• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Imun_imunitas PARASIT_bu Dokter (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Imun_imunitas PARASIT_bu Dokter (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH IMUNOSEROLOGI

MAKALAH IMUNOSEROLOGI

Imunitas Terhadap Parasit

Imunitas Terhadap Parasit

Kelompok 3

Kelompok 3

Ni

Ni Wayan

Wayan Nenik

Nenik Prayanti

Prayanti

(P07134011021)

(P07134011021)

MadeAnggi

MadeAnggi Edita

Edita Pardini

Pardini

(P07134011022)

(P07134011022)

Putu

Putu Yulia

Yulia Anggreni

Anggreni

(P07134011024)

(P07134011024)

I

I Ketut

Ketut Widiarta

Widiarta

(P07134011026)

(P07134011026)

Ni

Ni Komang

Komang Tri

Tri Widianingsih

Widianingsih

(P07134011027)

(P07134011027)

Kadek

Kadek Susi

Susi Wiandari

Wiandari

(P07134011028)

(P07134011028)

Ni

Ni Luh

Luh Komang

Komang Ita

Ita Purnama

Purnama Sari

Sari

(P07134011029)

(P07134011029)

Ni

Ni Putu

Putu Mayasari

Mayasari

(P07134011030)

(P07134011030)

I

I Gede

Gede Widyantara

Widyantara

(P07134011031)

(P07134011031)

Ni

Ni Putu

Putu Riski

Riski Maya

Maya Dewi

Dewi

(P07134011032)

(P07134011032)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR 

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR 

JURUSAN DIII ANALIS KESEHATAN

JURUSAN DIII ANALIS KESEHATAN

2013

2013

(2)

PENDAHULUAN

Parasit-parasit yang menyerang manusia dapat dibagi atas dua grup, yaitu organisme protozoa dan organisme metazoa, seperti Cestode, Trematoda dan  Nematoda. Kedua golongan ini, selain berbeda dalam hal morfologinya, berbeda  pula dalam hal tingkat dan derajat kelainan patologiknya, serta respons imunologik yang bangkit karenanya. Infeksi dengan protozoa, biasanya bersifat intraseluler pada tahap-tahap penyenangan jaringan (" tissue-invading") daripada organisme tersebut. Dikarenakan parasit mempunyai daur hidup yang rumit maka respon imun tubuh kurang bermakna dalam perlawanan terhadap parasit dan  banyak penyakit parasit yang berkembang menjadi penyakit kronis (Anonim,

2012).

Mereka dengan segera, bermultiplikasi di dalam sel-sel dan jaringan hospes, sehingga penyakit yang timbul berkembang sangat cepat. Sebaliknya, golongan metazoa terutama bersifat ekstraseluler, dan biasanya tidak   bermultiplikasi di dalam hospes definitif. Akibatnya maka penyakit yang timbul

lebih bersifat kronis dan simtom-simtomnya lebih bersifat non-spesifik. Respons imunitas humoral lebih terbangkit apabila parasit berada dalam bentuk atau tahap ekstraseluler dan/atau berada dalam sirkulasi darah (sistemik). Sebaliknya, bila  parasit berada dalam bentuk intraseluler, maka respons imun yang bangkit adalah sistem imunitas seluler. Beberapa hal perlu diperhatikan, ialah bahwa parasit- parasit golongan metazoa lebih menyebabkan timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe cepat, dan tanda-tanda eosinofilia yang jelas terlihat pada infeksi parasit jenis ini. Keadaan ini disebabkan karena peranan imunitas humoraI, yaitu mekanisme yang dibawakan oleh IgM (Anonim, 2011).

Seperti telah diutarakan, maka kekebalan terhadap infeksi dengan parasit merupakan gabungan antara "innate immunity "dengan "naturally acquired immunity". Manifestasi imunitas dapat beroperasi lewat dua jalan, yaitu : (Anonim, 2011).

1. Sebagian mempengaruhi parasit secara langsung, misalnya : a. Mencegah penetrasi parasit, sehingga infeksi dapat dicegah.

(3)

 b. Menghambat perkembangan parasit, sehingga tetap dalam suatu tahap tertentu. Imunitas semacam ini harus terus menerus berfungsi, sebab telah dibuktikan pada parasit Nippostrongylus brasiliensis, bila imunitas menurun atau parasit dipindahkan ke hospes yang non-imun, maka siklus parasit yang tadinya berhenti akan berlanjut lagi.

c. Menghambat migrasi parasit pada jaringan, misalnya seperti yang terjadi pada parasit Ascaris, maka migrasi ke paru dapat ditekan secara lengkap.

d. Memperlambat migrasi, sehingga parasit diperlambat mencapai "Final site"nya, seperti halnya parasit Schistosoma yang berlama-lama di daerah sirkulasi intrahepatik.

e. Mencegah parasit bermultiplikasi, sehingga penyebaran infeksi dapat ditekan.

f. Menghalangi terjadinya parasitemia,sehingga dengan demikian parasit tidak diedarkan ke seluruh tubuh lewat jalan sistemik.

g. Menimbulkan perubahan terhadap komponen structural maupun fisiologik, seperti timbulnya antibodi terhadap enzim-enzim lipase dan  pnotease pada glandula esophagus cacing tambang.

2. Sebagian mempengaruhi parasit secara tidak langsung, yaitu dengan jalan mengubah pengaruh parasit terhadap hospesnya, sehingga berakhir  dengan penurunan morbiditas dan mortalitas. Bila "acquired immunity" dapat timbul, maka ekspresinya tidaklah sampai kepada pengeluaran  parasit secara total, oleh karena itu imunitas pada penyakit parasit

seringkali "Sterile immunity" (Anonim, 2011).

Yang lebih menonjol peranan imunologik pada infeksi dengan parasit ini ialah bahwa sistem imunitas lebih berfungsi untuk mengontrol jumlah parasit dalam batas-batas patogenik yang rendah, serta mencegah timbulnya hiperinfeksi dan/atau reinfeksi. Adanya keseimbangan antara parasit dengan respons imun ini ternyata merupakan keadaan yang penting, dan hal ini pun berlaku pada keadaan dimana kita harus memberikan terapi pada penyakit parasit. Sebab bila

(4)

 pengobatan dilakukan secara radikal, maka tubuh akan kehilangan rangsangan antigen asing yang dipresentasikan parasit bila masih "tertinggal " di dalam tubuh. Seperti telah diutarakan, maka parasit mengandung berbagai macam antigen, baik  somatik maupun metabolik, sebagian dapat dikategorikan sebagai "stage specific" dan bersifat sementara, sedangkan lainnya bersifat lebih permanen sehingga dapat menginduksi respons imun yang agak divergen. Respons imunitas ini akan lebih kompleks lagi dengan adanya kenyataan bahwa banyak parasit mempunyai antigen yang mirip, tidak saja dengan parasit lain, tetapi juga dengan antigen hospes itu sendiri, Dengan keantigenan yang kompleks ini, maka tidaklah mengherankan kalau respons imunitas humoral dan simposium masalah penyakit  parasit seluler dapat bangkit karenanya (Anonim, 2011).

Parasit menginvasi imunitas protektif dengan mengurangi imunogenisitas dan menghambat respon imun host. Parasit yang berbeda menyebabkan imunitas  pertahanan yang berbeda (Anonim, 2011).

Imunitas Terhadap Parasit

Perjalanan suatu penyakit parasit selain ditentukan oleh sifat  parasitnya,ternyata juga dipengaruhi oleh faktor   –  faktor kekebalan hospes. Sehingga disuatu daerah endemik akan dilihat perbedaan kerentanan ataupun  perbedaan resistensi terhadap infeksi parasit antar individu – individu yang tinggal

didaerah tersebut (Anonim, 2012).

Secara garis besar faktor kekebalan dapat dibagi menjadi dua bagian : 1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity

2. Kekebalan didapat / Natural Acqiured Immunity

Kedua jenis kekebalan ini akan saling berinteraksi dan menentukan  perjalanan penyakit hospesnya, sehingga pengetahuan mengenai kedua jenis kekebalan perlu diketahui sebagai dasar penanggulangan penyakit parasit terutama dalam pengembangan vaksin (Anonim, 2012).

1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity

Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya

(5)

dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh karena dapat  beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respons

imun nonspesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi  banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag,  bahkan beberapa di antaranya dapat hidup dalam makrofag. Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen (Anonim, 2012).

Terdapat dua macam respon imun yang dapat terjadi pada kekebalan bawaan ini yaitu :

a. Respon imun humoral

Antibodi yang spesifik ditemukan dalam konsentrasi dan afinitas cukup memadai efektif untuk memberikan proteksi terhadap parasit. Gambaran reaksi imun terhadap infeksi cacing adalah eosinofilia dan  peningkatan jumlah IgE. Pada manusia, jumlah IgG dalam serum dapat meningkat dari normal 100 ng/ml menjadi 10.000 ng/ml. Perubahan ini merupakan tanda dari adanya reaksi terhadap limfokin tipe Th2. Kenaikan yang luar biasa dari IgE memperkuat pandangan  bahwa IgE merupakan parameter penting dalam pertahanan.

Rangsangan antigen spesifik untuk untuk terbentuknya sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya eksudasi serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk semua kelas imunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil (Roitt, 2002).

Dalam perjalananya, protein utama pembentuk inti dari granula eosinofil padat elektron dilepaskan ke parasit dan mengakibatkan kerusakan. Peran imunitas seluler tampak menonjol karena eosinofil dapat mengekspresikan MHC kelas II dan IgG-mediated ADCC

(6)

ditingkatkan oleh GM-CSF dan TNF. Bukti lain tentang keterlibatan sel ini terlihat dari penelitian bahwa proteksi menggunakan transfer   pasif dengan antiserum in vivo dapat dihambat dengan pemberian

serum antieosinofil sebelumnya. Reaksi yang diperantarai IgE mungkin penting dalam penyembuhan dari infeksi, sedangkan resisitensi pada iundividu yang telah divaksinasi mungkin lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA. Selanjutnya kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada  produksi limfokin tipe Th1 seperti IFN γ dari TH2 yang menghasilkan

IgE (Roit, 2002).

Respon imun humoral menggunakan antibodi sebagai efektornya. Pada infeksi parasit sebagian besar memperlihatkan respon humoral yg tinggi. Dalam mengeliminasi parasit ada cara yang dapat dilakukan antibodi yaitu : (Rusjdi, 2011).

1. Antibodi bekerja sendiri

Parasit intraseluler memerlukan reseptor pada permukaan sel hospes → untuk bisa masuk ke dalam sel

Antibodi → menghambat terjadinya ikatan antara molekul  parasit dengan reseptor (Rusjdi, 2011).

Contoh :

 Ab terhadap Ag permukaan merozoit plasmodium

→ menghambat terjadinya interaksi merozoit dengan eritrosit

 Ab terhadap Ag permukaan sporozit menghambat

ikatan sporozoit dengan hepatosit

 Ab terhadap komponen glikolipid Leishmania →

menghambat parasit masuk makrofag (Rusjdi, 2011).

2. Antibodi dibantu oleh sel-sel lain (eosinofil, makrofag, netrofil, trombosit)

(7)

Dikenal sebagai ADCC. Sel yang terlibat: eosinofil, makrofag, neutrofil, trombosit . Sel tersebut berikatan dengan  bagian Fc dari Ig. Bagian Fab berikatan dengan parasit (sel yg

terinfeksi) Contoh :

 Eosinofil berikatan dengan IgE → menghancurkan

cacing

 Makrofag berikatan dengan Ig memfagositosis

Plasmodium std eritrositik (Rusjdi, 2011). 3. Antibodi dibantu oleh komplemen (invitro)

Efektivitas komplemen alam mengeliminasi parasit secara in vitro telah terbukti tetapi secara in vivo belum (Rusjdi, 2011).

 b. Respon imun seluler 

Seperti halnya mikroba, banyak parasit beradaptasi untuk  hidup dalam makrofag, meskipun makrofag mempunyai kemampuan mikrobisidal ampuh termasuk adanya peran NO ( nitric oxide). Seperti  pada infeksi mikrobakteri, sel T penghasil sitokin sangat penting untuk makrofag melaksanakan kemampuan membunuh dan menyingkirkan pengganggu yang tidak diinginkan. Efek ini bisa dilihat secara in vitro bila IFN- γ dengan penambahan TNF γ, ditambahkan dalam biakan makrofag, yang mendukung pertumbuhan intrasel parasit. Eliminasi infeksi cacing usus merupakan pendekatan yang khusus berupa gabungan reaksi seluluer dan humoral untuk  menghilangkan infeksi yang masuk. Penelitian pada tikus (ogilvie) menunjukkan bahwa meskipun antibodi menyebabkan kerusakan pada cacing, sel T donor imun juga diperlukan untuk terjadinya ekspulsi kuat yang mungkin terjadi melalui kombinasi stimulasi motilitas usus oleh sel mastoid dan aktivasi sitokin dari sel goblet usus yang  berjumlah banyak. Kedua jenis sel ini menghasilkan campuran molekul glycosilated dengan berat molekul tinggi yang membentuk 

(8)

gel viskoelastik disekeliling cacing, sehingga terjadi proteksi  permukaan kolon dan usus halus dari invasi (Roitt, 2002).

Pada parasit yang bertahan bertahun-tahun mengahadapi reaksi imunologik, interaksi dengan antigen asing sering menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas lambat yang disebabkan adanya TNF γ yang memungkinkan telur meloloskan diri dari kapiler  intestinal kedalam lumen usus untuk meneruskan siklus hidup di luar   pejamu.

2. Kekebalan didapat / Natural Acqiured Immunity

Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat  biokimiawi, siklus hidup dan patogenisitasnya. Hal itu menimbulkan respons imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun.

PROSES IMUNO-PATOLOGI

Bila tubuh kemasukan parasit, baik itu golongan protozoa maupun metozoa, maka infeksi dengan parasit tersebut akan berlanjut menimbulkan  penyakit dengan berbagai macam gejala. Keluhan-keluhan obyektif maupun kelainan klinik yang ditimbulkan tergantung dari pada lokalisasi parasit, selama dan sesudah perkembangan siklusnya. Setelah respons imun di dalam tubuh hospes dapat dibangkitkan, maka akan timbul reaksi antara komponen-komponen efektor imunitas dengan komponen-komponen antigen parasit dengan maksud hendak mengenyahkannya. Namun para ahli telah berhasil menemukan  bukti-bukti, bahwa kelainan-kelainan yang ditimbulkan karena infeksi dengan  parasit ini, seperti splenomegali, hepatomegali, glomerulonefritis, proses  peradangan kronik, kerusakan jaringan yang lanjut serta berbagai

(9)

reaksi hipersensitivitas, bukanlah ulah parasit itu sendiri melainkan akibat mekanisme imunologik tubuh (Anonim, 2012).

Kerusakan jaringan akibat proses imunologik telah lama diketahui, dan Coombs dan Gell (26) telah mengklasifikasinya ke dalam empat tipe, yaitu :

1. Reaksi tipe I atau reaksi tipe anafilaktik  2. Reaksi tipe II atau reaksi tipe sitotoksik 

3. Reaksi tipe III atau reaksi tipe kompleks-toksik  4. Reaksi tipe IV atau reaksi seluler.

Reaksi tipe I hingga III adalah reaksi yang dibawakan oleh imunitas humoral, sedangkan reaksi tipe IV oleh imunitas seluler (Anonim, 2012).

Reaksi tipe I (reaksi anafilaktik)

Reaksi anafilaktik atau reaksi hipersensitivitas tipe cepat adalah suatu reaksi yang dibawakan oleh IgE. Parasit-parasit golongan Helminthes merupakan  parasit yang ampuh dalam menginduksi pembentukan antibodi homositotropik 

ini. IgE mempunyai sifat-sifat yang unik, yaitu bagian Fc struktur  imunoglobulinnya dapat melekat pada sel-sel basofil atau sel-sel mastosit, sehingga apabila bagian Fab bereaksi dengan antigen parasit, maka akan terjadi  perubahan molekul IgE yang akan mempengaruhi membran sel basofil/mastosit tadi. Lewat sistem "cyclic Adenosinemonophosphate" (cAMP), maka di dalam sel tersebut akan timbul proses degranulasi sehingga isi granula, seperti histamin, "slow-reacting substance of anaphylactic" (SRS--A), "eosinophil-chemotactic facton anaphylactic" (ECF--A) akan dilepaskan. Zat-zat mediator  farmakologik aktif ini kemudian akan menyebabkan berbagai perubahan, seperti kontraksi otot polos, vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan meningginya per  meabilitas dinding pembuluh darah. Tergantung daripada cara parasit berinvasi masuk ke dalam tubuh, maka gejala klinik yang ditimbulkan dapat bersifat sistemik atau lokal (Anonim, 2012).

Akibat pengaruh ECF--A, maka tidaklah mengherankan kalau pada  penyakit parasit ini sering ditemukan eosinofilia, dan secara pemeriksaan histologik, tampak di sekitar panasit itu beratus-natus sel-sel eosinofil. Pada  penyakit infeksi oleh bakteri telah ada bukti yang memperlihatkan bahwa

(10)

seleosinofil sanggup memfagosit namun mekanisme "Intracellular killing" agak  lemah bila dibandingkan dengan sel neutrofil. Oleh karena itu peranan sel eosinofil sebagai sel fagosit yang ampuh masih dipertanyakan orang, namun ada dugaan lain tentang peranan eosinofil ini, yaitu berperanan pada proses  pembangkitan respons agar lebih baik serta berperanan dalam memodulasi proses inflamasi. Seperti telah diutarakan, maka sel basofil akan melepaskan histamin, dan ini akan dinetralkan oleh zat-zat yang dilepaskan eosinofil ; di samping itu  pula eosinofil akan melepaskan suatu zat yang mempunyai pengaruh tenhadap sel makrofag. Keadaan ini menyebabkan interaksi antara sel eosinofil, sel makrofag dan antigen parasit, sehingga antigen-antigen asing lebih mudah dipresentasikan oleh sel makrofag ke sel-sel limfosit-T maupun sel limfosit-B (Anonim, 2012).

Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik)

Kelainan ini ditimbulkan akibat adanya antibodi bebas, yang dibawakan oleh IgG dan/atau IgM, yang dapat bereaksi dengan antigen sel atau jaringan akibat adanya suatu reaksi silang, atau karena sel atau jaringan tubuh telah mengadsorbsi antigen-antigen tensebut. Hal ini banyak terjadi pada penyakit  parasit, dimana antigen telah dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diadsorbsi oleh sel

atau jaringan tubuh di tempat lain. Reaksi imunologik yang terjadi akan lebih hebat apabila sistem komplemen telah diaktifkan, yang mengakibatkan terangsangnya berbagai macam sel-sel fagosit. Suatu sel atau jaringan tubuh yang telah bereaksi dengan IgG antibodi, dapat menarik suatu sel limfosit yang"nonsensitized" untuk melakukan tugas penghancuran jaringan secara ekstnaseluler nonfagositosis. Sel limfosit semacam ini dikenal dengan istilah "killer lymphocyte cell” atau disingkat menjadi "K cell" (Anonim, 2012).

Hancurnya sel-sel darah merah sehingga terjadi anemia pada infeksi dengan Plasmodium diperhebat akibat reaksi tipe II ini, dan juga penggunaan obat-obat yang dapat menghancurkan parasit sehingga antigen-antigennya tersebar  di seluruh tubuh, dapat menyebabkan malapetaka akibat reaksi yang ditimbulkan oleh respons imunologik (Anonim, 2012).

(11)

Reaksi tipe III (reaksi kompleks-toksik)

Apabila di dalam sirkulasi darah terdapat antigen bebas, maka manifestasi selain reaksi tipe II dapat pula terjadi, yaitu apa yang kita kenal sebagai reaksi kompleks-toksik. Pengertian kompleks dalam hal ini tidak lain adalah kompleks antigen dengan antibodinya yang dapat dibawakan oleh IgG maupun IgM. Kompleks imun ini beredar di dalam darah dalam bentuk kompleks yang larut, yaitu apabila perbandingan antara antigen dengan antibodi berada dalam taraf"antigen excess", sedangkan kompleks berbentuk presipitat, bila  perbandingan antigen dengan antibodinya berada dalam taraf"Antibody excess". Reaksi tipe III tenjadi apabila kompleks imun itu telah mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadilah reaksi radang.Tergantung daripada lokasi  peradangan itu, maka jenis "Arthus reaction" terjadi bila "insoluble complex" dideposit di tempat-tempat tertentu, sedangkan jenis "serum sickness"  bila terjadi reaksi umum disebabkan oleh "soluble complex" (Anonim, 2012).

Kelainan yang lebih merata akibat adanya sirkulasi kompleks-imun di seluruh tubuh dapat menyebabkan gejala-gejala klinik seperti, demam, lemas, urtikania, eritema pada kulit, nyeri bengkak pada persendian, splenomegali,  pembesaran kelenjar limfe, hematuria dan lain-lain. Gejala penyakit semacam ini, selain pada malaria, maka di temukan pula pada penyakit parasit seperti Schistosomiasis, Trypanosomiasis. Reaksi alengik umum yang ditimbulkan setelah pemberian terapi pada berbagai penyakit parasit, dapat disebabkan oleh reaksi tipe III ini, yaitu karena setelah parasit dihancurkan oleh obat yang diberikan, maka berbagai macam antigen akan dilepaskan ke dalam sinkulasi dalam jumlah yang cukup banyak; akibatnya maka kompleks-imun akan timbul dan tidak sempat lagi dienyahkan oleh sistem imunitas seluler, seperti difagosit oleh sel-sel makrofag (Anonim, 2012).

Reaksi tipe IV (reaksi tipe seluler)

Berbeda dengan reaksi tipe-tipe yang terdahulu, maka reaksi tipe IV ini dilatar belakangi oleh sistem imunitas seluler, yaitu sel-sel fagosit setelah dinangsang oleh zat limfokin, yang dilepaskan oleh sel l imfosit-T. Reaksi ini tidak  memerlukan adanya antibodi maupun sistem komplemen, dan reaksi yang terjadi

(12)

agak lambat; oleh karena itu reaksi ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dan memang gejala kliniknya pun berjalan kronik. Pada penyakit Schistosomiasis misalnya, proses peradangan pada hati dapat  penyebabkan hepatomegali. Keadaan semacam ini bukan hanya disebabkan oleh

karena timbulnya reaksi tipe IV ini. (Anonim, 2012).

Salah satu jenis parasit yang biasa menginfeksi manusia adalah cacing. Berikut ini akan dijelaskan mengenai mekanisme infeksi cacing dan bagaimana respon imunnya : (Anonim, 2012).

Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang  perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan per-mukaan cacing diikat eosinofil. Selanjut-zya eosinofil diaktifkan dan mensekresi gianul enzim yang menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan RO yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang  produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna . Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sit okin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi  bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk  fagositosis. Degranulasi sel mast/ basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik,. MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag

(13)

menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing

Parasit yang masuk kedalam tubuh manusia dapat bertahan dalam tubuh dan terhindar dari respon imun tubuh manusia. Hal ini dapat disebabkan oleh  beberapa hal, seperti : (Anonim. 2012)

1. Parasit mengubah permukaan antigen mereka selama siklus hidup dalam host vertebrata. Dua bentuk variasi antigenik: 1. Stage-specific change dalam ekspresi antigen, misalnya antigen stadium sporosit pada malaria  berbeda dengan antigen merozoit. 2. Adanya variasi lanjutan antigen  permukaan mayor pada parasit, misalnya yang terlihat pada Trypanosoma Afrika: Trypanosoma brucei dan Trypanosoma rhodensiensi. Adanya variasi lanjutan kemungkinan karena variasi terprogram dalam ekspresi gen yang mengkode antigen permukaan mayor.

2. Parasit menjadi resisten terhadap mekanisme efektor imun selama berada dalam host. Misalnya larva Schistosomae yang berpindah ke paru-paru host dan selama migrasi membentuk tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh komplemen dan CTLs.

3. Parasit protozoa dapat bersembunyi dari sistem imun dengan hidup di dalam sel host atau membentuk kista yang resisten terhadap efektor imun. Parasit dapat menyembunyikan mantel antigeniknya secara spontan ataupun setelah terikat pada antibodi spesifik.

4. Parasit menghambat respon imun dengan berbagai mekanisme untuk  masing-masing parasit. Misalnya Leishmania menstimulus perkembangan CD25 sel T regulator, yang menekan respon imun. Contoh lain pada malaria dan Tripanosomiasis yang menunjukkan imunosupresi non spesifik. Defisiensi imun menyebabkan produksi sitokin imunosupresi oleh makrofag dan sel T aktif serta mengganggu aktivasi sel T.

(14)

Diagnosis Imunologi Pada Penyakit Parasit

Infeksi dengan semua species parasit menimbulkan berbagai macam respons imunologi dalam hospes, diantaranya pembentukan zat anti khas terhadap  parasit dan hasil metabolismenya (Anonim, 2012).

Dalam parasitologi kedokteran respons imunologi ini dapat dipakai sebagai suatu cara untuk membantu diagnosis. Zat anti yang spesifik dalam serum dapat diperiksa dengan test serologi dengan antigen yang diperoleh dari bahan  parasit yang speciesnya sama (Anonim, 2012).

Dengan adanya fakta-fakta ini, maka para ilmuwan telah berusaha mengembangkan pengetahuan imunologik dalam bidang parasitologi untuk  kepentingan diagnostik. Bagaimanapun bentuk dan akibat respons imunitas yang terjadi, seperti yang diutarakan, maka ada sifat-sifat sistem imunologik yang hakiki, yaitu "specificity" dan "memory", artinya : respons imunologik yang timbul itu sifatnya spesifik dan hanya dapat bereaksi dengan antigen  penginduksinya serta mempunyai daya ingat terhadap antigen mana respons imun itu telah bangkit. Dua hal inilah yang dijadikan pegangan oleh para ahli imunologi dalam mempergunakan respons imunologik untuk mendiagnosis  penyakit-penyakit parasit (Anonim, 2011).

Secara garis besar, maka ada dua macam teknik yang dapat dikembangkan, yaitu

(1) Teknik manipulasi kulit dan

(2) Menegakkan diagnosis penyakit parasit secara imunologik.

Walaupun telah berhasil, namun seringkali kita dihadapkan dengan  berbagai masalah, baik yang sifatnya umum maupun yang khusus. Masalah yang khusus ialah menyangkut sifat dan karakteristik parasit yang bersangkutan, terutama dalam menginduksi respons imun. Berbagai macam teknik  imunologik juga banyak tersedia, seperti : test presipitasi, test hemaglutinasi, test fiksasi komplemen, test fluonesensi dan lain-lain, tetapi semuanya tidak terlepas dari masalah-masalah yang khusus untuk teknik tersebut, dan yang penting ialah :  pemilihan teknik serologik yang tepat untuk dipergunakan dalam mendiagnosis  penyakit parasit yang mana (Anonim, 2011).

(15)

Tujuan dari pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit  parasit yang parasitnya sukar ditemukan dengan pemeriksaan mikroskopik,

misalnya pada masa prepaten, infeksi menahun, lokalisasi pengambilan bahan  pemeriksaan secara teknis sukar dicapai (Rusjdi, 2011).

Deteksi penyakit :

Secara garis besar terdapat dua deteksi penyakit parasit yang meliputi : 1. Reaksi kekebalan hospes dan

2. Antigen dari parasitnya. Reaksi kekebalan meliputi : a. Reaksi Humoral

 IDT (imunodiffusion test)

 CIEP(Counter Immuno Electrophoresis)

 Tes hemaglutinasi

 Tes fluorosensi

 ELISA

 Radioimmunoassay  Tes dengan komplemen

 b. Reaksi Seluler 

 Lebih sulit karena limfosit yang diperoleh harus segar.

 Dikatakan positif bila jumlah limfosit yang menempel cukup  banyak (Rusjdi, 2011).

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012.  Imuno Parasitologi. Diakses di http://4sinaps.blogspot.com/2012/05/imunoparasitologi.html (Diakses tanggal 19 Mei 2013)

Anonim. 2012 .  Reaksi Imun Tubuh Terhadap Infeksi. http://malariahunter.blogspot.com/2012/07/reaksi-imun-tubuh-terhadap-infeksi.html ( Diakses Tanggal 18 Mei 2013 )

Pratama, Surya . tt .  Reaksi Imun Terhadap Infeksi Bakteri Dan Parasit . http://www.slideshare.net/SuryaPratama3/r-eaksi-imun-terhadap-infeksi- bac-dan-par#btnNext ( Diakses Tanggal 18 Mei 2013)

Anonim . 2011 .  Respon Imunitas Tubuh Terhadap Parasit .

http://ketobapadah.blogspot.com/2011/04/respons-imunitas-tubuh-terhadap-parasit.html ( Diakses Tanggal 18 Mei 2013 )

Roitt I. 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8. Jakarta : Penerbit Widya Medika.

Rusjdi, Selfi Renita.2011. Imunoparasitologi. Bagian Parasitologi FK UNAND.

Referensi

Dokumen terkait

Pertama; percaya kepada yang ghaib:Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib merupakan hakekat keimanan yaitu kepercayaan yang sempurna dengan apa-apa yang

2 Partai Politik Peserta Pemilu menyusun LPPDK yang memuat pembukuan seluruh penerimaan sumbangan dan pengeluaran Dana Kampanye dalam bentuk uang, barang,

Kegiatan pelestarian lingkungan hidup yang sudah ada di sekolah akan dikolaborasikan dengan kegiatan kewirausahaan yang telah ada di SMA Negeri 9 Tangerang. Siswa sangat

Hasil ini dapat disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan, degan status gizi di wilayah kerja puskesmas mandiangin Bukittinggi tahun 2015

Untuk pembangunan pabrik anyar itu, emiten berkode ROTI ini merogoh kocek Rp 100 miliar yang diambil dari belanja modal atau capital expenditure (capex) tahun ini yang totalnya Rp

8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dilakukan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang berfungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata variabel X siswa 69,96 berkategori “cukup” kemudian setelah diterapkan model discovery

Sedangkan untuk struktur gedung tidak beraturan menggunakan pembebanan gempa dinamik, Sedangkan untuk struktur gedung tidak beraturan menggunakan pembebanan gempa dinamik,