• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intimacy

2.1.1 Definisi Intimacy

Dalam berbagai literatur dan penelitian psikologi, intimacy seringkali dipakai untuk merujuk pada pengalaman, kualitas, perasaan, kadar, interaksi, proses, kebutuhan, dan sebagainya.

Terjemahan bebas intimacy, yaitu “keintiman”, sering dihubungkan dengan unsur seksual. Rosenbluth dan Steil (dalam papalia, dkk, 2001;531) menegaskan bahwa intimacy bisa mencakup kontak seksual, bisa pula tidak, asalkan merupakan pengalaman yang ditandai oleh rasa kedekatan, kehangatan, dan komunikasi. Sementara menurut Stenberg (1988:120), intimacy adalah perasaaan yang dapat meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan keterhubungan, yang merupakan salah satu komponen cinta. Intimacy adalah afeksi yang kuat, berkomitmen dan saling berbagi dalam hubungan intelektual, fisik dan emosional dengan orang lain. Intimacy adalah kebalikan dari isolasi emosional, yang mana memiliki resiko tinggi untuk mengalami gangguan fisik dan emosional (Brown, Ladbrook dalam william, 2006).

(2)

Collins & Freeney (2004:163) mengartikan intimacy sebagai interaksi dimana individu melakukan self-discosure mengenai hal-hal penting yang ia miliki, lalu figur signifikannya merespons dengan cara yang membuat individu itu merasa divalidasi, dipahami, dan dipedulikan. Bagarozzi (2001:19) menambahkan bahwa intimacy tidak hanya melibatkan self-disclosure dan ekspresi kebutuhan yang dirasakan individu serta responsivitas figur signifikannya (dalam istilahnya,

receptivity) tetapi figur signifikan ini juga melakukan timbal balik (istilahnya, reciprocity) dengan depth (kedalaman), breadth (keluasan), dan kualitas serupa.

Dengan kata lain, harus ada mutuality of receptivity and reciprocity.

Bagarozzi (2001) memandang intimacy sebagai suatu kebutuhan dasar manusia. Ia mengatakan bahwa intimacy merupakan hubungan pribadi yang dekat, mendalam, dan melibatkan afeksi atau cinta seseorang, yang diikuti pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap orang tersebut serta melibatkan pengungkapan pikiran maupun perasaan. Selanjutnya intimacy dapat dirumuskan sebagai kedekatan yang tercipta ketika individu dan figur signifikannya terlibat dalam aktivitas yang mutually receptive and reciprocating, yaitu melakukan

self-disclosure dan mengekspresiskan kebutuhan yang dirasakan secara mendalam,

luas dan berkualitas, serta saling memuaskan kebutuhan ini. Dari definisi ini, terlihat bahwa intimacy meliputi aspek kebutuhan akan intimacy, kepuasan akan

receptivity, dan kepuasan akan reciprocity.

Kebutuhan akan intimacy berakar dari kebutuhan yang lebih mendasar akan attachment dengan figur signifikan primer (Bagarozzi, 2001; Hazan &Shaver, 1987; Reis & Patrick, dalam Regan, 2003). Pada tahap berikutnya

(3)

individu bisa mengupayakan pemuasan kebutuhan ini melalui relasi personal romantis maupun non romantis. Dengan demikian, figur signifikan individu dapat berupa sahabat, pasangan, dan anggota keluarga lain.

Setiap relasi personal sebenarnya memiliki kadar intimacy yang berbeda-beda. Pada kadar dimana individu dan figur signifikannya berhasil membina kedekatan sehingga masing-masing pihak merasa puas atas receptivity dan

reciprocity pihak lain, tercapai tingkatan relasi yang dalam penelitian ini

dikategorikan sebagai intimate (intim). Relasi intim dan intimacy yang sejati tercapai lewat proses yang berkelanjutan.

Bagarozzi (2001:24) mendefinisikan receptivity satisfaction (kepuasan atas receptivity) sebagai kepuasan subyektif individu terhadap kadar dan kualitas penerimaan, empati, dan pemahaman yang ditunjukkan oleh figur signifikannya, sebagai respons atas self-disclosure dan ekspresi kebutuhan yang ia rasakan. Sementara reciprocity satisfaction (kepuasan atas reciprocity) adalah kepuasan subyektif individu terhadap kedalaman, keluasan, dan kualitas self-disclosure pasangan dan ekspresi kebutuhan yang ia rasakan.

2.1.2 Teori kebutuhan intimacy dan Relasi Intim

Kebutuhan akan intimacy bersifat sangat individual. Sebagian dari keunikan kebutuhan ini dapat ditelusuri melalui sejarah attachment. John Bowlby (dalam Regan, 2003:220) mendefinisikan attachment sebagai kecenderungan bawaan dan adaptif manusia untuk melakukan pertalian afektif yang kuat dengan figur signifikan primer, biasanya ibu. Kecenderungan ini tampil dalam bentuk

(4)

tingkah laku yang diharapkan dapat meningkatkan kedekatan fisik dengan ibu, seperti menangis, berteriak, tertawa, dan sebagainya, sehingga mempertinggi kemungkinan kelangsungan hidup bayi.

Walaupun pengalaman awal bayi dengan ibu bersifat unik, Ainsworth, Blehar, Waters, dan Wall (dalam Hazan & Shaver, 1986) menemukan tiga tipe umum attachment, yaitu secure, anxious/ambivalent, dan avoidance. Ibu yang secara konsisten sensitif, hangat, dan responsif akan menghasilkan tipe secure. Tipe ini memperoleh dukungan untuk menjelajahi “dunianya” sendiri sekaligus jaminan rasa aman untuk kembali, sehingga akan tercipta harmoni antara keterikatan, separasi, dan individuasi. Ibu yang merespon secara lamban dan inkonsisten, atau terkadang mencampuri aktivitas yang diinginkan bayi, akan menghasilkan tipe anxious/ambivalent. Ibu yang secara konsisten menolak atau mengabaikan upaya kedekatan fisik bayi akan menghasilkan tipe avoidance.

Hasil respon ibu terhadap tingkah laku bayi serta sifat dan interaksi awal ini merupakan internal working model, yaitu serangkaian harapan dan keyakinan mengenai aksesibilitas dan responsivitas figur signifikan, keberhargaan diri, serta relasi. Selain Ibu, figur lain dalam keluarga adalah ayah, saudara, serta pramu bayi (kalau ada). Pada masa-masa selanjutnya, internal working model ini berfungsi sebagai semacam prototipe dari relasi intim yang dibangun individu dengan figur signifikan lain (Collins, 1996).

Relasi intim individu dengan figur-figur signifikan yang ia miliki dari anggota keluarga maupun sahabat dapat berfungsi sebagai patchwork-intimacy,

(5)

semacam “tambal sulam” dari berbagai relasi intim (Kieffer dalam Duvall & Miller, 1985). Pasangan yang mampu untuk saling memuaskan kebutuhan

intimacy masing-masing akan menciptakan atmosfir rasa aman dan penerimaan,

sehingga lebih bebas untuk mengaktualisasikan diri mereka (Atwater, 1999).

Umumnya, kapasitas untuk mengembangkan relasi intim bermula pada usia 6-7 tahun (Bagarozzi, 2001). Sebelum usia ini, biasanya anak belum cukup matang pada area kepribadian dan kognitif. Sullivan (dalam Bagarozzi, 2001) menyatakan bahwa masa kanak-kanak pertengahan dan akhir (usia 6-12 tahun) adalah periode kritis untuk meletakkan basis bagi intimacy yang sejati pada masa selanjutnya. Anak harus mampu terlibat dengan teman sebaya berjenis kelamin sama sebagai figur signifikan baru dalam aktivititas kompetitif, kompromis, kolaburatif, serta kooperatif. Dari sini, ia bisa mulai mengembangkan kapasitas

role taking dan empati-dua prasyarat yang harus ada dalam intimacy.

Saat menginjak masa remaja, umumnya individu terdorong untuk menonjolkan identitas diri, namun ia masih bimbang menentukan peran sebagai kanak-kanak atau sebagai orang dewasa (Erickson, dalam Papalia,dkk, 2001). Sebagian remaja mulai bersahabat dan berkencan dengan lawan jenis. Pembelajaran mengenai relasi dengan figur signifikan baru ini sangat dipengaruhi oleh observasi, persepsi, dan interpretasi terhadap relasi orang tua dan relasi heteroseksual lain yang signifikan (Bagarozzi, 2001). Sembari membina relasi personal heteroseksual, remaja perlu untuk tetap mempertahankan relasi dengan sesama jenis, sambil berjuang menemukan identitas dirinya yang unik.

(6)

Sewaktu individu beranjak dewasa, secara teoritis ia berada dalam krisis

intimacy vs isolation (Erikson, dalam Papalia, dkk., 2001). Pada masa ini,

kekuatan kebutuhan akan intimacy yang ia miliki sudah menjadi relatif stabil (Bagarozzi, 2001). Ketika patchwork intimacy atau “tambal sulam” dari relasi intim dengan pasangan, anggota keluarga lain, maupun sahabat (Kieffer, dalam Duvall & Miller, 1985) dapat ia padukan secara harmonis, peluang tercukupinya kebutuhan akan intimacy akan semakin tinggi.

2.1.3 Peran Gender dalam konsep Intimacy

Intimacy dapat menjadi sama pentingnya bagi pria dan wanita. Namun

bagi wanita, intimacy secara umum ditujukan pada kebahagiaan dalam hubungan yang dibina, misalnya dalam hubungan dimana wanita berperan sebagai pasangan seorang teman pria, sebagai istri, atau sebagai seorang ibu. Sedangkan bagi pria,

intimacy tidak memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan mereka dalam

hubungan pribadi (Goleman dalam Duffy & Atwater, 2005).

Menurut Brehm (1992), Intimacy lebih penting bagi para wanita dibandingkan bagi para pria. Wanita lebih memberi arti emosional pada hubungan intim, lebih berhati-hati dalam membentuk hubungan intim, serta lebih terpengaruh terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hubungan intim. Hal ini dapat merefleksikan sosialisasi yang secara tradisional memberi penekanan pada peran wanita dalam mencintai dan mengasuh orang lain yang lebih besar daripada pria.

(7)

2.1.4 Komponen Kebutuhan akan Intimacy

Mason (dalam Whitfield, 1993) mengidentifikasikan sembilan komponen kebutuhan akan intimacy, yaitu intelektual, emosional, estetik, seksual, spiritual, sosial, rekreasional, fisik dan afeksioal. Tujuh komponen pertama- dengan sedikit perbedaan definisi-identifikasi pula oleh Olson (dalam Duvall & Miller, 1985) Mason menambahkan bahwa relasi intim sejati baru akan tercapai ketika pasangan saling berbagi empat sampai lima komponen kebutuhan, disertai harapan bahwa relasi itu akan langgeng.

Bagarozzi (2001) juga mengidentifikasikan tujuh dari sembilan komponen yang ditemukan Mason, namun ia menggabungkan komponen sosial dengan rekreasional serta menambahkan dua komponen lain, yaitu temporal dan psikologis. Berikut ini penjelasan mengenai setiap komponen:

1. Kebutuhan akan Emotional Intimacy adalah kebutuhan untuk membicarakan dan berbagi kepada pasangan mengenai semua perasaan individu, baik perasaan positif seperti kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan kegairahan maupun perasaan negatif seperti kesedihan, kekecewaan, ketakutan, kemarahan, rasa bersalah, malu kesepian, bosan, letih. Untuk memenuhi kebutuhan ini, perlu adanya kebebasan terhadap jenis perasaan yang boleh diekspresikan. Atmosfir positif semu akan tercipta dalam relasi jika hanya perasaan positif yang boleh diekspresikan. Atmosfer relasi akan menjadi suram apabila ekspresi dibatasi pada perasaan negatif. Kedalaman dan keluasan ekspresi emosi akan menjadi terbatas pula ketika ada semacam

(8)

aturan tak tertulis yang membatasi ekspresi emosi tertentu. Contohnya, pasangan mungkin saling megekspresikan kesenangan tetapi tidak mengekspresikan kegairahan, atau salah satunya mungkin dapat mengekspresikan kesedihan tetapi menutupi kemarahannya.

2. Kebutuhan akan pschological intimacy adalah kebutuhan untuk membicarakan, berbagi, dan berhubungan dengan pasangan melalui pengungkapan hal-hal yang bermakna tentang diri dan dunia dalam diri. Misalnya saja mengenai harapan, impian, fantasi, aspirasi, rencana masa depan, ketakutan, kekhawatiran, keraguan, problem dan konflik internal yang dirasakan. Percakapan seprti ini beresiko untuk membuat individu menjadi rentan, karena ia tampil sebagaimana adanya, tanpa kepura-puraan atau sikap defensif. Oleh karena itu, harus ada basis rasa percaya yang kuat dalam relasi. Setiap individu harus merasa aman untuk berbagi dunia dalamnya, tanpa rasa takut dihakimi, dievaluasi, dilecehkan, ditertawakan, dipermalukan, atau dihukum karena mengekspresikannya.

3. Kebutuhan akan intellectual intimacy adalah kebutuhan untuk membicarakan dan berbagi dengan pasangan mengenai gagasan penting, pemikiran, dan keyakinan. Hal ini berbeda dengan mekanisme defens intelektualisasi, yang digunakan untuk menghindari emosi tertentu, memamerkan superioritas intelektual, atau memperoleh pengakuan dan pujian. Pemenuhan kebutuhan akan intellectual intimacy memerlukan penghargaan terhadap sudut pandang pasangan, terutama yang sifatnya oposisional dan berbeda. Untuk itu dituntut adanya kemampuan role-taking dan empati. Saat empati diekspresikan,

(9)

pertukaran ini akan diperkaya dengan menambahkan aspek-aspek pada

emotional intimacy.

4. Kebutuhan akan sexual intimacy adalah kebutuhan untuk membicarakan, berbagi, dan mengekspresikan kepada pasangan mengenai pemikiran, perasaan, hasrat dan fantasi yang bersifat sensual dan seksual. Tujuannya adalah untuk membangkitkan gairah seksual. Aktivitas yang dilakukan mencakup pengalaman seperti menonton film erotis, mendengarkan atau memainkan musik yang mensugesti secara seksual, serta membaca puisi untuk membangkitkan gairah seksual. Kebutuhan akan seksual intimacy juga mencakup kebutuhan dan hasrat akan kedekatan fisik dan interaksi untuk membangkitkan dan memuaskan gairah seksual, seperti mencium secara erotis, mencumbu, memeluk, menari, menimang, dan memandikan. Sexual

intimacy tidak harus melibatkan persetubuhan dan/orgasme bagi salah satu

individu dan/ pasangannya.

5. Kebutuhan akan physical/ non sexual intimacy adalah kebutuhan akan kedekatan fisik dengan pasangan yang tidak ditujukan untuk membangkitkan gairah seksual. Kebutuhan ini dapat diekspresikan melalui sentuhan ringan atau kontak yang lebih intens seperti berpelukan. Juga melalui pengalaman seperti berpegangan tangan, menari secara lembut, menyentuh secara non seksual, berciuman yang bukan merupakan awal dari persetubuhan, tidur ditempat yang sama, berjalan sambil bergandengan tangan, memijat dan sebagainya.

(10)

6. Kebutuhan akan spiritual intimacy adalah kebutuhan untuk berbagi dengan pasangan mengenai pikiran, perasaan, keyakinan dan pengalaman yang berkaitan dengan agama, kekuatan gaib, nilai moral, makna hidup, kehidupan setelah kematian, relasi dengan tuhan dan sebagainya. Spiritualitas bersifat sangat individual dan personal, sehingga tidak harus bertalian dengan agama atau ritual yang umum. Meskipun demikian, kebutuhan ini dapat pula diekspresikan melalui praktik dan partisipasi bersama dalam aktivitas, ritual, perayaan dan pengalaman keagamaan. Untuk mencapai spiritual intimacy, kedua individu tidak harus memeluk agama yang sama. Yang penting adalah adanya keterbukaan yang tulus terhadap keyakinan, perasaan, dan pengalaman spriritual pasangan serta penghargaan terhadap dunia spiritualnya. Sebagaimana untuk komponen intimacy lainnya, penerimaan tanpa menghakimi sangatlah penting.

7. Kebutuhan akan aesthetic intimacy adalah kebutuhan dan hasrat untuk berbagi dengan pasangan mengenai perasaan, pemikiran, persepsi, keyakinan dan pengalaman yang menakjubkan atau membangkitkan inspirasi karena keindahannya. Fenomena alam, baik yang sederhanaseperti butiran hujan maupun yang kompleks seperti jagad raya dapat menjadi basis bagi pemenuhan kebutuhan ini. Musik, puisi, karya sastra, lukisan, patung, karya arsitektur, dan semua bentuk ekspresi artistik dapat pula berfungsi sebagai media untuk saling berbagi kebutuhan estetik. Didalam aesthetic intimacy, pasangan saling berbagi demi pengalaman itu sendiri, bukan sebagai

(11)

permulaan dan pemenuhan komponen intimacy lain serta tidak pula dinikmati sebagai pelengkap bagi ekspresi intim lainnya.

8. Kebutuhan akan social and rekreational intimacy adalah kebutuhan untuk terlibat dengan pasangan dalam aktivitas dan pengalaman yang bersifat menghibur dan menyenangkan. Mislanya bertukar cerita lucu dan humor, berbagi pengalaman sehari-hari dan berdiskusi mengenai isu-isu terkini, berbagi makanan, kudapan, dan minuman, berlatih bersama, berolah raga dan bermain games bersama, berbagi hobi, menari bersama untuk kesenangan dan keceriaan, berkebun, berlayar, berlibur bersama, dan sebagainya. Social and

rekreational dapat pula melibatkan aktivitas dan interaksi kedua pasangan

dengan teman dan anggota keluarga lain.

9. Temporal intimacy mencakup jumlah waktu dalam jam/hari yang diinginkan oleh individu untuk digunakan bersama pasangan dalam aktivitas intim.Bukanlah hal yang mengejutkan bila jumlah waktu yang dihabiskan setiap hari dengan pasangan agar pasangan terhubung secara intim berbeda pada setiap individu. Jenis aktivitas yang dilakukan dengan pasangan agar merasa intim juga berbeda pada setiap orangnya.

(Bagarozzi, 2001:7-14)

2.1.5 Prasyarat Tercapainya Intimacy

Dari uraian mengenai komponen kebutuhan akan intimacy, terlihat adanya sejumlah prasyarat ideal untuk mencapai intimacy dan relasi intim yang sejati (Bagarozzi, 2001) menyatakan bahwa yang paling utama adalah mature love,

(12)

yang dtandai oleh komitmen yang dilakukan secara sukarela tulus terhadap pasangan serta terhadap pertumbuhan dan perkembangan relasi itu secara keseluruhan. Mature love hanya dapat terbangun ketika individu dan pasangan telah berhasil dalam separasi dan dindividuasi dengan figur signifikan primer, memantabkan identitas diri yang positif, dan mengintegrasi diri, sehingga keduanya dapat menjalin interdependensi. Mature love mencakup elemen :

1. Pengetahuan yang mendalam tentang pasangan. Individu harus mengetahui “siapa” sesungguhnya pasangannya agar dapat mencintai sebagaimana adanya ia saat ini, bukan karena potensinya untuk menjadi sosok yang berbeda dimasa depan. Termasuk juga mengetahui sembilan komponen kebutuhan akan intimacy yang dimiliki pasangannya.

2. Penghargaan terhadap pasangan sebagai manusia yang unik dan berbeda. Pasangan tidak boleh dilihat sebagai proyeksi atau perpanjangan dari diri. Ia dicintai karena ia adalah manusia yang berbeda, tidak ada upaya untuk mengubahnya. Individu baru bisa benar-benar menghargai pasangannya ketika ia memiliki penghargaan terhadap diri sendiri.

3. Penerimaan terhadap pasangan. Individu menerima dan memperlakukan pasangan sebagaimana pasangannya ingin diperlakukan. Penerimaan tanpa syarat hanya bisa diberikan oleh individu yang telah menerima diri sendiri. 4. Rasa percaya dan kejujuran. Rasa percaya didasarkan pada keyakinan bahwa

pasangan akan mempertahankan komitmennya secara konsisten. Kejujuran berarti apa yang diungkap oleh individu adalah benar dan akurat, tidak ada upaya yang dilakukan secara sadar untuk menipu pasangannya.

(13)

Perbedaan, konflik, dan problem merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam relasi jangka panjang. Intimacy tidak akan dikorbankan seandainya relasi didasarkan pada mature love. Selain itu, sejumlah prasyarat lain yang dikemukakan oleh Bagarozzi (2001) adalah :

1. Kemampuan role-taking (mengambil peran, yaitu untuk melihat dunia dari sudut pandang pasangan, mempersepsikan apa yang ia persepsikan, dan membalik perspektif yang dimiliki individu sehingga ia dapat melihat dirinya sebagaimana pasangan melihatnya) dan empati (menempatkan diri pada posisi pasangan dan merasakan apa yang ia rasakan, tetapi tidak mengidentifikasi diri dengannya dan merasa kasihan atau simpati)

2. Kemampuan untuk menegoisasikan perbedaan dan resolusi konflik (kemampuan menyelesaian masalah dan membuat keputusan).

2.1.6 Faktor – faktor yang mempengaruhi aspek- aspek intimacy

Sebagai sebuah state yang tercapai melalui proses, intimacy harus melibatkan dua pihak. Mutually menuntut individu sebagai pemberi pesan untuk melakukan self-disclosure dan mengekspresikan komponen kebutuhan akan

intimacy yang ia rasakan, sementara pasangan sebagai penerima pesan

menampilkan receptivity dan reciprocity. Proses ini terjadi secara dinamis dan interaktif serta dipengaruhi oleh banyak faktor (Bagarozzi, 2001), sehingga tidak mungkin dipisahkan. Namun untuk kejelasan, faktor yang dapat mempengaruhi aspek-aspek intimacy dapat diuraikan satu demi satu.

(14)

2.1.6.1 Faktor dalam self-disclosure dan ekspresi kebutuhan

Derlega, Metts, Petronio, dan Margulis (1993) mendefinisikan

self-disclosure sebagai pengungkapan pikiran, perasaan, dan pengalaman diri secara

verbal. Pada kenyataannya, tingkah laku verbal dan nonverbal seperti nada suara, isyarat tangan, dan kontak mata sulit untuk dipisahkan. Beragam tujuan yang ingin dicapai melalui self-disclosure adalah untuk (a) katarsis (b) menghadirkan citra diri yang positif, disukai, atau yang sesungguhnya (c) memperoleh informasi (d) memberikan sinyal mengenai bentuk relasi yang diinginkan.

Bagarozzi (2001) merasa perlu untuk memisahkan ekspresi kebutuhan dengan kebutuhan yang sesungguhnya dirasakan individu. Menurutnya, individu tidak selalu mengekspresikan seluruh kebutuhan yang ia rasakan . Padahal untuk memperbesar peluang terpenuhinya kebutuhan yang sesungguhnya dirasakan individu, akan lebih baik jika individu mengungkapkan kebutuhannya secara verbal.

Self-disclosure dan ekspresi kebutuhan dipengaruhi oleh banyak faktor,

baik disposisional, situasional, maupun relasional. Faktor pertama adalah tipe

attachment (Collins dan Freeny, 2004; Hazan & Shaver, 1987). Derlega, dkk,

(1993) merangkum faktor lain yang dapat mempengaruhi self-disclosure :

1. Gender. Different Cultures Model berangkat dari proposisi bahwa perempuan dan lelaki berbeda dalam preferensi, pola, serta intepretasi terhadap makna dan tujuan self-disclosure.

(15)

2. Definisi relasional, yaitu representasi dan pemikiran individu mengenai relasi dan tingkah laku yang ia anggap sesuai.

3. Waktu. Relasi berubah seiring waktu, sehingga mempengaruhi

self-disclosure.

Bagarozzi (2001) merumuskan sejumlah problem komunikasi dari individu yang melakukan self-disclosure dan mengekspresikan kebutuhan yang ia rasakan, yaitu:

1. Penipuan, dimana terdapat usaha secara sadar dan sengaja untuk memperdayai, menyesatkan, mencurigai, atau memanipulasi pasangan. Penipuan yang dilakukan kronis merupakan bagian dari simtom patologis yang mempertipis kemungkinan tercapainya intimacy.

2. Pesan terselubung. Terkadang individu menyembunyikan atau menyamarkan makna sesungguhnya dari pesan verbalnya, lalu ia mengharapkan pasangan untuk menguraikan, memahami, dan memberikan respons secara sangat spesifik. Mungkin ia tidak mampu bersikap asertif, merasa tidak sopan untuk terbuka, atau merasa tidak layak meminta apa yang ia inginkan. Meskipun terkadang pasangan bisa menebak makna dibalik pesan ini, pemakaian yang berulang seringkali menimbulkan frustasi, salah paham, dan konflik.

3. Pesan ganda, yaitu pesan-pesan yang maknanya tidak jelas. Meliputi komunikasi sarkatis, yaitu sindiran sebagai representasi tak langsung dari agresivitas, serta pesan terkualifikasi, yaitu ekspresi non verbal yang ditampilkan individu tidak serasi dengan isi pesan yang ia sampaikan.

(16)

4. Komunikasi paradosikal, merupakan komunikasi kontradiksi yang memiliki kualitas absurd. Meliputi definis-diri paradoksikal, misalnya individu berkata bahwa nenek moyangnya adalah pembohong, sehingga ketika ia berbohong berarti ia bersikap benar. Juga perintah paradoksikal, yaitu pasangan harus melanggar perintah yang disampaikan, misalnya ketika ia dituntut oleh individu yang dominan untuk bersikap lebih asertif. 5. Pesan agresif, yaitu semua bentuk komunikasi baik verbal, nonverbal

maupun fisik secara sadar dan sengaja ditujukan untuk menyakiti. Menghukum, atau menakut-nakuti pasangan.

2.1.6.2 Faktor dalam receptivity dan reciprocity

Miller & Berg (dalam Derlega, dkk, 1993) mengemukakan bahwa indikasi ketertarikan dan pemahaman dari penerima pesan bisa dilihat melalui konten atau apa yang dikatakan (misalnya, elaborasi terhadap topik), gaya atau tingkah laku nonverbal, dan waktu atau kesegaran pemberian respons. Umumnya, jeda yang panjang dan tingkah laku memotong pembicaraan menunjukkan receptivity yang rendah.

Derlega, dkk. (1993) mengidentifikasi sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi receptivity pasangan:

1. Gender. Sejalan dengan proposisi bahwa perempuan dan lelaki berbeda dalam preferensi, pola, serta iterpretasi terhadap makna dan tujuan

(17)

2. Waktu. Receptivity bisa berubah seiring waktu, walaupun pasangan sebenarnya menerima pesan yang isinya serupa.

Bagarozzi (2001) kembali mengidentifikasi problem komunikasi pada pasangan yang diharapkan untuk bersikp receptive, yaitu:

1. Cacat atau problem organ pendengaran\

2. Keterampilan mendengar yang buruk. Pasangan yang kurang mampu berkonsentrasi dan perhatiannya mudah teralih sering salah memahami isi pesan yang disampaikan. Kondisi emosional tertentu seperti ansietas, depresi, stres, dan kemarahan juga bisa mengganggu kemampuan konsentrasi.

3. Sikap defensif. Ketika pasangan tidak berharap menerima pesan yang disampaikan atau tidak setuju dengan isi pesan, ia bisa berhenti medengarkan. Ia mugkin terokupasi untuk memformulasikan responnya sendiri terhadap pesan yang ia terima.

4. Faktor psikologis. Pasangan dengan gangguan kepribadian dan klinis mungkin tidak dapat mempercayai individu yang memberi pesan dan isi pesan yang disampaikan. Ia bisa merasa curiga terhadap motif dan intensi individu, serta mengintepretasikannya dengan cara yang sangat terdistorsi.

Agar pasangan mampu bersikap receptive, terlebih dahulu ia harus mampu menangkap makna sesungguhnya dari pesan yang disampaikan. Makna ini dipengaruhi oleh atribusi yang ia berikan terhadap individu dan pesannya. Pemberian atribusi merupakan proses yang kompleks, karena didasarkan pada ada tidaknya prasyarat intimacy dan faktor-faktor lain yang telah disebutkan diatas.

(18)

Pasangan akan cenderung bersikap reciprocating ketika ia membuat atribusi positif dan menilai bahwa self-disclsorure individu memberikan manfaat (Derlega, dkk, 1993). Misalnya saja, ketika ia merasa diistimewakan (“Ia mengungkapkan hal ini karena ia percaya kepada saya.”) dan merasa positif terhadap karakter individu (“Tujuannya adalah untuk membantu saya memahami posisinya sehingga saya dapat merasa lebih nyaman”).

Atribusi positif bukan satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi

reciprocity pasangan. Faktor lain adalah tujuan relasional yang ia miliki. Ketika ia

ingin membuat relasinya menjadi lebih berkembang, ia bisa saja memilih utuk tidak bersikap reciprocating karena mempertimbangkan adanya resiko negatif. Kekuatan kebutuhan akan intimacy yang berbeda dan keterbatasan keterampilan komunikasi juga dapat menghambat reciprocity pasangan. Namun dalam kondisi ini, biasanya ia akan tetap bersikap receptive.

Dalam relasi yang telah memiliki basis rasa saling percaya, umumnya sikap reciprocating hanya perlu ditampilkan secara berkala, tidak perlu bersamaan dengan waktu individu melakukan self-disclosure (Derlega, dkk, 1993). Sebaliknya, kesempatan pasangan untuk bersikap reciprocating bisa terhambat ketika reciprocating bisa terhambat ketika individu yang menyampaikan pesan terlalu mendominasi interaksi, tidak menunjukkan ketertarikan terhadap respons pasangan, serta cenderung menempatkan diri sebagai pusat perhatian.

(19)

2.2 Dewasa Awal

2.2.1 Perkembangan Dewasa Awal

Perkembangan dewasa dibagi menjadi tiga yaitu, dewasa awal (early

adulthood) dengan usia berkisar antara 20 sampai dengan 40 tahun. Dewasa

menengah (middle adulthood) dengan usia berkisar antara 40 sampai dengan 65 tahun dan dewasa akhir (late adulthood) dengan usia 65 tahun keatas (Papalia, 2008).

Usia yang digolongkan dalam tahap perkembangan dewasa awal berkisar antara 20-40 tahun . Tugas perkembangan dewasa awal berdasarkan teori Erikson (dalam Papalia, et.al,2009), dikatakan kematangan perkembangan psikososial dewasa muda dapat dicapai ketika mampu melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini seseorang diharapkan mampu mempersiapkan dan membina hubungan yang dekat dan hangat dengan orang lain, petemanan, menggabungkan diri dalam suatu kelompok dan mempersiapkan diri untuk membentuk komitmen dengan lawan jenisnya yang nantinya akan mengarahkan pada pernikahan.Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa. Menurut Papalia (2008), semua tahap perkembangan memiliki tugas perkembangan. Begitu juga dalam tahap perkembangan dewasa awal. Ada beberapa tugas perkembangan dewasa awal, yaitu (Turner & Helms, 1995) :

(20)

2. Belajar menyesuaikan diri dan hidup secara harmonis dengan pasangan; 3. Mulai membentuk keluarga dan memulai peran baru sebagai orang tua; 4. Membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan mereka;

5. Belajar menata rumah tangga dan memikul tanggung jawab; 6. Mengembangkan karier atau melanjutkan pendidikan; 7. Memenuhi tanggung jawab sebagai warga negara; 8. Menemukan kelompok sosial yang sesuai.

Dari tugas perkembangan diatas terlihat bahwa tugas terpenting dari dewasa awal adalah untuk membentuk hubungan intim yang dekat dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Erikson, dimana permasalahan utama individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda adalah

intimacy versus isolasi, pada tahap ini, individu berusaha untuk membuat

komitmen pribadi dan dalam dengan orang lain, jika tidak berhasil maka ia dapat mengalami isolasi dan tenggelam dalam dirinya sendiri (Papalia, 2008).

2.2.2 Dewasa Awal Lajang

Single atau lajang dapat diartikan sebagai jalan hidup atau sebuah

ketetapan dalam pikiran. Lajang adalah tidak terikat dan tidak tergantung dengan orang lain. Lajang tidak memiliki komitmen pada hubungan jangka panjang dengan orang dewasa lain, dan mereka juga tidak bergantung dengan orang lain dalam masalah keuangan mereka. Ini adalah karakteristik dasar menjadi lajang. Ada pula karakteristik lain seperti hidup sendiri dan memiliki pekerjaan (Brehm, 1992).

(21)

Dengan menjadi lajang, mereka memiliki banyak keuntungan, termasuk didalamnya memiliki waktu untuk membuat keputusan atas diri, dapat mengembangkan sumber pribadi untuk mencapai tujuan, kebebasan untuk membuat keputusan yang mandiri, dapat mengejar keinginan, kesempatan untuk menjelajahi tempat baru dan hal baru, dan ketersediaan privasi (santrock, 2013). Menurut Austrom & Hannel (1985, dalam Papalia, 2008), beberapa orang tetap melajang karena ingin bebas untuk mengambil resiko, lebih bereksperimen dan melakukan perubahan, seperti pindah kenegara lain, mengejar karier, mempertinggi tingkat pendidikan mereka atau melakukan pekerjaan yang kreatif tanpa harus khawatir berdampak pada orang lain. Beberapa yang lain hidup melajang karena menyukai kebebasan seksual, beberapa yang lain menganggap gaya hidup seperti ini menarik, beberapa hanya karena suka hidup sendiri, dan beberapa menunda atau menghindari pernikahan karena takut akan sendiri karena takut akan berakhir perceraian. Kebanyakan dari mereka tidak merasakan kesepian, mereka memiliki kesibukan dan aktif dalam pekerjaan, mereka juga merasa secure tentang diri mereka sendiri (Cargan, Spurlock dalam Papalia, 2008).

Sedangkan masalah yang terjadi pada orang dewasa lajang adalah fokus terhadap intimate relationship pada orang dewasa lain, menghadapi rasa kesepian, dan menemukan tempat di masyarakat yang lebih berorientasi pada pernikahan. Banyak orang dewasa lajang merasa kebebasan personal sebagai keuntungan paling besar dari menjadi lajang. Biasanya ini dapat dilihat dari gaya hidup mereka yang mewah dan menyenangkan. Akan tetapi ketika mereka mencapai

(22)

usia 30 tahun, tekanan untuk menetap dan menikah akan meningkat. Jika wanita ingin membesarkan anak, dia akan merasa lebih terdesak ketika mencapai usia 30 tahun. Inilah ketika banyak orang dewasa yang membuat keputusan secara sadar untuk menikah atau tidak. Banyak dari dewasa lajang diatas 30 tahun merasa bahwa menikah tidak lebih penting dari memiliki rumah atau properti lainnya. Banyak orang merasa tidak perlu terburu-buru untuk menikah, ketika hal itu terjadi maka hal itu akan terjadi (Santrock, 2009).

2.3 Wanita Bekerja

Menurut Hoffman (1984), wanita bekerja adalah wanita yang melakukan pekerjaan dan mendapatkan upah. Sedangkan menurut Hoyer dan Roodin (2003), bekerja merupakan usaha mendapatkan makanan, tempat tinggal dan pakaian, serta untuk membantu keluarga. Bekerja juga dapat memberikan rasa puas sebagai individu dewasa., sebagai pengembangan keterampilan, menunjang kompetensi, menerapkan pengetahuan, dan membangun self esteem (Hoyer & Roodin, 2003).

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan wanita memilih untuk bekerja diluar rumah. Frieze (1978) mengatakan bahwa selain faktor ekonomi dan pendidikan alasan yang mendorong wanita untuk bekerja adalah sarana pengembangan diri dalam mencapai karier tertentu. Secara lebih rinci Sobol (dalam Hoffman & Nye, 1984), menyebutkan alasan wanita bekerja adalah sebagai berikut :

1. Memenuhi kebutuhan pemenuhan diri;

(23)

3. Membantu usaha yang dikelola oleh keluarga; 4. Memenuhi kebutuhan keluarga; dan

5. Mendapatkan kekayaan.

Wanita bekerja menurut Richardson (dalam, Betz & Fitgerald, 1987) dibedakan menjadi dua, yaitu yang motivasinya semata-mata utuk kerja dan berkarier. Wanita yang termotivasi pada kerja saja adalah yang ingin bekerja diluar rumah namun tidak memprioritaskan bekerja sebagai tujuan utama hidupnya. Selanjutnya wanita yang bekerja tetapi berorientasi pada karier adalah wanita yang bekerja sebagai fokus utama hidupnya, karena menurut mereka bekerja merupakan sumber kebanggaan diri.

Wanita bekerja dengan karier sukses merupakan fenomena umum di kota-kota besar. Pendidikan yang tinggi yang dimiliki oleh wanita bekerja memberikan peluang lebih besar pada mereka dalam pekerjaan dan terbukanya peluang tersebut membuat mereka lebih berambisi untuk mengejar karier sehingga dapat menduduki posisi yang cukup penting ditempat kerjanya. Bekerja memiliki nilai dan dapat menjadikan hidup wanita lebih sejahtera dan bahagia. Craig (1986) menyatakan bahwa kerja merupakan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas serta meningkatkan harga diri. Selain itu menurut Lemme (1995) pekerjaan merupakan faktor utama yang menentukan status dan kelas sosial ekonomi individu sehingga pada wanita yang bekerja akan mencari kriteria calon suami yang memadai yang memiliki kedudukan dan posisi yang baik, yang lebih baik dari calon istri.

(24)

Di Indonesia, kecenderungan wanita untuk bekerja diluar rumah semakin meningkat. Terbukanya kesempatan pendidikan dan lapangan pekerjaan terutama dikota-kota besar memberikan banyak kesempatan pada wanita untuk bekerja. Hal ini dapat terlihat dari kenaikan jumlah angkatan kerja wanita, yaitu sebesar 49,2% ditahun 2004 meningkat menjadi 51,1% diathun 2008 (www.menegpp.go.id). Fenomena ini berkembang seiring dengan penundaan pernikahan yang banyak terjadi seperti diungkapkan Becker (dalam Blossfeld, 1995) bahwa wanita dengan dengan tingkat pendidikan tinggi dan kesempatan karier yang baik mengalami peningkatan dalam menunda pernikahan. Moore & Hofferth (dalam Cox, 1984) menyatakan bahwa wanita bekerja cenderung untuk menunda pernikahannya karena ia merasa telah mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

2.4 Pasangan/pacar

Pacaran lebih tepat didefinisikan sebagai dating, beberapa ahli mendefinisikan dating atau pacaran secara berbeda-beda, yaitu sebagai berikut : Turner dan Helms (2002) mengatakan bahwa dating atau pacaran adalah hubungan yang relatif permanen serta telah kokoh atau mantap, sehingga kedua pasangan yang menjalinhubungan tersebut akan menghindari dan menahan diri untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

Kemudian Walker (2006) mendefinisikan dating sebagai hubungan antara lawan jenis yang lebih dari sekedar pertemanan yang spesial dan dapat berkembang menjadi hubungan yang lebih serius seperti komitmen pernikahan. Sedangkan Rice (1996) memberikan batasan dating sebagai hubungan antara dua

(25)

individu lawan jenis disertai adanya kedekatan, kelanggengan, serta melibatkan cinta dan komitmen.

Berdasarkan definisi-definisi pacaran yang telah dijelasakan oleh para tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa batasan pacaran yaitu hubungan antara dua individu lawan jenis yang lebih dari sekedar pertemanan dimana didalam hubungan tersebut terdapat kedekatan, cinta dan komitmen untuk mempertahankan hubungan, serta terdapat kemungkinan berlanjut menuju pernikahan.

Proses berpacaran umumnya berawal pada usia remaja. Proses ini biasanya bermula saat individu terlibat dalam interaksi heteroseksual yang terjadi pada sistem pendidikan (sekolah, kampus), atau fungsi-fungsi sosial lainnya, atau melalui kontak media massa (Turner dan Helms, 2002). Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Pikunas (1976), Crockett dan Randall, (2006) bahwa ketertarikan terhadap lawan jenis umumnya terjadi saat seseorang memasuki usia remaja dan mengalami peningkatan ketika memasuki usia dewasa muda.

Penelitian yang dilakukan Freiring (1996) menunjukkan bahwa memasuki usia 16 tahun lebih dari 90% remaja laki-laki maupun remaja perempuan setidaknya sudah pernah mengalami satu kali proses berpacaran (Steinberg, 2002). Pada hasil penelitian Reis (1993) menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat keintiman dengan pacar meningkat dengan stabil pada masa remaja dan peningkatan signifikan terjadi pada masa akhir usia SMA (Buhmaster, 1996; Steinberg, 2002). Kemudian pada saat individu mememasuki masa kuliah

(26)

umumnya mereka menjadikan pacar sebagai orang pertama dalam daftar

significant others-nya (Douvan dan Adelson, 1966, dalam Steinberg, 2002).

Menurut Rice (1996) pacaran berfungsi sebagai sarana rekreasi, persahabatan tanpa adanya tanggung jawab untuk menikah, memberikan status dan prestasi (achievement), sosialisasi, eksperimen seksual atau kepuasan seksual, pemilihan pasangan, dan pemenuhan kebutuhan intimacy. Sedangkan menurut Duvall dan Miller (1985) mengatakan pacaran berfungsi untuk mengenalkan dan membiasakan kaum muda terhadap lawan jenis mereka. Duvall dan Miller (1985) juga mengatakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu hubungan pacaran adalah pernikahan.

Melalui berpacaran, dua orang yang saling mencintai berinteraksi bersama dan memutuskan apakah mereka menginginkan hubungan mereka berkembang menjadi lebih dekat dan lebih intim (Bird dan Melville, 1994). Seperti yang diutarakan Rice, 1996; Duvall dan Miller 1985, hubungan pacaran yang terjalin dapat menjadi sarana untuk memilih pasangan dan akhirnya memutuskan untuk meresmikan hubungan tersebut dalam ikatan pernikahan. Maka pada individu dewasa awal sesuai dengan tugas perkembangannya, fungsi pacaran yang terjalin adalah untuk memilih pasangan dan menuju pernikahan.

2.5 Penelitian Terkait

Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa penelitian-penelitian yang telah dilakukan terkait intimacy need pada wanita dewasa awal. Berikut merupakan kesimpulan pada penelitian yang telah dilakukan oleh miranty (2008)

(27)

mengenai gambaran kebutuhanIntimacy, Attachment Style dengan orang tua dan

Self Esteempada wanita lajang dewasa muda yang memprioritaskan pernikahan.

Pada penelitian ini, sampel penelitian adalah tiga orang wanita dewasa muda yang tidak memprioritaskan pernikahan. Berdasarkan hasil analisis didapatkan, diperoleh gambaran yang berbeda antara intimacy, attachment style dan self

esteem pada seluruh subyek penelitian. Wanita lajang dapat memiliki gambaran

kebutuhan intimacy yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka semua memiliki

intimacy emosional sebagai kebutuhan terpenting dalam hidup mereka. Mereka

juga memiliki attachment style yang berbeda, ada yang memiliki secure dan ada yang memiliki insecure attachment. Mereka juga ada yang memiliki self esteem yang tinggi. Insecure attachment dapat berdampak pada self esteem yang rendah dan akhirnya kesulitan dalam membina hubungan intim. Sementara individu yang hidup lajang, dapat juga memiliki secure attachment dan self esteem yang tinggi.

Penelitian berikutnya, dilakukan oleh Lestari (2008) mengenai gambaran kebutuhan akan intimacy dan psychological well being pada wanita dewasa muda yang belum pacaran. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya kebutuhan akan intimacy pada keempat subyek melalui keinginan untuk menjalin hubungan berpacaran. Wanita dewasa muda yang belum pernah berpacaran dalam penelitian ini memandang pacaran sebagai hubungan untuk saling mengenal antara kedua lawan jenis yang selanjutnya menuju ke tahap yang lebih serius yaitu pernikahan. Namun tidak semuanya subyek memandang pacaran sebagai hal yang penting bagi mereka saat ini. Kebutuhan akan intimacy mereka yang tidak terpenuhi melalui kehadiran seorang pacar tergantikan oleh kehadiran teman,

(28)

sahabat atau keluarga. Melalui kehadiran teman, sahabat, atau keluarga disisi mereka para subyek dapat berbagi pengalaman suka dan duka, saling memberi dan menerima dukungan. Walaupun disisi lain, mereka tetap merasakan dan menginginkan hadiranya seseorang yang berbeda (pacar) selain teman, sahabat atau keluarga. Secara umum disimpulkan pula bahwa dari keenam dimensi

psychological well being, hanya dimensi otonomi dan dimensi hubungan positif

dengan orang lain yang tampak kuat, sedangkan kelima dimensi lainnya tampak kurang kuat. Peneliti berpendapat bahwa pandangan wanita dewasa muda yang belum pernah berpacaran terhadap berpacaran, penghayatan dirinya yang belum pernah berpacaran dan pemenuhan kebutuhan akan intimacy mereka memberikan dampak terhadap psychological well being mereka. Mereka yang memandang pacaran sebagai sesuatu yang penting dan berkeinginan cukup besar untuk memiliki pacar tetapi tidak kunjung terpenuhi keinginannya cenderung menghayati keadaannya sebagai hal yang tidak menyenangkan dan menimbulkan perasaan-perasaan negatif seperti kesepian atau kecemasan. Kemudian kurangnya dukungan sosial dari orang terdekat seperti keluarga atau sahabat akhirnya membuat kondisi psycological well being mereka kurang baik.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan variasi pengambilan sampel dan variasi diameter kolom yang digunakan, dapat dilihat bahwa semakin dekat jarak dan semakin besar diameter kolom yang digunakan

Hasil ini menwrjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh secara simultan variabel perlumbuhan Ekonomi (PE), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi

Rumusan klausa force majeure dalam KUH Perdata dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa force majeure tidak terduga oleh para pihak atau tidak termasuk dalam asumsi dasar

1) Untuk mengetahui peran Polisi Militer Angkatan Laut dalam menanggulangi tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan

52 Jakarta Selatan, dengan ini Unit Layanan Pengadaan BNP2TKI menetapkan Hasil Prakualifikasi untuk paket pekerjaan Pembuatan Peta Sistem Monitoring Dan

Hasil uji beda (Tabel 2) menunjukkan emisi formaldehida dari produk yang cor e- nya meng g unakan jenis kayu berkerapatan rendah dengan arah serat tegak lurus dengan

Terjadinya penurunan material mudah larut pada proses pengeringan dan diikuti dengan peningkatan bahan tidak terlarut tetapi berpotensi untuk difermentasi, dan penurunan

Selain itu hal lain yang dapat disarankan yaitu perlu pengamatan tingkat kesukaan panelis terhadap irisan bit sebelum uji organoleptik dilakukan serta koefisien