• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. GAMBARAN UMUM KEGIATAN MIGAS DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. GAMBARAN UMUM KEGIATAN MIGAS DI INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

III. GAMBARAN UMUM

KEGIATAN MIGAS DI INDONESIA

3.1 Sejarah Kegiatan Migas di Indonesia

Kegiatan pencarian minyak dan gas bumi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1871, hanya berselang dua belas tahun setelah minyak dunia pertama di bor di Pennsylvania. Produksi komersil pertama minyak dan gas bumi di Indonesia dimulai pada tahun 1885 dan pada pengujung abad 1800, minyak bumi telah diproduksi di kilang-kilang Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan.

Pada tahun 1912 Standard Oil of New Jersey masuk ke Indonesia dan kemudian menggabungkan kepentingan mereka di timur jauh dengan Mobil Oil untuk membentuk Stanvac. Pada tahun 1936 terjadi penggabungan saham Asia dengan Texaco untuk membentuk Caltex. Dengan demikian tercatat lima perusahaan minyak internasional di Indonesia pada tahun 1940an. Pada tahun tersebut produksi minyak Indonesia berada pada tingkat kelima di dunia, namun dua puluh lima tahun kemudian, turun menjadi peringkat kedua belas dunia, sekalipun terdapat kenaikan produksi minyak secara signifikan.

Pada tahun 1961 lahirlah Undang-undang No. 44 tahun 1961 tentang migas. Selain itu dibentuk pula 3 (tiga) perusahaan negara bidang migas yaitu PT. Permina, PT. Permigan dan PT. Pertamin. Dari ketiga perusahaan negara tersebut hanya Permina dan Pertamin saja yang mampu beroperasi dengan baik, sedangkan Permigan dilikuidasi. Penggabungan selanjutnya dilakukan terhadap Permina dan Pertamin menjadi Pertamina pada 20 Agustus 1968 melalui dekrit. Pada tahun 1962 selanjutnya ditandatangani 40 kontrak dengan pendapatan lebih kurang US$ 6 juta. Pada awal penggabungan, Permina memiliki kapal sebanyak 55 unit kapal, dengan tonase lebih dari 320.000 DWT. Pertamina terus meluaskan armadanya, baik domestik maupun internasional. Data tahun 2007 Pertamina memiliki 36 unit kapal yang terdiri dari tipe LR/MR/GP/Small/Lighter dengan tonase lebih kurang 770.000 DWT dan mengoperasikan lebih dari 100 unit kapal bukan milik, dengan konsentrasi trading domestik untuk menjalankan misi pemerintah (PSO) dalam menjamin keamanan supply BBM nasional. Meskipun dalam kurun waktu hampir

(2)

40 tahun terjadi peningkatan tonase kapal milik sebesar lebih dari 100%, namun dengan jumlah ketersediaan cargo yang diangkut mencapai 28,359 juta LT (crude

oil) dan 47,174 juta LT (BBM) serta 805 ribu ton (non BBM) atau total 76,338

juta LT (2005).

Era kebangkitan kembali industri migas terjadi pada tahun 1970-an di mana Indonesia kembali di barisan depan dalam pengembangan minyak dunia, setelah Pertamina berhasil menemukan sumber-sumber minyak baru di berbagai tempat di penjuru tanah air seperti di Jatibarang, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, yang diteruskan dengan melakukan pembangunan stasiun pengumpul minyak dan prasarana lifting cargo, pengambil alihan Stanvac (Sungai Gerong) oleh Pertamina dan pembangunan kilang minyak baru Dumai serta meningkatnya jumlah penandatanganan kontrak bagi hasil (production sharing contract) dengan IIAPCO, Total dan Union. Hal tersebut menunjukkan bahwa bisnis migas Indonesia adalah bisnis internasional dan Pertamina telah memperoleh tempatnya dalam masyarakat minyak dunia.

Pada 15 September 1971 disahkan dan diberlakukan undang-undang No. 08 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Dengan undang-undang ini Pertamina memperoleh hak kuasa pertambangan dengan batas-batas wilayah dan persyaratan yang ditetapkan oleh Presiden se-panjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Melalui undang-undang ini Pertamina melakukan peningkatan pengusahaan migas di seluruh wilayah Indonesia dan pengem-bangan usaha, baik yang terkait dengan migas maupun yang bukan migas.

Pada tanggal 17 September 2003, Pertamina berubah menjadi sebuah perseroan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang migas. Kedudukan Pertamina sama dengan perusahaan lain yang wajib tunduk dengan UU No. 01 tahun 1995 tentang perseroan terbatas, UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN dan ketentuan lain yang berlaku bagi perseroan pada umumnya. Dari hasil produksi migas tahun 2006 dapat mencapai keuntungan sebesar US$ 3 miliar atau sekitar Rp. 24 triliun dan menjadi BUMN terbesar di Indonesia.

Berdasarkan data OPEC (2006), sekitar 77% (922 milyar barrel) minyak dunia bersumber dari negara-negara anggota OPEC dan selebihnya sekitar 23%

(3)

(272 milyar barrel) bersumber dari negara-negara non OPEC. Indonesia merupakan salah anggota OPEC yang memberikan sumbangan terhadap pemenuhan kebutuhan minyak dunia, bersama Kuwait, Lybia, Nigeria, Venezuela, Qatar, dan Anggola menyumbang sekitar 44% (405,68 milyar barrel), sementara Saudi Arabia, Irak dan Iran menyumbang sekitar 56% (516,32 milyar barrel). 3.2 Potensi Minyak dan Gas Bumi Indonesia

Potensi cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia secara total pada tahun 2006 yaitu 8.928,50 MMSTB (million million stock tank barrel), terdiri atas: cadangan terbukti 4.558,20 MMSTB dan cadangan potensial 4.370,30 MMSTB. Cadangan tersebut mengalami penurunan, khususnya dalam kurun waktu tujuh tahun terkahir, dengan cadangan minyak bumi dan kondesat pada tahun 2001 tercatat secara total sebesar 9.753,40 MMSTB terdiri atas: cadangan terbukti 5.094,60 MMSTB dan cadangan potensial 4.689,90 MMSTB. Data tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan telah terjadi penuruan cadangan minyak bumi dan kondensat sebesar 724,30 MMSTB atau sekitar 14,22%.

Cadangan minyak bumi dan kondensat tersebut tersebar pada 13 propinsi yakni dengan cadangan terbesar terdapat di propinsi Riau dengan total potensi yaitu 4.692,00 MMSTB. Sedangkan cadangan potensi terendah berada di propinsi Sulawesi Selatan yaitu 23,39 MMSTB.

Tabel 2 Cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia tahun 2006

No. Propinsi Cadangan (MMSTB)

1 Nangroe Aceh Darussalam 114,29

2 Sumatera Utara 141,24 3 Riau 4,692,00 4 Sumatera Selatan 874,95 5 Kepulauan Riau 54,41 6 Jawa Barat 719,70 7 Jawa Timur 947,30 8 Sulawesi Selatan 23,39 9 Sulawesi Tengah 69.,07 10 Kalimantan Timur 985,48 11 Kalimantan Selatan 60,63 12 Maluku 97,89 13 Papua 148,94 Total 8.929,50

(4)

Cadangan gas bumi Indonesia secara total pada tahun 2006 yaitu sebesar 187,16 TSCF (triliun stock crude fuel) terdiri atas: cadangan gas terbukti 94,00 TSCF dan cadangan potensial 93,10 TSCF. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir kondisi cadangan gas bumi Indonesia meningkat sebesar 18,90 TSCF atau naik sekitar 11,24% dari total cadangan gas bumi pada tahun 2001 yaitu 168,20 TSCF terdiri atas cadangan gas terbukti 92,10 TSCF dan cadangan potensial 76,10 TSCF. Cadangan gas bumi tersebut tersebar pada 14 propinsi yakni dengan cadangan terbesar terdapat di Kepulauan Riau (Natuna) dengan total potensi yaitu 53,58 TSCF dan cadangan terendah berada di Propinsi Maluku yaitu 0,006 TSCF. Tabel 3 Cadangan gas bumi Indonesia tahun 2006

No. Propinsi Cadangan (TSCF)

1 Nangroe Aceh Darussalam 4,57

2 Sumatera Utara 1,38 3 Riau 7,83 4 Sumatera Selatan 24,30 5 Kepulauan Riau 53,58 6 Jawa Barat 6,04 7 Jawa Timur 6,20 8 Salawesi Selatan 0,79 9 Sulawesi Tengah 3,92 10 Kalimantan Timur 42,40 11 Kalimantan Selatan 2,37 12 Maluku 0,006 13 Papua 24,47

14 Nusa Tenggara Timur 6,30

Total 184,16

Sumber: Ditjen Migas, 2007

3.3 Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia

Total produksi minyak bumi Indonesia tahun 2006 adalah sekitar 1 juta barel per hari, terdiri atas produksi minyak 883 ribu barel per hari dan kondesat yaitu 123 ribu barel per hari. Produksi minyak dalam kurun waktu tujuh tahun terkahir, telah terjadi penurunan produksi minyak bumi sekitar 335 ribu barel per hari atau sekitar 24,99% dibanding produksi pada tahun 2001 yaitu 1,3 juta barel per hari, terdiri atas produksi minyak sebanyak 1,2 juta barel per hari dan kondensat sebanyak 132 ribu barel per hari. Perkembangan produksi minyak bumi Indonesia dalam kurun waktu 2001 hingga 2006.

(5)

Gambar 3 Perkembangan produksi minyak bumi Indonesia (Ditjen Migas, 2007)

Kondisi produksi gas bumi Indonesia berbeda dengan produksi minyak bumi. Produksi gas bumi mengalami peningkatan dalam kurun waktu tujuh tahun terkahir. Tercatat bahwa produksi gas bumi Indonesia pada tahun 2006 yaitu sebesar 8.093,0 MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.783,0 MMSCFD dan dibakar 308,0 MMSCFD.

Produksi gas bumi Indoensia pada tahun 2001 yaitu hanya sebesar 7.690,0 MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.188,0 MMSCFD dan dibakar 502,0 MMSCFD. Data produksi tersebut menunjukkan peningkatan produksi gas bumi Indonesia sebesar 403,0 MMSCFD atau sekitar 5,24%. Perkembangan produksi gas bumi Indonesia dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2006.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 R ib u B a rel P er h a ri Total 1,340.6 1,249.4 1,146.8 1,094.4 1,062.1 1,005.6 Minyak 1,208.7 1,117.6 1,013.0 965.8 934.8 883.0 Kondensat 131.9 131.8 133.8 128.6 127.3 122.6 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(6)

Gambar 4 Perkembangan produksi gas bumi Indonesia (Ditjen Migas, 2007) 3.4 Kontribusi Minyak dan Gas Bumi

Peranan minyak dan gas bumi sangat penting antara lain: penghasil devisa negara, penyedia energi dalam negeri, penyedia bahan baku industri, wahana alih teknologi, pencipataan lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor non migas dan pendukung pengembangan wilayah. Meskipun kontribusi sektor minyak dan gas bumi terhadap devisa dan APBN semakin menurun seiring menurunnya produksi minyak, namun kontribusi tersebut masih signifikan terhadap pendapatan negara. Sebagai sumber energi dalam negeri peran minyak dan gas bumi dalam penerimaan negara/devisa (pajak dan bukan pajak) sekitar 30% dari penerimaan negara keseluruhan. Penerimaan minyak dan gas bumi dipengaruhi antara lain: besarnya tingkat produksi minyak mentah dan kondesat, volume ekspor LNG dan LPG, harga minyak mentah dari biaya produksi. Penurunan produksi minyak terjadi disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi di sektor pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing maupun nasional melakukan investasi di sektor perminyakan.

Disisi konsumsi terhadap produk minyak/bahan bakar minyak yang terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan

0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000 MMS C F D Produksi 7,690 8,318 8,644 8,278 8,179 8,093 Pemanfaatan 7,188 7,890 8,237 7,909 7,885 7,785 Dibakar 502 428 407 369 294 308 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(7)

ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 2004, jika hasil produksi minyak Indonesia di semua kilang dihitung, maka hasilnya tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami defisit sebesar 49,3 ribu barel per hari. Namun demikian peranan minyak bumi tidak bisa diabaikan (Dartanto, 2005).

Fluktuasi harga minyak dunia selain berpengaruh terhadap penerimaan negara juga berpengaruh terhadap pengeluaran negara khususnya subsidi bahan bakar dan bagi hasil sumberdaya alam kepada pemerintah daerah. Perhitungan bagi hasil minyak dan gas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan mekanisme bagi hasil berdasarkan berbagai skema kontrak kerjasama (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006).

Dengan demikian bahwa produksi minyak Indonesia bukan hanya milik pemerintah semata, akan tetapi juga dibagi dengan kontraktor perusahaan minyak asing (production sharing contract) yang beroperasi. Skema bagi hasil yaitu sebesar 85% pemerintah dan 15% kontraktor. Pembagian 85%:15% tersebut merupakan hasil produksi minyak bersih artinya nilai produksi dikurangi dengan biaya ekploitasi, pajak, land-rent, dan royalti. Sehingga bagi hasil minyak mentah antara pemerintah dan KPS umumnya menjadi 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kontraktor. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka minyak mentah yang diterima pemerintah adalah sebesar 656.64 ribu barel per hari (60% x 1.094,4) sedangkan KPS menerima 437.76 ribu barel per hari (40% x 1.094,4). Bagian minyak KPS diekspor keluar negeri dan semua hasilnya merupakan milik KPS.

Selanjutnya berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka hasil minyak yang diperoleh pemerintah pusat harus dibagi dengan daerah penghasil dengan proporsi 85% dan 15%. Pada pasal 14 UU No. 33 tahun 2004 bagi hasil sumberdaya alam khususnya minyak dan gas bumi dijabarkan sebagai berikut: a) penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,50% untuk pemerintah dan 15,50% untuk daerah, b) penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan

(8)

setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 69,50% untuk pemerintah dan 30,50% untuk daerah, c) pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dibagi dengan perimbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006).

Berdasarkan pasal 19 ayat 2 UU No. 33 tahun 2004, 15,5% bagian pemerintah daerah yang disebutkan pada pasal 14 huruf e angka dibagi dengan rincian lebih kurang sebagai berikut: 3% untuk pemerintah propinsi, 6% untuk kabupaten/kotamadya penghasil, 6% untuk kabupaten/kotamadya lain di dalam satu propinsi. Penerimaan pemerintah pusat dari sumberdaya alam minyak bumi dan gas alam yang akan dibagihasilkan ke daerah adalah bagian pemerintah dari hasil produksi minyak bumi dan gas alam yang sudah dikurangi pajak dan pungutan lainnya. Pola bagi hasil antara pemerintah dengan korporasi yakni: 1) pola bagi hasil produksi antara kontraktor (production sharing contractor dan

joint operation body) dan pemerintah diatur berdasarkan NOI (net operating income), pada dasarnya NOI merupakan lifting (hasil produksi minyak bumi/gas

alam yang dijual) setelah dikurangi biaya eksplorasi.

Bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor ini baru dilakukan setelah biaya eksplorasi tertutupi. Jika pemerintah tidak mendapatkan penerimaan dari sumberdaya alam ini pada awal periode kontraktor berproduksi. Kebijakan ini diterapkan karena resiko kerugian (eksplorasi) ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan/kontraktor yang terlibat. Ketentuan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah ini disebut sebagai equity share (entitlement) dan 2) equity share (entitlement) pada dasarnya belum mengeluarkan komponen pajak pusat (masih ada pajak perseroan dan pajak dividen di dalamnya). Bagian pemerintah dari kontraktor yang telah dikurangi komponen pajak dan pungutan inilah yang akan dibagihasilkan ke daerah.

Besarnya penerimaan pemerintah yang akan dibagihasilkan ke daerah dipengaruhi oleh: 1) proses produksi (eksploitasi) yang terdiri dari primary

(9)

share (entitlement) yang tentunya tergantung dari jenis production sharing dan 3)

rejim pajak yang berlaku (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006).

Mengingat kontribusi yang besar terhadap devisa negara, maka upaya-upaya pengembangan akan tetap dilakukan. Upaya tersebut diimplementasikan dengan meningkatkan cadangan dan produksi migas serta mengembangkan lapangan marginal dan optimalisasi penerapan teknologi echanges oil recovery (EOR), serta insentif untuk daerah remote, laut dalam, lapangan marginal dan

brown field.

Pengembangan lapangan marginal, daerah remote dan laut dalam, merupakan sasaran pengembangan kedepan. Dengan demikian pengaruh limbah dan eksternalitas negatif yang dapat muncul dari kegiatan usaha migas, menjadi kecil. Pengembangan tersebut dilakukan dengan program produksi bersih, zero

discharge, penggunaan bahan dasar non toxic, serta desain peralatan pengolahan

limbah.

3.5 Permasalahan dalam Kegiatan Migas

Kegiatan usaha migas tidak hanya memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan pendapatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang umumnya dihadapi seperti: perijinan usaha, konflik pemanfaatan ruang, konflik sosial dengan masyarakat lokal, permasalahan lingkungan akibat limbah dan ekses dari aktivitas yang dilakukan serta permasalahan kesehatan masyarakat disekitar lokasi kegiatan.

Permasalahan perijinan merupakan permasalahan klasik yang umum dihadapi oleh investor (pemrakarsa) dalam rencana pelaksanaan kegiatannya. Permasalahan ini merupakan permasalahan administratif birokrasi yang dihadapi oleh hampir semua proses perijinan di Indonesia. Permasalahan perijinan seringkali menjadi batu sandungan pertama ayang dihadapi oleh para investor. Sehingga tidak sedikit biaya dan waktu yang dibutuhkan oleh investor dalam proses perijinan suatu kegiatan.

Permasalahan pemanfaatan ruang seringkali muncul menjadi konflik sektoral pada suatu kegiatan usaha migas. Kegiatan migas yang sekitar 70% berada di daerah on shore dan 30% di daerah off shore berpotensi memunculkan konflik ruang dengan berbagai aktivitas pembangunan lainnya seperti

(10)

perhubungan laut, untuk alur laut Kepulauan Indonesia. Konflik sektoral dengan Departemen Kehutanan tentang cagar alam, kawasan lindung dan kawasan konservasi. Konflik dengan Departemen Pariwisata tentang taman wisata alam dan cagar budaya. Konflik dengan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk areal pertambakan dan kawasan nelayan. Konflik dengan Departemen Perumahan Rakyat untuk areal pemukiman penduduk.

Konflik sosial antara KPS dengan masyarakat lokal, juga sering menjadi permasalahan dalam kegiatan usaha migas. Seringkali, masyarakat sulit untuk menerima keberadaan kegiatan migas di suatu lokasi, disebabkan minimnya umpan balik dari kegiatan tersebut terhadap masyarakat. Kondisi ini, tidak terlepas dari kenyataan bahwa kegiatan usaha migas merupakan kegiatan dengan teknologi tinggi (high tech) dan sifat bukan kegiatan padat karya. Sehingga penyerapan tenaga kerja lokal, sangat sulit terakomodir dalam pelaksanaan kegiatan. Kenyataan lainnya sumberdaya manusia yang berada di sekitar lokasi kegiatan migas juga tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan yang dilakukan, sehingga alternatif umpan balik dari pelaksanaan kegiatan usaha tersebut, umumnya dilakukan dalam bentuk community development. Kasus yang terjadi di Kecamatan Ujung Pangkah Gresik, dimana kegiatan usaha migas oleh HESS sulit sekali diterima oleh masyarakat dan membutuhkan waktu 3-4 tahun dalam proses negosiasi pelaksanaannya. Kasus lainnya terjadi pada PT. CPI Riau yang masyarakat lokalnya meminta kepada perusahaan agar penyerapan tenaga kerja lokal dapat ditingkatkan sementara di sisi lain kegiatan tersebut tidak memerlukan tenaga kerja dengan kualifikasi yang dimaksud, sehingga konflik sosial seperti dalam bentuk demonstrasi seringkali terjadi.

Permasalahan krusial lainnya yang umumnya terjadi pada kegiatan usaha migas adalah pengelolaan limbah dan ekses negatif dari kegiatan usaha yang dilakukan. Permasalahan ini terklasifikasi dalam kelompok permasalahan lingkungan. Isu lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi isu global dan permasalahan bersama. Permasalahan lingkungan yang dihadapi pada hakikatnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah ini timbul karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan lingkungan tersebut tidak atau kurang sesuai

(11)

dengan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia akibatnya adalah terganggunya kesejahteraan umat manusia.

Kegiatan usaha migas berpotensi menimbulkan dampak dan efek terhadap lingkungan seperti dari limbah hasil proses produksi yang dihasilkan seperti: emisi SO2, NOx, hidrogen sulfida, HCs, bensen, CO, CO2, gas metan, kandungan organik berbahaya, kaustik, tumpahan minyak, fenol, kalium, efluen gas, serta efluen lumpur. Bahan dan gas tersebut dapat menyebabkan pemanasan global secara makro dan degradasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan hidup secara mikro serta berdampak terhadap kesehatan manusia. Bahan dan gas-gas tersebut tidak hanya menimbukan pemanasan global, tetapi juga menyebabkan kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan bumi, yang disebabkan oleh efek rumah kaca (green house effect) dan penipisan lapisan ozon. Selain itu juga dapat menimbulkan terjadinya hujan asam, dan dampaknya menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian organisme hidup.

Tabel 4 Kegiatan usaha migas yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan yang diwajibkan menyusun AMDAL keputusan menteri negara lingkungan hidup No.17 tahun 2001

No Kegiatan Migas Limbah yang dihasilkan Potensi Dampak 1. Kegiatan hulu/produksi - Air terproduksi - Sludge minyak - Gas emisi - Tumpahan minyak - Kebocoran pipa dan kapal

- Penurunan kualitas air, tanah, air tanah dan udara 2. Kegiatan hilir/pengolahan - Sludge minyak - Limbah cair - Limbah padat - Tumpahan minyak - Penurunan kualitas air, tanah, air tanah dan udara

3. Niaga/pemasaran - Tumpahan minyak - Kebocoran pipa - Kebocoran kapal

- Penurunan kualitas air

(12)

Pelaksanaan kegiatan migas terdiri dari empat tahapan baik di darat maupun di laut yakni: 1) Tahap pra konstruksi, pada tahap pra-konstruksi akan dilakukan beberapa kegiatan, yakni perizinan dan pembebasan lahan. 2) Tahap konstruksi untuk kegiatan di darat terdiri atas: pembuatan mobilisasi dan demobilisasi tapak sumur pemboran serta mobilisasi peralatan dan material, mobilisasi tenaga kerja, pemasangan pipa penyalur minyak dan gas: mobilisasi peralatan dan material, mobilisasi tenaga kerja, pembangunan fasilitas produksi pemrosesan produksi stasiun pengumpul minyak dan gas dan fasilitas penunjang dan penyerapan tenaga kerja, sedangkan untuk kegiatan di laut terdiri atas: mobilisasi tenaga kerja di laut untuk pemasangan anjungan tapak sumur (wellhead

platform/WHP), pembangunan compression and processing platform/CPP,

pembangunan pipa penyalur dan uji hidrostatis. 3) Tahap operasi terdiri atas: produksi, pengoperasian pipa penyalur (dasar laut dan darat), pemisahan minyak dan gas serta pengolahan minyak dan gas. 4) Tahap pasca operasi.

Gambar

Tabel 2 Cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia tahun 2006
Tabel 3 Cadangan gas bumi Indonesia tahun 2006
Gambar 3 Perkembangan produksi minyak bumi Indonesia   (Ditjen Migas, 2007)
Gambar 4 Perkembangan produksi gas bumi Indonesia (Ditjen Migas, 2007)  3.4   Kontribusi Minyak dan Gas Bumi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Surat pernyataan yang ditandatangani Pengaduan Nasabah yang wajib diatas materai yang cukup bahwa dilaksanakan oleh seluruh bank, maka sengketa yang diajukan

Bahwa benar dengan demikian Terdakwa telah bertindak seolah-olah sebagai pemilik dengan menggadaikan 1 (satu) unit mobil Toyota Kijang LGX wama biru metalik Nopol B

Pemeliharaan terencana adalah porses pemeliharaan yang diatur dan diorganisasikan untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi terhadap peralatan di waktu yang akan datang.

Hasil belajar tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan belajar siswa karena kegiatan belajar merupakan proses sedangkan prestasi merupakan hasil perubahan tingkah laku siswa

Mekanisme akumulasi Cu(II) pada lidah mertua Penentuan mekanisme akumulasi logam berat pada tanaman dilakukan sesuai dengan prosedur Gosh dan Singh (2005) dengan

Hasil analisis statistik terhadap bobot badan akhir yang diperoleh pada akhir penelitian menunjukkan bahwa bobot badan akhir pada perlakuan R2 nyata (P<0,05) lebih

Gaya kepemimpinan yang dipraktikan adalah kepemimpinan transformasional sangat relevan dengan praktek komunikasi interpersonal; (3) Komunikasi interpersonal menjadi