• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Lolosi Merah (C. chrysozona)

Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk dalam family ikan caesiodidae yang erat hubungannya dengan ikan kakap dari family Lutjanidae. Ikan ini pada umumnya berwarna indah dengan kombinasi warna kuning dan biru. Ikan lolosi merah (C. chrysozona) biasa banyak terdapat di sekitar perairan terumbu karang dan perairan pantai dangkal yang berbatu-batu. Ikan ini mencari makan di daerah yang berderajat lebih tinggi dan dalam suatu gerombolan yang besar.

Ditjen Perikanan (1998), menyatakan bahwa ikan lolosi merah (C. chrysozona) tergolong ikan buas yang makanannya berupa ikan-ikan kecil dan krustasea. Ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat mencapai panjang 25 cm, tapi pada umumnya 20 cm. Bentuk tubuh ikan ini bulat, pipih memanjang, sisik-sisik kecil berduri dan di sisi tubuhnya terdapat garis sisi yang tidak terputus-putus. Tulang pipi dan penutup insangnya ditumbuhi sisik-sisik kecil, dan sirip punggung yang tak terputus, dimana mengandung duri-duri keras yang tajam, tetapi tidak terlalu kuat. Sirip dubur ditunjang oleh tiga duri keras yang tidak terlalu kuat dan memiliki mulut kecil agak menonjol kedepan. Tulang intermaxilla memiliki sebuah tulang yang menyisip dibawah tulang maxilla (rahang atas) yang jelas sekali di dalam mulut. Rahang memiliki satu atau lebih barisan gigi-gigi kecil yang tajam dan langit-langit bergigi atau tidak bergigi.

(2)

6

Menurut Ditjen Perikanan (1998), klasifikasi ikan lolosi merah (C. chrysozona) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Ordo : Perciformes

Sub ordo : Percoidae

Famili : Lutjunidae Genus : Caesio

Spesies : Caesio chrysozona Ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan lolosi merah (C. chrysozona)

Ikan lolosi merah (C. chrysozona) berkembang biak seperti umumnya ikan lain, yaitu bertelur dengan pembuahan di luar atau di perairan bebas. Telur dihasilkan dalam jumlah yang banyak dan bersifat pelagis, permulaan perkembangan larva ini terjadi di laut lepas pantai, selanjutnya larva tersebut kembali perairan pantai yang dangkal setelah berumur enam minggu.

(3)

7

Sejak tahun 1936, ikan lolosi telah ditemukan sebanyak enam jenis, yang terdapat di perairan pulau ambon dan sekitarnya. Ikan lolosi umunya memiliki panjang tubuh, yakni untuk Caesio erythrogaster 355 mm, C. xanthonotus 306 mm, C. coerulaureus 283 mm, C. chrysn, 240 mm, C. diagramma 232 mm, C. tile 221 mm, dan C. chrysozona 150 mm, (Carpenter K.E dan Niem V.H, 1999).

2.2 Habitat Dan Penyebaran Ikan Lolosi Merah (Caesio chrysozona)

Randal et al. (1990), mengemukakan bahwa habitat ikan lolosi merah (C. chrysozona) umumnya di daerah perairan karang hinga ke daerah pasang surut di muara, bahkan beberapa spesies cenderung menembus sampai ke perairan tawar. Selain itu ikan lolosi merah (C. chrysozona) tertangkap pula pada kedalaman dasar antara 40–50 meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30–33 ppt serta suhu antara 5-32ºC. Terumbu karang merupakan ekosistim khas yang terdapat di daerah tropis, meskipun terumbu karang banyak ditemukan di perairan seluruh dunia, tapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang dengan baik dan salah satunya di perairan Indonesia.

Subroto dan Subani (1994) menyatakan bahwa, keberadaan ikan lolosi merah (C. chrysozona) di Indonesia banyak ditangkap di wilayah perairan Riau Kepulauan, Sumatra Barat, Bangka, Belitung, Lampung, Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kepulauan Karimun Jawa), Jawa Timur (Kepulauan Kangean), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

2.3 Komposisi Kimia Ikan Lolosi Merah (Caesio chrysozona)

Menurut Sikorski (1990), komponen kimia utama daging ikan lolosi merah (C. chrysozona) adalah air, protein kasar dan lemak. Semuanya sekitar 98% dari total

(4)

8

berat daging. Komponen ini berpengaruh besar terhadap nilai nutrisi, sifat fungsi, kualitas sensor dan stabilitas penyimpanan daging. Kandungan lainnya seperti vitamin dan mineral hanya berjumlah sedikit.

Berikut adalah komposisi proksimat ikan lolosi merah (C. chrysozona) menurut Ditjen Perikanan (1990), dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi proksimat ikan lolosi merah (C. chrysozona)

No BDD 100% Komposisisi kimia %

1 80% Energi (kkal) 109

2 80% Protein 17,0

3 80% Lemak 4,0

4 80% Karbohidrat 0,0

Sumber : Ditjen Perikanan, (1990).

BDD : Bobot Dapat Dimakan

Daging ikan memiliki komposisi kimia yang tergantung dari jenis ikan antar individu dalam spesies, dan antar bagian tubuh dari satu individu ikan. Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu umur, laju metabolisme, pergerakan ikan, makanan, serta masa memijah. Komposisi kimia daging juga dapat berbeda-beda tergantung dari umur, habitat, dan kebiasaan makan. Komposisi kimia daging ikan umumnya terdiri dari 70-85% kadar air, 15-25 % protein, 1-10% kadar lemak, 0,1-1% karbohidrat dan 1-1,5% mineral (Okada, 1990).

Ali dan Jauncey (2005), menyatakan bahwa kandungan protein pada daging ikan bervariasi tergantung dari jenis ikan. Protein daging ikan banyak mengandung asam amino essensial yang sangat mudah mengalami denaturasi, penggumpalan dan

(5)

9

perubahan mutu yang disebabkan oleh proses penanganan (Conceicao et al, 1998). Selain protein, daging ikan juga banyak mengandung asam lemak tak jenuh.

Selain itu komposisi kimia ikan tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging ikan relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak sangat berfluktuasi. Jika kandungan lemak pada daging semakin besar, kandungan air akan semakin kecil dan sebaliknya (Salawu et al, 2004).

2.4 Mutu Ikan Segar

Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan (Irawan, 1995). Ikan segar memiliki ciri-ciri yaitu, daging ikan elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya. Aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut, mata berwarna cerah, bersih, menonjol penuh serta transparan. Insang berwarna merah cerah dan kulit mengkilat berwarna cerah.

Khusus produk makanan yang mudah dan cepat membusuk, seperti ikan basah yang baru ditangkap, pengertian mutu sebenarnya identik dengan kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama ikan yang baru saja ditangkap tidak disimpan dan diawetkan. Kedua, ikan yang mutunya masih baik, belum mengalami kemunduran mutu baik secara kimia, fisika, maupun biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikan-ikan yang dibekukan (FAO, 1995. Yunizal dan Wibowo, 1998). Untuk mempertahankan mutu ikan segar, harus secepatnya dilakukan penanganan. Kesegaran ikan sangat penting bagi mutu dari produk akhir yang dihasilkan. Secara umum ada 2 metode utama yang biasa digunakan untuk

(6)

10

menilai tingkat kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori (subjektif) dan non-sensori (objektif). Tabel 2 berikut adalah ciri-ciri ikan segar dan tidak segar.

Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan tidak segar

Parameter Kondisi Segar Kondisi Tidak Segar

Mata Pupil hitam menonjol dengan

kornea jernih, bola mata cembung dan cemerlang atau cerah.

Pupil mata kelabu tertutup lender seperti putih susu, bola mata cekung, dan keruh.

Insang Warna merah cemerlang atau

merah tua tanpa adanya lendir,

tidak tercium bau yang

menyimpang (off odor).

Warna merah coklat sampai

keabu-abuan, bau

menyengat, lendir tebal. Tekstur daging Elastis dan jika ditekan tidak

ada bekas jari, serta padat dan kompak.

Daging kehilangan

elastisitasnya atau lunak dan jika ditekan dengan jari maka

bekas tekanannya lama

hilang. Keadaan kulit

dan lender

Warna sesuai dengan aslinya

dan cemerlang, lender

dipermukaan jernih dan

transparan dan baunya segar khas menurut jenisnya.

Warnanya sudah pudar dan memucat, lendir tebal dan menggumpal serta lengket, warnanya berubah seperti putih susu.

Keadaan perut dan sayatan daging

Perut tidak pecah masih utuh dan warna sayatan daging cemerlang jika ikan dibelah daging melekat kuat pada tulang terutama rusuknya.

Perut sobek, warna sayatan daging kurang cemerlang dan

terdapat warna merah

sepanjang tulang belakang serta jika dibelah daging mudah lepas.

Bau Spesifik menurut jenisnya, dan

segar seperti bau rumput laut, pupil mata kelabu tertutup lendir seperti putih susu, bola mata cekung dan keruh

Bau menusuk seperti asam asetat dan lama kelamaan berubah menjadi bau busuk yang menusuk hidung

Sumber: FAO, (1995).

Kesegaran ikan dapat digolongkan kedalam empat kelas mutu yaitu :

(a). Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (sangat prima). Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian.

(7)

11

Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar.

(b). Ikan yang kesegarannya masih baik (prima). Pada kondisi ini ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun lunak bila ditekan.

(c). Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang). Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan, bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek.

(d). Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk). Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Ciri-cirinya adalah daging sudah lunak, sayatan daging tidak cemerlang lagi, bola mata cekung, insang berubah jadi berwarna coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah menyebarkan bau busuk.

(8)

12

Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar (SNI 01-2729-2006) dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Mutu Ikan Segar Berdasarkan SNI 01-2729-2006

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

a. Organoleptik  nilai minimum  kapang 7 Tidak tampak b. Cemaran mikroba  ALT/gr, maksimum  Eschericia coli Vibrio cholerae (*) CFU / gram APM / gram Per 25 gram 5 x 105 < 3 Negatif

2.5 Proses Kemunduran Mutu Ikan Segar

Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena adanya aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan tersebut dapat terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor (Junianto, 2003). 2.5.1 Perubahan pre-rigor

Perubahan pre-rigor atau sering dikenal dengan istilah hiperaemia merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian yang ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto, 2003). Lendir-lendir yang terlepas

Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total

(9)

13

tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh sangat banyak hingga mencapai 1 sampai 5% dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman, 2000).

2.5.2 Perubahan rigor mortis

Perubahan rigor mortis ditandai oleh mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti, suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis (Junianto, 2003).

Eskin (1990), mengemukakan rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi-relaksasi antara myosin dan aktin di dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang pemanen. Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan, selain dapat memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan masih sangat segar. Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor). Energi pada jaringan otot ikan diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen. Glikolisis (penguraian glukosa) menghasilkan ATP dan

(10)

14

asam laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan pH otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis. Pada fase rigor mortis ini, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari mula-mula pH 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini, pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyak senyawa basa purin dan pirimidin yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan (Eskin, 1990).

Kenaikan nilai pH tergantung pada lama penyimpanan. Kenaikan nilai pH selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu panas, komposisi garam, kondisi fisiologis, kandungan protein dan aktivitas enzim (Taskaya et al, 2003).

2.5.3 Perubahan post rigor

Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Autolisis merupakan proses terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan (FAO 1995). Proses autolisis ditandai dengan melemasnya daging ikan. Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula protein

(11)

15

dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida, dan akhirnya menjadi asam amino. Selain itu dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Murniyati dan Sunarman, 2000).

Pemecahan penyusun jaringan ikan juga akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan kadang-kadang warna. Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat (Moeljanto, 1992). Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi senyawa-senyawa busuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lain-lain.

Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umum ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia, dan Bacillus. Menurut Moeljanto (1992), berbagai kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan protein dan total koloni ikan.

Kerusakan kimiawi yang sering kali terjadi adalah proses oksidasi lemak yang mengakibatkan rasa pahit dan bau tengik serta perubahan warna. Proses oksidasi

(12)

16

lemak menghasilkan sejumlah substansi yang dapat menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Proses ini dipercepat dengan adanya logam-logam berat, enzim-enzim lipooksidase dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi atau bau tengik pada ikan (FAO, 1995).

Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya Kelompok

mikroorganisme

Suhu Pertumbuhan (ºC)

Minimum Optimum Maksimum

Psikorofil -15 10 20

Psikrotrof -5 25 35

Mesofil -5-0 30-37 45

Thermofil 40 45-55 60-80

Thermotrof 15 42-46 50

Sumber : Lan et al, (2007).

2.5.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan

Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Adapun faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan (Junianto 2003), yaitu:

(a). Jenis ikan. Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan demersal, hal ini karena ikan pelagis memliki aktifitas tinggi sehingga relatif mudah mengalami penurunan kualitas dibandingkan

(13)

17

dengan ikan demersal yang aktifitasnya rendah. Aktivitas ikan sangat berkaitan dengan kandungan glikogen yang tersedia pada saat ikan ditangkap atau dipanen. Ikan mati dengan kandungan glikogen yang rendah tidak mampu menrunkan pH daging sehingga kesegaranya cepat menurun. Selain itu ikan dengan kandungan lemak tinggi juga lebih mudah mengalami proses penurunan kualitas dibandingkan dengan ikan dengan kandungan lemak rendah. Lemak ikan bersifat tidak jenuh sehingga mudah mengalami proses oksidasi selama penyimpanan. Akibat dari proses oksidasi lemak ikan menjadi tengik, dengan demikian ikan dengan kandungan lemak tinggi mudah mengalami penurunan kesegaran.

(b). Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama mengalami kemunduran mutu dari pada ikan kecil.

(c). Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah.

(d). Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang bergizi makanannya, baru menelurkan dan sebagainya akan berpengaruh terhadap waktu memasuki tahap rigor.

(e). Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih.

Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan (Junianto 2003), adalah:

(14)

18

(a). Penggunaan alat tangkap. Jenis dan teknik penangkapan akan berpengaruh pada derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi kematiannya dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak cadangan tenaga sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap yang baik adalah yang dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (meronta-ronta) sebelum mati.

(b). Penanganan pasca-panen yang dilakukan oleh para nelayan. Untuk memperoleh ikan yan bermutu dan daya awet panjang, pokok utama dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih dan pada suhu rendah.

(c). Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.

(d). Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga berpengaruh terhadap daya awet.

(e). Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi apalagi ikan agak lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya.

2.6 Metode Pengukuran Kesegaran Ikan

Tingkat kesegaran adalah tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi, dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan sifat-sifat ikan pada waktu masih hidup. Berdasarkan tingkat kesegarannya ikan dapat digolongkan menjadi empat kelas, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali (sangat prima), ikan yang kesegarannya masih baik (prima), ikan yang kesegarannya sudah mulai

(15)

19

mundur (sedang) dan ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk). Ikan yang telah busuk bukan saja tidak enak, tetapi juga membahayakan kesehatan bila dimakan. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan mutu ikan yang akan dikonsumsi. Pemeriksaan mutu dapat dilakukan dengan tiga cara (Murniyati dan Sunarman 2000), yaitu:

(a). pemeriksaan organoleptik atau sensorik.

(b). pemeriksaan di laboratorium (secara fisik, kimia, dan mikrobiologis). (c). menggunakan alat-alat seperti freshness measure, electric freshness tester.

Analisis yang biasa digunakan untuk mengevaluasi kesegaran ikan adalah analisis organoleptik cara ini sangat cepat murah dan praktis untuk dikerjakan, tetapi ketelitiannya sangat tergantung pada tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya. Organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya mempergunakan indera manusia, sehingga cara organoleptik dapat juga disebut cara sensorik (SNI, 2006c). Pengukuran mutu secara sensorik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu sampel yang diuji, metode penilaian, dan panelis. Penentuan mutu ikan dengan metode sensoris menimbulkan kesulitan-kesulitan seperti tingkat kepercayaan khusus pada panelis, keharusan panelis untuk selalu siap menilai setiap saat penilaian dibutuhkan, serta lamanya waktu yang dibutuhkan.

Pemeriksaan kesegaran ikan di laboratorium dilakukan untuk menentukan mutu ikan dengan lebih teliti dan secara obyektif. Metode yang digunakan harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu waktu yang relatif singkat, penilaian yang singkat, biaya yang murah, dan menghasilkan nilai yang dapat diulang serta memiliki korelasi dengan nilai pengamatan secara sensorik.

(16)

20

Metode yang sering digunakan adalah mengukur total basa yang menguap (Total Volatile Base, TVB), dan menghitung jumlah bakteri (Total Plate Count, TPC) (Murniyati dan Sunarman, 2000). Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan. Nilai TVB maksimum untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100g selain itu kelebihan dalam penggunaan metode TVB adalah nilai yang tidak banyak meningkat selama tahap awal dari proses penguraian. Pengujian bakteri yang terdapat pada daging ikan dapat dilakukan dengan TPC (Total Plate Count), yaitu perhitungan jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam (SNI 2006a).

2.7 Pengawetan Dengan Pendinginan

Pendinginan merupakan suatu proses pengawetan ikan dengan suhu rendah, yaitu antara -1°C sampai 5°C. Pendinginan disebut chilling yang mempunyai tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu ikan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisis sehingga ikan tetap dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al, 2004).

Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu semakin rendah suhu yang diberikan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat. Bakteri dapat tumbuh dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0-5ºC. Proses pendinginan yang diberikan pada saat proses pembusukan sudah berjalan akan kurang efektif dalam pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Ilyas, 1983).

(17)

21

Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat di lihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri, dan mutu ikan

Suhu Kegiatan Bakteri Mutu Ikan

25°C sampai

10°C

Luar biasa cepat Cepat menurun, daya awet

sangat pendek (3-10 jam) 10°C sampai 2°C Pertumbuhan bakteri

kurang cepat

Mutu menurun kurang cepat, daya awet pendek (2-5 hari) 2°C sampai -1°C Pertumbuhan bakteri

jauh berkurang

Penurunan mutu agak dihambat, daya awet wajar (3-10 hari)

-1°C Kegiatan bakteri dapat

Ditekan

Sebagai ikan basah, penurunan suhu minimum sehingga daya awet maksimum 5-20 hari -2°C sampai

-10°C

Kegiatan bakteri

ditekan menjadi tidak aktif

Penurunan mutu minimum,

tekstur dan rasa ikan rendah, daya awet panjang 7-30 hari -18°C dan lebih

rendah

Ditekan minimum,

bakteri tersisa tidak aktif

Mutu ikan beku lebih baik, daya awet sampai setahun

Sumber: Ilyas, (1983).

Cara termudah praktis dan tidak membutuhkan biaya besar adalah menggunakan es. Es yang digunakan untuk mendinginkan ikan harus terbuat dari air yang bersih dan disimpan di tempat yang bersih pula. Es untuk mendinginkan harus berupa hancuran es untuk menghindari luka-luka atau memar pada ikan. Selain itu dengan menggunakan hancuran es maka kontak langsung antara es dengan ikan menjadi lebih baik dan proses terjadinya penurunan suhu pun menjadi lebih cepat (Ilyas, 1983).

2.8 Pengesan Dengan Penambahan Garam

Pengesan dengan menambahkan garam merupakan salah satu cara untuk mendinginkan ikan pada suhu mendekati titik beku ikan. Dengan pemakaian es yang ditambahkan garam dapat pempercepat penurunan suhu ikan sehingga menghasilkan

(18)

22

suhu akhir ikan yang rendah dan berdampak positif terhadap upaya mempertahankan kesegaran ikan. Rendahnya suhu dan kecepatan penurunan suhu ikan dapat menghambat proses biokimia dan pertumbuhan bakteri pembusuk (Yunizal dan Wibowo, 1998). Garam yang digunakan untuk mengawetkan ikan sebaiknya memakai garam murni yaitu garam yang sebanyak mungkin mengandung NaCl dan sekecil mungkin mengandung unsur lain seperti MgCl2, CaCl2, MgSO4, CaSO4, lumpur serta kotoran lainnya.

Budiman (2004) menyatakan, garam mempunyai beberapa kelemahan yaitu: (a). Garam yang mengandung Ca dan Mg lambat sekali menembus masuk ke dalam

daging ikan, sehingga memungkinkan proses pembusukan tetap berjalan selama proses penggaraman. Selain itu produk ikan asin yang dihasilkan bersifat higroskopis.

(b). Garam yang mengandung 0,5%-1%, CaSO4 menghasilkan produk yang kaku dan warnanya pucat (putih).

(c). Garam mengandung magnesium, sulfat dan klorida menyebabkan produk agak pahit.

(d). Garam yang mengandung besi dan tembaga menyebabkan warna coklat, kotor dan kuning.

(e) Garam mengandung CaCl2 menyebabkan ikan asin berwarna putih, keras dan mudah pecah.

Secara umum kandungan garam terdiri dari 39,39% Na dan 60,69% Cl, berbentuk kristal seperti kubus dan berwarna putih. Dalam proses penggaraman, penggunaan garam bertujuan sebagai bahan pengawet dan pemberi cita rasa. Sebagai

(19)

23

bahan pengawet, garam mempunyai tekanan osmosis yang tinggi sehingga akibatnya menyebabkan adanya peristiwa osmosis dengan daging ikan. Kecepatan penetrasi garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh kemurnian garam itu sendiri (Adawyah, 2007).

2.9 Pengaruh Garam Terhadap Mutu Ikan

Garam berfungsi menghambat atau menghentikan sama sekali reaksi autolisis dan membunuh bakteri yang terdapat pada tubuh ikan. Garam menyerap cairan tubuh ikan sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan bahkan akhirnya mematikan bakteri. Selain menyerap cairan tubuh ikan, garam juga menyerap cairan tubuh bakteri sehi ngga bakteri akan mengalami kekeringan dan akhirnya akan mati. Dengan matinya bakteri pembusuk maka ikan akan tetap dalam keadaan segar dan kerusakan pada ikan dapat dicegah (Desrosier, 1988).

Budiman (2004), menyatakan bahwa, kecepatan proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut yaitu :

(a). Kesegaran tubuh ikan, semakin segar ikan maka proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan akan semakin lambat.

(b). Kandungan lemak. Lemak akan menghalangi masuknya garam kedalam tubuh ikan, sehingga ikan yang kandungan lemaknya tinggi akan mengalami penyerapan garam yang lambat.

(c). Ketebalan daging ikan. Semakin tebal daging ikan maka proses penggaraman semakin lambat

(d). Kehalusan kristal garam. Garam yang halus akan lebih cepat larut dan meresap kedalam tubuh ikan, tetapi penyerapan yang terlalu cepat akan mengakibatkan

(20)

24

permukaan daging cepat mengeras (Salt burn) dan ini akan menghambat keluarnya kandungan air dari bagian dalam tubuh ikan.

(e). Suhu. Semakin tinggi suhu larutan, maka viskositas larutan garam semakin kecil sehingga proses penyerapan akan semakin mudah.

Gambar

Gambar 1. Ikan lolosi merah (C.  chrysozona)

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan di Amerika, International Seafood of Alaska (ISA) memproduksi tepung tulang ikan dengan harapan mengandung mineral seperti kalsium dan fosfor yang tinggi dan

kandungan oksigen yang lebih tinggi dibandingkan pada suhu tinggi, ikan juga dapat mengalami stres pernafasan sehingga ikan lebih rentan terserang penyakit

Ruangan yang cukup baik untuk digunakan sebagai tempat pengasapan ikan adalah ruangan yang mempunyai suhu dan kelembaban yang rendah.. Suhu dan kelembaban yang rendah

Akan tetapi, pada batas tertentu kecepatan reaksi tidak akan bertambah dengan bertambahnya konsentrasi

protein pada ikan mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa ikan dapat memanfaatkan pakan yang diberikan secara optimal sehingga bobot tubuh dapat meningkat

Nelayan disekitar Sungai Tulang Bawang menyatakan bahwa ikan Lumo yang banyak tertangkap di Perairan Sungai Tulang Bawang memiliki ciri-ciri sirip dorsal

Terumbu karang ini terletak jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m).. Umumnya

Ikan mas mempunyai daya adaptasi dan laju pertumbuhan yang tinggi dengan pemberian pakan buatan yang sesuai (Santoso, 1993). carpio) adalah salah satu ikan perairan tawar