• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN MORTALITAS DAN PERILAKU PENJUALAN DOMBA SISTEM DIGEMBALAKAN PADA DUA KONDISI AGRO-EKOSISTEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN MORTALITAS DAN PERILAKU PENJUALAN DOMBA SISTEM DIGEMBALAKAN PADA DUA KONDISI AGRO-EKOSISTEM"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN MORTALITAS DAN PERILAKU PENJUALAN

DOMBA SISTEM DIGEMBALAKAN PADA DUA KONDISI

AGRO-EKOSISTEM

(Performance of Mortality and Farmer’s Sold Behaviour on Sheep Grazing

Mangement in Two Agro-Ecosystem Conditions)

DWI PRIYANTO danDWI YULISTIANI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Ciawi 16002

ABSTRACT

Sheep farming system as subsystem to supported agriculture which still traditional with management system depended of basic resourses. Sheep farming system’s research conducted in Majalengka and Purwakarta regency, with grazed management system in sugar cane estate area (low land agro-ecosystem), and under rubber plantation area (up land agro-ecosystem). Monitoring in one year conducted from 22 and 17 cooperator, before that they gave training about livestock management systems, then be recorded about mortality case and farmer’s sold animal, and also used economic analyse (net cash benefit). Result showed that mortality still high (20.42 vs 10.90 percent) in Majalengka and Purwakarta regency, and acoured at female adult and lamb, with clinic identities were poisening and diarhe. Distribution mortality in one year showed high in Juni and July, because of poisening at sugar cane area (majalengka), but in Purwakarta it showed at rainy season because case of diarche. Farmer’s behaviour of sold animal showed high at young male in Majalengka, but in Purwakarta it showed high at adult female. Distribution sold animal in one year showed that in Majelengka on August until January, then in Purwakarta on Mei until December. Farmer’s benefit of grazed management system showed Rp. 2.082.818 and Rp. 650.588 /farmer/year in Majalengka and Purwakarta regency.

Key Wods: Sheep farming system, Farmer’s sold behaviour

ABSTRAK

Usahaternak domba secara umum merupakan usaha subsisten dalam sistem usaha pertanian, dengan pengelolaan masih tergantung pada sumberdaya tradisional, dan pola produksi belum diperhatikan. Penelitian tentang perilaku peternak sebagai produsen usahaternak dilakukan di dua lokasi yakni di Majelengka dan Purwakarta dengan sistem penggembalaan di lahan perkebunan tebu (agro-ekosistem dataran rendah), dan perkebunan karet (agro-ekosistem dataran tinggi). Monitoring terhadap 22 dan 17 peternak kooperator terpilih, kemudian diberikan pelatihan tentang managemen usahatenak, kemudian dilakukan analsisis ekonomi (Net cash benefit). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mortalitas masih cukup tinggi yakni mencapai 20.42 persen dan 10.90 persen masing-masing di Majalengka dan Purwakarta yang umumnya terjadi pada domba betina dewasa dan anak. Gejala klinik adalah keracunan disamping kembung/mencret. Distribusi kematian ternak selama setahun pengamatan menunjukkan bahwa kematian tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Juli akibat keracunan di lahan perkebunan tebu (kasus Majalengka), sedangkan di Purwakarta cenderung terjadi pada saat musim hujan dengan gejala kembung/mencret. Distribusí penjualan tertinggi adalah domba jantan muda di Majalengka, sedangkan di Purwakarta cenderung domba betina dewasa. Distribusi penjualan tahunan di Majalengka terjadi pada bulan Agustus s/d Januari, sedangkan di Purwakarta pada bulan Mei s/d Desember. Managemen pola penggembalaan tersebut memberikan pendapatan usaha sebesar Rp. 2.082.818 dan Rp. 650.588/peternak/tahun masing-masing di Majalengka dan Purwakarta.

(2)

PENDAHULUAN

Usahaternak domba model pembibitan (produksi anak) umumnya dipelihara dalam kondisi pedesaan yang sifatnya komplementer dari usaha pokok pertanian. Usaha peternakan di Indonesia sebagian besar merupakan usaha peternakan rakyat, khususnya usahaternak kambing/domba (ruminansia kecil) 99 persen masih merupakan usaha sambilan dengan menyumbangkan pendapatan dibawah 30 persen (SOEHADJI, 1992). Motivasi usaha dilakukan sangat bervariasi yang umumnya adalah merupakan usaha sambilan dengan skala disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya tenaga kerja keluarga, disamping modal usaha. Sistem usahaternak yang dilakukan peternak umumnya masih bersifat tradisional. Hal tersebut ditunjukkan adanya sistem produksi masih rendah dan masih banyak ditemukan kendala, diantaranya adalah ditunjukkan adanya mortalitas yang tinggi, dilaporkan masih mencapai 17 % yang banyak terjadi pada ternak muda (BERIAJAYA dan STEVENSEN, 1986).

Perilaku sistem produksi yang dilakukan masih tradisional tergantung faktor alam, dan peternak belum melakukan sistem pengaturan produksi dalam mendukung sistem penjualan, sehingga masih diperoleh hasil tidak optimal. Perilaku peternak domba di pedesaan dalam melakukan sistem usahaternak umumnya masih berorientasi sebagai tabungan yang belum memperhatikan nilai ekonomis dari usahaternak dalam mendukung tingkat pendapatan usaha termasuk pengembangan skala usaha. Pengelolaan usaha yang maksimal akan memberikan dampak pendapatan yang memadai. SARAGIH (1997) mengemukakan bahwa usaha agribisnis domba akan membantu prospek kearah usaha terpadu yang menguntungkan sebagai akibat meningkatnya permintaan hasil ternak secara internasional. Untuk mendukung program tersebut diperlukan pengamatan tentang perilaku peternak sistem digembalakan perlu diketahui sebagai acuan/ strategi pengembangan model penggembalaan, dalam mendukung sistem usaha yang mampu meningkatkan pendapatan peternak di pedesaan, meliputi identifikasi potensi, serta kendala yang dihadapi peternak.

MATERI DAN METODE

Penelitian untuk mengetahui sistem produksi dan perilaku peternak dalam upaya mengetahui karakteristik usahaternak domba dilakukan di 2 (dua) Desa dengan sistem managemen digembalakan. Kondisi agro-ekosistem wilayah dipilih berbeda, serta memiliki kepadatan ternak domba yang tinggi yakni di Desa Pasiripis, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka (agro-ekosistem dataran rendah lahan perkebunan tebu), dan Desa Tegalsari, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta (agro-kosistem dataran tinggi perkebunan karet). Dari gambaran di kedua lokasi tersebut diharapkan mencerminkan perilaku peternak dalam sistem budidaya, dan secara umum mampu sebagai representasio kondisi penggembalaan pada kondisi spesifik lokasi. Penelitian dilakukan melalui kegiatan monitoring bulanan selama setahun terhadap 22 peternak kooperator, dan 17 peternak. Langkah-langkah dalam proses penelitian tersebut adalah:

1. Seleksi responden peternak kooperator. Pemilihan kooperator didasarkan atas skala pemilikan ternak (tinggi) yang digembalan, disamping tingginya partisipasi (kooperatif), dengan harapan peternak mampu berusaha secara berkelanjutan.

2. Pelatihan peternak. Pelatihan diberikan untuk pengujian adopsi teknologi usahaternak domba yakni: Sistem perkawinan, perkandangan, pemberian pakan, serta pengobatan penyakit (parasit cacing), dan strategi pemasaran dalam memperoleh harga jual ternak yang tepat dan efektif, sehingga terjadi perbaikan usaha yang digeluti.

3. Melakukan monitoring bulanan (selama setahun) yang meliputi parameter produktivitas domba, mortalitas, perilaku penjualan, serta monitoring ekonomi usahaternak (farm record keeping kooperator).

Fokus pengamatan yang dilakukan adalah kajian terhadap penampilan mortalitas bulanan, penjualan ternak, serta dampak ekonomi usahaternak dengan meggunakan analisis Net

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum lokasi penelitian

Desa Tegalsari, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta adalah merupakan wilayah dengan kondisi lahan kering dataran tinggi dengan komoditas utama sebagai daya dukung usahaternak domba adalah areal perkebunan karet. Sedangkan Desa Pasiripis, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka adalah merupakan lahan kering dataran rendah dengan potensi daya dukung pemeliharaan ternak domba adalah lahan perkebunan tebu. Masing-masing manajemen usahaternak diusahakan secara digembalakan penuh dan dikandangkan pada malam hari. Ditinjau dari skala pemeliharaan peternak cukup berbeda, dimana peternak di Majalengka memiliki skala usaha yang lebih besar dibandingkan dengan di Purwakarta (rataan 18,8 ekor vs 7,59 ekor/peternak), dengan skala pemeliharan induk (9,24 vs 3,14 ekor/peternak). Kondisi tersebut terkait langsung dengan aspek ekonomi yang ditunjukkan adanya perbedaan mata pencaharian peternak, dimana mata pencaharian peternak di Purwakarta adalah sebagai petani, sebaliknya di Kabupaten Majalengka adalah sebagai buruh tani sehingga cenderung sistem usaha lebih bertumpu pada usahaternak domba.

Laju mortalitas ternak pada kondisi peternak

Kematian domba berdasar status fisiologis

Laju mortalitas domba petani dalam kurun waktu setahun masih tinggi. Hasil pengamatan terlihat bahwa mortalitas di lokasi Purwakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Majalengka masing-masing mencapai 20,42 vs 10,90%. Hasil tersebut setara dengan penelitian (HANDAYANI dan GATENBY, 1988) yang menyatakan bahwa mortalitas domba digembalakan mencapai 28% akibat parasit cacing di pedesaan Mortalitas yang dibedakan atas status fisiologis secara umum terjadi pada domba betina dewasa yakni mencapai 39,39 persen, dan pada anak jantan (30,27 persen), dan anak betina (24,24%) (Tabel 1). Sebaliknya terlihat bahwa kematian domba

muda dan jantan dewasa relatif rendah. Dibedakan antar lokasi pengamatan menunjukkan bahwa kematian tetinggi di kedua lokasi terjadi pada domba dewasa betina yakni mencapai 37,5 dan 41,16% masing-masing di lokasi Majalengka dan Purwakarta. Berdasarkan kriteria jenis kelamin terlihat cukup berbeda dimana kematian domba muda jantan lebih banyak terjadi di Majalengka, demikian pula kasus kematian anak jantan paling tinggi terjadi di Majalengka (37,5%), dan anak betina banyak terjadi di Purwakarta (29,42%). Domba muda lebih peka terhadap prevalensi infeksi cacing yang berakibat kematian. Dilaporkan bahwa prevalensi infeksi cacing ternak domba secara ekstensif sangat tinggi (mendekati 100%), ternak muda (< 9 bulan) lebih peka. Perbaikan penyediaan hijauan mencegah cacing, disamping pemberian obat cacing secara terpadu, sekaligus mampu meningkatkan produktivitas ternak (SUHARDONO et al., 2002).

Kasus gejala klinik kematian domba

Berdasarkan gejala klinik kasus kematian menunjukkan bahwa secara umum di dua lokasi, kematian terjadi karena faktor diluar manajemen usaha yakni dilaporkan 24,24 persen adalah digigit anjing liar yang hanya terjadi di Purwakarta (Tabel 2). Sedangkan kasus dominan lainnya adalah akibat faktor keracunan (18,18%), kembung perut/ mencret (18,18%), kejang-kejang (12,12%), dan ternak mengalami kelemahan (12,12%). Dibedakan antar lokasi menunjukkan bahwa kasus kematian tertinggi di Majalengka adalah akibat keracunan yang mencapai 37,5%, dan kasus kejang-kejang (25,0%), sebaliknya untuk lokasi Purwakarta kematian tertinggai akibat kasus digigit anjing (47,06%), dan kasus kembung/mencret (23,52%). Kematian tersebut tidak terlepas dari faktor managemen penggembalaan, di Majalengka penggembalaan dilakukan di kebun tebu yang sangat padat tekanan penggembalaan, dan sering dilakukan penyemprotan pada lahan tebu muda sehinga kasus keracunan terlihat tinggi. Sebaliknya di Purwakarta penggembalaan dilakukan dibawah perkebunan karet (hutan) yang banyak berkembang anjing liar yang cenderung memangsa anak kambing yang masih kecil..

(4)

Tabel 1. Status mortalitas domba pada kondisi usahaternak rakyat di dua lokasi pengamatan Majalengka (n = 22) (20,42%) Purwakarta (n = 17) (10,90%) Total (n = 39) (15,66%) Status fisiologis

Ekor % Ekor % Ekor % Dewasa Jantan Betina Muda Jantan Betina Anak Jantan Betina 1 6 1 2 6 - 6,25 37,50 6,25 12,5 37,5 - 1 7 2 - 2 5 5,88 41,18 11,76 - 11,76 29,42 2 13 3 2 8 5 6,06 39,39 9,09 6,06 24,24 30,27 Total 16 100 17 100 33 100 ( ) = menunjukkan mortalitas

Dilaporkan BERIAJAYA dan STEVENSEN (1986), bahwa kasus penyakit mencret akibat parasit cacing merupakan kasus utama yang dialami peternak dalam sistem pemeliharaan digembalakan. Penyakit cacing berdampak menurunkan bobot hidup mencapai 30%, serta kematian ternak sampai 17%, terutama ternak muda. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa kerugian akibat mortalitas domba mencapai Rp. 134.850 dan Rp. 42.529/peternak/tahun masing-masing di Majalengka dan Purwakarta sebagai dampak inovasi teknologi parasit cacing (PRIYANTO dan YULISTIANI, 2005). Kondisi demikian memerlukan perhatian khususnya dalam upaya meningkatkan produktivitas usahaternak domba dengan upaya menekan kejadian kematian.

Distribusi kasus kematian domba selama setahun

Hasil monitoring bulanan distribusi kematian selama setahun menunjukkan bahwa, kasus kematian tertinggi terjadi pada bulan Juli di Kabupaten Majalengka, dan bulan Juni dan September di Kabupaten Purwakarta (Gambar 1). Kondisi demikian berdasarkan observasi dan informasi peternak menunjukkan bahwa pada saat tersebut adalah jatuh pada musim kemarau. Dikaitkan dengan kasus kematian domba (Tabel 2), hal tersebut banyak terjadi keracunan dan kejang-kejang di Majalengka, yang pada saat itu terjadi kekurangan pakan, sehingga domba menyerang tanaman tebu muda yang dilakukan penyemprotan oleh pihak

Tabel 2. Gejala klinik kematian ternak pada peternakan rakyat di dua lokasi pengamatan

Majalengka (n = 22) Purwakarta (n = 17) Total Kasus kematian

Ekor % Ekor % Ekor % Keracunan Kembung/mencret Kejang-kejang Lemah Kurang susu Makan plastik Digigit anjing Kecelakaan 6 2 4 2 - - - 2 37,5 12,5 25,0 12,5 - - - 12,5 - 4 - 2 1 2 8 - - 23,52 - 11,76 5,90 11,76 47,06 - 6 6 4 4 1 2 8 2 18,18 18,18 12,12 12,12 3,04 6,06 24,24 6,06 Total 16 100 17 100 33 100

(5)

pabrik (Pabrik Gula Jatitujuh). Sedangkan di Purwakarta ada kecenderungan terjadi kematian yang relatif merata sepanjang tahun akibat faktor luar (dimakan anjing), disamping secara umum terjadi pada saat musim hujan akibat mencret/kembung akibat parasit cacing. Sesuai penelitian BERIAJAYA (2005), menyatakan kecenderungan pada musim hujan terjangkit penyakit cacing yang ditunjukkan adanya jumlah telur cacing yang meningkat, khususnya pada ternak digembalakan. Penggembalaan akan berdampak meningkatkan parasit cacing dan berdampak terhadap pertumbuhan yang rendah dibanding dikandangkan penuh. Domba digembalakan tengah hari parasit cacing yang dikandungnya akan menurun (rendah) (MIRZA dan GATENBY, 1995). Oleh karena itu pengobatan dengan anthelmintik akan menurunkan mortalitas. Obat cacing perlu diberikan 2 x per tahun, tetapi pada daerah musim kemarau panjang 1 kali setahun pada awal musim hujan (BERIAJAYA dan SUHARDONO, 1997). Dengan pengobatan disophenol secara subkutan dan

thibenzole per oral akan nyata menurunkan

jumlah telur cacing dibanding kontrol (tanpa pengobatan) (DARMONO et al., 1982).

Gambar 1. Distribusí kematian domba pada kondisi

peternakan rakyat selama setahun pengamatan di dua lokasi

Perilaku penjualan domba yang dilakukan peternak

Penjualan berdasarkan status fisiologis

Banyak sedikitnya penjualan domba dilakukan oleh peternak sangat tergantung dari

khususnya pemilikan induk. Di Majalengka rataan skala pemilikan mencapai 18,8 ekor (9,24 induk), sedangkan di Purwakarta hanya mencapai 7,59 ekor (3,14 induk). Hasil monitoring panjualan menunjukkan bahwa secara umum penjualan domba yang dilakukan peternak tertingi berdasarkan status fisiologis adalah terjadi pada domba jantan muda yakni mencapai 36,45%, disusul betina muda (19,70%) dan betina dewasa (15,29%).

Dibedakan antar lokasi menunjukkan bahwa peternak di Majalengka cenderung menjual domba tertinggi adalah domba jantan muda, betina muda, dan anak betina. Kondisi demikian terjadi karena di Majalengka adalah merupakan kontong ternak domba yang penjualan oleh peternak dipersiapkan untuk usaha pola pembibitan. Domba jantan muda cenderung dijual karena dipandang tidak menguntungkan (faktor induk yang diutamakan), dan sirkulasi penjualan domba relatif dipertimbangkan untuk mempertahankan skala usaha disesuaikan dengan kapasitas kandang (skala pemilikan tinggi). Tidak jauh berbeda dengan perilaku peternak di Purwakarta penjualan domba terjadi tertinggi pada domba betina dewasa (40 persen) yang hal tersebut karena peternak belum mempertimbangkan pentingnya induk yang harus dipertahankan. Ternak jantan muda umumnya dijual karena untuk konsumsi sate yang memang dicari oleh banyak tengkulak di Purwakarta.

Distribusi penjualan domba selama setahun

Hasil pengamatan rataan penjualan domba di dua lokasi mencapai 12.63 ekor/peternak dan 5.88 ekor/peternak/tahun masing-masing di lokasi Majalengka dan Purwakarta. Hal tersebut tidak terlepas dari skala pemilikan yang diusahakan peternak, dan tergantung kebutuhan spesifik lokasi. Pada usahaternk domba di Majalengka dilihat dari frekuensi peternak dalam menjual domba cenderung terjadi pada bulan Aguastus s/d Januari (diatas 5 peternak menjual) (Gambar 2). Tetapi dilihat jumlah ternak yang dijual, penjualan terbanyak terjadi pada bulan Januari, yang secara umum dilakukan pada bulan Agustus s/d Januari, dengan total penjualan sekitar 25 ekor. Menunjukkan pada bulan tersebut pengeluaran 0 1 2 3 4 5 6 E kor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Majalengka Purwakarta

(6)

domba dari majalengka cukup tinggi. Sebaliknya kasus peternak melakukan penjualan di lokasi Purwakarta relatif berfluktuasi (Gambar 3).

Gambar 2. Distribusi penjualan domba di

Majalengka

Gambar 3. Distribusi penjualan domba di

Purwakarta

Hasil analisis pendapatan usahaternak domba di dua lokasi menunjukkan bahwa pendapatan peternak dari hasil penjualan domba mencapai Rp. 2.082.818 vs Rp. 650.508/peternak/tahun masing-masing di lokasi Majalengka dan Purwakarta dihitung berdasar pendapatan tunai hasil penjualan ternak domba (Tabel 5).

Tabel 4. Perilaku penjualan ternak domba selama setahun pengamatan di Majalengka dan Purwakarta

Status fisiologis Majalengka (n = 22) Skala induk = 9,24 Skala kepemilikan = 18,80 Purwakarta (n = 17) Skala induk =3,14 Skala kepemilikan = 7,59 Total (n = 39) Skala induk = 6,58 Skala kepemilikan = 13,91 ekor % ekor % ekor % Dewasa Jantan Betina Muda Jantan Betina Anak Jantan Betina 14 36 111 60 19 60 4,66 12,00 37,00 20,00 6,34 20,00 3 16 13 7 - 1 7,50 40,00 32,50 17,50 - 2,50 17 52 124 67 19 61 5,00 15,29 36,45 19,70 5,58 17,96 Total 300 100 40 100 340 100 Rataan/pet 13,63 5,88 8,71

Tabel 5. Hasil penjualan domba oleh peternak di dua lokasi pengamatan

Peubah Majalengka (n = 22) Purwakarta (n = 17) Total (n = 39)

Jumlah dijual (ekor) Nilai jual (Rp) 246 45.822.000 63 11.060.000 309 56.882.000 Rataan jual/pet (ekor)

Pendapatan/peternak/tahun 11.18 2.082.818 4.84 650.588 7.92 1.458.512 0 5 10 15 20 25 30 35 40 pet/ e k or 1 2 3 4 5 6 7 8 910 11 12 Bulan Peternak Jumlah jual Rataan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Pe t/ Ek or 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 Bulan Peternak Jumlah jual Rataan

(7)

Hal tersebut sangat ditentukan besar kecilnya penjualan domba selama setahun. Pada usahaternak domba sistem digembalakan faktor biaya input produksi sangat rendah. Prinsip usaha tersebut adalah merupakan model integrasi antara ternak domba dengan perkebunan tebu (Majalengka), dam domba dengan perkebunan karet (Purwakarta), sehingga pakan tersuplai dengan tidak mengeluarkan banyak biaya (low input). Beberapa penelitian menyatakan bahwa integrasi peternakan domba di perkebunan karet memberikan efek saling menguntungkan

(complementary effect). Hijauan di lahan

perkebunan dapat diubah oleh ternak menjadi daging dan pihak perkebunan dapat menghemat biaya 20 – 50% peningkatan produksi latek (HARUN dan CHEN, 1994). Dalam usahaternak kambing dibawah pohon karet dengan perbaikan teknologi diperoleh keuntungan sebesar Rp. 110.700/ekor selama 5 bulan, sedangkan dipeternakan rakyat masih rugi sebesar Rp. 15.600/ekor apabila tenaga kerja diperhitungkan yang dihitung berdasarkan pertambahan bobot badan (ZURRIYAH et al., 2004). Dalam sistem integrasi yang dikombinasikan dengan inovasi kelembagaan di Tapanuli Selatan mampu memproteksi harga jual domba ekspor ke Malaysia dengan harga 7 ringgit (Rp. 19.600)/kg bobot hidup, terlihat jauh lebih tinggi disbanding tanpa inovasi yang hanya mencapai harga Rp. 19.000/kg karkas (ELIESER, 2005). Pola integrasi dengan rekomendasi inovasi teknologi adalah suatu keharusan dalam meningkatkan nilai jual domba di pedesaan, sekaligus peningkatan pendapatan petani.

KESIMPULAN

Dari hasil pengamatan tentang perilaku peternak domba sistem digembalakan sebagai produsen dalam upaya mendukung pendapatan dapat disimpulkan bahwa:

1. Faktor mortalitas sangat ditentukan oleh kondisi agro-ekosistem lokasi. Mortalitas masih cukup tinggi yakni mencapai 20,42 persen dan 10,90 persen masing-masing pengamatan di Majalengka dan Purwakarta yang umumnya terjadi pada domba betina dewasa dan anak. Gejala klinik adalah keracunan disamping kembung/mencret.

Lokasi penggembalaan di lahan perkebunan karena kematian terjadi akibat faktor diluar managenen (digigit anjing liar) yang mencapai 47%.

2. Distribusi kematian ternak selama setahun pengamatan menunjukkan bahwa kematian tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Juli yang hal tersebut akibat faktor keracunan pada penggembalaan di lahan perkebunan tebu (Majalengka), sedangkan di Purwakarta cenderung terjadi pada saat musim hujan dengan gejala kembung/ mencret, akibat penyakit parasit cacing. Pengendalian obat cacing secara rutin mampu menekan kematian domba.

3. Distribusi penjualan domba sangat tergantung kebutuhan peternak dengan penjualan tertinggi pada domba jantan muda di Majalengka, sedangkan di Purwakarta cenderung domba betina dewasa. Distribusi penjualan tahunan di Majalengka terjadi pada bulan Agustus s/d Januari, sedangkan di Purwakarta pada bulan Mei s/d Desember. Managemen pola penggembalaa tersebut memberikan keuntungan usaha sebesar Rp. 2.082.818 dan Rp. 650.588 masing-masing di Majalengka dan Purwakarta.

DAFTAR PUSTAKA

AMIR, P. and KNIPSCHEER. 1989. Conducting On-farm Animal Research Procedure and Economic Analysis. Winrock International Institute for Agricultural Development an International Development Research Centre. Morrilton, Arkansas, USA.

BERIAJAYA. 2005. Gastrointestinal nematode infectious on sheep and goat in West Java, Indonesia. JITV 10(4).

BERIAJAYA and STEVENSON. 1986. Reduced Productivity in Small Ruminant in Indonesia as Result of a Gastrointestinal Nematode infection. In Livestock Production and Diseases in the Tropic. Trop Vet. Med. Kuala Lumpur, Malaysia. Thth.

BERIAJAYA dan SUHARDONO. 1997. Penaggulangan nematodis pada ruminansia kecil secara terpadu antara manajemen, nutrisi dan obat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan veteriner. Bogor, 18 – 19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 110 – 121.

(8)

DARMONO, S. PARTOUTOMO, SUKARSIH dan G. ADIWINATA. 1982. Pengaruh pengolahan dengan kombinasi disophenol dan thibenzole terhadap cacing nematodo saluran pencernaan pada domba. Penyakit Hewan 14(24): 31 – 3 4. ELIESER,S.2005. Analisis kelembagaan pemasaran

dan margin tata niaga ternak domba. Studi kasus pada pengembangan ternak domba model SUTPA di Kabupaten Tapanuli dan PIR-NAK domba transmigrasi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 573 – 580.

HANDAYANI,S.W. dan R.M.GATENBY. 1988. Effects of management system, legume feeding, and anthelmentic treatment on the ferformance of lambs in North Sumatera. Trop. Anim. Hlth and Prod. 20: 122 – 130.

HARUN,O. and C.P.CHEN. 1994. Management of forage for animal production under tree crops. Proc. of Workshop on Research Methodologies. Medan – North Sumatera.

MIRZA,I. dan R.M.GATENBY. 1995. Effect of time of grazing on Word uptake by sheep. J.

Penelitian Peternakan Sei Putih, Sub Balitnak Sei Putih. pp. 64 – 72.

PRIYANTO, D. dan D. YULISTIANI. 2005. Estimasi dampak ekonomi penelitian partsipatif penggunaan obat cacing dalam peningkatan pendapatan peternak domba di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Perternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 512 – 520.

SOEHADJI. 1992. Pembangunan peternakan dalam pembangunan jangka panjang tahap II. Pros. Agro Industri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.

SUHARDONO,BERIAJAYA dan D.YULISTIANI. 2002. Infeksi cacing nematodo saluran pencernaan pada domba yang digembalan secara ekstensif di daerah padat ternak di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 30 Septembaer – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 370 – 375.

ZURRIYATI,Y.,A.BATTUBARA dan A.SYAM. 2004. Kajian integrasi ternak kambing dengan perkebunan karet di Propinsi Riau. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpsar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali, dan Crop Animal Research Network (CASREN). Bali.

DISKUSI Pertanyaan:

Apakah kondisi usahatenak tersebut adalah merupakan usaha pokok petani di lokasi pengamatan? Karena ditunjukkan pendapatakan usahaternak yang cukup besar?

Jawaban:

Dari hasil pengamatan dapat dilihat dari skala usaha, untuk lokasi di Majalengka adalah dengan skala usaha yang cukup besar dan merupakan usaha pokok, karean peternak tersebut adalah sebagai buruh tani di perkebunan tebu sehingga ternak domba adalah sebagai tumpuhan pendapatan rumah tangga. Tetapi sebaliknya di Purwakarta mayoritas peternak adalah sebagai petani yang memiliki lahan pertanian dan usahaternak adalah merupakan usaha sambilan, dengan skala usaha yang dibatasi berdasarkan ketersediaan tenaga kerja keluarga.

Gambar

Tabel 1. Status mortalitas domba pada kondisi usahaternak rakyat di dua lokasi pengamatan  Majalengka (n = 22)   (20,42%)  Purwakarta (n = 17) (10,90%)  Total (n = 39) (15,66%)  Status fisiologis
Gambar 1.  Distribusí kematian domba pada kondisi  peternakan rakyat selama setahun  pengamatan di dua lokasi
Tabel 4. Perilaku penjualan ternak domba selama setahun pengamatan di Majalengka dan Purwakarta  Status fisiologis  Majalengka (n = 22) Skala

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Jumlah Asam Sitrat dan Waktu Kempa Panas Terhadap Sifat Papan Partikel dari Ampas Tebu.. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah

Setelah semua surat suara dalam kotak suara telah dibuka dan habis, serta telah dinilai sah oleh Pimpinan Musyawarah Anggota s yang disaksikan para saksi, maka Pimpinan Musyawarah

Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Terjadi peningkatan kemampuan menulis kembali karangan

Tetapi jikalau plastik ingin dipesan dengan keadaan dipotong (barang jadi) sesuai ukuran yang diinginkan buyer , maka akan dipotong oleh mesin pemotong dahulu, baru di- packing.

Hasil penelitian ini; (1) produksi seni lukis wayang Kamasan sudah terjadi pengkaburan makna dari makna simbolik menjadi makna ekonomi, keos (brecolage), dan menjadi

Kondisi visual gejala kerusakan akibat serangan Sitophilus oryzae pada 5 varietas padi pada minggu ketiga menunjukan adanya perbedaan gejala kerusakan pada 5

Jawa pos sendiri memiliki beberapa divisi di dalamnya seperti yang akan di bahas nantinya ialah divisi pemasaran dimana fungsinya bertugas memasarkan koran baik ke

Kepala Suku Dinas Kelautan, Pertanian dan Ket- ahanan Pangan Jakarta Pusat, Muhammad Mulyadi, mengatakan razia yang digelar sesuai dengan Perda Nomor 4/2007 tentang larangan