• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

PERCEPATAN PELAKSANAAN

KEBIJAKAN SATU PETA

1. 1. Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mencantumkan tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan tersebut akan dicapai dengan melakukan pembangunan nasional, yaitu suatu aktivitas yang konsisten untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata pada berbagai aspek kehidupan.

Perencanaan pembangunan membutuhkan dukungan data yang akurat, mutakhir dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara efisien, efektif dan berkelanjutan. Perencanaan pembangunan yang terarah, terpadu dan komprehensif akan dihasilkan jika terdapat rujukan data dan informasi yang baik dan lengkap. Salah satu dukungan data dan informasi yang diperlukan dalam perencanaan pembangunan nasional ini adalah Data Geospasial dan Informasi Geospasial. Data dan Informasi Geospasial dalam perencanaan pembangunan akan menjadi acuan khususnya dalam penyusunan kebijakan terkait perencanaan dan penataan ruang. Kegiatan perencanaan dan penataan ruang sendiri merupakan kegiatan yang bersifat sensitif karena berlangsung pada bidang lahan yang ketersediaannya terbatas dan seringkali mengandung sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Data dan Informasi Geospasial di Indonesia diproduksi oleh berbagai instansi dan/atau bahkan oleh perorangan. Teknologi yang semakin maju dan semakin murah menyebabkan Data dan Informasi Geospasial memungkinkan untuk dibuat dan diedarkan oleh siapa saja. Sebagai konsekuensinya maka terdapat variasi format dan standar diantara Informasi Geospasial yang ada. Tidak terbatas pada perbedaan format dan standar saja, berbagai Informasi Geospasial dengan tema serupa juga diterbitkan oleh berbagai instansi dengan berbagai variasi kedetailan informasi dan penyebutan. Hal ini

(2)

menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi Informasi Geospasial dan pemilihan Informasi Geospasial dalam menentukan peta rujukan. Kondisi yang seperti ini memperkeruh konflik terutama pada fungsi lahan karena Informasi Geospasial ini kemudian digunakan sebagai referensi dalam penerbitan izin lokasi kegiatan oleh instansi-instansi yang memiliki kewenangan dalam memberikan izin pemanfaatan lahan atau dalam kasus lain menjadi rujukan dalam penentuan batas wilayah.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial membawa konsekuensi pada penyelenggaraan Informasi Geospasial. Diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial maka fungsi Badan koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) yang bertransformasi menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG) tidak lagi terbatas sebagai lembaga yang mengkoordinasikan kegiatan survei dan pemetaan untuk menghasilkan peta, namun dituntut untuk juga bertindak sebagai perumus dan pengendali kebijakan teknis dan integrator penyelenggaraan Informasi Geospasial sebagai landasan pembangunan Indonesia. Dengan demikian maka seluruh Informasi Geospasial yang dihasilkan oleh berbagai instansi dapat disinkronkan dengan mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basisdata dan satu geoportal sehingga tidak terjadi perbedaan atau tumpang tindih informasi. Informasi Geospasial yang ada kemudian dapat dibagipakaikan dan dimanfaatkan secara optimal guna mendukung pembangunan nasional sehingga program pembangunan nasional dapat direncanakan dan dilaksanakan secara tepat lokasi dan tepat sasaran. Konsep demikian ini yang kemudian disebut sebagai Kebijakan Satu Peta (KSP).

Kebijakan satu peta dikeluarkan sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi pemerintah dengan tujuan mengatasi berbagai konflik dan permasalahan pemanfaatan ruang yang tumpang tindih. Kebijakan satu peta dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Kebijakan Satu Peta dilaksanakan melalui 3 (tiga) kerangka kerja utama, yaitu kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi. Kerangka kerja kompilasi lebih ditekankan pada pada penyediaan IGT oleh K/L dengan mengacu pada pedoman atau standar penyelenggaraan IGT; sejalan dengan pasal 23 UU No. 4 Tahun 2011 dimana penyelenggaraan IGT menjadi kewajiban setiap K/L. Integrasi ditekankan

(3)

pada implementasi pasal 19 UU No. 4 Tahun 2011 dimana setiap IGT harus mengacu pada IG Dasar. Serta sinkronisasi ditekankan pada pemanfaatan IGT untuk berbagai analisis spasial termasuk didalamnya memberi kepastian terhadap lokasi investasi, percepatan penyelesaian tata ruang dan berbagai kepentingan strategis lainnya.

Adapun percepatan pelaksanaan KSP ini dilakukan melalui penetapan Rencana Aksi (Renaksi) Percepatan Pelaksanaan KSP tahun 2016-2019. Renaksi Implementasi Perpres 9/2016 akan berakhir pada tahun 2019, dimana lingkup penyediaan IGT baru mencakup Peta IGT pada skala menengah 1:50.000 dan wilayah daratan. Sementara

itu, di sisi lain kebutuhan Informasi Geospasial untuk mendukung pembangunan nasional berkembang dengan cepat karena kesadaran geospasial yang semakin meningkat. Muncul tuntutan kebutuhan Informasi Geospasial skala besar yang tidak terbatas pada wilayah darat saja namun juga pada wilayah laut guna mendukung prioritas pembangunan nasional, pembangunan infrastruktur perkotaan juga tidak terbatas hanya di atas permukaan bumi (surface) akan tetapi juga pembangunan di bawah permukaan bumi (subsurface) seperti pembangunan MRT. Selain itu, infrastruktur pendukung KSP juga perlu dimatangkan dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan Informasi Geopasial. Hal tersebut kemudian mendorong munculnya kebutuhan akan Grand Design Kebijakan Satu Peta 2020 – 2036 yang memuat rencana jangka panjang pelaksanaan KSP pasca Rencana Aksi (Renaksi) Percepatan Pelaksanaan KSP tahun 2016-2019.

Grand Design KSP 2020 – 2036 merupakan sebuah rencana kegiatan yang bersifat visioner dengan menitikberatkan pada partisipasi instansi-instansi penghasil Informasi Geospasial baik instansi pusat maupun daerah. Disebut bersifat visioner karena Grand Design ini disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan Informasi Geospasial dimasa mendatang dalam rentang waktu yang panjang, yaitu 16 tahun (2020 – 2036). Sebagai sebuah acuan dasar Grand Design ini hanya memuat pendekatan umum yang komprehensif yang menjadi pedoman bagi tindakan-tindakan utama guna mencapai tujuan jangka panjang tersebut. Dengan demikian rencana-rencana yang termuat didalamnya bersifat global dan tidak terperinci.

(4)

1. 2. Dasar Hukum

Landasan hukum yang mendasari pelaksanaan penyusunan Grand Design Kebijakan Satu Peta adalah sebagai berikut:

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

 Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial

 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000

1. 3. Konsep dan Definisi

Berbagai konsep dan definisi yang digunakan dalam penyusunan Grand Design Kebijakan Satu Peta ini adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan Satu Peta adalah arahan strategis dalam terpenuhinya satu peta yang

mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal.

b. Grand Design adalah rancangan induk jangka panjang yang berisi arah kebijakan pelaksanaan.

c. Roadmap adalah bentuk operasionalisasi Grand Design yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas

d. Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan/atau buatan manusia, yang

berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.

e. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi,

letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.

f. Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah data tentang lokasi geografis,

dimensi, atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam, dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.

(5)

g. Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG adalah DG yang sudah diolah

sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.

h. Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya disingkat IGD adalah IG yang berisi

tentang objek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama.

i. Informasi Geospasial Tematik yang selanjutnya disingkat IGT adalah IG yang

menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada IGD. j. IGT Status adalah IGT yang mempunyai aspek hukum penguasaan lahan.

k. IGT Perencanaan Ruang adalah IGT yang memuat aspek perencanaan pemanfaatan

ruang.

l. IGT Potensi adalah IGT yang memuat informasi mengenai Transportasi dan Utilitas,

Lingkungan, dan Potensi Kawasan.

m. Walidata IGT adalah pimpinan tinggi pratama pada kementerian/lembaga yang

memiliki tugas pokok, fungsi atau kewenangan menurut peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan IGT.

n. Jaringan Informasi Geospasial Nasional yang selanjutnya disebut JIGN adalah

suatu sistem penyelenggaraan pengelolaan IG secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi, dan berkesinambungan serta berdayaguna.

o. Katalog Unsur Geografi Indonesia adalah suatu sistem yang berisi unsur dan atribut

yang dapat digunakan oleh produsen dan pengguna informasi geografis dalam membangun struktur data geospasial.

1. 4. Tujuan dan Manfaat Tujuan :

 Menyiapkan rumusan jangka panjang pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Tahun 2020– 2036.

(6)

Menjadi pedoman dalam penyusunan Roadmap Kebijakan Satu Peta 2020-2025, 2026-2030 dan 2031-2036.

 Menjadi pedoman bagi penyelenggaran Informasi Geospasial nasional dalam

kerangka Kebijakan Satu Peta sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.

Manfaat :

 Menjamin keberlanjutan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta untuk pembangunan nasional.

 Mendukung koordinasi antar Kementerian (K)/Lembaga (L) dan Pemerintah Daerah (P) penyelenggara Informasi Geospasial

 Memberikan arah penyelenggaraan Informasi Geospasial dimasa mendatang sesuai dengan prioritas pembangunan nasional melalui Kebijakan Satu Peta.

1. 5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Grand Design KSP 2020-2036 terdiri dari ruang lingkup kelembagaan dan ruang lingkup program/kegiatan.

A. Ruang Lingkup Kelembagaan

Grand Design KSP 2020-2036 melibatkan Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah (P) yang menyelenggarakan IG. Masing-masing K/L/P melakukan penyelenggaraan Informasi Geospasial sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dengan mengacu pada Grand Design KSP 2020-2036 dan roadmap tahapan implementasi Grand Design KSP 2020-2036.

B. Ruang Lingkup Program/Kegiatan.

Ruang lingkup program/kegiatan terdiri dari 4 (empat) point utama dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Program pengembangan, pemanfaatan, pemutakhiran IGT melalui  Integrasi IGT

 Sinkronisasi IGT

 Pemanfaatan IGT untuk penyusunan Peta Rencana Tata Ruang

2. Program pemenuhan kebutuhan Informasi Geospasial skala besar sesuai prioritas pembangunan nasional. Kegiatan ini dilaksanakan oleh BIG sesuai amanat

(7)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Informasi Geospasial Dasar dimaksud meliputi:

 Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:5.000

 Peta Lingkungan Pantai Indonesia Skala 1:10.000  Peta Lingkungan Pantai Indonesia Skala 1:50.000

3. Pencapaian target 96 jenis Informasi Geospasial Tematik yang terdiri dari 75 Informasi Geospasial Tematik Matra Darat dan 21 Informasi Geospasial Tematik Matra Laut. Kegiatan ini dilaksanakan oleh K/L/P terkait, meliputi:

 Penyelenggaraan IGT Matra Darat, terdiri dari: a. IGT Status sebanyak 17 tema;

b. IGT Perencanaan sebanyak 5 tema;

c. IGT Potensi sebanyak 53 tema, yang terdiri dari: i. IGT Potensi Kawasan sebanyak 14 tema; ii. IGT Lingkungan sebanyak 18 tema;

iii. IGT Transportasi dan Utilitas sebanyak 21 tema.  Penyelenggaraan IGT Matra Laut, terdiri dari:

a. IGT Status sebanyak 3 tema; b. IGT Perencanaan sebanyak 4 tema;

c. IGT Potensi sebanyak 14 tema, yang terdiri dari: i. IGT Potensi Kawasan sebanyak 4 tema; ii. IGT Lingkungan sebanyak 3 tema;

iii. IGT Transportasi dan Utilitas sebanyak 7 tema.

4. Program pengembangan Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) untuk berbagi pakai Informasi Geospasial. Kegiatan ini dilaksanakan oleh K/L/P terkait dengan pembinaan dari BIG sesuai dengan fungsi BIG sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2011 tentang Badan Informasi Geospasial. JIGN sendiri terdiri dari 5 (lima) pilar, yaitu:

a. Pilar Hukum dan Kebijakan.

Keluaran yang diharapkan yaitu peraturan untuk berbagipakai Informasi Geospasial.

(8)

b. Pilar Pengaturan Kelembagaan

Keluaran yang diharapkan yaitu Kelembagaan Simpul Jaringan. c. Pilar Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Informasi Geospasial

Keluaran yang diharapkan yaitu SDM Bidang Informasi Geospasial bersertifikat.

d. Pilar Teknologi

Keluaran yang diharapkan yaitu teknologi berbagipakai Informasi Geospasial. e. Pilar Standar

Keluaran yang diharapkan yaitu standar penyelenggaraan Informasi Geospasial.

1. 6. Strategi Pencapaian Tujuan Grand Design

Grand Design Kebijakan Satu Peta ini merupakan sebuah rancangan induk jangka panjang yang disusun sebagai acuan tindakan untuk mencapai tujuan utama dari Kebijakan Satu Peta pada tahun 2036; yakni terciptakannya ekosistem pemanfaatan Informasi Geospasial Tematik multitema yang berdayaguna, mudah diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat, pemerintah daerah dan instansi pemerintah dengan akurasi tinggi. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan tersebut maka rancangan induk jangka panjang ini dibagi menjadi tiga tahapan utama atau roadmap yang memiliki jangka waktu pelaksanaan lebih pendek, yaitu lima tahun untuk masing-masing tahapan.

Masing-masing tahapan dalam Grand Design KSP merupakan satu kesatuan proses. Setiap tahapan disusun untuk mencapai suatu kondisi yang diinginkan di masa depan. Dengan demikian setiap tahapan memiliki tujuan yang spesifik yang dijabarkan menjadi sasaran yang lebih konkrit dan indikator yang lebih terukur. Namun demikian, strategi di masing-masing tahapan bersifat fleksibel yang memungkinan komponen pada suatu tahapan berpindah ke tahapan setelahnya. Hal yang demikian ini dibuat untuk mengakomodasi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi termasuk munculnya peluang, kendala dan resiko yang mungkin terjadi di masa mendatang. Sifat yang fleksibel ini memungkinkan rancangan induk untuk dapat dievaluasi sesuai dengan

(9)

perkembangan organisasi K/L/P, politik, regulasi, situasi ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dunia internasional maupun aspirasi masyarakat dan aspirasi K/L/P terhadap Informasi Geospasial. Dengan demikian sifat yang fleksibel akan memudahkan K/L/P yang terlibat di dalam Grand Design KSP untuk dapat beradaptasi dengan cepat sementara di sisi lain tujuan utama dari pelaksanaan KSP tetap dapat dipertahankan untuk dicapai. Tercapainya tujuan utama KSP sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan pembangunan merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh K/L/P penyelenggara Informasi Geospasial. Tugas yang besar ini tidak dapat dibebankan kepada Badan Informasi Geospasial saja. Tujuan utama KSP akan dapat dicapai hanya jika setiap upaya yang dilakukan oleh seluruh K/L/P penyelenggara Informasi Geospasial dapat bersifat sinergis, koordinatif dan saling melengkapi satu dengan lainnya dalam satu pola sikap dan pola tindak. Kondisi yang demikian ini tentunya menuntut adanya kesadaran dan kerendahan hati dari masing-masing K/L/P untuk dapat meninggalkan pola pikir masa lalu seperti ego sektoral dan mental penguasa yang berpotensi menimbulkan kerancuan Informasi Geospasial Tematik. Langkah yang ditempuh untuk mewujudkan hal ini diantaranya adalah dengan menentukan walidata beserta koridor kewenangan yang jelas untuk setiap Informasi Geospasial Tematik. Sementara itu untuk membangun soliditas, kebersamaan dan rasa tanggung jawab kolektif terhadap implementasi KSP maka setiap K/L/P dilibatkan secara aktif dalam penyusunan maupun evaluasi dari pelaksanaan rencana program dan kegiatan dalam setiap tahapan Grand Design KSP.

Termasuk unsur penting dalam pencapaian tujuan Grand Design KSP adalah melakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev). Monev secara umum bertujuan untuk memantau proses dan perkembangan program/kegiatan dalam implementasi Grand Design KSP dengan mengacu pada target dan indikator yang telah ditentukan. Monev yang dilakukan dengan baik akan bermanfaat untuk memastikan pelaksanaan kegiatan tetap pada jalurnya dan menjelaskan tingkat ketercapaian target-target dari program/kegiatan secara relatif terhadap tujuan utama. Disamping itu, Monev juga bermanfaat memberikan informasi apabila terjadi kendala atau perubahan kondisi dalam pelaksanaan kegiatan. Laporan Monev juga dapat menjadi informasi yang strategis sebagai upaya keberlanjutan suatu program/kegiatan.

(10)
(11)

IMPLEMENTASI PERCEPATAN

PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA 2016-2017

2.1. Kondisi Informasi Geospasial Tematik Saat Ini

Undang-undang Informasi Geospasial (UU IG) Nomer 4 Tahun 2011 membagi Informasi Geospasial menjadi 2 (dua) jenis berupa Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dalam penyelenggaraannya IGD dilaksanakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) selaku walidata tunggal untuk semua jenis IGD, baik yang berupa Peta Dasar dan Jaring Kontrol. Sedangkan penyelenggaraan IGT dapat dilaksanakan oleh semua lembaga maupun instansi sesuai kewalidataannya dengan ketentuan bahwa IGT harus mengacu pada IGD sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 UU IG. IGD menjadi referensi tunggal dalam penyelenggaraan IGT nasional. Ketentuan ini menjadi salah satu prinsip utama dalam skema Kebijakan Satu Peta/One Map Policy (KSP/OMP). Selain referensi tunggal, skema KSP juga menggunakan prinsip standar, geodatabase dan geoportal tunggal.

Gambar 1. Skema Kebijakan Satu Peta

Kebijakan Satu Peta merupakan salah satu ketentuan yang diamanatkan dalam UU IG. Namun karena UU IG baru diterbitkan pada tahun 2011 dan masih banyak IGT yang masih belum mengikuti ketentuan tersebut, sehingga pada tahun 2016 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan

(12)

Satu Peta (PKSP). Lingkup kegiatan PKSP ini meliputi seluruh tema IGT yang dilaksanakan oleh walidata di Kementerian/Lembaga pada skala peta 1:50.000.

Perpres PKSP terbit mengingat bahwa kebijakan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal diperlukan dalam rangka mendorong penggunaan Informasi Geospasial guna pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk mendukung terwujudnya agenda prioritas Nawacita. Sementara kondisi IGT yang ada hingga 5 tahun pasca diundangkannya UU IG masih belum memenuhi skema KSP. Beberapa IGT masih menggunakan peta dasar yang berbeda sebagai referensi. Beberapa tema IGT belum memiliki standar pemetaan yang baku, sehingga data yang diperoleh tidak sama dalam hal dimensi/ukuran, akurasi hingga klasifikasi yang tidak memenuhi kriteria hierarki data yang seharusnya. Ditinjau dari aspek struktur data masih belum memiliki atau mengacu pada struktur geodatabase yang memudahkan untuk dilakukannya berbagi pakai IGT. Beberapa walidata juga belum memberikan layanan (service) berbagi pakai untuk satu geoportal bersama. Walidata memiliki portal publikasi data masing-masing yang belum memungkinkan untuk dilakukannya pemaduserasian antar IGT yang diselenggarakan oleh K/L yang berbeda dalam mekanisme berbagi pakai secara online.

(13)
(14)

Gambar 3. Portal Spasial Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Permasalahan lain terkait dengan kondisi IGT saat ini yang menjadi salah satu sasaran strategis dalam implementasi Kebijakan Satu Peta adalah ketidak-selaras-sinkron-an ketidak-selaras-sinkron-antara IGT satu dengketidak-selaras-sinkron-an yketidak-selaras-sinkron-ang lainnya. Permasalahketidak-selaras-sinkron-an ini pada dasarnya terjadi karena 2 (dua) hal utama:

1. IGT tidak menggunakan peta dasar yang sama, hal ini dapat diatasi dengan melakukan proses integrasi menggunakan peta dasar yang sama;

2. Fungsi koordinasi antar walidata tidak berjalan semestinya, dapat diatasi dengan melakukan sinkronisasi melalui mekanisme berbagi pakai Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).

2.2. Implementasi Perpres Percepatan Kebijakan Satu Peta

Lahirnya peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 merupakan percepatan atas salah satu poin Paket Kebijakan Ekonomi VIII pada 21 Desember 2015 berupa Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) dengan Skala 1:50.000. Paket Kebijakan Satu Peta ini

(15)

diluncurkan pemerintah atas dasar adanya proyek-proyek pembangunan ekonomi berupa pengembangan kawasan dan infrastruktur yang terkendala masalah pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan. Ketidaksesuaian antara rencana tataruang pusat dan daerah serta wilayah kawasan hutan terhadap wilayah administrasi daerah hingga tumpang tindih perizinan pemanfaatan lahan menjadi permasalahan besar yang seringkali berujung pada konflik penguasaan ruang terutama terkait investasi yang berbasis pada pemanfaatan lahan. Kondisi tersebut dinilai berpengaruh negatif terhadap iklim investasi di Indonesia.

Rencana tataruang wilayah merupakan instrumen utama dalam pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tataruang mengatur pola dan arahan pemanfaatan ruang, baik yang ada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan sesuai dengan batas wilayah administrasi. Namun masih banyak terdapat ketidaksesuaian dalam rencana tataruang yang telah ada, diantaranya ketidaksesuaian terhadap batas administrasi, ketidaksesuaian dengan batas kawasan hutan hingga ketidak sesuaian dengan kondisi eksisting di lapangan. Ketidaksesuaian tersebut secara sederhana dapat diidentifikasi dari informasi spasial berupa peta yang menjadi lampiran dalam perda tataruang.

Informasi spasial terkait dengan peta-peta tematik berupa perencanaan pemanfaatan, status penguasaan lahan, potensi lingkungan serta utilitas transportasi disebut dengan Informasi Geospasial Tematik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial disebutkan bahwa IGT harus mengacu pada IGD/Informasi Geospasial Dasar (Pasal 19). Ketentuan inilah yang menjadi kaidah utama dalam skema Kebijakan Satu Peta. Tumpang tindih perizinan dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi karena penyelenggaraan IGT yang masih belum sesuai dengan skema One Map, dimana kebanyakan IGT masih menggunakan referensi, standar serta format basis data yang berbeda-beda. Upaya penyelesaian permasalahan tersebut mendesak perlu dilakukan dengan memperbaiki tata kelola IGT sesuai dengan skema One Map melalui proses integrasi dan sinkronisasi antar IGT.

Perkembangan teknologi geospasial yang semakin maju akan memudahkan proses pemetaan menjadi peluang dilihat dari sisi positif sekaligus ancaman dari sisi negatif dalam penyelenggaraan informasi geospasial, terutama IGT. Peluang tersebut mendukung

(16)

tersedianya IGT secara cepat dan akurat, namun tidak dapat menjamin produk-produk IGT yang dihasilkan dapat digunakan secara bersama jika tidak diatur penyelenggaraannya melalui skema One Map Policy. Pengaturan dalam skema One Map Policy meliputi proses produksi berupa kewenangan dan kewalidataan hingga penyebarluasan untuk berbagi pakai.

Perpres 9/2016 bertujuan untuk mewujudkan satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal. Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta tersebut berfungsi sebagai acuan dalam perbaikan data spasial serta peningkatan akurasi perencanaan tata ruang dalam implementasi perencanaan pembangunan. Percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta tersebut berfungsi sebagai acuan dalam perbaikan data spasial serta peningkatan akurasi perencanaan tata ruang dalam implementasi perencanaan pembangunan.

Kegiatan percepatan kebijakan satu peta dilaksanakan pada lingkup proses, skala dan tema yang ditetapkan dalam Perpres. Jumlah IGT terdiri dari 85 tema yang diselenggarakan oleh 19 Kementerian/Lembaga di 34 wilayah provinsi di Indonesia. Sebagian dari 85 tema IGT penyelenggaraannya menjadi kewenangan pemerintah daerah sebagai unit produksinya. Tema-tema tersebut diantaranya adalah IGT Tataruang Wilayah, IGT Perizinan, IGT Batas Wilayah Kabupaten hingga Desa dan IGT Utilitas Jalan, sehingga perlu dilakukan kompilasi di daerah (34 provinsi) dengan melakukan Klinik Daerah.

(17)

Dalam pelaksanaan PKSP dibentuk Tim Percepatan KSP yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Tim Pelaksana dan Sekretariat.

Gambar 5. Struktur Organisasi Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta

Adanya konflik pemanfaatan ruang yang terjadi di Kalimantan, Presiden mengamanatkan agar pelaksanaan Perpres 9/2016 didahulukan di Kalimantan, dengan pertimbangan untuk dapat dijadikan contoh (pilot project). Arahan Presiden ini disampaikan pada Sidang Kabinet Terbatas tanggal 7 April 2016. Menindaklanjuti arahan Presiden tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Rapat Koordinasi Tingkat Menteri untuk Percepatan KSP pada tanggal 10 Juni 2016 menegaskan kembali prioritas pengerjaan Kalimantan untuk tahun 2016.

(18)

2016 2017

2018

Gambar 6. Target Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta

Target KSP pada tahun 2016 adalah kegiatan Kompilasi dan Integrasi IGT di Kalimantan, tahun 2017 untuk wilayah Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, sedangkan tahun 2018 untuk wilayah Jawa, Maluku dan Papua. Kegiatan Sinkronisasi dilaksanakan mulai tahun 2017-2019 yaitu proses penelaahan aspek regulasi Sinkronisasi dan memulai kegiatan Sinkronisasi untuk beberapa IGT di Kalimantan, terutama Sinkronisasi peta pembentuk peta “tatakan” kawasan (Peta Batas Wilayah, Peta Kawasan Hutan, dan Peta RTRW) agar mempermudah penyelesaian isu tumpang tindih IGT lainnya. Rencana Kerja Sekretariat Tim Percepatan KSP tahun 2018 yaitu melakukan kegiatan Kompilasi dan Integrasi untuk wilayah Jawa, Maluku, dan Papua. Kegiatan Sinkronisasi akan tetap dilakukan paralel untuk seluruh wilayah Indonesia.

Tabel 1. Produk Informasi Geospasial Tematik beserta Walidata

ID-IGT KELUARAN WALIDATA

1 Peta Penetapan Kawasan Hutan (hasil Tata Batas), minimal pada

skala 1:50.000 KLHK

2 Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan (HA,

IUPHHK-HT & IUPHHK-RE), minimal pada skala 1:50.000 KLHK

3 Peta Hutan Tanaman Rakyat (HTR), minimal pada skala 1:50.000 KLHK

4 Peta Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus, minimal pada skala

1:50.000 KLHK

(19)

ID-IGT KELUARAN WALIDATA

6 Peta Wilayah Kerja Migas skala 1:50.000 ESDM

7 Peta Hak Guna Usaha, minimal pada skala 1:50.000 ATR/BPN

8 Peta Hak Pengelolaan, minimal pada skala 1:50.000 ATR/BPN

9 Peta Hak Guna Bangunan, minimal pada skala 1:50.000 ATR/BPN

10 Peta Perda Tanah Ulayat, minimal pada skala 1:50.000 Kemendagri

11 Peta Izin Lokasi, minimal pada skala 1:50.000 ATR/BPN

12 Peta penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), minimal pada

skala 1:50.000 Kemenko Perekonomian

13 Peta Kawasan Industri Eksisting skala 1:50.000 Kemenko Perekonomian

14 Peta Rencana Kawasan Industri skala 1:50.000 Kemenperin & Kemenko

Perekonomian

15 Peta Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

(KPBPB), minimal pada skala 1:50.000 ATR/BPN

16 Peta Persebaran Lokasi Transmigrasi skala 1:50.000 KPDT

17 Peta Persebaran Kawasan Transmigrasi skala 1:50.000 KPDT

18 Peta PP RTRWN skala 1:1.000.000 ATR/BPN

19 Peta Perda RTRW Provinsi skala 1:250.000 ATR/BPN

20 Peta Perda RTRW Kabupaten skala 1:50.000 dan Perda RTRW

Kota skala 1:25.000 ATR/BPN

21 Peta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional skala

1:250.000 PPN/BAPPENAS

22 Peta RKP skala 1:250.000 PPN/BAPPENAS

23 Peta Penutup Lahan skala 1:50.000 BIG

24 Peta Perpres RTR KSN skala 1:50.000 ATR/BPN

25 Peta Kawasan Wilayah Pertahanan skala 1:1.000.000 Kemenhan

26 Peta Rinci Wilayah Pertahanan skala 1:50.000 Kemenhan

27 Peta RZWP3K Provinsi skala 1:250.000 KKP

28 Peta Bagian RZWP3K skala 1:50.000 KKP

29 Peta Rencana Tata Ruang Laut Nasional skala 1:1.000.000 KKP

30 Peta Lokasi Pelabuhan perikanan skala 1:50.000 KKP

31 Peta Sebaran Pelabuhan Umum skala 1:50.000 Kemenhub

32 Peta Sebaran Pelabuhan Penyeberangan skala 1:50.000 Kemenhub

33 Peta Sebaran Terminal Khusus skala 1:50.000 Kemenhub

34 Peta Sebaran Bandara skala 1:50.000 Kemenhub

35 Peta Sebaran Jaringan Rel dan Stasiun KA skala 1:50.000 Kemenhub

36 Peta jaringan listrik skala 1:50.000 ESDM

37 Peta sebaran lokasi gardu Induk skala 1:50.000 ESDM

38 Peta lokasi Pembangkit Listrik skala 1:50.000 ESDM

39 Peta sebaran Pembangkit Listrik skala 1:50.000 ESDM

40 Peta Jaringan Pipa Migas skala 1:50.000 ESDM

(20)

ID-IGT KELUARAN WALIDATA

42 Peta Jalan Nasional, Jalan Tol, Jalan Provinsi, dan Jalan

Kabupaten skala 1:50.000 PUPR

43 Peta Sebaran Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) skala

1:50.000 PUPR

44 Peta Sebaran Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan

Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) skala 1:50.000 PUPR

45 Peta Sebaran Lokasi SPAM skala 1:50.000 PUPR

46 Peta sebaran lokasi Bendungan skala 1:50.000 PUPR

47 Peta Daerah Irigasi Permukaan skala 1:50.000 PUPR

48 Peta Sebaran Lokasi Sabo DAM skala 1:50.000 PUPR

49 Peta Sebaran Lokasi Pengaman Pantai skala 1:50.000 PUPR

50 Peta Sebaran Lokasi Rusunawa skala 1:50.000 PUPR

51 Peta Air Tanah skala 1:50.000 PUPR

52 Peta Ketersediaan Air skala 1:250.000 PUPR

53 Peta Penggunaan Tanah skala 1:50.000 ATR/BPN

54 Peta Lahan Gambut skala 1:50.000 Kementan

55 Peta Neraca SD Hutan skala 1:250.000 KLHK

56 Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) skala 1:50.000 KLHK

57 Peta Geologi skala 1:100.000 ESDM

58 Peta Kawasan rawan Bencana Gunung Api skala 1:50.000 ESDM

59 Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi skala 1:50.000 ESDM

60 Peta Kawasan Rawan Bencana Zona Kerentanan Gerakan Tanah

skala 1:50.000 ESDM

61 Peta Kawasan Rawan Bencana Tsunami skala 1:50.000 ESDM

62 Peta Hidrogeologi skala 1:100.000 ESDM

63 Peta Tanah Semi-detail skala 1:50.000 Kementan

64 Peta Curah Hujan dan Hari Hujan skala 1:50.000 BMKG

65 Peta Potensi Energi Matahari dan Angin skala 1:250.000 BMKG

66 Peta Lahan Sawah skala 1:50.000 ATR/BPN. Kementan

67 Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

(WPPNRI) 1-12 skala 1:250.000 KKP

68 Peta Jenis dan Kekayaan Perikanan tangkap di WPPNRI skala

1:250.000 KKP

69 Peta Kawasan Bentang Alam Karst skala 1:50.000 ESDM

70 Peta Sumberdaya Mineral skala 1:50.000 ESDM

71 Peta Sumberdaya Batubara skala 1:50.000 ESDM

72 Peta Sumberdaya Panasbumi skala 1:50.000 ESDM

73 Peta Sistem Lahan (Morfologi) skala 1:50.000 BIG

74 Peta Morfometri Bentang Lahan skala 1: 50.000 BIG

75 Peta Batas Administrasi Provinsi skala 1:50.000 Kemendagri

(21)

ID-IGT KELUARAN WALIDATA

77 Peta Batas Administrasi Desa/kelurahan skala 1:10.000 Kemendagri

78 Peta Batas Darat Negara skala 1:25.000 Kemenlu & BNPP

79 Peta Batas Laut Negara skala 1:1.000.000 Kemenlu

80 Peta Potensi Desa (sosial-ekonomi), minimal pada skala 1:50.000 BPS

81 Peta kawasan Cagar Budaya skala 1:50.000 Kemendikbud

82 Peta Sebaran Lokasi Cagar Budaya, skala 1:50.000 Kemendikbud

83 Peta Penunjukkan Kawasan Hutan skala 1:250.000 KLHK

84 Peta Zonasi Kawasan Konservasi skala 1:50.000 KLHK

85 Peta Zonasi Kawasan Konservasi Perairan skala 1:50.000 KLHK dan KKP

Perpres 9/2016 membagi IGT ke dalam 3 (tiga) kelompok utama, yaitu IGT Status, IGT Perencanaan dan IGT Potensi. Pelaksanaan dilakukan dengan penyusunan Rencana Aksi pelaksanaan KSP tahun 2016-2019 untuk penyelesaian IGT pada seluruh wilayah provinsi di Indonesia. Lingkup pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta sesuai dengan Perpres 6/2016 dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan berupa kompilasi, integrasi dan sinkronisasi hingga dihasilkan rekomendasi dan fasilitasi penyelesaian permasalahan IGT.

Gambar 7. Tahapan Percepatan Kebijakan Satu Peta

Perpres 9/2016 membagi IGT ke dalam 3 (tiga) kelompok utama, yaitu IGT Status, IGT Perencanaan dan IGT Potensi. Pelaksanaan dilakukan dengan penyusunan Rencana Aksi pelaksanaan KSP tahun 2016-2019 untuk penyelesaian IGT pada seluruh wilayah provinsi di Indonesia. Lingkup pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta sesuai dengan Perpres 6/2016 dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan berupa kompilasi,

(22)

integrasi dan sinkronisasi hingga dihasilkan rekomendasi dan fasilitasi penyelesaian permasalahan IGT.

A. KOMPILASI

Kompilasi merupakan proses pengumpulan IGT yang telah dilaksanakan oleh para walidata pada level skala 1:50.000. Terdapat sebanyak 85 tema IGT yang diselenggarakan oleh seluruh Kementerian/Lembaga di pusat maupun daerah di Indonesia. Ke-85 tema tersebut menjadi target dalam pelaksanaan Percepatan KSP.

Dalam pelaksanaannya, proses kompilasi dan integrasi IGT dilakukan melalui kegiatan Klinik IGT yang diselenggarakan di pusat (untuk IGT-IGT yang kewenangan penyelenggaraannya di kementerian/ lembaga pusat) dan di daerah (untuk IGT-IGT yang kewenangan penyelenggaraannya di pemerintah daerah atau kantor wilayah provinsi/kabupaten). Kegiatan Klinik IGT Pusat diselenggarakan dengan mengundang unit kerja yang membidangi pengelolaan data dan informasi (Pusdatin) dari masing-masing kementerian/lembaga pusat selaku walidata beserta dengan unit teknis selaku unit produksinya untuk menyampaikan IGT yang diselenggarakan. Hasil kompilasi selanjutnya dilakukan verifikasi sesuai dengan karakteristik tema IGT masing-masing. Komponen verifikasi terdiri dari:

1. Kondisi Data 2. Kriteria Integrasi

3. Kriteria Informasi dan Metadata

4. Kelengkapan Berdasarkan Target Renaksi 5. Kesesuaian Struktur Berbagi Pakai KUGI

(23)

IGT dinyatakan terintegrasi jika telah memenuhi krlims kriteria di atas. IGT yang belum memenuhi kriteria integrasi dilakukan editing oleh walidata/produsen data masing-masing.

Kompilasi dilaksanakan untuk mendapatkan 2 (dua) data utama dari setiap IGT berupa data spasial dan dokumen pendukung. Data spasial berupa IGT/peta, baik vektor maupun raster, dalam bentuk digital maupun cetak. Peta tersebut menjadi data utama yang akan diintegrasikan dan disinkronisasikan dalam format berbagi pakai (KUGI: Katalog Unsur Geografi Indonesia) dengan mengacu pada dokumen pendukungnya. Kompilasi dokumen pendukung berupa kamus data, dokumen standar/pedoman dan peraturan-peraturan terkait IGT, dapat berupa Surat Keputusan, Peraturan Daerah atau yang lainnya.

Gambar 8. Kompilasi Kebijakan Satu Peta

Lingkup percepatan pelaksanaan KSP secara nasional meliputi 85 tema IGT yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangannya. Beberapa IGT kewenangan penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau Dinas di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, sehingga dalam pelaksanaan percepatan KSP perlu dilakukan melalui Klinik Daerah. Jenis-jenis IGT yang menjadi kewenangan daerah dalam penyelenggaraannya antara lain adalah:

(24)

(1) IGT Perencanaan Ruang berupa Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang masing-masing merupakan bagian dari Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan Kabupaten/Kota;

(2) IGT Batas Wilayah berupa Peta Batas Wilayah Administrasi Provinsi dan Peta Batas Wilayah Administrasi Kabupaten/Kota yang juga menjadi bagian dalam Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota;

(3) IGT Perizinan berupa Peta Izin Lokasi dan Peta Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Kepala Daerah melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur atau Bupati/Walikota serta Peta HGU yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kementerian ATR/BPN;

(4) IGT Utilitas berupa Peta Utilitas Jalan yang juga dilengkapi dengan Peraturan Gubernur atau Bupati/Walikota.

Gambar 9. Jenis IGT Daerah yang Dikompilasi

Klinik Daerah merupakan kegiatan kompilasi dan verifikasi yang dilakukan di setiap provinsi dengan mengundang Dinas dan atau SKPD terkait selaku penyelenggara

(25)

IGT-IGT tersebut. Dalam pelaksanaan Klinik Daerah, perwakilan Dinas dan SKPD diwajibkan untuk menyampaikan data terkait keempat jenis IGT tersebut. Data-data tersebut berupa informasi geospasial (peta) dalam bentuk vektor digital beserta kelengkapan dokumen legalnya berupa Perda, SK Kepala Daerah (Gubernur/ Bupati/Walikota) terkait dengan peta yang disampaikan.

Setiap walidata (Dinas/SKPD) akan diberikan berita acara kompilasi dilengkapi catatan atas data dan dokumen yang disampaikan. Mekanisme pelaksanaan Klinik Daerah secara teknis digambarkan pada diagram berikut.

Gambar 10. Skema Kompilasi IGT Daerah B. INTEGRASI

Integrasi merupakan tahapan teknis untuk menghasilkan IGT sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang (Pasal 9 UU No.4/2011) dimana IGT harus mengacu pada IGD. Integrasi dilakukan melalui proses verifikasi berdasarkan kriteria integrasi berupa: 1. Kesesuaian terhadap Peta Dasar/Citra Satelit

Beberapa IGT memiliki keterkaitan terhadap unsur-unsur peta dasar, bahkan menjadi bagian dalam unsur-unsur peta dasar. IGT yang demikian harus disesuaikan

(26)

geometri (lokasi dan bentuk) di dalam RBI dengan memperhatikan kenampakan citra satelit yang ada untuk validasi akurasi posisi pada level skala 1:50.000. Sedangkan beberapa IGT yang tidak memiliki keterkaitan dengan unsur peta dasar diverifikasi secara langsung menggunakan citra satelit. Unsur peta dasar yang digunakan dalam verifikasi baik pada IGT dengan format titik, garis dan area utamanya berupa garis pantai, hidrografi dan batas wilayah.

2. Konsistensi Topologi

Kriteria topologi dalam integrasi digunakan untuk memverifikasi kelayakan spasial IGT. IGT harus memenuhi kriteria topologi (khususnya yang area) berupa:

a. Tidak ada overlap antar fitur yang digambarkan b. Tidak ada gap antar fitur yang digambarkan

Kriteria-kriteria tersebut diberlakukan secara umum untuk semua unsur IGT, namun dengan memperhatikan karakter dari tema yang digambarkan karena sebagian tema tidak dapat diterapkan kriteria tersebut.

3. Konsistensi Atribut

Atribut data menjadi satu kesatuan dengan data spasial dan IGT. Kelengkapan atribut data, terutama untuk field utama (primary field) menjadi kriteria dalam integrasi IGT. Primary field merupakan filed yang berisi informasi utama atas obyek/fitur IGT yang digambarkan, berupa identitas atau nama secara unique. Tidak jelas/adanya primary field mengurangi informasi IGT, karena hanya sebatas sebarannya saja yang tergambarkan.

(27)

Gambar 11. Integrasi Informasi Geospasial Tematik

C. SINKRONISASI

Sinkronisasi merupakan tahap pemaduserasian antar IGT. Sinkronisasi penting dilakukan karena adanya IGT-IGT yang saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, misal keterkaitan antara IGT Tataruang, Batas Wilayah dan Kawasan Hutan, antara IGT Jaringan Listrik, Pembangkit dan Lokasi Gardu Listrik, antara IGT Tanah dan Gambut, antara IGT Sawah dengan Daerah Irigasi dan sebagainya.

(28)

Gambar 12. Sinkronisasi Informasi Geospasial Tematik

Salah satu amanat dalam Perpres No. 9 Tahun 2016 adalah melaksanakan penyelesaian isu tumpang tindih antar kawasan melalui kegiatan Sinkronisasi. Dalam proses Sinkronisasi, dilakukan pemaduserasian antar IGT yang telah terintegrasi untuk disesuaian antara IGT satu dengan yang lainnya, untuk kemudian dilakukan identifikasi tumpang tindih yang terjadi. Hasil sinkronisasi ini akan memberikan informasi tumpang tindih yang memang terjadi di lapangan sehingga perlu diselesaikan atau yang hanya terjadi pada peta, sehingga cukup diselesaikan melalui perbaikan data saja.

2.3. Capaian Kegiatan Percepatan Kebijakan Satu Peta Tahun 2016-2017

Lingkup pelaksanaan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta mengacu pada Rencana Aksi Perpres Nomor 9 Tahun 2016, sesuai arahan Presiden untuk prioritas kegiatan KSP di tahun 2016 adalah Pulau Kalimantan. Berdasarkan hasil inventarisasi terdapat 85 tema IGT untuk seluruh wilayah Indonesia. Di wilayah Pulau Kalimantan teridentifikasi sebanyak 78 tema IGT. Hingga akhir 2016 baru 63 tema yang dapat selesai terintegrasi, 15 IGT belum terintegrasi. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain terkendala faktor regulasi, ketersediaan Citra Satelit Resolusi Tinggi, dan beberapa IGT merupakan tema baru. Namun demikian, dengan proses integrasi yang tetap dilakukan,

(29)

pada akhir tahun 2017 jumlah IGT terintegrasi di wilayah Pulau Kalimantan bertambah menjadi 71 IGT.

Pada tahun 2017, kegiatan Percepatan KSP fokus pada penyelesaian Kompilasi dan Integrasi di Pulau Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, serta memulai tahapan Sinkronisasi di wilayah Kalimantan. Teridentifikasi di wilayah Pulau Sumatera, Sulawesi dan Bali-Nusatenggara masing-masiing sebanyak 82, 80 dan 78 tema IGT yang menjadi target integrasi pada tahun 2017. Jumlah IGT yang terintegrasi untuk wilayah Pulau Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan pada akhir tahun 2017 masing-masing sebanyak 63, 52 dan 60 IGT.

Strategi yang diambil untuk menyelesaikan target percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta tahun 2017 adalah melaksanakan klinik kompilasi baik untuk Pusat maupun daerah, melaksanakan klinik fasilitasi untuk integrasi IGT, dan melaksanakan FGD Sinkronisasi Kebijakan Satu Peta.

Kompilasi dan verifikasi IGT melalui Klinik Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada 19 Provinsi di wilayah Sumatera, Sulawesi dan Nusatenggara. 7 Provinsi dilaksanakan pada semester I dan 12 provinsi dilaksanakan di semester II tahun 2017. Terdapat 6 tema IGT yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraannya, yaitu IGT RTRW Provinsi, IGT Batas Wilayah Provinsi, IGT Jalan Provinsi, IGT Izin Lokasi, IGT Izin Usaha Pertambanan dan IGT Hak Guna Usaha. Sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota terdiri dari 4 tema, yaitu IGT RTRW Kabupaten/Kota, IGT Batas Wilayah Kabupaten/Kota, IGT Jalan Kabupaten/Kota dan IGT Izin Lokasi. Total jumlah Kabupaten/Kota di 19 provinsi tersebut sebanyak 277 Kabupaten/Kota dengan angka partisipatif kabupaten/kota secara keseluruhan sebesar 96%. Dari 277 kabupaten/kota ada 4 kabupaten yang tidak menyampaikan data sama sekali.

(30)

Gambar 13. Capaian pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Tahun 2017

(31)

Gambar 15. Angka Partisipatif Kabupaten/Kota pada Klinik Daerah per Tema IGT tahun 2017

Sejak mulai dilaksanakan pada pertengahan tahun 2016, pelaksanaan Perpres 9/2016 telah memasuki 3 semester pada akhir tahun 2017. Target integrasi untuk pelaksanaan tahun 2016 meliputi seluruh IGT wilayah Pulau Kalimantan, sedangkan pada tahun 2017 meliputi IGT di wilayah Pulau Sumatera, Sulawesi dan Nusatenggara. Target jumlah IGT di Pulau Kalimantan sebanyak 71 tema, namun baru 63 tema terintegrasi pada Semester I/2016. 8 tema selesai diintegrasikan pada tahun 2017, 3 tema ditargetkan terintegrasi pada tahun 2018, sedangkan 4 tema IGT tidak tersedia datanya sehingga tidak dapat diintegrasikan.

(32)

Jumlah IGT yang menjadi target integrasi tahun 2017 di wilayah Sumatera, Sulawesi dan Bli-NT masing-masing terdiri dari 82, 80 dan 78 tema IGT dengan jumlah yang terintegrasi masing-masing sebanyak 63, 62 dan 60 tema IGT. Beberapa tema yang tidak tersedia data/IGT-nya di wilayah Sumatera sebanyak 6 tema, wilayah Sulawesi dan Bali-NT sebanyak 3 tema. Sisa IGT yang belum selesai terintegrasi menjadi target tambahan pada pelaksanaan integrasi tahun 2018, ditambah dengan IGT di wilayah Jawa, Maluku dan Papua.

Wilayah Jawa, Maluku dan Papua menjadi target pelaksanaan integrasi pada tahun 2018. Namun demikian ada beberapa tema IGT di wilayah tersebut yang telah terintegrasi di tahun 2016/2017 sebanyak 24 IGT di wilayah Jawa dan masing-masing 19 IGT di Maluku dan Papua.

Pada tingkat provinsi, terkompilasi sebanyak 87 (dari 114) data/dokumen Provinsi, 78 data berupa IGT dengan format vektor (shapefile), 37 diantaranya sesuai dengan dokumen pendukungnya, sedangkan 21 IGT tidak sesuai dengan data pendukungnya. Pada tingkat Provinsi/Kabupaten terkompilasi sebanyak 839 (dari 1.108) data/dokumen Kabupaten/Kota, 649 data berupa IGT dengan format vektor (shapefile), 321 diantaranya

(33)

sesuai dengan dokumen pendukungnya, sedangkan 147 IGT tidak sesuai dengan data pendukungnya.

Gambar 16. Hasil Kompilasi IGT Provinsi

(34)
(35)

Gambar 19. Kompilasi Tingkatan Data IGT Pulau Sumetera

Gambar 20. Hasil Kompilasi IGT Pulau Sulawesi

(36)

Gambar 22. Hasil Kompilasi IGT Pulau Bali, NTB dan NTT

Gambar 23. Kompilasi Tingkatan Data IGT Pulau Bali, NTB dan NTT Gambar 23. Kompilasi Tingkatan Data IGT Pulau Bali, NTB dan NTT

Berdasarkan hasil Kompilasi dan Verifikasi yang telah dilakukan, ditemukan beberapa isu strategis seperti belum disahkannya Perda RTRW karena terkendala perbedaan delineasi Kawasan Hutan, konflik Batas Administrasi Wilayah sebagai konsekuensi pemekaran daerah, masih banyaknya segmen Batas Administrasi antar Provinsi dan Kabupaten/Kota yang berupa segmen indikatif, dan adanya dualisme otoritas pemerintah yang menyebabkan konflik dalam pelaksanaan pembangunan wilayah.

(37)

Hasil dari kegiatan Kompilasi dan Verifikasi akan digunakan pada proses Integrasi yang dilakukan bersama dengan Kementerian/Lembaga Walidata untuk mendukung analisis spasial yang komprehensif.

2.4. Permasalahan Pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta

Implementasi kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta telah berjalan sejak semester 2 tahun 2016, meliputi 21 wilayah provinsi di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali dan Nusatenggara. Setelah 1 (satu) tahun pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan yang masih belum terselesaikan secara sempurna. Hal tersebut memerlukan langkah tindak lanjut yang harus diselesaikan pada waktu berikutnya agar tercapai Kebijakan Satu Peta.

Permasalahan pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta meliputi permasalahan teknis dan non teknis. Beberapa permasalahan yang menjadi kendala diantaranya:

1. Kebijakan Satu Peta belum menjadi kegiatan Prioritas Nasional

Terbitnya Undang-undang Informasi Geospasial tidak serta merta membawa Kebijakan Satu Peta menjadi salah satu program prioritas nasional. Hal ini menjadi kendala bagi umum di berbagai Kementerian dan Lembaga dalam mengalokasikan anggarannya di bidang IG. Penyelenggaraan IG yang belum menjadi prioritas dalam program kegiatan di Kementerian/Lembaga menyebabkan keterbatasan anggaran di sektor IG. Permasalahan ini juga berkaitan dengan permasalahan kualitas IGT yang masih rendah dan atau ketersediaan SDM IG yang terbatas.

Terbitnya Perpres 9/2016 sebagai langkah lanjut diluncurkannya Paket Kebijakan Ekonomi VIII setidaknya telah membawa dampak positif bertambahnya anggaran di sektor IG pada berbagai Kementerian/Lembaga. Meski belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan anggaran di sektor IG namun secara bertahap telah meningkatkan produktivitas IGT di Kementerian/Lembaga.

(38)

Peta RBI menjadi peta dasar utama dalam proses integrasi IGT. Kesalahan-kesalahan dalam peta RBI menyebabkan proses integrasi menjadi terkendala. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain berupa ketidaksesuaian geometri antar unsur yang digambarkan (misal antara garis pantai dengan wilayah administrasi), kesalahan geometeri unsur yang digambarkan (misal garis pantai yang tidak menyambung), unsur-unsur RBI yang terpotong oleh batas blad NLP serta terdapatnya garis pantai yang berbeda pada satu wilayah yang sama. Permasalahan ini dapat diminimalisasi melalui permintaan telaah RBI oleh seluruh pihak terkait dengan penggunaan peta RBI.

Permasalahan lain terkait dengan peta RBI terkait dengan pembaharuan peta RBI yang penyelesaian dan penyerahannya dilaksanakan pada pertengahan semester pertama tahun berjalan, sementara pelaksanaan kegiatan PKSP dimulai sejak awal semester pertama tahun berjalan. Dengan demikian akan terjadi keterlambatan proses integrasi IGT yang menunggu penyelesaian peta RBI tersebut.

3. Ketersediaan Data Spasial

Ketersediaan IGT yang menjadi obyek pelaksanaan Kebijakan Satu Peta sebagian besar belum memenuhi kriteria awal untuk dapat diitengasikan pada skala 1:50.000. Beberapa IGT dibuat pada skala yang lebih kecil dari skala 1:50.000. Secara kaidah pemetaan IGT-IGT tersebut tidak dapat dengan serta merta diintegrasikan pada skala 1:50.000. namun tidak memungkinkan juga dilakukan pemetaan ulang untuk skala 1:50.000 yang dapat diselesaikan pada tahun yang sama untuk dapat segera diintegrasikan.

Beberapa IGT juga ada yang memiliki skala yang lebih besar. Obyek-obyek yang digambarkan memiliki kedetilan yang lebih baik dibandingkan dengan peta dasarnya. Bahkan banyak obyek yang ada di dalam IGT tidak tergambarkan di peta dasarnya. Oleh karenanya proses integrasi terhadap peta dasar yang dilakukan atas IGT-IGT dengan skala yang lebih besar atau lebih kecil dari 1:50.000 tersebut hanya sebatas menyesuaikan dengan unsur-unsur garis pantai dan perairan.

Selain skala yang tidak sama, permasalahan lain terkait kualitas IGT adalah tidak adanya standar pemetaan IGT yang sesuai dengan standar pemetaan pada skala

(39)

1:50.000. Bahkan IGT-IGT yang disebutkan telah memiliki skala 1:50.000 belum memenuhi standar pemetaan skala tersebut. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan dalam menggambarkan obyek yang dipetakan, termasuk sistem hirarki klasifikasi pemetaan yang tidak konsisten.

Permasalahan lain adalah terkait dengan kelengkapan informasi atribut IGT. Beberapa IGT meskipun secara lengkap menggambarkan obyeknya namun tidak disertai dengan informasi atribut yang lengkap. Penyediaan informasi obyek masih sebatas lokasi/koordinatnya saja, sedangkan identitas dari masing-masing obyek yang dipetakan masih belum lengkap.

4. Data IGT bersifat statis dan dinamis

Informasi Geospasial Tematik yang bersifat statis adalah Informasi Geospasial Tematik yang menggambarkan keadaan yang relatif tetap atau jarang berubah. IGT statis lebih banyak disebabkan oleh unsur-unsur alam atau bentang alam yang ada di bumi. Contoh Peta IGT statis adala peta hipsografi, peta jenis tanah, peta geologi dan peta lainnya. Sedangkan Informasi Geospasial Tematik yang bersifat dinamis adalah Informasi Geospasial Tematik yang isinya menggambarkan keadaan yang dinamis atau cepat berubah. IGT dinamis terjadi karena adanya campur tangan manusia. Contoh IGT dinamis adalah peta tata guna lahan dan peta perencanaan wilayah kota dan lainnya. IGT yang statis lebih lama proses perubahannya sedangkan IGT dinamis bisa berubah dengan cepat sesuai dengan kebutuhan dan aturan yang ada.

5. Komitmen perbaikan kualitas data spasial Aspek Legal

Perpres 9/2016 membagi IGT menjadi 3 kelompok IGT, yaitu IGT Status, IGT Perencanaan Ruang dan IGT Potensi. IGT Status adalah IGT yang mempunyai aspek hukum penguasaan lahan, IGT Perencanaan adalah IGT yang memuat aspek perencanaan pemanfaatan ruang dan IGT Potensi adalah IGT yang memuat informasi mengenai transportasi dan utilitas, lingkungan dan potensi kawasan. IGT Status dan IGT Perencanaan Ruang merupakan IGT yang memiliki keterkaitan erat dengan dokumen legal karena menjadi bagian (lampiran peta) dari suatu surat sertifikat,

(40)

peraturan daerah atau produk hukum lainnya. Penyesuaian terhadap peta-peta tersebut akan berimplikasi pada perubahan dokumen hukumnya. Dengan demikian proses integrasi dan sinkronisasi yang berimplikasi pada perubahan IGT/peta tidak dapat dilaksanakan secara sederhana dan selesai melalui desk study saja. Hal ini menjadi kendala dalam percepatan implementasi KSP karena peta-peta tersebut (satus dan tataruang) menjadi landasan utama dalam sinkronisasi antar IGT lainnya.

6. Ketersediaan SDM IG

Permasalahan terbatasnya ketersediaan SDM IG baik secara kualitas maupun kuantitas erat kaitannya dengan permasalahan kualitas IGT yang masih rendah. Rendahnya kualitas SDM dan terbatasnya jumlah SDM di bidang IG mengakibatkan rendahnya kualitas IGT yang dihasilkan. Hal ini terjadi terutama pada lingkup penyediaan IGT di daerah yang pelaksanaannya menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Keterbatasan ketersediaan SDM IG di Kementerian/Lembaga pusat juga terjadi. Jumlah personel yang terlibat untuk mengelola IGT di tingkat pusat yang berisi data seluruh wilayah nasional hanya terdiri dari beberapa personel saja.

7. Protokol Akses Data

Protokol akses data adalah sebuah aturan atau standar yang mengatur atau mengijinkan terjadinya hubungan, komunikasi, dan perpindahan data antara dua atau lebih titik komputer. Protokol akses data dapat diterapkan pada perangkat keras, perangkat lunak atau kombinasi dari keduanya. Permasalahan Protokol akses data sangat banyak bisa dari beberapa macam permasalahan dari TCP/IP, UDP, IP dll.

8. Kesiapan Simpul Jaringan dalam JIGN

Kesiapan institusi yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pengumpulan, pemeliharaan, pemutakhiran, penggunaan dan penyebarluasan Data Geospasial (DG) dan Informasi Geospasial (IG) tertentu dalam suatu sistem penyelenggaraan pengelolaan IG secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi, dan berkesinambungan serta berdayaguna. Simpul jaringan berdasarkan tugas dan wewenang terdapat dua

(41)

jenis simpul jaringan yaitu simpul jaringan pusat dan simpul jaringan daerah. Simpul jaringan pusat merupakan organisasi pada kementerian atau lembaga pada level nasional yang memiliki tugas dan fungsi simpul jaringan, sedangkan simpul jaringan daerah merupakan organisasi pada satuan kerja pemerintah daerah yang ditetapkan oleh pimpinan Pemerintah Daerah. Kesiapan simpul jaringan dalam JIGN tergantung pada unit produksi dan unit pengelolaan dan penyebarluasan. Unit produksi yang mempunyai tugas untuk mengumpulkan, mengolah, menggunakan DG dan IG. Dalam kaitan dengan tugas tersebut, unit produksi juga harus memastikan metadata tersedia untuk semua DG dan IG yang dikelolanya. Unit produksi juga melakukan kegiatan pembaruan DG dan IG sedangkan Unit pengelolaan dan penyebarluasan mempunyai tugas untuk menyimpan, melakukan tindakan pengamanan dan menyebarluaskan DG dan IG.

9. Kesiapan Pemerintah Daerah

Kesiapan pemerintah daerah dalam Kebijakan Satu Peta meliputi penyusunan peraturan dan kebijakan, pengembangan kelembagaan, penyiapan dan pengembangan SDM, penerapan teknologi dan standar, serta penyiapan dan pengelolaan Data Geospasial dan Informasi Geospasial.

Kondisi pemerintah daerah secara nyata tergantung kondisi internal dan eksternal, yang mencakup semua elemen dalam kesiapan pemerintah daerah. Kondisi Pemerintah daerah dalam menjalankan KSP dapat dibagi menjadi dua yaitu kondisi yang pendukung dan kondisi yang masih lemah. Kondisi yang menguatkan adalah kondisi yang sudah ideal dan siap digunakan sebagai bekal untuk membangun KSP. Di sisi lain, kondisi yang masih lemah merupakan aspek‐aspek yang belum tersedia dan harus diantisipasi dan diperbaiki dalam pembangunan KSP.

10. Kewenangan terhadap IGT tidak terpusat

Kebijakan Satu Peta dibangun dengan skema kelembagaan berupa walidata. Walidata merupakan kementerian/lembaga yang memiliki wewenang dalam penyelenggaraan tema IGT tertentu. Dalam kewalidataan terdapat unit produksi, yaitu pelaksana kegiatan pemetaan IGT yang ada di unit teknis kementerian/lembaga dan unit kliring yang berada di unit/pusat data dan informasi (pusdatin) masing-masing K/L.

(42)

Beberapa tema IGT yang walidatanya berada di Kementerian/Lembaga pada pelaksanaannya diselenggarakan oleh unit teknis yang berada di struktur kelembagaan daerah yang tidak dalam satu struktur birokrasi vertikal. Salah satunya adalah IGT Transportasi Jalan, dimana untuk jalan tol dan jalan nasional penyelenggaraannya berada di kementerian PUPR, sedangkan jalan daerah (provinsi, kabupaten hingga jalan desa) kewenangannya berada di tingkat Dinas/Daerah. Demikian halnya dengan IGT Daerah irigasi yang juga terdapat pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Diperlukan adanya koordinasi antara lembaga pusat dengan lembaga di daerah untuk mewujudkan IGT dalam skema KSP, namun yang lebih mendasar adalah ada tidaknya instrumen peraturan yang mengatur tentang koordinasi kelembagaan, khususnya terkait dengan penyelenggaraan IGT sesuai dengan pembagian kewenangan tersebut. Instrumen ini dibutuhkan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan IG secara terkoordinir/terpusat dalam satu pintu.

11. Permasalahan Pendanaan

Permasalahan pendanaan merupakan permasalahan umum di berbagai Kementerian/Lembaga. Penyelenggaraan IG yang belum menjadi prioritas dalam program kegiatan di Kementerian/Lembaga menyebabkan keterbatasan anggaran di sektor IG. Permasalahan ini juga berkaitan dengan permasalahan kualitas IGT yang masih rendah dan atau ketersediaan SDM IG yang terbatas.

Terbitnya Perpres 9/2016 sebagai langkah lanjut diluncurkannya Paket Kebijakan Ekonomi VIII setidaknya telah membawa dampak positif bertambahnya anggaran di sektor IG pada berbagai Kementerian/Lembaga. Meski belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan anggaran di sektor IG namun secara bertahap telah meningkatkan produktivitas IGT di Kementerian/Lembaga.

2.5. Tuntutan dan Kebutuhan

Ketersediaan IGT dengan berbagai tema yang berdayaguna, mudah diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat, pemerintah pusat maupun daerah menjadi kebutuhan mutlak dalam program pembangunan, baik pada tahapan perencanaan, pengawasan maupun evaluasi. Program Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta merupakan

(43)

upaya mewujudkan IGT yang reliabel sehingga dapat menjadi papan catur bersama dalam penyusunan berbagai kebijakan terkait pemanfaatan dan penataan ruang sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016. Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi VIII, Kebijakan Satu Peta diharapkan menjadi solusi dalam menjawab berbagai tantangan dan hambatan selama proses pembangunan yang seringkali bermuara pada konflik tumpang tindih penggunaan lahan.

Tuntutan tersedianya IGT Status, Perencanaan dan Potensi yang baik mendesak segera dipenuhi untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan nasional yang mengancam stabilitas politik, ekonomi dan kesatuan bangsa. Permasalahan tersebut diantaranya adalah maraknya konflik penguasaan lahan, ketidakpastian hukum atas usaha yang berdampak pada iklim usaha yang kurang baik, kerusakan lingkungan akibat pengelolaan pemanfaatan lahan yang tidak tepat hingga keterbatasan akses informasi terkait potensi dan ketersediaan infrastruktur. Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta melalui kompilasi, integrasi dan sinkronisasi pada saat ini menjadi strategi terbaik untuk mewujudkan ketersediaan IGT yang berkualitas dan berdaya guna sesuai dengan amanat Undang-Undang. Namun secara jangka panjang ke depannya, peran besar Badan Informasi Geospasial untuk membina stakeholder dalam menyelenggarakan Informasi Geospasial lebih utama diperlukan. Melalui pendampingan penyelenggaraan IG dan penyediaan dokumen-dokumen acuan berupa norma, standar, pedoman dan kriteria di bidang IG serta penyediaan Jaring Informasi Geospasial Nasional sebagai infrastruktur dalam berbagi pakai. Selain itu, untuk menjawab permasalahan pertama terkait penyediaan IGD sebagai acuan dalam penyelenggaraan IGT (sesuai dengan amanat UU IG) perlu juga dilakukan percepatan sehingga dapat secara cepat terpenuhi dan terbaharui.

(44)

IN FO RM A SI G EO SP A SI A L D A SA R N O RM A , ST A N D A R , PE D O M A N , K RI TE RI A JA RI N G A N IN FO R M A SI G EO SP A SI A L N A SI O N A L

LANDASAN HUKUM INTEGRASI & SINKRONISASI IGT K EL EM BA G A A N / K EW A LI D A TA A N IG T N A SI O N A L

Gambar 25. Proses Kebijakan Satu Peta

Penetapan prioritas penyelenggaraan IGT strategis sebagai program/kegiatan strategis di Kementerian/Lembaga diharapkan memiliki implikasi positif terhadap bertambahnya proporsi anggaran di sektor IG, sehingga mampu menjawab permasalahan permasalahan kualitas IGT yang masih rendah dan atau ketersediaan SDM IG yang terbatas dan permasalahan dana. Sedangkan untuk menjawab permasalahan legalitas diperlukan payung hukum yang kuat sebagai landasan yang sah ketika ada kebutuhan penyesuaian terhadap peta status untuk mewujudkan One Map Policy. Pelaksanaan KSP di sektor perencanaan ruang perlu dimasukkan sebagai salah satu agenda utama dalam peninjauan kembali rencana tataruang.

Renaksi Implementasi Perpres 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta akan berakhir pada tahun 2019, dimana lingkup penyediaan IGT baru mencakup Peta IGT pada skala menengah 1:50.000 dan wilayah daratan. Sementara itu, di sisi lain muncul kebutuhan Informasi Geospasial skala besar yang tidak terbatas pada wilayah darat saja namun juga pada wilayah laut guna mendukung prioritas pembangunan nasional. Informasi Geospasial Tematik yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur perkotaan juga tidak terbatas hanya di surface akan tetapi

(45)

sampai pada tataran subsurface. Selain itu perlu untuk dilakukan review ulang terhadap jumlah 85 tema KSP, apakah perlu untuk dimodifikasi atau dilakukan penambahan tema. Terobosan kreatif juga diperlukan dalam mempercepat pelaksanaan KSP terutama terkait dengan teknologi penyelenggaraan IG dan Sumber Daya Manusia penyelenggara IG.

(46)

Gambar

Gambar 1. Skema Kebijakan Satu Peta
Gambar 2. Portal Spasial Kementerian/Lembaga
Gambar 3. Portal Spasial Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Gambar 4. Target Pencapaian Kebijakan Satu Peta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sertifikat Badan Usaha Jasa Konstruksi merupakan sertifikat yang isinya adalah bahwa perusahaan yang memegang sertifikat tersebut berdasarkan penilaian Badan Sertifikasi

Kepala masuk pintu atas panggul : sumbu kepala janin dapat tegak lurus dengan pintu atas panggul (sinklitismus) atau miring / membentuk sudut dengan pintu atas panggul

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan (1) dalam memberikan perlindungan hukum secara preventif peraturan yang di buat untuk melindungi saksi

Data mengenai faktor psikis diperoleh melalui penyebaran angket kepada 42 orang siswa, angket terdiri dari 11 pernyataan yang digunakan, 1) untuk mengetahui

Karakter bobot biji basah per buah juga dapat digunakan secara tidak langsung untuk seleksi bobot kering per biji baik berdasar pada nilai koefisien keragaman genotipik (11,9%),

Terhadap Perilaku Siswa Kelas VIII SMP Muhamadyah 1 Pleret Tahun Ajaran 2015/2016. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta. Tujuan penelitian

Pendirian PT Krakatau Medika merupakan bagian dari proses reorganisasi & restrukturisasi PT Krakatau Steel (Persero) pada tahun 1996, dimana PT Krakatau Steel (Persero)

Bobo t Prior itas Riset Rintisan Terdepan Riset Teknologi Tinggi Riset Maju Manufaktur Riset Terapan Manufaktur Riset Maju berbasis SDA Riset Terapan berbasis SDA..