• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ensefalopati Hepatik et causa Sirosis Hepatis Dekompensata pada Laki-Laki Usia 57 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ensefalopati Hepatik et causa Sirosis Hepatis Dekompensata pada Laki-Laki Usia 57 Tahun"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Ensefalopati Hepatik et causa Sirosis Hepatis Dekompensata pada

Laki-Laki Usia 57 Tahun

Asih Sulistiyani, Dwi Indria Anggraini

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Abstrak

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun di perkirakan terjadi pada 30-84% pasien sirosis hepatis. Patogenesis ensefalopati hepatikum belum sepenuhnya dimengerti, tetapi amonia memainkan peranan penting didalamnya. Laki-laki usia 57 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, keluarga pasien mengatakan, pasien terlihat gelisah dan linglung serta lebih mudah marah. Pasien sudah mengalami gejala penyakit hati sejak 1 tahun lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium Glasgow Coma Scale (GCS) 5, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit reguler, frekuensi pernapasan 28 x/menit, suhu 36,7°C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya asites, spider nervi, venektasi vena, liver nail, palmar eritema superior, edema pitting, dan reflek fisilogis menurun. Pemeriksaan penunjang laboratorium Hb 9,1 g/dl, laju endap darah (LED) 66 mm/jam, leukosit 11.900/ul, trombosit 114.000/ul, gula darah sewaktu (GDS) 96 mg/dl, wSGOT 87u/l, SGPT 50u/l, albumin 2,6 g/dl, globulin 3,4 g/dl, Hbs Ag positif. Pasien didiagnosis ensefalopati hepatik. Penatalaksaan farmakologi dengan pemberian injeksi antibiotik seftriakson 1 g/12 jam dan laktulosa sirup 45 mL sampai terjadi defekasi.

Kata kunci : ensefalopati hepatik,hepatitis,sirosis hepatis

Hepatic Encephalopathy et causa Decompensata Liver Cirrhocis On

57 Years Old Man

Abstract

Hepatic encephalopathy (EH) is a neuropshiciatry syndrome which could be occur in acute liver disease and chronic liver disease. In Indonesia, the minimal prevalence of EH (grade 0) are unknown with certainly because of the difficulty of diagnosis, but its assumed occur to 30-84% of patients with liver cirrhosis. The pathogenesis of hepatic encephalopathy is not fully understood, but ammonia is considered having an important role in it. A 57-year-old man came with loss of consciousness since a day before being hospitalized. The patient's family said that she was looked restless and irritable since 5 previous days. The patient had symptoms of liver disease since one year ago. On physical examination found stupor awareness of the Glasgow Coma Scale (GCS) 5, the blood pressure 110/70 mmHg, pulse rate 80 x/minute regular, respiratory rate 28 x/minute, temperature 36.7°C. On physical examination found the presence of ascites, veins venectation, liver nail, superior palmar erythema, pitting edema, and reflex physiology hipotonus. Laboratory examination showed Hb 9,1 g/dl, ESR 66 mm/hour, leucocyte 11.900/ul, platelet count 114.000/ul, blood glucose 96 mg/dl, SGOT 87u/l, SGPT50u/l, albumin 2,6 g/dl, globulin 3,4g/dl, Hbs Ag: positive. Patient’s diagnosed with hepatic encephalopathy. The pharmacological therapy was injection of ceftriaxon 1 g/12 hours and lactulose syrup 45 mL until defecation occured.

Keywords : hepatic encephalopathy, liver cirrhocis, hepatitis

Korespondensi : Asih Sulistiyani, S.Ked., alamat Jl.Perwira I LK II Tanjung Baru, Sukabumi, Bandar Lampung, HP 082182888611, e-mail asihsulistiyani@gmail.com.

Pendahuluan

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya.1

Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun

diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis.1 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009.2 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%.3 Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23%

pada pasien yang tidak menjalani

transplantasi hati.2

Lebih dari sepertiga pasien sirosis menjalani rawat inap karena ensefalopati

(2)

hepatik.3 Prevalensi terjadinya ensefalopati hepatik adalah sebesar 30-40% dari pasien sirosis hati sedangkan untuk ensefalopati hepatik minimal sebanyak 20-80%.4 Sebanyak 30% pasien ensefalopati hepatik mengalami kematian.5 Angka prevalensi ensefalopati hepatik yang berobat di RS Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta tahun 1999

dilaporkan 14,9%, sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 14,7% pada tahun 1997-1998 dengan angka kematian 44,7%.4

Kasus

Laki-laki 57 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit keluarga pasien mengatakan, pasien terlihat gelisah dan terlihat linglung serta mudah marah.

Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, keluarga mengatakan, perut pasien semakin membesar, pasien juga mengalami penurunan nafsu makan, lekas kenyang kadang disertai sesak, mual dan muntah sebanyak 1 kali dalam sehari berisi cairan dan makanan, nyeri kepala, dan sulit buang air besar (BAB). Terkadang pasien BAB 4 hari sekali dengan konsistensi keras dan kedua tungkai bengkak. Keluarga pasien mengaku buang air kecil (BAK) pasien berwarna pekat seperti teh. Keluarga pasien mengatakan sejak 1 tahun ini mata dan badan pasien kuning.

Keluarga pasien mengatakan ayah pasien meninggal karena penyakit liver yang memiliki gejala mirip dengan pasien saat ini.

Keluarga mengatakan pasien pernah

mengeluhkan BAB nya berubah warna menjadi kehitaman, terkadang juga pasien muntah berwarna kecoklatan.

Keluarga menyangkal adanya riwayat hipertensi, kencing manis, trauma, kejang- kejang ataupun stroke pada pasien. Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran stupor Glasgow Coma Scale (GCS) 5, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit reguler, frekuensi pernapasan 28 x/menit, suhu 36,7°C. Pada kepala tak tampak kelainan, pada wajah, sklera terlihat ikterik, konjungtiva anemis, pada leher dan toraks tak ada kelainan, abdomen inspeksi simetris cembung terdapat

venektasi vena, auskultasi bising usus normal, perkusi timpani pada puncak abdomen serta shifting dullnes (+), palpasi dinding perut tegang, hepar dan lien tidak teraba. Pada bagian dada ditemukan spider

nervi, pada ekstremitas superior dan inferior

ditemukan liver nail, palmar eritema pada ekstremitas superior, dan edema pitting pada ekstremitas inferior.

Pada pemeriksaan neurologis nervus I-XII tidak ada kelainan, refleks fisiologis menurun, refleks patologis tidak ditemukan, rangsang selaput otak tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan laboratorium Hb 9,1 g/dl, laju endap darah (LED) 66 mm/jam, leukosit 11.900/µl, trombosit 114.000/ul, gula darah sewaktu (GDS) 96 mg/dl, SGOT 87 u/l, SGPT 50 u/l, albumin 2,6 g/dl, globulin 3,4 g/dl, Hbs Ag positif.

Dari hasil pemeriksaan, didapatkan diagnosis ensefalopati hepatic pada pasien. Penatalaksaanan pada kasus ini adalah

perawatan intensif dengan cara

membebaskan jalan nafas dengan

oropharngeal airway (OPA), pemberian

oksigen (O2) dengan nasal kanul dengan kecepatan 4 L/menit, memasang nasogastric

tube (NGT) dan dower kateter serta

pemantauan kesadaran dan pemberian kalori lebih kurang 2.000 kal/hari yang mencakupi pemberian nutrisi secara enteral dengan jumlah protein yang rendah (1,0g/kgBB/hari), IVFDD 10% 20 tetes/menit serta pemberian nutrisi parenteral.

Untuk perawatan lebih lanjut dilakukan tindakan khusus yaitu antibiotik ceftriaxon intravena 1 g per 12jam, laktulosa sirup 45mL/jam sampai terjadi defekasi.

Pembahasan

Berdasarkan konsensus The Hepatic

Encephalopathy Working Group, diagnosis EH

hanya ditegakkan setelah dieksklusi penyebab gangguan otak yang lain. Diagnosis EH harus dipikirkan pada pasien yang menunjukkan gangguan fungsi motorik dengan tidak ada gangguan metabolik atau pengaruh obat dan sistem neurologis normal. Kecurigaan yang kuat harus dipikirkan pada pasien dengan penyakit sirosis hepatis yang mendasarinya dan dengan adanya kejadian presipitan (pencetus) akut.6,7

(3)

Diagnosis utama pada kasus ini adalah ensefalopati hepatik, karena pasien memiliki riwayat dan gejala penyakit hepar yang mengarah ke sirosis yang merupakan penyebab utama EH pada kasus ini, hal ini didasarkan dari keterangan yang diberikan oleh keluarga pasien bahwa pasien sudah sejak 1 tahun lalu mengalami gejala seperti mata dan badan kuning dan BAK seperti teh, selain itu keluarga mengatakan pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, kencing manis, trauma, kejang-kejang, stroke dan pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol,

sehingga kecurigaan akan gangguan

metabolik serta gangguan neurologis dapat disingkirkan.

Pasien pernah mengeluhkan BAB yang berubah warna menjadi kehitaman yang

menandakan adanya perdarahan

gastrointestinal, selain itu pasien mengalami

konstipasi. Konstipasi/obstipasi

meningkatkan produksi dan absorbsi amonia (NH3) akibat kontak yang lama antara bakteri

usus dan substrat protein, yang

menyebabkan terjadinya infeksi. Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor pencetus akut terjadinya EH pada kasus ini.8

Faktor-faktor presipitasi yang sering terjadi pada ensefalopati hepatik dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 1) episodik seperti infeksi, perdarahan saluan cerna atas, penggunaan berlebihan diuretik, kelainan elektrolit, konstipasi dan tidak diketahui, 2) rekuren yaitu jika kejadian EH berulang kurang dari 6 bulan, seperti keainan elektrolit, infeksi, tidak teridentifikasi, konstipasi, penggunaan diuretik dan perdarahan saluran cerna, 3) persisten jika perubahan perilaku selalu didapatkan. Faktor presipitasi lain seperti dehidrasi, diet tinggi protein dan pengaruh obat yang mempengaruhi sistem saraf pusat serta penyakit lain seperti hepatocelular

carcinoma. 3

Presipitasi lainnya termasuk

konstipasi, alkalosis, dan kekurangan kalium yang disebabkan oleh diuretik, opioid, hipnotik dan sedatif yaitu obat yang mengandung ammonium atau senyawa amino, parasentasis dengan hipovolemia yang menyertai, dan shunt porto systemic (termasuk transjugular intrahepatic portosystemic shunt).9

EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya yaitu tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.10,11

Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang kian memberat).12

Ensefalopati hepatik secara klinis, berdasarkan kriteria West Haven, ditandai dengan perubahan dalam kesadaran dan perilaku mulai dari perubahan pola bangun tidur dan pelupa (tahap 1), kebingungan, perilaku aneh, dan disorientasi (tahap 2), letargi dan disorientasi yang mendalam (tahap 3), koma (tahap 4).3,13

Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH minimal serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt. Pemeriksaan Mini Mental

Status Examination (MMSE) dapat digunakan

sebagai deteksi dini dalam menegakkan diagnosis EH. Berdasarkan kriteria West

Haven,kasus ini sudah mencapai stadium EH

derajat 3 karena pada kasus ini pasien belum sampai pada tahap koma.14

Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang mendukung ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis yaitu sklera terlihat ikterik, konjungtiva anemis, abdomen inspeksi cembung, venektasi vena, dinding perut tegang serta shifting dullnes(+). Pada dada pasien ditemukan spider nervi, pada ekstremitas superior dan inferior ditemukan

liver nail, palmar eritema pada ekstremitas

superior, dan edema pitting pada ekstremitas inferior.

Pada pemeriksaan neurologis nervus I-XII tidak ada kelainan, refleks fisiologis

(4)

hipotonus, refleks patologis tidak ditemukan, rangsang selaput otak tidak ditemukan kelainan.

Pada pemeriksaan laboratorium Hb 9,1 g/dl, LED 66mm/jam, leukosit 11.900/ul, trombosit 114.000/ul, GDS 96 mg/dl, SGOT 87u/l, SGPT 50u/l, albumin 2,6 g/dl, globulin 3,4 g/dl, Hbs Ag positif. Pada sirosis hepatis, SGOT/SGPT dapat meningkat tapi tidak terlalu tinggi atau dapat normal. Albumin menurun sesuai dengan derajat perburukan sirosis karena sintesis albumin terjadi di hati. Globulin meningkat pada sirosis akibat sekunder dari pintasan antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid yang akan menginduksi produksi immunoglobulin, sehingga terjadi peristiwa invers antara albumin dan globulin.

15

Pada pasien dengan sirosis hepatis, edema yang pertama akan muncul adalah pada bagian abdomen. Hal ini dapat dijelaskan karena pada sirosis hepatis terjadi jaringan fibrosis yang mengakibatkan terjadinya tahanan pada vena porta akibatnya terjadi peningkatan tekanan dari vena tersebut. Akibat dari peningkatan ini, terjadi pengalihan aliran darah ke pembuluh darah mesenterika sehingga terjadi filtrasi bersih cairan keluar dari pembuluh darah ke rongga peritoneum. Cairan tersebut mengandung albumin yang tinggi sehingga pada darah terjadi penurunan kadar albumin. Pada keadaan lanjut karena ada kerusakan pada hepatosit yang menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi hati, salah satunya adalah gagalnya sintesis dari albumin. Akibat ketidakseimbangan yang terjadi, lama kelamaan asites yang terjadi akan semakin jelas hingga mendorong ke lokus minorus sehingga terjadi edema hingga hernia pada skrotum, umbilikus atau diafragma. Asites yang terjadi pada kasus ini diakibatkan oleh adanya kelainan pada organ hati yang terjadi penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia.

15

Venektasi vena merupakan hasil dari

hipertensi porta yang disebabkan

peningkatan resistansi intrahepatis. Darah yang tidak dapat melewati sistem porta akan berjalan di vena-vena di sekitar vena porta, menyebabkan shunting porta-sistemik.

16

Anemia pada kasus dipikirkan karena perdarahan gastrointestinal. Hal ini didasarkan pada alloanamnesis diperoleh informasi bahwa paisen pernah mengalami BAB hitam dan muntah yang berwarna kecoklatan. Anemia pada penyakit kronis ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan gangguan produksi eritrosit akibat tidak efektif nya rangsangan eritropoetin.

17

Pemeriksaan anjuran yang dapat dilakukan pada kasus yaitu pemeriksaan radiologis berupa Magnetic Resonance

Imaging (MRI) serta elektroensefalografi

(EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak, akan tetapi pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut karena kelainan neurologis pada kasus ini sudah disingkirkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan EEG akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kadar amonia akan tetapi pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (>100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar amonia darah belum

menjadi pemeriksaan standar di

Indonesia.11,14

Penatalaksanaan nonfarmakologi pada kasus ini yaitu pemasangan oropharngeal

airway serta pemberian oksigen nasal kanul

dengan kecepatan (O2) 4 L/menit bertujuan untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh kebelakang yang dapat menutup jalan napas pada pasien serta pemberian oksigenasi yang adekuat. Indikasi pemasangan oropharngealairway hanya

diperbolehkan pada pasien dengan

penurunan kesadaran atau GCS≤8. Pada kasus ini pasien mengalami penurunan kesadaran yaitu dengan skor GCS 5 yang merupakan indikasi untuk pemasangan

orophageal airway.18

Pemasangan NGT bertujuan untuk memudahkan pemberian nutrisi secara enteral karena pada kasus terjadi penurunan

(5)

kesadaran yang merupakan salah satu

indikasi pemasangan NGT sehingga

kebutuhan energi dapat tercukupi sekaligus memudahkan dalam pemberian obat.

Nutrisi enteral per selang makan sangat penting untuk saluran cerna karena dapat mencegah atrofi vili usus serta tetap

menjaga kelangsungan fungsi usus.

Pembatasan jumlah asupan protein

bertujuan untuk mencegah peningkatan kadar amonia dalam darah yang masuk ke otak.

Pada EH derajat II-III, pemberian jumlah protein yang dapat diberikan 1,0-1,5 g/kg/BB/hari, sedangkan pada EH derajat III-IV asupan protein yang dapat diberikan 0,5-1,2 g/kg/BB/hari. Pada ensefalopati hepatik pemberian dekstrosa 10% atau maltosa 10% diberikan sebagai sumber kalori, dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.

17,18

Pemasangan dower kateter pada kasus bertujuan untuk memantau pengeluaran urin dan sekaligus melihat keseimbangan antara air yang masuk ke dalam dan air yang keluar dari tubuh. Pada kasus terjadi edema pada tungkai dan asites karena terjadinya peningkatan volume cairan intersisium. Pada penyakit hati kronik seperti sirosis hati terjadi retensi natrium sekunder (kompensasi) hal ini dilakukan oleh tubuh untuk memenuhi volume sirkulasi efektif menjadi normal kembali guna optimalisasi perfusi jaringan sehingga perlu dilakukan pemantauan pengeluaran urin agar tidak terjadi retensi cairan tubuh.19

Pemberian laktulosa pada kasus adalah sebagai laksatif yang dapat menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease.

14,21,22

Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan

bakteri yang bertanggung jawab

menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH. Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti inflamasi dan down

regulation aktivitas glutaminase. Antibiotik

yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin berspektrum luas dan diserap secara minimal. Dosis yang diberikan adalah 2x550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.

Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik

yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya yaitu neomycin, metronidazole,

paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih

sedikit dibandingkan antibiotik lainnya. Antibiotik yang diberikan pada kasus yaitu

ceftriaxon karena ketersediaan rifaximin

sangat terbatas di Indonesia dan memiliki harga yang cukup tinggi.

23,24

Pada kasus diberikan antibiotik

ceftriaxon karena pasien menggunakan BPJS

dan kestersediaan obat yang terbatas.

Simpulan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada kasus ditegakkan diagnosis ensefalopati hepatik yang disebabkan oleh sirosis hepatis.

Faktor presipitasi terjadinya ensefalopati hepatik pada kasus ini adalah episodik yaitu adanya perdarahan saluran cerna dan konstipasi.

Tujuan penatalaksaanan pada kasus adalah mengurangi produksi dan absorpsi amonia dengan pemberian antibiotik dan laktulosa.

Daftar Pustaka

1. Hasan I, Araminta AP. Ensefalo hepatik: apa, mengapa dan bagaimana?. Medicinus. 2014; 27(3):1-8.

2. Mullen KD. The treatment of patients with hepatic encephalopathy: review of the latest data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol. 2010; 6(7):1-16. 3. Munoz SJ. Hepatic encephalopathy.

Med Clinics of North America. 2008; 92(4): 795-812.

4. Vilstrup H, Amodio P , Bajaj J, Cordoba J, Ferenci P, Mullen KD, et al. Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by American association for the study of liver diseases and the European association for the study of the liver. Hepatol. 2014; 60(2):715-35.

5. Maqsood S, Saleem A, Iqbal A, Butt JA. Precipitating factors of

(6)

hepatic encephalopathy: experience at Pakistan institute of medical sciences Islamabad. J Ayub Med College Abbottabad. 2006; 18(4):57-62.

6. Garg H, Kumar A, Garg V, Sharma P, Sharma BC, Sarin SK. Clinical profile and predictors of mortality in patients of acute on chronic liver failure. Dig Liver Dis. 2012; 44(2):166-71.

7. Robert SR, Don CR. Complications of cirrhosis. Curr Opin Gastroenterol. 2012; 28(3):223-9.

8. Norenberg MD, Rama Rao KV,

Jayakumar AR. Signaling factors in the mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009; 24(1):103-17. 9. Lawrence S, Friedman. Liver, biliary

tract, and pancreas disorders. Dalam: Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW, editors. Current medical diagnosis & treatment. Edisi ke-49. New York: McGraw Hill Lange; 2010. hlm. 622-3.

10. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: an overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010; 1(2):54-63.

11. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis. Cleve Clin J Med. 2011; 78(9):597-605.

12. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of minimal hepatic encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004; 19(3-4):253-67.

13. Gracia G. Cirrhosis and its sequele. Dalam: Goldman L, Schaffer AI , editors. Goldman's cecil medicine. Edisi ke-24. New York: Elsevier Sauders; 2012. hlm. 999-1007.

14. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(10):180-7.

15. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo Dl, Jamerson JL. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi ke-16. NewYork: McGraw-Hills; 2005. hlm. 1483-95. 16. Bajaj JS, Pinkerton SD, Sanyal AJ,

Heuman DM. Diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy to

prevent motor vehicle accidents: a cost effectiveness analysis. Hepatol. 2012; 55(4):1164-71.

17. Poh Z, Chang PEJ. A current review of the diagnostic and treatment strategies of hepatic encephalopathy. Int J Hepatol. 2012; 44(2):150-7.

18. Roppolo LP, Davis D, Kelly SP, Rosen P.

Airway management. Dalam:

emergency medicine handbook critical concept for clinical practice. Philadelphia: Elseiver; 2007. hlm. 25-43.

19. Parlindungan S. Gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, AlwiI, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 175-89.

20. Simadibrata M. Nutrisi enteral. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, AlwiI, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 323-7.

21. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management of

hepatic encephalopathy.

Gastroenterol Hepatol. 2011;

7(4):222-33.

22. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2010; 6(7):5-13.

23. Wright G, Chatree A, Jalan R.

Management of hepatic

encephalopathy. Int J Hepatol. 2011; 2011(1);1-10.

24. Romeiro FG, Fabio DSY, Madileine FA. Erythromycin versus neomycin in the treatment of hepatic encephalopathy in cirrhosis: a randomized double blind study. BMC Gastroenterol. 2013; 13(1):1-13.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan hematemesis melena berdasarkan data anamnesis bahwa pasien mengeluhkan BAB kehitaman sejak 2 minggu yang lalu, muntah darah

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan secara tidak sengaja saat pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lain.. Komplikasi

Walaupun biopsi jarum percutan pada hati tidak biasa dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis sirosis hepatis, tetapi dapat membantu membedakan pasien sirosis hepatis dengan pasien

Faktor risiko dengan kekuatan hubungan dari yang terbesar ke yang terkecil terhadap kematian pasien sirosis hati adalah koma hepatikum, syok septik, ensefalopati

Berdasarkan riwayat pasien yang sudah menjalankan pengobatan selama 5 bulan namun hasil BTAnya masih positif, maka dapat disimpulkan diagnosis pasien merupakan TB paru

Keywords: Type 2 Diabetes Mellitus, Pedis ulcer, Wagner PENDAHULUAN Diabetes Mellitus DM adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda-tanda hiperglikemia dan

Pada laporan kasus ini pasien seorang laki-laki usia 39 tahun menunjukkan gejala hiperglikemia yang mengarah ke kondisi KAD ketoasidosis diabetikum mengeluhkan lemas, sesak pada saat

584 ISSN: 2721-2882 LAPORAN KASUS Seorang anak laki- laki dibawa oleh orangtuannya ke IGD RSUP Surakarta dengan keluhan sakit perut, keluarga pasien mengatakan bahwa anak tersebut