• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP DAN PERILAKU ANAK PANTI ASUHAN TERHADAP PENCEGAHAN INFEKSI CACING USUS DI JAKARTA TIMUR, PADA TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIKAP DAN PERILAKU ANAK PANTI ASUHAN TERHADAP PENCEGAHAN INFEKSI CACING USUS DI JAKARTA TIMUR, PADA TAHUN 2012"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP DAN PERILAKU ANAK PANTI ASUHAN TERHADAP

PENCEGAHAN INFEKSI CACING USUS

DI JAKARTA TIMUR, PADA TAHUN 2012

Eka Adip Pradipta*, Saleha Sungkar**

*Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia **Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Infeksi parasit usus seperti cacing usus masih menjadi masalah di Indonesia. Infeksi cacing usus digolongkan sebagai neglected tropical diseases dan 800 juta penderita di antaranya adalah anak-anak. Anak panti asuhan tinggal di lingkungan yang padat dan rentan mengalami infeksi cacing usus sehingga diperlukan informasi mengenai sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik demografi dengan sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus anak panti asuhan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 10 Juni 2012 di Jakarta Timur dengan menggunakan kuesioner berisikan 13 pertanyaan tentang sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus. Data diolah dengan program SPSS for mac versi 20 dan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, Mann-Whitney dan Spearman. Hasil penelitian ini menunjukkan rerata skor penilaian sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing masing-masing 20,2 dan 29,1. Nilai maksimal dari skor penilaian sikap dan perilaku masing-masing 25 dan 40. Terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan dengan perilaku (p<0,05), serta jenis kelamin dengan sikap (p<0,05). Disimpulkan sikap anak panti asuhan terhadap pencegahan infeksi cacing usus tergolong baik dan jika akan memberikan edukasi maka perlu memperhatikan usia, tingkat pendidikan dan jenis kelamin.

Kata kunci: anak panti asuhan; karaktersitik demografi; pencegahan infeksi cacing usus; perilaku; sikap.

Intestinal parasite infection, intestinal helminths for instance, remains a major problem in Indonesia. Intestinal helminths infection is regarded as a neglected tropical diseases and 800 million children are infected globally. Orphanage live in a densely populated place and are susceptible to intestinal helminths infection, thus it is necessary to know attitude and behavior of intestinal helminths infection. The purpose of this study is to understand the relationship between Attitude and Behavior of Street Children about Soil Transmitted Helminths Infection Prevention and demographic characteristic. This study used analytic cross sectional design. Data were collected on June 10th 2012 in East Jakarta using a questionnaire consists of 13 questions about attitude and behavior of intestinal helminths infection prevention. The data collected were processed using SPSS for Mac version 20 program and Kruskal-Wallis, Mann-Whitney and Spearman statistic test. The results showed that attitude and behavior scores are 20,2 and 29,1, respectively. Maximum score of attitude and behavior are 25 and 40, respectively. The results indicated that there is a relationship of gender, age, and education level with behavior (p<0,05), and also gender with attitude (p<0,05). It can be concluded that orphanage children attitude of intestinal helminths infection prevention is good meanwhile the behavior is poor and education methods should consider age, education level and gender.

Keywords: attitude; behavior; demography characteristic; intestinal helminths infection prevention; orphanage.

(2)

1. Pendahuluan

Infeksi parasit usus seperti cacing usus dan protozoa masih menjadi masalah kesehatan di indonesia. Infeksi cacing usus yang sering ditemukan di Indonesia antara lain,

Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dan infeksi protozoa adalah Giardia lamblia dan Blastocystis hominis.1,2

Infeksi cacing usus digolongkan sebagai neglected tropical diseases sedangkan pada kenyataannya saat ini sekitar 2 milyar orang terinfeksi cacing usus dan 800 juta di antaranya merupakan anak-anak usia sekolah.3,4 Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009, prevalensi infeksi cacing usus 22,6%.5 Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 di daerah kumuh di Jakarta Utara, prevalensi askariasis mencapai angka 80% dan trikuriasis 68,4% pada anak sekolah dasar (SD). Masalah tersebut penting mengingat infeksi cacing usus dapat menyebabkan anemia, defisiensi vitamin A dan menurunnya nafsu makan. Ketiga hal itu dapat mengganggu pertumbuhan anak. Selain itu, anak-anak yang terinfeksi cacing usus dapat mengalami kesulitan belajar, termasuk menurunnya konsentrasi dan kemampuan mengingat.6

Salah satu faktor risiko penting dari infeksi cacing usus adalah perilaku kesehatan dari tiap individu. Kebiasaan, secara spesifik, berkaitan dengan prevalensi dan intensitas dari infeksi cacing usus.7 Penelitian yang dilakukan di Etiopia menunjukkan bahwa, penggunaan sabun setiap hari secara rutin dan ketersediaan air bersih yang baik dapat menurunkan risiko infeksi cacing usus.8 Perilaku kebersihan sangat penting untuk mencegah infeksi cacing usus.

Di Kelurahan Lubang Buaya, Jakarta Timur terdapat panti asuhan yang menampung anak jalanan. Panti asuhan tersebut padat penghuni, sekitar 30 anak dalam satu ruangan, sehingga anak-anak berrisiko terinfeksi cacing usus. Dengan demikian anak-anak tersebut perlu diajarkan perilaku membersihkan terutama cara mencuci tangan yang benar dengan cara penyuluhan kesehatan.

Agar anak-anak dapat memahami apa yang diberikan dalam penyuluhan, maka perlu diketahui sikap dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS). Sikap dan perilaku seseorang

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain karakteristik demografi. Oleh karena itu, sebelum memberikan penyuluhan perlu dilakukan survei untuk mengetahui sikap dan perilaku anak-anak panti asuhan serta hubungannya dengan karakteristik demografinya.

(3)

2. Tinjauan Teoritis

2.1. Epidemiologi Infeksi Cacing Usus

Lebih dari 1 milyar orang di dunia terinfeksi oleh satu atau lebih jenis nematoda. Parasit ini mudah dijumpai pada daerah dengan sanitasi yang buruk, terutama pada negara berkembang di daerah tropis dan subtropis. Tidak hanya itu, parasit ini juga dapat ditemui pada imigran dan pengungsi negara maju. Meskipun tidak fatal, infeksi cacing usus dapat menyebabkan malnutrisi dan menurunkan kinerja.9

2.1.1 A. lumbricoides

Askariasis merupakan infeksi cacing dengan prevalensi tertinggi di dunia dengan perkiraan sekitar 0,8-1,22 milyar orang terinfeksi di dunia.10 Berdasarkan data The Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diperkirakan terdapat 86 juta kasus askariasis di

Cina dan 204 juta kasus di Asia Tenggara dan Pasifik pada tahun 2005. A. lumbricoides banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis, juga daerah lembab lainnya. Transmisi parasit ini terjadi melalui tanah yang terkontaminasi feses oleh kurangnya fasilitas sanitasi atau penggunaan feses sebagai pupuk.9

Melalui transmisi fekal oral, anak-anak merupakan kalangan yang paling mudah terinfeksi. Prevalensi askariasis tertinggi terdapat pada usi 2-10 tahun, dengan intensitas infeksi tertinggi di usia 5-15 tahun. Studi yang dilakukan di Vietnam menunjukkan bahwa perempuan dewasa yang tinggal di daerah pedesaan, memiliki risiko tinggi untuk mengalami infeksi askaris.11

Di Indonesia, prevalensi infeksi askaris bervariasi di setiap daerah. Survey yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di berbagai provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi infeksi askaris di DKI Jakarta berkisar antara 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74% dan Bali 40-95%. Faktor yang terkait distribusi cacing ini antara lain, minimnya MCK, pencemaran tanah oleh feses dan penggunaan tinja sebagai pupuk.12

2.1.2 Cacing tambang

Cacing tambang dapat ditemukan pada hampir di seluruh dunia dan berperan dalam infeksi nematoda pada manusia. Pada tahun 2005, WHO memperkirakan 149 juta infeksi cacing tambang di Asia Timur/Pasifik, 71 juta di India, 59 juta di Asia Selatan dan sekitar 39 juta di Cina. Studi prevalensi menunjukkan bahwa nematoda Ancylostoma duodenale dan

(4)

Necator americanus menginfeksi sekitar 576 hingga 740 juta manusia di dunia dan

sekitar 10% di antaranya menderita anemia.13

Infeksi cacing tambang banyak terdapat pada daerah tropis dan subtropis. Tingkat infeksi cacing ini tinggi di komunitas pedesaan dengan tanah yang lembab. Petani merupakan salah satu profesi yang memiliki risiko infeksi cacing tambang yang tinggi. Kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS) dan berjalan tanpa alas kaki merupakan salah satu faktor penting dalam distribusi epidemiologi infeksi ini. Sanitasi yang tidak memadai, dan kurangnya akses fasilitas kesehatan juga berperan penting dalam infeksi cacing tambang.9

Data UNICEF menunjukkan bahwa infeksi cacing tambang terdapat pada hampir seluruh daerah di Indonesia. Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, dan Papua merupakan daerah dengan prevalensi infeksi cacing tambang tertinggi di Indonesia. Studi yang dilakukan UNICEF pada 27 balita, menunjukkan 38% di antaranya terinfeksi cacing tambang, sementara studi serupa menunjukkan 40,7% anak balita terinfeksi cacing yang sama.14

2.1.3 T. trichiura

Trikuriasis, seperti askariasis, dapat ditemukan di hampir seluruh dunia. Diperkirakan sekitar satu miliar manusia di dunia terinfeksi T. trichiura.15 Beberapa daerah dengan prevalensi trikuriasis tertinggi antara lain Sub Sahara Afrika dengan 162 juta kasus, diikuti dnegan Asia Timur dan kepulauan Pasifik sebesar 159 juta kasus, dan Timur Tengah dan Afrika Utara. Sementara itu, Asia Tenggara merupakan salah satu daerah dengan jumlah kasus yang tinggi, sebanyak 74 juta.16 Di Jakarta Barat prevalensi askariasis pada anak SD adalah 74,70% dan trikuriasis 25,30%.17

Terdapat berbagai faktor terkait distribusi infeksi trikuris. Infeksi trikuris lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Hal ini diperkirakan karena rendahnya tingkat kebersihan dan pada beberapa anak sering ditemukan mengkonsumsi tanah. Tingkat sanitasi yang buruk juga berhubungan dengna transmisi infeksi cacing ini, kembali anak-anak menjadi sangat rentan oleh karena tingkat pajanannya. Studi yang dilakukan di sekolah dasar di Nigeria menunjukkan bahwa infeksi trikuris lebih tinggi pada sekolah dengan tingkat sanitasi yang buruk.18

(5)

2.2. Siklus Hidup

2.2.1. A. lumbricoides

Cacing A. lumbricoides dewasa tinggal di dalam lumen usus halus. Cacing betina dewasa dapat menghasilkan telur hingga 240.000 butir setiap harinya, yang akan dilepaskan bersama feses. Telur askaris sangat tahan dengan keadaan lingkungan yang berubah-ubah. Setelah menjalani proses maturasi beberapa minggu di tanah maka telur ini memasuki stadium infektifnya dan dapat bertahan hingga bertahun-tahun.9

Telur ini menginfeksi manusia melalui oral. Setelah tertelan telur ini kemudian menetas di dalam usus dan menginvasi mukosa, kemudian bermigrasi melalui sistem sirkulasi menuju paru, menembus alveolus, menaiki bronkus dan kembali ke traktus gastrointestinal menuju usus halus. Larva tersebut akan menjadi dewasa di dalam usus halus. Waktu yang dihabiskan untuk keseluruhan siklus berkisar antara 2 hingga 3 bulan.9

2.2.2 Cacing Tambang

Cacing tambang dewasa, dengan panjang sekitar 1cm, menggunakan gigi atau plat untuk melekat pada mukosa usus halus dan menghisap darah serta cairan interstisial. Cacing tambang dewasa memproduksi ribuan telur setiap harinya. Telur tersebut kemudian akan terdeposit di dalam feses yang akan dibuang ke tanah. Dalam 1 minggu, larva rhabditiform yang berasal dari telur yang menetas akan berkembang menjadi larva filariform. Larva infektif kemudian menembus kulit dan mencapai paru via sirkulasi darah. Larva tersebut akan menembus alveolus dan menaiki jalan nafas sebelum tertelan dan kembali ke usus halus. Waktu yang dibutuhkan dari masuknya larva melalui kulit hingga ditemukannya telur dalam feses berkisar antara 6-8 minggu. Larva A. duodenale juga dapat bertahan hidup juga tertelan langsung.9

Gambar 2.2.2.1. Siklus hidup cacing tambang

Sumber: Intestinal Nematode Infections. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al.[ebook] Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. Philadelphia: McGraw Hill; 2008.

(6)

2.3.3 T. trichiura

Cacing trikuris dewasa tinggal di dalam kolon dan sekum. Cacing ini tinggal dengan menyusupkan bagian anterior tubuhnya ke dalam mukosa superfisial. Ribuan telur yang dihasilkan oleh cacing betina dilepaskan bersama feses dan menjadi infektif di tanah. Stadium infektif dari cacing ini adalah telur yang sudah matang. Telur infektif yang tertelan kemudian akan menetas di dalam usus halus yang akan melepaskan larva imatur. Larva tersebut akan menjadi dewasa dan kemudian bermigrasi ke usus besar. Keseluruhan siklus menghabiskan waktu sekitar 3 bulan.9

2.5 Perilaku Kesehatan

Perilaku adalah kombinasi antara proses interaksi atau respons dengan lingkungannya dan pengalaman,19,20 kemudian akan diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan yang pada akhirnya akan didapatkan keseimbangan antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan.19,21 Jika kedua unsur tersebut tidak seimbang, maka perilaku seseorang dapat berubah.19

Perilaku kesehatan adalah suatu tanggapan atas unsur kesehatan seperti, sakit, sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Berdasarkan definisinya, perilaku hidup sehat adalah perilaku atau tindakan yang dilakukan untuk mencapai keadaan sehat dan mempertahankannya.19,21

2.6 Panti Asuhan Bamadita Rahman

Panti Asuhan Bamadita Rahman berlokasi di kelurahan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pemilik dan pengelola panti asuhan tersebut adalah seorang dokter pediatrik. Sumber dana panti asuhan tersebut didapatkan dari pemiliknya dan beberapa donatur. Satu ruangan panti asuhan menampung sekitar 30 anak dan tergolong padat. Tempat tidur yang digunakan oleh anak-anak tersebut terbuat dari bahan yang tipis. Tempat tidur tersebut kemudian akan ditumpuk pada siang hari. Baju anak-anak tersebut dicuci dan disetrika sekali dalam seminggu pada saat hari libur. Anak panti asuhan tersebut menjalani pendidikan di sekolah di dekat panti asuhan.

(7)

3. Metode

Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional analitik tanpa menggunakan intervensi untuk menilai hubungan antara sikap dan perilaku pencegahan penularan cacing usus dan karakteristik demografi. Penelitian berjalan sejak Juni 2012 - Juni 2013.

Sampel penelitian ini adalah anak panti asuhan yang hadir pada saat pengambilan data. Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini diambil dengan menggunakan metode populasi total. Kriteria inklusi penelitian ini adalah anak panti asuhan dengan tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA, sementara kriteria eksklusinya adalah ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan baik atau tidak mampu mengisi kuesioner dengan lengkap.

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 10 Juni 2012 di Panti Asuhan X di Jakarta Timur. Sebelum pengambilan data dilakukan, subyek dijelaskan mengenai tujuan penelitian dan tata cara pengisian kuesioner. Subyek juga telah menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Teknik pengambilan data pada penelitian ini menggunakan teknik kuesioner. Subyek diminta untuk mengisi data diri dan kuesioner hingga lengkap serta didampingi pada saat pengisian. Data yang didapatkan dari kuesioner berupa karakteristik demografi dan skoring sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus. Setelah selesai diisi, kuesioner dikembalikan dan diperiksa kelengkapannya. Kuesioner yang tidak lengkap akan dikembalikan ke reponden untuk dilengkapi. Data yang didapatkan kemudian dianalisis.

Data yang sudah diperiksa dan lengkap diklasifikasikan menurut variabelnya. Variabel skoring sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus dan usia memilki jenis data numerik. Jenis data dari variabel jenis kelamin, riwayat cacingan di keluarga, riwayat cacingan sendiri, kegiatan harian, dan tingkat pendidikan adalah kategorik.

Sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus dinilai menggunakan teknik kuesioner. Kuesioner terdiri atas 2 bagian masing-masing berisikan 5 dan 8 pertanyaan untuk menilai sikap dan perilaku. Setiap pertanyaan memiliki poin yang berkisar antara 0-5 dengan nilai maksimal skor penilaian sikap 25 dan skor penilaian perilaku 40. Variabel tersebut digolongkan menjadi baik jika skor penilaian > 80% dan kurang jika < 80% nilai total.

Data usia, tingkat pendidikan, kegiatan harian dan riwayat cacingan sendiri dan di keluarga didapatkan menggunakan teknik kuesioner. Usia subyek digolongkan menjadi kelompok usia 7-12 tahun, 13-15 tahun dan di atas 15 tahun. Tingkat pendidikan adalah pendidikan yang sedang dijalani oleh subyek. Riwayat cacingan sendiri dan di keluarga dibagi menjadi pernah atau tidak pernah. Kegiatan harian adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan

(8)

subyek setelah selesai sekolah. Data digolongkan menjadi kegiatan di dalam rumah, kegiatan di luar rumah, keduanya dan kegiatan lainnya.

Pengolahan data tersebut dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 20.0. Intepretasi data dilakukan secara deskriptif untuk data karakteristik demografis dan analitik untuk mengetahui hubungan antar variabel. Variabel dependen pada penelitian ini adalah sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus, sementara variabel independen antara lain karakteristik demografi dan riwayat cacingan.

Data yang sudah diperiksa dan lengkap diklasifikasikan menurut variabelnya. Variabel skoring sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus dan usia memilki jenis data numerik. Jenis data dari variabel jenis kelamin, riwayat cacingan di keluarga, riwayat cacingan sendiri, kegiatan harian, dan tingkat pendidikan adalah kategorik.

Analisis yang digunakan untuk melihat distribusi data variabel dependen dan independen adalah analisis univariat, sementara analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan dependen. Analisis untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin, riwayat cacingan dan riwayat cacingan di keluarga dengan sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus dilakukan dengan menggunakan uji t-tidak berpasangan jika distribusi data normal dan uji Mann-Whitney jika distribusi data tidak normal.

Analisis untuk mengetahui hubungan antara kelompok usia, tingkat pendidikan dan jenis kegiatan harian dengan sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus dilakukan dengan menggunakan uji One-way ANOVA jika distribusi data normal atau Kruskal-Wallis jika distribusi data tidak normal yang dilanjutkan dengan analisis post-hoc.

4. Hasil

4.1 Karakteristik Demografi

Jumlah responden yang didapatkan pada pengambilan data berjumlah 155 orang. Dua di antaranya tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena telah lulus SMA sehingga jumlah responden yang diolah adalah 153 orang. Karakteristik demografi yang didapatkan antara lain usia, jenis kelamin, riwayat cacingan, riwayat cacingan di keluarga, tingkat pendidikan dan kegiatan harian.

(9)

Tabel 4.1.1 Distribusi Karakteristik Demografi dan Riwayat Cacingan Sendiri, Riwayat Cacingan Di Keluarga, Responden

Variabel Kategori Jumlah Persentase

Umur 7-12 tahun 83 53.5

13-15 tahun 57 36.8

> 15 tahun 13 9.7

Jenis Kelamin Laki-laki 64 41.8

Perempuan 89 58.2

Riwayat Cacingan Pernah 22 14.4

Sendiri Tidak pernah 131 85.6

RiwayatCacingan Keluarga Ada Tidak ada 33 120 21.6 78.4 Tingkat Pendidikan SD 80 52.3 Kegiatan SMP SMA Di dalam rumah Di luar rumah Keduanya Kegiatan lainnya 58 15 114 18 9 12 37.9 9.8 74.5 11.8 5.9 7.8

Berdasarkan Tabel 4.1.1, usia 7-12 tahun merupakan kelompok usia dengan persentase terbanyak, sebesar 53,5%. Kelompok usia 13-15 memiliki persentase sekitar 4 kali lipat dari kelompok usia di atas 15 tahun. Kelompok usia 13-15 tahun dan di atas 15 tahun memiliki persentase masing-masing sebesar 36,8% dan 9,7%.

Jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki persentase yang hampir berimbang, masing-masing 41,8% dan 58,2%. Dari seluruh responden 22 orang atau 14,4% responden memiliki riwayat cacingan sementara 21,6% atau 33 orang responden memiliki riwayat cacingan di keluarganya.

Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan SD dengan persentase 52,3%. Dari seluruh responden, 114 orang responden memiliki kegiatan di dalam rumah, seperti mengaji, dengan persentase 74,5%.

4.2 Hubungan Sikap dan Perilaku dengan Karakteristik Demografi

Analisis hubungan antara jenis kelamin, riwayat cacingan dan riwayat cacingan di keluarga dengan sikap dan perilaku dilakukan setelah mengetahui normalitas data. Berdasarkan uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov, distribusi data jenis

(10)

kelamin, riwayat cacingan dan riwayat cacingan di keluarga tidak normal sehingga uji hipotesis yang digunakan adalah uji Mann-Whitney.

Tabel 4.2.1. Hubungan perilaku dengan jenis kelamin dan riwayat cacingan

Variabel n (Maks-Min) Median Mean + SD p Jenis kelamin

Laki-laki 64 29 (0-35) 28.1 + 5.2

0,01

Perempuan 89 31 (0-35) 30 + 4.4

Riwayat cacingan sendiri

Pernah 22 22,5 (5 - 25) 29.3 + 3.5 0,734 Tidak pernah 131 20 (0 -25) 29,2 + 5 Riwayat cacingan di keluarga Ada 32 20 (0 - 25) 29,2 + 6,2 0,409 Tidak ada 120 20 (0 - 25) 29,2 + 4,5

Berdasarkan Tabel 4.2.1, median dari skor penilaian perilaku pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki masing-masing 29 dan 31. Uji Mann-Whitney menunjukkan perbedaan bermakna antara jenis kelamin dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus (p<0,05). Riwayat cacingan sebelumnya dan riwayat cacingan di keluarga tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p masing-masing 0,734 dan 0,409.

Tabel. 4.2.2. Hubungan Sikap dengan Jenis Kelamin, Riwayat Cacingan

Variabel n (Maks-Min) Median Mean + SD p Jenis kelamin Laki-laki 64 20 (0-35) 18.5 + 6.6 0,03 Perempuan 89 20 (0-35) 21.4 + 4.7 Riwayat cacingan sendiri Pernah 22 22,5 (5- 25) 20,9 + 5,5 0,442 Tidak pernah 131 20 (0 -25) 20,1 + 5,8 Riwayat cacingan keluarga Ada 32 20 (0 - 25) 20,5 + 5,6 0,787

(11)

Tabel 4.2.2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara jenis kelamin dengan skor penilaian sikap pencegahan infeksi cacing usus (p<0,05). Rerata dari skor penilaian sikap pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki dengan nilai masing-masing 18,5 dan 21,4.

Berdasarkan Tabel 4.2.2 dengan menggunakan uji Mann-Whitney, didapatkan nilai p > 0,05 untuk riwayat cacingan sebelumnya dan riwayat cacingan di keluarga. Maka tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna antara riwayat cacingan sebelumnya dan riwayat cacingan di keluarga dengan skor penilaian sikap.. Median, jumlah sampel dan rerata dengan standar baku terdapat pada tabel 4.2.1.

4.3 Hubungan Sikap dan Perilaku Pencegahan Infeksi cacing usus dengan Karakteristik Demografi

Uji hipotesis yang digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara kelompok usia, jenis kegiatan harian dan tingkat pendidikan adalah Kruskal-Wallis karena distribusi data yang tidak normal. Median, distribusi frekuensi dan rerata dari setiap variabel dapat dilihat di Tabel 4.3.1.

Tabel. 4.3.1 Hasil Analisis uji Kruskal-Wallis antara variabel kelompok usia, jenis kegiatan dan tingkat pendidikan terhadap skor penilaian perilaku

Variabel n Median (Min-Maks) Mean + SD p Kelompok Usia 7-12 th 83 30,5 (0-35) 28,6 + 4,6 0,004* 13-15 th 57 31 (0-35) 29,4 + 5,4 > 15 th 13 33 (15-25) 32,3 + 1,9 Kegiatan Harian Kegiatan di Luar 18 31 (0-35) 29,6 + 4,4 0,229 Kegiatan di Dalam 112 31 (0-35) 27,8 + 7,9 Keduanya 9 31 (18-25) 29,2 + 5,1 Kegiatan lainnya 12 29 (21-31) 28 + 3,1 Tingkat Pendidikan SD 80 29 (0-35) 28,5 + 4,7 0,002** SMP 58 31 (0-35) 29,6 + 5,3 SMA 15 32 (25-35) 31,8 + 2,7

* Uji Kruskal-Wallis. Uji post-hoc Mann-Whitney: 12th vs 13-15th p = 0,108; 13-15th vs >15 th p = 0,040; 7-12 th vs > 15 th p = 0,001

** Uji Kruskal-Wallis. Uji post-hoc Mann-Whitney: SD vs SMP p = 0,018 ; SMP vs SMA p = 0,121 ; SD vs SMA p = 0,002

(12)

Berdasarkan Tabel 4.3.1, rerata skor penilaian perilaku tertinggi pada variabel kelompok usia terdapat pada kelompok usia di atas 15 tahun. Hasil dari uji Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan bermakna antara usia dengan skor penilaian perilaku pencegahan infeksi cacing. Analisis post-hoc menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok usia 7-12 tahun dan kelompok usia 13-15 tahun dengan usia di atas 15 tahun (p>0,05) sementara tidak terdapat perbedaan bermakna dengan kelompok usia 7-12 tahun (p>0,05).

Responden yang memiliki kegiatan harian di luar rumah memiliki rerata skor penilaian perilaku tertinggi dengan nilai 29,6 + 4,4, sementara skor terendah terdapat pada kelompok responden dengan kegiatan harian di dalam rumah. Meskipun demikian, uji Kruskal-Wallis tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara jenis kegiatan harian dengan skor penilaian sikap.

Responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMA memiliki rerata dan median skor penilaian perilaku masing-masing paling rendah dan tinggi di antara tingkat pendidikan lainnya. Uji hipotesis Kruskal-Wallis juga menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara tingkat pendidikan dengan skor penilaian perilaku pencegahan infeksi cacing usus (p<0,05). Analisa post hoc menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kelompok tingkat pendidikan SD dengan SMP (p<0,05) dan SMA (p<0,05) sementara tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok tingkat pendidikan SMP dengan SMA (p>0,05).

Tabel. 4.3.2 Hasil Analisis uji Kruskal-Wallis antara variabel kelompok usia, jenis kegiatan dan tingkat pendidikan terhadap skor penilaian sikap

Variabel n Median (Min-Maks) Mean + SD p Kelompok Usia 7-12 th 83 20 (0-25) 19,6 + 6,2 0,322 13-15 th 57 20 (0-25) 20,9 + 5,6 > 15 th 13 20 (20-25) 21,3 + 3,8 Jenis Kegiatan Kegiatan di Luar 18 25 (0-25) 20 + 6 0,581 Kegiatan di Dalam 112 25 (5-25) 21,1 + 6.1 Keduanya 9 25 (10-25) 21,1 + 5,5 Lain-lain 12 20 (10-25) 20,4 + 4,0 Tingkat Pendidikan SD 80 20 (0-25) 19,4 + 6,2 0,154 SMP 58 20 (0-25) 20,7 + 5,6 SMA 15 25 (25-25) 22,5 + 3,3

(13)

Nilai median, rerata dan distribusi frekuensi dari variabel kelompok usia, jenis kegiatan dan tingkat pendidikan dapat dilihat di Tabel 4.3.2. Seperti pada skor penilaian perilaku, kelompok usia di atas 15 tahun memiliki nilai rerata paling tinggi sementara kelompok usia 7-12 tahun memiliki rerata paling rendah. Uji hipotesis Kruskal-Wallis tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok usia dengan skor penilaian sikap (p<0,05).

Sedikit berbeda dengan skor penilaian perilaku, kelompok responden yang memiliki kegiatan di dalam rumah atau keduanya memiliki skor penilaian sikap paling tinggi, masing-masing 21,1 + 6,1 dan 21,1 + 5,5. Selain itu, uji Kruskal-Wallis tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara jenis kegiatan harian dengan perilaku pencegahan infeksi cacing usus (p>0,05).

Berdasarkan tabel 4.3.2, didapatkan skor penilaian sikap tertinggi pada kelompok SMA dan terendah pada kelompok SD. Hal itu menyerupai temuan pada skor penilaian perilaku. Uji Kruskal-Wallis tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara tingkat pendidikan dengan perilaku pencegahan infeksi cacing usus (p>0,05).

Uji normalitas menunjukkan distribusi data yang tidak normal pada variabel usia dan skor penilaian perilaku dan sikap pencegahan infeksi cacing usus. Oleh karena itu, uji hipotesis yang digunakan adalah uji Spearman. Berdasarkan Tabel 4.3.3, uji Spearman menunjukkan adanya korelasi antara usia dengan sikap (p=0,026) dan perilaku (p=0,001) pencegahan infeksi cacing usus.

Nilai korelasi Spearman untuk usia dengan sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus masing-masing adalah 0,180 dan 0,274. Nilai tersebut menunjukkan adanya korelasi positif yang sangat lemah antara usia dengan sikap pencegahan infeksi cacing usus dan korelasi positif yang lemah dengan perilaku pencegahan infeksi cacing usus.

Uji Spearman untuk mengetahui hubungan antara skor perilaku dan sikap pencegahan infeksi cacing usus menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,001). Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan antara sikap dan perilaku. Koefisien korelasi Spearman menunjukkan adanya korelasi positif lemah (r=0,325) antara sikap dan perilaku.

5. Pembahasan

Infeksi STH dipengaruhi oleh trias Host-Agent-Environment, di mana peran host dalam infeksi STH sangat penting. Menurut Hotez PJ et al, perilaku kesehatan secara spesifik berpengaruh pada intensitas infeksi STH.7 Sementara itu, perilaku juga dipengaruhi oleh faktor host, antara lain karakteristik demografi.

(14)

Sikap dan perilaku merupakan bagian dari suatu model Sikap-Perilaku-Ilmu pengetahuan (SPI). Berdasarkan model tersebut, perubahan sikap dan perilaku didahului oleh akumulasi ilmu pengetahuan. Akumulasi tersebut kemudian mengubah sikap dan pada akhirnya menyebabkan perubahan perilaku.23

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara beberapa karakteristik demografi dengan sikap dan perilaku pencegahan infeksi STH. Karakteristik tersebut memiliki hubungan yang berbeda antara sikap dan perilaku pencegahan infeksi STH. Informasi mengenai penemuan tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan metode edukasi yang sesuai.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap pencegahan infeksi cacing usus dari anak panti asuhan sudah tergolong baik, sementara perilaku dari populasi tersebut masih belum baik. Berdasarkan model teori SPI tersebut maka terdapat kesenjangan antara sikap dan perilaku.

Korelasi positif antara sikap dan perilaku sesuai menurut teori model SPI. Perubahan pada sikap akan mengubah perilaku seseorang. Pada penelitian ini ditemukan bahwa sikap pencegahan infeksi cacing usus memiliki korelasi yang lemah (p=0,325) terhadap perilaku pencegahan infeksi cacing usus. Temuan

Sebagian besar usia responden pada penelitian ini termasuk ke dalam golongan usia 7-12 tahun. Kelompok usia tersebut merupakan kelompok usia paling rendah pada penelitian ini. Hal ini memengaruhi tingkat pendidikan responden yang dapat memengaruhi sikap dan perilaku. Karakteristik tingkat pendidikan juga menyerupai karakteristik usia populasi meskipun tidak dilakukan analisis untuk mengetahui perbedaan kedua variabel.

Jumlah laki-laki pada populasi penelitian ini lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal tersebut dapat memengaruhi jenis kegiatan responden, meskipun pada penelitian ini tidak dilakukan uji analisis. Pada penelitian ini lebih banyak responden yang memiliki kegiatan di dalam rumah dibandingkan luar rumah.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar populasi tidak memiliki riwayat cacingan baik diri sendiri maupun pada keluarga. Analisa hubungan mengenai riwayat cacingan dengan sikap dan perilaku akan dibahas selanjutnya.

5.2 Sikap dan Perilaku Pencegahan Infeksi STH dan Karakteristik Usia Responden Dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis didapatkan adanya perbedaan bermakna (P<0,05) dan oleh karena itu terdapat hubungan antara karakteristik usia dengan perilaku,

(15)

namun, tidak dengan sikap. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat setidaknya perbedaan perilaku yang bermakna antar kelompok usia.

Analisis post-hoc menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun dengan di atas 15 tahun dalam hal perilaku pencegahan infeksi cacing usus. Hal ini menunjukkan bahwa usia di atas 15 tahun memiliki perilaku yang baik, ditunjukkan dengan rerata skor penilaian perilaku yang lebih tinggi.

Analisis Pearson pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara usia dengan skor penilaian sikap dan perilaku. Berdasarkan koefisien korelasinya, terdapat hubungan yang lemah antara usia dengan perilaku dan sangat lemah dengan sikap pencegahan infeksi cacing usus.

Berdasarkan teori model SPI, perubahan perilaku akan didahului oleh perubahan sikap. Pada hasil penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan sikap namun berhubungan dengan perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa metode edukasi dapat dipusatkan kepada perbaikan perilaku terutama pada usia di bawah 15 tahun.

Menurut Salthouse et al,22 usia yang lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih

banyak. Hal ini juga sesuai dengan teori model SPI, dimana ilmu pengetahuan yang baik akan mendahului perbaikan dari sikap dan pada akhirnya perilaku. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa perilaku pada kelompok usia di bawah 15 tahun pada penelitian ini belum mengalami perubahan perilaku. Intervensi edukasi yang lebih intensif atau lebih lama pada populasi ini mungkin dapat mengubah perilaku pencegahan infeksi cacing usus.

5.3 Sikap dan Perilaku Pencegahan Infeksi STH dan Karakteristik Jenis Kelamin

Hasil analisa Mann-Whitney menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan sikap pencegahan infeksi cacing usus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki sikap pencegahan infeksi cacing usus yang lebih baik dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh adanya perbedaan ilmu pengetahuan.

Teori model SPI juga menyatakan hal yang sama, di mana ilmu pengetahuan memengaruhi sikap seseorang.23 Hal ini juga sesuai dengan temuan Beier dan Ackerman23, dimana perempuan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi karena kepedulian terhadap informasi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Penelitian ini tidak didisain untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden sehingga hubungan antara ilmu pengetahuan dengan sikap pencegahan infeksi cacing usus tidak dapat diketahui.

Namun, teori model SPI dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan bermakna antara perilaku pencegahan infeksi cacing usus dengan jenis kelamin, dengan jenis kelamin

(16)

perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori tersebut karena perubahan sikap akan menyebabkan perubahan perilaku.23 Oleh karena itu, sikap yang lebih baik akan menghasilkan perilaku yang lebih baik juga.

5.4 Sikap dan Perilaku Pencegahan Infeksi STH dan Karakteristik Kegiatan Harian Dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara karakteristik kegiatan harian. Sebagian besar responden memiliki kegiatan di dalam rumah dan memiliki risiko untuk terpajan faktor risiko infeksi cacing usus dari lingkungan, namun tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna antara sikap dan perilaku responden.

Berdasarkan teori model SPI, sikap dan perilaku yang tidak berbeda bermakna menunjukkan bahwa tingkat ilmu pengetahuan antara kedua kelompok mungkin tidak berbeda, meskipun penelitian ini tidak disusun untuk mengetahui tingkat pengetahuan reponden.

Berdasarkan hasil penelitian ini, kelompok populasi dengan karakteristik kegiatan harian di luar rumah memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan di dalam rumah dan membutuhkan intervensi untuk memperbaiki sikap dan perilaku.

5.5 Sikap dan Perilaku Pencegahan Infeksi STH dan Karakteristik Riwayat Cacingan Sebelumnya

Pengetahuan seseorang biasanya akan bertambah seiring bertambahnya pengalaman. Pengetahuan yang lebih baik akan menghasilkan sikap dan perilaku yang lebih baik juga. Uji Mann-Whitney pada penelitian ini menunjukkan p > 0,05 atau tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat cacingan diri sendiri sebelumnya dan riwayat cacingan di keluarga. Hal ini tidak sesuai pada penelitian ini karena tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna antara kelompok responden dengan atau tanpa riwayat cacingan sebelumnya.

Temuan pada penelitian ini dapat disebabkan oleh terbatasnya jalur pemberian informasi pada responden. Jalur pemberian informasi dapat berasal dari lingkungan keluarga, sekolah atau tempat bermain. Melihat lingkungan panti asuhan yang relatif padat, maka terdapat kemungkinan bahwa terdapat informasi dari luar lingkungan tersebut yang kurang dipertukarkan. Hal ini sebaiknya menjadi perhatian dalam memberikan intervensi untuk memperbaiki sikap dan perilaku populasi tersebut.

(17)

5.6 Sikap dan Perilaku Pencegahan Infeksi STH dan Karakteristik Tingkat Pendidikan Seiring meningkatnya tingkat pendidikan maka semakin banyak informasi yang didapatkan oleh seseorang. Hal ini dinyatakan oleh Beier ME et al,23 dimana paparan informasi berbanding lurus dengan tingkat pendidikan.

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini karena berdasarkan uji Kruskal-Wallis ditemukan adanya hubungan bermakna (p<0,05) antara tingkat pendidikan dengan perilaku pencegahan infeksi cacing usus, namun tidak dengan sikap. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap yang bermakna antar tingkat pendidikan. Menurut Bieri FA et al, pengetahuan dan sikap merupakan faktor prediktor yang penting terhadap insidens infeksi cacing usus.24

Model teori SPI menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang lebih baik akan menghasilkan sikap dan pada akhirnya perilaku yang lebih baik. Hasil penelitian ini menunjukkan hal serupa dimana perilaku merupakan aspek terakhir yang akan berubah ketika telah terjadi perubahan sikap dan ilmu pengetahuan, meskipun metode penelitian ini tidak dapat mengetahui tingkat pengetahuan responden. Sikap antar tingkat pendidikan yang sama menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan sebaiknya dipusatkan kepada perbaikan perilaku.

6. Kesimpulan

Sebagian besar responden berusia 7-12 tahun dan dalam jenjang pendidikan SD. Sekitar 3 dari 4 responden memiliki kegiatan di dalam rumah dan jumlah responden perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan pria.

Sikap terhadap pencegahan infeksi cacing usus pada anak panti asuhan di Jakarta Timur tahun 2012 sudah tergolong baik, namun perilaku pencegahan infeksi cacing usus masih kurang. Karakteristik demografi jenis kelamin memiliki hubungan dengan sikap dan perilaku pencegahan infeksi cacing usus, sementara usia dan tingkat pendidikan hanya memiliki hubungan dengan sikap pencegahan infeksi cacing saja.

7. Saran

Intervensi edukasi kepada anak panti asuhan sebaiknya memperhatikan karakteristik demografi, terutama usia dan jenis kelamin. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat pengetahuan mengenai pencegahan infeksi cacing usus.

(18)

Daftar Pustaka

1. Pedoman pengendalian cacingan. Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No. 424/MENKES/SK/VI/2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006.

2. World Health Organization [homepage on the Internet]. WHO; c2011 [cited 2011 Dec 12]. Useful information on Schistosomiasis and cacing usus. Available from:

http://www.who.int/wormcontrol/statistics/useful_info/en/index2.html

3. Children Without Worms. [cited Soil transmitted helminths (sth) [internet]. Partnership for Treating and Preventing Intestinal Worms 2012 Jan 29]. Available from: http://www.childrenwithoutworms.org/what-we-target

4. Action against worms [internet].WHO. 2003 Mar [cited 2012 Jan 29]. Available from: http://www.who.int/wormcontrol/en/action_against_worms.pdf

5. Survei cacing usus 2002-2009. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009. 6. WHO Expert Committee on the Control of Schistosomiasis. Prevention and control of

schistosomiasis and soil-transmitted helminthiasis. WHO technical report series. 2001. 7. Hotez PJ, Bundy DAP, Beegle K, Brooker S, Drake L, de Silva N, et al. Helminth

infections: soil-transmitted helminth infections and schistosomiasis. In: Jamison DT, Breman JG, Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB. Disease control priorities in developing countries [book on the Internet]. Washington: World Bank; 2006 [cited 2011 Dec 12]. Available from: http://files.dcp2.org/pdf/DCP/DCP24.pdf

8. Belyhun Y, Medhin G, Amberbir A, Erko B, Hanlon C, Alem A, et al. Prevalence and risk factors for soil-transmitted helminth infection in mothers and their infants in Butajira, Ethiopia: a population based study. BMC Public Health [serial on the Internet]. 2010 Jan

19; [cited 2011 Dec 12]; 10:21. Available from:

http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2458-10-21.pdf

9. Intestinal Nematode Infections. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al.[ebook] Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. Philadelphia: McGraw Hill; 2008.

10. Haburchak HD. Ascariasis. In: Cunha BA, Medscape Reference. [Dapat dilihat di http://emedicine.medscape.com/article/212510-overview]

11. Do TT, Molbak K, Phung DC, et al. Helminth infections among people using wastewater and human excreta in peri-urban agriculture and aquaculture in Hanoi, Vietnam. Trop Med Int Health. Dec 2007;12 Suppl 2:82-90.

(19)

12. Oktavianto RR. Uji daya antihelmintik infusa bawang putih (Allium sativum linn.) terhadap cacing gelang babi (A. suum) secara in vitro. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2009.

13. Hookworms. Haburchak DR, Cunha BA, Mylonakis E, Greenfield RA and Talavera F. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/218805-overview#a0104, last updated Nov 22, 2011.

14. UNICEF. Mapping human helminth infections in Southeast Asia”. Diunduh pada 23 Desember 2010 dari: http://www.unicef.org/eapro/ Mapping_human_helminth_p_31-53.pdf

15. Feldiemer H, Heukelbach J. epidermal parasitic gut disease: a neglected category of poverty-associated plagues. Bull World Health Organ. 2009; 87: 152-9.

16. Bethony J, Brooker S, Albonico MS, Geiger MS, Loukas A, Diemert D, et al. Soil-transmitted helminth infections: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Lancet. 2006; 367: 1521–32.

17. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7:769-74

18. Chukwuma MC, Ekejindu IM, Agbakoba NR, Ezeagwuna DA, Anaghalu IC, Nwosu DC. The prevalence and risk factors of geohelminth infections among primary school children in Ebenebe Town, Anambra State, Nigeria. Middle-East Journal of Scientific Research. 2009;4(3):211-15.

19. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Edisi 1. Jakarta: EGC; 2009

20. Lin W, Yang HC, Hang CM and Pan WH. Nutrition knowledge, attitude, and behavior of Taiwanese elementary school children. Asia Pac J Clin Nutr 2007;16 (S2):534-546

21. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2003

22. Salthouse T A. Interrelations of Aging, Knowledge, and Cognitive Performance. United States: University of Virginia; 2002. p 265-72.

23. Beier ME, Ackerman PL. Determinants of health knowledge: an investigation of age, gender, abilities, personality, and interest. Journal of Personality and Social Psychology. 84(2):439-448; 2003.

24. Bieri FA, Gray DJ, Williams GM, Raso G, Li YS, Yuan L, et al.. Health-Education Package to Prevent Worm Infections in Chinese Schoolchildren. NEJM. 2013. 368;17:1603-12

Gambar

Gambar 2.2.2.1. Siklus hidup cacing tambang
Tabel 4.1.1 Distribusi Karakteristik Demografi dan Riwayat Cacingan Sendiri, Riwayat  Cacingan Di Keluarga, Responden
Tabel 4.2.1. Hubungan perilaku dengan  jenis kelamin dan riwayat cacingan
Tabel  4.2.2  menunjukkan  bahwa  terdapat  perbedaan  bermakna  antara  jenis  kelamin  dengan  skor  penilaian  sikap  pencegahan  infeksi  cacing  usus  (p&lt;0,05)

Referensi

Dokumen terkait

Pulo Ampel, Perda 10/2007.. Bendung Banten Sawah Luhur Kilasah

Seperti terlihat pada Tabel IV.4 diatas, beberapa capaian di pertengahan tahun 2014 ini telah sesuai ataupun melebihi indicator yang dicanangkan, antara lain dari

Sebagai nazir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan maksimal dan

Siispä vaikuttaa siltä, että hän olisi sanonut turhaan: ”Että olet kuullut minua.” Mutta hän puhuu näin juutalaisten takia osoittaen, että hän on

JUDUL SKRIPSI : NAVIGASI ROBOT MOBIL PENGIKUT DINDING PADA PETA KONTES ROBOT PEMADAM API BERBASIS MIKROKONTROLLER DENGAN MENERAPKAN ALGORITMA LOGIKA FUZZY.. Menyatakan bahwa

Terkait dengan hal tersebut maka perlu dikaji kualitas fisik, kimia dan nutrisi yang terdapat dalam silase ransum komplit tersebut sehingga dapat memenuhi

Assets growth menunjukkan rasio pertumbuhan aset dimana aset merupakan aktiva yang digunakan untuk aktivitas pertumbuhan perusahaan maka akan semakin besar dana yang

Pada sisi lain, informasi yang berhubungan dengan kondisi ekologis yakni parameter lingkungan perairan yang sesuai dengan keberadaan pokea, kepadatan dan