• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBENIHAN DAN PELEPASAN VARIETAS TANAMAN PAKAN TERNAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBENIHAN DAN PELEPASAN VARIETAS TANAMAN PAKAN TERNAK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERBENIHAN DAN PELEPASAN VARIETAS TANAMAN

PAKAN TERNAK

J. RACHMAN HIDAJAT

Puslitbang Tanaman Pangan , Jl. Merdeka Bogor PENDAHULUAN

Berdasarkan aktivitasnya, sistem perbenihan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sistem formal (formal system) dan sistem non-formal (non formal system). Sistem formal merupakan serangkaian kegiatan dalam sistem perbenihan yang dimulai dari pemuliaan sampai pemasaran, yang dilakukan oleh “tenaga ahli” dan didukung oleh peraturan perundangan, yang mensuplai benih kepada konsumen (petani) dengan jaminan mutu tertentu. Sistem non formal adalah kegiatan di dalam komunitas petani yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan benih untuk musim tanam pemeliharaan berikutnya. Kegiatan perbenihan non-formal dan yang berskala lokal ada yang bersifat antar wilayah. Volume benih yang diperdagangkan biasanya berskala kecil sampai sedang, dan tidak ada mekanisme pengendalian mutu standar yang memadai.

Varietas unggul merupakan komponen teknologi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap peningkatan produksi dan mutu hasil pertanian. Oleh karena itu, kegiatan pemuliaan merupakan program penelitian utama dari Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Pertanian. Dalam dekade terakhir telah terjadi perubahan paradigma dalam berbagai bidang, termasuk dalam penelitian pertanian. Sebelumnya program penelitian pemuliaan diarahkan untuk menghasilkan VUB (Varietas Unggul Baru) yang dapat dimanfaatkan oleh petani secara cuma-cuma artinya petani hanya membayar harga benih tanpa membayar royalti. Varietas yang dikembangkan oleh lembaga pemerintah dianggap milik masyarakat (public domain), sehingga tidak pernah merasa perlu untuk melakukan langkah-langkah perlindungan terhadap kekayaan intelektual dari suatu varietas. Pengambilan dan penanaman benih dari calon-calon varietas oleh petani dianggap sebagai bagian dari desiminasi VUB secara spontan, sehingga hal tersebut tidak pernah dicegah bahkan

difasilitasi. Desiminasi VUB dianggap berhasil bila pada saat varietas dilepas, petani juga telah banyak menanam varietas tersebut. Saat itu perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) belum mendapat pertanian. Kondisi tersebut sangat tidak kondusif bagi pemuliaan dan industri benih swasta.

Distribusi dan komersialisasi varietas unggul yang efektif dan efisien adalah melalui industri benih. Untuk memacu kegiatan pemuliaan oleh swasta diperlukan iklim yang kondusif untuk menciptakan pasar bagi benih dari varietas unggul yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dicapai antara lain dengan adanya pelindungan HKI dalam pemuliaan tanaman terutama untuk jenis-jenis tanaman yang memiliki ekskludabilitas seperti halnya tanaman selain hibrida.

Tuntutan baru yang akan segera muncul dalam tahun-tahun mendatang terutama setelah dikeluarkannya UU-PVT (Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman) adalah perlindungan HKI khususnya pemuliaan tanaman (Breeders’Right) dan komersialisasi teknologi hasil penelitian. Untuk mengantisipasi tuntutan tersebut, perlu dilakukan harmonisasi antara manajemen pemuliaan dan produksi benih sumber dengan kebijakan komersialisasi dan PVT.

SISTEM PERBENIHAN NASIONAL SAAT INI

Benih sebagai komoditas perdagangan memerlukan adanya jaminan mutu, karena dalam perdagangan dan distribusi benih diarahkan untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen dalam rangka memantapkan ketahanan pangan dan mempercepat pembangunan pertanian.

Selama ini pelaksanaan pengendalian mutu masih mempergunakan sistem sertifikasi benih berdasarkan Skema Organisasi Pengembangan Kerjasama Ekonomi (Organization for

(2)

Economic Cooperation and Development-OECD Scheme) untuk sertifikasi varietas di lapangan, sedangkan untuk pengujian di laboratorium mempergunakan metoda pengujian laboratorium yang dikeluarkan oleh International Seed Testing Association - ISTA. Program sertifikasi benih tersebut telah ditetapkan di Indonesia sejak tahun 1971. Dalam sistem sertifikasi (DIREKTORAT

JENDERAL PERTANIAN TANAMAN PANGAN,

1988), dikenal empat kelas benih, yaitu: benih penjenis (breeder seed atau BS), benih dasar (foundation seed atau FS), benih pokok (stock seed atau SS) dan benih sebar (extention seed atau ES).

Uraian dari keempat kelas benih tersebut adalah sebagai berikut:

− Benih pejenis (breeder seed) atau disingkat BS diproduksi dengan pengawasan sepenuhnya oleh pemulia tanaman yang bersangkutan atau instansinya dan merupakan sumber untuk perbanyakan benih dasar. Benih penjenis biasanya ditandai dengan label putih. − Benih dasar (Foundation seed/FS) atau

disingkat BD adalah benih keturunan pertama dari benih penjenis yang diproduksi dibawah bimbingan intensif dan pengawasan yang ketat, sehingga kemurnian yang tinggi dari varietas yang bersangkutan dapat dipelihara. Benih dasar biasanya ditandai dengan label putih. − Benih pokok (Stock Seed) atau disingkat

SS adalah benih keturunan dari benih penjenis atau benih dasar yang diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa, sehingga identitas dan tingkat kemurnian varietas yang ditetapkan dapat dipelihara dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Benih pokok ditandai dengan label ungu. − Benih Sebar (Extention Seed) atau

disingkat ES adalah benih keturunan dari benih penjenis, benih dasar atau benih pokok yang diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian varietas dapat dipelihara dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Benih sebar biasanya ditandai dengan label biru.

Untuk distribusi benih, kelembagaan yang terlibat selama ini adalah :

a. Benih penjenis (BS)

Pengadaan dan distribusi benih penjenis lingkup Badan Litbang Pertanian saat ini ditangani oleh Balai Penelitian. Benih penjenis diproduksi oleh penyelenggara pemuliaan (Puslitbang, Balit, BATAN dan Perguruan Tinggi).

b. Benih dasar (FS)

Benih dasar dihasilkan di Balai Benih Induk atau produsen benih. Distribusi benih dasar diatur oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Tingkat I Propinsi kepada Balai Benih Utama (BBU), BUMN (PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani), Koperasi, Swasta serta penangkar benih terpilih.

c. Benih Pokok (SS)

Benih pokok (SS) diproduksi oleh BBU, BUMN, Swasta maupun penangkar benih terpilih. Benih pokok disalurkan kepada BBU, Bimas/BUMD, Swasta, Koperasi dan penangkar benih perorangan.

d. Benih sebar (ES)

Benih sebar diproduksi oleh BBU, BUMN/BUMD, Koperasi, Swasta atau para penangkar benih. Benih sebar biasa disebut benih komersil. Benih sebar disalurkan/dipasarkan kepada konsumen pengguna/masyarakat/petani, baik secara langsung maupun melalui agen-agen atau kios-kios.

Sistem sertifikasi benih yang diterapkan di Indonesia tersebut sepenuhnya mengadopsi OECD Scheme untuk pengawasan di lapangan (ISTA, 1971) dan ISTA Rules untuk pengujian di laboratorium (ISTA, 1985) terutama untuk kelas benih dasar, benih pokok dan benih sebar. Untuk kelas benih penjenis (BS), sistem pengelolaan masih di bawah pengendalian pemulia pemilik varietas yang mana hal ini tidak mencerminkan adanya sistem jaminan mutu secara profesional. Oleh harena itu Badan Litbang Pertanian dengan nomor PDN 1 tahun 2000 telah mengeluarkan Pedoman Pengelolaan Benih Sumber lingkup Badan Litbang Pertanian yang maksudnya antara lain mengatur pengelolaan benih sumber dalam hal ini sistem produksi dan distribusi benih penjenis varietas dengan jaminan sistem mutu sebagai upaya pembaharuan dan perbaikan sistem pengelolaan benih penjenis yang selama ini dikelola langsung oleh pemulia tanpa sistem jaminan mutu.

Penerapan kedua pedoman dalam rangka sertifikasi dan pelabelan benih membutuhkan

(3)

biaya yang cukup besar, karena pada prinsipnya dilakukan dengan seratus persen pemeriksaan dan tidak memberikan kesempatan untuk dilaksanakan oleh produsen benih itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem yang dapat memberikan jaminan mutu terhadap benih dengan biaya yang pantas dan memberikan peluang untuk dikembangkan pola kemandirian pengendalian mutu (self regulatory control).

Sejalan dengan tuntutan perdagangan global yang mengandalkan pada tingkat kompetitif yang tinggi yang menekankan pada masalah efisiensi, produktivitas dan mutu. Dalam kaitan ini pengembangan standardisasi merupakan salah satu piranti (tool) untuk mewujudkan efisiensi, produktivitas dan mutu dalam mengantisipasi perubahan lingkungan strategis saat ini dan masa mendatang. Keadaan ini terdorong oleh besarnya tuntutan konsumen akan mutu terhadap produk yang dihasilkan sesuai dengan meningkatnya kehidupan masyarakat. Konsumen sudah menuntut adanya jaminan mutu sejak awal proses produksi hingga produk sampai ke tangan konsumen dengan tepat mutu dan aman, tepat harga, tepat waktu, tepat lokasi, tepat jumlah dan tepat ukuran.

Diakui bahwa jaminan mutu berdasarkan seratus persen pemeriksaan dengan biaya yang mahal dan hanya pemeriksaan produk akhir saja sudah tidak dapat menjamin mutu secara keseluruhan. Sejalan dengan perubahan terhadap persepsi jaminan mutu, maka telah dikembangkan berbagai konsep jaminan mutu secara menyeluruh sejak awal produksi hingga produk akhir seperti sistem manajemen mutu yang dikeluarkan oleh organisasi standar internasional (International Organization for Standardization - ISO) yang dikenal dengan ISO 9000 seri, sistem HACCP, Quality Management Program (QMP), Save Quality Food 2000 (SQF 2000) untuk keamanan pangan, ISO 14000 untuk manajemen lingkungan, dan lain sebagainya pada produk yang dihasilkan. Beberapa ahli menyebutkan sebagai awal dari revolusi mutu, dimana mutu tidak hanya menekankan pada mutu produk akhir atau produk yang dihasilkan, tetapi lebih mengarah pada sistem jaminan mutu terpadu. Sistem jaminan mutu terpadu ini mengembangkan sistem dengan filosofi bahwa bahan baku yang bermutu baik, hanya apabila

diikuti dengan cara penanganan dan pengolahan yang baik akan menghasilkan produk dengan mutu yang baik. Untuk menghasilkan jaminan mutu sebagai salah satu usaha memenangkan persaingan dalam perdagangan produk yang dihasilkan Indonesia, dikembangkan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), untuk mewujudkan jaminan mutu produk yang dihasilkan.

Sejak tahun 1980-an Indonesia telah menunjukkan suatu komitmen yang jelas terhadap peningkatan mutu produk domestik (barang dan jasa). Untuk mengantisipasi persaingan dalam pasar bebas. Badan standardisasi nasional yang dibentuk melalui Keputusan Presiden merupakan satu-satunya lembaga di Indonesia yang diberi wewenang untuk mengatur dan memfasilitasi standardisasi. Komitmen pemerintah dalam standardisasi produk-produk pertanian juga terlihat makin jelas dengan penerbitan Surat-surat Keputusan Menteri Pertanian tentang Standardisasi, Akreditasi dan Sertifikasi (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/4/ 1994), serta tentang pembentukan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dalam produksi benih (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 1100.1/Kpts /KP.150/10/1999). Hal tersebut menunjukkan bahwa sejak tahun 1999 pemerintah melalui Menteri Pertanian telah mencanangkan penerapan Sistem Mutu seperti misalnya ISO serie 9000 sebagai suatu alat dalam industri termasuk industri benih untuk meningkatkan mutu dan daya saing produk (PRIYADI, 1996,

BOWE, 1992 dan ABENG, 1992). Oleh karena itu, di samping penerapan program sertifikasi benih berdasarkan OECD scheme (ISTA, 1971) dan ISTA rules (ISTA, 1985), maka alternatif lain adalah penerapan sistem mutu yang merupakan mekanisme pengendalian mutu dalam pengelolaan benih sumber.

PARADIGMA BARU DALAM PENGELOLAAN BENIH SUMBER Manajemen mutu merupakan seluruh kegiatan dari keseluruhan fungsi manajemen yang menetapkan kebijakan mutu, pengendalian mutu, jaminan mutu dan peningkatan mutu dalam sistem mutu.

(4)

Manajemen mutu adalah tanggung jawab dari seluruh tingkat manajemen, tetapi harus dipimpin oleh pimpinan puncak dan penerapannya melibatkan seluruh anggota organisasi. Dalam manajemen mutu, pertimbangan diberikan untuk aspek ekonomi. Benih sumber yang dihasilkan merupakan komoditas perdagangan, ada yang mempunyai nilai permintaan yang tinggi, ada yang mempunyai nilai pemintaan yang rendah, dan sebagai bahan baku untuk menghasilkan benih sebar, maka dalam memproduksi benih sumber harus mempunyai jaminan mutu agar benih sebar yang dihasilkan mempunyai jaminan mutu.

Sejalan dengan dikembangkannya SSN dengan penerapan SNI sebagai usaha untuk mewujudkan jaminan mutu, maka perlu dikembangkan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) secara mandiri dan efisien dalam memproduksi benih sumber (BS dan FS). Program ini diwujudkan melalui pengembangan jaminan mutu pada sarana produksi, jaminan mutu pada proses produksi, jaminan mutu pada penanganan, jaminan mutu pada pengolahan, jaminan mutu pada distribusi, jaminan mutu pada pemasaran dan jaminan mutu pada proses konsumsi (penggunaan) dari benih sumber.

Untuk menjamin mutu pada tingkatan tersebut, maka pengembangan jaminan mutu diarahkan pada pengembangan pola kemandiran pengendalian mutu.

Dengan pola ini tanggung jawab mutu terletak pada produsen benih sumber itu sendiri, sedangkan peran pemerintah diarahkan pada pemberian fasilitas bagi produsen benih sumber dalam rangka penyelenggaraan penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT), melakukan pembinaan dan pengawasan mutu serta pelayanan penggunaan tanda SNI sebagai jaminan mutu terhadap benih sumber yang dihasilkan.

Kendala teknis dalam industri dan perdagangan benih yang berasosiasi dengan mutu antara lain adalah ketersediaan benih sumber (BS) bermutu yang belum memadai. Pada saat-saat diperlukan oleh konsumen (para penangkar benih), BS sering tidak ada, atau bila ada jumlah dan mutunya tidak sesuai dengan preferensi konsumen. Keluhan karena mutu benih sumber yang tidak memuaskan konsumen sering terdengar. Saat ini, Badan

Litbang Pertanian dengan sejumlah Balai Penelitiannya tidak selalu mampu memenuhi permintaan dan memberikan jaminan mutu atas benih sumber kepada para penangkar dan produsen benih. Secara umum, kondisi pengelolaan benih sumber (BS) masa lalu dapat digambarkan sebagai berikut:

− Pada tanaman pangan, sebagian BS dari varietas unggul yang dihasilkan di Balai Penelitian diproduksi oleh breeder, dan sebagian lainnya diproduksi oleh BUMN dengan supervisi dari breeder. BUMN dalam memproduksi BS belum mencerminkan mekanisme perlindungan terhadap HAKI dari varietas tersebut. − Prosedur baku untuk produksi BS telah

dipahami betul oleh pemulia dan teknisi, tetapi prosedur tidak terdokumentasi (tertulis) sehingga sulit untuk mengevaluasi kesesuaian (confirmity) antara pelaksana produksi dengan prosedur baku. Hal ini dapat memperbesar peluang terjadinya penurunan (cacat) mutu dari BS yang dihasilkan.

− BS yang dihasilkan breeder di Balai Penelitian sebagian disalurkan ke produsen benih (BBI) melalui Direktorat Perbenihan, sebagian lainnya disimpan di Balai Penelitian untuk kepentingan breeder dan peneliti lain.

− BS yang diproduksi BUMN, sebagian disimpan di BUMN yang bersangkutan untuk kepentingan mereka sendiri dan sebagian lagi diserahkan kepada Direktorat Perbenihan.

− Permintaan BS dari swasta kepada breeder atau Balai Penelitian cukup banyak, tetapi masih menghadapi masalah dalam perlindungan terhadap HAKI.

− Pengendalian mutu dalam produksi BS hanya dilakukan secara internal oleh breeder sendiri.

− Elemen-elemen yang lazim terdapat dalam penerapan Total Quality Management atau sistem standarisasi nasional (misal organisasi yang jelas, kebijakan mutu, pengendalian proses, audit internal, perbaikan terus menerus dengan melibatkan seluruh personel terkait, dan prosedur dan alat standar), belum terlihat jelas dalam pengendalian mutu BS.

(5)

Gambar 1. Pola pendistribusian benih sumber tanaman masa lalu.

− Jadi, dengan kondisi seperti ini, seperti pengendalian mutu benih sumber belum mampu memberikan jaminan mutu yang memadai bagi BS yang dihasilkan.

Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi seperti di atas, diantaranya tergantung kepada sumberdaya manusianya sendiri, fasilitas yang ada (kebun, rumah kaca, rumah kasa, laboratorium dsb.) sarana maupun peralatan yang dipunyai (PRABOWO et al., 2004).

Pola pengembangan dan pendistribusian benih sumber tanaman dapat digambarkan sebagai berikut:

Pola tergambarkan secara sederhana, benih sumber (BS) langsung didistribusikan dari pemulia kepada Direktorat Benih, BBI dan BUMN tanpa adanya sentuhan manajemen mutu. Mutu benih ditentukan oleh pemulianya sendiri. Hal ini merupakan kelemahan utama dalam sistem pengelolaan benih sumber yang terjadi selama ini, sehingga mengakibatkan tidak atau kurang terjaminnya mutu benih untuk kelas-kelas benih selanjutnya.

Untuk memperkokoh jaminan mutu dan meningkatkan ketersediaan benih sumber agar mampu mendukung komersialisasi VUB dan industri benih, diperlukan adanya program benih penjenis di lingkungan Badan Litbang Pertanian yang berskala komersial dan berorientasi pasar. Produksi dan penyimpanan Benih Penjenis atau variety maintenance merupakan kegiatan konservasi benih otentik (reference seed, authentic seed, standard sample) yang jumlahnya sangat terbatas sebagai basis untuk perbanyakan benih VUB selanjutnya (DELLOUCHE, 1971; LAVERACK,

1995). Untuk menjamin mutu dan

keberlanjutan ketersediaan BS bagi para produsen benih, maka kegiatan produksi BS harus ditangani secara professional oleh suatu unit khusus yaitu Unit Produksi BS yang menerapkan mekanisme pengendalian mutu yang sesuai dan memadai.

Untuk mencirikan pengelolaan benih sumber yang profesional, maka ruang lingkup kerja Unit Produksi Benih Sumber (UPBS) adalah sebagai berikut :

a. Menentukan proses-proses yang diperlukan untuk membangun sistem mutu, yang mencakup proses yang terkait dengan manajemen, sumber daya, produk (output), dan evaluasi kinerja.

b. Menetapkan urutan proses dan keterkaitan antar proses

c. Menetapkan kriteria dan metode evaluasi untuk memastikan bahwa proses manajemen unit pengelola benih sumber (mulai dari produksi sampai distribusi) berjalan efektif

d. Memastikan ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan benih sumber

e. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap proses-proses pengelolaan benih sumber

f. Melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang direncanakan dan untuk perbaikan berkelanjutan.

Dengan demikian, untuk melaksanakan fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab, maka UPBS harus:

a. Mempunyai struktur organisasi yang jelas dengan sumber daya manusia yang profesional Benih Sumber (NS, BS) Pemulia Direktorat Perbenihan Tanaman BUMN BBI BBU/Penangkar Benih

(6)

b. Memiliki fasilitas dan sarana berkaitan dengan penerapan sistem manajemen mutu secara berkelanjutan

c. Produksi benih sumber dengan penerapan persyaratan sistem manajemen mutu d. Memfokuskan pada pelanggan dengan

memperhatikan persyaratan pelanggan. Dalam hal ini harus berperan pada kebijakan mutu

e. Melakukan dokumentasi sistem manajemen mutu yang mencakup:

− dokumentasi mengenai kebijakan mutu dan tujuan mutu

− dokumentasi panduan mutu, prosedur kerja & dokumen lain yang diperlukan

f. Memiliki komitmen manajemen dalam pengembangan dan implementasi sistem manajemen mutu, serta dalam perbaikan berkelanjutan melalui sosialisasi kebijakan dan tujuan, review manajemen dan penyediaan sumber daya.

Contoh struktur organisasi UPBS yang sudah dibentuk di Balai Penelitian Tanaman Padi seperti pada Gambar 2.

Dengan telah terbentuknya UPBS yang sudah menghasilkan produksi benih yang berwawasan sistem manajemen mutu (SMM), maka alur distribusi benih sumber dapat digambarkan seperti Gambar 3.

Gambar 2. Struktur organisasi UPBS Balitpa

Gambar 3. Ilustrasi distribusi benih sumber ber-SMM

Divisi Produksi UKT • Divisi Promosi • Divisi Pemasaran Divisi Keuangan Administrasi Divisi Gudang Divisi Pengolahan Benih Divisi GKM Manager Organisasi UPBS

Sistem Manajemen Mutu Benih sumber (NS dan BS) Pelanggan : - Kebutuhan terpenuhi - Preferensi didapat - Kepuasan tercapai Penangkar (FS,SS,ES) Sertifikasi

Distribusi benih bermutu

Petani /Pengusaha

(7)

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DAN LANGKAH PENYEMPURNAAN Permasalahan

− Masih kurangnya pemahaman tentang benih sumber dan kaitannya dengan SMM, sertifikasi benih dan UPBS

− Masih kurangnya pengetahuan tentang profesionalisme SDM, terutama dalam penerapan SMM

− Masih kurangnya susunan organisasi serta manajemen UPBS

− Masih kurangnya fasilitas dan peralatan perbenihan benih sumber yang memadai. Langkah-langkah penyempurnaan

− Penyempurnaan susunan organisasi serta manajemen UPBS lingkup Puslitbang disesuaikan dengan visi, misi dan kondisi masing-masing komoditas

− Sosialisasi intensif tentang pemahaman benih sumber dalam kaitannya dengan SMM, sertifikasi benih serta UPBS kepada para peneliti/pemulia.

− Peningkatan profesionalisme SDM terutama dalam penerapan SMM

− Melengkapi dan meningkatkan fasilitas dan peralatan perbenihan benih sumber pada UPBS di Balit lingkup Puslitbang. SISTEM PERBENIHAN TANAMAN

PAKAN TERNAK

Untuk pengembangan sistem perbenihan tanaman pakan ternak yang selama ini belum

diperhatikan, seyogianya mengikuti sistem perbenihan yang saat ini sedang berjalan disesuaikan dengan rencana reformasi sistem perbenihan program Badan Litbang Pertanian.

Di dalam pengelolaan produksi benih sumber, kunci utama pengelolaan yaitu dalam hal sistem penyerbukan tanaman, apakah tergolong penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang. Sebab sistem penyerbukan akan menentukan sistem produksi benih dari varietas atau spesies tanaman bersangkutan.

Beberapa contoh tanaman pakan ternak potensial yang banyak diusahakan di Indonesia, disajikan pada Tabel 1.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sistem produksi benih ketujuh spesies tanaman pakan ternak adalah sebagai berikut:

1. Apabila varietas dari spesies tersebut sudah dilepas, perlu dipersiapkan benih inti (Nucleus Seed) dan benih penjenis (BS) dari varietas atau spesies dimaksud. Benih penjenis pada dasarnya merupakan turunan dari benih inti (Nucleus Seed). 2. Pembentukan Unit Produksi Benih

Sumber (UPBS) untuk tanaman pakan ternak melalui Surat Keputusan Kepala Puslit atau Kepala Balit yang dilengkapi dengan organisasi dan tanggung jawab yang jelas serta tertulis untuk memudahkan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan.

3. Menerapkan manajemen mutu untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan dan perlindungan HKI.

4. Penyusunan standar (prosedur, mutu) berdasarkan format baku.

5. Dokumentasi dan manajemen data.

Tabel 1. Daftar pakan ternak potensial di Indonesia

Pakan Ternak Nama lokal Sistem penyerbukan

Grass

1. Panicum maximum cv purple guinea Rumput benggala Menyerbuk silang

2. Setaria sphacelata cv Kanzungula Setaria Menyerbuk silang

3. Brachiaria brizantha Rumput palisade Menyerbuk sendiri/ vegetatif Kacang-kacangan Perdu

4. Centrosema pubescens Sentro Menyerbuk sendiri

5. Brachis glabrata Kacang akar Menyerbuk sendiri

Kacang-kacangan Pohon

6. Calliandra Calothyrsus Caliandra Menyerbuk sendiri

7. Desmodium heterocarpon Buntut meong (?)

(8)

6. Penyimpanan benih inti dan benih penjenis.

7. Audit dan perbaikan.

8. Pelatihan dalam manajemen mutu dan HKI.

9. Penyediaan laboratorium penguji yang terakreditasi untuk analisis mutu benih khususnya benih penjenis.

SISTEM PELEPASAN VARIETAS UNGGUL TANAMAN

Pengajuan untuk pelepasan varietas tanaman yakni dengan membuat proposal pengajuan pelepasan varietas.

Tata cara pengusulan pelepasan varietas 1. Usulan pelepasan varietas dituangkan

dalam bentuk proposal yang disampaikan kepada Sekretariat Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V) di Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan.

2. Proposal telah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan sidang, apabila melewati ketentuan tersebut, akan diikut sertakan pada sidang berikutnya.

3. Sekretariat melakukan penelaahan awal terhadap proposal yang diterima, bila ada yang tidak memenuhi syarat diminta untuk menyempurnakan kembali.

4. Setelah usulan diterima, Sekretariat menentukan waktu sidang.

5. Ketua TP2V akan mengirim undangan kepada para pengusul untuk mempresentasikan usulannya masing-masing kepada TP2V.

6. Tim mengevaluasi usulan dalam rapat tertutup.

7. Hasil sidang akan disampaikan kepada pengusul.

Perkembangan yang terjadi saat ini

1. Maraknya company dan daerah yang mengusulkan pelepasan varietas padi hibrida.

− Pada saat pelepasan varietas, hampir semua pengusul tidak siap untuk memproduksi benih padi hibrida. Ada kecenderungan, para pengusul memanfaatkan momentum jangka

waktu 1-2 tahun setelah pelepasan untuk mengimpor langsung benih padi hibrida dari Cina.

− Pemerintah Cina atau pemilik tetua hibrida di Cina tidak melepas/mendatangkan maintainer ke Indonesia. Dengan demikian, adanya ketentuan bahwa padi hibrida yang dilepas, harus diproduksi di dalam negeri (Indonesia), kurang mendapat jaminan dari pihak pengusul.

− Apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan memberi izin impor tetua (CMS, maintainer) terus menerus dalam rangka memproduksi benih padi hibrida, mengakibatkan adanya ketergantungan kepada negara asal tetua hibrida. Hal ini bertentangan dengan arah kebijakan pemerintah saat ini.

− Adanya salah pengertian, bahwasannya “pengembangan varietas yang bersifat spesifik lokasi” merupakan kebijakan pelepasan varietas untuk suatu daerah tertentu. Akibatnya timbul kecenderungan para pengusul melakukan uji multilokasi hanya di wilayah/propinsi tersebut saja (di satu propinsi). Apabila salah pengertian tersebut berkelanjutan, akan menimbulkan kesulitan pengawasan peredaran benih dikemudian hari, khususnya dalam hal pembatasan penyebaran benih varietas tersebut pada propinsi yang telah ditetapkan.

2. Penyimpangan kode etik (Pengalaman dalam penilaian)

− Ada indikasi bahwa peneliti yang bersangkutan/sangat jarang terjun langsung di lapangan.

− Log-book, tidak pernah/jarang digunakan sebagai acuan kendali kerja. Padahal seluruh rekaman aktifitas kegiatan harian ada pada log-book.

− Kondisi lapang tidak dikuasai, sehingga keragaman data sangat tinggi.

− “Ketidak jujuran” peneliti / pengamatan data, data “disulap di atas meja”, sehingga nilai data, kurang masuk akal.

(9)

Paradigma baru dalam pelepasan varietas tanaman pangan saat ini

1. Penyempurnaan persyaratan dalam evaluasi/penilaian pelepasan varietas tanaman.

2. Mengadakan revisi SK Mentan tentang Pengujian, Penilaian dan Pelepasan Varietas dengan ketentuan-ketentuan yang disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi saat ini.

Penyempurnaan persyaratan dalam evaluasi/penilaian pelepasan varietas tanaman.

Selain memenuhi persyaratan yang telah berlaku sebelumnya maka persyaratan lainnya adalah:

1. Menyampaikan dengan jelas, rinci dan kuantitatif tentang keunggulan dari galur/klon yang diusulkan dibandingkan dengan varietas unggul “referensi” maupun varietas unggul yang baru lainnya.

2. Untuk mendukung informasi tersebut pada butir (1), maka perlu dilampirkan data penunjang dan data mentah. Semua dokumen data harus disyahkan dengan tanda tangan oleh penanggung jawab instansi penguji (Kepala Balai, Kepala BPTP, Ketua Jurusan/Fakutas, Kepala Dinas, Direktur/Manager Litbang dsb.). 3. Data penunjang juga dilengkapi dengan

foto tanaman yang diusulkan dalam ukuran kuarto, bersama foto varietas pembandingnya; misalnya IR64, dan Ciherang/ Gilirang.

4. Menunjukkan bukti fisik tanaman, benih, biji/buah dan atau produk proses dari galur/klon yang diusulkan pada waktu Persentasi Pengusulan Pelepasan Varietas. 5. Menyebutkan secara resmi nama pemulia

tanaman (Breeder) yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan perakitan dan atau pengujian di Indonesia dan disertai dengan biodata yang menunjukkan pengalaman kerja sebagai pemulia tanaman.

6. Apabila pengusul tidak mempunyai tenaga pemulia tanaman sendiri maka dapat bekerjasama secara resmi dengan lembaga pemuliaan tanaman yang bersangkutan

(Balit, Perguruan Tinggi dll), yang dinyatakan dalam piagam kerjasama tertulis.

7. Melampirkan pernyataan dari petani tentang ”preferensi” petani/pengguna terhadap keunggulan galur yang diusulkan. Sangat diharapkan dapat menghadirkan petani/pengguna pada waktu sidang penilaian dan pelepasan.

8. Untuk galur/varietas asal luar negeri, harus ada tambahan pernyataan keunggulan khusus, tingkat ketahanan varietas tersebut terhadap hama/penyakit utama di Indonesia dan bebas OPTK, serta surat pernyataan “tidak berkeberatan untuk di produksi di Indonesia”, dari pihak pemilik/perakit varietas.

9. Surat Pernyataan tentang kesiapan mekanisme produksi benih sumber yang berkelanjutan di Indonesia, sehingga dapat dijamin ketersediaan Benih Sumber yang diproduksi di Indonesia.

Hasil penilaian TP2V

1. Direkomendasikan; dapat dilepas sebagai varietas unggul baru oleh Menteri Pertanian melalui Badan Benih Nasional. 2. Dievaluasi ulang; Pengusul agar

menambahkan kelengkapan informasi dan data yang masih diperlukan, untuk dibahas pada sidang berikut.

3. Diusulkan ulang; Pengusul harus melakukan tambahan kegiatan, pengujian dan atau tambahan data informasi keunggulan, untuk dapat diusulkan kembali.

4. Tidak direkomendasikan untuk dilepas sebagai varietas unggul.

SISTEM PELEPASAN VARIETAS TANAMAN PAKAN TERNAK Mengacu kepada uraian di atas, maka langkah-langkah yang harus diambil dalam mempersiapkan pelepasan varietas tanaman pakan ternak adalah sebagai berikut:

1. Memperkuat tim pada lembaga penyelenggara pemuliaan yang sudah ada, dalam hal ini merekrut pemulia tanaman pakan ternak dan tim peneliti lainnya

(10)

seperti agronomist, entomologist dan phytopatologist.

2. Kalau belum memungkinkan melakukan hal seperti pada point 1, bisa mengadakan kerjasama dengan lembaga penyelenggara pemuliaan lainnya pada Balit-Balit lain lingkup Badan Litbang Pertanian.

3. Mempersiapkan deskripsi varietas disesuaikan dengan deskripsi standar yang dikeluarkan oleh IBPGR atau UPOV ditambah sifat-sifat penting yang spesifik meliputi sifat agronomis, morfologis, fisiologis, mutu hasil, kandungan gizi dan sebagainya. Prinsip BUS (Baru, Unik, Stabil) merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi dalam menyusun deskripsi varietas.

4. Pola pelepasan, sebagai langkah awal adalah mengikuti pola acuan pelepasan untuk varietas-varietas introduksi atau pengukuhan varietas lokal yang sudah ada dengan tetap mengikuti aspek-aspek pemuliaan dalam prosesnya.

KESIMPULAN

1. Inventarisasi jenis-jenis tanaman pakan ternak potensial unggulan yang sudah diidentifikasi perlu segera dibuat deskripsinya berdasarkan standar UPOV dan atau IBPGR sebagai langkah awal dalam persiapan pelepasan varietas dan pengembangan benih sumbernya.

2. Penetapan lembaga yang terlibat langsung dan peranannya dalam sistem pengelolaan benih sumber (benih penjenis) dengan tugas dan wewenang yang jelas serta berkonsentrasi hukum dalam hal ini pembentukan unit produksi benih sumber (UPBS) merupakan langkah yang harus ditempuh dalam pengembangan sistem perbenihan pakan ternak.

3. Sistem pengelolaan benih penjenis tanaman ternak harus berorientasi pasar dan memperhatikan perlindungan HKI dan UU-PVT, efisiensi produksi benih sumber, pengendalian mutu dan menjamin kontinuitas ketersediaan benih.

4. Perlu dibuat prosedur baku atau pedoman baku dan tata cara produksi benih sumber (benih penjenis) dengan memperhatikan penentuan lokasi, luas atau populasi jarak dan waktu tanam, jenis tanaman serta mempertimbangkan kultur teknis.

5. Penetapan dan peranan lembaga penyelenggara pemuliaan dengan sumber daya manusianya (pemulia) untuk tanaman pakan ternak merupakan komponen penting dan syarat utama sebagai suatu lembaga penyelenggara pemuliaan pelepas varietas tanaman pakan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

BADAN AGRIBISNIS. 1995. Pedoman Mutu 02. Modul V: Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Mutu Hasil Pertanian Terpadu Komoditi Pangan. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. Jakarta.

BADAN LITBANG PERTANIAN. 2003. Pedoman Umum Pengelolaan Benih Sumber Tanaman. PDN No.1,2003.

BADAN STANDARISASI NASIONAL. 2001. Sistem Manajemen Mutu-Persyaratan. SNI 19-9001-2001.

BADAN STANDARISASI NASIONAL. 2001. Sistem Manajemen Mutu-Panduan untuk Perbaikan Kinerja. SNI 19-9004-2002.

DIREKTORAT JENDERAL PERTANIAN TANAMAN PANGAN. 1988. Pedoman Sertifikasi Benih. Cetak Ulang. Jakarta.

PRABOWO TJITROPRANOTO. 2004. Laporan Evaluasi Sistem Perbenihan dan Benih Sumber Badan Litbang Pertanian. Oktober 2004.

Gambar

Gambar 1. Pola pendistribusian benih sumber tanaman masa lalu.
Gambar 3. Ilustrasi distribusi benih sumber ber-SMMDivisi  Produksi  UKT  •  Divisi  Promosi  •  Divisi Pemasaran Divisi  Keuangan  Administrasi Divisi  Gudang Divisi Pengolahan Benih Divisi  GKM Manager Organisasi UPBS
Tabel 1. Daftar pakan ternak potensial di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

1. Pelayanan konseling gizi dari calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui dan balita bermasalah.. Deteksi dini balita lahir stunting, melalui pengukuran tinggi badan

c. Memastikan bahwa Direksi menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan audit intern BPR, auditor

Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan narasumber obyek penelitian mengenai konsep branding Sour Sally dan aspek emosional pada ikon visual merek Sour

Minyak atsiri kunyit yang diisolasi dari rimpang kunyit dan berasal dari tempat yang berbeda memiliki profil senyawa yang beragam dengan nilai aktivitas

Pelaksanaan tindakan penelitian dalam rangka meningkatkan keterampilan vokasional melalui pelatihan cetak sablon kaos pada siklus kedua dilaksanakan sebanyak 3

Cakupan pelayanan kesehatan anak balita Provinsi Sulawesi Selatan (Laporan B12 tahun 2013) sebesar 60,07% yang berarti belum mencapai target renstra 2013 yang

Ibid., h.. dalam satu jurusan. Sedangkan dalam penentuan kelas Eksperimen dan kelas kontrol serta model pembelajaran yang digunakan dalam masing-masing kelompok

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah transplantasi dengan judul Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan