• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL ABSTRAK. A. Pendahuluan. Oleh : Dra. Hj. Ridawati, M.Pd. B. KAJIAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARTIKEL ABSTRAK. A. Pendahuluan. Oleh : Dra. Hj. Ridawati, M.Pd. B. KAJIAN TEORI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan

Sulawesi Selatan pada akhir tahun 2016 masih memiliki masyarakat penyandang buta aksara sebanyak 22.163 jiwa (BPS). Sebahagian besar buta aksara tersebut berada pada wilayah terdalam, terpencil dan terluar (3T), salah satu daerah terdalam sebagai kantong buta aksara di Sulawesi Selatan adalah daerah Kajang yang dihuni oleh masyarakat suku adat. “Suku Kajang”. Adat istiadat suku Kajang yang “tertutup”menjadi alasan sehingga sebagian besar warga masyarakatnya buta aksara. Kenyataan pada kehidupan sosial suku Kajang masih kurang layanan program pendidikan.

Upaya mengatasi permasalahan buta aksara di daerah Kajang harus memperhatikan karakteristik budaya yang berlaku. Hasil studi eksplorasi yang telah dilakukan oleh BP-PAUD dan Dikmas Sulawesi selatan, menemukan karakter budaya suku kajang yang menjadi perhatian antara lain: 1) angka buta aksara masih cukup tinggi sekitar 60% dari total jumlah penduduk 3,497 jiwa yaitu masih sekitar 1.716 jiwa yang buta aksara, 2) belum ada sekolah dalam kawasan adat hanya ada satu sekolah dasar (SD) diperbatasan kawasan adat 3) pola budaya masyarakat suku kajang sangat memegang teguh adat istiadat atau budaya dipimpin oleh seorang ketua adat yang disebut “Ammatoa”. 4) adat suku kajang tidak menerima kehadiran hal-hal baru dari luar untuk menjaga keaslian budaya dan adat istiadat yang telah tertanam. Tahun 2017, BP-PAUD dan Dikmas Sulawesi Selatan berupaya memberi pelayanan pendidikan sebagai replikasi model yang telah dikembangkan di Komunitas adat suku kajang melalui program BOP keaksaraan komunitas adat terpencil (KAT/layanan khusus) program pendidikan keaksaraan pada masyarakat suku Kajang dengan kata kunci “program pendidikan keaksaraan budaya Pasang”.

B. KAJIAN TEORI

1. Pendidikan Keaksaraan

Program pendidikan keaksaraan memiliki dua arti penting terhadap upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat buta aksara. Pertama, pendidikan keaksaraan sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010

ABSTRAK

Fokus masalah adalah bagaimana keberhasilan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar melalui “Budaya Pasang”? Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan keberhasilan KD KAT melalui pendekatan budaya Pasang. Penyelenggaraan KD KAT di Komunitas Adat Kajang menggunakan pendekatan kualitatif selama penyelenggaraan dilakukan observasi, wawancara dan tes pada awal pembelajaran, proses pembelajaran dan akhir pembelajaran dengan mengacu pada Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) pendidikan keaksaraan Dasar. Pada proses pembelajaran tutor membelajarkan dengan tema-tema budaya Pasang yang mengatur pola kehidupan manusia secara holistik, pasang merupakan pesan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Adat Kajang sebagai tuntunan hidup menuntun manusia untuk berbuat baik meliputi: kejujuran (lambusu), kesabaran (Risabbara), ketegasan (Rigattan), kesederhanaan dan keikhlasn dalam hidup (Appisona). Hasil yang dicapai dalam penyelenggaraan KD KAT dengan pendekatan budaya “Pasang” sangat efektif dalam waktu 4 bulan warga belajar yang dibelajarkan sejumlah 100 orang dengan tutor 10 setelah dilakukan evaluasi oleh Dinas pendidikan yang dilaksanakan oleh penilik rata-rata sudah menguasai SKL keaksaraan Dasar atau sudah lulus dan mendapat SUKMA.

Kata kunci: Keaksaraan Dasar, Komunitas Adat Suku Kajang, Budaya Pasang.

KEAKSARAAN DASAR (KD) PADA

KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT)

Oleh : Dra. Hj. Ridawati, M.Pd.

Pamong Belajar pada BP-PAUD dan Dikmas Sulawesi Selatan

ARTIKEL

Melalui Budaya Pasang Pada Komunitas Adat Suku Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan

(2)

2. Keaksaraan Budaya Pasang Pada Suku Adat Kajang a. Pendekatan Budaya

Kebudayaan adalah buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap pengaruh kuat dari alam dan zaman (Kodrat dan masyarakat), dimana terbukti kekayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan kehidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang bersifat alami, tertib dan damai.

Kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan segala kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya dalam Introductory Sociology Sutherland dan Waadward menjelaskan bahwa kebudayaan mencakup segala sesuatu yang dapat menghubungkan generasi yang satu ke generasi yang lain. Kebudayaan suatu bangsa adalah warisan sosialnya yang merupakan sesuatu yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, hukum, teknik atau pendekatan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari sebagai cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan yang sekaligus dapat digunakan sebagai alat komunikasi. Kebudayaan mencakup segala kemampuan manusia untuk menguasai alam dan diri sendiri. Karenanya pada suatu pihak meliputi keseluruhan dari kemajuan materialnya seperti: alat-alat, senjata, pakaian, perlindungan, mesin-mesin, bahkan sistem industrinya dan pada pihak yang lain lagi meliputi segala kemajuan non material atau sifatnya spiritual, seperti: agama, bahasa, sastra. kesenian, hukum, moral dan pemerintahan.

Koentjaraningrat (1986: 180) mendefi nisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui belajar. Hal ini berarti bahwa hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Adapun kata culture sama artinya dengan budaya atau pasal 112 ayat 1 menyebutkan pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan

bagi warga masyarakat yang buta aksara latin agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung, berbahasa Indonesia dan berpengetahuan dasar yang memberikan peluang untuk mengaktualisasikan potensi diri. Penjelasan peraturan pemerintah tersebut memberikan batasan program pembelajaran keaksaraan yang meliputi membaca, menulis, berhitung dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau disingkat Calistungkasi.

Kedua, keaksaraan fungsional memiliki arti suatu pendekatan atau cara

untuk mengembangkan kemampuan belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar. Berdasarkan pengertian kedua maka program pendidikan keaksaraan bertujuan untuk membantu warga belajar untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan keterampilan fungsional yang sesuai dengan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki serta sesuai dengan kebutuhan hidup.

Penyelenggaraan pendidikan keaksaraan memiliki prinsip penting yang harus diperhatikan dalam upaya pengembangan yaitu :

a. Konteks lokal, yaitu dengan memperhatikan minat dan kebutuhan peserta didik, agama, budaya, bahasa dan potensi lingkungan.

b. Desain lokal, yaitu proses pembelajaran yang merupakan tanggapan (respon) minat dan kebutuhan peserta didik dirancang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing kelompok.

c. Proses partisipatif, yaitu proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif dengan memanfaatkan keterampilan keaksaraan yang sudah mereka miliki.

Fungsional hasil belajar, yaitu hasil belajar dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan sikap positif dalam rangka meningkatkan mutu dan taraf hidup peserta didik.

(3)

Kebudayaan itu hidup, sebagaimana manusia itu hidup, Dewantara (1994: 54) mengatakan hidup tumbuhnya segala kebudayaan itu seperti hidup tumbuhnya manusia. Kebudayaan itu ada waktunya lahir, tumbuh, maju, berkembang, berbuah, menjadi tua, mundur, sakit-sakitan, dan mati. Manusia hidup tidak lepas dari nilai-nilai budayanya. Nilai budaya dapat menjadi unsur pemersatu suatu masyarakat atau bangsa. Diyakini bahwa salah satu unsur yang memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa ialah adanya unsur kesamaan kebudayaan yang dimiliki suatu bangsa. Dengan demikian, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk sangat penting membangun, mengembangkan dan memelihara nilai budayanya. Dalam keanekaragaman suku dan adat istiadat itu terdapat nilai-nilai yang sama, dan ini merupakan ciri kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Kesamaan nilai itu mampu menghindarkan masyarakat Indonesia dari fanatisme terhadap suku, agama, dan ras, bahkan dapat menjadi alat pemersatu. Selanjutnya, kebudayaan terdiri dari beberapa komponen atau unsur meliputi; sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem kesenian, sistem komunikasi, dan sistem perekonomian (Edi Sedyawati, 2010).

Defi nisi kebudayaan menurut para ahli tersebut diatas, menunjukkan bahwa hakekat kebudayaan meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik berupa materi maupun non materi. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara genetis, akan tetapi diperoleh melalui proses belajar. Kebudayaan bukan milik individu, tetapi milik masyarakat. Kebudayaan diperoleh melalu belajar dan meniru yang mencakup segala sesuatu yang dapat dikomunikasikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Kebudayaan terwujud dalam kehidupan nyata dengan terwujudnya prilaku masyarakat sehari-hari dalam kehidupan sebagai warga masyarakat.

b. Budaya Pasang Pada Masyarakat Suku Adat Kajang

Suku Kajang yaitu komunitas suku adat yang berada di daerah Kajang Kabupaten Bulukumba yang memiliki kekhasan budaya dan adat yang dipegang teguh oleh semua masyarakat sehingga tetap bertahan, dipimpin oleh ketua adat yang digelar dengan “ Ammatoa” yaitu kepala suku kebudayaan. Asal katanya dari bahasa Latin colere berarti mengolah

atau mengerjakan. Dari kata colere kemudian lahir culture yang berarti segala daya, upaya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam. Dewantara (1994: 56) mengartikan kebudayaan sebagai buah dari keadaban manusia. Adat itu sifatnya keluhuran budi, maka buah dari keluhuran budi itu lalu dinamakan budaya. Kata budaya, culture, colere berarti ‘mengusahakan’ yakni mengusahakan untuk mendapat kemajuan hidup. Kultur berarti usaha perbaikan hidupnya manusia. Kultur itu sifatnya bermacam-macam, akan tetapi semuanya adalah buah adab, maka semua kebudayaan atau kultur itu selalu bersifat tertib, indah, berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Semua sifat itu terdapat dalam perikehidupan manusia yang sudah beradab.

Hakekat kebudayaan adalah penghubung antara manusia secara keseluruhan yang berdasarkan norma dan nilai yang dipedomani dalam kehidupan manusia. Hubungan tersebut mengantarkan manusia pada tingkat kesempurnaan hidup sebagai manusia. Sekitar satu setengah abad yang lalu Taylor sudah mendefi nisikan kebudayaan dalam bukunya

Primitive Culture bahwa kebudayaan mencakup seluruh pengetahuan,

kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Koentjaraningrat (2002: 5) mengatakan bahwa kebudayaan itu mencakup keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Wujud kebudayaan menurutnya adalah: (1) sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (2) sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berupa ide-ide dan gagasan berada dalam alam pikiran manusia yang membentuk budaya, wujud kedua membentuk sistem sosial di mana manusia berinteraksi dan bergaul, dan wujud ketiga manusia menghasilkan berbagai macam peralatan yang digunakan untuk berbagai kebutuhan hidupnya.

(4)

C. METODE KAJIAN

Metode kajian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif (mix method) yang diawali dengan identifi kasi atau studi pendahuluan dengan pendekatan survey untuk memperoleh data dan informasi tentang permasalahan dan aspek yang dapat mendukung penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan pada masyarakat adat suku Kajang. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan mulai bulan Mei s.d November 2017. Pengumpulan data menggunakan instrument berupa tes kemampuan awal, tes proses dan tes akhir untuk mengukur kemampuan awal warga belajar sebelum dibelajarkan. Analisis data data hasil ujicoba yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi dianalisis secara deskriptif, sedangkan data yang diperoleh melalui tes dianalisis secara kuantitatif.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Lokasi Aksara Budaya Pasang

Penyelenggaraa pendidikan keaksaraan budaya pasang dilaksanakan di desa Tana Towa Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Desa Tana Towa terletak sekitar 200 km arah timur kota Makassar dan berjarak 60 Km dari ibu kota kabupaten bulukumba. (Abd. Salam, 1917). Selanjutkan dijelaskan bahwa secara geografi s daerah Kajang terbagi dua yaitu Kajang dalam dan Kajang luar, Kajang dalam masyarakatnya masih memegang teguh budaya adat leluhur, sedangkan Kajang luar masyarakatnya sudah relatif moderen sama seperti masyarakat yang berada di ibu kabupaten Bulukumba dan daerah sekitarnya.

Rumah di kawasan Kajang dalam memiliki ciri khas yang berbeda dengan Kajang luar dan daerah lainnya. Ciri khas yang dimaksud antara lain semua rumah menghadap ke barat, dapur dan pembuangan air terletak di bagian luar atau dekat pintu depan rumah sedangkan kajang luar sama dengan rumah di daerah lainnya dapur dan pembuangan air terletak di bagian belakang rumah. Pakaian warna hitam adalah warna yang khas dan sakral digunakan masyarakat kawasan ammatowa atau kajang dalam. Dengan demikian memasuki daerah kajang dalam, harus memakai pakaian warna hitam karena warna hitam mempunyai makna bagi masyarakat ammatowa, sebagai bentuk persamaan, kekuatan, kesederhanaan.

yang ditunjuk oleh warga suku Kajang untuk memimpin dan mengatur kehidupan suku Kajang sesuai adat istiadat atau budaya yang berlaku. Budaya yang berlaku di masyarakat suku kajang adalah budaya “Pasang” bahkan dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat ammatoa karena “pasang” terdiri dari kumpulan amanat leluhur. Nilai-nilai yang terkandung dalam pasang dianggap sakral oleh masyarakat ammtoa jika tidak diimlementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka yakin akan membawa dampak buruk keseluruh kehidupan masyarakat. Dampak buruk yang dimaksud adalah rusaknya keseimbangan ekologis dan sistem sosial.

“Pasang” merupakan panduan dalam segala aspek kehidupan manusia baik itu sosial, religi, mata pencaharian, lingkungan serta sistem kepemimpinan. Pasang mengatur pola kehidupan manusia secara holistik, pasang merupakan pesan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Adat Kajang sebagai tuntunan hidup menuntun manusia untuk berbuat baik meliputi: Kamase-masea (hidup sederhana), Lambusu (kejujuran), Gettang (ketegasan), dan Sabbara na Appisona (sabar dan Ikhlas) dalam kehidupan sehari-hari..

Melalui budaya ‘Pasang” ini membentuk masyarakat Kajang teguh hidup dalam kesederhanaan tidak terpengaruh dengan kemajuan teknologi karena tidak menginginkan datangnya dampak buruk dalam kehidupan. Masyarakat suku kajang masih tertutup terhadap perubahan-perubahan modern namun mereka sudah menerima perubahan yang sifatnya alami sesuai situasi kondisi adat istiadat atau sejalan dengan prinsip budaya “pasang” yang menurut istilah mereka dapat membawa kehidupan dan tidak merusak alam. Dengan demikian maka pengembangan program keaksaran dengan pendekatan budaya pasang diharapkan strategi tepat dalam memberikan pelayanan pendidikan pada masyarakat adat terpencil seperti di daerah Kajang yang masih memiliki masyarakat buta aksara tinggi.

(5)

teknologi lainnya, bukan hanya itu apabila ingin masuk daerah kajang dalam atau kawasan Amma toa tidak boleh memakai sendal karena sandal terbuat dari alat teknologi.

Situasi Perjalanan Masuk Daerah Kajang Dalam Tanpa Alas Kaki Pintu Memasuki Daerah Kajang Dalam, Nampak Masyarakat Memakai Pakaian Marna Hitam

Yang Melambangkan Kebersamaan dan Kesederhanaan.

Kesederhanaan atau kamase-masea sebagai semboyan hidup masyarakat komunitas adat kajang dalam.

Pernikahan bagi masyarakat suku kajang terikat oleh adat yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam, apabila dengan orang luar maka harus bersedia keluar kawasan kecuali bersedia mengikuti adat-istiadat dan perinsip hidup dalam kawasan. (Kasmira, 2017).

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Makassar berdialek Konjo, masyarakat senantiasa menjalin kebersamaan, kesederhanaan dalam memelihara lingkungan melestarikan hutan sebagai sumber kehidupan.

Daerah kajang luar sudah bisa menerima peradaban teknologi seperti listrik, dan alat elektronik lainnya. Sedangkan kajang dalam masyarakatnya belum bisa menerima teknologi seperti listrik dan alat elektronik atau hasil

2. Hasil Penyelenggaraan Aksara Budaya Pasang

Hasil penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar KAT pada komunitas adat kajang dengan pendekatan budaya pasang dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan Mei 2017 di kawasan adat kajang dalam. Berdasarkan hasil studi pendahuluan maka penyelenggaraan pendidikan keaksaraan budaya difokuskan pada pembelajaran dengan tema-tema budaya Pasang dan kesehatan lingkungan dengan Tema TOGA (tanaman Obat keluarga). Jumlah masyarakat yang ingin belajar dan memenuhi syarat untuk pendidikan keaksaraan dasar sejumlah 100 orang dan tutor/pendidik sejumlah 100 orang.

b. Proses pembelajaran

Proses pembelajaran dilaksanakan selama 4 bulan mulai bulan Juni s.d September 2017 diawali dengan tes kemampuan awal dengan tahapan kegiatan berikut:

(6)

Pasang mengatur pola kehidupan manusia secara holistik, pasang menuntun manusia untuk berbuat baik, jujur, sabar, tegas, bersahaja, dan kesederhanaan dalam hidup.

Melalui budaya’Pasang” ini membentuk masyarakat Kajang teguh hidup dalam kesederhanaan tidak terpengaruh dengan kemajuan teknologi karena tidak menginginkan datangnya dampak buruk dalam kehidupan. Masyarakat suku kajang masih tertutup terhadap perubahan-perubahan modern namun mereka sudah menerima perubahan yang sifatnya alami sesuai situasi kondisi adat istiadat atau sejalan dengan prinsip budaya “pasang” yang menurut istilah mereka dapat membawa kehidupan dan tidak merusak alam. Dengan demikian maka pembelajaran pendidikan keaksaraan dasar dengan pendekatan Budaya Pasang merupakan strategi tepat dalam memberikan pelayanan pendidikan pada masyarakat adat terpencil seperti di daerah Kajang yang masih memiliki masayarakat buta aksara tinggi.

Melalui tema pembelajaran “Pasang” yang dikemas dalam 3 buku yaitu buku Pasang 1 (mengenal huruf dan angka, menulis dan membaca uruf dan angka ), Buku Pasang 2 (Membaca dan menulis suku kata menjadi kata), dan buku Pasang 3 (membaca, menulis kalimat dan berhitung sederhana). Selanjutnya untuk menambah pengetahuan dan keterampilan peserta didik maka bahan ajar dilengkapi dengan tema pengetahuan dan keterampilan tentang Tanaman Obat Keluarga (TOGA).

3. Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi dilaksanakan pada awal, proses sampai akhir pembelajaran. Monitoring dan evaluasi awal dilaksanakan untuk melihat kesiapan peserta didik, pendidik, dan kesiapan sarana prasarana. Selanjutnya monitoring dan evaluasi proses dilakukan untuk melihat, mengukur dan menilai aktifi tas peserta didik, tutor/pendidik, penyelenggara dan kesiapan sarana prasarana serta permasalahan yang ditemukan dan perlu perbaikan dalam proses pembelajaran. Monitoring dan evaluasi akhir untuk mengukur hasil yang dicapai oleh peserta didik selama proses pembelajaran dengan mengacu pada SKKL pendidikan keaksaraan dasar, kemampuan dan tanggapan pendidik, penyelenggara serta pemerintah setempat terhadap penyelenggaraan pendidikan keaksaraan di komunitas adat suku Kajang. Hasil evaluasi terhadap warga belajar setelah mengikuti pembelajaran selama 4 bulan diperoleh hasil dari 100 peserta didik yang dibelajarkan selama 4

1) Tes Awal

Tes awal dilakukan pada awal kegiatan atau sebelum peroses pembelajaran dilaksanakan, bertujuan untuk mengukur kemampuan awal setiap warga belajar sehingga materi dan metode strategi pembelajaran dapat disesuaikan.

Tes kemampuan awal pada program Keaksaraan Dasar KAT Suku Kajang dilaksanakan pada bulan Juni 2017. Dari 100 orang warga belajar ada 43 orang (43%) yang sudah mampu membaca, menulis dan berhitung dasar namun masih parsial atau belum lancar, dan ada 57 orang (57%) yang masih buta aksara murni.

2) Proses pembelajaran

Proses pembelajaran dilaksanakan selama 4 bulan dengan frekwensi pembelajaran 3 kali setiap minggu (Senin, Jumat dan Minggu) setiap pertemuan pembelajaran 3 jam. Jadi 3 hari x 3 jam x 4 minggu x 4 bulan = 144 jam.

Materi pembelajaran diarahkan pada tema budaya “Pasang Ri Kajang”, Pasang Ri kajang adalah budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat adat suku Kajang. Suku Kajang yaitu komunitas suku adat yang berada di daerah Kajang Kabupaten Bulukumba yang memiliki kekhasan budaya dan adat yang dipegang teguh oleh semua masyarakat sehingga tetap bertahan, dipimpin oleh ketua Hadat yang digelar dengan “ Ammatoa” yaitu kepala suku yang ditunjuk oleh warga suku Kajang untuk memimpin dan mengatur kehidupan suku Kajang sesuai adat istiadat atau budaya yang berlaku.

Budaya yang berlaku di masyarakat suku Kajang adalah budaya “Pasang” bahkan dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Ammatoa karena “Budaya Pasang” terdiri dari kumpulan amanat leluhur, Nilai-nilai yang terkandung dalam pasang dianggap sakral oleh masyarakat Ttanatowa jika tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka yakin akan membawa dampak buruk keseluruh kehidupan masyarakat. Dampak buruk yang dimaksud adalah rusaknya keseimbangan ekologis dan sistem sosial. “Pasang” merupakan panduan dalam segala aspek kehidupan manusia baik itu sosial, religi, mata pencaharian, lingkungan serta sistem kepemimpinan.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, S.T.(1991).”Sejarah Kebudayaan Indonesia Masuk Globalisasi Ummat Manusia.

(Makalah Kongres kebudayaan 1991). Majalah kebudayaan Vol 13.

Burhan Bungin. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafi ndo Persada Coombs, P. & Manzoor, H.A. 1994. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan

Nonformal. Jakarta: Rajawali.

Depdiknas. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan.

Direktorat Pendidikan Anak usia Dini dan Pendidikan Masyarakat 2017. Petunjuk Teknis BOP

Pendidikan Keaksaraan Dasar. Direktorat Pendidikan keaksaraan dan Kesetaraan

.Jakarta.

Edi Sedyawati, 2010. Budaya Indonesia. Jakarta. Rajawali Pers.

Hasmawati. 2006. Evaluasi Keefektifan Penyelenggaraan Program Keberaksaraan Fungsional

di Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: PPs

UNM.

Koentjaraningrat. (1986). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kusnadi, dkk. 2005. Pendidikan Keaksaraan, Filosofi , Strategi, Implementasi.Jakarta

Ridawati, dkk. 2006. Model Pendidikan Keaksaraan Di komunitas adat Kajang, BPPAUD

Dikmas. Makassar Sulawesi Selatan.

Spradley, J.P. (1997). Metode Etnografi . (Terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: CV. Eko

Jaya.

Yusuf Akib.2008, Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam. Makassar: Pustaka Refl eksi.

bulan, setelah dilakuakan penilaian awal, penilaian proses dan penilaian akhir rata-rata dinyatakan sudah memenuhi syarat untuk memperoleh SUKMA karena telah menguasai pengetahuan sesuai standar kompetensi keaksaraan dasar.

Penyelenggaraan pendidikan keaksaraan budaya pasang ini terbukti efektif, terlaksana, menarik, dalam rangka percepatan penuntasan buta aksara pada daerah komunitas adat suku Kajang. Efektif dari hasil observasi nampak peserta didik aktif mengikuti pembelajaran karena tema-tema pembelajaran menarik, dan mudah dipahami karena tema kebiasaan mereka sehari-hari yaitu budaya “Pasang” yang mereka junjung tinggi sehingga dalam waktu empat bulan dari 100 warga belajar yang dibelajarkan setelah dilakukan evaluasi oleh dinas Pendidikan Kabupaten yang dilaksanakan oleh Penilik. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa rata-rata warga belajar telah menguasai SKKL pendidikan Keaksaraan Dasar dan dinyatakan lulus semua. Dengan demikian diharapkan pendekatan pendidikan keaksaraan budaya pasang ini dapat dijadikan pola, acuan bagi penyelenggara dan tutor serta masukan bagi pemerintah dan semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan di komunitas adat suku Kajang dan daerah lain dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Informasi selengkapnya dapat mengubungi/mengunjungi BPPAUD dan DIKMAS Sulawesi Selatan.

E. SIMPULAN

Berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dengan pendekatan budaya pasang dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa:

1. Pelaksanaan pendidikan keaksaraan dengan pendekatan budaya pada komunitas adat Kajang efektif hanya dalam waktu 4 bulan dari 100 warga belaja yang dibelajarkan setelah dilakukan penilaian oleh Dinas pendidikan rata-rata sudah menguasai SKL pendidikan keaksaraan dasar dan dinyatakan lulus 100%.

2. Program pendidikan keaksaraan pendekatan budaya pasang ditinjau dari tingkat keterlaksanaan dan kesesuaian kebutuhan masyarakat, dari hasil wawancara dan observasi terhadap keaktifan warga belajar rata-rata mereka merasa senang mengikuti pembelajaran, mereka merasa mudah memahami tema-tema karena sesuai kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari yaitu budaya pasang ri Kajang.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada umumnya konstruksi tangga dari batu digunakan untuk : (1) tangga luar yang menghubungkan tanah dengan lantai dasar bangunan, terutama untuk bangunan tempat tinggal, (2)

Tabel yang sama juga menunjukkan bahwa konfigurasi yang memiliki biaya investasi paling rendah adalah konfigurasi-8 (konfigurasi dengan sistem gasifikasi yang dilakukan pada tekanan

Objek pajak Subjek Pajak Saat terutang Saat dipungut/ dibayar PPN terutang PPN disetor Lapor PK > PM setor PK < PM Lebih bayar PM yg dapat dikreditkan 1111

Hasil studi ini memiliki keterbatasan untuk menjawab secara tuntas semua per- masalahan yang terkait dengan hubungan kasualitas antara variabel-variabel kualitas pelayanan,

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan yang terdapat di dalam ketiga belas video komedi Kamil Onte Pon Tv yang di dalamnya memuat penyimpangan prinsip kerja

Oleh itu, untuk menampung lompang tersebut, kajian ini akan menjelaskan sistem ejaan Jawi Tradisi, ejaan Lazim dan ejaan Mengikut Hukum yang terdapat dalam naskhah Surat-surat