• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perpustakaan Universitas Gunadarma BARCODE SURAT KETERANGAN. Nomor: 6/PERPUS/UG/2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perpustakaan Universitas Gunadarma BARCODE SURAT KETERANGAN. Nomor: 6/PERPUS/UG/2021"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Perpustakaan Universitas Gunadarma BARCODE

BUKTI UNGGAH DOKUMEN PENELITIAN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS GUNADARMA

Nomor Pengunggahan

SURAT KETERANGAN

Nomor: 6/PERPUS/UG/2021

Surat ini menerangkan bahwa:

Nama Penulis : Siti Aisyah

Nomor Penulis : 160808

Email Penulis : aisyahdaruss@staff.gunadarma.ac.id

Alamat Penulis : UNIVERSITAS GUNADARMA Jl. Margonda Raya 100, Depok, Jawa Barat

Telah menyerahkan hasil penelitian/ penulisan untuk disimpan dan dimanfaatkan di Perpustakaan Universitas Gunadarma, dengan rincian sebagai berikut :

Nomor Induk : FEUG/SY/PENELITIAN/6/2021

Judul Penelitian : Hisbah dalam Pandangan Imam Mawardi Tanggal Penyerahan : 17 / 02 / 2021

Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya dilingkungan Universitas Gunadarma dan Kopertis Wilayah III.

(2)

Hisbah dalam Pandangan Imam Mawardi

Siti Aisyah

Program Studi Ekonomi Syariah, Universitas Gunadarma, Depok, Indonesia E-mail: aisyahdaruss@staff.gunadarma.ac.id

Abstract: The study aims to determine his views on hisbah in Islam, and the relevance of hisbah thought in modern economic practice. Imam Mawardi was one of the earliest scholars who placed a special discussion on his work other than Abu Ya'la because that is the importance of this study. The method used to achieve this research's objectives is qualitative using literature study and contact analysis, which analyzes his thoughts about hisbah from his book entitled Ahkam Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah. This study's contribution tries to provide a basic framework of hisbah in Imam Mawardi's view, which can be referred to in the implementation of hisbah today in a government.

Keywords: Hisbah, Imam Mawardi, Government

Abstrak: Studi bertujuan untuk untuk mengetahui pandangannya tentang hisbah dalam Islam dan relevansi pemikiran hisbahnya dalam praktek ekonomi modern. Imam Mawardi merupakan salah satu ulama awal yang menempatkan pembahasan khusus dalam karyanya selain Abu Ya’la, karena itu menjadi penting studi ini. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah kualitatif yang menggunakan studi kepustakaan dan Analisa kontak yang menganalisa pemikirannya tentang hisbah dari kitabnya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah. Kontribusi studi ini mencoba memberika kerangka dasar hisbah dalam pandangan Imam Mawardi yang dapat dirujuk dalam implementasi hisbah masa kini dalam suatu pemerintahan.

Keywords: Hisbah, Imam Mawardi, Pemerintah

1. Pendahuluan

Hisbah adalah salah satu institusi yang bertanggung jawab pada moral dan akhlak serta penegakkan Syari’at pada masyarakat yang telah hadir semenjak kedatangan Islam di Jazirah Arab. Institusi ini memainkan peranan penting dalam sistem pemerintahan Islam yang menjaga dan memelihara kemaslahatan umum masyarakat termasuk dalam kehidupan sosio-ekonomi negara. Para ulama fikih dan lainnya telah menjelaskan dalam karya-karyanya tentang peranan penting hisbah yang menegakkan kebaikan dan melarang kerusakan atau kejahatan dalam satu sistem pemerintahan Islam.

Literatur khusus tentang hisbah pun telah banyak ditulis oleh ulama-ulama dahulu diantaranya adalah Yahya bin Umar dalam ahkâm al-süq dan Ibnu Taimiyah dalam al-hisbah fil Islam. Namun demikian, Imam Mawardi lah yang banyak dirujuk oleh para ulama sesudahnya dalam mengkaji sejarah dan praktek hisbah dalam sejarah Islam. Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah, ia menempatkan hisbah pada satu pembahasan khusus yang mengatur

(3)

keseluruhan administrasi negara. Selainnya itu ada Abu Ya’la al-Farra yang juga membahas hisbah tetapi terbatas pada lingkup Madzhab Hambali.

Maka dapat dikatatakan bahwa pemikiran Imam Mawardi tentang hisbah merupakan rujukan awal dalam literatur studi hisbah. Karena itu studi ini bertujuan untuk mengetahui pandangannya tentang hisbah dalam Islam dan relevansi pemikiran hisbahnya dalam praktek ekonomi modern.

2. Metodologi

Metode penelitian atau metode riset berasal dari bahasa Inggris. Metode berasal dari kata methodh, yang berarti ilmu yang menerangkan metode atau cara-cara. Kata penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “research” yang terdiri dari kata re (mengulang) dan search (pencarian, pengejaran, penelurusan, dan penyelidikan). Maka research berarti melakukan pencarian, sehingga langkah logis dan sistematis tentang pencarian yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisa, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan pemecahannya.1 Menurut kamus Webster’s New International, penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu.2

2.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang berupa studi kepustakaan (library research), menurut Gogdan dan Guba pendekatan kualitatif adalah prosedur peneltian yang menghasilkan data diskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka).3

Sedangkan jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah analisis isi (content analysis) yang artinya suatu model yang dipakai untuk meneliti dokumentasi data yang berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya. Menurut Krippendorff, analisis isi bukan sekedar menjadikan isi pesan sebagai obyeknya, melainkan lebih dari itu terkait dengan konsepsi-konsepsi yang lebih baru tentang gejala-gejala simbolik dalam dunia komunikasi.4 Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (repicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Sebagai suatu teknik penelitian, analisis isi mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemerosesan dalam data ilmiah dengan tujuan memberikan pengetahuan, membuka wawasan baru dan menyajikan fakta.5

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dikarenakan beberapa pertimbangan terkait tentang perumusan masalah yang akan penulis teliti. Penelitian ini menunjuk untuk menggunakan model kualitatif, yaitu peneliti ingin mengetahui dan memaparkan pemikiran-pemikiran tokoh Muslim dengan latar belakang keilmuwan yang berbeda.

1 Wardi Bachtiar, Metode Penelitian Dakwah (Jakarta: Logos Wacana, 1999), hlm. 1. 2

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 15.

3 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), hlm. 76. 4 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 71.

(4)

2.2. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah data primer, berupa kitab-kitab karya para pemikir-pemikir Islam dahulu dan data sekunder yang merupakan data tambahan atau data pelengkap terhadap data primer, berupa kitab-kitab, buku-buku, dan karya tulis lainnya yang ditulis oleh para ulama Islam.

2.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan document analysis (analisis dokumen), yaitu teknik pegumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada obyek penelitian, namun melalui dokumen,6 dengan mengumpulkan dokumen-dokumen berupa kitab, buku, karya

tulis lainnya terkait pemikiran-pemikiran tokoh atau ulama Islam dahulu.

2.4. Teknik Analisis Data

Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis, dan ilmiah. Kegiatan analisis tidak terpisah dari rangkaian kegiatan secara keseluruhan.7 Jadi tujuan dari analisis data ini adalah

untuk menyederhanakan, sehingga mudah ditafsirkan.8

Setelah pengumpulan data-data terkait kajian ini, maka penulis akan menganalisis dengan metode diskriptif, yaitu berusaha untuk menggambarkan dan menganalisis secara mendalam berdasarkan data yang diperoleh.9

Sedangkan untuk langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah model analisis Miles and Hubermen, yang terdiri atas reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Reduksi Data (Data Reduction)

Menurut S. Nasution dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Naturalistik” bahwa reduksi adalah merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema polanya, sehingga data lebih mudah untuk dikendalikan.10 Sedangkan menurut Sugiyono reduksi adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.11

Disini, data-data berupa teks dokumen kitab, buku, dan karya tulis lainnya yang telah dikumpulkan akan dipilih agar fokus terhadap tema yang akan dibahas yaitu terkait mekanisme pasar, harga dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran.

b. Penyajian Data (Data Display)

Setelah data direduksi, kemudian disajikan dalam bentuk singkat, bagan, hubungan antar kategori, atau dengan teks yang bersifat naratif. Menurut Miles and Hubermen penyajian data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang

6 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 87. 7 Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, hlm. 191.

8 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 88. 9 Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, hlm. 11.

10 S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1992), hlm. 129. 11 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV.Alfabeta, 2008), hlm. 338.

(5)

bersifat naratif. Dengan penyajian data, maka akan mempermudah untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.12

c. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)

Kesimpulan ini masih sebagai hipotesis yang sifatnya sementara, dan dapat menjadi teori jika didukung oleh data-data yang lain.13 Dan akan berubah bila ditemukan

bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya.

3. Kajian Pustaka 3.1. Definisi Hisbah

Hisbah secara bahasa merupakan Masdar dari ihtisâb yang artinya meminta upah atau ganjaran (thalab al-ajru), yaitu mengharapkan ganjaran pahala dari Allah swt, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad saw, man ṣâma ramadhân īmânan wa ihtisâban (meminta ganjaran pahala kehadirat Allah swt).14Arti yang lain adalah hitungan (al-hisâb) sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-An’am, 96, yang artinya Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan (husbânan). Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Secara istilah para ulama klasik terlihat kesamaan arti hisbah yaitu institusi etika atau moral tentang amar ma’ruf dan nahi munkar. Abu Ya'la mendefinisikan hisbah sebagai menjalankan perintah yang baik (amr bil ma'ruf) dan mencegah terjadinya kemungkaran (nahi munkar).15 Ibn Taimiyyah memberikan definisi yang lebih spesifik bahwa hisbah adalah institusi yang memerintahkan apa yang umumnya dikenal sebagai kebaikan (al-ma'ruf) dan melarang apa yang umumnya dikenal sebagai kejahatan (al-munkar) dimana kewenangannya tidak dapat dan dijangkau oleh gubernur, hakim, atau lainnya pejabat publik tertentu.16 Selain itu, Ibn Khaldun dan al-Maqrīzi, dalam presentasi mereka tentang fungsi negara Islam, mendefinisikan hisbah sebagai departemen keagamaan (wadhīfa dīniyya untuk Ibn Khaldun dan Khidma dīniyya untuk al-Maqrīzi).17

Istilah menurut ulama kontemporer seperti Shaikh Wahbah Zuhaili (2011) mengatakan Al-hisbah adalah institusi atau jabatan keagamaan yang muncul dari kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar.18 Khan (2003) mengartikan hisbah sebagai suatu institusi yang ada sepanjang sejarah Islam yang menerapkan apa yang pantas dan mencegah apa yang tidak pantas dalam Syari’at Islam.19 Menurut Ash-Shiddieqy (1997) bahwa hisbah merupakan kewajiban diri

(fardhu ‘ain) yang diserahkan kepada otoritas atau pemerintah.20 Definisi Ash-Shiddieqy

12 Ibid, hlm. 341.

13

Ibid, hlm. 345.

14 Muhammad ibn Manzur, lisanul Arab, (Beirut, Dar Ihya’al-Turath al-’Arabi, 1988), hlm. 866.

15 Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husayn al-Farra al-Hanbali, Al-Ahkam al-Shultaniyyah, (Beirut: Darul Kutub,

1983), hlm. 283.

16 Abdul Azim Ishali, Economic Concept of Ibn Taimiyah, (UK: The Islamic Foundation, 1996), hlm. 187. 17 Yassine Essid, A Critique of the Origin of Islamic Economic Thought (Leiden: E.J. Brill, 1995), hlm. 118. 18 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 8 (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), hlm. 383.

19 Muhammad Akram Khan, Islamic Economics and Finance: A Glossary, edisi kedua, (London & New York:

Routledge, 2003), hlm. 76.

20 Tengku Muhammad Hasbi ash shiddieqy, (peradilan dan hukum acara islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki

(6)

sepertinya menekankan pada aspek pelaku hisbah dimana menjadi fardhu ‘ain bagi muhtasibah yaitu orang yang ditunjuk oleh pemerintah melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam otoritas pemerintah, sedangkan selain muhtasib itu hanya menjadi fadhu kifayah.21

Dari definisi yang telah dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa hisbah adalah institusi keagamaan yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan etika masyarakat yang menjaga perilaku yang baik dan melarang perilaku yang buruk.

3.2. Hisbah dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam tugas hisbah sendiri telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan juga beliau telah mendelegasikan kepada sahabat-sahabatnya seperti ‘Atab bin Asyad, ‘Ali Mu’adz, dan Abu Musa.22 Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw melewati seorang lelaki yang menjual makanan. Kemudian Rasulullah menanyainya, "Bagaimana kamu menjual?" lelaki tersebut memberitahu bagaimana caranya dia menjual. Rasulullah saw mendapat wahyu agar beliau memerintahkan kepada lelaki itu untuk memasukkan tangannya ke dalam makanan. Lelaki tersebut memasukkan tangannya ke dalam makanan. Setelah dimasukkan, tangannya itu menjadi basah. Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Tidak termasuk umatku orong yang menipu."23 Apa yang beliau lakukan adalah salah bentuk aktivitas hisbah khususnya dalam pasar. Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah saw pernah mewakilkan hisbah kepada orang lain, yaitu kepada Sa'id bin Al 'Ash bin Urnayyah sebagai penjaga pasar Makkah, sebagaimana beliau juga pernah mengangkat Umar bin Khattab ra sebagai penjaga pasar Madinah.24Sehingga hisbah belum

menjadi satu institusi pemerintah di masa Rasulullah saw, tetapi perannya langsung dilakukan olehnya dan para sahabat-sahabatnya yang beliau angkat untuk melakukan peran sebagai muhtasib.

Selanjutnya, para khulafa al-Rasyidun telah melakukan praktek hisbah di masa kepemimpinannya. Di masa kepemimpinan khulafa al-Rasyidun ini mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw pada prakteknya, hanya pada masa Khalifah Umar bin Khattab adanya kelembagaan hisbah. Umar bin Khattab membentuk Diwan al-Hisbah untuk pertama kalinya, dan mengangkat Sa’ib bin Yazid dan Abdullah bin Utbah sebagai muhtasib di Madinah. Ia juga sendiri yang langsung muhtasib pada keadaan dan situasi pasar guna mencegah praktik-praktik penipuan, meronda pada malam hari untuk menginspeksi keadaan kaum muslimin, menangani para pelaku kezaliman dan penyimpangan, menangkap dan menghukum para pelaku kejahatan. Akan tetapi, penggunaan istilah ini baru dikenal pada masa pemerintahan Abbasiyah.25Selanjutnya, ketika Usman bin Affan (23-35 H/644-656 M) menjadi khalifah, ia mengangkat al-Harith bin al-‘As sebagai muhtasib. Pada masa Ali bin Abi Talib (35-40 H/656-661 M), selain ia sendiri yang melaksanakan tugas tersebut, Ali juga mengangkat ‘Awrad bin Sa‘d sebagai muhtasib.26

21 Imam Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, (Jakarta: Qisti Press, 2014), hlm. 406.

22 Ikhwan Hamdani, Sistem Pasar dan Pengawasan Ekonomi (Hisbah) dalam Perspektif Ekonomi Islam, (Jakarta:

Nur Insani, 2003), hlm. 100.

23 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah. Sunan Ibnu Majah. Terj. Abdullah Shonhaji. Semarang CV.

Asy-Syifa.hlm. 582.

24 Badr Abdurrazaq al-Mash. Manhaj Da’wah Hasan al-Banna. Terj. Abu Zaid (Solo: Citra Islami Press, 1995), hlm

39-40.

25 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 8, hlm. 384.

(7)

Di Masa Daulah Umayyah, institusi al-hisbah di Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman).27Pada masa Daulah Abbasiyah yaitu khalifah Abu Ja'far Al-Manshur mengangkat Abu Zakariya, Yahya bin Abdullah menduduki jabatan hisbah di Baghdad dan pasar-pasarnya. Hanya saja ia menindas rakyat kecil sehingga mendapar amarah besar dari khalifah dan akhirnya dihukum mati. Pada saat Abu Sa'id Al-lsthakhri memegang hisbah di masa khalifah Al-Qadir Billah, ia pernah membakar rempat permainan, karena tempat itu telah digunakan untuk halhal yang tidak bermandaat. Institusi hisbah merupakan bagian sistem tata negara dalam sejarah Islam yang terus berkembang di masa Rasulullah saw sampai pada masa Daulah khilafah Islamiyyah Turki Utsmani.

4. Hisbah dalam Pandangan Imam Mawardi 4.1. Biografi Ringkasnya

Nama lengkapnya Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi. Sebutan ‘mawardi dinisbatkan dengan pekerjaan keluarganya yang ahli membuat māu’l waradi (air mawar) dan menjual.28Di Kota Basrah, beliau dilahirkan pada tahun 364 H/972 M. Pendidikan usia dini sampai remaja yang lakukan di Basrah, diantara guru-gurunya adalah Abu Qasim al-Shaimari dan al-Isyhfirayini, yang merupakan ahli-hali fikih mazhab Syafi’i. Di masa Khalifah Abbasiyyah, al-Qādir billah mazbah Syafi’I terbilang dominan.29

Karirnya menjadi hakim (qadi) yang terkenal (karena sering berpindah-pindah) dan yang puncaknya karirnya meningkat setelah dia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat), penasihat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam). Selain itu dia juga terkenal sebagai duta diplomasi pada pemerintah bani buwaih dan di sisi lain sebagai duta diploma Daulah Abbasiyah di masa Khalifah Qaim biamrillah.30

Karya tulisnya berjumlah 12 buah terkait persoalan keagamaan, sosial, politik, bahasa, dan etika,31diantaranya al-hawi al-akbar, al-Iqna, al-ahkām al-Sulthaniyyah, nasihat al-Mulk dan adab al-Dunya wal Din. Pada Tahun 450 H atau 1059 M, Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri meninggal di Bagdad.

4.2. Pengertian Hisbah dan Ruang Lingkupnya

Hisbah menurutnya adalah memerintahkan kebaikan, jika terbukti kebaikan banyak ditinggalkan, dan mencegah kemungkaran jika kemungkaran banyak dilakukan.32 Definisi ini merujuk kepada Surat al-Imrȃn, 104:

ُعْدَي ٌةَّمُأ ْمُكن ِّ م نُكَتْل َو

ىَلِّإ َنو

ٱ

ِّب َنو ُرُمْأَي َو ِّرْيَخْل

ٱ

َن ْوَهْنَي َو ِّفو ُرْعَمْل

ِّنَع

ٱ

ۚ ِّرَكنُمْل

وُأ َو

َل

ُمُه َكِّئ

ٱ

َنوُحِّلْفُمْل

.

27 Muhammad Nur. ‘Pemerintahan Islam Masa Daulat Bani Umayyah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran).’

Jurnal Pusaka, Vol. 3, No.1, 2015, hlm. 121.

28 Imam Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, hlm. 5. 29 Ibid.

30 Imam Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, hlm. 5.

31 Lutfi A. Hamidi. Penguasa dan Kekuasaan: Pemikiran Politik alMawardi (Yogyakarta: UIN SUKA, 1996), hlm.

26-28; Rasdha Diana.’ Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan Islam.’Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, 157-176.

32 Marah Halim. ‘Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam.’ Jurnal Ilmiah Islam Futura,

(8)

ru kepada ye

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang men “

Terjemah Arti:

-kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang

” . ang beruntung orang y

Pengertian hisbah Imam Mawardi merupakan pengertian yang umum, tidak hanya dihubungkan dengan aturan-aturan di pasar. Sehingga pembahasan hisbah itu mencangkup pada 2 hal, yaitu memerintahkan kepada kebaikan (ma’rȗf) dan melarang dari kemungkaran (munkar). Memerintahkan kebaikan dibagi tiga menurutnya yang berhubungan dengan kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah, manusia, dan gabungan dari keduanya.33Penjelasan pertama tentang amar ma’ruf terkait dengan hak-hak Allah, manusia, dan kombinasi antara hak Allah dan manusia. Perintah terkait dengan hak Allah misalnya Imam Mawardi mencontohkan shalat jum’at berjamaah, jika jumlahnya penduduk yang melakukan shalat jamaah di suatu tempat berpenduduk maka muhtasib dalam hal ini mengesahkannya, tetapi jika tidak sesuai jumlahnya tidak ideal misalnya tidak lebih empat puluh orang, maka ada empat kondisi penyelesaiannya dalam table 1.34

Table 1: Empat Kondisi Jumlah Penduduk Tidak Ideal Shalat Jum’at

No Kondisi Tindakan

1. Adanya kesepakatan antara muhtasib dan masyarakat bahwa jumlah yang tidak ideal tersebut sah untuk melaksanakan shalat jum’at

Muhtasib memerintahkan mereka untuk menyelenggarakan shalat jum’at berjamaah, dan bagi yang meninggalkannya ada ta’zir 2. Adanya kesepakatan antara muhtasib

dan masyarakat bahwa jumlah yang tidak ideal tidak sah untuk melaksanakan shalat jum’at

Muhtasib tidak memerintahkan mereka untuk menyelenggarakan shalat jum’at berjamaah

3. Adanya perbedaan pendapat antara muhtasib dan masyarakat, dimana masyarakat mengatakan itu sah dengan jumlah tersebut dan muthasib tidak menyetujuinya

Muhtasib tidak boleh menentang

penyelenggaraan shalat jum’at berjamaah yang dilakukan oleh masyarakat

4. Adanya perbedaan pendapat antara muhtasib dan masyarakat, dimana muhtasinmengatakan itu sah dengan

jumlah tersebut, sedangkan

masyarakat mengatakan tidak sah.

1. Muhtasib diperbolehkan untuk

memerintahkan masyarakat untuk shalat jum’at berjamaah;

2. Muhtasib tidak diperbolehkan untuk memerintahkan masyarakat untuk shalat jum’at berjamaah.

Sumber: kitab Ahkam Sulthaniyah, hlm. 411.

Maka dapat dipahami bahwa perintah shalat kepada masyarakat adalah salah tugas muhtasib untuk mengingatkannya terkait dengan hak-hak Allah kepada manusia. Ia mengatakan,”Adapun yang dilakukan Sebagian orang seperti menunda shalat hingga waktunya habis, maka muhtasib berhak mengingatkan orang tersebut, memerintahkannya shalat, dan

33 Imam Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, hlm. 410. 34 Ibid, hlm 410-411.

(9)

mencermati jawabannya. Jika berkata,”Aku meninggalkannya karena lupa,” muhtasib menganjurkannya shalat setelah ingat, tanpa menjatuhkannya ta’zir kepadanya. Jika ia berkata, “Aku meninggalkannya karena malas,” muhtasib menjatuhkannya ta’zir kepadanya dan memerintahkannya shalat dengan paksa.35

Adapun hisbah yang terkait dengan hak-hak manusia dibagi menjadi dua yaitu umum dan khusus. Beliau memberikan contoh suatu yang umum misalnya suatu daerah yang sumber airnya tidak berfungsi atau tembok perbatasannya runtuh, atau daerah tersebit didatangi para musafir yang miskin kemudian penduduk daerah tersebut menolah memberi bantuan kepada mereka; jika di Baitul mal terdapat persediaan dana, muhtasib tidak boleh memerintah sesuatu yang menimbulkan mudharat kepada mereka, misalmya memerintah mereka untuk memperbaiki sumber air tersebut, membangun kembali tembok perbatasan, dan membantu para musafir yang melewati mereka karena semua hal tersebut menjadi tanggub jawab Baitul mal.36 Tetapi jika persediaan dana di Baitul mal tidak cukup, muhtasib berhak memerintah mereka (orang yang mampu). membangun kembali tembok-tembok perbatasan, renovasi sumber air, dan membantu para musafir.37Jika orang yang mampu tersebut menolak, maka muhtasib tidak boleh hal tersebut terjadi.38

Adapun terkait dengan hal-hal yang khusus seperti penanganan hak-hak yang ditunda dan penundaan pembayaran hutang maka muhtasib dibenarkan berhak memerintah orang yang mempunyai uang segera mengeluarkan hak tersebut. Jika dia dimintai tolong oleh pemilik haknya muthasib tidak dibenarkan menahan orang tersebut disebabkan menunda pemenuhan hak atau pembayaran utangnya.39 Maka bisa dikatakan hisbah terkait hak-hak manusia yang khusus lebih banyak terlihat dalam aspek-aspek muamalat, ketimbang ibadah makhdah.

Ketiga, kombinasi hak Allah dan manusia misalnya beliau mencontohkan bentuk perintah kepada orang tua untuk menikahkan gadis-gadis yang sendirian dengan laki-laki yang sekufu jika mereka memintanya dan mewajibkan para wanita untuk menjalankan ketentuan iddah, jika mereka dicerai, maka muhtasib diperbolehkan memberikan ta’zir kepada para wanita yang tidak mau menjalani iddah dengan tidak memberikan ta’zir kepada orang tua yang tidak menikahkan gadis-gadis mereka.40

Terkait dengan hal-hal pelarangan melakukan kemungkaran itu pun dibagi menjadi tiga bagian yaitu terkait dengan hak-hak Allah, manusia, dan kombinasi keduanya. Dalam hubungannya dengan hak-hak Allah beliau membaginya menjadi tiga yaitu terkait dengan urusan ibadah, perkara haram, dan urusan muamalat.41Beliau memberikan misal yang terkait dengan kemungkaran ibadah seperti orang yang bermaksud mengerjakan ibadah yang cara-caranya tidak sesuia dengan syariat, misalnya melakukan shalat dengan suara keras (Dzahriyyah) pada shalat yang mestinya dilakukan dengan suara pelan (sirriyah), maka muhtasib berhak melarangnya dan memberikan ta’zir kepada mereka.42

Adapun kemungkaran yang terkait dengan hal-hal haram, maka muhtasib berhak mencegah manusia untuk mendekati tempat-tempat yang mencurigakan dan membuat orang

35 Imam Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, hlm. 413. 36 Ibid, hlm. 414. 37 Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid, hlm. 415. 40 Ibid, hlm, 416. 41 Ibid, hlm, 417. 42 Ibid, hlm. 417-418.

(10)

dituduh tidak baik.43 Terakhir, yang terkait dengan kemungkaran pada aspek muamalat seperti melakukan riba dan jual beli yang tidak sah, serta sesuatu yang dilarang syari’at, tetapi kedua pihak sepakat melakukannya, maka muhtasib diperbolehkan mencegahnya dan memberikan ta;zir kepada mereka.44Lainnya yang menjadi konsentrasi muhtasib dalam aspek muamalat tentang ukuran dan timbangan. Misalnya, jika muhtasib meragukan kebenaran timbangan dan takaran di pasar, ia diperbolehkan mengujinya, dan jika hasil pengujiannya sesuai dengan takaran yang berlaku diantara mereka dan mereka tidak bermuamala kecuali dengan cara seperti itu, pengujiannya merupakan tindakan prefentif.45 Jika mereka bermuamalat dengan cara seperti itu dan takaran atau timbangannya tidak sama dengan secara umum, maka muhtasib wajib melarangnya karena dua hal karena menyimpang dan kecurangan dari yang berlaku.46

Selanjutnya yang terkait dengan hak manusia beliau mencontohkan tentang hak hubungan majikan dan pekerjanya. Menurutnya, jika seseorang majikan bertindak zalim terhadap buruhnya dengan mengurangi gajinya atau menambah pekerjaannya, majika tersebut dilarang bertindak demikian dan larangan terhadapnya sangat bergantung pada kondisi tersebut.47 Sedangkan jika buruh tidak memenuhi hak majikannya dengan mengurangi pekerjaannya dan meminta kenaikan gaji, muhtasib berhak mencegahnya keduanya manakala membawa masalah.48

Dalam kombinasi hak Allah dan manusia, beliau mencontohnya jika salah seorang dari imam-imam masjid umum memanjangkan shalatnya hingga orang-orang lemah tidak kuat melakukannya dan orang-orang yang memiliki kebutuhan menghentikan shalatnya, muhtasib mencegah imam tersebut untuk tidak melakukannya sebagaimana Rasulullah saw pernah mencegak Muaz bin Jabal ra dari memanjangkan shalat ketika mengimani kaumnya, Rasulullah bersabda:”Wahai Muaz, apakah engkau hendak membuat orang membenci shalat (dengan memanjangkannya)?”49

Maka dari penjelasannya pandangannya tentang hisbah ada karena terkait dengan hak-hak Allah, manusia, dan kombinasi keduanya, dengan memerintahkan mamusia untuk mewujudkannya sebagai suatu kebaikan dan melarangnya ketika mencendrai hak-hak tersebut karena berdampak pada kerusakan. Konsepsi hisbahnya merupakan kerangka (framework) dasar dalam pengembangan sistem hisbah yang mencangkupi dimensi yang luas terkait dengan etika manusia berlandaskan syariat Allah swt.

4.3. Relevansi Konsep Hisbah Imam Mawardi Masa Kini

Konsepsi hisbah Imam Mawardi dalam kitabnya Ahkam Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah terlihat hanya diterapkan pada domain ekonomi saja secara umumnya, dan khususnya di beberapa negara atau daerah telah menerapkannya dengan dua lingkup aspek hisbah yaitu memerintahkan pada yang baik dan mencegah pada kemungkaran. Misalnya Arab Saudi satu-satunya negara Muslim yang hingga hari ini masih mempertahankan sebagian besar peran hisbah. Lembaga hisbah di Arab Saudi merupakan lembaga peradilan yang berwenang memeriksa perkara yang terkait dengan perilaku pasar, seperti penyimpangan timbangan atau

43 Ibid, hlm. 421. 44 Ibid, hlm. 426. 45 Ibid, hlm. 421. 46 Ibid. 47 Ibid, hlm. 430. 48 Ibid. 49 Ibid, hlm. 432.

(11)

penipuan dalam transaksi jual beli.50Sepertinya tidak hanya di Saudi, peran hisbah pun berpusat pada aspek ekonomi.

Terjadi pergesaran istilah dan ruang lingkup hisbah pada masa kini yang hanya terfokus pada aspek ekonomi dan perdagangan pada umumnya. Terutama terkait dengan hak-hak Allah yang bersifat ibadah itu diserahkan kepada masing-masing-masing individu Muslim untuk melaksanakannya, bukan negara. Peran untuk memberikan ingatan terkait dengan hak-hak Allah dan manusia dalam aspek ibadah menjadi fardu kifayah bagi tiap-tiap individu untuk menasihati untuk melakukan yang baik dan mengingatkan saudaranya jika melakukan kemungkaran.

Gambar 1: Kerangka Dasar Hisbah Imam Mawaardi

5. Penutup

Literatur hisbah telah menjelaskan secara definisi bahwa hisbah adalah institusi agama yang mencangkupi seluruh aspek kehidupan manusia terkait dengan akhlak amar ma’ruf dan nahi munkar, yang meliputi hak-hak Allah, hak manusia dan hak Allah dan manusia. Dalam Sejarah Islam pengawasan hisbah itu meliputi aspek ibadah dan mu’amalah yang negara mengambil peran vital di dalamnya.

Saat ini, peran hisbah oleh negara pada umumnya masih dilakukan khususnya di bidang ekonomi terkait pengawasan pasar (aspek muamalah). Terjadi pergesaran istilah dan lingkup hisbah dimana ibadah itu hanya menjadi tanggung jawab pribadi Muslim dalam pelaksanaannya. Pentingnya kembali memurnikan istilah hisbah pada tempat dengan kondisi saat ini sehingga memberikan kemanfaatan pada manusia. Kerangka dasar hisbah yang telah dikonsepsikan oleh Imam Mawardi masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.

50 Negara-Negara Islam Terapkan Polisi Syariat, diakses dari

https://republika.co.id/berita/qknmuq320/negaranegara-islam-terapkan-polisi-syariat-ada-indonesia, 20 Desember 2020.

Hisbah

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Hak Allah Hak Manusia

Hak Allah dan Manusia

(12)

Daftar Pustaka

Al-Hanbali, Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husayn al-Farra. (1983). Al-Ahkam al-Shultaniyyah. Beirut: Darul Kutub.

Al-Mash, Badr Abdurrazaq. (1995). Manhaj Da’wah Hasan al-Banna. Terj. Abu Zaid. Solo: Citra Islami Press.

Ash shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 1997. peradilan dan hukum acara islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Bachtiar, Wardi. (1999). Metode Penelitian Dakwah. Jakarta: Logos Wacana

Diana, Rasdha.’Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan Islam.’Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, 157-176.

Essid, Yassine. (1995). A Critique of the Origin of Islamic Economic Thought. Leiden: E.J. Brill.

Haji Abdullah, Auni bin. (2000). Hisbah dan Pentadbiran Negara, Cet. 1. Kuala Lumpur: IKDAS.

Halim, Marah. ‘Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam.’ Jurnal Ilmiah Islam Futura, 10(2), 65-81.

Hamdani, Ikhwan. (2003). Sistem Pasar dan Pengawasan Ekonomi (Hisbah) dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jakarta: Nur Insani.

Hamidi, Lutfi A. (1996). Penguasa dan Kekuasaan: Pemikiran Politik alMawardi. Yogyakarta: UIN SUKA.

Hasan, M. Iqbal. (2002). Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah. Terj. Abdullah Shonhaji. Semarang CV. Asy-Syifa.

Ishali, Abdul Azim. (1996). Economic Concept of Ibn Taimiyah. UK: The Islamic Foundation. Khan, Muhammad Akram. (2003). Islamic Economics and Finance: A Glossary, edisi kedua.

London & New York: Routledge.

Krispendoff, Klaus. (1993. Analisis Isi Pengantar dan Teori Metodologi. Jakarta: Rajawali Press. Manzur, Muhammad ibn. (1988). lisanul Arab. Beirut, Dar Ihya'al-Turath al-’Arabi.

Mawardi, Imam. (2014). Ahkam Sulthaniyah. Jakarta: Qisti Press.

Moleong, Lexi J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nur, Muhammad. (2015). ‘Pemerintahan Islam Masa Daulat Bani Umayyah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran).’ Jurnal Pusaka, Vol. 3, No.1.

Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nazir, Moh. (1998). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suprayogo, Imam. (2001). Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sugiyono, (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV.Alfabeta.

Wasito, Hermawan. (1995). Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Table 1: Empat Kondisi Jumlah Penduduk Tidak Ideal Shalat Jum’at
Gambar 1: Kerangka Dasar Hisbah Imam Mawaardi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku perencanaan dan pengelolaan keuangan (anggaran) ibu rumah tangga dalam mengatasi konsumerisme keluarga saat terjadi

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri yang melaju pesat, sumber air baku PT Watertech Estate Cikarang yang berasal dari saluran Tarum

Berdasarkan hasil dari Uji Reliabilitas yang dilakukan dapat dilihat bahwa nilai Cronbach’s Alpha setiap variabel independen yaitu Persepsi Kemudahan (X1), Persepsi

Konsep pelapisan untuk pengawetan fungsi komponen yang tahan lama.Lapisan zinc alloy original dengan pasif kromat kuning atau hitam (Zinc-Iron Coating C dan Zinc-Iron

3.Perancangan dan analisis Secara garis besar, tahapan metode penelitian yang dilakukan adalah metode untuk menganalisis penyadapan pada jaringan website dengan

Hal yang dapat dipahami dari teori Rene Descrates yaitu bahwa kesadaran dalam menjalani hidup, dan mencintai kebenaran yang selalu dicari oleh Rene Descrates. Pemikiran ini

Makanan dan zat gizi yang terkandung di dalam makanan yang yang berguna bagi kesehatan dan di konsumsi ibu pada saat hamil disebut ….. Kebutuhan nutrisi ibu hamil adalah makanan

Hal tersebut dapat dipengaruhi karena TDS di Sungai Cisadane diduga didominasi dari zat organik yang berasal dari limbah domestik, sehingga tingginya nilai TDS tidak