• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah K3 Kelistrikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah K3 Kelistrikan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN

PENGARUH SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN

KESEHATAN KERJA (SMK3) TERHADAP PRODUKTIVITAS

KESEHATAN KERJA (SMK3) TERHADAP PRODUKTIVITAS

PEKERJA DALAM DUNIA KELISTRIKAN

PEKERJA DALAM DUNIA KELISTRIKAN

ABILLA ADITYA PRATAMA ABILLA ADITYA PRATAMA

2016-11-118 2016-11-118

Kelas B Kelas B

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

SEKOLAH TINGGI TEKNIK

SEKOLAH TINGGI TEKNIK

 – 

 – 

 PLN

 PLN

JAKARTA 2017

(2)
(3)

Daftar Isi Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1

1.1 Latar Latar Belakang Belakang ... 2... 2 1.2

1.2 Rumusan Masalah Rumusan Masalah ... 2... 2 1.3

1.3 Batasan Masalah Batasan Masalah ... 2... 2 1.4

1.4 Tujuan ...Tujuan ... 2... 2 BAB II PEMBAHASAN

BAB II PEMBAHASAN 2.1

2.1 Sejarah, PengSejarah, Pengertian dan ertian dan Tujuan Tujuan Keselamatan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kesehatan Kerja (K3) (K3) ... ... 55 2.2

2.2 Kecelakaan Kecelakaan Kerja Kerja ... ... 77 2.3

2.3 Sumber Sumber bahaya bahaya listrik listrik ………10………10 2.4

2.4 Instalasi LInstalasi Listrik istrik ... ... 1313 2.5

2.5 Instalasi PenyInstalasi Penyalur Petir alur Petir ... ... 1515 2.6

2.6 Peraturan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan Terkait Terkait Keselamatan Keselamatan dan dan Kesehatan Kesehatan Kerja(K3) Kerja(K3) ... ... 1616 BAB III PENUTUP

BAB III PENUTUP 3.1

3.1 Kesimpulan Kesimpulan ... ... 4444 3.2

(4)

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

1.1

1.1 Latar BelakangLatar Belakang

 Negara

 Negara Indonesia Indonesia merupakan merupakan negara negara berkembang, berkembang, hal hal ini ini ditunjukkan ditunjukkan dengandengan  banyaknya pembangunan y

 banyaknya pembangunan yang sedang dilakukan di Indoang sedang dilakukan di Indonesia. Dewasa ini kita melihat bahwanesia. Dewasa ini kita melihat bahwa  pertumbuhan

 pertumbuhan industri, industri, perkantoran, perkantoran, teknologi teknologi dan dan perdagangan perdagangan di di Indonesia Indonesia semakinsemakin meningkat. Salah satu tolok ukur peningkatannya adalah perekonomian Indonesia yang saat ini meningkat. Salah satu tolok ukur peningkatannya adalah perekonomian Indonesia yang saat ini semakin meningkat. Peningkatan perekonomian di Indonesia tidak lepas dari keterlibatan semakin meningkat. Peningkatan perekonomian di Indonesia tidak lepas dari keterlibatan tenaga kerja. Namun dalam pelaksanaannya seringkali terjadi kecelakaan yang menimpa tenaga kerja. Namun dalam pelaksanaannya seringkali terjadi kecelakaan yang menimpa tenaga kerja. Hal ini tidak lepas dari buruknya penerapan Keselamatan dan Kesehatan tenaga kerja. Hal ini tidak lepas dari buruknya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3).

Kerja(K3).

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan,  pemerintah juga

 pemerintah juga perlu memfasiliperlu memfasilitasi dengan tasi dengan peraturan atperaturan atau aturan au aturan perlindungan Keselamatanperlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.

dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus bersifat manusiawi atau bermartabat.

Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.

semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.

Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh

(5)

seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia. mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia. Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang  pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.

 pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.

Jenis kecelakaan kerja sendiri banyak sekali, antara lain kecelakaan kerja industri, Jenis kecelakaan kerja sendiri banyak sekali, antara lain kecelakaan kerja industri, kecelakaan kerja listrik, kecelakaan kerja lingkungan hidup dan sebagainya. Untuk kecelakaan kerja listrik, kecelakaan kerja lingkungan hidup dan sebagainya. Untuk mengantisipasi kecelakaan kerja tersebut kita harus menerapkan K3 yang terkait dengan mengantisipasi kecelakaan kerja tersebut kita harus menerapkan K3 yang terkait dengan kecelakaan tersebut. Salah satunya adalah K3 listrik untuk menghindari kecelakaan kerja kecelakaan tersebut. Salah satunya adalah K3 listrik untuk menghindari kecelakaan kerja listrik.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai  berikut:

Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja? Bagaimana cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja?

Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja listrik? Dan bagaimana cara mencegahnya?

Perundangan apa saja yang terkait dengan K3 umum dan K3 listrik? 1.3 Batasan Masalah

Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas sejarah, pengertian dan tujuan K3, peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan K3 bidang kelistrikan, faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja, faktor terjadinya kecelakaan kerja listrik dan cara mencegahnya.

1.4 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang K3 pada bidang kelistrikan dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sertifikasi : Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3)

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah, Pengertian dan Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 2.1.1 Sejarah K3

Pada tahun 1966 didirikan Lembaga Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja di Departemen Tenaga Kerja, dan Dinas Higiene Perusahaan/Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja di Departemen Kesehatan. Disamping itu juga tumbuh organisasi swasta yaitu Yayasan Higiene Perusahaan yang berkedudukan di Surabaya. Untuk selanjutnya organisasi Hiperkes (Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja) yang ada di Pemerintah dari tahun-ketahun selalu mengalami perubahan-perubahan.

Dengan Demikian Dapat dikatakan bahwa perkembangan K3 di Indonesia berjalan  bersama-sama dengan pengembangan kesehatan kerja yaitu selain melalui institusi, juga

dilakukan melalui upaya-upaya penerbitas buku-buku, majalah, leaflet K3, spanduk-spanduk,  poster dan disebabarluaskan ke seluruh Indonesia. Kegiatan lain adalah seminar K3, konvensi,

lokakarya, bimbingan terapan K3 diadakan secara berkala dan terus menerus.

Organisasi K3 adalah Asosiasi Hiperkes dan Keselamatan Kerja (AHKKI) yang memiliki cabang diseluruh Provinsi Wilayah NKRI dengan pusat di Jakarta. Program  pendidikan keahlian K3 dilaksanakan baik dalam bentuk mata kuliah pendidikan formal yang diberikan pada beberapa jurusan diPerguruan Tinggi, juga diberikan dalam bentuk In formasl  berupa kursuskursus keahlian K3 dan salah satu keahlian yang berkembang di tahun 2004

adalah HIMU = Higiene Industri Muda.

2.1.2 Pengertian K3

Menurut Mangkunegara (2002, p.163) Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu  pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

Menurut Suma’mur (2001, p.104), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di  perusahaan yang bersangkutan.

(8)

Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang  bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang

kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja .

Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa Keselamatan adalah merujuk  pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan  pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi

secara umum.

Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, p.6), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.

Jackson (1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.

2.1.3 Tujuan K3

Tujuan Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja :

Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau  perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan

atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi kecelakaan kerja maka lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa cara menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan dan atau mengadakan pengawasan yang ketat. (Silalahi, 1995)

Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat dilakukan atau tidak.

Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:

(9)

Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.

Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.

Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.

Agarterhindar dandariKesehatangangguanKerjakesehatanListrik yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.

Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja

2.2 Kecelakaan Kerja

2.2.1 Pengertian Kecelakaan Kerja

Dalam kerja bengkel, kita pastinya akan menjumpai alat-ala t berat yang sistem kerjanya  juga mengikuti postur atau fungsi alat tersebut. Seringkali alat yang kita gunakan dalam kerja  praktek tersebut tidak berfungsi secara maksimal, atau adanya human error yang menyebabkan

terhambatnya kerja bengkel. Hal ini sering kali di sebut sebagai kecelakaan kerja.

Kecelakaan ialah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak diharapkan ,karena dalam peristiwa tesebut tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih- lebih dalam bentuk  perencanaan. Dalam Permenaker no. Per 03/Men/1994 mengenai Program JAMSOSTEK,  pengertian kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang kerumah melalui  jalan biasa atau wajar dilalui. ( Bab I pasal 1 butir 7 ).

Kecelakaan menurut M. Sulaksmono (1997), adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki yang mengacaukan suatu proses aktivitas yang telah diatur.

Kecelakaan terjadi tanpa disangka –  sangka dalam sekejap mata , dan setiap kejadian tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai yakni: lingkungan ,bahaya,  peralatan, dan manusia.

Program kesehatan kerja menunjukkan pada kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental, yang ditentukan, lingkungan yang dapat membuat stress emosi atau gangguan fisik (Mangkunegara, 2000:161).

(10)

2.2.2 Penyebab Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja bersifat tidak menguntungkan, tidak dapat diramal, tidak dapat dihindari sehingga tidak dapat diantisipasi dan interaksinya tidak disengaja. Berdasarkan  penyebabnya, terjadinya kecelakaan kerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu langsung dan

tidak langsung. Adapun sebab kecelakaan tidak langsung terdiri dari faktor lingkungan(zat kimia yang tidak aman, kondisi fisik dan mekanik) dan faktor manusia (lebih dari 80%)

Pada umumnya kecelakaan terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pelatihan, kurangnya pengawasan, kompleksitas dan keanekaragaman ukuran organisasi, yang kesemuanya mempengaruhi kinerja keselamatan di tempat kerja. Para pekerja akan tertekan dalam bekerja apabila waktu yang disediakan untuk merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan terbatas. Manusia dan beban kerja serta faktor-faktor dalam lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang disebut roda keseimbangan dinamis.

Terjadinya kecelakaan kerja di bengkel listrik yang diakibatkan oleh faktor manusia, diakibatkan antara lain dari faktor heriditas (keturunan), misalnya keras kepala, pengetahuan lingkungan jelek. Di samping itu, kecelakaan dapat diakibatkan oleh kesalahan manusia itu sendiri. Misalnya kurangnya pendidikan, angkuh, cacat fisik atau mental. Karena sifat di atas ,timbul kecendrungan kesalahan dalam kerja yang akhirnya mengakibatkan kecelakaan.

Perbuatan salah karena kondisi bahaya (tak aman), bisa diakibatkan oleh beberapa hal, misalnya secara fisik mekanik meninggalkan alat pengaman, pencahayaan tidak memadai, mesin sudah tua, dan mesin tak ada pelindungnya. Ditinjau dari faktor fisik manusia, misalnya dari ketidak seimbangan fisik /kemampuan fisik tenaga kerja,, misalnya : tidak sesuai berat  badan , kekuatan dan jangkauan, Posisi tubuh yang menyebabkan lebih lemah, kepekaan tubuh,

kepekaan panca indra terhadap bunyi, cacat fisik, cacat sementara.

Di samping itu kecelakaan bisa terjadi diakibatkan oleh ketidak seimbangan kemampuan psikologis pekerja. Misalnya adanya rasa takut / phobia, karena gangguan emosional, sakit jiwa, tingkat kecakapan, tidak mampu memahami, gerakannya lamban, keterampilan kurang. Kecelakaan juga bisa terjadi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan tentang tidakan K3,

misalnya : kurang pengalaaman, kurang orientasi, kurang latihan memahami tombol –  tombol (petunjuk lain), kurang latihan memahami data, salah pengertian terhadap suatu perintah.

Kecelakaan yang diakibatkan oleh kurangnya skill atau keterampilan kerja, misalnya : kurang mengadakan latihan praktik, penampilan kurang, kurang kreatif, salah pengertian. Kemudia hal lian yang sering terjadi akibat ada gangguan mental, misalnya emosi berlebihan,

(11)

 beban mental berlebihan, pendiam dan tertutup, problem dengan suatu yang tidak dipahami, frustasi dan sakit mental. Akibat stres fisik, antara lain : badan sakit (tidak sehat badan), beban tugas berlebihan, kurang istirahat, kelelahan sensori, kekurangan oksigen, gerakan terganggu, gula darah menurun.

2.2.3 Akibat / dampak kecelakaan kerja

Dalam kecelakaan kerja, dampak terbesar dialami oleh korban atau pelaku praktek kerja. Kerugian paling fatal bagi korban adalah jika kecelakaan itu sampai mengakibatkan ia sampai cacat tetap atau bahkan meninggal dunia. Akibat atau dampak lain dari terjadinya kecelakaan adalah dapat merugikan secara finansial, baik langsung maupun tak langsung.

Misalnya saja merugikan terhadap investasi atau modal kerja, peralatan, bahan baku, dan lingkungan kerja setempat.

2.2.3 Pencegahan Kecelakaan Kerja

Untuk mencegah kecelakaan kerja sangatlah penting diperhatikannya “Keselamatan Kerja”. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan peralatan, tempat kerja, lingkungan kerja,serta tata cara dalam melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan,baik jasmaniah maupun rohaniah manusia,yang tertuju pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pekerja pada khususnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja pada hakekatnya adalah usaha manusia dalam melindungi hidupnya dan yang berhubungan dengan itu,dengan melakukan tindakan preventif dan pengamanan terhadap terjadinya kecelakaan kerja ketika kita sedang  bekerja. Kita harus melaksanakan keselamatan kerja ,karena dimana saja,kapan saja, dan siapa

saja manusia normal,tidak menginginkan terjadinya kecelakaan terhadap dirinya yang dapat  berakibat fatal.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya usaha untuk memberikan  perlindungan keselamatan kerja pada pekerja atau karyawan dapat dilakukan dengan dua cara: (Soeprihanto,1996:48) yaitu: Pertama, melalui usaha preventif atau mencegah. Preventif atau mencegah berarti mengendalikan atau menghambat sumber-sumber bahaya yang terdapat di tempat kerja sehingga dapat mengurangi atau tidak menimbulkan bahaya bagi para karyawan. Adapun langkah-langkah pencegahan itu dapat dibedakan, yaitu :

Subsitusi (mengganti alat/sarana yang kurang/tidak berbahaya) Isolasi (memberi isolasi/alat pemisah terhadap sumber bahaya)

(12)

Pengendalian secara teknis terhadap sumber-sumber bahaya.

Pemakaian alat pelindung perorangan (eye protection, safety hat and cap, gas respirator, dust respirator, dan lain-lain).

Petunjuk dan peringatan ditempat kerja.

Latihan dan pendidikan keselamatan dan kesehatan kerja.

Kedua, usaha represif atau kuratif. Artinya, kegiatan untuk mengatasi kejadian atau kecelakaan yang disebabkan oleh sumber-sumber bahaya yang terdapat ditempat kerja. Pada saat terjadi kecelakaan atau kejadian lainnya sangat dirasakan arti pentingnya persiapan baik fisik maupun mental para karyawan sebagai suatu kesatuan atau team kerja sama dalam rangka mengatasi dan menghadapinya. Selain itu terutama persiapan alat atau sarana lainnya yang secara langsung didukung oleh pimpinan bengkel.2.3 Macam-macam Bahaya Listr ik.

2.3 Sumber bahaya listrik.

Jenis-jenis sumber bahaya yang perlu dihindari antara lain : a. Sentuh langsung

 b. Sentuh tak langsung c. Bahaya Over Load d. Bahaya Hubung Singkat e. Bahaya Tegangan Lebih f. Bahaya Tegangan Rendah g. Efek thermal

h. Pengaruh induksi gelombang elektro magnetic i. Bahaya Arus tracking

a. Sentuh Langsung

Yang dimaksud sentuh langsung adalah pada bagian aktif perlengkapan adalah sentuh langsung pada bagian aktif instalasi listrik. Bagian aktif perlengkapan atau instalasi listrik adalah bagian produktif yang merupakan bagian dar sirkuit listriknya, yang dalam keadaan kerja normal umumnya bertegangan dan dialiri arus listrik.

 b. Sentuh Tak Langsung

Adalah sentuh pada bagian produktif terbuka, perlengkapan atau instalasi listrik yang menjadi bertegangan akibat kegagalan isolasi. Kegagalan isolasi disebabkan oleh beberapa sebab antara lain:

(13)

© Pengaruh mekanik yang mengakibatkan rusaknya isolasi kabel dan terhubung dengan bagian konduktif peralatan sehingga bagian tesebut bertegangan yang seharusnya tidak bertegangan. © Menurunnya sifat isolasi dari kabel listrik pada bagian tertentu sehingga mengakibatkan timbulnya kebocoran arus yang mengenai bagian konduktif terbuka dari peralatan tersebut.

c. Bahaya Over Load

Bahaya Over Load adalah bahaya yag ditimbulkan karena adanya beban berlebih pada suatu motor, yaitu motor listrik.

d. Bahaya Hubung Singkat

Istilah dalam bahasa Inggris adalah “Short Circuit” dan “Korstluiting” adalah bahasa Belanda. Karena itu muncul istilah korsleting, korslet atau konslet, seperti yang biasa kita gunakan sehar-hari. Karena hubung singkat ini menimbulkan arus listrik yang sangat besar maka ada juga yang menggunakan istilah hubung singkat arus listrik.

Secara teknis, hubung singkat adalah gangguan yang terjadi pada sistem kelistrikan dimana ada 2 penghantar yang memiliki beda tegangan terhubung dengan kondisi hambatan listrik yang rendah sehingga timbul arus listrik yang besar.

e. Bahaya Tegangan Lebih

Tegangan berlebih merupakan peningkatan tegangan pada aliran listrik, dimana dapat menyebabkan kerusakan alat-alat listrik atau komponen elektronik, bahkan hingga terjadinya kebakaran.

Tegangan berlebih dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu : Petir

Petir merupakan kejadian alam yang sering kita jumpai, bahaya dari s ambaran petir untuk alat elektronik, dapat merusak jalur listrik , hingga menyebabkan kebakaran.

Pemakaian listrik yang tidak sesuai standar ( switching overvoltage / On-Off )

Tindakan switching ON-OFF pada alat-alat listrik yang memiliki power suply besar yang sering dilakukan.

Pada kasus hubungan arus pendek akan memicu respon circuit breaker untuk bekerja, hal ini memicu timbulnya switching atau tegangan transien.

f. Bahaya Tegangan Rendah

Bahaya Tegangan Rendah adalah bahaya yang ditujukan kepada motor listrik yang  berkaitan dengan torsi, sehingga menyebabkan motor listrik dapat rusak.

g. Efek Thermal

Adalah keadaan suhu berlebih pada instalasi atau peralatan yang sangat mungkin mengakibatkan kebakaran, luka bakar atau cidera lainnya.

(14)

Hal ini dapat terjadi karena beban listrik yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kemampuan penghantaran atau adanya hubungan pendek. Kenaikan suhu ini bila berlangsung relatif lama dan bila menyentuh pada bagian yang mudah terbakar akan menjadi pemicu terjadinya kebakaran.

a. Gelombang Elektromagnetik

Adalah segala proses berantai dari pembentukan medan magnet dan medan listrik yang menjalar kesegala arah secara terus menerus.

 b. Arus Tracking

Arus Tracking adalah arus rambat,, Tracking adalah suatu gejala atau kejadian alam, di mana suatu lapisan konduktif didirikan (established) di atas permukaan bahan isolasi. Bila terdapat kerusakan pada isolasi kabel, maka pada mulanya arus yang sangat kecil (miliamps atau microamps) secara sebentar-bentar (intermittant) mengalir di atas permukaan bahan isolasi.

Percikan api yang terjadi karena kesalahan isolasi ini sangat minimal dan gejala tersebut dapat berjalan sangat lama, berbulan-bulan kadang-kadang bertahun-tahun. Jadi tiap-tiap waktu arus mengalir di atas permukaan bahan isolasi, bila sifatnya organik, akan terjadi karbonasi, tetapi sangat sedikit.

Bila lembab bertemu dengan kotoran (debu yang kotor di atas permukaan isolasi), maka akan menghasilkan hubungan konduktif jembatan. Dalam keadaan tersebut, arus rambat (creepage current) yang juga disebut arus tracking akan mengalir dalam tiap-tiap peristiwa tersebut dan kerusakan yang terjadi karenanya akan menambah sampai arus tracking dipertahankan

2.3.2 Upaya Pengendalian Sumber Bahaya

Untuk mencegah terjadi kecelakaan maka diperlukan upaya pengendalian sumber bahaya terhadap obyek-obyek pengawasan yang ada. Langkah-langkah pengendalian tersebut : 1. Pengendalian Administratif.

2. Pengendalian terhadap obyek : ü Pemeriksaan berkala

ü Perawatan berkala

3. Pengendalian terhadap manusia : ü Pendidikan

(15)

Pengendalian Administratif

Pengendalian ini merupakan gabungan dari pengendalian obyek dan manusia . Dimana

 pengendalian ini dimulai sejak tahap tempat kerja atau calon obyek pengawasan dilakukan : 1. Perencanaan 2. Pemasangan 3. Pemakaian 4. Palayanan 5. Pemeliharaan 2.4 Instalasi Listrik

2.4.1 Tujuan Instalasi Listrik

Tujuan khusus K3 bidang listrik antara lain adalah:

a. Menjamin kehandalan instalasi listrik sesuai penggunaannya dalam peraturan instalasi listrik dikenal 3 prisip dasar instalasi listrik yaitu handal, aman, dan ekonomis. Handal artinya sistem instalasi dirancang dengan baik, sehingga jarang terdapat gangguan; atau saat ada gangguan dari luar, sistem dapat mengatasinya dengan baik. Aman artinya tidak membahayakan bagi manusia, instalasi itu sendiri, dan lingkungan sekitar. Dengan menerapkan keamanan dan keselamatan kerja tanpa mengabaikan nilai ekonomis suatu instalasi listrik, maka ketiga prinsip tadi akan terpenuhi.

 b. Mencegah timbulnya bahaya akibat listrik:

Bahaya sentuhan langsung yaitu bahaya sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal  bertegangan.

Bahaya sentuhan tidak langsung yaitu bahaya akibat sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal tidak bertegangan, menjadi bertegangan karena kegagalan isolasi.

Bahaya kebakaran biasanya terjadi akibat adanya percikan api dari hubung singkat. Namun dalam beberapa kasus, kebakaran juga timbul akibat efek thermal dari sebuah penghantar dengan tingkat resistansi tinggi yang dialiri arus dala m waktu yang cukup lama.

(16)

2.4.2 Perencanaan Instalasi Listrik.

Dalam perencanaan instalasi listrik faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah sebagai

 berikut :

a. Karakteristik suplai

Jenis arus, jenis dan jumlah penghantar, nilai dan toleransi dari tegangan, frekuensi, arus maximum yang diperbolehkan dan hubungan pendek, tindakan proteksi yang melekat pada suplai, misalnya kawat netral atau kawat ground.

 b. Macam keutuhan akan listrik :

Jumlah dan jenis sirkit yang diperlukan untuk penerangan, daya, kendali, sinyal, telekomunikasi dan lain-lain.

c. Kondisi lingkungan.

Selain itu perencanaan instalasi harus menjamin

1. Keselamatan manusia dan ternak dan keamanan harta benda dari :

Arus kejut listrik dan suhu berlebih yang sangat memungkinkan terjadi kebakaran, luka bakar atau efek cidera lain.

2. Berfungsinya instalasi listrik dengan baik sesuai dengan maksed penggunaannya.

2.4.3. Pemasangan Instalasi Listrik

Dalam pelaksanaannya pemasangan instalasi listrik, instalatur harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1. Harus sesuai dengan gambar rancangan

2. Mengindahkan syarat-syarat yang telah ditetapkan. 3. Menggunakan tenaga kerja yang terlatih.

4. Bertanggung jawab dan menjaga keselamatan dan kesehatan tenaga kerj anya.

5. Orang yang diserahi tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan pemasangan instalasi listrik harus ahli dibidang listrik.

2.4.4 Pemakaian Instalasi Listrik

Instalasi listrik dapat dialiri listrik setelah diadakan pemeriksaan dan pengujian dengan hasil yang baik. Meskipun instalasi sudah dinilai baik, instalatur tetap terikat ketentuan tanggung jawab selama instalasi tersebut tidak dirubah baik oleh pengguna maupun instalatur lain atas kecelakaan termasuk kebakaran yang menjadi akibat kesalahan  pemasangan instalasi. Jika terjadi kecelakaan yang disebabkan karena adanya perubahan dan

(17)

 penambahan instalasi oleh pengguna atau pamasang instalasi lain, untuk pelaksana instalasi yang terdahulu dibebaskan dari tanggung jawab.

2.4.5 Pelayanan Instalasi Iistrik

Pelayanan instalasi listrik harus dilakukan sedemikian rupa sehingga aman bagi yang melayani, aman bagi instalsai dan instalasi berfungsi dengan baik serta keandalan yang disalurkan terjamin. Yang dimaksud dengan pelayanan instalasi listrik ialah sistim yang mencakup antara lain menyalurkan, mengatur, membagi, dan memutuskan arus listrik.

2.4.6 Pemeliharaan Instalasi Listrik

Pemeliharaan instalasi listrik meliputi program pemeriksaan, perawatan, perawatan,  perbaikan dan uji ulang berdasarkan petunjuk pemeliharaan yang sudah ditentukan. Agar  penggunaan serta kerusakan mudah diketahui, dicegah dan diperkecil. Tujuannya agar

instalasi listrik berfungsi dengan baik.

Karena instalasi mengalami keausan, penuaan, atau kerusakan yang akan mengganggu instalasi maka secara berkala instalasi harus diperiksa dan diperbaiki dan bagian yang aus, rusak, atau mengalami penuaan harus diganti.

2.5 Instalasi Penyalur Petir 2.5.1 Timbulnya Petir

Kilat atau halilinar adalah suatu kejadian/gejala listrik di atmosfir. Gejala ini timbul karena adanya kondensasi dari uap air dan adanya kenaikan arus udara yang kuat. Karena adanya kondensasi maka timbul titik-titik air . Titik-titik air ini dibawa oleh arus udara naik. Titik-titik air kecil akan naik lebih cepat dari pada yang besar. Gesekan ini akan menimbulkan awan yang bermuatan listrik. Kalau muatan terus bertambah lama kelamaan kuat medan antara awan dan bumi akan menjadi semakin besar. Sehingga akan terjadi pelepasan muatan terhadap bumi.

2.5.2 Bahaya Sambaran Petir

Petir selalu mencari jalan yang paling mudah ketanah, misalnya lewat lapisan udara yang lembab dan terionisasi. Bangunan-bangunan yang tinggi paling besar kemungkinan terkena sambaran petir.

(18)

Pengamanan terhadap sambaran petir perlu, terutama pada : 1. Bangunan yang sangat tinggi dan bangunan yang letaknya terpencil didataran terbuka. 2. Bangunan-bangunan yang atapnya mudah terhakar.

3. Bangunan-bangunan yang menyimpan barang yang mudah meledak dan mudah terbakar.

Pemeriksaan Berkala (Instalasi Listrik, Instalasi Petir)

Dalam pemeriksaan berkala ini yang membedakan adalah jangka waktu pada saat  pemeriksaan pertama dilakukan. Untuk instalasi listrik jangka waktu pemeriksaan berkala

4-5 tahun, petir 2 tahun.

2.6 Peraturan Perundang-undangan Terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3) 2.6.1 Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Secara Umum

Berikut adalah beberapa Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Secara umum: UU  No. 1 Tahun 1970

Tentang: Keselamatan Kerja Pasal 3.

(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk : a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;

 b. mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;

d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;

e. memberi pertolongan pada kecelakaan;

f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;

g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;

(19)

h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan;

i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;  j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;

k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup; l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;

m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja alat kerja,lingkungan kerja, cara dan proses kerja.

n. mengamankan dan memperlancar   pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;

o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;

 p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan penyimpanan barang;

q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;

r. menyesuaikan danmenyempurnakan pengamanan  pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

(2) Dengan peraturan  perundangan dapat dirubah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.

Pasal 9.

(3) Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahankecelakaan dan  pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula

(20)

Permennakertrans No.Per.03/Men/1982 Tentang: Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja

Pasal 2 Tugas pokok pelayanan Kesehatan Kerja meliputi:

a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus.

 b. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja. c. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja.

d. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitair.

e. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja. f. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit akibat kerja. g. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.

h. Pendidikan Kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.

i. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan di tempat kerja.

 j. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

k. Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai kelainan tertentu dalam kesehatannya.

(21)

Undang-undang No. 3 Tahun 1969

Pasal 19 : Setiap badan , lembaga atau dinas pemberi jasa, atau bagiannya yang tunduk kepada konvensi ini, dengan memperhatikan besarnya dan kemungkinan bahaya harus :

Menyediakan Apotik atau pos P3K sendiri atau Memelihara apotik atau pos P3K bersama-sama dengan badan, lembaga atau kantor pemberi jasa atau bagiannya.Mempunyai satu atau lebih lemari, kotak atau perlengkapan P3K 

Permennakertrans No.Per.15/Men/1982

Tentang: Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di Tempat Kerja Pasal 2

(1) Pengusaha wajib menyediakan petugas P3K dan fasilitas P3K di tempat kerja. (2) Pengurus wajib melaksanakan P3K di tempat kerja.

Pasal 3

(1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memiliki lisensi dan buku kegiatan P3K dari Kepala Instansi yang bertanggungjawab di  bidang ketenagakerjaan setempat.

(2) Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;  b. Sehat jasmani dan rohani;

c. Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K;

d. memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat pelatihan.

(3) Pemberian lisensi dan buku kegiatan P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.

(22)

Pasal 4

Petugas P3K dalam melaksanakan tugasnya dapat meninggalkan pekerjaan utamanya untuk memberikan pertolongan bagi pekerja/buruh dan/atau orang lain yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja.

Pasal 5

(1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 ayat (1), ditentukan berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja, dengan rasio sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

(2) Pengurus wajib mengatur tersedianya Petugas P3K pada :

a. Tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter lebih sesuai jumlah  pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;

 b. Tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai jumlah  pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;

c. Tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi  bahaya di tempat kerja.

Pasal 8

(1) Fasilitas P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi : a. Ruang P3K;

 b. Kotak P3K dan isi;

c. Alat evakuasi dan alat transportasi; dan

d. Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau  peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi  bahaya yang bersifat khusus.

(23)

(2) Alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan peralatan yang disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja yang digunakan dalam keadaan darurat.

(3) Peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa alat untuk  pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata.

Pasal 9

(1) Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dalam hal :

a. Mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih;  b. Mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 100 orang

dengan potensi bahaya tinggi.

(2) Persyaratan ruang P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. Lokasi ruang P3K :

1. Dekat dengan toilet/kamar mandi; 2. Dekat jalan keluar;

3. Mudah dijangkau dari area kerja; dan 4. Dekat dengan tempat parkir kendaraan.

 b. Mempunyai luas minimal cukup unruk menampung satu tempat tidur pasien dan masih terdapat ruang gerak

 bagi seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas P3K lainnya;

c. Bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan yang cukup lebar untuk memindahkan korban;

(24)

e. Sekurang-kurangnya dilengkapi dengan : 1. Wastafel dengan air mengalir;

2. Kertas tissue/lap; 3. Usungan/tandu; 4. Bidai/spalk;

5. Kotak P3K dan isi;

6. Tempat tidur dengan bantal dan selimut;

7. Tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu dan/atau kursi roda; 8. Sabun dan sikat;

9. Pakaian bersih untuk penolong; 10. Tempat sampah;

11. Kursi tunggu bila diperlukan.

2.6.2 Peraturan Perundang-undangan Terkait K3 Listrik 

Berikut adalah Peraturan perundang-undangan terkait K3 Listrik:

- PERMENAKERTRANS No Kep 75/Men/2002 Tentang Pemberlakuan PUIL 2000 - PERMENAKER No. PER 02/MEN/1989 Tentang Instalasi Penyalur Petir

Dari dua peraturan di atas, penulis hanya akan membahas PERMENAKER No. PER  02/MEN/1989 Tentang Instalasi Penyalur Petir.

(25)

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

a.Direktur ialah Pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

 b.Pegawai Pengawas ialah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja;

c. Ahti Keselamatan Kerja ialah Tenaga Tehnis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatin ya Undang-undang No. l Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

d.Pengurus ialah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab penuh terhadap tempat kerja atau bagiannya,yang berdiri sendiri;

e.Pengusaha ialah orang atau badan hukum seperti yang dimaksud pasal 1 a yat (3) Undang-undang No. I Tahun 1970;

f. Tempat kerja ialah tempat sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (1) Undang undang No. 1 Tahun 1970;

g.Pemasang instalasi penyalur petir yang selanjutnya disebut Instalasi ialah badan hukum yang melaksanakan pemasangan instalasi penyalur petir;

h.Instalasi penyalur petir ialah seluruh susunan sarana penyalur petir terdiri atas penerima (Air Terminal/Rod), Penghantar penurunan (Down Conductor), Elektroda Bumi (Earth Electrode) termasuk perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan berfungsi untuk menangkap muatan petir dan menyalurkannya kebumi;

i.Penerima ialah peralatan dan atau penghantar dari logam yang menonjol lurus keatas dan atau mendatar guna menerima petir;

(26)

 j.Penghantar penurunan ialah penghantar yang menghubungkan penerima dengan elektroda  bumi;

k.Elektroda bumi ialah bagian dari instalasi penyalur petir yang ditanam dan kontak langsung dengan bumi;

l.Elektroda kelompok ialah beberapa elektroda bumi yang dihubungkan satu dengan lain sehingga merupakan satu kesatuan yang hanya disambung dengan satu penghantar

 penurunan;

m.Daerah perlindungan ialah daerah dengan radius tertentu yang termasuk dalam  perlindungan instalasi penyalur petir;

n.Sambungan ialah suatu kontruksi guna menghubungkan secara listrik antara penerima dengan penghantar penurunan, penghantar penurunan dengan penghantar penurunan dan  penghantar penurunan dengan elektroda bumi, yang dapat berupa las, klem atan kopeling;

o.Sambungan ukur ialah sambungan yang terdapat pada penghantar penurunan dengan

sistem pembumian yang dapat dilepas untuk memudahkan pengukuran tahanan pembumian;  p.Tahanan pembumian ialah tahanan bumi yang harus dilalui oleh arus listrik yang berasal

dari petir pada waktu peralihan, dan yang mengalir dari elektroda bumi kebumi dan pada  penyebarannya didalam bumi;

q.Massa logam ialah massa logam dalam maupun massa logam luar yang merupakaa satu kesatuan yang berada didalam atau pada bangunan, misalnya perancah-perancah baja, lift, tangki penimbun, mesin, gas dan pemanasan dari logam dan penghantar penghantar listrik. Pasal 2

(1) Instalasi penyalur petir harus direncanakan, dibuat, dipasang dan dipelihara sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan atau standart yang diakui;

(2) Instalasi penyalur petir secara umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a.kemampuan perlindungan secara tehnis;

(27)

c.ketahanan terhadap korosi;

(3) Bahan dan konstruksi instalasi penyalur petir harus kuat dan memenuhi syarat,

(4) Bagian-bagian instalasi penyalur petir harus memiliki tanda hasil pengujian dam atau sertifikat yang diakui.

Pasal 3

Sambungan-sambungan harus merupakan suatu sambungan elektris, ti dak ada kemungkinan terbuka dan dapat menahan kekuatan tarik sama dengaa sepuluh kali berat penghantar yang menggantung pada sambungan itu.

Pasal 4

(1) Penyambungan dilakukan dengan cara: a. dilas.

 b.diklem (plat k1em, bus kontak klem) dengan panjang sekurang-kurangnya 5 cm; c.disolder dengan panjang sekurang-kurangnya 10 cm dan khusus untuk peng-hantar   penurunan dari pita harus dikeling.

(2) Sambungan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak berkarat;

(3) Sambungan-sambungan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat diperiksa dengan mudah.

Pasal 5

Semua penghantar penurunan petir harus dilengkapi dengan sambungan pada tempat yang mudah dicapai.

Pasal 6

(1) Pemasangan instalasi penyalur petir harus dilakukan oleh Instalatir yang telah mendapat  pengesahan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya;

(2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(28)

Pasal 7

Dalam hal pengaruh elektrolisa dan korosi tidak dapat dicegah maka semua bagian instalasi harus dibalut dengan timah atau cara lain yang sama atau memperbaharui bagiau-bagiannya dalam waktu tertentu.

BAB II

RUANG LINGKUP Pasal 8

Yang diatur oleh Peraturan Menteri ini adalah Instalasi Penyalur Petir non radioaktip di tempat kerja.

Pasal 9

(1)Tempat kerja sebagaimana dimaksud pasal 8 yang perlu dipasang instalasi penyalur petir antara lain:

a. Bangunan yang terpencil atau tinggi dan lebih tinggi dari pada hangunan sekitarn ya seperti: menara-menara, cerobong, silo, antena pemancar, monumen dan lain-lain;  b.Bangunan dimana disimpan, diolah atau digunakan bahan yang mudah meledak atau

terbakar seperti pabrik-pabrik amunisi, gudang penyimpanan bahan peledak dan lain-lain; c. Bangunan untuk kepentingan umum seperti: tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, gedung  pertunjukan, hotel, pasar, stasiun, candi dan lain-lain;

d.Bangunan untuk menyimpan barang barang yang sukar diganti seperti: museum,  perpustakaan, tempat penyimpanan arsip dan lain-lain;

e. Daerah-daerah terbuka seperti: daerah perkebunan, Padang Golf, Stadion Olah Raga dan tempat-tempat lainnya.

(2)Penetapan pemasangan instalasi pcnyalur petir pada tempat kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan memperhitungkan angka index seperti tercantum dalam lampiran 1

(29)

BAB III

PENERIMA (AIR TERMINAL) Pasal 10

(1) Penerima harus dipasang ditempat atau bagian yang diperkirakan dapat tersambar  petir dimana jika bangunan yang terdiri dari bagian-bagian seperti bangunan yang

mempunyai menara, antena, papan reklame atau suatu blok bangunan harus dipandang sebagai suatu kesatuan;

(2) Pemasangan penerima pada atap yang mendatar harus benar-benar menjamin bahwa seluruh luas atap yang bersangkutan termasuk dalam daerah perl indungan;

(3) Penerima yang dipasang diatas atap yang datar sekurang-kurangnya lebih tinggi 15 cm dari pada sekitarnya;

(30)

Pasal 11

Sebagai penerima dapat digunakan:

a.logam bulat panjang yang terbuat dari tembaga;

 b.hiasan-hiasan pada atap, tiang-tiang, cerobong-cerobong dari logam yang disambung baik dengan instalasi penyatur petir;

c. atap-atap dari logam yang disambung secara elektris dengan baik. Pasal 12

Semua bagian bangunan yang terbuat dari bukan logam yang dipasang menjulang ke atas dengan tinggi lebih dari 1 (satu) meter dari atap harus dipasang penerima tersendiri. Pasal 13

Pilar beton bertulang yang dirancangkan sebagai penghantar penurunann untuk suatu instalasi  penyalur petir, pilar beton tersebut harus dipasang menonjol di atas atap dengan mengingat

ketentuan-ketentuan penerima, syarat-syarat sambungan dan elektroda bumi. Pasal 14

(1) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima dengan jenis Franklin dan sangkar Faraday yang berhentuk runcing adalah suatu kerucut yang mempunyai sudut puncak 112° (seratus dua belas);

(3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima yang berbentuk penghantar

mendatar adalah dua bidang yang saling memotong pada kawat itu dalam sudut 112° (seratus dua belas);

(3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima jenis lain adalah sesuai dengan ketentuan tehnis dari masing-masing penerima;

(31)

BAB IV

PENGHANTAR PENURUNAN Pasal 15

(1) Penghantar penurunan harus dipasang sepanjang bubungan (nok) dan atau sudut-sudut  bangunan ke tanah sehingga penghantar penurunan merupakan suatu sangkar dari bangunan

yang akan dilindungi.

(2) Penghantar penurunan harus dipasang secara sempuma dan harus diperhitungkan  pemuaian dan penyusutannya akibat perubahan suhu;

(3)Jarak antara alat-alat pemegang penghantar penurunan satu dengan yang lainnya tidak  boleh lebih dari 1,5 meter;

(4) Penghantar penurunan harus dipasang lurus kebawah dan jika terpaksa dapat mendatar atau melampaui penghalang;

(5) Penghantar penurunan harus dipasang dengan jarak tidak kurang 15 cm dari atap yang dapat terbakar kecuali atap dari logam, genteng atau batu;

(6) Dilarang memasang penghantar penurunan di bawah atap dalam bangunan. Pasal 16

Semua bubungan (nok) harus dilengkapi dengan penghantar penurunan, dan untuk at ap yang datar harus dilengkapi dengan penghantar penurunan pada sekeliling pinggirnya, kecuali persyaratan daerah perlindungan terpenuhi.

Pasal 17

(1) Untuk mengamankan bangunan terhadap loncatan petir dari pohon yang letaknya dekat bangunan dan yang diperkirakan dapat tersambar petir, bagian bangunan yang terdekat dengan pohon tesebut harus dipasang penghantar penurunan;

(32)

(2) Penghantar penurunan harus selalu dipasang pada bagian-bagian yang menonjol yang diperkirakan dapat tersambar petir;

(3) Penghantar penurunan harus dipasang sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan mudah dan tidak mudah rusak.

Pasal 18

(1) Penghantar penurunan harus dilindungi terhadap kerusakan-kerusakan mekanik, pengaruh cuaca, kimia (elektrolisa) dan sebagainya.

(2) Jika untuk melindungi penghantar penurunan itu dipergunakan pipa logam, pipa

tersebut pada kedua ujungnya harus disambungkan secara sempurna baik elektris maupun mekanis kepada penghantar untuk mengurangi tahanan induksi.

Pasal 19

(1) Instalasi penyalur petir dari suatu bangunan paling sedikit harus mempunyai 2 (dua) buah  penghantar penurunan;

(2) Instalasi penyalur petir yang mempunyai lebih dari satu penerima, d ari penerima tersebut harus ada paling sedikit 2 (dua) buah penghantar penurunan;

(3) Jarak antara kaki penerima dan titik pencabangan penghantar penurunan paling besar 5 (lima) meter.

Pasal 20

Bahan penghantar penurunan yang dipasang khusus harus digunakan kawat tembaga atau  bahan yang sederajat dengan ketentuan :

a.penampang sekurang-kurangnya 50 mm’.;

(33)

Pasal 21

(1) Sebagai penghantar penurunan petir dapat digunakan bagian-bagian dari atap, pilar-pilar, dinding-dinding, atau tulang-tulang baja yang mempunyai massa logam yang baik;

(2) Khusus tulang-tulang baja dari kolom beton harus memenuhi syarat, kecuali; a. Sudah direncanakan sebagai penghantar penurunan dengan memperhatikan syarat-syarat sambungan yang baik dan syarat-syarat-syarat-syarat lainnya;

 b.Ujung-ujung tulang baja mencapai garis permukaan air dibawah tanah sepanjang waktu. (3) Kolom beton yang bertulang baja yang dipakai sebagai penghantar penurunan

harus digunakan kolom beton bagian luar. Pasal 22

Penghantar penurunan dapat digunakan pipa penyalur air hujan dari logam yang dipasang tegak dengan jumlah paling banyak separuh dari jumlah penghantar penurunan yang diisyaratkan dengan sekurang-kurangnya dua buah merupakan penghantar p enurunan khusus.

Pasal 23

(1)Jarak minimum antara penghantar penurunan yang satu dengan yang lain diukur sebagai berikut;

a.pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter maximum 20 meter;  b.pada bangunan yang tingginya antara 25 –  50 meter maka jaraknya {30 –  (0,4

x tinggi bangunan) }

c.pada bangunan yang tingginya lebih dari 50 meter maximum 10 meter.

(2) Pengukuran jarak dimaksud ayat (I) dilakukan dengan menyusuri keliling bangunan. Pasal 24

Untuk bangunan-bangunan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak sama tingginya, tiap-tiap bagian harus ditinjau secara tersendiri sesuai pasa1 23 kecuali bagian banguna

(34)

yang tingginya kurang dari seperempat tinggi bangunan yang tertinggi, tingginya kurang dari 5 meter dan mempunyai luas dasar kurang dari 50 meter persegi.

Pasal 25

(1) Pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter dan mempunyai bagian-bagian yang menonjol kesamping harus dipasang beberapa penghantar penurunan dan tidak menurut ketentuan pasal 23;

(2) Pada bangunan yang tingginya lebih dari 25 meter, semua bagian-ba gian yang menonjol ke atas harus dilengkapi dengan penghantar penurunan kecuali untuk menara-menara.

Pasal 26

Ruang antara bangunan-bangunan yang menonjol kesamping yang merupakan ruangan yang sempit tidak perlu dipasang penghantar penurunan jika penghantar penurunan yang dipasang  pada pinggir atap tidak terputus.

Pasal 27

(1)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Franklin dan sangkar Faraday, jenis- jenis bahan untuk penghantar dan pembumian dipilih sesuai dengan daftar pada lampiran II

Peraturan Menteri ini;

(2)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Elektrostatic dan atau jenis lainnya,  jenis-jenis bahan untuk penghantar dan pembumian dapat menggunakan bahan sesuai

dengan daftar pada lampiran II Peraturan Menteri ini dan atau jenis lainnya sesuai dengan standard yang diakui;

(3)Penentuan bahan dan ukurannya dari ayat (l) dan ayat (2) pasal ini, ditentukan

 berdasarkan beberapa faktor yaitu ketahanan mekanis, ketahanan terhadap pengaruh kimia terutama korosi dan ketahanan terhadap pengaruh lingkungan lain dalam batas s tandard yang diakui;

(4) Semua penghantar dan pengebumian yang digunakan harus dibuat dari bahan yang memenuhi syarat, sesuai dengan standard yang diakui.

(35)

BAB V

PEMBUMIAN Pasal 28

(1) Elektroda bumi harus dibuat dan dipasang sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian sekecil mungkin;

(2) Sebagai elektroda bumi dapat digunakan:

a.tulang-tulang baja dari lantai-lantai kamar dibawah bumi dan tiang pancang yang sesuai dengan keperluan pembumian;

 b.pipa-pipa logam yang dipasang dalam bumi secara tegak;

c. pipa-pipa atau penghantar lingkar yang dipasang dalam bumi secara mendatar, d.pelat logam yang ditanam;

e.bahan logam lainnya dan atau bahan-bahan yang cara pemakaian menurut ketentuan  pabrik pembuatnya.

(3) Elektroda bumi tersebut dalam ayat (2) harus dipasang sampai mencapai air dalam bumi. Pasal 29

(1) Elektroda bumi dapat dibuat dari:

a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn (Zincum) dan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3,25 mm;

 b.Batang baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah sekurang-kurangnya 19 mm; c.Pita baja yang disepuh dengan Zn yang tebalnya sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm;

(2) Untuk daerah-daerah yang sifat korosipnya lebih besar, elektroda bumi harus dibuat dari: a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah dalam sekurang-kurangnya 50 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3,5 mm;

(36)

atau bahan yang sederajat dengan garis tengah daIam sekurang-kurangnya 16 mm dan tebal sekurang-kurangnya 3 mm;

c.Batang baja yang disepuh dengan Zn dengan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm; d.Batang tembaga atau bahan yang sederajat atau batang baja yang disalur dengan

tembaga atau yang sederajat dengan garis tengah sekurang-kurangnya 16 mm; e.Pita baja yang disepuh dengan Zn dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm.

Pasal 30

(1)Masing-masing penghantar penurunan dari suatu instalasi penyalur petir yang mempunyai beberapa penghantar penurunan harus disambungkan dengan elektroda kelompok;

(2) Panjang suatu elektroda bumi yang dipasang tegak dalam bumi tidak boleh kurang dari 4 meter, kecuali jika sebahagian dari elektroda bumi itu sekurang-kurangnya

2 meter dibawah batas minimum permukaan air dalam bumi;

(3)Tulang-tulang besi dari lantai beton dan gudang dibawah bumi dan tiang pancang dapat digunakan sebagai elektroda bumi yang memenuhi syarat apabila sebahagian dari tulang-tulang besi ini berada sekurang-kurangnya l (satu) meter dibawah permukaan air dalam  bumi; (4)Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar harus ditanam

sekurang-kurangnya 50 cm didalam tanah. Pasal 31

Elektroda bumi dan elektroda kelompok harus dapat diukur tahanan pembumiannya secara tersendiri maupun kelompok dan pengukuran dilakukan pada musim kemarau. PASAL 32

Jika keadaan alam sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian tidak dapat tercapai secara tehnis, dapat dilakukan cara sebagai berikut:

(37)

a.masing-masing penghantar penurunan harus disambung dengan penghantar lingkar yang ditanam lengkap dengan beberapa elektroda tegak atau mendatar sehingga jumlah tahanan  pembumian bersama memenuhi syarat;

 b.membuat suatu bahan lain (bahan kimia dan sebagainya) yang ditanam bersama dengan elektroda sehingga tahanan pembumian memenuhi syarat.

Pasal 33

Elektroda bumi yang digunakan untuk pembumian instalasi listrik tidak boleh digunakan untuk pembumian instalasi penyalur petir.

Pasal 34

(1) Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar dapat dibuat dari pita baja yang disepuh Zn dengan tebal sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm atau dari bahan yang sederajat;

(2) Untuk daerah yang sifat korosipnya lehih besar, elektroda burni mendatar atau penghantar lingkar harus dibuat dari:

a.Pita baja yang disepuh Zn dengan ukuran lebar sekurang-kurangnya 25 mm dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm atau dari bahan yang sederajat;

 b. Tembaga atau bahan yang sederajat, bahan yang disepuh dengan tembaga atau bahan yang sederajat, dengan luas penampang sekurang-kurangnya 50 mm dan bila bahan itu berbentuk  pita harus mempunyai tebal sekurang-kurangnya 2 mm;

c.Elektroda pelat yang terbuat dari tembaga atau hahan yang sederajat dengan luas satu sisi  permukaan sekurang-kurangnya 0,5 m dan tebal sekurang-kurangnya 1 mm. jika berbentuk

(38)

BAB VI MENARA Pasal 35

(1) Instalasi Penyalur Petir pada bangunan yang menyerupai menara seperti menara air, silo, masjid, gereja, dan lain-lain harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.Bahaya meloncatnya  petir; b.Hantaran listrik;

c.Penempatan penghantar;

d.Daya tahan terhadap gaya mekanik;

e.Sambungan-sambungan antara massa logam dari suatu bangunan.

(2) Instalasi penyalur petir dari menara tidak boleh dianggap dapat melindungi bangunan  bangunan yang berada disekitarnya.

Pasal 36

(l) Jumlah dan penempatan dari penghantar penurunan pada bagian luar dari menara harus diselenggarakan menurut pasal 23 ayat (1);

(2) Didalam menara dapat pula dipasang suatu penghantar penurunan untuk

memudahkan penyambungan-penyambungan dari bagian-bagian logam menara itu. Pasal 37

Menara yang seluruhnya terbuat dari logam dan dipasang pada pondasi yang tidak dapat menghantar, harus dibumikan sekurang-kurangnya pada dua tempat dan pada jar ak yang sama diukur menyusuri keliling menara tersebut.

Pasal 38

Sambungan-sambungan pada instalasi penyalur petir untuk menara harus betul-betul diperhatikan terhadap sifat korosip dan elektrolisa dan harus secara dilas karena kesukaran pemeriksaan dan pemeliharaannya.

(39)

BAB VII

BANGUNAN YANG MEMPUNYAI ANTENA Pasal 39

(1)Antena harus dihubungkan dengan instalasi penyalur peti r dengan menggunakan

 penyalur tegangan lebih, kecuali jika antena tersebut berada dalam daerah yang dilindungi dan penempatan antena itu tidak akan menimbulkan loncatan bunga api;

(2)Jika antena sudah dibumikan secara tersendiri, maka tidak perlu dipasang  penyalur tegangan lebih;

(3)Jika antena dipasang pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, antena harus dihubungkan kebumi melalui penyalur tegangan lebih.

Pasa1 40

(1) Pemasangan penghantar antara antena dan instalasi penyalur petir atau dengan bumi harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga bunga api yang timbul karena aliran besar tidak dapat menimbulkan kerusakan;

(2) Besar penampang dari penghantar antara antena dengan penyalur tegangan lebih,  penghantar antara tegangan lebih dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda  bumi harus sekurang-kurangnya 2,5 mm”;

(3) Pemasangan penghantar antara antena dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda bumi harus dipasang selurus mungkin dan penghantar tersebut dianggap sebagai penghantar penurunan petir.

Pasa1 41

(1) Pada bangunan yang mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan lebih antara antena dengan instalasi penyalur petir harus pada tempat yang tertinggi;

(2) Jika suatu antena dipasang pada tiang logam, tiang tersebut harus dihubungkan dengan instalasi penyalur petir;

(40)

Pasa1 42

(1) Pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan lebih antara antena dengan elektroda bumi harus dipasang diluar bangunan;

(2) Jika antena dipasang secara tersekat pada suatu tiang besi, tiang besi ini harus dihubungkan dengan bumi.

BAB VIII

CEROBONG YANG LEBIH TINGGI DARI 10 M Pasal 43

(1) Pemasangan instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lain yang mempunyai ketinggian lebih dari 10 meter harus diperhatikan keadaan seperti dibawah ini : a.Timbulnya karat akibat adanya gas atau asap terutama untuk bagian atas dari instalasi;  b.Banyaknya penghantar penurunan petir;

c.Kekuatan gaya mekanik.

(2) Akibat kesukaran yang timbul pada pemeriksaan dan pemeliharaan, pelaksanaan

 pemasangan dari instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lainnya harus diperhitungkan juga terhadap korosi dan elektrolisa yang mungkin terjadi.

Pasa1 44

Instaiasi penyalur petir yang terpasang dicerobong tidak boleh dianggap dapat bangunan yang berada disekitarnya.

Pasa1 45

(1)Penerima petir harus dipasang menjulang sekurang-kurangnya 50 cm diatas  pinggir cerobong;

(2) Alat penangkap bunga api dan cincin penutup pinggir bagian puncak cerobong dapat digunakan sebagai penerima petir;

(41)

dipasang pada pinggir atas dari cerobong atau sekeliling pinggir bagian luar, dengan jarak tidak lebih dari 50 cm dibawah puncak cerobong;

(4) Jarak antara penerima satu dengan lainnya diukur sepanjang keliling cerobong paling  besar 5 meter. Penerima itu harus dipasang dengan jarak sa ma satu dengan lainnya pada

sekelilingnya;

(5)Batang besi, pipa besi dan cincin besi yang digunakan sebagai penerima harus dilapisi dengan timah atau bahan yang sederajat untuk mencegah korosi.

Pasal 46

(1) Pada tempat-tempat yang terkena bahaya termakan asap, uap atau gas sedapat mungkin dihindarkan adanya sambungan;

(2) Sambungan-sambungan yang terpaksa dilakukan pada tempat-tempat ini, harus dilindungi secara baik terhadap bahaya korosi;

(3)Sambungan antara penerima yang dipasang secara khusus dan penghantar penurunan harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 meter dibawah pinggir puncak dari cerobong.

Pasal 47

(1)Instalasi penyalur petir dari cerobong sekurang-kurangnya harus mempunyai 2 (dua)  penghantar penurunan petir yang dipasang dengan jarak yang sama satu dengan yang

lain; (2)Tiap-tiap penghantar penurunan harus disambungkan langsung dengan penerima. Pasal 48

(1)Cerobong dari logam yang berdiri tersendiri dan ditempatkan pada suatu pondasi yang tidak dapat menghantar harus dihubungkan dengan tanah;

(2)Sabuk penguat dari cerobong yang terbuat dari logam harus di sambung secara kuat dengan penghantar penurunan.

Pasal 49

(42)

 pada alat penahan ditanah dengan menggunakan elektroda bumi sepanjang 2meter; (2)Kawat penopang atau penarik yang dipasang pada bangunan yang dilindungi harus disambungkan dengan instalasi penyalur petir bangunan itu.

BAB IX

PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN Pasal 50

(I)Setiap instalasi penyalur petir dan bagian-bagiannya harus dipelihara agar selalu  bekerja dengan tepat, aman dan memenuhi syarat;

(2)Instalasi penyalur petir harus diperiksa dan diuji:

a.Sebelum penyerahan instalasi penyalur petir dari instalatir kepada pemakai;

 b.Setelah ada perubahan atau perbaikan suatu bangunan dan atau instalasi penyalur  petir; c.Secara berkala setiap dua tahun sekali; d.Setelah ada kerusakan akibat sambaran  petir;

Pasal 51

(1)Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyalur petir dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk;

(2)Pengurus atau pemilik instalasi penyalur petir berkewajiban membantu pelaksanaan  pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan

kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk termasuk penyedian alat-alat bantu. Pasa1 52

Dalam pemeriksaan berkala harus diperhatikan tentang hal-hal sebagai berikut: a.elektroda bumi, terutama pada jenis tanah yang dapat menimbulkan karat;  b.kerusakan-kerusakan dan karat dari penerima, penghantar dan sebagainya;

c. sambungan-sarnbungan;

(43)

Pasa1 53

(1) Setiap diadakan pemeriksaan dan pengukuran tahanan pembumian harus dicatat dalam  buku khusus tentang hari dan tanggal hasil pemeriksaan;

(2) Kerusakan-kerusakan yang didapati harus segara diperbaiki. Pasa1 54

(1) Tahanan pembumian dari seluruh sistem pembumian tidak boleh lebih dari 5 ohm (2) Pengukuran tahanan pembumian dari elektroda bumi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kesalahan-kesalahan yang timbul disebabkan kesalahan polarisasi bisa

dihindarkan; Pemeriksaan pada bagian-bagian dari instalasi yang tidak dapat dilihat atau diperiksa, dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran secara listrik.

(44)

BAB X

PENGESAHAN Pasal 55

(1) Setiap perencanaan instalasi penyalur petir harus dilengkapi dengan gambar rencana instalasi;

(2) Gambar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjukan: gambar bagian tampak atas dan tampak samping yang mencakup gambar detail dari ba gian-bagaian instalasi  beserta keterangan terinci termasuk jenis air terminal, jenis dari atap bangunan,

bagian- bagian lain peralatan yang ada diatas atap dan bagian-bagian logam pada atau diatas atap. Pasal 56

(1) Gambar rencana instalasi sebagaimana dimaksud pada pasal 55 harus mendapa  pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;

(2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 57

(1) Setiap instalasi penyalur petir harus mendapat sertifikat dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;

(2) Setiap penerima khusus seperti elektrostatic dan lainnya harus mendapat sertifikat dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;

(3) Tata cara untuk mendapat sertifikat sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 58

Dalam hal terdapat perubahan instalasi penyalur petir, maka pengurus atau pemilik harus mengajukan permohonan perubahan instalasi kepada Menteri cq. Kepala Kantor Wilayah yang ditunjuknya dengan melampiri gambar rencana perubahan.

(45)

43 | K e s e l a m a t a n d a n K e s e h a t a n K e r j a ( K 3 )

Pasal 59

Pengurus atau pemilik wajib mentaati dan melaksanakan semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

BAB XI

KETENTUAN PIDANA Pasa1 60

 pengurus atau pemilik yang melanggar ketentuan pasal 2, pasal 6 ayat (1), pasal 55 ayat (1), pasal 56 ayat (1), pasal 57 ayat (1) dan (2), pasal 58 dan pasat 59 diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus ribu rupiah) sebagaimana dimaksud pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

BAB XII

ATURAN PERALIHAN Pasal 61

Instalasi penyalur petir yang sudah digunakan sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan, Pengurus atau Pemilik wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini dalam waktu 1 (satu) tahun sejak

 berlakunya Peraturan Menteri ini.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 62

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan peta kendali p ini adalah dikarenakan pengendalian kualitas yang dilakukan bersifat atribut, serta data yang diperoleh yang dijadikan sampel pengamatan

Tujuan dari Sistem Kredit Poin oleh SDU ( Smada Discipline Up Holder) di SMA Negeri 2 Ngawi adalah Untuk membuat takut para siswa agar tidak melanggar peraturan

64 ELISA FAELO DEDIANA K SD NEGERI 1 RANDUAGUNG KELAS AWAL SDN PETROKIMIA 65 ALIYATUN SD NEGERI 2 RANDUAGUNG KELAS AWAL SDN PETROKIMIA 66 NUNUK SRI ASTUTIK SD NEGERI 2 RANDUAGUNG

Tahapan ini merupakan sebuah tahapan awal dari penelitian, yaitu tahapan heuristik yang merupakan suatu tahapan pertama atau kegiatan menemukan dan menghimpun

Servatius Jl.Raya Kampung Sawah No.75 Jati Melati,

Multipel mieloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sel plasma imatur dan matur yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan

Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang dapat diberikan dalam tulisan ini adalah dengan diketahuinya bahwa budaya perusahaan dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap

Dimiliki hingga jatuh tempo ( held-to-maturity ) adalah aset keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah ditetapkan di