• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Ekonomi Wilayah

Kontribusi dan peranan sektor pertanian terhadap struktur perekonomian masyarakat di Kabupaten Mamuju Utara masih dominan. Hal tersebut terlihat dari persentase kontribusi setiap sektor terhadap nilai PDRB, dimana sektor pertanian dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2001-2010) mampu memberikan kontribusi rata-rata diatas 50 %. Meskipun kontribusi tersebut cenderung semakin menurun setiap tahunnya. Tabel 18 memperlihatkan bahwa dominasi sektor pertanian terhadap PDRB mengalami penurunan hingga 18.34 % antara tahun 2001 hingga 2010. Penurunan kontribusi tersebut dihitung berdasarkan selisih persentase nilai PDRB sektor pertanian tahun 2010 dan 2001.

Kontributor utama dalam pendapatan nilai PDRB sektor pertanian di Kabupaten Mamuju Utara bersumber dari sub sektor perkebunan. Sub sektor perkebunan merupakan sumber pendapatan terbesar dalam struktur perekonomian di wilayah Kabupaten Mamuju Utara. Persentase kontribusi sub sektor perkebunan terhadap nilai PDRB secara rata-rata mencapai 42.51 % dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2010). Namun demikian, peranan sub sektor perkebunan cenderung semakin menurun. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada sub sektor perkebunan, namun juga terjadi pada sub sektor pertanian lainnya. Antara tahun 2001 hingga 2010 sub sektor perkebunan mengalami penurunan persentase nilai pendapatan terhadap PDRB hingga mencapai 16.21% (Tabel 18).

Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Mamuju Utara, salah satunya disebabkan oleh peningkatan kontribusi sektor lain terhadap nilai PDRB. Misalnya, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap nilai PDRB sebesar 35.6 % pada tahun 2010 yang berasal dari sumbangan sub sektor industri non-migas. Kontribusi sub sektor tersebut dalam kurun waktu tahun 2001-2010 mampu memberikan peningkatan kontribusi terhadap nilai PDRB rata-rata 5.5 %, adapun sektor industri migas belum memberikan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Mamuju Utara.

(2)

Tabel 18 Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan di Kabupaten Mamuju Utara tahun 2001-2010 (persen)

Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rerata 1 Pertanian 58.32 56.71 55.84 55.49 53.32 50.16 47.89 45.46 43.41 39.98 50.66 a. Bahan Makanan 6.92 6.81 6.63 6.37 6.21 5.92 5.63 5.55 5.51 5.46 6.10 b. Perkebunan 49.14 47.67 47.04 47.02 45.04 42.19 40.26 37.90 35.93 32.93 42.51 c. Peternakan 0.56 0.56 0.54 0.52 0.51 0.49 0.47 0.52 0.51 0.40 0.51 d. Kehutanan 1.17 1.15 1.11 1.08 1.05 1.01 0.97 0.94 0.90 0.66 1.00 e. Perikanan 0.53 0.53 0.52 0.51 0.50 0.55 0.55 0.56 0.56 0.53 0.53

2 Pertambangan dan Penggalian 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.58 0.62 0.72 0.75 0.64 0.51 3 Industri Pengolahan 30.08 31.62 32.72 33.12 34.40 33.98 35.25 34.73 34.15 35.60 33.57

a. Industri Migas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

b. Industri Tanpa Migas 30.08 31.62 32.72 33.12 34.40 33.98 35.25 34.73 34.15 35.60 33.57 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.05 0.07 0.09 0.10 0.11 0.06 5 Bangunan/Konstruksi 1.06 1.08 1.10 1.10 1.10 2.35 2.64 3.43 4.50 3.50 2.19 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.73 1.73 1.75 1.78 1.79 2.06 2.11 2.06 2.04 1.69 1.87 7 Pengangkutan dan Komunikasi 0.46 0.46 0.46 0.46 0.47 0.53 0.57 0.63 0.66 3.29 0.80

a. Pengangkutan 0.44 0.45 0.45 0.45 0.46 0.52 0.55 0.61 0.64 3.01 0.76

b. Komunikasi 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.02 0.28 0.04

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.76 1.79 1.80 1.94 2.73 2.84 3.16 3.75 4.38 4.66 2.88

9 Jasa-jasa 6.21 6.22 5.92 5.71 5.80 7.44 7.69 9.14 10.00 10.53 7.47

a. Pemerintahan Umum 6.17 6.18 5.89 5.68 5.77 7.41 7.66 9.10 9.97 10.42 7.42

b. Swasta 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.12 0.04

(3)

Kontribusi sektor jasa terhadap struktur perekonomian di Kabupaten Mamuju Utara memberikan kontribusi rata-rata terhadap nilai PDRB sebesar 7.47 % selama tahun 2001-2010. Kontribusi tersebut sebagian besar (99 %) berasal dari belanja anggaran pemerintah, adapun kontribusi jasa sektor swasta masih sangat kecil < 1 %. Bahkan pada tahun 2010, jasa anggaran pemerintah mencapai 10.42 % dari nilai PDRB.

Beberapa sektor di Kabupaten Mamuju Utara belum memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan terhadap struktur perekonomian wilayah, misalnya sektor pertambangan dan penggalian serta sektor listrik, gas dan air bersih. Selama tahun 2001-2010 sektor pertambangan dan penggalian rata-rata memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 0.51 % yang berasal dari sektor bahan galian. Adapun sektor listrik, gas, dan air bersih memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 0.06 % selama kurun waktu tersebut.

Kontribusi sektor bangunan terhadap nilai PDRB selama tahun 2001-2010 rata-rata mencapai 2.19 %. Kontribusi yang relatif sama juga diberikan oleh sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar 2.88 %. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbangkan pendapatan terhadap PDRB rata-rata sebesar 1.87 % dalam 10 tahun terakhir.

5.2 Sektor Basis Wilayah

Dalam studi ini penentuan sektor basis dan non basis dilakukan terhadap sejumlah aspek yang dijadikan sebagai indikator perkembangan wilayah. Analisis LQ untuk mengetahui sektor basis ekonomi wilayah menggunakan data produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan selama 10 tahun (2001– 2010). Untuk mengetahui sektor basis komoditi yang diusahakan masyarakat di Kabupaten Mamuju Utara digunakan data produksi, tenaga kerja, dan luas tanam. Hasil analisis LQ pada aspek komoditi yang diusahakan masyarakat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan komoditi basis wilayah dan menjadi dasar dalam melakukan analisis selanjutnya.

(4)

Tabel 19 Analisis Location Quotient produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan Kabupaten Mamuju Utara tahun 2001–2010 Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian 1.01 0.98 0.98 0.98 0.96 0.93 0.93 0.92 0.90 0.85 a. Bahan Makanan 0.32 0.32 0.34 0.30 0.30 0.31 0.30 0.30 0.32 0.31 b. Perkebunan 1.82 1.76 1.66 1.75 1.72 1.62 1.66 1.82 1.72 1.62 c. Peternakan 0.22 0.23 0.22 0.21 0.20 0.20 0.19 0.22 0.22 0.18 d. Kehutanan 1.20 1.19 1.19 1.20 1.13 1.16 1.18 1.16 1.21 1.00 e. Perikanan 0.09 0.09 0.09 0.09 0.10 0.10 0.10 0.08 0.08 0.08

2 Pertambangan dan Penggalian 0.68 0.65 0.65 0.66 0.68 1.08 0.99 1.00 0.94 0.69

3 Industri Pengolahan 4.54 4.69 4.50 4.52 4.59 4.52 4.51 4.59 4.46 4.05

a. Industri Migas - - - -

b. Industri Non Migas 4.54 4.69 4.50 4.52 4.59 4.52 4.51 4.59 4.46 4.05

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.08 0.10 0.11 0.12 0.13 0.15 0.19 0.21 0.22 0.23

5 Bangunan/Konstruksi 0.39 0.39 0.39 0.40 0.37 0.77 0.78 0.75 0.96 0.75

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0.14 0.14 0.14 0.15 0.14 0.16 0.16 0.16 0.16 0.13 7 Pengangkutan dan Komunikasi 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.20 0.19 0.21 0.21 0.96

a. Pengangkutan 0.19 0.20 0.19 0.19 0.20 0.22 0.22 0.24 0.25 1.10

b. Komunikasi 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.04 0.03 0.03 0.04 0.42

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0.48 0.46 0.44 0.42 0.59 0.62 0.59 0.62 0.68 0.67

9 Jasa-jasa 0.48 0.47 0.45 0.44 0.44 0.52 0.53 0.60 0.63 0.71

a. Pemerintahan Umum 0.49 0.48 0.46 0.45 0.45 0.53 0.54 0.62 0.65 0.73

b. Swasta 0.12 0.12 0.12 0.12 0.11 0.10 0.09 0.09 0.09 0.23

(5)

Perkembangan sektor basis di Kabupaten Mamuju Utara menunjukkan fluktuasi dari waktu ke waktu. Fluktuasi tersebut terlihat pada kontribusi sektor pertanian yang secara agregat wilayah tidak lagi menjadi sektor basis ekonomi di Kabupaten Mamuju Utara sejak tahun 2002, meskipun sebagian besar masyarakat masih bekerja di sektor ini. Namun demikian, analisis LQ menggunakan nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000-2010 memperlihatkan bahwa sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan masih merupakan sektor basis perekonomian di Kabupaten Mamuju Utara. Meskipun sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan masih merupakan sektor basis perekonomian masyarakat, namun nilai LQ kedua sub sektor tersebut mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu (Tabel 19).

Sektor industri pengolahan (sub sektor industri non migas) juga merupakan sektor basis perekonomian wilayah di Kabupaten Mamuju Utara. Namun kontribusi sektor industri pengolahan hanya berasal dari sub sektor industri pengolahan non migas, sedangkan industri pengolahan migas belum memberikan kontribusi terhadap basis perekonomian wilayah. Hal tersebut mengindasikan bahwa proses pengolahan barang/industri non migas memegang peranan yang strategis dalam pola perekonomian masyarakat di wilayah ini. Besarnya akumulasi/pemusatan aktifitas ekonomi pada sub sektor industri pengolahan non migas menunjukkan bahwa perputaran roda perekonomian wilayah sangat ditunjang oleh aktifitas ekonomi masyarakat yang dilakukan secara lokal.

Hasil analisis basis ekonomi wilayah menurut pendekatan sektor di bidang pertanian menjadi pertimbangan untuk mengetahui jenis komoditi basis pada sub sektor basis ekonomi masyarakat. Tabel 20 menunjukkan hasil analisis LQ pada jumlah produksi beberapa komoditi perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara. Produksi komoditi perkebunan yang memiliki nilai LQ > 1 adalah komoditi kelapa dalam dan kelapa sawit, sehingga kedua komoditi tersebut merupakan sektor basis perekonomian masyarakat. Analisis LQ pada aspek luas panen komoditi perkebunan memperlihatkan bahwa komoditi kelapa sawit masih merupakan sektor basis perekonomian masyarakat, adapun kelapa dalam memiliki nilai LQ < 1 (Tabel 21). Berdasarkan analisis LQ disimpulkan bahwa komoditi kelapa sawit dan kelapa merupakan komoditi basis di Kabupaten Mamuju Utara

(6)

sebab memiliki nilai LQ > 1 pada salah satu aspek baik dari jumlah produksi maupun luas panen.

Tabel 20 Analisis LQ jumlah produksi beberapa komoditi perkebunan di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2011

No Jenis Komoditi Nilai LQ

1 Kelapa Dalam 1.07 2 Kelapa Hibrida 0.02 3 Kelapa Sawit 1.06 4 Kakao 0.79 5 Cengkeh 0.69 6 Sagu 0.00 7 Enau 0.07 8 Kemiri 0.00 9 Kopi Robusta 0.00 10 Kopi Arabika 0.00

Sumber: BPS Kab. Mamuju Utara (2012), diolah.

Tabel 21 Analisis LQ luas panen beberapa komoditi perkebunan di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2011

No Komoditi Nilai LQ 1 Kelapa Dalam 0.70 2 Kelapa Hibrida 0.00 3 Kelapa Sawit 2.71 4 Kakao 0.45 5 Cengkeh 0.75 6 Sagu 0.36 7 Enau 0.16 8 Kemiri 0.01 9 Kopi Robusta 0.00 10 Kopi Arabika 0.04

Sumber: BPS Kab. Mamuju Utara (2012), diolah.

Analisis LQ untuk komoditi kelapa dalam (Tabel 22) menunjukkan bahwa pada aspek luas tanam dan jumlah produksi Kecamatan Pedongga, Bambalamotu, Bambaira, dan Sarjo merupakan basis ekonomi wilayah komoditi kelapa dalam. Sektor basis pada aspek tenaga kerja terletak di Kecamatan Pedongga, Bambalamotu, Bambaira, Sarjo, dan Tikke Raya. Meskipun bukan sektor basis dari aspek jumlah produksi dan luas tanam, Kecamatan Tikke Raya menjadi basis

(7)

ekonomi wilayah dari sisi tenaga kerja. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah tenaga kerja yang mengusahakan komoditi kelapa dalam di Kecamatan Pedongga banyak yang berdomisili di Kecamatan Tikke Raya.

Tabel 22 Analisis LQ komoditi kelapa dalam menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara

No Kecamatan Luas Tanam Produksi Tenaga Kerja

1 Sarudu 0.19 0.10 0.47 2 Dapurang 0.03 0.03 0.05 3 Duripoko 0.02 0.02 0.03 4 Baras 0.56 0.56 0.15 5 Bulu Taba 0.09 0.05 0.15 6 Lariang 0.49 0.37 0.83 7 Pasangkayu 0.91 0.97 0.95 8 Tikke Raya 0.66 0.51 1.13 9 Pedongga 1.46 1.41 2.06 10 Bambalamotu 3.41 11.50 4.27 11 Bambaira 2.93 9.50 3.45 12 Sarjo 2.33 6.50 3.06

Sumber: BPS Kab. Mamuju Utara (2012), diolah.

Fenomena jumlah tenaga kerja di Kecamatan Tikke Raya memperlihatkan bahwa aliran tenaga kerja yang mengusahakan komoditi kelapa dalam pada aspek on-farm dan off-farm mendorong terjadinya aliran manusia dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Pengusahaan komoditi kelapa dalam saat ini dilakukan untuk memproduksi kopra dan sebagian kecil untuk menghasilkan minyak goreng untuk kebutuhan konsumsi lokal. Namun produk turunan (derivative) kelapa dalam, misalnya; arang tempurung, sabut, keranjang, dan berbagai produk kerajinan lain belum diusahakan secara optimal oleh masyarakat.

Secara spasial sektor basis komoditi kelapa dalam menunjukkan pola penyebaran yang mengelompok (kompak) pada wilayah Kecamatan Bambalamotu, Bambaira, dan Sarjo pada aspek luas tanam dan jumlah produksi. Hanya Kecamatan Pedongga yang secara spasial menjadi wilayah yang berdiri sendiri dan tidak mengelompok dengan kecamatan lain akibat dipisahkan oleh satu wilayah administrasi kecamatan. Perbedaan pola sebaran sektor basis yang sedikit berbeda pada aspek tenaga kerja, menyebabkan terjadinya dua klaster wilayah yaitu klaster Kecamatan Pedongga dan Tikke Raya di bagian tengah dan klaster Kecamatan Bambalamotu, Bambaira, dan Sarjo di bagian utara (Gambar 15).

(8)

a. LQ luas tanam b. LQ jumlah produksi c. LQ tenaga kerja

Gambar 15 Distribusi spasial sektor basis dan non basis komoditi kelapa dalam menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara.

Sebaran spasial sektor basis dan non basis komoditi kelapa sawit memiliki pola berbeda dengan komoditi kelapa dalam. Wilayah yang menjadi basis ekonomi menurut aspek luas tanam dan jumlah produksi kelapa sawit adalah Kecamatan Sarudu, Baras, Bulu Taba, Lariang, Pasangkayu, Tikke Raya dan Pedongga. Basis ekonomi wilayah menurut aspek tenaga kerja komoditi kelapa sawit terdapat di Kecamatan Sarudu, Baras, Bulu Taba, dan Tikke Raya (Tabel 23).

Tabel 23 Analisis LQ komoditi sawit dalam menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara

No Kecamatan Luas Tanam Produksi Tenaga Kerja

1 Sarudu 1.70 1.17 1.39 2 Dapurang 0.48 0.74 0.36 3 Duripoko 0.43 0.71 0.25 4 Baras 1.29 1.05 1.71 5 Bulu Taba 1.74 1.16 1.26 6 Lariang 1.17 1.06 0.98 7 Pasangkayu 1.13 1.01 0.76 8 Tikke Raya 1.77 1.17 1.31 9 Pedongga 1.38 1.13 0.99 10 Bambalamotu 0.11 0.17 0.07 11 Bambaira 0.10 0.15 0.06 12 Sarjo 0.09 0.22 0.05

Sumber: BPS Kab. Mamuju Utara (2012), diolah.

Secara spasial sebaran sektor basis komoditi kelapa sawit mengelompok di bagian tengah Kabupaten Mamuju Utara. Hal ini berbeda dengan komoditi kelapa dalam yang mengelompok di bagian utara. Pengelompokan wilayah basis komoditi kelapa sawit terlihat sangat kompak dan memiliki pola yang sama pada aspek luas tanam dan jumlah produksi. Aspek tenaga kerja meskipun hanya

(9)

terdapat pada empat wilayah kecamatan juga memperlihatkan pola yang kompak di bagian tengah Kabupaten Mamuju Utara (Gambar 16).

a. LQ luas tanam b. LQ jumlah produksi c. LQ tenaga kerja

Gambar 16 Distribusi spasial sektor basis dan non basis komoditi kelapa sawit menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara.

5.3 Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Metode Fuzzy Set

Tahapan evaluasi kesesuaian lahan diuraikan pada bagian metodologi, adapun proses dan hasil analisis disajikan sebagai berikut:

5.3.1 Penyusunan Kriteria Evaluasi

Penentuan kriteria evaluasi tanaman perkebunan dilakukan dengan menentukan rentang maksimum dari persyaratan tumbuh tanaman kelapa dalam dan kelapa sawit. Misalnya, persyaratan curah hujan untuk kelapa dalam pada kelas S1 antara 2 000-3 000 mm/tahun, sedangkan pada tanaman kelapa sawit kriteria curah hujan kelas S1 antara 1 700-2 500. Untuk menentukan rentang kelas S1 pada komoditi basis perkebunan di wilayah studi maka dipilih rentang kelas terlebar yang dapat mengakomodir kesesuaian bagi kedua jenis tanaman. Hal yang dilakukan pula untuk menentukan rentang kesesuaian tanaman pada kelas S2 dan S3. Oleh karena itu, kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan bukan untuk satu jenis tanaman tertentu melainkan untuk komoditi basis perkebunan di wilayah Kabupaten Mamuju Utara. Kriteria evaluasi lahan komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara disajikan pada Lampiran 7.

(10)

5.3.2 Standarisasi Data

Berdasarkan kriteria evaluasi lahan yang digunakan, terdapat tiga indikator karakteristik lahan yang memiliki data dalam bentuk ordinal. Untuk dapat digunakan dalam SIG, ketiga data tersebut disusun dalam bentuk peringkat (nomor urut). Peringkat data dinyatakan dalam bentuk data ordinal dibagi menjadi empat kelas sesuai dengan pembagian kelas evaluasi lahan menurut Djaenuddin et al. (2003). Data yang dikelompokkan pada kategori/peringkat 1 dianggap memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan data yang dikelompokkan pada kategori/perangkat 2, dengan demikian semakin tinggi peringkat karakteristik lahannya, dianggap semakin tidak sesuai bagi pertumbuhan tanaman (Tabel 24).

Tabel 24 Peringkat kategori beberapa indikator data tanah pada jenis data ordinal

No Indikator Peringkat Kategori Data Ordinal

1 2 3 4

1 Drainase tanah baik, sedang agak terhambat terhambat, sangat terhambat, cepat, agak cepat

-

2 Tekstur halus, agak halus, sedang

agak kasar sangat halus kasar

3 Genangan FO F1 F2 >F2

5.3.3 Model Data dan Derajat Keanggotaan Indikator Lahan

Penentuan nilai indikator derajat keanggotaan mengacu pada kriteria evaluasi lahan komoditi basis perkebunan (Lampiran 7), dimana nilai titik optimum mengacu pada nilai tingkat pembatas terendah dari setiap karakteristik tanah, iklim, dan lereng. Misalnya, untuk penentuan derajat keanggotaan fuzzy kapasitas tukar kation (KTK) dilakukan berdasarkan kriteria kebutuhan tanaman. Kriteria nilai KTK yang diperlukan komoditi basis perkebunan adalah semakin tinggi semakin baik, karena itu model kurva S yang sesuai adalah model asimetrik kiri (monotonically increasing). Titik optimum (titik b) ditentukan dari batas kriteria kebutuhan KTK tanaman pada kelas S1 sebesar 16 cmol, dengan demikian nilai karakteristik lahan ≤ 16 cmol bukan merupakan bagian dari derajat keanggotaan. Nilai titik infleksi terendah/LCP (titik a) ditentukan dari pengurangan nilai titik optimum (16 cmol) sebanyak 1 interval nilai dari batas nilai kriteria evaluasi (|16 – 1|) sebagai zona transisi derajat keanggotaan fuzzy,

(11)

sehingga diperoleh nilai untuk titik infleksi terendah sebesar 15. Nilai rentang (r) dihitung dengan mengurangkan nilai titik optimum dan titik infleksi terendah. Gambar 17a menyajikan ilustrasi model data fuzzy untuk menjelaskan derajat keanggotaan kapasitas tukar kation (KTK).

Kondisi sebaliknya berlaku untuk menentukan derajat keanggotaan indikator salinitas. Kondisi optimum kebutuhan salinitas komoditi basis perkebunan adalah ≤ 2 ds/m, dengan demikian semakin rendah kandungan salinitas dalam tanah maka semakin menguntungkan bagi tanaman. Kurva S yang sesuai untuk derajat keanggotaan salinitas adalah kurva asimetrik kanan (monotonically decreasing), dengan titik optimum (titik c) adalah 2. Titik infleksi tertinggi (titik d) ditentukan dengan mengambil nilai rata-rata salinitas pada kelas S3 kriteria kesesuaian lahan, sehingga nilai titik infleksi tertinggi sebesar 3.5 (rata-rata nilai salinitas pada kelas S3). Akibat menggunakan nilai rata-rata pada penentuan titik infleksi maka zona transisi diperoleh secara otomatis. Hal ini disebabkan karena nilai batas terendah salinitas pada kelas S3 adalah 4, maka zona transisi pada model data fuzzy sebesar 0.5. Nilai rentang (r) dihitung dengan mengurangi nilai titik infleksi tertinggi dan titik optimum (Gambar 17b).

Pendekatan yang serupa dilakukan untuk menentukan derajat keanggotaan pH tanah. Namun karena kriteria kesesuaian lahan pada pH memiliki dua titik optimum maka nilai pH dalam kurva fuzzy memiliki 2 titik puncak. Hal tersebut menyebabkan penentuan titik optimal (puncak) dilakukan dua kali. Nilai optimum pH bagi komoditi basis perkebunan pada kelas S1 berkisar 5.2-7.0, dengan demikian titik optimum b = 5.2 dan titik optimum c = 7.0. Titik infleksi terendah dan tertinggi ditentukan dari nilai pH pada kelas S3 kriteria kesesuaian lahan (titik a = |4.8 – 0.1| dan titik d = 7.5 – 0.1|). Pengurangan nilai 0.1 dilakukan untuk memberikan zona transisi dalam derajat keanggotaan fuzzy untuk pH tanah. Nilai rentang (r) dihitung dengan mengurangi nilai titik infleksi dan titik optimum masing-masing kurva (Gambar 17c).

Zona transisi diberikan dalam menentukan derajat keanggotaan indikator lahan jika; (1) Nilai kriteria evaluasi tidak memiliki rentang yang berbeda secara signifikan antara batas kelas kesesuaian lahan, (2) Kriteria kesesuaian pada batas kelas S3 merupakan nilai numerik tunggal (bukan interval nilai). Misalnya untuk

(12)

indikator KTK, kriteria kelas S1 >16 cmol dan kriteria kelas S2 ≤ 16. Perbedaan batas kelas yang sangat dekat menyebabkan penentuan zona transisi mutlak dilakukan dengan mengurangkan nilai indikator satu titik interval yang sesuai dengan rentang nilai indikator tersebut atau jika batas kelas S3 bukan merupakan interval nilai misalnya pada indikator pH sebagaimana telah diuraikan.

1.0 0.5 0 a b MF 15 16 KTK r 1 1.0 0.5 0 c d MF 2 3.5 Salinitas 1.5 1.0 0.5 0 4.7 5.2 MF pH 7.0 7.4 a b c d r1 r2 a. Derajat keanggotaan KTK (cmol) b. Derajat keanggotaan salinitas (dS/m) c. Derajat keanggotaan kemasaman tanah/pH

Gambar 17 Model kurva S derajat keanggotaan fuzzy pada beberapa indikator lahan.

Tabel 25 Model data dan nilai atribut indikator keanggotaan lahan

No Indikator Jenis

Data Model Data

Nilai Indikator Atribut Lahan

a b c d r1 r2

1 Temperatur Kardinal Simetrik 2 21.5 25 28 33.5 3.5 5.5 2 Curah hujan Kardinal Simetrik 2 1150 2000 3000 4500 850 2000

3 Bulan kering Kardinal Asimetrik kanan 0.5 4.5 4 4 KTK Kardinal Asimetrik kiri 15 16 - - 1 - 5 Kejenuhan

basa

Kardinal Asimetrik kiri 19 20 - - 1 - 6 Kemasaman Kardinal Simetrik 2 4.7 5.2 7.0 7.4 0.5 0.4 7 Bahan

Organik

Kardinal Asimetrik kiri 0.7 0.8 - - 0.1 - 8 Salinitas Kardinal Asimetrik kanan - - 2 3.5 - 2.5 9 Batuan

permukaan

Kardinal Asimetrik kanan - - 5 27.5 - 22. 5 10 Kedalaman

tanah

Kardinal Asimetrik kiri 62.5 100 - - 37.5 - 11 Drainase Ordinal Asimetrik kanan - - 1 3 - 2 12 Tekstur Ordinal Asimetrik kanan - - 1 3 - 2 13 Genangan Ordinal Asimetrik kanan - - 1 3 - 2 14 Lereng Kardinal Asimetrik kanan - - 8 23 - 15

Penentuan derajat keanggotaan indikator lahan yang menggunakan atribut data ordinal dilakukan dengan menggunakan model yang sama. Misalnya untuk menentukan derajat keanggotaan drainase tanah (Tabel 24), kondisi optimum drainase tanah terdapat pada kelas 1 (kriteria baik dan sedang), sehingga kurva S

(13)

yang digunakan adalah model asimetrik kanan (semakin rendah kelas semakin baik). Dengan menggunakan kurva asimetrik kanan maka nilai titik optimum c = 1 adapun titik infleksi tertinggi (titik d) = 3 (peringkat 3 setara dengan kelas S3 pada kriteria evaluasi lahan). Nilai rentang ditentukan dengan mengurangi jarak antara titik c dan d = |3-1|. Proses penentuan derajat keanggotaan dilakukan untuk seluruh indikator lahan yang digunakan menggunakan kurva S yang sesuai. Hasil penentuan nilai indikator atribut lahan dan model data fuzzy disajikan pada Tabel 25 dengan contoh hasil fuzzifikasi pada Gambar 18.

a. Derajat keanggotaan KTK (cmol) b. Derajat keanggotaan salinitas (dS/m) c. Derajat keanggotaan kemasaman tanah/pH

Gambar 18 Hasil fuzzifikasi pada beberapa indikator lahan.

5.3.4 Bobot Kepentingan Kriteria Lahan

Hasil analisis PHA (Tabel 26) menunjukkan bahwa kriteria iklim (bobot 64%) merupakan aspek terpenting dalam proses evaluasi lahan, disusul kriteria lereng (bobot 27%) dan tanah (bobot 9%). Penentuan aspek iklim sebagai kriteria tertinggi disebabkan oleh faktor iklim merupakan faktor yang bersifat given dalam proses ekologis, sehingga tidak dapat disubsitusi dengan teknologi yang murah. Aspek tanah merupakan komponen yang dapat dilakukan perbaikan sampai tahap dan skala manejemen tertentu serta relatif lebih mudah untuk dilaksanakan. Aspek lereng memperoleh bobot mendekati sepertiga bagian dari komponen lainnya, sebab aspek lereng rentan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan jika proses konservasi lahan diabaikan dalam proses pengembangan tanaman

(14)

perkebunan sehingga dapat menjadi pembatas yang ekstrim dalam proses evaluasi lahan.

Tabel 26 Bobot kepentingan kriteria dalam proses evaluasi lahan

No Tujuan Bobot Prioritas

1 Iklim 0.645

2 Lereng 0.266

3 Tanah 0.089

Konsistensi rasio (CR) 0.078 Nilai λmax 3.090

Penentuan bobot kepentingan kriteria lahan pada proses evaluasi lahan merupakan bagian dari pendekatan MCDM, dimana aspek kepentingan dan pilihan terhadap suatu variabel dimasukkan sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini berbeda dengan pendekatan evaluasi lahan yang mengasumsikan seluruh faktor yang dinilai memiliki aspek kepentingan yang relatif sama. Dalam konteks pengambilan keputusan (spasial), faktor bobot kepentingan sebagai aspek pengambilan keputusan merupakan salah satu komponen analisis sehingga menjadi bagian dari proses analisis (Jankowski dan Richard 1994; Jankowski 1995).

5.3.5 Indeks Kesesuaian Lahan

Proses penetapan indeks kesesuaian lahan diawali dengan merata-ratakan (menggabungkan) nilai derajat keanggotaan indikator lahan menurut kelompok kriteria lahan menggunakan persamaan 17. Proses tersebut menghasilkan nilai rata-rata derajat keanggotaan kriteria atau derajat keanggotaan gabungan (DKG). Penggunaan fungsi penjumlahan (nilai rata-rata) pada penentuan DKG (Persamaan 17) dipilih sebab teknik ini lebih sesuai dan realistis untuk menghasilkan nilai indeks DKG. Jika menggunakan fungsi perkalian hasilnya tidak realistis, sebab terdapat kemungkinan seluruh areal lahan dianggap tidak sesuai untuk semua jenis penggunaan lahan. Selain itu, penggunaan fungsi penjumlahan (maksimal) menyebabkan terjadinya kompensasi secara internal di masing-masing kriteria lahan. Misalnya, tekstur tanah yang relatif kasar dapat dikompensasi oleh kandungan bahan organik yang cukup untuk memperbaiki kapasitas tukar kation (Baja 2012), sehingga indikator tertentu dapat dikompensasi oleh indikator lain pada sel raster yang sama. Dalam proses evaluasi

(15)

lahan menggunakan metode Boolean, proses kompensasi antara indikator tidak dapat dilakukan sebab penggunaan logika Boolean tidak memungkinkan adanya proses kompensasi (Burrogh 1998).

Menggunakan persamaan 18, derajat keanggotaan gabungan (DKG) setiap kriteria diberi bobot kepentingan berdasarkan hasil analisis PHA hingga diperoleh derajat keanggotaan gabungan kriteria dengan nilai terbobot. Proses pembobotan dilakukan terhadap setiap kriteria menyebabkan terjadinya pengurangan nilai indeks keanggotaan setiap kriteria. Derajat keanggotaan kriteria tanah mengalami penurunan nilai indeks terbesar dibandingkan dengan aspek lereng dan iklim mengingat bobot kepentingan tanah paling rendah dibandingkan kriteria lainnya. Gambar 19 menyajikan hasil derajat keanggotaan gabungan (DKG) masing-masing kriteria lahan yang telah dibobot. Proses pemberian bobot terhadap setiap kriteria dilakukan untuk memberikan peranan aspek pengambilan keputusan majemuk di dalam proses evaluasi lahan. Meskipun proses tersebut juga dapat dilakukan dengan mengabaikan aspek pengambilan keputusan sehingga seluruh variabel dianggap memiliki peranan yang sama. Kajian terhadap pendekatan tersebut dilakukan secara terbatas hingga tahap alokasi lahan dengan indikasi hasil disajikan pada Lampiran 18 dan 19.

a. DKG iklim b. DKG lereng c. DKG tanah

Gambar 19 Hasil penggabungan (nilai rata-rata) derajat keanggotaan DKG dan pembobotan.

Proses penentuan indeks kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan persamaan 19. Dalam penentuan indeks kesesuaian lahan digunakan operasi perkalian nilai sel raster. Analisis yang dilakukan menggunakan proses perkalian menyebabkan wilayah yang memiliki indeks nilai kesesuaian lahan tinggi

(16)

cenderung mengalami penurunan nilai indeks lahan, bahkan jika terdapat nilai indeks lahan yang dominan (nilai 0) maka akan menjadi faktor pembatas utama dalam proses evaluasi lahan. Teknik ini mengadopsi pendekatan evaluasi lahan menggunakan metode perkalian Storie Index Rating.

Analisis kesesuaian lahan menggunakan teknik perkalian memperlihatkan bahwa wilayah yang memiliki faktor pembatas dominan berupa lereng tidak dapat dikompensasi dengan karakteristik lahan yang lain. Dengan pertimbangan tersebut, maka dalam penyusunan model ini, kriteria lereng dipisahkan dengan kriteria tanah dan iklim. Wilayah yang memiliki nilai indeks kesesuaian lahan 0 (warna hitam) merupakan wilayah yang memiliki faktor pembatas lereng. Pendekatan ini dapat memperbaiki kualitas hasil analisis sebab faktor lereng diaplikasikan menggunakan nilai kontinyu, sehingga proses generalisasi data lereng dapat dihindari. Pendekatan ini juga menunjukkan bahwa konsep faktor pembatas minimum (Hukum minimum Liebig) yang umumnya digunakan dalam pendekatan logika Boolean dapat diaplikasikan dalam metode kontinyu, jika model yang digunakan sesuai.

Hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan metode fuzzy set selanjutnya menjadi salah satu masukan dalam menyusun indeks pengembangan komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara. Indeks kesesuaian lahan dengan teknik fuzzy juga menjadi masukan dalam penyusunan indeks CP.

(17)

5.5 Indeks Lahan Compromise Programming (Lp-metric)

Tujuan akhir penelitian ini adalah dihasilkannya alokasi lahan untuk komoditi basis perkebunan berdasarkan potensi biofisik lahan dengan mempertimbangkan aspek infrastruktur dan aspek sosial ekonomi dalam konteks MCDM. Untuk menghasilkan alokasi lahan bagi komoditi basis perkebunan dibutuhkan berbagai indikator yang dapat mendukung proses pengambilan keputusan. Terkait dengan hal tersebut diperlukan sejumlah fungsi tujuan sebagai dasar dalam proses pengambilan keputusan menggunakan kerangka MCDM. Setelah sejumlah fungsi tujuan telah teridentifikasi, diperlukan proses penentuan bobot kepentingan dari setiap fungsi tujuan tersebut. Dalam teknik MCDM (Carver 1991; Jankowski dan Richard 1994) proses pembobotan memang merupakan salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan untuk menentukan urutan prioritas kepentingan.

5.5.1 Bobot Prioritas Indikator Lahan

Hasil analisis bobot prioritas indikator (Tabel 27), menunjukkan bahwa aspek ketersediaan akses jalan (bobot 24%) merupakan aspek yang paling menentukan dalam pengalokasian lahan komoditi basis perkebunan. Aspek ini dianggap sebagai faktor utama yang menghambat pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju Utara, mengingat banyaknya ruas jalan yang rusak khususnya di wilayah pedesaan. Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi memiliki peranan penting dalam pengembangan aktifitas masyarakat. Bagi wilayah pedesaan jalan merupakan prasarana vital dalam memasarkan hasil pertanian. Jika aspek aksesibilitas tidak tersedia dengan baik di wilayah pedesaan, hal tersebut akan menyebabkan rendahnya harga produk pertanian akibat meningkatnya biaya transportasi. Aspek aksesibilitas juga dapat meningkatkan biaya angkut kebutuhan produksi pertanian yang akhirnya membebani biaya produksi.

Aspek ketersediaan energi (bobot 23%) menempati urutan kedua dalam prioritas untuk kepentingan pengembangan komoditi basis perkebunan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat ketersediaan energi (listrik) bagi masyarakat di wilayah ini merupakan salah satu persoalan mendasar yang harus diatasi. Masalah energi bagi pengembangan komoditi basis perkebunan

(18)

merupakan hal yang penting dan mendasar. Aspek pengolahan hasil perkebunan memerlukan ketersediaan energi sehingga proses pengolahan produksi pasca panen dapat dilakukan. Untuk melakukan proses pengolahan produksi komoditi perkebunan, misalnya komoditi kelapa sawit, memerlukan ketersediaan energi guna menjalankan mesin (pabrik).

Tingkat ketersediaan energi yang rendah (indeks energi rendah) di wilayah Kabupaten Mamuju Utara, menyebabkan sulitnya mengembangkan industri pengolahan pada skala kecil dan menengah. Dalam konteks pengembangan wilayah, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah akibat nilai tambah pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau bahan hasil olahan tidak dinikmati oleh masyarakat/petani melainkan dinikmati oleh kelompok pengusaha yang biasanya tidak bermukim di wilayah penghasil bahan baku.

Tabel 27 Bobot kepentingan indikator lahan untuk alokasi lahan

No Tujuan Bobot Prioritas

1 Akses jalan 0.239

2 Ketersediaan energi 0.234

3 Pemukiman 0.185

4 Jarak pasar 0.163

5 Pilihan komoditi masyarakat 0.119

6 Indeks kesesuaian lahan 0.060

Konsistensi rasio (CR) 0.032 λmax 6.199

Aspek jarak lokasi pemukiman dengan lahan perkebunan merupakan faktor ketiga yang dianggap memiliki peran penting bagi pengembangan komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara. Lokasi lahan perkebunan yang berada lebih dekat dengan lokasi pemukiman dapat lebih mudah dijangkau sehingga proses pengolahan lahan tersebut menjadi lebih baik. Lokasi kebun dengan jarak yang jauh dari lokasi pemukiman cederung lebih sulit dikontrol dan suplai kebutuhan sarana produksi pertanian ke lahan tersebut. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat produktifitas lahan, akibat jarak lahan yang jauh dapat menyulitkan untuk melakukan mobilisasi tenaga kerja serta menyebabkan bertambahnya biaya produksi yang ditanggung oleh petani. Kondisi ini dapat mendorong masuknya tenaga kerja dari luar wilayah akibat jarak dari pemukiman

(19)

warga ke lokasi perkebunan memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapainya.

Aspek sosial berupa pilihan masyarakat untuk mengusahakan suatu jenis komoditi menempati urutan kelima dalam prioritas kepentingan alokasi lahan (12 %). Pilihan masyarakat untuk mengusahakan suatu komoditi ditentukan oleh aspek harga komoditi yang diharapkan dapat stabil untuk kurun waktu yang relatif lama. Selain itu, komoditi tersebut secara teknis budidaya telah dipahami oleh masyarakat. Misalnya, komoditi kelapa dalam di bagian utara Kabupaten Mamuju Utara telah diusahakan oleh masyarakat sejak lama (diperkirakan sebelum 1945) komoditi kelapa dalam telah menjadi penghasilan utama masyarakat di wilayah tersebut. Untuk komoditi kelapa sawit meskipun relatif baru diusahakan, namun dianggap memiliki jaminan harga dan pemasaran yang lebih baik dibandingkan dengan komoditi kakao sehingga menjadi pilihan saat ini menggantikan komoditi kakao yang banyak dikonversi menjadi komoditi kelapa sawit.

Aspek kesesuaian lahan menempati rangking prioritas terakhir (6%) dalam menentukan alokasi lahan perkebunan. Bobot kepentingan aspek kesesuaian lahan yang relatif rendah menunjukkan bahwa pengembangan komoditi basis perkebunan di wilayah ini, bukan hanya didasarkan pada pertimbangan kesesuaian lahan, namun pada aspek lain yang lebih menguntungkan masyarakat. Dalam konteks pengusahaan jenis komoditi sebagai sumber penghasilan (cash crop), sebagian masyarakat cenderung melakukan pengusahaan suatu komoditi tanpa memperhatikan kaidah konservasi dan keberlanjutan sumberdaya lahan.

Akibatnya meskipun secara akademik suatu komoditi kurang layak dikembangkan pada areal lahan tertentu akibat pertimbangan aspek konservasi, namun dalam prakteknya hal tersebut tidak menjadi pertimbangan bagi petani. Gambaran ini tercermin dari hasil penentuan bobot prioritas pengembangan komoditas basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara. Aspek kesesuaian ekologis yang memiliki bobot prioritas dengan rangking terendah menunjukkan bahwa pengusahaan suatu areal lahan bukan semata-mata ditentukan oleh aspek kesesuaian ekologisnya namun lebih ditentukan oleh aspek kemudahan dalam melakukan kegiatan budidaya komoditi tersebut.

(20)

5.5.2 Indeks Lahan Lp-metric

Untuk menentukan alokasi lahan komoditi basis perkebunan menggunakan metode CP, dilakukan perhitungan nilai Lp-metric pada berbagai nilai parameter dan indikator lahan menggunakan persamaan 22. Penggunaan persamaan Lp-metric pada nilai parameter p yang berbeda dilakukan untuk menunjukkan tingkat kompensasi antara indikator. Dengan menggunakan faktor kompensasi maka nilai indeks yang dihasilkan tidak hanya mempertimbangkan aspek jarak Eucledian antar indikator, namun turut mempertimbangkan interaksi antar indikator. Akibatnya indikator yang memiliki indeks nilai tertentu dapat dikompensasi oleh indikator lain yang bernilai lebih baik (Riveira et al. 2008). Oleh karena itu dalam pendekatan ini dihasilkan beberapa model indeks lahan komoditi basis perkebunan sesuai dengan nilai parameter p yang digunakan.

a. Kombinasi kompensasi penuh (p = 1) b. Kombinasi kompensasi parsial (p=2) c. Kombinasi non-kompensasi (p=10)

Gambar 21 Pola spasial indeks lahan komoditi basis perkebunan menggunakan nilai parameter p berbeda.

Gambar 21 memperlihatkan bahwa dengan menggunakan nilai p berbeda, sebaran indeks lahan yang dihasilkan juga berbeda. Jika menggunakan teknik kompensasi penuh (p=1), maka jarak geometris antara dua titik terjadi secara maksimum, sehingga jika terdapat satu indikator yang memiliki kekurangan dapat dikompensasi oleh indikator yang lain. Dalam konteks alokasi lahan, hal tersebut berarti areal lahan yang kurang optimal dapat menjadi lebih baik sebab kekurangannya dapat dikompensasi oleh indikator lainnya. Dalam prosesnya dapat terjadi tradeoff penuh antara satu indikator dengan indikator lainnya. Apabila proses kompensasi dilakukan setengah (p=2) maka proses kompensasi

(21)

antar indikator hanya terjadi jika terdapat kekurangan yang dapat diatasi oleh indikator lainnya. Jika proses alokasi lahan dilakukan dengan pendekatan ini, maka areal lahan yang dapat teralokasi menjadi lebih kecil. Selain itu dengan teknik kompensasi setengah nilai indeks lahan yang dihasilkan semakin tinggi, sehingga lahan yang dapat dialokasikan jumlahnya semakin terbatas.Jika proses alokasi lahan menggunakan pendekatan non-kompensasi maka dihasilkan nilai indeks lahan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan antara indikator satu dengan lainnya tidak saling berkompensasi. Akibatnya setiap lahan dapat memiliki nilai indeks yang relatif lebih besar sehingga menyebabkan alokasi lahan semakin berkurang. Selain itu, dapat mengakibatkan berkurangnya nilai suatu areal lahan akibat kurang sesuai untuk berbagai kepentingan.

Nilai indeks lahan yang diperoleh berdasarkan perbedaan nilai p menunjukkan bahwa pada areal lahan yang sama, nilai indeks lahan menggunakan teknik kompensasi penuh (p=1) lebih rendah dibandingkan dengan teknik setengah kompensasi (p=2) dan teknik non kompensasi. Hal tersebut berarti bahwa nilai indeks lahan pada teknik kompensasi penuh mengalami proses transformasi dan saling kompensasi antara indikatornya sehingga menghasilkan nilai yang lebih rendah. Dengan teknik kompensasi penuh, maka indeks lahan yang dihasilkan dapat mengakumulasi seluruh nilai indeks indikator yang terdapat pada satu areal lahan secara kumulatif dengan nilai kompensasi penuh antar indikator. Dengan pendekatan tersebut maka areal lahan yang dihasilkan pada teknik kompensasi penuh merupakan hasil kompromi antara berbagai indikator yang digunakan. Nilai indeks yang diperoleh merupakan hasil interaksi antara berbagai aspek dan kepentingan yang digunakan dalam proses pengalokasian lahan. Proses interaksi yang mengkompromikan berbagai aspek merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan metode alokasi lahan. Atas asumsi dan pendekatan tersebut maka teknik kompensasi penuh dipilih untuk digunakan dalam proses alokasi lahan perkebunan.

5.6 Status Kawasan dan Penggunaan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara

Proses alokasi lahan memerlukan pertimbangan aspek kepentingan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga kawasan lindung (protection area) mutlak dijadikan sebagai faktor utama dalam

(22)

menentukan keputusan alokasi lahan di suatu wilayah. Selain itu, untuk melakukan proses alokasi lahan diperlukan gambaran kondisi penggunaan lahan aktual di suatu wilayah sebagai dasar dalam perencanaan selanjutnya. Oleh sebab itu, diperlukan analisis terhadap penggunaan lahan dan fungsi peruntukan lahan untuk mengetahui kondisi aktual jenis penggunaan lahan, sebaran, dan status (hukum) pemanfaatan lahannya.

Kondisi penggunaan lahan aktual diperoleh dari hasil interpretasi citra Alos tahun 2010, sedangkan fungsi peruntukan kawasan diperoleh dari peta status kawasan (Direktorat Planologi Kemenhut 2012). Untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan pada masing-masing status kawasan di Kabupaten Mamuju Utara, dilakukan analisis tabulasi silang (cross tabulation) antara penggunaan lahan (Lampiran 14) dan status kawasan (Lampiran 16).

Tabel 28 Tabulasi silang penggunaan lahan dan fungsi kawasan lindung (ha)

No Penggunaan Lahan Hutan Lindung

Kawasan Perlindungan

Setempat

Perairan Jumlah 1 Hutan lahan kering primer 75 633 - - 75 633 2 Hutan lahan kering sekunder 13 898 - - 13 898

3 Hutan mangrove primer - 30 - 30

4 Hutan mangrove sekunder - 965 - 965

5 Kebun 679 807 - 1 485

6 Kebun kelapa sawit 516 57 - 573

7 Pemukiman 14 153 - 167

8 Pertanian lahan kering 1 169 880 - 2 049

9 Pertanian lahan kering campur

semak 1 409 672 - 2 081 10 Rawa - 189 - 189 11 Sawah - - - - 12 Semak belukar 3 261 - - 3 261 13 Tambak - 2 678 - 2 678 14 Tanah terbuka 2 8 - 10 15 Tubuh air 623 537 3 602 4 762 Jumlah 97 204 6 977 3 602 107 783 Sumber: Interpretasi Citra Alos 2010 dan Direktorat Planologi Kementerian Kehutanan (2012).

Berdasarkan data status kawasan (Lampiran 16), persentase luas kawasan budidaya di Kabupaten Mamuju Utara kurang lebih 65 % dari luas wilayah kabupaten, terdiri atas kawasan budidaya pertanian (areal penggunaan lain/APL) dan kawasan budidaya kehutanan dengan luas berturut-turut 36 % dan 29 % dari wilayah kabupaten. Kawasan budidaya kehutanan terdiri atas; hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi konversi dengan persentase luas berturut-turut 0.8 %, 19.3 % dan 8.6 % dari luas wilayah kabupaten. Adapun luas

(23)

kawasan lindung di Kabupaten Mamuju Utara adalah 35 % dari luas wilayah kabupaten, terdiri atas hutan lindung (32.0%), kawasan perlindungan setempat (2.3 %), dan wilayah perairan (1.2 %).

Hasil analisis tabulasi silang antara peta status kawasan (kawasan lindung) dan penggunaan lahan ditemukan terdapat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukan kawasan. Misalnya, terdapat 516 ha hutan lindung yang dikonversi sebagai kebun kelapa sawit serta penggunaan kawasan perlindungan setempat untuk areal lahan tambak dengan luas 2 678 ha (Tabel 28).

Pemanfaatan lahan yang dilakukan di dalam kawasan lindung didorong oleh peningkatan kebutuhan lahan usahatani oleh masyarakat. Akibat jumlah penduduk yang semakin meningkat maka kebutuhan lahan untuk kegiatan budidaya pertanian semakin bertambah pula. Jika proses ini terus berlangsung maka penggunaan lahan pada areal kawasan lindung yang seharusnya tidak digunakan untuk kegiatan budidaya dapat semakin menurunkan kualitas lingkungan. Kondisi demikian mutlak menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana alokasi lahan sehingga dampak kerusakan lingkungan dapat diantispasi.

Tabel 29 Tabulasi silang penggunaan lahan dan fungsi kawasan budidaya (ha)

No Penggunaan Lahan Areal Penggunaan Lain Hutan Produksi Konversi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Jumlah 1 Hutan lahan kering

primer - 273 23 624 - 23 897

2 Hutan lahan kering

sekunder 477 1 548 17 968 463 20 456 3 Hutan mangrove primer 231 - 51 - 282 4 Hutan mangrove sekunder 1 069 26 628 - 1 722 5 Kebun 26 299 4 699 1 085 80 32 163

6 Kebun kelapa sawit 44 084 1 642 29 - 45 755

7 Pemukiman 4 360 456 29 - 4 844

8 Pertanian lahan

kering 10 392 6 974 3 440 738 21 543

9 Pertanian lahan

kering campur semak 14 339 6 107 2 784 368 23 598

10 Rawa 501 104 248 - 853 11 Sawah 664 204 5 - 872 12 Semak Belukar 3 377 3 308 8 549 648 15 881 13 Tambak 2 397 648 246 - 3 291 14 Tanah terbuka 15 - 6 - 21 15 Tubuh Air 866 182 73 49 1 170 Jumlah 109 069 26 170 58 763 2 346 196 348 Sumber: Interpretasi Citra Alos 2010 dan Direktorat Planologi Kementerian Kehutanan (2012).

(24)

Penggunaan lahan pada kawasan budidaya pertanian (APL) yang dominan adalah penggunaan lahan untuk kebun kelapa sawit dan kebun berturut-turut sebesar 14.8 % dan 8.7 % dari luas wilayah kabupaten. Selain itu, pengggunaan lahan APL yang menonjol lainnya adalah pertanian lahan kering, pemukiman, dan semak belukar dengan luas berturut-turut 7.8 %, 1.46 %, dan 1.13 % dari luas wilayah kabupaten.

Penggunaan lahan pada kawasan budidaya kehutanan yang menonjol adalah hutan lahan kering (primer dan sekunder) dan semak belukar berturut-turut mencapai 14.4 % dan 4.1 % dari luas kabupaten. Selain itu, penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semak mencapai 6.7 % dari luas kabupaten. Adapun penggunaan lahan untuk perkebunan (kebun dan kebun kelapa sawit) pada kawasan budidaya kehutanan mencapai 2.5 % dari luas kabupaten.

Berdasarkan uraian tersebut, penggunaan lahan dominan di kawasan budidaya pertanian dan kehutan adalah perkebunan mencapai 25.6 % dari luas kabupaten disusul oleh penggunaan lahan untuk hutan lahan kering, pertanian lahan kering, dan semak belukar berturut-turut 14.6 %, 14.8 %, dan 5.2 % dari luas kabupaten (Tabel 29).

5.7 Simulasi Alokasi dan Sebaran Lahan Lp-metric

Untuk melakukan alokasi lahan komoditi basis perkebunan menggunakan pendekatan CP, pendekatan teknik kompensasi penuh (p=1) dipilih sebagai model alokasi lahan yang sesuai. Dengan teknik ini, maka setiap indikator lahan yang digunakan dapat memberikan peran pada alokasi dan kesesuaian setiap areal lahan yang dihasilkan. Aplikasi teknik CP dalam mengalokasikan suatu lahan dapat dilakukan dengan melihat nilai indeks yang terbaik, sehingga lahan yang memiliki kisaran nilai indeks yang rendah dapat dialokasikan sesuai dengan kebutuhan.

Untuk menghasilkan alokasi lahan yang mengakomodasi aspek biofisik lahan maka proses tersebut diawali dengan melakukan proses filterisasi terhadap alokasi lahan Lp-metric. Proses ini dilakukan untuk mempertegas kepentingan ekologis dalam analisis biofisik sumberdaya lahan serta mengatasi kekurangan teknik alokasi lahan menggunakan metode CP. Metode CP yang menggunakan fungsi penjumlahan (maksimal) menyebabkan seluruh indikator mengalami

(25)

proses kompensasi sehingga setiap nilai sel dapat berinteraksi satu dengan lainnya. Interaksi tersebut menyebabkan faktor pembatas dominan yang diperoleh dalam proses evaluasi kesesuaian lahan tidak dapat terakomodasi dalam metode CP, sehingga wilayah yang memiliki faktor pembatas dominan peranannya menjadi bias. Misalnya faktor lereng dalam indeks kesesuaian lahan yang menjadi faktor pembatas mutlak dalam menentukan hasil evaluasi lahan kehilangan peranannya dalam proses alokasi lahan dalam menggunakan teknik CP. Akibatnya wilayah yang tidak sesuai untuk pengembangan komoditi basis perkebunan tetap teralokasi dan dianggap sesuai untuk pengembangan komoditi perkebunan meskipun terletak pada lereng > 30 persen. Secara ekologis, pendekatan tersebut dapat menyebabkan terjadinya proses degradasi lahan yang merugikan kepentingan masyarakat di masa mendatang. Meskipun secara ekonomi dan teknologi persoalan lereng dapat diatasi, namun risiko dan beban ekologisnya dianggap lebih banyak menimbulkan kerusakan dibandingkan keuntungan secara ekonomi.

a. Indikator lereng format file biner b. Indeks lahan Lp-metric setelah dikoreksi indikator lereng

Gambar 22 Alokasi lahan Lp-metric.

Untuk mengoreksi model Lp-metric dilakukan proses perkalian antara indeks lahan Lp-metric (model p=1) dengan nilai indikator lereng hasil proses fuzzifikasi data DEM SRTM. Data DEM yang telah difuzzifikasi, dikonversi

(26)

menjadi file biner (binary) menggunakan modul CONVERT pada perangkat lunak Idrisi (Gambar 22a). Selanjutnya dilakukan proses perkalian antara data biner lereng dengan indeks lahan Lp-metric yang dihasilkan dari teknik kombinasi kompensasi penuh sehingga diperoleh indeks lahan Lp-metric yang telah dikoreksi dengan faktor pembatas lereng (Gambar 22b). Teknik ini mengadopsi model evaluasi lahan menggunakan logika Boolean.

Penentuan kebutuhan lahan di suatu wilayah merupakan pendekatan yang bersifat kompleks dan memerlukan upaya komprehensif (Santé et al. 2008). Untuk melakukan proses alokasi lahan komoditi basis perkebunan Lp-metric, dapat dilakukan dua pendekatan; pertama, membuat selang kelas interval nilai Lp-metric. Kedua, menentukan batas titik cut-off nilai indeks lahan sesuai dengan kebutuhan. Pada studi ini dipilih pendekatan kedua, yaitu nilai cut-off ditentukan pada berbagai simulasi nilai indeks lahan hingga diperoleh kisaran luas lahan yang dibutuhkan. Pendekatan yang digunakan adalah kisaran luas yang mendekati proporsi luas lahan aktual yang terdapat saat ini atau memaksimalkan luas lahan Lp-metric dengan memilih interval indeks maksimal (nilai indeks =1.0).

Penentuan kebutuhan lahan perkebunan di wilayah studi dilakukan berdasarkan pendekatan luas lahan aktual. Penggunaan lahan untuk komoditi perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara berkisar 26 % (81 767 ha) dari luas wilayah kabupaten, sedangkan untuk pertanian lahan kering mencapai 15 % (48 907 ha) dari luas wilayah kabupaten (Lampiran 14). Dengan asumsi tersebut maka luas kebutuhan lahan didekati pada kisaran kurang lebih 43 % (130 674 ha) dari luas wilayah. Penentuan kebutuhan lahan menggunakan pendekatan data penutupan lahan aktual memiliki kelemahan, sebab wilayah dengan penutupan lahan aktual merupakan komoditi perkebunan dan pertanian lahan kering belum tentu sesuai untuk pengembangan lahan komoditi basis perkebunan.

Simulasi alokasi dan sebaran lahan dilakukan berdasarkan pendekatan luas lahan pada berdasarkan interval nilai indeks Lp-metric. Jika alokasi lahan dilakukan berdasarkan luas lahan perkebunan aktual maka titik cut-off ditentukan pada interval 0.01-0.46, sebab pada interval tersebut diperoleh luas lahan yang mendekati luas areal pengusahaan komoditi perkebunan saat ini (± 81 767 ha). Jika alokasi lahan dilakukan seluas areal lahan perkebunan dan pertanian lahan

(27)

kering maka titik cut-off penentuan nilai interval dilakukan pada kisaran 0.01-1.00 atau dengan kata lain, proses alokasi lahan dilakukan pada seluruh areal lahan Lp-metric. Proses tersebut dilakukan sebab luas lahan Lp-metric lebih kecil dari jumlah luas areal lahan perkebunan dan pertanian lahan kering.

Hasil simulasi menggunakan beberapa interval indeks lahan Lp-metric dengan titik cut-off berbeda diperoleh beberapa pilihan skenario luas dan sebaran lahan (Tabel 30). Hasil analisis tersebut memperlihatkan bahwa teknik CP dapat digunakan dalam menentukan luas dan sebaran areal lahan yang dibutuhkan bagi pengembangan komoditi di suatu wilayah. Namun untuk menentukan luas kebutuhan lahan yang ideal diperlukan pendekatan dan metode analisis yang lebih sesuai dalam menjawab luas kebutuhan lahan ideal. Penentuan titik cut-off nilai indeks lahan Lp-metric sangat ditentukan oleh asumsi kebutuhan lahan. Jika diperlukan, penentuan kebutuhan luas lahan dapat dilakukan menggunakan pendekatan atau metode lain, sehingga data kebutuhan luas lahan merupakan hasil analisis dan bukan asumsi atau pendugaan. Namun dalam studi ini hal tersebut tidak dilakukan akibat keterbatasan waktu dan biaya.

Tabel 30 Simulasi titik cut-off pada berbagai nilai indeks Lp-metric

No Interval Lp-metric Luas (ha) No Interval Lp-metric Luas (ha) 1 0.01 - 0.40 64 130 15 0.01 - 0.54 100 344 2 0.01 - 0.41 68 116 16 0.01 - 0.55 102 509 3 0.01 - 0.42 71 738 17 0.01 - 0.56 104 367 4 0.01 - 0.43 75 014 18 0.01 - 0.57 105 859 5 0.01 - 0.44 77 917 19 0.01 - 0.58 107 288 6 0.01 - 0.45 80 678 20 0.01 - 0.59 108 594 7 0.01 - 0.46 83 299 21 0.01 - 0.60 109 509 8 0.01 - 0.47 85 699 22 0.01 - 0.70 114 995 9 0.01 - 0.48 87 920 23 0.01 - 0.75 117 427 10 0.01 - 0.49 90 019 24 0.01 - 0.80 120 069 11 0.01 - 0.50 92 107 25 0.01 - 0.85 121 257 12 0.01 - 0.51 94 233 26 0.01 - 0.90 122 306 13 0.01 - 0.52 96 234 27 0.01 - 0.95 124 896 14 0.01 - 0.53 98 218 28 0.01 - 1.00 125 831

Berdasarkan asumsi kebutuhan luas lahan komoditi basis perkebunan sebesar 43 % dari luas wilayah kabupaten maka nilai indeks yang dipilih sebagai titik cut-off adalah 0.01-1.00. Pendekatan tersebut dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan lahan komoditi basis perkebunan dan peluang pengembangannya jika memungkinkan untuk dilakukan. Dengan menggunakan

(28)

interval 0.01-1.00 maka seluruh areal lahan Lp-metric dapat teralokasikan, meskipun secara aktual lebih kecil dari luas asumsi kebutuhan lahan komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara. Penentuan titik awal 0.01 dilakukan untuk memberikan peluang pada areal lahan dengan indeks lahan Lp-metric terbaik tidak hilang dalam proses pembineran data indeks lahan.

Alokasi lahan Lp-metric dengan interval indeks 0.01-1.00 dipilih sehingga memungkinkan untuk mengalokasikan seluruh areal lahan Lp-metric untuk komoditi perkebunan. Pendekatan tersebut memungkinkan dilakukannya proses evaluasi bagi kondisi aktual pengusahaan komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara.

Untuk mengetahui distribusi alokasi lahan Lp-metric pada interval 0.01-1.00, dilakukan simulasi sebaran lahan menurut wilayah administrasi kecamatan (Gambar 23a). Hasil simulasi tersebut memperlihatkan bahwa sebaran lahan Lp-metric terdapat di seluruh wilayah Kabupaten Mamuju Utara, meskipun dengan proporsi luas yang berbeda-beda. Persentase luas lahan Lp-metric menurut distribusi wilayah menunjukkan bahwa Kecamatan Tikke Raya, Pasangkayu, Baras, dan Dapurang merupakan wilayah kecamatan yang memiliki alokasi lahan Lp-metric terluas, berturut-turut 20.2 %, 15.4 %, 11.8 %, dan 11.4 %, sedangkan kecamatan dengan luas lahan Lp-metric terkecil adalah Kecamatan Sarjo (1.8 %) (Gambar 23b).

a. Sebaran lahan Lp-metric b. Persentase luas Lp-metric

(29)

5.8 Sebaran dan Alokasi Lahan Lp-metric Menurut Status Kawasan

Alokasi lahan di Indonesia ditentukan oleh fungsi peruntukan kawasan yang mengacu pada peta status kawasan (Tata Guna Hutan Kesepakatan/TGHK) yang disusun oleh Kementerian Kehutanan atas permintaan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 1982. Peruntukan kawasan yang ditetapkan pada peta tersebut hingga saat ini menjadi acuan dalam proses alokasi lahan di Indonesia (Brockhaus et al. 2012). Proses alokasi lahan yang dilakukan menggunakan pendekatan CP harus dipaduserasikan dengan fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam peta status kawasan. Proses ini dilakukan untuk mengetahui sebaran alokasi lahan Lp-metric pada kawasan budidaya kehutanan dan pertanian. Analisis ini perlu dilakukan untuk menyusun rencana alokasi lahan menurut fungsi kawasan, mengingat setiap fungsi kawasan memiliki sejumlah kriteria yang harus dipenuhi jika dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya.

Hasil analisis tabulasi silang (cross tabulation) antara lahan Lp-metric dengan peta status kawasan memperlihatkan bahwa di dalam areal lahan Lp-metric terdapat lahan dengan peruntukan fungsi kawasan lindung seluas 15 275 ha (12 % dari luas lahan Lp-metric), terdiri atas; 5 777 ha hutan lindung (4.8 % luas lahan metric), 5 376 ha kawasan perlindungan setempat (4.5 % luas lahan Lp-metric) dan 2 072 ha wilayah perairan (1.7 % luas lahan Lp-Lp-metric).

Lahan Lp-metric yang bertumpang-tindah dengan kawasan lindung harus dikeluarkan dari alokasi lahan komoditi basis perkebunan. Adapun luas lahan Lp-metric yang terdapat di luar kawasan lindung adalah 106 215 ha atau 35 % dari luas wilayah kabupaten yang dapat dialokasikan untuk peruntukan fungsi kawasan. Luas lahan Lp-metric pada kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya kehutanan berturut-turut mencapai 85 053 ha (71.2 % lahan Lp-metric) dan 21 162 ha (17.7 % lahan Lp-metric). Lahan Lp-metric pada kawasan budidaya kehutanan berfungsi sebagai hutan produksi konversi, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas dengan luas berturut-turut 14 064 ha (12 % lahan Lp-metric), 801 ha (0.7 % lahan Lp-Lp-metric), dan 6 297 ha (5.3 % lahan Lp-metric) (Gambar 24).

(30)

a. Sebaran lahan Lp-metric b. Persentase luas Lp-metric

Gambar 24 Sebaran dan luas lahan Lp-metric menurut status kawasan.

5.9 Sebaran dan Alokasi Lahan Menurut Wilayah Komoditi Basis

Untuk mengetahui sebaran alokasi lahan Lp-metric menurut administrasi wilayah basis komoditi, dilakukan analisis tumpang susun antara administrasi wilayah basis komoditi dengan hasil pemodelan alokasi lahan Lp-metric. Menggunakan hasil analisis LQ pada aspek luas tanam dan jumlah produksi, dilakukan proses tumpangsusun antara sebaran alokasi lahan Lp-metric dengan wilayah basis komoditi kelapa dalam dan kelapa sawit. Unit analisis yang digunakan untuk menganalisis kesesuaian alokasi lahan dan basis ekonomi adalah administrasi wilayah kecamatan.

Hasil analisis sebaran alokasi lahan Lp-metric pada kecamatan dengan basis ekonomi komoditi kelapa dalam menunjukkan bahwa 16.9 % luas lahan Lp-metric sesuai untuk dikembangkan pada wilayah tersebut. Alokasi lahan Lp-metric pada wilayah basis ekonomi komoditi kelapa dalam terluas terdapat di Kecamatan Pedongga, adapun kecamatan basis komoditi kelapa dalam dengan lahan Lp-metric terkecil adalah Kecamatan Sarjo. Potensi pengembangan komoditi kelapa dalam pada wilayah non-basis saat ini juga cukup besar. Terdapat 83.1 % luas lahan Lp-metric yang sesuai untuk pengembangan komoditi basis perkebunan pada wilayah yang bukan menjadi basis komoditi kelapa dalam, dengan alokasi lahan terluas di Kecamatan Tikke Raya (Tabel 31).

(31)

Tabel 31 Sebaran lahan Lp-metric menurut wilayah basis dan non basis komoditi kelapa dalam (ha)

No Kecamatan Wilayah Non Basis Wilayah Basis

1 Bambaira - 2 927 2 Bambalamotu - 6 618 3 Baras 14 140 - 4 Bulutaba 9 330 - 5 Dapurang 13 675 - 6 Duripoku 4 894 - 7 Lariang 7 393 - 8 Pasangkayu 18 433 - 9 Pedongga - 8 555 10 Sarjo - 2 118 11 Sarudu 7 194 - 12 Tikke Raya 24 165 - Jumlah 99 223 20 217

Hasil analisis sebaran alokasi lahan Lp-metric pada kecamatan yang menjadi basis ekonomi komoditi kelapa sawit menunjukkan bahwa 74.7 % luas lahan Lp-metric sesuai untuk alokasi komoditi basis perkebunan di wilayah tersebut. Wilayah kecamatan dengan alokasi lahan Lp-metric terluas adalah Kecamatan Tikke Raya (20.2%), sedangkan Kecamatan Sarudu memperoleh alokasi lahan terkecil (6.0%). Pada wilayah non basis komoditi kelapa sawit terdapat potensi pengembangan seluas 25.3 % dari luas lahan Lp-metric. Potensi terluas terdapat di Kecamatan Dapurang (Tabel 32). Distribusi spasial alokasi lahan Lp-metric menurut sektor basis ekonomi wilayah disajikan pada Gambar 25.

Tabel 32 Sebaran lahan Lp-metric menurut wilayah basis dan non basis komoditi kelapa sawit (ha)

No Kecamatan Wilayah Non Basis Wilayah Basis

1 Bambaira 2 927 - 2 Bambalamotu 6 618 - 3 Baras - 14 140 4 Bulutaba - 9 330 5 Dapurang 13 675 - 6 Duripoku 4 894 - 7 Lariang - 7 393 8 Pasangkayu - 18 433 9 Pedongga - 8 555 10 Sarjo 2 118 - 11 Sarudu - 7 194 12 Tikke Raya - 24 165 Jumlah 30 231 89 210

(32)

a. Komoditi kelapa dalam b. Komoditi kelapa sawit

Gambar 25 Alokasi lahan Lp-metric pada wilayah basis ekonomi komoditi kelapa dalam dan kelapa sawit.

5.10 Sebaran Penggunaan Lahan Aktual di Dalam dan di Luar Alokasi Lahan Lp-metric

Berdasarkan analisis tumpangsusun antara alokasi lahan perkebunan Lp-metric dengan kondisi penutupan lahan aktual menunjukkan bahwa 40 % luas wilayah Kabupaten Mamuju Utara berada di dalam alokasi lahan Lp-metric, sedangkan 60 % lainnya berada di luar alokasi lahan Lp-metric. Daerah yang berada di dalam kawasan Lp-metric memiliki penggunaan lahan dominana berupa lahan kelapa sawit dan kebun dengan luas berturut-turut 13.5 % dan 9.2 % dari luas Kabupaten Mamuju Utara. Kedua jenis penggunaan lahan tersebut mendominasi penggunaan lahan di dalam areal alokasi lahan perkebunan Lp-metric. Jenis penggunaan lahan yang juga memiliki luas signifikan di dalam areal lahan Lp-metric adalah pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semak dengan persentase luas berturut-turut 4.2 % dan 3.7 % dari luas Kabupaten Mamuju Utara. Jenis penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering merupakan lahan yang potensial untuk digunakan sebagai lahan perkebunan pada wilayah yang belum diusahakan. Adapun jenis penggunaan lahan lain yang terdapat di dalam areal lahan Lp-metric adalah; semak belukar (1.8 %), tambak (1.7%), pemukiman (1.6 %), hutan (1.9 %), mangrove (0.7 %), dan tubuh air (1.6 %) (Gambar 26).

(33)

a. Sebaran lahan Lp-metric b. Persentase luas Lp-metric dari luas wilayah kabupaten

Gambar 26 Sebaran penggunaan lahan aktual di dalam alokasi lahan Lp-metric.

Penggunaan lahan di luar alokasi lahan Lp-metric yang dominan adalah hutan lahan kering primer dan hutan lahan kering sekunder dengan luas berturut-turut 31.7 % dan 10.4 % dari luas Kabupaten Mamuju Utara. Penggunaan lahan untuk kebun kelapa sawit dan kebun di luar alokasi lahan Lp-metric juga cukup signifikan berturut-turut mencapai 1.7 % (5 175 ha) dan 1.9 % (5 644 ha) dari luas Kabupaten Mamuju Utara. Penggunaan lahan untuk kebun kelapa sawit dan kebun yang berada di luar lahan Lp-metric dengan luas mencapai 10 819 ha dapat memberikan dampak yang signifikan bagi kepentingan ekologis. Hal tersebut disebabkan oleh pengembangan lahan dilakukan pada areal yang memiliki kelas lereng ≥ 30 %. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan di masa mendatang.

a. Sebaran lahan di luar Lp-metric b. Persentase luas Lp-metric dari luas wilayah kabupaten

(34)

5.11 Prioritas Alokasi Lahan Komoditi Basis Perkebunan dan Potensi Pengembangan

Untuk menghasilkan alokasi lahan komoditi basis perkebunan dan potensi pengembangannya di Kabupaten Mamuju Utara, prioritas alokasi lahan dilakukan di dalam areal lahan Lp-metric. Areal lahan yang memiliki penggunaan lahan aktual untuk perkebunan (kebun dan kebun kelapa sawit) dipertahankan sesuai dengan kondisi aktual penggunaan lahannya. Penggunaan lahan yang memungkinkan untuk dilakukan konversi penggunaan lahan dan berada di luar kawasan lindung, dialokasikan sebagai cadangan pengembangan lahan komoditi basis perkebunan. Penggunaan lahan di dalam alokasi lahan Lp-metric yang potensial untuk dikonversi menjadi lahan komoditi basis perkebunan antara lain; hutan lahan kering, pertanian lahan kering, semak belukar, dan tanah terbuka, adapun lahan yang tidak dapat dilakukan konversi adalah hutan mangrove, rawa, sawah, tambak, dan tubuh air.

Potensi lahan di dalam areal lahan Lp-metric yang memungkinkan dikonversi menjadi lahan komoditi basis perkebunan adalah 28 650 ha. Potensi tersebut terdiri atas 9.4 % hutan lahan kering, 77 % pertanian lahan kering, 13.9 % semak belukar, dan 0.1 % tanah terbuka. Dari seluruh areal lahan yang dicadangkan untuk pengembangan komoditi basis perkebunan, 53 % berada pada kawasan budidaya pertanian (APL) dan 47 % berada pada kawasan budidaya kehutanan yang terdiri atas; 25 % berada pada hutan produksi konversi, 19 % berada di hutan produksi terbatas, dan 3 % berada di hutan produksi tetap (Tabel 33 dan Gambar 28).

Tabel 33 Matriks penggunaan lahan dan status kawasan areal lahan Lp-metrik untuk cadangan pengembangan komoditi perkebunan (ha)

No Penggunaan Lahan Areal Penggunaan Lain Hutan Produksi Konversi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Jumlah 1 Hutan lahan kering primer - 10 1 121 - 1 131 2 Hutan lahan kering sekunder 71 241 1 192 68 1 571 3 Pertanian lahan kering 6 442 4 253 807 292 11 794 4 Pertanian lahan kering

campur semak 7 326 2 071 597 150 10 143

5 Semak Belukar 1 391 621 1 774 207 3 992

6 Tanah terbuka 12 - 6 - 18

(35)

Gambar 28 Alokasi lahan komoditi basis perkebunan.

Namun demikian, proses konversi hutan produksi dapat dilakukan jika memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. PP 10/2010 mengatur

(36)

proses konversi lahan pada hutan produksi dapat dilakukan secara parsial atau mempertimbangkan luas lahan secara agregat wilayah provinsi. Jika dilakukan secara parsial maka proses perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan dengan tukar menukar kawasan hutan atau melalui proses pelepasan kawasan hutan. Perubahan peruntukan yang dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas. Tukar menukar kawasan hutan dilakukan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen, menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan, atau memperbaiki batas kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan pada hutan produksi konversi dapat dilakukan jika pada luas kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Barat lebih dari 30 % luas wilayah.

Mengacu pada ketentuan PP 10/2010, maka luas areal lahan yang dapat dikonversi secara langsung sebagai cadangan pengembangan komoditi perkebunan adalah areal lahan yang berada pada wilayah dengan peruntukan fungsi kawasan budidaya pertanian (areal penggunaan lain) dan hutan produksi konversi dengan luas berturut-turut 15 242 ha dan 7 196 ha (luas keseluruhan mencapai 22 438 ha). Adapun lahan yang terdapat pada hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas proses konversi harus mengikuti ketentuan PP 10/2010.

Berdasarkan distribusi alokasi lahan cadangan pengembangan menurut kecamatan, alokasi lahan pengembangan terluas terdapat di Kecamatan Dapurang, sedangkan lahan cadangan pengembangan terkecil terdapat di Kecamatan Sarjo Lahan untuk cadangan pengembangan tersebut bersumber dari fungsi kawasan untuk areal penggunaan lain, hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Meskipun pengembangan lahan tersebut memerlukan proses yang relatif lama, khususnya menyangkut aspek perijinan, namun penyediaan lahan untuk aktifitas ekonomi masyarakat perlu dilakukan oleh pemerintah daerah guna menghindari konflik lahan yang dapat terjadi akibat tidak tersedianya lahan usahatani bagi masyarakat. Distribusi cadangan pengembangan lahan perkebunan menurut kecamatan disajikan pada Tabel 34.

Gambar

Tabel 18 Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan di Kabupaten Mamuju Utara tahun 2001-2010 (persen)
Tabel 19  Analisis  Location  Quotient  produk  domestik  regional  bruto  (PDRB)  atas  dasar  harga  konstan  Kabupaten  Mamuju  Utara  tahun  2001–2010  Lapangan Usaha  2001  2002  2003  2004  2005  2006  2007  2008  2009  2010  1   Pertanian  1.01  0.9
Tabel 20   Analisis LQ jumlah produksi beberapa komoditi perkebunan di Provinsi  Sulawesi Barat tahun 2011
Tabel 22   Analisis  LQ  komoditi  kelapa  dalam  menurut  kecamatan  di  Kabupaten  Mamuju Utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bubur kedelai disaring dengan penyaring yang umum digunakan oleh para pembuat tahu, yaitu kain blacu berwarna putih. Hasil penyaringan ini adalah ekstrak susu kedelai, sedangkan ampas

Economic Value Added (EVA) merupakan indikator tentang adanya penciptaan nilai dari suatu investasi, sedangkan Market Value Added (MVA) merupakan perbedaan antara nilai modal yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat percaya diri mahasiswa yang mengikuti pencak silat dalam kategori laga dan kategori seni pada UKM pencak silat

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS) sedangkan pengolahan data menggunakan software e-views 4. Hasil penelitian ini

10 Aprilia Tumbel, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi Tindak Pidana Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak” Lex Crime IV, No.. saksi yangdituangkan dalam Undang-Undang

Ditetapkannya Peraturan Presiden tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Penata Kelola Pemilu dan Juklaknya Tersusunnya standar.. kompetensi kerja Jabatan Fungsional Penata Kelola

Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Model pendukung

Jika mata diperbesar sampai diameter 5 mm, berapa jarak minimum antara dua sumber titik yang masih dapat dibedakan oleh mata pada jarak 40 cm dari mata?, Panjang