• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KEJADIAN BENCANA BANJIR BERDASARKAN KARAKTERISTIK AWAN DAN HUJAN DI WILAYAH JAKARTA (Studi Kasus 17 Januari 2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KEJADIAN BENCANA BANJIR BERDASARKAN KARAKTERISTIK AWAN DAN HUJAN DI WILAYAH JAKARTA (Studi Kasus 17 Januari 2014)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

15

STUDI KEJADIAN BENCANA BANJIR BERDASARKAN

KARAKTERISTIK AWAN DAN HUJAN DI WILAYAH JAKARTA

(Studi Kasus 17 Januari 2014)

Marlina Nababan*, Bayong Tjasyono Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

*Email : nababanmarlina@gmail.com

ABSTRAK

Hujan lebat yang dihasilkan oleh awan-awan jenis Cumuliform akan menjadi bencana banjir apabila curah hujan dengan intensitas tinggi dan durasi lama meluap pada daerah aliran sungai (DAS). Bencana banjir yang terjadi diwilayah Jakarta pada tanggal 17 Januari 2014 bahkan telah menyebabkan 11 warga meninggal dunia serta banyak kerugian materi lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis factor meteorologi yaitu paras kondensasi dan ketebalan awan dari data radiosonde, intensitas hujan dari pias pluviogram serta melakukan kajian dengan isohyet diarea banjir sebelum, saat, dan sesudah kejadian banjir. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis diagram aerodinamik, pluviograf, citra radar cuaca serta membuat peta isohyet. Cara analisis data menggunakan analisis deskriptif, komperatif, dan spasial. Hasil menunjukkan bahwa bencana banjir yang terjadi diwilayah Jakarta merupakan tipe awan – awan konvektif dengan tinggi dasar awan konvektif cukup rendah, yaitu kurang dari satu kilometer dan awan cukup tebal antara 7,6 km sampai 8,2 km, intesitas hujan per jam lebih dari 20 mm (hujan sangat lebat) terjadi setelah jam 12.00 waktu setempat yang disebabkan oleh konveksi darat, serta terkonsentrasi di wilayah Jakarta Utara dengan pergerakan awan dari Timur Laut bergerak menuju Barat Daya.

Kata Kunci : Awan konvektif(Cumuliform), curahhujan, konveksidan bencana banjir. ABSTRACT

Heavy rains produced by cumuliform clouds would be flood disaster if rainfall intensity is high and long duration overflow in the watershed (DAS). Flood disaster that occurred in Jakarta on January 17, 2014 caused 11 people died and many other material losses. This study aimed to analyze the meteorological factors that are condensation level and thick of clouds based on the radiosonde data, rainfall intensity from the pluviogram data as well as carried a study of Isohyets in the Jakarta flooded areas before, during, and after flood disaster. This research was conducted by analyzing the aerodynamic diagram, pluviograph, weather radar images and Isohyets map. Data analysis by using descriptive analysis, comparative, and spatial. Results showed that the floods that occurred in the region of Jakarta is a type of convective clouds with convective cloud base height less than one kilometer and the thick of the clouds are between 7.6 km and 8.2 km, the intensity of rain is more than 20 mm/hour (heavy rain) occurred after 12.00 local time caused by convection, and concentrated in North Jakarta with the movement of the clouds from the Northeast toward Southwest.

Keywords: Convective clouds (cumuliform), precipitation, convection, flood disaster.

1. PENDAHULUAN

Hujan lebat yang dihasilkan oleh awan-awan jenis Cumuliform akan menjadi bencana apabila curah hujan dengan intensitas tinggi dan durasi lama meluap pada daerah aliran sungai (DAS), yaitu disebut fenomena bencana banjir. Bencana banjir salah satu bencana alam, yang menyebabkan korban

jiwa dan kerugian ekonomi yang besar (WMO, 1998). Bencana banjir yang terjadi diwilayah Jakarta pada tanggal 17 Januari 2014 bahkan telah menyebabkan 11 warga meninggal dunia serta banyak kerugian materi lainnya (berita2bahasa, 2014). Tujuan dari penelitian ini menganalisis faktor meteorologis sebelum, saat, dan sesudah kejadian banjir yaitu :

(2)

16 1. Analisis paras kondensasi dan ketebalan

awan dari data radiosonde

2. Analisis intensitas hujan dari data pluviograf (pias pluviogram)

3. Mengkaji isohyet (garis kesamaan jumlah curah hujan) di area banjir. Sedangkan manfaat dari penulisan ini diharapkan dapat menambah pemahaman, dan memberi manfaat pada perkembangan ilmu cuaca (science of weather). Aplikasi dari penelitian ini adalah peningkatan penyampaian informasi mengenai karakteristik awan dan hujan yang seringkali menyebabkan banjir diwilayah Jakarta. Awan konvektif jenis Cumulonimbus merupakan salah satu penyebab bencana banjir lokal yang terjadi di Indonesia. Curah hujan dari jenis awan konvektif terjadi setelah insolasi maksimum, biasanya setelah pukul 12.00 waktu lokal. Awan jenis konvektif terutama Cumulonimbus memiliki tiga fase tahap pembentukan, yaitu fase cumulus atau fase pertumbuhan awan, fasa dewasa (mature) atau fasa hujan lebat, dan fasa disipasi atau fasa hujan ringan sampai awan lenyap. Terkadang hujan konveksional disebabkan oleh lebih dari satu sel awan konvektif.

Dengan menggunakan data pluviograf dapat diketahui tahap pertumbuhan awan dan hujan konvektif (Tjasyono dkk., 2007). Pertumbuhan awan konvetif yang biasanya menyebabkan hujan lebat sangat erat kaitanya dengan kondisi labilitas atmosfer. Tinggi dasar awan konvektif dapat dilihat dari titik CCL (Convection Condensation Level) dan tinggi puncak awan dari titik EL (Equilibrium Level) yang didapat dari diagram skew T logP yaitu dengan cara merajah (plot) profil suhu dan titik embun pada kertas aerogram dari data sounding udara atas. Sehingga dapat dilihat ketebalan awan serta kekuatan updraft (Wicaksono, 2013). Dengan Radar cuaca dapat ditentukan posisi awan (derajat), jarak (km), tinggi dasar awan (m), puncak awan (m), coverage (km), tipe (hujan), karakteristik dan gerakan awan. Dimana prinsip kerja radar adalah memancarkan gelombang elektromagnetik dengan pulsa pendek (microwave) yang membentur sasaran yang diamati dan dihamburkan kembali pulsa tersebut oleh

sasaran (echo) kemudian diterima oleh antena radar dan diteruskan ke alat penerima (receiver). Sasaran pada radar cuaca adalah awan yang mengandung butir air (Marjuki, 2007). Radar juga mampu memberikan informasi perkiraan berapa curah hujan yang jatuh disuatu wilayah.

2. DATA DAN METODE

Lokasi penelitian mencakup Propinsi DKI Jakarta terletak antara 5°19’12’’LS- 6°23’54” LS dan 106°22’42” BT - 106°58’18” BT dengan ketinggian 7m dpl dengan luas daerah 661,52 km². Adapun beberapa stasiun Meteorologi dan Pos Hujan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah DKI Jakarta yang menjadi titik pengamatan ditunjukan pada peta dibawah ini gambar 3.1

Gambar 3.1 Peta Sebaran Pos Hujan Wilayah Jakarta (Sumber: Staklim Pondok Betung, 2014). Data yang digunakan dalam melakukan analisis kejadian bencana banjir berdasarkan karakteristik awan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 2014 diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)sebagai data sekunder. Data cuaca yang dikoleksiyaitu :

1. Data Curah Hujan : Data curah hujan yang digunakan adalah data pluviograf (data pias Helman) dari 2 Stasiun BMKG di Jakarta yaitu Stasiun Meteorologi Kemayoran (96745)dan Stasiun Klimatologi Pondok Betung pada tanggal, 14– 20 Januari 2014. 2. Data Radiosonde : Data Radiosonde yang digunakan adalah data suhu dan titik embun yang dirajah (plot) secara vertikal pada kertas aerogram atau diagram SkewT logP. Sumber

(3)

17 data Radiosonde dari Stasiun Meteorologi

Soekarno – Hatta (96749) pada tanggal 14– 20 Januari 2014 (00.00 UTC).

3. Data Radar Cuaca : Data Radar diperoleh dari BMKG untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya yang merupakan radar buatan Amerika Serikat yaitu Radar Enterprise Electronics Corporation (Radar EEC) tipe Doppler Weather System Radar – 2501C-Band (DWSR-2501C) dengan perangkat lunak yang dinamakan Enterprise Dopplers Grapichs Environment (EDGE) serta Volume Coverage Pattern (VCP) yang digunakan adalah 21 (EEC, 2009).

Data Radar cuaca berupa data mentah (raw data) pada tanggal 17 Januari 2014 per jam (00.00 UTC – 24.00 UTC) dengan radius 100 km.

Namun data radar cuaca untuk wilayah Jakarta pada tanggal 17 Januari 2014 hanya tersedia pada jam 10.00 UTC – 23.30 UTC, hal ini dikarenakan terjadi kerusakan alat yang menyebabkan data radar cuaca pada tanggal 17 Januari 2014 tidak terekam seluruhnya.

Data ini digunakan untuk mengetahui keadaan massa udara awan yang berpotensi menghasilkan hujan lebat disertai arah pergerakannya sehingga kondisi atmosfer secara skala lokal dapat diketahui.

Untuk mengetahui faktor – faktor meteorologis penyebab bencana banjir maka dilakukan analisis dengan cara :

a) Analisa Data Radiosonde dengan Diagram Aerodinamik

Menentukan tinggi dasar awan dan tinggi puncak awan dengan analisis diagram aerodinamik, dalam hal ini menggunakan diagram Skew T – logP. Tinggi dasar awan adalah ketinggian yang memungkinkan terjadinya kondensasi uap air yang ada. Paras Kondensasi Konvektif (PKK) atau Convective Condensation Level (CCL) adalah paras tempat terjadinya kondensasi apabila udara terangkat karena golakan atau pemanasan (Wirjohamidjo dan Swarinoto, 2010).

b) Membuat Peta Isohyet

Analisis curah hujan secara spasial dilakukan dengan membuat peta isohyet, yaitu garis yang menghubungkan titik – titik yang mempunyai jumlah curah hujan yang sama. Dengan peta isohyet dapat diketahui pusat-pusat (tempat-tempat) yang hujannya paling lebat.

c) Analisa Data Pluviogram

Menganalisis data curah hujan dari data pluviograf diolah menjadi distribusi frekuensi intensitas hujan harian. Data pluviograf sangat penting untuk mengetahui waktu ketika hujan mulai turun, hujan berhenti,serta lamanya hujan berlangsung. Sehingga dapat dihitung jumlah curah hujan serta intensitas curah hujan (jumlah curah hujan persatuan waktu,biasanya dalam mm/jam).Dari data pluviogram dapat diinterpretasikan menjadi data kuantitatif yang sangat penting untuk mengetahui debit air hujan yang dicurahkan dari sebuah awan dalam satuan volume air hujan per satuan luas per satuan waktu. Dari pengolahan dan analisis data kemudian dirumuskan mekanisme bencana banjir. d) Analisis Radar Cuaca

Mengkaji data Radar Cuaca yang berupa hasil gambar dengan degredasi warna yang kemudian diinterpretasikan dan dianalisis. Anlisis radar cuaca pada tulisan ini untuk mengamati dan mengevaluasi daerah sebaran awan konvektif dengan beberapa produk radar yaitu :

 BASEZ

Produk yang menggunakan volume data set dari data reflektivitas sebagai masukan. Sebuah image dari data reflektivitas yang dihasilkan dari bagian data elevasi paling rendah yang tersedia.

 MAX (Maximum Display)

Produk MAX menggunakansebuah polar volume set, dirubah ke sebuah koordinat kartesian volume, menghasilkan tiga sub-images (Utara, Selatan, Barat, Timur, Puncak) dan kombinsi ketiganya untuk ditampilkansebagai image.

(4)

18 Berikut diagram alir penelitian

Gambar 3.2 Diagram alir penelitian.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Data Radiosonde dengan Diagram Aerodinamik

Didapatkan seberapa besar ketebalan awan pada saat 3 hari sebelum kejadiaan, saat kejadian, dan 3 hari setelah kejadian bencana banjir yang terjadi di wilayah Jakarta.

1. Sebelum Kejadian (14, 15, dan 16 Januari 2014)

Pada saat sebelum kejadian banjir tinggi dasar awan cukup rendah dibandingkan dengan tinggi dasar awan pada saat tanggal kejadian, sedangkan tinggi puncak awan jauh lebih tinggi dari pada saat kejadiian banjir sehingga awan – awan pada saat sebelum kejadian bajir lebih tebal dari pada saat kejadian banjir. Pada saat inilah udara yang terangkat secara vertikal keatas mempunyai energi yang besar namun udara telah mengalami kejenuhan pada ketinggian yang cukup rendah dengan puncak awan yang cukup tinggi, sehingga ketebalan tinggi dasar awan sampai tinggi puncak awan sekitar ketinggian 8200 m sampai 8400 m.

2. Saat Kejadian (17 Januari 2014)

Pada saat kejadian udara lembab yang hangat naik kemudian mendingin dan berkondensasi membentuk awan pada ketinggian 700 m dengan tinggi puncak awan 8360 m yang artinya ketebalan awan 7660 m.

3. Setelah Kejadian ( 18, 19, dan 20 Januari 2014)

Pada saat setelah kejadian yaitu tanggal 18 dan 19 Januari 2014 tinggi dasar awan lebih rendah dari pada saat kejadiaan, namun menjadi paling tinggi pada tanggal 20 Januari 2014 yaitu 770 m. Ketebalan tinggi dasar awan sampai tinggi puncak awansekitar ketinggian 8300 m sampai 8500 m.

Tabel 3.1 Hasil Olahan Diagram Skew T Log P Stasiun Meteorologi Cengkareng jam

00.00 UTC

3.2 AnalisisCurah Hujan

a. Stasiun Klimatologi Pondok Betung Berdasarkan data curah hujan dari stasiun Klimatologi Pondok Betung tanggal 14- 20 Januari 2014, namun terdapat data yang MULAI

IDENTIFIKASI MASALAH

PENDAHULUAN DAN KERANGKA PROPOSAL

PERSIAPAN PENELITIAN DAN INVENTARISASI DATA

PENGUMPULAN DATA

DATA SEKUNDER : 1. DATA CURAH HUJAN

STUDI PUSTAKA Analisa Data Radiosonde Menetukan CCL dan EL Membuat Peta Ishoyet Menentu kan Daerah Sebaran Hujan Analisa Data Pluviogram Mengetahui waktu tahapan pertumbuhan awan konvektif Mengetahui intensitas hujan dari awan konvektif Analisis Data Radar Cuaca Mengetahui sebaran, reflektivitas dan pergerakan awan Mengetahui ketebalan awan konvektif

Diskusi dan mengkaji karakteristik awan dan hujan penyebab banjir

Hasil penelitian dan kesimpulan

(5)

19 kosong pada tanggal 17, 19 dan 20 Januari

2014 karena tidak dicatatnya data pada tanggal tersebut. Jumlah curah hujan tertinggi tercatat pada tanggal 16 Januari 2014 yaitu sebesar 60,0 mm. Hujan pada tanggal 16 Januari 2014 hanya berlangsung 4 jam , yaitu dari jam 12.00 – 13.00 yaitu sebesar 12,0 mm, jam 14.00 – 15.00 sebesar 10,0mm, jam 15.00 – 16.00 sebesar 2,7 mm dan yang terbesar pada jam 16.00 - 17.00 sebesar 35,3 mm. Curah hujan lebih dari 20mm/jam sudah termasuk hujan kategori sangat lebat (BMKG) , hujan sangat lebat ini disebabkan oleh adanya awan – awan konvektif.

Gambar 3.1 Jumlah curah hujan jam – jaman 14,15,16 dan 18 Januari 2014.

Dari grafik curah hujan akumulasi tanggal 14 – 20 Januari 2014 terlihat bahwa hujan lebat terjadi setelah insolasi maksimum yaitu setelah jam 12.00 waktu setempat. Hasil tersebut menunjukkan curah hujan konveksional terjadi setelah insolasi maksimum (setelah pukul 12.00 waktu setempat). Hal ini menunjukkan bahwa energi panas terbentuknya gaya konvektif termal berasal dari radiasi gelombang panjang Bumi dan bukan secara langsung dari radiasi gelombang pendek matahari.

Gambar 3.2 Akumulasi Curah Hujan 14 - 20 Januari 2014

b. Stasiun Meteorologi Kemayoran

Gambar 3.3Jumlah curah hujan jam – jaman 14 – 20 Januari 2014

(6)

20 Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat

intensitas hujan di Stasiun Meteorologi Kemayoran dimana hujan terjadi setelah insolasi maksimum atau jam 12.00 waktu setempat, dimana intensitas hujan cukup bervariasi. Pada tanggal 14 – 15 Januari 2014 intensitas hujan <20,0 mm/ jam , mulai naik pada saat 1 hari sebelum kejadian , saat kejadian serta 1 hari sesudah kejadian banjir yaitu tanggal 16 – 18 Januari 2014 dimana curah hujan 20,0 – 70,0 mm/jam. Lalu intensitas hujan kembali turun pada tanggal 19 – 20 Januari 2014 dengan intesitas <20,0 mm/jam.

Gambar 3.4 Akumulasi Curah Hujan 14 - 20 Januari 2014

Dari grafik curah hujan akumulasi tanggal 14 – 20 Januari 2014 terlihat bahwa hujan lebat terjadi setelah insolasi maksimum yaitu diatas jam 12.00 waktu setempat. Hasil tersebut menjelaskan curah hujan konveksional di wilayah Jakarta selain dipengaruhi oleh konveksi darat yang terjadi setelah insolasi maksimum juga dipengaruhi oleh konveksi laut menjelang fajar. Hal ini disebabkan oleh beda sifat fisis antara laut dan darat, dimana kapasitas panas laut lebih besar dari darat. Jika ada insolasi, darat cepat panas dan laut lambat panas dan jika tidak ada insolasi, darat cepat dingin dan laut lambat dingin. Hasil netto adalah pada siang hari dapat jauh lebih panas dan pada malam sampai pagi hari laut jauh lebih panas dari darat.

4.3Analisis Pluviogram

Curah hujan konveksional yaitu hujan yang terjadi setelah insolasi maksimum atau setelah pukul 12.00 waktu lokal. Curah hujan kinveksional berasal dari awan konvektif yang pertumbuhannya melalui tiga tahap yaitu: tahap cumulus yang didominasi oleh arus udara keatas, awan dalam proses

pertumbuhan tetes hujan dan es, belum menghasilkan hujan. Tahap dewasa, didominasi oleh arus udara keatas yang memasukkan uap air sebagai bahan bakar dan oleh arus udara kebawah yang menghasilkan hujan lebat. Sedangkan tahap disipasi didominasi oleh arus udara ke bawah dan tidak tejadi lagi pemasukan uap air sehingga awan konvektif akan lenyap pada tahap ini. Hujan konveksional yang lebat sering menimbulkan banjir.

Tabel 3.2 Data Pluviogram Stasiun Meteorologi Cengkareng.

Berdasarkan rekaman data curah hujan dari pluviograph di Stasiunn Meteorologi Cengkareng pada tanggal 17 Januari 2014, menunjukkan hujan konveksional yang sangat lebat berasal dari satu sel awan konvektif dengan intensitas maksimum 34 mm/jam. Namun terlihat bahwa sel awan konvektif dengan intensitas sangat lebat juga terbentuk pada tanggal 14 dan 16 januari 2014 dengan satu sel awan konvektif sedangkan pada hari sesudah kejadian banjir terbentuk dua sel awan konvektif pada tanggal 18 Januari 2014 dengan intensitas 38,8 mm/jam (pukul 20.40 – 21.10) dan 45,6 m/jam (pukul 21.50 – 22.40) sedangkan pada tanggal 20 Januari 2014 dengan intensitas 35,7 mm/jam (pukul 12.30 – 12.50) dan 15,0 mm/jam (pukul 05.40 – 06.20).

4.4 Analisis Peta Isohyet

Peta Isohyet akan mempermudah dalam menginterpretasikan konsentrasicurah hujan harian disuatu wilayah dalam penelitian ini diwilayah Jakarta. Hasil analisa peta Isohyet wilayah Jakarta 14 - 20 Januari 2014 yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:

(7)

21 Tabel 3.3 Deskripsi peta Isohyet wilayah Jakarta

(14 – 20 Januari 2014)

No Tanggal Deskripsi

1 14 Januari 2014

Wilayah Jakarta didominasi oleh hujan ringan.

2 15 Januari

2014 Wilayah Jakarta didominasi oleh hujan ringan, hujan sedang diwilayah Jakarta Utara 3 16 Januari

2014

Wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Timur terjadi hujan dengan intensitas sedang. Hujan lebat terjadi diwilayah Jakarta Selatan.

4 17 Januari

2014 Wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta barat terjadi hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat.

5 18 Januari 2014

Wilyah Jakarta didominasi oleh hujan lebat hingga sangat lebat kecuali di wilayah Jakarta Selatan. Hujan yang terjadi hanya dengan intensitas ringan 6 19 Januari

2014 Wilayah Jakarta didominasi oleh hujan lebat hingga hujan sangat lebat kecuali di wilayah Jakarta Selatan.

7 20 Januari

2014 Wilayah Jakarta didominasi hujan sangat ringan.

Dari tabel 3.3 diatas dapat diketahui bahwa hujan hampir selalu terjadi diwilayah Jakarta pada tanggal 14 – 20 Januari 2014 dengan intesitas perhari yang bervariasi.

Gambar 3.5 Peta Ishoyet wilayah Jakarta 17 Januari 2014

Hujan dengan intesitas lebat hingga sangat lebat mulai terjadi pada tanggal 17 Januari 2014, terjadi diwilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Pusat seperti yang terlihat pada gambar 3.5, dimana pada tanggal 17 Januari 2014 terjadi huajn lebat diwilayah Jakarta yang menyebabkan bencana banjir .

Dari peta Isohyet wilayah Jakarta pada tanggal 14 – 20 Januari 2014 mendukung bahwa hujan diwilayah Jakarta juga di pengaruhi oleh proses konveksi laut. Terlihat hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat pada tanggal 14 – 20 Januari 2014 didominasi terjadi diwilyah Jakarta bagian utara yang lebih dekat dengan laut.

4.5 Analisis Radar Cuaca a. MAX(Maximum Display)

Hasil olahan data radar cuaca per jam untuk wilayah Jakarta pada tanggal 17 Januari 2014, dimana jam pengamatan dimulai pada jam 10.00 UTC – 23.30 UTC (lebih lengkapnya pada Lampiran 2).

Didapatkan hasil olahan radar cuaca produk MAX yang menunjukkan perubahan signifikan sebagai berikut :

Tabel 3.4 Deskripsi reflektivitas dan sebaran awan dengan produk MAX

No Jam

(UTC)

Deskripsi 1 10.00 –

11.00 Awan – awan dengan reflektivitas 25 – 30 dBz berada di atas dibagian Barat Laut perairan Laut Jakarta.

2 12.00 Reflektivitas awan meningkat menjadi 40 – 45 dBz mulai menyatu menjadi satu.

3 13.00 – 14.00

Awan berbentuk sel – sel awan kecil namun berkumpul membentuk suatu garis diatas wilayah Jakarta Utara.

4 14.50 - 15.20

Reflektivitas awan meningkat menjadi 45 – 50 dBz dengan sebaran awan yang lebih luas dimana awan – awan telah menutupi hampir seluruh wilayah Jakarta

5 17.40 Reflektivitas awan berkurang hingga < 30 dBz namun masih tersebar menutupi seluruh wilayah Jakarta

6 21.40 –

23.30 Reflektivitas hingga < 15 dBz dan awan awan berkurang bergerak ke arah Barat Daya sehingga wilayah Jakarta tidak ditutupi sebaran awan.

Dari tabel 3.4 dapat diketahui awan – awan yang menyebabkan kejadian banjir adalah jenis awan konvektif dimana reflektifitas awan 40 – 50 dBz dan merupakan tipe single cell.

(8)

22 Gambar 3.6 Citra radar cuaca produk MAX jam

15.20 UTC

Sebaran awan di mulai dari Laut Jakarta bagian Timur Laut yang kemudian memasuki dan menutupi seluruh wilayah jakarta dan kemudian bergerak kearah Barat Daya hingga menghilang diatas wilayah Jakarta. b. BASE Z

Hasil olahan radar cuaca produk BASE Z dipilih pada ketinggian 1 km yang menginterpretasikan reflektivitas dan sebaran tutupan awan pada ketinggian 1 km (lebih lengkapnya pada Lampiran 3). Dari tabel 4.4 terlihat bahwa awan – awan pada ketinggian 1 km dapat menggambarkan keadaan dasar awan yang menyebabkan hujan di wilayah Jakarta.

Tabel 3.5 Deskripsi reflektivitas dan sebaran awan dengan produk BASE Z

No Tanggal Deskripsi

1 13.00 Sel – sel awan tersebar di wilayah Jakarta Utara dengan reflektivitas 25 – 30 dBz

2 14.00 –

15.20 Sel – sel awan tersebar menutupi wilayah Jakarta 3 17.40 Reflektivitas awan berkurang menjadi < 20 dBz masih menutupi seluruh wilayah Jakarta. 4 21.40 –

23.30

Reflektivitas awan terus berkurang dan tidak lagi menutupi wilayah Jakarta.

Terlihat pada ketinggian 1 km telah terdapat awan – awan dengan reflektifitas cukup besar yaitu 25 – 30 dBz yang menjustifikasi adanya awan – awan konvektif dengan dasar awan yang cukup rendah yang meyebabkan kejadian hujan lebat diwilayah Jakarta pada tanggal 17 Januari 2014.

Gambar 3.7 Citra radar cuaca produk BASE Z jam 15.20 UTC

4. KESIMPULAN

Dari analisis data cuaca dan pembahasannya, beberapa hasil penelitian tentang kajian kejadian bencana banjir yang terjadi pada tanggal 17 Januari 2014 di wilayah Jakarta dapat ditarik beberapa kesimpulan sebgai berikut :

1. Berdasarkan hasil olahan data sounding diketahui tinggi dasar awan dan ketebalan awan menjustifikasi bahwa awan lebat berasal dari awan – awan konvektif. Selama periode sebelum, saat dan sesudah kejadian banjir, tinggi dasar awan konvektif cukup rendah kurang dari satu kilometer dan awan cukup tebal antara 7,6 km sampai 8,2 km. 2. Hujan yang terjadi sepanjang tanggal 14

– 20 Januari 2014 dengan intesitas hujan perjam lebih dari 20mm ( hujan sangat lebat) terjadi setelah jam 12.00 waktu setempat, disebabkan oleh konveksi darat. Hal ini menunjukkan bahwa energi panas yang membentuk gaya konvektiftermal berasal dari radiasi gelombang panjang bumi dan bukan secara langsung dari radiasi gelombang pendek matahari. Selain itu di wilyah Jakarta Utara disebabkan oleh konveksi laut menjelang fajar akibat beda fisis antara laut dan darat hal ini didukung dengan data radar cuaca, sehingga pada siang hari darat dapat jauh lebih panas dan pada malam sampai pagi hari laut jauh lebih panas dari darat.

(9)

23 3. Peta Isohyet menunjukkan banjir di

wilayah Jakarta dengan intensitas lebat hingga sangat lebat terkonsentrasi di wilayah Jakarta Utara didukung oleh citra radar cuaca yang memperlihatkan sebaran awan dengan reflektivitas tinggi (40 – 45 dBz) tersebar di wilayah Jakarta Utara.

DAFTAR PUSTAKA

BMKG, 2010, “Basic RADAR

principles”,Principles Of the Meteorological Doppler RADAR for Meteorologist or Forecaster.

Cotton, William.,George Bryan and Susan van den Heever, 2010.Storm and Cloud Dynamics.Academic Press Marjuki, 2007, Analisis Data Radar Cuaca

Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol. 3, No. 3.

Nicholls ed, J.M., 1998, The Global Climate System Review, Flooding, WMO, Avenue Guiseppe-Motta.

Rogers, R.R., dan Yau, M.K., 1989, A Short Course in CLOUD PHYSICS, Third Edition, Department of Meteorology, McGill University, Canada.

Syaifullah, D.,2011,Potensi Atmosfer Dalam Pembentukan Awan Konvektif Pelaksanaan Teknologi Modifikasi Cuaca di DAS Kotopanjang dan DAS Singkarak 2010, Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 12, No. 1, 2011: 9-16

Tjasyono HK, Bayong., 1999, Klimatologi, Penerbit ITB,Bandung.

Tjasyono HK, Bayong., 2008, Meteorologi Terapan, Penerbit ITB, Bandung. Tjasyono HK, Bayong., Harijono, S.W.B.,

2006,Meteorologi Indonesia 2, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,Jakarta.

Tjasyono HK, Bayong., Harijono, S.W.B., 2013, Atmosfer Ekuatorial, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,Jakarta.

Tjasyono HK, Bayong., Harijono, S.W.B.,dan Juaeni, Ina., 2007, Proses Meteorologi Bencana Bnjir di Indonesia, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, No.2, Vol.8, 65 – 79. Wardoyo,E.,2011,Materi Radar Produk

Gematronik, Training Radar

Cuaca.Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Wicaksono, A., 2013. Analisa Cuaca Ekstrim

Di Parigi Moutong (Studi Kasus Hujan Lebat Tanggal 8 Februari 2006 Dan Tanggal 25 Agustus 2012). Akademi Meteorologi dan Geofisika, Tangerang Selatan.

Wirjohamidjojo, S., dan Swarinoto, Y.S., 2013, Meteorologi Sinoptik Analisa dan Penaksiran Hasil Analisis Cuaca Sinoptik, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Sumber dari Internet :

BIG, 2014, Peta Administrasi DKI Jakarta, http://www.big.go.id diakses tanggal 3 Maret 2015

Departemen Kehutanan, 2014, Letak Geografis Provinsi DKI Jakarta, http://www.dephut.go.id diakses tanggal 3 Maret 2015

Gambar

Gambar 3.1 Peta Sebaran Pos Hujan  Wilayah  Jakarta (Sumber: Staklim Pondok Betung, 2014)
Gambar 3.2 Diagram alir penelitian.
Gambar 3.2 Akumulasi Curah Hujan 14 - 20  Januari 2014
Tabel 3.2 Data Pluviogram Stasiun Meteorologi  Cengkareng.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Oemar Hamalik (DMCA, 2015) menyatakan bahwa kedisiplinan dipengaruhi oleh dua faktor, baik berasal dari dalam diri individu ( faktor internal) maupun berasal dari

Berkaitan dengan masalah yang diteliti, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam tentang : (1) penerapan pola komunikasi yang dilakukan

PENGARUH TERPAAN IKLAN POP UP DI APLIKASI SPOTIFY NON PREMIUM TERHADAP BRAND AWARENESS (Survei Pada Mahasiswa/i Fakultas Ekonomi Di Universitas Al-Azhar Jakarta

Implementasi adalah tahap penerapan sistem yang dilakukan jika sistem disetujui, proses implementasi dilakukan sebagai akhir dari desain informasi akuntansi persediaan

Pada musim hujan, hama dan penyakit yang sering merusak tanaman padi adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blast, dan

Hasil perhitungan kenyamanan termal di Kampus Unsrat menunjukan bahwa RTH yang yaitu FMIPA. RTH FAPERTA, FATEK, FISIP, FH, FKM A, dan FKM B sangat tidak nyaman

Demikian pula populasi Pondok Pesantren Salafiyah tingkat Wustha terbesar berada di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berjumlah 2.672 lembaga atau 57.6%

1). Menggunakan pisau untuk memotong makanan. Berikan pisau yang tidak terlalu tajam. Di atas piring, letakkan makanan yang mudah dipotong seperti sejuring pepaya yang