• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PenelitianTerdahulu

Deasy (2017) menganalisis tingkat keuntungan usaha penggemukan sapi potong rakyat di Kabupaten Wonogiri.Metode yang digunakan adalah Cobb-Douglas Profit Function (CDPF) melalui analisis regresi berganda. Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan total per masa usaha penggemukan ternak sapi potong yang diperoleh tiap peternak sebesar Rp. 89.360.625.- Sedangkan biaya total rata-rata yang dikeluarkan peternak responden dalam satu masa penggemukan sapi adalah sebesar Rp. 75.264.600.- Pemberian konsentrat pada sapi penggemukan sangat menentukan (berpangaruh nyata P<0.05) dalam pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan.

Sahara. D, Muryanto, & Subiharta (2015) menganalisis keuntungan dari pembesaran sapi peranakan simental melalui pakan perbaikan. Analisis data yang digunakan adalah uji-t untuk mengetahui perbedaan PBBH yang diperoleh dengan pemberian pakan perbaikan dan pemberian pakan model peternak. Hasil uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa PBBH yang diperoleh pada ternak dengan pemberian pakan perbaikan berbeda nyata dengan PBBH ternak dengan pakan model peternak. Bobot akhir dari hasil pembesaran rata – rata 294,80 kg untuk model perbaikan pakan yang berarti pertambahan bobot badan sapi adalah 0,66 kg/ekor/hari dan 271,04 kg untuk model peternak dengan pertambahan bobot sapi sebesar 0,43 kg/ekor/hari. Hasil penelitian pembesaran ternak sapi potong selama 3 bulan pada perbaikan pakan memberikan keuntungan bagi peternak sebesar Rp 7.733.550 atau Rp 322.230/bulan/ekor dan Rp 4.999.950 atau Rp 208.330/bulan/ekor untuk pebesaran model peternak.

Sirajuddin, Lestari & Fadliah (2012) menganalisis komparatif pendapatan peternak sapi Bali yang melakukan program Inseminasi Buatan (IB) dan yang tidak melakukan program Inseminasi Buatan (IB). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif eksplanasi dengan metode komparatif, sedangkan sumber data

(2)

yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah uji t (t - test) dua sampel dengan cara membandingkan dari sampel yang ada. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa peternak sapi Bali yang melakukan program Inseminasi Buatan (IB) lebih besar rata-rata pendapatan yang di peroleh daripada peternak sapi Bali yang tidak melakukan program IB di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Baru yaitu Rp. 58.077.526,31 berbanding Rp. 50.663.709,65.

Yuliati, Zaenal, & Hartono (2014) melakukan penelitian mengenai analisis keuntungan usaha penggemukan sapi potong pada kelompok ternak “Gunungrejo Makmur II” Desa Gunungrejo Kabupaten Lamongan. Metode yang digunakan adalah studi kasus atau case study method. Keuntungan bersih yang diperoleh peterak sapi potong sebesar Rp. 2.141.604.000,- pada tahun 2011, Rp. 2.218.777.200,- pada tahun 2012, dan pada tahun 2013 sebesar Rp. 2.536.232.000,-. Peningkatan keuntungan bersih yang diterima peternak sampel dipengaruhi oleh jumlah penjualan ternak, dimana penerimaan dari pejualan ternak sangat dipengaruhi oleh harga pasar. Hasil analisis profitabilitas nilai GPM, NPM,TAT, dan ROI mengalami penurunan setiap tahunnya, sedangkan nilai ROE meningkat dari tahun 2011 hingga tahun 2013.

Nurwahidah, Tolleng & Hidayat (2016) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian pakan konsentrat dan urea molases block (UMB) terhadap pertambahan berat badan sapi potong. Analisis yang digunakan adalah uji t (t – Test Independent Sample) untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan dari dua buah mean sampel. Hasil penelitian menyebutkan ternak sapi potong dengan pemberian pakan UMB mempunyai rata rata pertambahan berat badan 0,098 kg/ekor/hari, sedangakan dengan pemberian pakan konsentrat pertambahan berat badan mencapai 0,156 kg/ekor/hari. Walaupun pakan konsentrat memberikan pertambahan berat badan lebih tinggi dari pada pakan UMB, namun perbedaan tidak signifikan (P>0,05). Hal tersebut menujukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pakan UMB dan Pakan konsentrat terhadap pertambahan berat badan harian (PBBH).

(3)

Hamaratu, Sobang & Yunus (2018) melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian pakan konsentrat yang mengandung tepung tongkol jagung terhadap kinerja fisiologis sapi bali penggemukan. Kinerja fisiologis ternak memiliki hubungan yang erat dengan kinerja produksi ternak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL) dengan 3 periode dan 3 perlakuan seperti berikut : P1 = Pakan hijauan pola peternak; P2 = P1 + pakan konsentrat tanpa tepung tongkol jagung (1 kg); P3 = P1 + pakan konsentrat mengandung tepung tongkol jagung (1 kg). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) bahwa perlakuan pemberian pakan konsentrat yang mengandung tepung tongkol jagung berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kinerja fisiologis. Adanya perbedaan yang tidak nyata disebabkan ternak sapi Bali termasuk hewan yang mempunyai kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuhnya.

Sidqi, Makin & Suharwanto (2016) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian konsentrat basah dan kering terhadap efisiensi produksi susu dan efisiensi ransum pada sapi perah peranakan FH. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan rancangan percobaan crossover design (rancangan beralih). Perlakuan pemberian Konsentrat Tanpa Air (KTA) mempunyai efisiensi produksi susu lebih kecil 0,036% dibandingkan pemberian Konsentrat Dengan Air (KDA), dengan rataan efisiensi produksi susu masing - masing sebesar 3,967% dan 4,003%. Perlakuan pemberian Konsentrat Tanpa Air (KTA) mempunyai efisiensi ransum lebih kecil 1,202% dibandingkan dengan pemberian Konsentrat Dengan Air (KDA), dengan rataan efisiensi ransum sebesar 51,625% dan 52,494%. Dari analisis tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan terhadap efisiensi produksi susu dan efisiensi ransum sapiperah peranakan FH yang digunakan untuk penelitian menunjukan bahwa pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05).

Budiraharjo & Setiadi (2004) melakukan analisis komparatif pendapatan usaha ternak kambing di Kota Semarang berdasarkan skala pemilikan ternak. Sampel berjumlah 75 petani yang ditentukan dengan metode stratified random sampling berdasarkan rata–rata pemilikan ternak yang dikelompokkan ke dalam dua strata,

(4)

yaitu strata I, dibawah rata pemilikan ternak (≤0,56 ST) dan strata II, diatas rata-rata pemilikan ternak (>0,56 ST). Pemilikan ternak kambing adalah jumlah ternak yang dipelihara oleh petani peternak dalam kurun waktu satu tahun, digunakan satuan pengukuran ST (Satuan Ternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya produksi ternak kambing per tahun berkisar antara Rp. 249.160,00 hingga Rp. 1.659.065,00 dengan rata-rata Rp. 1.058.918,00 untuk strata I dan berkisar antara Rp. 843.030,00 hingga Rp. 3.125.690,00 dengan rata-rata Rp. 1.809.947,00 untuk strata II. Pendapatan usaha ternak kambing pada strata I sebesar Rp. 589.654,00 per tahun, sedangkan strata II sebesar Rp. 1.368.619,00 per tahun. Analisis komparasi menggunakan uji t menunjukkan hasil signifikan, artinya terdapat perbedaan secara nyata antara pendapatan usaha ternak kambing pada strata I dan strata II.

Koddang (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh tingkat pemberian konsentrat terhadap daya cerna bahan kering dan protein kasar ransum pada sapi bali jantan yang mendapatkan rumput raja. Penelitian dilaksanakan dalam 5 periode dan setiap periode dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap pendahuluan dan tahap pengambilan data masing-masing berlangsung selama 7 hari. Tahap pendahuluan dilakukan dengan tujuan agar ternak percobaan terbiasa dengan makanan baru. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL), ternak sebagai kolom dan periode sebagai baris. Hasil penelitian menunjukkan pada konsentrat 0,0% dari bobot badan, daya cerna terhadap bahan kering sebesar 51,92% dan dan protein kasar sebesar 58,58%. Konsentrat 1,0% dari bobot badan, daya cerna terhadap bahan kering sebesar 56,65% dan protein kasar sebesar 70,61%. Pada konsentrat 2,0% dari bobot badan, daya cerna terhadap bahan kering sebesar 64,11% dan protein kasar sebesar 74,66%. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa tingkat pemberian konsentrat berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap daya cerna bahan kering dan protein kasar ransum ternak sapi bali. Makin tinggi tingkat pemberian konsentrat diikuti pula dengan peningkatan daya cerna bahan kering dan protein kasar.

Jamilah (2017) melakukukan penelitian terhadap pendapatan peternak sapi Aceh. Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Besar dengan metode survei. Pada skala usaha ternak sapi Aceh pola 2 ekor, biaya investasi awal sebesar Rp.

(5)

10.642.000,- sedangkan pada pola 3 ekor dan pola 5 ekor, biaya investasi awal berturut-turut sebesar Rp. 15.173.000,- dan Rp. 25.225.000. Biaya investasi tahun ke-1 hingga tahun ke-9 semakinkecil.Biaya operasional pola 2 ekor sebesar Rp. 6.331.000, untuk pola 3 ekor sebesar Rp. 8.504.000, dan untuk pola 5 ekor sebesar Rp. 10.785.000. Pada usaha ternak sapi Aceh pola 2 ekor, jumlah pedet yang diusahakan sebanyak 2 ekor setiap tahunnya. Nilai hasil produksi sebesar Rp. 17.000.000,- dan pendapatan pada tahun ke-1 sebesar Rp. 2.617.000,-, Pada usaha ternak sapi Aceh pola 3 ekor, dengan harga jual Rp. 8.500.000,- diperoleh penerimaan sebesar Rp. 25.500.000,-. Setelah dikurangi keseluruhan biaya pada tahun ke-1 diperoleh pendapatan sebesar Rp. 4.913.000. Untuk usaha ternak sapi Aceh pola 5 ekor, nilai hasil produksi mencapai Rp.42.500.000,- dan perolehan pendapatan sebesar Rp. 11.580.000. Analisis pendapatan jelas memperlihatkan bahwa semakin besar skala usaha ternak sapi Aceh yang dijalankan peternak, maka semakin besar perolehan pendapatan bagi peternak tersebut.

Sundari, Rejeki & Triatmaja (2009) melakukan penelitian mengenai pendapatan peternak sapi potong dengan sistem pemeliharaan intensif dan konvensional di Kabupate Sleman, Yogyakarta. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengamati obyek secara langsung di lapangan dan wawancara dengan bantuan kuesioner, untuk mendapatkan data yang diperlukan dengan metode survey. Dari 17 kecamatan di Kabupaten Sleman diambil sampel responden secara purposive random sampling yaitu 10% dari 701 peternak. Dari 70 jumlah responden tersebut kemudian diambil sample untuk peternak sapi potong sistem intensif sebanyak 38 peternak dan untuk peternak sapi potong sistem konvensional sebanyak 32 peternak. Bersadasrkan hasil analisis pendapatan yang dilakukan menunjukkan biaya produksi (input) usaha sapi potong dengan sistem intensif sebesar Rp. 81.213.004/responden/tahun, sedangkan sistem konvensional sebesar Rp. 12.784.966/responden/tahun. Penerimaan (output) usaha sapi potongdengan sistem intensif Rp. 118.156.968,42/responden/tahun, sedangkan konvensional sebesar Rp. 16.517.101,56/ responden/tahun. Pendapatan (laba) usaha peternak sapi potong dengan sistem intensif sebesar Rp. 36.943.964/responden/tahun sedangkan usaha

(6)

sistem konvensional Rp. 3.732.135,56/responden/ tahun. Sedangkan laba / unit ternak / tahun denga sistem intensif sebesar Rp. 4.617.995,55 sedangkan konvensional sebesar Rp. 1.866.067,77. Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan semua sistem pemeliharaan sapi potong baik dengan metode intensif maupun konvensional layak dikerjakan, dengan nilai rentabilitas lebih dari 16%, pada sistem intensif (46%) lebih besar dari pada konvensional (29,2%).

Monintja, et al (2015) melakukan penelitian mengenai analisis keuntungan peternak sapi peranakan ongole (PO) yang menggunakan Inseminasi Buatan (IB) di Kecamatan Tompaso Barat. Berdasarkan hasil analisis data, dari 30 responden peternak sapi PO yang menggunakan IB mendapatkan penerimaan sebesar Rp 490.450.000 dengan biaya total sebesar Rp 468.945.750, dan keuntungan sebesar Rp 21.504.250. Rata-rata keuntugan yang didapat dari 30 responden yang menggunakan IB di Kecamatan Tompaso Barat yaitu berkisar Rp 716.808,00. Peternak sapi PO yang mengikuti program IB mendapatkan keuntungan yang lebih besar

2.2 Tinjauan Pustaka 2.2.1 Sapi Potong

Sapi potong biasa disebut sapi pedaging yang mana merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Adapun ciri-ciri sapi pedaging pada umumnya bertubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum, mudah dipasarkan, laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai dewasa, dan efisiensi pakannya tinggi. Menurut Abidin (2006) sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.

Sapi potong yang sangat populer untuk digemukkan di Kecamatan Kalipare adalah sapi jenis Simmental dan peranakannya karena pertumbuhannya yang cepat, lebih kebal dari serangan penyakit dan iklim di Indonesia, serta presentase karkas yang tinggi sehingga sapi jenis simmental mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

(7)

Sapi Simmental merupakan bangsa bos taurus atau bangsa sapi yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong dan sapi perah di Eropa. Nama sapi simmental berasal dari ditemukannya sapi tersebut dari tempat asalnya yaitu di Lembah Simme di Swiss, sedangkan Thal atau tal merupakan bahasa Jerman (Swiss juga berbahasa Jerman) yang artinya lembah, sehingga sapi ini lebih di kenal dengan sebutan Simmental. Sapi simmental merupakan tipe sapi perah dan pedaging, warna bulu coklat kemerahan (merah bata) dibagian muka dan lutut kebawah, bentuk tubuhnya kekar dan berotot, serta ujung ekor berwarna putih. Sapi jantan dewasanya mampu mencapai berat badan 1150 kg lebih sedang betina dewasanya 800 kg. sapi jenis ini sangat cocok dipelihara di tempat yang iklimnya sedang. Persentase karkas sapi jenis ini tinggi dan mengandung sedikit lemak. Bos taurus adalah bangsa sapi yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong dan sapi perah di Eropa.

Menurut Sugeng (2005), penyebaran sapi potong di Indonesia masih belum merata. Beberapa faktor penyebab tingkat populasi sapi di Indonesia yaitu faktor pertanian dan penyebaran penduduk, faktor iklim, adat istiadat disetiap daerah dan agama. Prospek peternakan sapi potong di Indonesia masih tetap tebuka lebar dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan permintaan daging dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi dan kesadaran akan gizi dari masyarakat. Peningkatan permintaan daging sapi ini tidak diikuti oleh jumlah populasi ternak sapi potong. Diharapkan adanya upaya serta dukungan dari pemerintah dalam meningkatkan populasi ternak sehingga kebutuhan dan permintaan daging tetap tersedia.

2.2.2 Pakan

Pakan merupakan apapun yang bisa dimakan oleh ternak dan tidak mengganggu pencernaan maupun kesehatannya. Pada umumnya pengertian pakan (feed) digunakan untuk hewan yangmana meliputi kuantitatif, kualitatif, dan kontinuitas. Hartanto (2008) menyebutkan bahwa pakan merupakan aspek yang penting karena 70% dari total biaya produksi adalah untuk pakan baik hijauan dan pakan tambahan. Pakan merupakan sumber energi utama kaya nutrisi untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga bagi ternak. Makin baik mutu dan jumlah pakan

(8)

yang dimakan oleh ternak, makin besar tenaga yang ditimbulkan dan setelah kebutuhan energi ternak terpenuhi energi sisa tersimpan dalam bentuk daging. Kebutuhan pakan sapi terdiri dari hijauan, leguminosa dan pakan tambahan berupa konsentrat. Hijauan dan leguminosa berfungsi sebagai sumber serat dan vitamin, dapat berupa rumput, daun-daunan, jerami, tebon, kulit kedelai, limbah kacang tanah. Pakan tambahan berupa konsentrat merupakan salah satu sumber gizi tinggi, mineral dan protein (Nuschati, 2008).

A. Pakan Hijauan

Pakan hijauan adalah makanan ternak yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan yang mengandung nutrisi rendah dan lebih dari 18% serat kasar dalam bahan kering. Pakan hijauan dapat berasal dari bangsa rumput (graminae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhan lain seperti daun pohon buah atau yang disebut ramban, dan lain sebagainya. Hijauan berupa P. Purpureum dan P. maximum sangat baik untuk dikembangkan pada peternakan sapi potong karena produksi Bahan Kering (BK) yang cukup tinggi.

Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Rumput P. Purpureum dan P. maximum Nama Hijauan BK (%) SK (%) PK (%) TDN (%) DEM cal/Kg BK P.purpureum 18 33 9.1 51 2.25 26 ton/ha P. maximum 24 33.6 8.8 53 2.32 26.6-36 ton/ha Sumber : (Hartadi, 2005)

Rumput gajah (Pennisetum Purpureum Schaum) berasal dari Afrika, tanaman ini diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1962, dan tumbuh alami di seluruh dataran Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, rumput gajah merupakan tanaman hijauan utama pakan ternak yang memegang peranan yang amat penting, karena hijauan mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan (Mihran, 2008). Rumput gajah termasuk tanaman tahunan membentuk rumpun yang terdiri 20-50 batang dengan diameter lebih kurang 2,3 cm. Tumbuh tegak dan lebat,

(9)

batang diliputi perisai daun yang berbulu dan perakaran dalam. Tinggi batang mencapai 2 - 3 m, lebar daun 1,25 - 2,50 cm serta panjang 60 - 90cm (Vanis, 2007).

Rumput benggala (Panicum Maximum) merupakan jenis rumput yang berdaun lebat, tingginya bermacam-macam, berkembang dengan potongan bungkul akar dan tunas atau rhizoma. Karakteristik rumput benggala adalah tanaman tumbuh tegak membentuk rumpun mirip padi. Rumput benggala termasuk rumput tahunan,kuat,berkembang biak denganrumpun atau pols, dengan akar serabutdanbatangnya tegak. Tinggi tanaman 1,00-1,50 m, dengan seludang-seludangnya berbulupanjang pada pangkalnya. Daun bentuk pita yangsangat banyak jumlahnya itu terbangun garis,lancip bersembir kasar,berwarna hijau,panjang 40-105 cm dengan lebar 10-30 mm.Bunga majemuk dengan sebuah malai yangpanjangnya 20-45 cm, tegak, bercabang-cabang,acapkali diselaputi lapisan lilin putih (Purbajanti, 2010).

B. Konsentrat

Pemberian pakan berupa hijauan saja dirasa tidak dapat memaksimalkan pertambahan bobot ternak pada usaha sapi potong. Hijaua pakan ternak bersifat voluminous (bulky) dan ketersediaannya yang berfluktuasi sehingga perlu adanya teknologi pengolahan pakan yang membuat pakan lebih tahan lama dan mudah disimpan serta memiliki palatabilitas tinggi baik dengan cara dikeringkan (dry lot) atau fermentasi. Tangendjaja (2009), menyatakan bahwa teknologi pakan mencakup semua teknologi mulai dari penyediaan bahan pakan sampai ransum diberikan kepada ternak. Teknologi pakan yang tengah digalakkan adalah ransum konsentrat. Konsentrat adalah pakan penguat yang mengandung serat kasar relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi bahan pakan yang berasal dari campuran biji-bijian seperti jagung giling, dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, dan berbagai bahan hasil limbah pertanian yang memiliki kandungan gizi baik. Fungsi pakan penguat konsetrat adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah (Sugeng, 1998).

(10)

Menurut Sudarmono & Sugeng (2008), konsentrat merupakan bahan pakan yang berasal dari biji-bijian hasil produk ikutan pertanian atau limbah dari pabrik pengolahan umbi-umbian, mengadung serat kasar kurang dari 18%. Peranan tambahan pakan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi rumput hijauan yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat.Jumlah pemberian pakan konsentrat biasanya 1-2% dari bobot badan sapi atau 10 – 20% dari jumlah pakan hijauan.Susunan kandungan gizi yang ideal untuk konsentrat sapi terdiri dari; Kadar air maksimal 12%, Protein Kasar minimal 12%, Lemak Kasar maksimal 6%, Serat Kasar maksimal 12 – 17 %, Abu maksimal 10%, dan Total Digestible Nutrien (TDN) minimal 64%.

Peternak di Kecamatan Kalipare menggunakan rumput gajah, tebon jagung, dan jerami sebagai pakan hijauan untuk ternak mereka. Pada saat panen padi, para peternak juga menyimpan jerami dengan cara dikeringkan (dry lot) sebagai cadangan pakan. Sebagai sumber pakan, jerami mempunyai beberapa kelemahan yaitu kandungan lignin dan silika yang tinggi tetapi rendah energi, protein, mineral dan vitamin. Selain rendah nilai nutrisi, kecernaan jerami juga rendah karena sulit didegradasi oleh mikroba rumen (Van Soest, 2006; Sarnklong et al., 2010). Cara dikeringkan (Dry Lot) dan difermentasi adalah cara untuk meningkatkan nilai nutrisi selain agar tahan lama. Jerami paling sering digunakan para peternak di Kecamatan Kalipare mengingat harga yang terjangkau dan limbah pertanian yang banyak ditemui di sekitar Kecamatan Kalipare. Para peternak tradisional, ransum yang diberikan pada ternak mereka masih terbilang seadanya dengan takaran yang tidak konsisten seperti hanya menggunakan bekatul dan polar. Adanya teknologi konsentrat sebagai pakan perbaikan yang kaya akan nutrisi, diharapkan dapat meningkatkan kualitas serta memaksimalkan pertambahan bobot sapi potong sehingga dapat menambah pendapatan peternak. Menurut SNI 3148.2:2009 konsentrat merupakan pakan yang kaya akan sumber protein dan atau sumber energi serta dapat mengandung pelengkap pakan dan/atau imbuhan pakan. Konsentrat diberi nama Konsentrat Pemacu Petumbuhan (GPC=Growth Promoted Concentrate) diberikan sebagai konsentrat

(11)

suplementasi pakan penguat. Sebagian peternak modern di Kecamatan Kalipare menggunakan pakan perbaikan berupa konsentrat standart dengan formulasi polar 20%, dedak padi 10%, BK. Kopra 25%, kulit coklat 15%, BKK. Sawit 20%, kedelai 8%, mineral 1.5 % dan garam 0.5%. Pakan berupa rumput hijauan diberikan sebanyak 5 – 10% dari bobot badan (BB) sapi dan pakan konsentrat sebanyak 1-2% dari bobot badan (BB) sapi.

2.2.3 Usaha Penggemukan Sapi Potong

Usaha adalah kegiatan dengan menggerakkan tenaga dan pikiran atau badan untuk mencapai sesuatu. Ternak merupakan sekelompok binatang yang dipelihara dan dibudidayakan oleh manusia untuk menunjang kebutuhan hidup lainnya. Penggemukan sapi merupakan upaya untuk mengambil hasil dari pertambahan bobot sapi atau produksi daging secara optimal. Hal-hal yang sebaiknya perlu disiapkan yaitu segala sesuatu yang dapat membantu dan mendukung dalam percepatan penggemukan sapi, seperti adanya usaha bersama mengenai tujuan sapi yang dilakukan secara terpadu dan mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar kesejahateraan dalam masyarakat dapat terwujud (Yulianto dan Sapainto, 2011).

Syarat yang perlu diperhatikan dalam langkah awal usaha penggemukan sapi potong adalah : (1) keseragaman sapi, dalam hal ini menyangkut keseragaman tipe, umur dan besar tubuh; (2) jumlah sapi sesuai dengan jumlah modal, dimana modal ini digunakan untuk menyediakan fasilitas penunjang seperti kemudahan dalam memperoleh pakan, kandang, serta kemampuan peternak dalam pengelolaan dan manajemen; (3) penggunaan bangsa sapi, yang dipilih sebaiknya adalah bangsa sapi yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungannya.

Usaha penggemukan sapi potong berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkandengan 1 periode penggemukan 3 – 6 bulan, karena lebih efektif dari segi waktu dan biaya. Sapi potong yang layak untuk usaha penggemukan adalah sapipotong yang berusia diatas 1 tahun, tetapi untuk hasil yang maksimal sapi yang baik untuk digemukkan adalah sapi yang telah mengalami gigi tanggal (powel) atau berusia diatas 2 tahun. Sapi dibawah usia satu tahun rata – rata masih dalam tahap

(12)

pembesaran tulang. Para peternak umumnya dapat memperkirakan umur sapi dengan melihat adanya gigi sapi yang tanggal.

Usaha penggemukan sapi potong merupakan salah satu komoditas usaha penghasil daging terbesar dari kelompok ternak ruminansia terhadap produksi daging Nasional (Suryana, 2009). Pemeliharaan sapi potong dengan sistem tradisional baik dari segi pakan konvensional menyebabkan kurangnya peran peternak dalam mengatur perkembangan produktiftas ternaknya. Peran ternak ruminansia dalam masyarakat tani selama ini bukan sebagai komoditas utama.

Usaha penggemukan sapi potong dengan manajemen pemeliharaan yang baik akan sangat menguntungkan karena tidak hanya memproduksi daging, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai potensi tenaga kerja sehingga dapat meekan angka pengangguran. Sapi potong sebagai penghasil daging mempunyai persentase karkas (bagian yang dapat dimakan) cukup tinggi, yaitu berkisar antara 45-55% dari bobot sapi.

Keuntungan ekonomis yang diperoleh dari usaha ternak sapi potong sebagai lapangan usaha menurut Murtidjo (2000) antara lain:

a. Sapi potong dapat memanfaatkan bahwa makanan yang rendah kualitasnya, menjadi produksi daging.

b. Sapi potong sanggup menyesuaikan diri pada lokasi atau tanah yang kurang produktif untuk pertanian tanaman pangan, dan perkebunan.

c. Ternak sapi potong membutuhkan tenaga kerja dan peralatan lebih murah daripada usaha ternak lain, misalnya ternak sapi perah.

d. Usaha ternak sapi potong bisa dikembangkan secara bertahap sebagai usaha komersial sesuai dengan tingkat keterampilan, kemampuan modal petani-peternak. e. Limbah ternak sapi potong bermanfaat untuk pupuk kandang tanaman pertanian

dan perkebunan selain sanggup memperbaiki struktur tanah yang tandus.

f. Angka kematian ternak sapi potong relatif rendah, karena untuk usaha ternak yang dikelolah secara sederhana rata-rata angka kematian hanya 2 persen di Indonesia. g. Sapi potong dapat dimanfaatkan tenaganya untuk pengangkutan dan pertanian.

(13)

Faktor pendorong pengembangan usaha sapi potong adalah permintaan pasar terhadap daging sapi makin meningkat, produksi daging sapi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan daging sapi dalam negeri, ketersediaan tenaga kerja besar, adanya kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pengembangan sapi potong, hijauan pakan ternak dan limbah pertanian tersedia sepanjang tahun, dan usaha peternakan sapi lokal tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global (Kariyasa, 2005).

2.2.4 Biaya Produksi

Biaya adalah faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output. Menurut Soekardono (2009), biaya produksi secara teori terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.

Menurut Santoso (2006) terdapat dua tipe pengeluaran atau pembiayaan, yaitu sebagai berikut:

1. Biaya Tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya usaha. Yang termasuk biaya tetap adalah pengeluaran perusahaan untuk penyusutan bangunan, penyusutan mekanisasi serta peralatan, gaji, pajak, asuransi dan sebagainya. Walaupun ternak yang dipelihara bertambah atau berkurang, biaya ini besarannya tetap kecuali bila terjadi perluasan usaha.

2. Biaya variabel adalah biaya yang dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Pada usaha ternak potong biasanya yang berpengaruh terhadap biaya variabel adalah jumlah ternak yang dipelihara, yang tentunya akan menentukan besarnya biaya pengobatan, biaya pakan atau biaya penjualan ternak.

2.2.5 Teori Usaha Tani

Prasetya (2006) menyatakan usahatani adalah ilmu yang mempelajari norma-norma yang dapat dipergunakan untuk mengatur usahatani sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh pendapatan setinggi-tingginya.

(14)

Menurut Efferson (2001), usahatani adalah ilmu yang mempelajari cara-cara pengorganisasian dan pengoperasian di unit usahatani dipandang dari sudut efisiensi dan pendapatan yang kontinyu.

Menurut Soekartawi (2002), usahatani biasa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu.

Usaha tani merupakan bentuk cara – cara penentuan, pengorganisasian dan pengkoordinasian penggunaan faktor – faktor produksi dan pendapatan usaha tani yang tinggi. Kegiatan usahatani selalu diperlukan faktor-faktor produksi berupa lahan, tenaga kerja, dan modal yang dikelola seefektif dan seefisien mungkin sehingga memberikan manfaat sebaik-baiknya. Faktor produksi dalam hal ini adalah semua korbanan yang diberikan pada hewan ternak agar mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan korbanan produksi. Faktor produksi memang sangat menentukan besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Faktor produksi lahan, modal untuk membeli bibit sapi penggemukan, pakan, obat-obatan, tenaga kerja dan aspek manajemen adalah faktor produksi yang terpenting. Hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output) biasanya disebut dengan fungsi produksi atau faktor relationship.

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Jadi dapat dirumuskan: π = TR – TC Dimana : π = Pendapatan usahatani TR = Total penerimaan TC = Total biaya

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diporoleh (Y) dengan harga jual (Py). Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TR = Y x Py Dimana :

(15)

TR = Penerimaan total Y = Produksi yang diperoleh Py = Harga jual

(Soekartawi, 2002).

Penelitian ini menganalisis dalam satu periode penggemukan selama 4 bulan. Produktifitas dapat dilihat dengan menghitung bobot akhir dikurangi bobot awal, sehingga dapat diketahui juga Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) per hari. Penentuan harga jual sapi potong dapat dengan cara jogrok (tafsiran) atau timbangan hidups api per kilogram dengan harga yang sudah ditentukan pasar.

2.2.6 Teori Usaha Ternak

Usaha ternak merupakan suatu proses usaha mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan manajemen. Manajemen mencakup pengelolaan perkawinan baik kawin alami maupun Inseminasi Buatan (IB), pemberian pakan, perkandangan, dan kesehatan ternak. Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran, dan pengaturan tenaga kerja (Abidin, 2002).

Saragih (2008) menyatakan bahwa tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya sehingga bisa diklasifikasikan kedalam bentuk kelompok berikut:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dengan tingkat pendapatan dari usahaternaknya kurang dari 30%.

2. Peternakan sebagai cabang usaha, peternak mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usaha, dengan tingkat pendapatan dari usahaternaknya 30%-69,9% (semi komersil atau usaha terpadu).

3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan, dengan tingkat pendapatan usaha ternak 70%-99,9%.

(16)

4. Peternakan sebagai usaha industri, dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha ternak 100%.

Pendapatan peternak dari usaha pemeliharaan sapi masih rendah karena pola usahanya belum komersial dan pemeliharaannya masih tradisional. Pada saat ini terdapat banyak bangsa sapi yang jumlahnya cukup banyak. Sehubungan dengan itu, peternak yang maju pasti akan selalu mengikuti perkembangan dunia peternakan, khususnya perkembangan sapi potong. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dilakukan dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Sori (2009) menyatakan hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar dan modern, dengan skala usaha kecilpun akan mendapatkan keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip budidaya modern.

2.2.7 Aspek Teknis Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Pengukuran pertambahan bobot badan digunakan untuk mengukur sejauh mana pakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh ternak selain untuk kebutuhan hidup pokok. Menurut Murtidjo (1990), pertumbuhan dapat diketahui dengan pengukuran kenaikan bobot tubuh yang dengan mudah dapat dilakukan melalui penimbangan berulang-ulang serta mencatat pertambahan bobot tubuh setiap hari, minggu, dan bulan. Peningkatan pertambahan bobot badan dimbangi dengan meningkatnya konsumsi pakan. Peningkatan konsumsi disebabkan terjadinya peningkatan laju cerna serat dan peningkatan laju alir mikroba penyerap protein.

Bobot badan ternak senantiasa berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakannya. Makin tinggi tingkat konsumsi pakan, maka semakin tinggi bobot tubuhnya (Kartadisastra, 1997). Kenaikan bobot tubuh terjadi apabila pakan yang dikonsumsi telah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka kelebihan nutrien akan diubah menjadi jaringan daging dan lemak sehingga pertambahan bobot tubuh tampak menjadi lebih jelas (Williamson dan Payne, 1993).

Makin tinggi bobot badan awal maka PBBH yang dihasilkan semakin kecil. Sapi yang baik untuk digemukkan guna mendapatkan keuntugan yang tinggi adalah

(17)

sapi dalam kondisi kurus tetapi sehat supaya PBBH yang dihasilkan tinggi di akhir periode penggemukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kongpite (2010), yang menyatakan bahwa bobot badan sapi bakalan yang terlalu berlebihan akan menyebabkan sapi tersebut tidak dapat digemukkan lagi. Ditambahkan oleh Parakkasi (1999), yang menyatakan kegemukan akan menurunkan nafsu makan yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pengisian rongga abdomalis atau adanya feedback dari jaringan lemak. Perlu pertimbangan terhadap tingkat kegemukan tersebut, misalnya dalam memprediksi pertambahan bobot badan akhir penggemukan guna mengambil kebijakan dalam pemasaran.

2.2.8 Kerangka Pemikiran

Sapi potong merupakan jenis ternak yang sudah lama diketahui dan memiliki peluang besar untuk dikembangkan baik skala kecil atau besar. Produksi daging sapi menjadi perhatian utama karena produksinya selama ini jauh dari permintaan. Salah satu faktor yang menyebabkan mahalnya daging sapi juga dipengaruhi karena kurangnya ketersediaan daging sapi lokal. Oleh karena itu pemeliharaan sapi potong dan produksi daging dalam negeri harus terus mendapatkan ide-ide dan teknologi-teknologi baru. Hal-hal tersebut diharapkan dapat mencukupi kebutuhan daging dalam negeri dan mensejahterakan para peternak sapi potong.

Adanya teknologi pakan konsentrat perlu diteliti dari segi biaya dan efisiensinya terhadap usaha penggemukan sapi potong. Penelitian yang akan dilakukan mengenai analisis perbandingan pendapatan penggemukan sapi potong yang menggunakan pakan konsentrat dan pakan konvensional atau pakan model peternak pada umumnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan motivasi bagi peternak sapi potong, untuk mengambil langkah-langkah yang akan diambil dalam mengembangkan usaha penggemukan sapi potong baik sekala kecil ataupun besar. Kerangka pemikiran digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

(18)

Peternak pakan Konvensional Peternak menggunakan

tambahan pakan Konsentrat

Adanya perbedaan pendapatan yang signifikan antara peternak penggemukan sapi potong menggunakan tambahan pakan konsentrat dan peternak pakan konvensional

 Analisis pendapatan  Uji T

Efisiensi penggunaan pakan konsentrat

(19)

Gambar

Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Rumput P. Purpureum dan P. maximum  Nama Hijauan  BK  (%)  SK  (%)  PK  (%)  TDN (%)  DEM  cal/Kg  BK  P.purpureum  18  33  9.1  51  2.25  26 ton/ha  P
Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Sistem informasi masuk keberbagai aspek kehidupan salah satunya adalah pembelajaran, Permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran anak adalah siswa lebih

Interlock adalah suatu skema yang dibuat pabrik apabila kondisi tertentu yang dianggap berbahaya untuk proses produksi aktif, hal ini dilakukan untuk melindungi

Pada kelas kontrol terlihat nilai modus tanggung jawab lebih rendah dari pada kelas eksperimen karena pada saat guru menjelaskan materi siswa tidak memperhatikan

Tidak jauh berbeda dengan peneitian terdahulu, respon strategis untuk membantu membuka lebar akses masyarakat miskin ke pengadilan adalah dengan semakin

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan: 1).Dengan pemberian reward dan punishment akan mendorong karywan untuk dapat melaksanakan tugas

Mata kuliah pengantar ilmu ekonomi merupakan pengetahuan dasar yang perlu dipahami oleh mahasiswa Ilmu hubungan internasional sebelum mempelajari mata kuliah wajib dan pilihan

Untuk perilaku seksual sehat berarti siswa memiliki kecenderungan perilaku untuk menjaga kebersihan pakaian dalam, menghindarkan diri dari obat pemutih wajah atau kulit, selalu

Kasus hipertensi di Dusun Pundong II (DP II) mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, kejadian terbanyak pada remaja dan lanjut usia (lansia). GDTH bertujuan