke model B yang lebih cepat program belajarnya. Sekolah Kampung mempunyai tiga model yaitu, model A, B dan C yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Model A, adalah Sekolah Kampung yang berlangsung selama 4 tahun dan memiliki program pembelajaran yang sangat teratur.

2) Model B, adalah Sekolah Kampung dengan program belajar yang sama seperti model A namun waktunya lebih cepat yaitu selama 3 tahun

3) Model C, adalah Sekolah kampung yang sekaligus merupakan sekolah pengadaban (Beschavingschool) yang berlangsung untuk kurun waktu 3 tahun. Program pembelajaran setingkat dengan dua tahun pembelajaran Sekolah Kampung model A. Penekanan program pembelajarannya pada materi kecakapan hidup.

(10)

JAMES MODOUW

83

Setelah menyelesaikan kelas Sekolah Kampung model A atau B, dapat melanjutkan ke Sekolah Sambungan yang disebut Vervolgschool selama tiga tahun (setara kelas 4 hingga 6 Sekolah Dasar) dan berasrama. Pada tahun 1951 telah terselenggara 12 Sekolah Sambungan dengan jumlah guru sebanyak 31 orang dan 910 murid. Sepuluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1961 mencapai 23 buah dengan jumlah guru sebanyak 90 orang (16 orang putra daerah dan 62 orang Belanda) dan jumlah murid mencapai 2.842 orang (Tim Aspek Sejarah Daerah Irian Jaya, 1984 p. 65).

Sekolah Sambungan berasrama ini dibangun dalam model perkam-pungan dengan prinsip bahwa asrama merupakan kesatuan proses belajar dengan sekolah, sehingga aktivitas dalam sekolah dan di asrama sama nilainya. Setiap anak di asrama dibagi dalam kelompok dan mendapat

tugas untuk mengurus ber-bagai kebutuhan bersama dalam asrama secara ber-gantian setiap bulan yang harus dipertanggungja-wabkan. Tugas itu antara lain kebersihan lingkungan,

mencari kayu bakar,

memasak, berkebun, dan olahraga serta kesenian.

Sekolah Sambungan dikelompokkan menjadi dua jenis sekolah yaitu Sekolah Sambungan bagi putri dan putra. Khusus Sekolah Sambungan putri mendapat muatan khusus pendidikan kesejahteraan keluarga sesuai

9

http://media-kitlv.nl/image/01e19b2e-8841-496f-addc-071e8697672f tahun 19539

(Vervolgschool) berasrama di Korido, Supiori, Murid-murid Sekolah Sambungan

(11)

84 PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA:

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

dengan keperluan di kampung pada saat itu. Kesempatan melanjutkan pendidikan bagi anak putri saat itu masih terbatas karena masih kuatnya pengaruh adat istiadat yang mengharuskannya untuk berkeluarga.

Pendidikan bagi anak-anak di kota yang kehidupan sosialnya telah lebih maju, diselenggarakan sekolah tanpa diputus, yaitu kelas satu hingga kelas enam yang disebut Sekolah Rendah Umum yang disebut Algemene

Lagere School. Sekolah ini terbagi dalam dua jenis sekolah berdasarkan

penggunaan bahasa pengantarnya, yaitu Sekolah Rendah umum (Lagere

School) sebagai jenis B yang

disingkat LSB dan Sekolah Rendah Eropa (Europese

Lagere School) sebagai jenis

A yang disingkat LSA. LSB disiapkan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang memakai bahasa Me-layu sebagai sehari-harinya.

Sejak kelas satu LSB bahasa Belanda menjadi pelajaran wajib disamping

belajar membaca, menulis dan berhitung. Memasuki kelas tiga mulai digunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam belajar. Sekolah Rakyat Eropa atau disingkat LSA disediakan bagi anak-anak yang dari keluarga yangsehari-harinya berbahasa pengantar Bahasa Belanda. Pada Tahun 1951 terdapat tujuh buah LSB yang diselenggarakan oleh

10

http://media-kitlv.nl/image/7310b712-0438-4c77-b441-e04536ad9c1d

Murid-murid perempuan Sekolah Rendah Umum (Algemene Lagere School) di Pantai Weg, Hollandia-Binnen (sekarang

(12)

JAMES MODOUW

85

tujuh organisasi penyelenggara gereja. Sembilan buah LSA yang diseleng-garakan masing-masing tujuh buah oleh pemerintah dan dua buah oleh swasta, yaitu Ordo Fransiskan.

Pada tahun 1958 dikembangkan lagi suatu jenis sekolah sambungan (vervolgschool) baru tanpa asrama khusus bagi penduduk di suatu wilayah pemukiman yang sudah padat, disebut Sekolah Sentral Kampung. Anak-anak dari sekolah kampung kategori A dan B dapat melanjutkan ke sekolah jenis ini tanpa harus tinggal di asrama. Sekolah ini kemudian menjadi cikal bakal sekolah rakyat 6 tahun yang saat ini kita sebut sebagai Sekolah Dasar (SD).

Pendidikan lanjut setelah Sekolah Rakyat yang tersedia pada saat itu masih sangat terbatas antara lain Sekolah Lanjutan Umum atau PMS

(Primaire Middlebare School).

Sekolah Lanjutan Khusus yang disebut OVVO (Opleidingsschool

Voor Volksonderwijzyers) untuk

bidang keguruan dan perawat kesehatan selama 2 tahun. OVVO pertama bidang keguruan dibuka di Yoka tahun 1948 selanjutnya tahun 1951 dipindahkan ke Serui, dan bersamaan dengan itu dibuka

juga di Merauke oleh gereja Katolik, di Fakfak oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan Maluku sehingga semuanya berjumlah 4 sekolah guru untuk memenuhi kebutuhan guru Sekolah Kampung.

11

http://media-kitlv.nl/image/d3f66e31-d967-46ef-9265-33fdeaa84c45 (1954)11

sementara menerima pelajaran Geometri

School) di Kotaraja, Hollandia (Jayapura)

(13)

86 PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA:

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

Setelah mendapat subsidi dari pemerintah, Sekolah Lanjutan Keguruan ini berubah menjadi ODO (Opleidingsschool voor Dorpsonderwijzers) untuk masa pendidikan selama 3 tahun dan jumlahnya bertambah menjadi delapan buah. Sekolah lanjutan lainnya setingkat dengan PMS adalah MULO (Meeruitgebreit Lager Onderwijs) didirikan bagi anak-anak Eropa. Sekolah Kejuruan setingkat PMS adalah Sekolah Teknik Rendah (Lagere Technische School) dan Sekolah Kerumah-tanggaan (Huishoudschool). Setelah mena-matkan sekolah setingkat PMS dapat melanjutkan ke Sekolah Umum Mene-ngah Atas yakni HBS (Hogere Burgerschool) dan Sekolah Guru Atas

(Kweek-school).

Pada masa pemerin-tahan Belanda, sebagian besar urusan pendidikan diserahkan kepada

masya-rakat melalui lembaga

penyelenggara gereja.

Pemerintah bertanggung-jawab memberikan du-kungan keuangan melalui subsidi termasuk untuk pembayaran gaji guru.

Gubernur membentuk suatu dewan penasihat pendidikan yang disebut

Community Development (Tim Aspek Sejarah Daerah Irian Jaya, 1984 p. 60) yang berfungsi mengkaji dan memberi masukan kepada gubernur menge-nai seluruh kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh rakyat.

Menu-12

http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?ccid=217021 sementara belajar mesin mobil (1954)12

(14)

JAMES MODOUW

87

rut pengalaman seorang Kepala Distrik yang bertugas di Teluk Etna, Bapak Arnold Mampioper (Visser dan Marey, 1980 p. 100), pemberian subsidi kepada sekolah oleh pemerintah tidak diberikan dengan mudah tetapi berdasarkan penelitian dan pemantauan jangka panjang tentang kondisi masyarakat, jumlah penduduk dan keluarga, jumlah anak usia sekolah, tanggungjawab masyarakat dalam mendukung kebutuhan sosial ekonomi pendidikan. Subsidi mulai diberikan sejak berlakunya Keputusan Guber-nur New Guinea Belanda Nomor 22 Tanggal 1 Juni 1955 Tentang Peraturan Subsidi Pengajaran Rendah(Lagere Onderwijzs

on Subsidie Ordonnatie) diberlakukan mulai 1 Januari 1956 (Tim Aspek

Sejarah Daerah Irian Jaya, 1984p. 60).

Penyediaan layanan pendidikan dasar pada masa pemerintah Belanda yang dimotori oleh gereja sangat memperhatikan latar belakang tradisi dan kebudayaan setiap kelompok masyarakat. Materi pembelajarannyapun disesuaikan dengan tingkat perkembangan peradaban masyarakat di setiap lokasi. Sekolah pada masa ini juga sudah menerapkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dan juga buku-buku dalam bahasa daerah seperti di daerah Biak menggunakan Surat Wasya dan Bahasa Melayu “Itu Dia”. Materi belajar bagi Sekolah Pengadaban berbeda dari Sekolah Kampung dan Sekolah Rendah.

Hingga tahun 1955 gereja telah menyelenggarakan 979 sekolah yang terdiri atas Sekolah Pengadaban 433 buah dan Sekolah Kampung 546 buah. Sekolah Pengadaban dan Sekolah Kampung model C yang masih menjalankan program Sekolah Pengadaban sepenuhnya menjadi tang-gungan gereja, sedangkan Sekolah Kampung model A, B dan khusus model C yang telah diakreditasi setara dengan model A dan B, mendapat subsidi pemerintah.

(15)

88 PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA:

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

Dari Grafik 4.1 dapat dilihat bahwa sekolah model C yang berprogram pengadaban terus mengalami penurunan, Artinya terjadi peningkatan ke-mampuan peradaban masyarakat di lokasi sekolah tersebut sehingga status sekolah berubah menjadi model C bersubsidi, B atau A. Terjadi perbaikan dan peningkatan mutu dan jumlah model C menjadi B dan model B menjadi A bersamaan dengan terjadinya perkembangan perababan masyarakat dilokasi tersebut. Model sekolah yang dikembangkan selalu berdasarkan konteks tingkat perkembangan peradaban masyarakat.

Pada awal perkembangan peradaban Papua, masyarakat di sepanjang pesisir telah memiliki peradaban pada tingkat kebudayaan Megalitik awal (zaman perunggu dan besi). Sedangkan di pedalaman dan pegunungan karena sulitnya akses, peradabannya belum mencapai taraf Megalitik tetapi dapat dikatakan berada pada taraf perkembangan kebudayaan Mesolitik akhir (zaman batu madia dan meramu) maupun Neolitik (zaman batu muda dan bercocok tanam). Ketika masa berlalu, tingkat peradaban orang Papua di pesisir maupun di pedalaman ikut berkembang bersama per-gaulannya dengan kaum pedagang maupun penjelajah serta pengaruh pendidikan yang disediakan oleh gereja hingga memasuki masa kebu-dayaan Megalitik (perunggu dan bercocok tanam). Karena luasnya wilayah Papua dan persebaran penduduk yang terpencar-pencar, masih banyak kelompok suku orang Papua yang belum terjamah. Sementara peradaban bangsa-bangsa di dunia terus berkembang meninggalkan masa prasejarah rata-rata 100 tahun (1 abad) SM dengan mengenal tulisan dan memasuki era teknologi maju pada abad 20. Orang Papua baru meninggalkan masa prasejarah dengan mengenal tulisan pada abad ke 20. Ini berarti 2100 tahun keterlambatan orang Papua baru memasuki peradaban maju, dan itupun masih berkisar pada penduduk di pesisir pantai.

(16)

JAMES MODOUW

89

Grafik 4. 1. Perkembangan Sekolah Kampung

Sumber : Diolah dari Tim Aspek Sejarah Pendidikan Irian Jaya 1855-1980 (1984).

Perkembangan ini memberikan pengetahuan penting untuk dipahami bahwa dari seluruh perkembangan sejarah dan peradaban orang Papua dari masa lalu hingga saat ini adalah: Proses transformasi untuk mengantar suatu masyarakat kepada suatu tingkat kebudayaan dan peradaban tertentu, sangat tergantung kepada tingkat peradaban yang telah dimiliki saat ini. Oleh karena itu rancangan layanan pendidikan sebagai suatu menu konstruksi sosial dan budaya, mestinya disajikan dengan menu yang berbeda untuk setiap tingkat perkembangan peradaban orang Papua. Artinya kurikulum sebagai menu konstruksi sosial dan model serta metode pengajaran sebagai pendekatannya harus selalu berbeda pada setiap tempat, setiap kelompok belajar dengan tingkat perkembangan yang berbeda dan memiliki tingkat kebutuhan pembelajaran yang berbeda berdasarkan tingkat perkembangan peradabannya.

Bab berikutnya akan memberikan gambaran tentang perubahan-perubahan yang terjadi dengan penyelenggaraan pendidikan di Papua, khususnya pendidikan dasar, pada masa awal Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, sampai dengan berakhirnya rezim Orde Baru.

(17)

90 PENDIDIKAN DAN PERADABAN PAPUA:

Suatu Tinjauan Kritis Transformasi Sosial

Murid VVS Yoka tahun 1948 di Pimpin Oleh Pdt. I. S. Kijne, (Koleksi Foto: G. J. Held)13

Pdt. I. S. Kijne Sebagai Kepala Sekolah Guru Injil di Serui. (Koleksi Foto: G. J. Held)14

13 http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/grid/form/advanced/start/ 4?q_searchfield=dominee+i.s.+kijne 14 http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/grid/form/advanced/start/ 4?q_searchfield=dominee+i.s.+kijne

(18)

Gambar

Grafik 4. 1. Perkembangan Sekolah Kampung

Referensi

Dokumen terkait

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Sub Bagian, Kepala Seksi dan kelompok jabatan fungsional wajib menerapkan

Kampus Politeknik terletak lebih kurang 14 km dari Bandar Port Dickson. Sekiranya anda dari Kuala Lumpur atau Melaka menuju ke arah Seremban melalui Lebuhraya Utara-Selatan,

Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian langsung di Titik Singgah Pujasera. Sumber data primer yang peneliti gunakan adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara

Guru memberikan contoh-contoh soal cerita tentang penjumlahan bilangan bulat Tahap Elaborasi dengan kegiatan sebagai berikut :.. Guru mengelompokan siswa dalam 5 kelompok,

Tidak sedikit para pegawai negeri yang secara fisik hadir di ruang kerja namun tidak secara mental, mereka gagal memposisikan diri secara utuh dalam tugas dan tanggung jawab

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum proses klorinasi, kandungan sianida adalah 51,77 mg/L dan nilai KOK limbah cair adalah 9953,01 mg/L; sedangkan setelah proses klorinasi