• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan Thiamin Untuk Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebutuhan Thiamin Untuk Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kebutuhan Thiamin Untuk Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Bebek

(Cromileptes altivelis)

Nyoman Adiasmara Giri, Ketut Suwirya, M. Marzuqi dan Fris Johny Ravael

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol-Bali

P.O. Box 140 Singaraja, Bali 81101 e-mail: gondol_dkp@singaraja.wasantara.net.id

Abstract

Nyoman Adiasmara Giri, Ketut Suwirya, M. Marzuqi dan Fris Johny. 2005. Dietary thiamine requirement for growth of juvenile humpback grouper (Cromileptes altivelis). Aquacultura Indonesiana, 6 (3) : 123–130. Information on nutrients requirement, including vitamin, for grouper is essential for compound feed development. Thiamine is water soluble vitamin which is required in carbohydrate metabolism. The experiment to find out thiamine (vitamin B1) requirement for growth of juvenile humpback grouper has been conducted in 18 polycarbonate tanks, 100 L volume. Each tank is equipped with a flow-through water system. Twelve juveniles of humpback grouper (7.0±0.4 g in body weight), which were produced in hatchery, were randomly selected and stocked in each tank. Fish fed experimental diets twice a day at satiation level for 14 weeks. Experimental diets were formulated to have the same nutrients content, except for thiamine. A Graded level of thiamine–HCl i.e., 0; 0.3; 0.6; 1.2; 2.4 and 4.8 mg/kg diet was added to each formula. Experimental diets were prepared in dry pellet form using freeze dryer. The experiment was designed according to a completely randomized design (CRD) with 6 treatments (thiamine levels) and three replicates for each treatment. Result of the experiment showed that dietary thiamine levels influenced the growth, feed intake (FI), feed efficiency (FE), and protein retention of juvenile humpback grouper. Fish fed the diets without thiamine supplementation showed the lowest growth, feed intake, feed efficiency, performance of hemocytology and non–specific immune response. Fish fed the diet with 0.6 mg or higher thiamine supplementation per kg diet has the same growth and FE. Fish fed diet with 2.4 mg thiamine supplementation per kg diet has the best performance of hemocytology and non-specific immune response. These data showed that humpback grouper requires 0.6–2.4 mg thiamine/kg diet for normal growth and preventing deficiency symptoms.

Keywords: Humpback Grouper (Cromileptes altivelis); Growth;Thiamine

Abstrak

Pada pengembangan pakan buatan untuk ikan kerapu diperlukan tersedianya informasi kebutuhan nutrien pakan, termasuk kebutuhan unsur vitamin. Thiamin (vitamin B1) merupakan kelompok vitamin B yang larut dalam air dan mempunyai peran pada metabolisme karbohidrat. Percobaan untuk mengetahui kebutuhan thiamin untuk pertumbuhan benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) telah dilakukan dengan menggunakan 18 buah bak polikarbonat volume 100 L yang dilengkapi sistem air mengalir. Benih kerapu dengan berat rata-rata 7,0±0,4 g ditebar dalam bak percobaan dengan kepadatan 12 ekor per bak. Ikan diberi pakan percobaan 2 kali sehari pada level satiasi selama 14 minggu. Formulasi pakan percobaan diatur mempunyai kandungan nutrien yang sama kecuali kandungan thiamin. Pada formula pakan ditambahkan thiamin–HCl dengan dosis berbeda, yaitu 0; 0,3; 0,6; 1,2; 2,4; dan 4,8 mg/ kg pakan. Pakan dibuat dalam bentuk pelet dan dikeringkan menggunakan “freeze dryer”. Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan beda kandungan thiamin dalam pakan dan setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Pengamatan pertumbuhan ikan dilakukan setiap 2 minggu dengan menimbang seluruh ikan secara individu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan, konsumsi pakan (FI), efisiensi pakan (FE), dan retensi protein(PR) ikan dipengaruhi oleh kandungan thiamin dalam pakan. Pertumbuhan, FI, FE, keragaan hemositologi dan respon imun non-spesifik ikan yang diberi pakan tanpa penambahan thiamin adalah paling rendah. Ikan yang diberi pakan dengan penambahan thiamin 0,6 mg atau lebih per kg pakan menghasilkan pertumbuhan dan FE yang tidak berbeda nyata. Ikan yang diberi pakan dengan penambahan thiamin 2,4 mg/kg pakan menghasilkan keragaan hemositologi dan respon imun non-spesifik terbaik. Data ini menunjukkan bahwa diperlukan penambahan.

(2)

Pendahuluan

Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu spesies unggulan dalam pengembangan budidaya laut di Indonesia. Teknologi pembenihan ikan ini telah berkembang dan telah berhasil memproduksi benih untuk keperluan budidaya (Sugama et al., 2001). Produksi benih ikan kerapu bebek di Indonesia pada tahun 2002 mencapai 697.800 ekor (Kawahara dan Ismi, 2003) yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya pembesara nnya. Kendala pada pengembangan budidaya pembesaran ikan ini adalah masih terbatasnya ketersediaan pakan buatan yang sesuai. Penggunaan pakan berupa ikan rucah sering berpengaruh buruk terhadap ikan budidaya karena kualitasnya kurang terjamin serta adanya kandungan thiaminase pada ikan rucah tertentu yang mengakibatkan terjadinya defisiensi thiamin dan kematian ikan budidaya.

Pengembangan pakan buatan untuk ikan kerapu terhambat karena masih terbatasnya data kebutuhan nutrien pakannya. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan protein beberapa spesies kerapu berkisar antara 47,8– 60,0%, dan bervariasi menurut spesiesnya (Giri, 1998). Pertumbuhan benih kerapu bebek dicapai dengan baik pada pakan dengan kandungan protein 54,2% dan lemak 9–12% (Giri et al., 1999). Kandungan lemak pakan yang tinggi tidak efektif sebagai sumber energi pengganti protein untuk benih ikan kerapu bebek (Giri et al., 2002). Ikan kerapu bebek juga membutuhkan karbohidrat dalam pakannya untuk tumbuh normal (Usman, 2002); dan kandungan karbohidrat 7–28% dalam pakan memberikan respon pertumbuhan yang sama pada kerapu bebek (Suwirya et al., 2002).

Informasi kebutuhan vitamin untuk kerapu bebek masih terbatas sekali, hanya untuk vitamin C (Giri et al., 1999; Subiyakto et al., 2001) dan vitamin B6 (Giri et al., 2001). Thiamin merupakan kelompok vitamin B yang larut dalam air dan mempunyai peran sebagai koenzim pada metabolisme karbohidrat. Kebutuhan thiamin untuk beberapa spesies ikan air tawar telah ditentukan, namun informasi kebutuhan thiamin untuk spesies ikan laut masih terbatas sekali. Cowey et al. (1975) melaporkan ikan turbot (Scophthalmus maximus) membutuhkan pakan dengan kandungan thiamin 0,6 mg/kg pakan untuk tumbuh normal dan terhindar dari gejala defisiensi. Sementara itu kebutuhan

thiamin untuk ikan rainbow trout mencapai 1 mg/kg pakan (Morito et al., 1986). Sampai saat ini tidak ada informasi kebutuhan thiamin untuk ikan kerapu, khususnya kerapu bebek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan vitamin B1 (thiamin) untuk pertumbuhan benih ikan kerapu bebek.

Materi dan Metode

Percobaan penentuan kebutuhan thiamin untuk benih ikan kerapu bebek dilakukan dengan pemeliharan kerapu bebek menggunakan pakan buatan dengan level thiamin berbeda. Ikan dipelihara pada 18 buah bak polikarbonat volume 100 liter yang dilengkapi dengan sistem air mengalir dan aerasi. Benih kerapu bebek diperoleh dari panti benih dan dipelihara mengguna kan pakan buata n di laboratorium sampai mencapai ukuran yang sesuai untuk percobaan. Benih ikan dengan berat rata-rata 7,0±0,4 g ditebar dalam bak percobaan dengan kepa datan 12 ekor/ba k. Ikan diberi pakan percobaan 2 kali sehari pada level satiasi selama 14 minggu.

Pada percobaan ini digunakan pakan buatan dalam bentuk pelet kering. Formulasi pakan diatur agar kandungan nutriennya sama kecuali kandungan thiamin (Tabel 1). Pada formula pakan ditambahkan thiamin-HCl dengan dosis berbeda, yaitu 0; 0,3; 0,6; 1,2; 2,4; dan 4,8 mg/kg pakan. Pakan dikeringkan menggunakan “freeze dryer” dan kemudian disimpan dalam freezer sebelum dan selama digunakan untuk percobaan.

Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan beda kandungan thiamin dalam pakan dan setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Respon ikan terhadap pakan percobaan diketahui dengan melakukan penimbangan seluruh ikan secara individu setiap 2 minggu dan akhir percobaan. Pada waktu bersamaan juga dilakukan pengamatan terhadap gejala yang muncul akibat kekurangan thiamin. Komposisi proksimat pakan dan tubuh ikan ditentukan berdasarkan metoda AOAC (1990).

Pengamatan hemositologi, meliputi: koleksi darah ikan, penetapan nilai hematokrit (PCV), penetapan kadar hemoglobin (Hb), penghitungan total eritrosit, dan penghitungan total leukosit mengikuti metode Klontz (1994) yang dimodifikasi. Pengamatan respon imun non-spesifik yang meliputi uji aktivitas lisosim (LA) mengikuti metode Rowley (1993) dan Klontz (1994) dan selanjutnya

(3)

nilai LA dihitung berdasarkan rumus modifikasi dari metoda Siwicki dan Anderson (1993) dan Ellis (1993), uji aktivitas fagositik (PA) dan indeks fagositik (PI) dilakukan berdasarkan rumus modifikasi Siwicki dan Anderson (1993) dan Ellis (1993).

Data pertumbuhan, tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan, kelulushidupan ikan, keragaan hemositologi, dan keragaan respon imun non-spesifik benih ikan kerapu bebek dianalisis dengan ANOVA dan Uji Tukey pada taraf nyata 5 % (Steel dan Torrie, 1980).

Hasil dan Pembahasan

Kandungan t hiamin dalam pakan berpengaruh nyat a (P<0, 05) ter hadap pertumbuhan ikan, efisiensi pakan, dan konsumsi pakan ikan kerapu bebek (Tabel 2). Ikan yang diberi pakan tanpa penambahan thiamin menghasilkan pertumbuhan paling rendah, dengan berat akhir hanya mencapai 36,9 g atau tumbuh 427,6%, dengan laju pertumbuhan spesifik 1,70%/hari. Laju pertumbuhan ikan kerapu bebek ini mulai terlihat terhambat menjelang minggu ke-6 berlangsungnya

Tabel 1. Komposisi pakan percobaan (g/kg pakan) dengan level thiamin berbeda untuk benih ikan kerapu bebek

1 Vitamin mix (mg/100 g diet): riboflavin 5,0; Ca-panthothenate 10,0; niacin 2,0; pyridoxin-HCl 4,0; biotin 0,6; folic

acid 1,5; cyanocobalamin 0,01; inositol 200; p-aminobenzoic acid 5,0; menadion 4,0; β-carotene 15,0; calciferol 1,9; -tocopherol 2,0; vitamin C-sty 120,0; choline chloride 900,0.

2 Mineral mix (mg/100 g diet): KH

2PO4 412; CaCO3 282; Ca(H2PO4) 618; FeCl3.4H2O 166; MgSO4 240; ZnSO4 9,99;

MnSO

4 6,3; CuSO4 2; CoSO4.7H2O 0,05; KI 0,15.

3 Total energi berdasarkan energi protein = 4,0 kkal/g, lemak = 9,0 kkal/g, dan karbohidrat = 4,0 kkal/g (Luo et al.,

2004).

Bahan Pakan No.

1 2 3 4 5 6 Kasein 180 180 180 180 180 180 Tepung Ikan 520 520 520 520 520 520 Dekstrin 177 177 177 177 177 177 Minyak ikan 50 50 50 50 50 50 Vitamin Mix1 13 13 13 13 13 13 Mineral Mix2 25 25 25 25 25 25 CMC 30 30 30 30 30 30 Thiamin-HCl 0,0 0,003 0,006 0,012 0,024 0,048 Selulosa 5,0 4,9997 4,9994 4,9988 4,9976 4,9952 Protein (%) 50,0 50,4 50,7 50,4 50,3 50,7 Lemak (%) 10,25 10,36 10,30 10,22 10,22 10,29 K. Abu (%) 8,51 8,15 8,51 8,15 8,59 8,37 Serat kasar (%) 9,52 9,31 8,58 9,02 9,12 8,66 Karbohidrat (%) 21,72 21,78 21,91 22,21 21,77 21,98

(4)

percobaan (Gambar 1). Peningkatan penambahan thiamin dalam pakan sampai pada level 0,6 mg/kg pakan meningkatkan pertumbuhan ikan. Tetapi penambahan thiamin 1,2; 2,4 dan 4,8 mg/kg pakan menghasilkan pertumbuhan ikan yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Pemilihan level kandungan thiamin pada percobaan ini didasarkan laporan Cowey et

al. (1975) untuk ikan turbot (Scophthalmus maximus) yang juga merupakan spesies ikan laut.

Pada percobaannya, ikan turbot diberi pakan dengan

kandungan thiamin berkisar antara 0,19–50 mg/kg pakan selama 16 minggu. Pertumbuhan ikan yang diberi pakan defisien thiamin mulai terhambat setelah minggu ke–12. Kebutuhan thiamin ikan turbot dilaporkan mencapai 0,6–2,6 mg/kg pakan berdasarkan data pertumbuhan dan aktivitas enzim

erythrocyte transketolase. Respon pertumbuhan

ikan yang diberi pakan defisien thiamin relatif lambat dibandingkan dengan nutrien pakan lainnya. Pertumbuhan ikan kakap (Lates calcarifer) yang Keterangan :

1Awal percobaan: berat ikan : 7,0±0,4 g, dengan panjang total = 7,1±0,4 cm.

2Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) 3Persen pertambahan berat = (Berat akhir – berat awal) x 100/berat awal

4Efisiensi pakan = Pertambahan biomasa (g)/total konsumsi pakan (g)

5Kelulushidupan = jumlah ikan pada akhir percobaan x 100/jumlah ikan awal percobaan 6Laju pertumbuhan spesifik = [ln (berat akhir) – ln (berat awal)] x 100/98

0 100 200 300 400 500 600 700 Waktu (minggu) W g ( % ) Th-0 Th-0.3 Th-0.6 Th-1.2 Th-2.4 Th-4.8 0 2 4 6 8 10 12 14

Gambar 1. Pertumbuhan benih ikan kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan thiamin berbeda Tabel 2. Berat akhir ikan (FW), persen pertambahan berat (WG), efisiensi pakan (FE), konsumsi pakan (FI),

kelangsungan hidup (SR), dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) ikan kerapu bebek diberi pakan dengan kandungan thiamin berbeda1,2

Thiamin (mg/kg pakan) FW (g) WG 3 (%) FE4 FI (g/ikan/hari) SR 5 (%) SGR (%/hari)6 0,0 36,9a 427,6a 0,73a 0,40a 91,7 1,70a 0,3 40,7ab 486,1ab 0,75a 0,42ab 91,7 1,80ab 0,6 45,3b 547,2b 0,98b 0,43ab 100,0 1,97b 1,2 47,9b 589,7b 0,92b 0,45b 100,0 1,97b 2,4 48,9b 601,3b 0,96b 0,46b 88,9 1,99b 4,8 48,1b 591,2b 0,97b 0,45b 97,2 1,97b

(5)

diberi pakan defisien thiamin mulai nyata terhambat pada minggu ke–14 (Boonyar atpalin dan Wanakowat, 1993). Pada spesies ikan air tawar seper ti chinook salmon (Oncorhynchus

tschawytscha) dan catfish (Ictalurus punctatus)

yang diberi pakan defisien thiamin pertumbuhannya mulai terhambat setelah 8–10 minggu (Halver, 1972

dalam Cowey et al., 1975). Respon pertumbuhan

yang relatif lambat juga dilaporkan pada udang. Udang japonicus (Penaeus japonicus)

pertumbuhannya mulai terhambat setelah 8–10 minggu mener ima pakan defisien thiamin (Deshimaru dan Kuroki, 1979; Giri et al., 1996) dan untuk udang windu (Penaeus monodon) setelah 9 minggu (Chen et al., 1991).

Konsumsi pakan cenderung meningkat dengan meningkatnya penambahan thiamin dalam pakan. Konsumsi pakan terendah diperoleh pada ikan yang diberi pakan tanpa penambahan thiamin, namun nilai ini tidak berbeda nyata dengan komsumsi pakan ikan yang diberi pakan dengan penambahan thiamin 0,3 dan 0,6 mg/kg pakan (P>0,05). Peningkatan penambahan thiamin dari level 1,2 mg/kg pakan hingga level 4,8 mg/kg pakan tidak meningkatkan konsumsi pakan benih kerapu bebek. Gejala menurunnya nafsu makan ikan yang diberi pakan defisien thiamin juga dilaporkan pada ikan kakap (Boonyaratpalin dan Wanakowat, 1993), ikan rainbow trout Salmo gairdneri (Morito et al., 1986) dan ikan turbot (Cowey et al., 1975). Data ini menunjukkan bahwa kandungan thiamin dalam pakan berpengaruh terhadap nafsu makan ikan kerapu ikan. Akibat langsung dari menurunnya

nafsu makan ikan yang diberi pakan defisien thiamin adalah terhambatnya pertumbuhan.

Efisiensi pakan ikan yang diberi pakan tanpa penambahan thiamin atau dengan penambahan thiamin 0,3 mg/kg pakan adalah terendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Sementara penambahan thiamin 0,6 mg/kg pakan atau lebih menghasilkan efisiensi pakan yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Retensi protein (PR) dalam tubuh ikan juga dipengaruhi oleh penambahan thiamin dalam pakan. Retensi protein ikan yang diberi pakan tanpa penambahan atau dengan penambahan thiamin 0,3 mg/kg pakan adalah terendah dan berbeda nyata dengan PR ikan yang diberi pakan dengan penambahan thiamin 0,6 mg/ kg pakan atau lebih (Tabel 3).

Berdasarkan data per tumbuhan dan efisiensi pakan ikan maka penambahan thiamin 0,6 mg/kg pakan adalah optimal untuk benih ikan kerapu bebek. Kebutuhan ini sama dengan kebutuhan ikan turbot yang ditentukan berdasarkan data pertumbuhannya (Cowey et al., 1975) sebesar 0,6 mg/kg pakan. Nilai kebutuhan thiamin ini lebih rendah dibandingkan kebutuhan thiamin beberapa spesies ikan air tawar yang mencapain10-15 mg/ kg pakan (Halver, 1972 dalam Cowey et al., 1975). Thiamin dalam bentuk thiamin pyrofosfat merupakan nutrien penting untuk ikan karena berfungsi sebagai koenzim pada metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi. Dengan demikian kebutuhan ikan akan thiamin berhubungan dengan kandungan karbohidrat pakan serta kemampuan ikan memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi

Tabel 3. Komposisi kimia tubuh ikan yang diberi pakan dengan kandungan thiamin berbeda (% bahan kering) dan retensi protein (PR) tubuh1

Keterangan:

1Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) 2Retensi protein = peningkatan protein dalam tubuh x 100/konsumsi protein dari pakan.

Thiamin (mg/kg pakan) Bahan kering Protein Lemak Abu PR (%)2

0,0 30,55a 53,03a 16,80a 17,41a 22,27a 0,3 30,51a 53,26a 16,06a 16,36a 23,49a 0,6 30,86a 53,63a 16,61a 16,96a 30,81b 1,2 30,96a 53,12a 16,69a 17,66a 29,07b 2,4 30,63a 53,57a 16,78a 17,43a 30,62b 4,8 30,72a 54,24a 17,17a 16,53a 30,38b

(6)

(Hilton, 1989). Paka n pada percobaan ini mempunyai kandungan karbohidrat 22%. Secara umum ikan laut, termasuk kerapu bebek, lebih cenderung memanfaatkan protein sebagai sumber energi metabolismenya. Data yang telah dilaporkan menunjukkan bahwa kebutuhan thiamin untuk ikan air tawar lebih tinggi dibandingkan ikan laut, kecuali ikan karper Cyprinus carpio.

Pengamatan secara visual t idak menemukan adanya gejala defisiensi thiamin pada ikan kerapu bebek, kecuali menurunnya laju pert umbuhan dan nafsu maka n ikan. Pada percobaan ini tidak ditemukan adanya pengaruh penambahan thiamin dalam pakan terhadap komposisi proksimat tubuh ikan setelah percobaan (Tabel 3).

Kandungan t hiamin dalam pakan berpengaruh terhadap keragaan hemositologi benih ikan kerapu bebek disajikan dalam Tabel 4. Nilai hematokrit, Hb, eritrosit dan leukosit terlihat meningkat dengan meningkatnya kandungan thiamin dalam pakan. Nilai hematokrit, Hb, eritrosit dan leukosit terendah diperoleh pada ikan yang diberi pakan tanpa penambahan thiamin dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Nilai hematokrit dan Hb ikan yang diberi pakan dengan penambahan thiamin 0,3–4,8 mg/kg pakan masing-masing berkisar antara 40,5–46,0 % dan 6,0–6,8 g/ 100 mL, serta tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan. Pada percobaan penambahan vitamin B6 dalam pakan dengan dosis 60 mg/kg pakan untuk benih ikan kerapu bebek memberikan nilai

hematokrit dan Hb masing-masing sebesar 39,6% dan 6,8 g/100 mL (Johnny et al., 2003). Nilai ini menggambarkan ikan dalam kondisi normal dan tidak memunculkan gejala defisiensi.

Total eritrosit terendah diperoleh pada benih ikan yang diberi pakan tanpa penambahan thiamin, dan nilai ini berbeda nyata (P<0,05) dan nilai total eritrosit tertinggi (3,43 x 106 sel/mL) diperoleh pada

ikan dengan penambahan thiamin 2,4 mg/kg pakan. Demikian juga dengan nilai leukosit tertinggi (26,26 x 104 sel/mL) diperoleh pada ikan dengan

penambahan thiamin 2,4 mg/kg pakan. Johnny et

al.(2003) melaporkan bahwa penambahan vitamin

B6 dalam pakan dengan dosis 80 mg/kg pakan memberikan nilai total eritrosit dan leukosit masing-masing sebesar 3,45 x 106 sel/mL dan 37,99 x 104

sel/mL.

Pengaruh kandungan thiamin dalam pakan terhadap keragaan respon imun non-spesifik benih ikan kerapu bebek disajikan pada Tabel 5. Ikan yang diberi paka n tanpa penamba han thiamin memperlihatkan nilai PA, PI dan LA terendah. Penambahan thiamin dalam pakan cenderung meningkatkan nilai PA, PI dan LA. Nilai PA, PI dan LA tertinggi masing-masing 11%, 1,9 dan 2,1 cm diperoleh pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan thiamin 2,4 mg/kg pakan. Namun nilai ini tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan penambahan thiamin 1,2–4,8 mg/kg pakan. Menurut Johnny et al. (2003) penambahan vitamin B6 dalam pakan dengan dosis 0,06 mg/kg pakan memberikan nilai PA, PI dan LA masing-masing sebesar 10,1%, 1,9 dan 1,4 cm.

Tabel 4. Pengaruh thiamin dalam pakan dengan kandungan berbeda terhadap keragaan hemositologi benih ikan kerapu bebek1

Keterangan:

Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Thiamin level (mg/kg pakan) Hematokrit (PCV) (%) Hemoglobin (Hb) (g/100 mL) Eritrosit (x 106 sel/mL) Leukosit (x 104 sel/mL) 0,0 28,0 ± 1,41a 4,8 ± 0,35a 1,03 ± 0,02a 4,36 ± 1,91a 0,3 42,5 ± 10,61b 6,0 ± 0,71ab 1,49 ± 0,62ab 16,73 ± 0,86b 0,6 40,5 ± 0,71b 6,0 ± 0,00ab 1,91 ± 0,09bc 19,25 ± 0,30c 1,2 42,5 ± 2,12b 6,5 ± 0,00b 2,48 ± 0,05c 23,73 ± 0,45d 2,4 46,0 ± 2,83b 6,8 ± 0,35b 3,43 ± 0,30d 26,26 ± 0,41e 4,8 41,0 ± 1,41b 6,3 ± 0,35b 2,29 ± 0,32c 22,10 ± 0,30d

(7)

Kesimpulan

1. Kandungan thiamin pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, keragaan hemositologi, dan respon imun non-spesifik benih ikan kerapu bebek. 2. Diperlukan penambahan 0,6–2,4 mg

thiamin per kg pakan untuk pertumbuhan dan mencegah timbulnya gejala defisiensi benih ikan kerapu bebek.

Saran

Thiamin diperlukan pada metabolisme karbohidrat, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan pengaruh kandungan karbohidrat pakan terhadap kebutuhan thiamin untuk pertumbuhan kerapu bebek.

Daftar Pustaka

AOAC (Association of Official Analytical Chemists). 1990. Official methods of analysis, 12th edition. Association of Official Analytical Chemists, Washington, D.C, 1141 pp.

Boonyaratpalin, M. and J. Wanakowat. 1993. Effect of thiamine, riboflavine, pantothenic acid and inositol on growth, feed effisiensi and mortality of juvenile seabass. Fish Nutrition in Practice. INRA, Les Colloques 61: 819–828.

Chen, H.Y., F.C. Wu and S.Y. Tang. 1991. Thiamine requir emen t of juven ile sh rimp (Penaeus

monodon). J. Nutrition, 12: 1984–1989.

Cowey, C. B., J.W. Andron, D.Knox and G.T. Ball. 1975. Studies on the nutrition of marine flatfish. The thiamine requirement of turbot (Scophthalmus

maximus). British. J. Nutrition, 34: 383–390.

Deshimaru, O. and K. Kuroki. 1979. Requirement of prawns for dietary thiamine, pyridoxine, and choline chloride. Bull. Japan. Soc. Sci. Fish., 45: 363–367.

Ellis, A.E. 1993. Lysozyme assays. pp. 101–103. In: Stolen (Eds.), Techniques in Fish Immunology-1. Sos Publications, Fair Haven, NJ 07760. USA.

Giri, N.A. 1998. Aspek nutrisi dalam menunjang pembenihan ikan kerapu. In: A. Sudradjat, E.S. Heruwati, K. Sugama, A. Poernomo, Z.I. Azwar, dan N.A. Giri (Eds.), Prosiding Seminar

Teknologi Perikanan Pantai . Pusat Pusat

Penelitian dan Pengembangan Perikanan bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency. Denpasaar, pp. 44–51.

Giri, N.A., A. Kanazawa, S. Teshima, and S. Koshio. 1996. Effect of dietary thiamine on growth and thiamine content in the hepatopancreas of kuruma pr awn (Penaeus japonicus) juven iles.

Suisanzozhoku, 44 : 325–333.

Giri, N. A., K. Suwirya dan M. Marzuqi. 1999. Kebutuhan protein, lemak, dan vitamin C untuk juvenil ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Penelitian

Perikanan Indonesia, 5 : 38–46.

Giri, N. A., K. Suwirya, and M. Marzuqi. 2002. Effect of dietary protein and energy on growth of juvenile Tabel 5. Pengaruh thiamin dalam pakan dengan kandungan berbeda terhadap keragaan respon imun non-spesifik

benih ikan kerapu bebek.

Keterangan:

1 Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). 2 Aktivitas fagositik = Fagositosis/Total leukosit x 100%

3 Indeks fagositik = Jumlah Zymozan A/Total fagosit

4 Aktivitas lisosim = Diameter plasma darah uji/Diameter kontrol

Kandungan thiamin (mg/kg pakan)

Aktivitas fagositik (PA)2

(%) Indek fagositik (PI)

3 Aktivitas lisosim (LA)4 (cm) 0,0 0,3 0,6 1,2 2,4 4,8 5 ± 1,41a 7 ± 1,41ab 7 ± 1,41ab 9 ± 1,41bc 11 ± 1,41c 9 ± 1,41bc 1,5 ± 0,00a 1,6 ± 0,14ab 1,8 ± 0,07bc 1,8 ± 0,00c 1,9 ± 0,07c 1,8 ± 0,07bc 1,4 ± 0,07a 1,7 ± 0,07ab 1,9 ± 0,07bc 2,0 ± 0,14c 2,1 ± 0,21c 2,1 ± 0,14c

(8)

humpback grouper (Cromileptes altivelis). Indonesian

Fisheries Reseach Journal, 8 : 5–9.

Giri, N. A., K. Suwirya, M. Marzuqi dan A.S. Lestari. 2001. Pengaruh kadar vitamin B–6 (pyridoxine) dalam pakan terhadap pertumbuhan, kadar hemoglobin dan hematokrit darah juvenil ikan ker apu bebek (Cromileptes altivelis).

Aquaculture Indonesia, 2 (3) : 141–145.

Hilton, J. W. 1989. The interaction of vitamins, minerals, and diet composition in the diet of fish .

Aquaculture, 79 : 223–244.

Johnny, F., I. N. A. Giri, K. Suwirya dan D. Roza. 2003. Pengaruh vitamin B6 dalam pakan terhadap sistim kekebalan benih ikan kerapu bebek, Cromileptes

altivelis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Riset

Perikanan Budidaya Laut. Gondol. Bali. 15 Hlm. Kawahara, S. dan S. Ismi. 2003. Statistik produksi benih

ikan kerapu Indonesia. Kerjasama antara Japan International Cooperation Agency dengan Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali. 16 hlm.

Klontz, G.W. 1994. Fish Hematology, pp.121–131. In: Stolen (Ed.), Techniques in Fish Immunology–3. Sos Publications, Fair Haven, NJ 07704-3303. USA. Luo, Z., Y.J. Liu, K.S. Mai, L.X. Tian, D.H. Liu and X.Y.

Tan. 2004. Optimum dietary protein requirement of grouper Epinephelus coioides juveniles fed isoen er getic diets in floatin g n et cages.

Aquaculture Nutrition, 10: 247–252.

Morito, C.L.H., D.H. Conrad and J. W. Hilton. 1986. The thiamine deficiency signs and requirement of rainbow trout (Salmo gairdneri). Fish Physiology

and Biochemistry, 1:93–104.

Rowley, A.F. 1993. Collection, separation and identification of fish leukocytes, pp. 113–136. In: Stolen (Ed.),

Techniques in Fish Immunology-1. Sos Publications,

Fair Haven, NJ 07760. USA.

Siwicki, A.K. and D.P. Anderson. 1993. Immunostimulation in Fish, Measures the effects of stimulants by serological and immunological methods, International Workshop and Training Course in Poland, 15 pp.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. McGraw Hill, New York, USA. 481 pp.

Subiyakto, S., I. Mokoginta, D. Jusadi dan E. Haris. 2001. Pengaruh L–Ascorbyl–2–Phosphate– Magnesium (APM) pakan terhadap kadar vitamin C h ati, asam lemak n –6 dan n –3, r asio h ydr oksipr olin /pr olin tubuh dan kin er ja pertumbuhan serta respon stress juvenil ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). In: Aliah, R.S., Herdis, Irawan, D. dan Surachman, M. (Eds.),

Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu. Pusat Pengkajian dan

Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. pp. 213–227.

Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S. Ismi, E. Setiadi, and S. Kawahara. 2001. Manual for the seed production of humpback grouper, Cromileptes

altivelis. Gon dol Resear ch In stitute for

Mariculture, Central Research Institute for Sea Exploration and Fisherias, 37 pp.

Suwirya, K., N.A. Giri, M. Marzuqi dan Tridjoko. 2002. Kebutuhan karbohidrat untuk pertumbuhan yuwana ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis.

J. Penelitian Perikanan Indonesia, 8 (2): 9–14.

Usman. 2002. Pengaruh jenis karbohidrat terhadap kecernaan nutrien pakan, kadar glukosa darah, efisiensi pakan dan pertumbuhan yuwana ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Thesis S-2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, 74 pp.

Gambar

Gambar 1. Pertumbuhan benih ikan kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan thiamin berbeda Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan Penelitian yang digunakan penyusun dalam penelitian ini adalah uṣûl al-fiqh dengan menggunakan teori perbedaan dalam penggunaan metode penemuan

 Jumlah keberangkatan (embarkasi) penumpang angkutan laut dalam negeri melalui pelabuhan laut Tanjung Emas Semarang pada bulan Juni 2015 sebanyak 7.663 orang, turun

Jenis penilitian ini tergolong kualitatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis, adapun sumber data penelitian ini adalah sumber data primer dan

Tujuan umum penelitian ini adalah melihat perbedaan gambaran histopatologis esofagus tikus wistar terhadap pemberian formalin peroral dosis bertingkat selama 12

Hal tersebut sesuai dengan referensi buku fiqh ekonomi syariah yang menerangkan Apabila terjadi kelebihan pembayaran dari jumlah uang pokok atau sejumlah yang diterimah oleh

Struktur Naskah Paralel Parallel Structure dalam definisi Schmidt 2005 adalah sebuah struktur naskah yang mempunyai dua atau lebih plot cerita yang terjadi pada waktu yang

Dalam standar internal ITS memuat 9 dimensi, dengan 8 dimensi diantaranya merupakan turunan dari SN Dikti (Standar Nasional Pendidikan Tinggi) tentang pendidikan, yang

tetap harus dibayarkan walaupun visa tidak disetujui oleh Kedutaan, demikian juga jika terdapat biaya lain seperti pembatalan hotel, kereta dan atau tiket pesawat yang terjadi