• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 9, No. 2, Oktober 2009 ISSN Jurnal Agripet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 9, No. 2, Oktober 2009 ISSN Jurnal Agripet"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Halaman

Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei

S. Syahrir, K. G. Wiryawan, A. Parakkasi, Winugroho, W. Ramdania 1-9

Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda

Sugito 10-14

Penggunaan Prebiotik Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia

(Metroxylon sago Rottb.) dalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging

Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan dan

Agus Setiyono 15-20

Performa Pertumbuhan Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi Ransum Berbagai Taraf Limbah Udang

Muhammad Sayuti Mas’ud dan Aminuddin Parakkasi

21-27

Penggantian Sebagian Ransum Komersial dengan Polar dan Aditif Duck mix terhadap Komposisi Fisik Karkas Itik

Siti, NI W, I.G.L.O. Cakra, K. A. Wiyana, A.T. Umiarti 28-34

Pengujian secara In Vitro Oligosakarida dari Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) sebagai Sumber Prebiotik

Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan, dan

Agus Setiyono 35-41

Kajian Fisiologis Penggunaan Bovine Somatotropin (bST) Pada Sapi Pra Afkir1

Dzarnisa Araby dan Cut Aida Fitri

42-48

Analisa Mikrosatelit dalam Bioteknologi Reproduksi Ternak (Suatu Kajian Pustaka)

Siti Darodjah Rasad 49-54

Respon Pertumbuhan Ayam Lokal Pedaging terhadap Suplementasi Protein Isolasi Biji-bijian (PIB) dan Perbedaan Level Protein Ransum

M. Aman Yaman, Zulfan dan Andi Saputra 55-61

Volume 9, No. 2, Oktober 2009

ISSN 1411-4623

Jurnal

(2)

JURNAL

Agripet

JURUSAN PETERNAKAN, FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM – BANDA ACEH

Tim Redaksi

Ketua

: Dr. Ir. Samadi, M.Sc.

Anggota

: Dr. Ir. M. Yunus Ibrahim, M.Sc.

Dr. Ir. M. Aman Yaman, M.Sc.

Dr. Ir. Yusdar Zakaria, M.S.

Dr. Ir. Agus Nashri, M.Si.

Ir. Asril M. Rur. Sc.

Ir. Sulaiman Ibrahim, M.Sc.

Ir. Cut Aida Fitri, M.Si

Administrasi dan Kesekretariatan

: Mega Husni, S.Pt

Alamat Redaksi

: Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala

Darussalam - Banda Aceh

Telp.: (0651) 51097, 51977 Pes. 253, 4312.

Hp : 0813 8373 6633

e-mail : agripet_unsyiah@yahoo.com

Jurnal Agripet merupakan jurnal ilmu-ilmu berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi peternakan yang dikeluarkan pertama sekali tahun 2000 oleh Jurusan Peternakan,

Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala.

Terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada Bulan April dan Oktober.

(3)

Jurnal

Agripet

Halaman

Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei

S. Syahrir, K. G. Wiryawan, A. Parakkasi, Winugroho, dan W. Ramdania 1-9

Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda

Sugito 10-14

Penggunaan Prebiotik Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia

(Metroxylon sago Rottb.) dalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging

Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan dan Agus Setiyono 15-20

Performa Pertumbuhan Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi Ransum Berbagai Taraf Limbah Udang

Muhammad Sayuti Mas’ud dan Aminuddin Parakkasi 21-27

Penggantian Sebagian Ransum Komersial dengan Polar dan Aditif Duck mix terhadap Komposisi Fisik Karkas Itik

Siti, NI W, I.G.L.O. Cakra, K. A. Wiyana, dan A.T. Umiarti 28-34

Pengujian secara In Vitro Oligosakarida dari Ekstrak Tepung Buah Rumbia (Metroxylon sago Rottb.) sebagai Sumber Prebiotik

Muhammad Daud, Wiranda G Piliang, Komang G Wiryawan, dan Agus Setiyono 35-41

Kajian Fisiologis Penggunaan Bovine Somatotropin (bST) Pada Sapi Pra Afkir1

Dzarnisa Araby dan Cut Aida Fitri 42-48

Analisa Mikrosatelit dalam Bioteknologi Reproduksi Ternak (Suatu Kajian Pustaka)

Siti Darodjah Rasad 49-54

Respon Pertumbuhan Ayam Lokal Pedaging terhadap Suplementasi Protein Isolasi Biji-bijian (PIB) dan Perbedaan Level Protein Ransum

M. Aman Yaman, Zulfan dan Andi Saputra 55-61

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

(4)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

1

Daya Hambat Hidrolisis Karbohidrat Oleh Ekstrak Daun Murbei

(Inhibition hydrolysis of carbohydrate by mulberry leaves extract) S. Syahrir1, K. G. Wiryawan2, A. Parakkasi2, Winugroho3, W. Ramdania2

1

Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UNHAS

2

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB

3

Balai Penelitian Ternak, Ciawi

ABSTRACT Mulberry leaves has a great potential

as animal feeds because of its high nutrient content, but has deoxynojirimycin (DNJ) active matter. It is potential to inhibit carbohydrate hydrolysis process, come to monosaccharides. The objective of this experiment is to study the inhibiting ability of mulberry leave extract in carbohydrate hydrolysis process. The kinds of carbohydrates were using glucose, maltose, sucrose and starch. This experiment used twenty four of 60 days old male mice (Mus musculus). Diet and water were

given ad libitum. Treatment were allocated ina factorial completely randomized design with three replications and two factors containing of completely mulberry leaves extract and variance of carbohydrates. Variable observed were feed consumtion, feed digestibility, body weight gain and blood glucose. The data were analyzed with univariate analysis of variance. The result showed that inclusion of mulberry leaves extract had decrease body weight (P< 0,05) and reduce blood glucose (P< 0,05).

Key words: mulberry leaves extract, hydrolysis, carbohydrate

2009 Agripet : Vol (9) No. 2: 1-9

PENDAHULUAN1

Daun murbei berpotensi baik sebagai sumber pakan alternatif karena kandungan proteinnya cukup tinggi yaitu sebesar 20,4% (Machii et al., 2000). Daun tersebut dapat dipanen sepanjang tahun karena tidak mengalami masa istirahat. Tanaman murbei dapat tumbuh baik di daerah tropis. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman murbei dapat dibudidayakan di Indonesia, sehingga dapat digunakan dalam jumlah yang tinggi sebagai pakan ternak. Namun demikian sebelum digunakan pada ternak secara terus-menerus perlu dilakukan kajian untuk mengetahui level pemberian daun murbei yang efisien pada ternak.

Penambahan tepung daun murbei kedalam ransum telah dilakukan, namun pemberian dalam jumlah yang banyak mungkin menyebabkan penurunan produk-sitvitas ternak. Pemberian tepung daun murbei pada ayam petelur sebanyak 3, 6 dan 9 persen dalam ransum memberikan hasil yang semakin baik dibandingkan kontrol. Hasil yang baik ditunjukkan dengan peningkatan berat telur maupun kualitas kuning telur, namun pada

Corresponding author: e-mail : nanisyahrir@yahoo.co.id

pemberian sampai 15% dalam ransum menurunkan kualitas berat telur, yaitu berat dan rasio produksi (Suda, 1999). Berdasarkan hasil tersebut dapat diduga adanya kandungan senyawa yang membatasi penggunaan daun murbei sebagai pakan ternak.

Oku et al. (2006) melaporkan adanya senyawa 1- deoxynojirimycin (DNJ) sebanyak 0,24% dalam ekstrak daun murbei (EDM). Senyawa ini memiliki potensi menghambat proses hidrolisis berbagai jenis karbohidrat dan bekerja secara spesifik. Senyawa DNJ menghambat aktivitas α-glukosidase dalam usus kecil dan juga menghambat hidrolisis disakarida (Yatsunami et al., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak daun murbei yang mengandung senyawa DNJ menghambat hidrolisis karbohidrat (glukosa, maltosa, sukrosa dan pati) serta pengaruhnya terhadap produktivitas mencit.

MATERI DAN METODE Materi

Penelitian menggunakan 24 ekor mencit jantan dewasa kelamin (umur 60 hari) dengan rataan bobot badan 28,71±3,43 gram.

(5)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

2

Mencit diperlihara di dalam kandang individu

berukuran (40 x 30 x 10 cm3) yang menggunakan sekam padi sebagai litter.

Ransum mencit yang diberikan berupa semi purified diet, yang terdiri atas karbohidrat (glukosa, maltosa, sukrosa atau pati), kasein, minyak jagung, mineral dan vitamin. Pemberian ekstrak daun murbei (EDM) setara dengan pemberian daun murbei 50% dalam ransum sehingga diperoleh kandungan DNJ 0,12% dalam ransum. Komposisi nutrien daun murbei dan ekstraknya tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Daun Murbei (Morus alba)

Nutrien (%) Umur (hari) Ekstrak

30 60 Kadar Air Protein kasar 4,44 18,43 4,23 25,16 84,76 21,39 Lemak kasar 2,89 3,86 4,66 Serat kasar 10,52 11,14 - Kadar Abu BETN 10,92 57,24 13,23 46,61 16,60 8,74 Sumber: Laboratorium Biologi Hewan. PBSHB IPB (2008)

Pembuatan Ekstrak Daun Murbei

Daun murbei dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven 60oC selama 24 jam. Daun murbei dihaluskan dengan cara digiling sampai menjadi tepung, selanjutnya tepung diolah untuk mendapatkan ekstrak. Pembuatan ekstrak daun murbei dilakukan dengan menggunakan ethanol 50% (Oku et al., 2006). Maserasi dilakukan sebanyak 2 kali 24 jam dan pada periode 6 jam pertama pelaksanaan maserasi dilakukan pengocokan setiap jam. Selanjutnya filtrat dievaporasi untuk menguapkan ethanol. Sebanyak 4,785 kg tepung daun murbei kering yang diekstrak menggunakan 50 liter ethanol menghasilkan 4,7 liter EDM yang siap digunakan, sehingga 1 kg tepung daun murbei setara dengan 1 liter ekstraknya. Berikut skema pembuatan EDM.

Ekstrak dipekatkan selama 3 jam dalam oven 600C sehingga berbentuk pasta pada saat akan digunakan dalam ransum. Pemekatan 100 ml menghasilkan 12,42 gram EDM.

Pembuatan Ransum

Pembuatan ransum dilakukan setiap minggu. EDM terlebih dahulu dicampur dengan sumber karbohidrat sampai homogen kemudian dicampur dengan campuran kedua

yang terdiri dari kasein (sumber protein), vitamin, mineral dan minyak (sumber lemak) yang dicampur dengan sebagian sumber karbohidrat. Langkah-langkah pencampuran tersebut dilakukan untuk memperoleh sifat fisik ransum dan tingkat homogenitas bahan penyusun yang baik.

Pemeliharaan Ternak

Pemeliharaan mencit dilakukan selama 17 hari dengan periode adaptasi selama 3 hari dan pada hari ke 4 sampai hari ke 17 dilakukan pengamatan dan pengumpulan feses (Jordan et al., 2003). Pemberian pakan secara ad libitum dilakukan 2 kali sehari (pagi dan sore). Kebutuhan pakan disiapkan setiap minggu sebanyak ±25 gram untuk setiap ekor mencit, sehingga penimbangan konsumsi ransum dilakukan setiap minggu. Air minum yang diberikan adalah air mineral yang dimasukkan ke dalam botol (100 ml) dan diganti setiap 3 hari. Sekam padi yang digunakan sebagai alas kandang mencit ditimbang (±50 gram) dan dioven 600C selama 24 jam. Sekam diganti setiap 7 hari pemeliharaan.

Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 4 x 2 dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah sumber karbohidrat yaitu glukosa (A1), maltosa (A2), sukrosa (A3) dan pati (A4). Faktor kedua adalah tanpa penambahan EDM (B0) dan dengan penambahan EDM (B1). Model matematik yang digunakan sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993).

Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij Keterangan :

Yij = Nilai hasil pengamatan perlakuan ke- i dan ulangan ke-j

µ = Nilai rata-rata hasil pengamatan αi = Pengaruh faktor a (jenis karbohidrat)

ke-i

βj = Pengaruh faktor b (pemberian DNJ) ke-j

αβij = Interaksi pengaruh faktor a dan b εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan

ulangan ke-j

Peubah yang diamati dalam penelitian adalah perubahan bobot badan, kecernaan ransum, konsumsi ransum, dan kadar glukosa darah

(6)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

3

mencit. Data yang diperoleh dianalisa

menggunakan ANOVA dan apabila terdapat beda nyata antar perlakuan dilakukan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati antara lain perubahan bobot badan harian (PBBH), konsumsi, kecernaan dan kadar glukosa darah mencit disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis data menunjukkan tidak ada interaksi antar kedua faktor pada seluruh peubah yang diamati, namun perlakuan yang

berbeda pada setiap faktor memperlihatkan perbedaan respon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati antara lain perubahan bobot badan harian (PBBH), konsumsi, kecernaan dan kadar glukosa darah mencit disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis data menunjukkan tidak ada interaksi antar kedua faktor pada seluruh peubah yang diamati, namun perlakuan yang berbeda pada setiap faktor memperlihatkan perbedaan respon.

Tabel 2. Rataan Hasil Pengamatan PBB, Kecernaan Bahan Kering, Konsumsi dan Kadar Glukosa Darah selama Pemeliharaan Perlakuan Faktor PBB (g/e/hari) Kecernaan BK (%) Konsumsi (g/e/hari) Kadar Glukosa Darah (mg/dl) Jenis karbohidrat Glukosa ... 0,39 ± 0,23A ... 90,15 ± 2,87A ... 3,96 ± 1,36 ... 166,83 ± 37,95 Maltosa 0,21 ± 0,27AB 93,15 ± 2,28A 4,37 ± 0,82 215,67 ± 45,25 Sukrosa (0,09) ± 0,37C 93,31 ± 0,00A 4,00 ± 1,19 165,17 ± 53,03 Pati Penambahan EDM 0,06 ± 0,14BC ... 71,73 ± 9,26B ... 4,41 ± 0,76 ... 245,67 ± 115,97 ... - EDM 0,32 ± 0,19A 89,72 ± 7,72a 4,92 ± 0,05A 229,5 ± 78,95a + EDM (0,04) ± 0,24B 84,62 ± 13,14b 3,46 ± 0,44B 167,17 ± 29,14b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01) dengan huruf besar dan perbedaan nyata (p<0,05) dengan huruf kecil

Perubahan Bobot Badan

Pemberian sumber karbohidrat yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perubahan bobot badan. Pemberian glukosa menyebabkan pertam-bahan bobot badan tertinggi (Gambar 1), diikuti dengan pemberian maltosa. Hal tersebut terjadi karena glukosa merupakan sumber energi yang mudah diserap sehingga jumlah asupan glukosa ke dalam tubuh tinggi. Kelebihan glukosa disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen, setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Peningkatan jumlah glikogen dalam tubuh mengakibatkan bobot badan meningkat.

Pemberian pati mengakibatkan pertambahan bobot badan yang lebih kecil bahkan pemberian sukrosa menyebabkan penurunan bobot badan. Perbedaan respon pemberian jenis disakarida antara maltosa dan sukrosa, disebabkan perbedaan karakteristik kedua disakarida tersebut. Maltosa merupakan

gula pereduksi seperti glukosa yang memiliki gugus karbonil yang berpotensi bebas. Sukrosa bukan gula pereduksi, sukrosa tidak mengandung atom karbon anomer bebas, karena karbon anomer kedua unit monosakarida pada sukrosa berikatan satu dengan yang lain. Hal tersebut menyebabkan sukrosa lebih stabil terhadap oksidasi atau hidrolitik enzim-enzim pemecah ikatan glikosida (Lehninger, 1984). Penurunan bobot badan mencit yang diberi ransum perlakuan sukrosa dapat diakibatkan oleh terjadinya perombakan cadangan energi dalam tubuh karena kurang memperoleh asupan energi dari pakan, dampak dari sukrosa yang lebih sulit dipecah menjadi monosakarida.

(7)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

4

-0.2 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 Sumber Karbohidrat

Gambar 1. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan Karbohidrat (A1= Glukosa; A2 = Maltosa; A3 = Sukrosa; A4 = Pati)

Linder (1992) menyatakan bahwa konsumsi sukrosa yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan penyerapan mikronutrien esensial yang dapat menurunkan bobot badan. Pemberian sukrosa murni sebagai sumber karbohidrat sampai 60% dari ransum dalam penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh penambahan ekstrak daun murbei dengan kandungan senyawa deoxynijirimycin yang berpotensi sebagai penghambat proses hidrolisis berbagai jenis karbohidrat (monosakarida, disakarida dan polisakarida).

Karbohidrat jenis polisakarida yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati. Pemberian pati dalam ransum menghasilkan pertambahan bobot badan yang rendah (Gambar 1). Hal ini sejalan dengan rendahya kecernaan pati, sehingga proses hidrolisis oleh enzim-enzim untuk memecah ikatan-ikatan glikosida pati menjadi monosakarida memerlukan waktu yang lebih lama dibanding disakarida. Energi yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga pertambahan bobot badan juga rendah. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pengukuran bobot badan berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa penggunaan pati sebagai sumber karbohidrat tunggal kurang efisien.

Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun murbei yang mengandung 0,12% deoxynojirimycin sebagai senyawa pembatas dalam penggunaan daun murbei. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada interaksi penggunaan berbagai jenis

karbohidrat dengan penambahan EDM terhadap perubahan bobot badan harian, namun demikian penambahan EDM sangat nyata (p<0,01) menurunkan bobot badan mencit (Gambar 2).

Gambar 2. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan tanpa Penambahan EDM (B0) dan dengan Penambahan EDM (B1)

Pertambahan bobot badan menurut NRC (1985) dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan, kondisi fisiologis ternak dan tata laksana. Pada penelitian ini digunakan mencit jantan dewasa kelamin (umur 60 hari) untuk meminimalkan galat diluar respon yang diamati seperti, adanya pengaruh fluktuasi

hormonal dan kondisi fisiologis yang terjadi pada mencit betina.

Sudono (1981) melaporkan bahwa laju pertumbuhan mencit jantan tertinggi dicapai sebesar 0,55 gram/hari. Hasil rataan pertambahan bobot badan mencit yang diperoleh selama pemeliharaan sebesar 0,32 ± 0,19 gram/hari yang menunjukkan bahwa produktivitas mencit cukup baik.

Penurunan bobot badan mencit dengan penambahan EDM dalam ransumnya, terjadi sejalan dengan lebih rendahnya konsumsi dan kecernaan ransum dibanding perlakuan tanpa penambahan EDM. Penurunan bobot badan mengindikasikan telah terjadi penghambatan metabolisme dalam tubuh oleh senyawa deoxynojirimycin. Hock dan Elstner (2005) menyatakan bahwa senyawa DNJ bersifat menghambat aktivitas α-glukosidase dalam usus halus secara kompetitif yaitu dengan menggantikan sisi aktif substrat yang akan melekat dengan enzim glukosidase sehingga pemecahan ikatan glikosida substrat (karbohidrat) menjadi monosakarida tidak terjadi. Hal ini

-0.1 0 0.1 0.2 0.3 B0 B1

(8)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

5

menyebabkan sel tidak memperoleh energi

yang cukup dalam bentuk monosakarida, sehingga terjadi perombakan cadangan glikogen dalam tubuh yang menyebabkan penurunan bobot badan.

Pencernaan hidrolitik dengan bantuan enzim merupakan bagian pencernaan yang utama bagi hewan monogastrik setelah pencernaan mekanis dimulut, sehingga kehadiran senyawa DNJ dalam ransum mencit sangat mempengaruhi produktivitas. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan bobot badan. Hasil tersebut mengindikasikan penggunaan ekstrak daun murbei yang setara dengan pemberian 50% daun murbei dalam ransum menyebabkan penurunan bobot badan. Penelitian sebelumnya oleh Trigueros dan Villalta (1997) pada babi menunjukkan bahwa penggunaan 20% tepung daun murbei untuk menggantikan konsentrat mampu mening-katkan pertambahan bobot badan harian sebesar 60 gram, dibanding dengan pemberian konsentrat saja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai cara untuk mengeliminasi senyawa DNJ agar penggunaan daun murbei sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan.

Kecernaan Ransum

Kecernaan merupakan suatu proses penyerapan oleh saluran pencernaan yang menghasilkan energi untuk memenuhi keperluan tubuh yang meliputi perbaikan, pertumbuhan dan reproduksi (Piliang dan Djojosoebagio, 1990). Menurut Mc Donald et al. (2002) kecernaan dapat didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau jumlah yang tidak disekresikan dalam feses. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis hewan, komposisi pakan, cara pengolahan pakan, komposisi pakan yang dikandung dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Pada penelitian ini digunakan penghitungan koefisien cerna semu, yaitu memperhitungkan seluruh nutrien yang dikeluarkan dalam feses berasal dari makanan yang dikonsumsi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai jenis karbohidrat sangat nyata (p<0,01) mempengaruhi kecernaan ransum. Kecernaan ransum untuk semua jenis karbohidrat (glukosa, maltosa dan sukrosa) sangat baik (Gambar 3). Hal ini didukung oleh

jenis hewan yaitu mencit sebagai hewan monogastrik yang tidak memerlukan serat dalam ransumnya, maka semi purified diet dengan kandungan serat rendah karbohidrat murni dapat dicerna dengan baik. Kecernaan ransum juga dipengaruhi jumlah ransum yang dikonsumsi. Jumlah ransum yang dikonsumsi menurut Tillman et al. (1991) berbanding terbalik dengan koefisien kecernaan. Semakin banyak jumlah pakan yang masuk akan menurunkan waktu retensi dalam usus sehingga pakan lebih cepat terdorong keluar sebelum mengalami pencernaan yang optimal. Persentase kecernaan pati yang rendah dibanding glukosa, maltosa dan sukrosa juga diikuti oleh jumlah konsumsi yang tinggi (Tabel 2). Rendahnya kecernaan pati dipengaruhi oleh sifat pati sebagai polisakarida yang sulit dipecah. Pada umumnya makanan yang mengandung pati diolah terlebih dahulu dengan air atau dengan pemanasan yang menyebabkan pati mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi tersebut merupakan suatu proses yang meliputi hidrasi dan pelarutan granula pati (Fergus, 1995). Pati murni yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kentang dengan kandungan amilosa 20-25% dan amilopekitin 75-80%, diberikan secara langsung tanpa diolah. Fergus juga menyatakan bahwa amilosa (ikatan α(1,4)) dan amilopektin (ikatan α(1,6)) dapat dihidrolisis secara sempurna oleh glukoamilase dalam waktu yang sangat lama dalam usus halus sehingga pada waktu retensi yang sama dengan disakarida, pati belum dapat dicerna dengan baik. Enzim glukoamilase mempunyai spesifitas untuk memutuskan ikatan α(1,4) pada setiap satuan residu glukosa mulai dari gugus non reduksi dengan hasil utama berupa glukosa. Enzim glukoamilase juga dapat memutus ikatan α(1,6) pada titik percabangan namun sangat lambat.

Gambar 3. Kecernaan Ransum dengan Perlakuan Jenis Karbohidrat (A1 = Glukosa; A2 = Maltosa; A3 = Sukrosa; A4 = Pati)

(9)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

6

Persentase kecernaan pada perlakuan dengan

penambahan EDM menunjukkan penurunan yang nyata (p<0,05) dibanding tanpa penambahan EDM (Gambar 4). Pada dasarnya daun murbei memiliki nilai kecernaan yang tinggi karena kandungan serat kasarnya yang rendah (FAO, 2002).

Gambar 4. Kecernaan Ransum pada mencit yang tidak diberi EDM (B0) dan diberi EDM (B1)

Menurut Hepher (1990) kecernaan dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu jenis pakan, aktivitas enzim pencernaan dan lamanya waktu makanan ada di dalam usus kecil. Jenis pakan yang diberi tambahan EDM secara fisik berbeda dengan pakan yang tidak diberi tambahan EDM. Penambahan EDM dalam bentuk pasta pada ransum menyebabkan ransum berbentuk granula, sedangkan ransum yang tidak ditambah EDM berbentuk serbuk. Hal ini kemungkinan mempengaruhi proses pemecahan dalam usus kecil.

Aktivitas enzim pencernaan sangat berhubungan erat dengan sifat DNJ dalam EDM yang sifatnya sebagai penghambat proses hidrolisis karbohidrat. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan rendahnya persentase kecernaan ransum yang diberi EDM dibanding ransum tanpa penambahan EDM. Penghambatan aktivitas α-glukosidase untuk memecah polimer karbohidrat menjadi anomer-anomernya yaitu monosakarida juga terlihat dalam penelitian ini.

Secara umum nilai kecernaan ransum dengan penambahan EDM cukup baik (Tabel 2), namun hasil tersebut tidak sejalan dengan terjadinya penurunan bobot badan harian pada mencit. Pada umumnya apabila pakan dapat dicerna dengan baik, akan berdampak positif bagi produktivitas (seperti peningkatan PBB). Dapat diduga kehadiran senyawa DNJ sebesar 0,12% dalam ransum mengganggu

metabo-lisme, karena DNJ merupakan senyawa alkaloid dan dapat bersifat toksik yang belum dapat dijelaskan pada penelitian ini.

Konsumsi Ransum

Konsumsi merupakan jumlah ransum yang dimakan oleh ternak dengan pemberian secara ad libitum. Pada penelitian ini kon-sumsi mencit diperoleh dengan menghitung ransum yang diberikan dikurangi ransum sisa dalam tempat pakan dan dalam kantong plastik.

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan pemberian berbagai jenis karbohidrat tidak nyata mempengaruhi jumlah konsumsi harian. Jumlah konsumsi secara keseluruhan cukup baik (Tabel 2) karena rataan jumlah konsumsi setiap perlakuan melebihi jumlah rata-rata konsumsi mencit dewasa perhari yaitu sebanyak 3 sampai 5 gram (Smith dan Mangkowidjojo, 1998). Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik ransum antara keempat perlakuan sama (tingkat kehalusan karbohidrat relatif sama), selain itu tingginya tingkat konsumsi disebabkan rasa manis dalam ransum yang dapat meningkatkan palatabliitas ransum. Menurut Parakkasi (1999) tingkat konsumsi atau voluntary feed intake (VFI) dapat menggambarkan palatabilitas ransum.

Pengamatan konsumsi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan mencit terhadap daun murbei yang diberikan dalam bentuk ekstrak berupa pasta. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan penambahan EDM sangat nyata (p<0,01) menurunkan tingkat konsumsi ransum mencit (Tabel 2), walau pada dasarnya rataan jumlah konsumsi ransum mencit yang diberi tambahan EDM tidak lebih rendah dari jumlah konsumsi mencit normal (Gambar 5).

Gambar 5. Konsumsi ransum harian mencit yang tidak

diberi EDM (B0) dan diberi EDM (B1)

0 1 2 3 4 5 B0 B1

Ekstrak Daun Murbei

82 84 86 88 90 B0 B1

(10)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

7

Rendahnya jumlah konsumsi ransum mencit

dipengaruhi oleh sifat fisik ransum, hal ini sesuai dengan pernyataan Arora (1989) bahwa jumlah konsumsi pakan sangat ditentukan oleh palatabilitas. Palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau dan warna pakan. Sifat fisik ransum yang ditambah EDM (B1) berbeda dengan ransum yang tidak ditambah EDM (B0). Penambahan EDM menyebabkan ransum cepat basah dan lengket. Pengamatan terhadap pola makan mencit sebelumnya memberikan informasi bahwa mencit bersifat selektif dalam pemilihan pakan. Mencit kurang menyukai pakan yang basah karena terkena urin dan tercampur feses. Hal-hal demikian diminima-lisasi dalam penelitian ini, agar jumlah konsumsi ransum mencit maksimal. Bau pakan juga mempengaruhi palatabilitas, pada dasarnya EDM dalam bentuk pasta memiliki aroma matang seperti pada reaksi Maillard namun hal ini menjadi kurang berperan dalam peningkatan palatabilitas ransum yang mengandung EDM karena sifat fisik ransum lebih dominan.

Sifat fisik ransum akibat pengolahan yang dilakukan sebelum diberikan pada ternak sangat mempengaruhi palatabilitas. FAO (2002) melaporkan bahwa daun murbei memiliki palatabilitas yang tinggi dan varietas Morus alba yang digunakan pada penelitian ini merupakan varietas yang paling disukai ternak karena memiliki kandungan nutrien yang tinggi. Hubungan palatabilitas dengan produktivitas ternak sangat erat, walaupun suatu jenis pakan mampunyai tingkat palatabilitas yang tinggi tetapi belum menjamin kelangsungan hidup ternak dengan baik. Suatu jenis pakan belum tentu mempunyai kandungan nutrien yang sesuai dengan kebutuhan hidup ternak, tetapi sebagian ahli menganggap bahwa tingkat palatabilitas pakan lebih penting daripada nilai nutrisi pakan tersebut karena pakan dengan nilai nutrisi yang tinggi tidak akan berarti bila tidak disukai ternak (McIlroy, 1977).

Kadar Glukosa Darah

Kadar glukosa darah adalah suatu indikator klinis dari kurang atau tidaknya asupan makanan sebagai sumber energi. Faktor yang menentukan kadar glukosa darah adalah keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan glukosa yang keluar melalui

aliran darah. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya makanan, kecepatan glukosa masuk ke dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesis glikogen dari glukosa oleh hati (Ganong, 1999).

Kadar glukosa darah dari perlakuan pemberian berbagai jenis karbohidrat tidak berbeda antara satu dengan yang lain (Tabel 2). Perlakuan pemberian berbagai jenis karbohidrat ditambah dengan EDM yang mengandung senyawa DNJ 0,12% dilakukan untuk mengetahui daya hambat EDM terhadap jenis karbohidrat (monosakarida, disakarida dan polisakarida). Oku et al. (2006) melaporkan bahwa senyawa DNJ memiliki kemampuan menghambat proses hidrolisis yang berbeda pada setiap jenis karbohidrat, namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor (jenis karbohidrat dan pemberian EDM).

Pemberian karbohidrat sampai 60% dalam ransum mengakibatkan kadar glukosa darah mencit cukup tinggi, bahkan rataan kadar glukosa darah pada pemberian maltosa dan pati melebihi normal (Tabel 2). Menurut Harkness dan Wagner (1989) kadar glukosa darah normal pada mencit yaitu 62-175 mg/dl. Pemberian EDM nyata menurunkan kadar glukosa darah dibanding tanpa penambahan EDM (Gambar 6). Hal ini mengindikasikan adanya penghambatan hidrolisis karbohidrat oleh senyawa DNJ dalam EDM.

Gambar 6. Kadar glukosa darah tanpa penambahan EDM (B0) dan dengan penambahan EDM (B1)

Menurut Arai et al. (1998) senyawa DNJ dapat menghambat hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida di dalam usus kecil. Hal tersebut sejalan dengan hasil kecernaan ransum. Penambahan EDM juga menyebabkan kecernaan ransum lebih rendah. Rendahnya karbohidrat yang dapat dipecah menjadi monosakarida oleh enzim glukosidase

(11)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

8

menyebabkan konsentrasi glukosa yang

terserap oleh sel juga menurun.

KESIMPULAN

Penambahan ekstrak daun murbei menghambat hidrolisis disakarida dan polisakarida menjadi monosakarida. Hal ini ditandai dengan menurunnya konsumsi dan kecernaan ransum serta juga mengakibatkan menurunnya bobot badan mencit. Meskipun demikian penurunan tingkat konsumsi ransum mencit dapat juga disebabkan oleh sifat fisik ransum. Penambahan EDM dalam bentuk pasta mengakibatkan pakan cepat basah dan lengket, sehingga tidak disukai mencit.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah membiayai penelitian ini melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi

(KKP3T) dengan kontrak nomor:

1570/LB/620/J.I/5/2007 tanggal 8 Mei 2007.

DAFTAR PUSTAKA

Arai, M., Genzou, T. dan Shinya, M., 1998. N- Methyl-1 deoxinojirimycins (MOR-14) an alpha glucosidase inhibitor, markedly reduced infarct size in rabbit Hearts. Basic science reports.1290-1297.

Food and Agriculture Organization (FAO). 2002. Mulberry for Animal Production, Roma.

Hock, B. and Elstner, E.F., 2005. Plant Toxycology. 4th Ed. Technische Universitat Munchen. Freising, Germany .

Jordan, J.E., Simandle, S.A., Tulbert, C.D., Busija, D.W. and Miller, A.W., 2003. Fructose-fed rats are protected againts ischemia/reperfusion injury. J. of Pharmac. And Exp. Therapeutics. Vol. 307: 1007-1011.

Lehninger, A.L., 1994. Dasar-dasar Biokimia (Principlesof Biochemistry). Jilid 1&2. Terjemahan: Maggy Thenawijaya. Erlangga, Jakarta. Linder, M.C., 1992. Biokimia Nutrisi dan

Metabolisme dengan Pemakaian

secara Klinis. Terjemahan: Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Machii, H., 2000. On gamma-aminobutyric acid contained in mulberry leaves. J. Seric. Sci. Jpn. 59: 381-389.

McDonald, P., Edward, R. A., Greenhalgh, J. F. G. and Morgan, C. A., 2002. Animal Nutrition. 6th Edition, Gosport.

National Reseach Council (NRC). 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th Revised Edition. National Academy Press, Washington D. C.

Oku, T., Mai, Y., Mariko, N., Naoki S. and Sadako, N., 2006. Inhibitory effects of extractives from leaves of Morus alba on human and rat small intestinal disaccaridase activity. J. of Nutr. 95: 933-938.

Overkleeft, G.H., Renkema, J., Neele, P. and Hung, A., 1998. Generation of specific deoxynojirimycins type inhibitor of the non lysosomal glucosylceramidase. J. Biol. Chem. 273: 26522-26527.

Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia, Jakarta.

Piliang, W.G., and Djojosoebagio, S., 1990. Metabolisme Lemak, Protein dan Serat Kasar. Fisiologi Nutrisi I. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R.G.D., dan Torrie, J. H., 1993. Prinsip

dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Soemantri. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suda, T., 1999. Inhibitory effect of mulberry leaves on ammonium emission from poultry excrement. Abstracts of

Gunma Agriculture-related

Experiment Stations Meeting, 7-8 (in Japanese).

Sudono, A., 1981. Pengaruh interaksi antara genotif dan lingkungan terhadap pertumbuhan, koefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit.. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor , Bogor .

Tillman, A.D., Hari, H., Soedomo, R., Soeharto, P. dan Soekamto, L., 1984.

(12)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

9

Ilmu Makanan Ternak Dasar.

Universitas Gadjah Mada Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Yatsunami, K., Eiichi, F., Kengo, O., Youichi, S. And Satoshi, O., 2003. α- Glucosidase inhibitory activity in leaves of some mulberry varieties. J. of Food Sci. Technol. 9 (4): 392-394.

(13)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

10

Profil Hematologi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler

yang Diberi Cekaman Panas pada Suhu Kandang yang Berbeda

(The profile of hematology and broiler daily body weight gain which treated with heat stress at different cage temperature)

Sugito1

1

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

ABSTRACT A research have been conducted to

find the impact of heat stress at 3 level of cage temperature on hematology profile and broiler daily body weight gain. Sixteen broilers (strain Cobb) at the age of 20 days were randomly divided to 4 groups. First group was control group that treated without given heat stress (KL). Second, third, and fourth groups were treated with heat stress in cages

with temperature, respectively 33 ± 1oC, 36 ± 1oC,

and 39 ± 1oC. Heat stress was given 4 hours daily

during 7 days consecutively. The result indicated

that cage temperature up to 36 ± 1oC has not

significantly affected hematology profile and broiler daily body weight gain. The impact of increasing temperature have been found at cage temperature of

39 ± 1oC after 7 days of treatment, which were the

increasing number of leucocytes, decreasing number of erythrocytes, and decreasing of broiler daily body weight gain. The broiler of the age above 20 to 27 days that exposed heat stress during

4 hour per day in the cage temperature of 39 ± 1oC

can obtain heat stress in serious level.

Key words: Broiler, hematology, heat stress, cage temperature, body weight gain

2009 Agripet : Vol (9) No. 2: 10-14

PENDAHULUAN2

Ayam dapat berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan ekternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Keadaan suhu lingkungan merupakan salah satu faktor ekternal yang dapat mempengaruhi produk-tivitas ayam. Suhu panas pada suatu lingkungan industri unggas telah menjadi salah satu perhatian utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi disebabkan meningkatnya angka kematian ataupun menurunnya produktvitas (St-Pierre et al., 2003). Keadaan suhu yang relatif tinggi pada suatu lingkungan pemeliharaan menyebabkan terjadinya cekaman panas pada ayam broiler (Austic, 2000). Selama ayam mengalami cekaman terjadi perubahan-perubahan fisiologis dan metabolisme tubuh dalam upaya mempertahankan diri dengan pengembangan sistem homeostasis yang ada, agar suhu tubuh berada pada kisaran normal. Upaya-upaya tersebut berupa percepatan pengeluaran panas dengan perubahan tingkah laku dan perubahan metabolisme tubuh

Corresponding author: sugitofkhunsyiah@yahoo.co.id

(Hillman et al., 2000; Aengwanich dan Simaraks, 2004).

Cekaman panas pada ayam broiler dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, diantaranya gangguan pertumbuhan. Pada ayam broiler berumur 14-35 hari yang dipelihara suhu di atas 31oC selama pemeliharaan menyebabkan penurunan bobot badan mencapai 25%, jika dibadingkan dengan pemeliharaan pada suhu 21,1-22,2oC (Cooper dan Washburn, 1998; Kuczynski, 2002). Kondisi suhu lingkungan yang fluktuatif akhir-akhir ini dapat menimbulkan efek langsung pada pemelihara ayam broiler. Untuk itu telah dilakukan penelitian untuk mengetahui efek peningkatan suhu dalam kandang terhadap profil hematologi dan pertambahan bobot badan ayam broiler berumur diatas 20 hari.

MATERI DAN METODE PENELITIAN Kandang. Kandang yang digunakan

adalah kandang berlantai berukuran 1 x 1,3 x 1 m sebanyak 4 buah. Suhu pada kandang berpemanas, ditingkatkan dengan cara mengalirkan panas melalui sumber panas (heater). Masing-masing kandang tersebut dipasang lampu pijar 60 watt dan dibuat 1 buah

(14)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

11

cendela berukuran 20 x 30 cm serta termometer

digital untuk mengontrol suhu dalam kandang agar sesuai dengan perlakuan. Keadaan suhu pada kandang kontrol sengaja tidak dipatok pada suhu tertentu, karena diharapkan mengikuti pola suhu harian secara alami pada saat penelitian ini dilaksanakan.

Alat pemanas. Alat pemanas yang digunakan, dirancang sedemikian rupa sehingga panas yang dihasilkan dapat dialirkan ke dalam kandang berpemanas. Komponen yang digunakan terdiri: 1). sumber pembangkit panas berbentuk spiral terbuat dari lilitan kawat nikelin berdaya 1000 Watt; 2). kipas angin kecil (ventilating fan) 400 mm untuk mendorong panas yang dihasilkan kawat nikelin. Untuk mengontrol suhu di dalam kandang dipasang termoregulator berupa termostat yang memiliki switch berskala 0 sampai 40 oC.

Pemberian cekaman panas dilakukan dengan cara meningkatkan suhu dalam kandang secara perlahan dimulai kira-kira dari jam 10.00 pagi dan dipertahankan stabil pada suhu perlakuan selama 4 jam. Demikian juga penurunan suhu ruangan dilakukan secara gradual sampai sesuai dengan suhu di luar lingkungan kandang. Untuk mengetahui temperatur dan kelembaban dalam kandang, dipakai termometer dan higrometer digital. Pemberian cekaman panas secara temporal ini (4 jam/hari) dilakukan selama 7 hari.

Hewan Penelitian.

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler betina jenis pedaging galur Cobb berumur 20 hari. Sebelumnya ayam diadaptasikan selama 5 hari. Selama masa adaptasi ayam diberi pakan dan air minum secara ad libitum. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan ayam pedaging starter siap pakai kode IF-511. Hasil analisis proksimat pakan diketahui bahwa kadar: protein kasar 18,7%, lemak kasar 6,8%, serat kasar 4,7%, dan energi bruto 3945,5 kal/g. Vaksinasi ND diberikan pada umur 4 dan 18 hari.

Perlakuan Penelitian.

Perlakuan yang diberikan terdiri dari 4 perlakuan berupa peningkatan suhu dalam kandang (cekaman panas), yaitu: (1). 33,0 ± 1oC, (2). 36,0 ± 1oC, (3). 39,0 ± 1oC, dan (4). kontrol yaitu tanpa diberi perlakuan cekaman

panas (mengikuti suhu harian selama penelitian). Masing-masing perlakuan terdiri 4 ulangan. Kondisi suhu dan kelembaban harian pada kandang kontrol selama penelitian pada siang hari adalah 26,9-28,7oC dan kelembaban 64,6-70,9%. Rata-rata bobot badan ayam pada awal penelitian adalah 571,5 ± 18,6 g. Penimbangan bobot badan ayam dilakukan pada hari ke-1, 3, 5, dan ke-7 pelaksanaan penelitian.

Pengambilan Sampel Darah.

Pengambilan sampel darah dilakukan pada hari ke-7 pelaksanaan penelitian. Untuk meng-hindari efek stres karena pengambilan darah, pengambilan darah dilakukan langsung pada jantung dan setelah itu ayam disembelih. Pengambilan darah pada masing-masing perlakuan dilakukan setelah suhu dalam kandang percobaan sama dengan suhu lingkungan (2 jam setelah heater dimatikan). Sampel darah yang diambil digunakan sebagai materi pemeriksaan: hemoglobin (Hb), packed cell volume (PCV), jumlah sel darah merah (eritrosit), dan jumlah sel darah putih (leukosit).

Analisis Statistik

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada peubah yang diukur dilakukan uji statistik analisis ragam rancangan acak lengkap. Bila hasil menunjukkan adanya pengaruh perlakuan, analisis dilanjutkan dengan uji beda Duncan. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD). Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan program Minitab 14 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Hematologi

Peningkatan suhu dalam kandang antara 33 sampai 39 ± 1oC selama 7 hari tidak menunjukkan adanya pengaruh pada jumlah packed cell volume (PCV = hematokrit) dan hemoglobin (Hb). Pengaruh peningkatan suhu dalam kandang antara 33 sampai 39 ± 1oC selama 7 hari terlihat pada jumlah eritrosit dan leukosit (P<0,05). Pada ayam broiler yang dipelihara pada suhu kandang 39 ± 1oC menye-babkan penurunan (P<0,05) jumlah eritrosit dan peningkatan jumlah sel leukosit. Rata-rata jumlah eritrosit, hemoglobin (Hb), packed cell volume (PCV), leukosit, dan rasio heterofil dan limfosit (H:L) ayam broiler yang diberi

(15)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

12

perlakuan cekaman panas (peningkatan suhu

dalam kandang) ditampilkan pada Tabel 1. Cekaman panas yang dialamai ayam pada suhu kandang sampai 39 ± 1oC selama 7 hari dengan lama waktu terpapar 4 jam perhari belum berpengaruhnya terhadap kadar PCV dan Hb ayam broiler sejalan seperti yang dilaporkan Altan et al. (2000), Aengwanich dan Chinrasri (2003) serta Bedanova et al. (2003). Tidak terlihatnya perubahan PCV dan Hb ayam pada penelitian ini diduga pemberian cekaman panas pada suhu 33-39 ± 1oC selama 4 jam per hari sejak ayam berumur 20 hari belum berdampak pada hematopoesis ayam. Pada ayam broiler yang berumur lebih dari 20 hari, suhu kritis (dapat menyebabkan kematian tiba-tiba) berkisar antara 45-47°C. Peningkatan suhu yang diberikan pada penelitian ini (39 ± 1oC) relatif lebih rendah dari batasan suhu kritis tersebut, sehingga masih mampu direspon untuk dinetralisir. Aengwanich et al. (2003) melaporkan bahwa pada ayam broiler yang berumur lebih dari 28 hari diberi cekaman panas pada suhu 32 ± 1oC selama 5 jam per hari menyebabkan secara nyata peningkatan profil hematologi setelah diberikan selama 14 hari.

Tabel 1. Rata-rata (±SD) jumlah eritrosit (x 106/ l),

hemoglobin (Hb), packed cell volume

(PCV), dan jumlah leukosit (x 103/ l)

ayam broiler yang diberi perlakuan cekaman panas pada suhu kandang yang berbeda Hematologi Perlakuan Kontrol SK-33 SK-36 SK-39 Eritrosit 2,5 ± 0,2 a 2,1 ± 0,2 ab 2,0 ± 0,2 ab 1,8 ± 0,4 b PCV 29,5 ± 1,8 26,5 ± 1,8 25,3 ± 2,5 24,7 ± 3,8 Hb 10,8 ± 1,6 9,3 ± 1,2 8,9 ± 1,0 8,5 ± 0,6 Leukosit 17,7 ± 4,1 a 21,2 ± 2,4 a 22,8 ± 2,3 a 24,6 ± 4,3 b *

Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Keterangan: SK-33 =

suhu dalam kandang 33 ± 1oC; SK-36 = suhu dalam kandang 36 ±

1oC; dan SK-39 = suhu dalam kandang 33 ± 1oC.

Peningkatan jumlah leukosit pada ayam yang mengalami cekaman panas pada penelitian ini disebabkan aktivitas hormon glukokortikoid. Pada ayam yang mengalami cekaman menyebabkan peningkatan pelepasan hormon glukokortikoid (Hillman et al., 2000) dan Scope et al. (2001). Keberadaan reseptor glukokortikoid pada berbagai sel pembentuk sel-sel pertahanan akan mengganggu fungsi nukleus faktor-kaffa B (NF- B) yang mengatur

gen pembentukan sitokin untuk pengaturan produksi sel-sel imun. Perubahan ekspresi gen yang diperantarai glukokortikoid ini dapat mengganggu produksi sel-sel leukosit (Gupta dan Lalchhandama, 2002; Padgett dan Glaser, 2003). Menurut Aengwanich dan Chinrasri (2003) profil hematologi pada ayam broiler yang dipelihara pada suhu 21-31oC adalah jumlah eritrosit: 2,68 ± 0,39 (x 106/ l); PCV: 29,20 ± 0,9%; Hb: 6,95 ± 0,95 (%);dan leukosit: 1,06 ± 0,16 (x 104/ l).

Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam

Rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) ayam setelah dipelihara pada kandang dengan suhu 33 ± 1oC, 36 ± 1oC, dan 39 ± 1oC selama 3, 5, dan 7 hari dengan lama waktu pemberian 4 jam/hari disajikan pada Tabel 2. Peningkatan suhu dalam kandang dan lama waktu ayam dipelihara memiliki interaksi yang kuat (P<0,05) terhadap turunnya PBBH ayam, terutama setelah ayam dipelihara selama 7 hari pada suhu kandang 39 ± 1oC. Interaksi kedua faktor tersebut dapat menurunkan PBBH karena suhu panas dan lamanya waktu menerima cekaman panas berdampak langsung terhadap penurunan jumlah pakan yang dikonsumsi dan peningkatan jumlah konsumsi air minum. Rendahnya konsumsi pakan dan meningkatnya konsumsi air minum pada suhu panas tersebut merupakan usaha ayam untuk menekan kelebihan panas dalam tubuh. Dengan cara ayam mengurangi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum diharapkan pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang, meskipun disisi lain dengan kurangnya asupan pakan ini menyebabkan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya untuk pertumbuhan menjadi berkurang. Umumnya ayam yang mengalami cekaman panas berusaha mengurangi konsumsi pakan dalam upaya mengurangi penimbunan panas yang lebih banyak (Cooper dan Washburn, 1998). Pada ayam yang dipelihara di luar kandang berpemanas, temperatur dan kelembabannya lebih rendah, sehingga penggunaan energi oleh ayam menjadi lebih efisien. Penggunaan energi tidak banyak terbuang untuk homeostasis, seperti megap-megap (panting) dalam upaya tubuh melepas panas endoterm (Cooper dan Washburn, 1998; Austic, 2000; Al-Fataftah dan Abu-Dieyeh, 2007).

(16)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

13

Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) ayam broiler pada hari ke-3, 5, dan ke-7 penelitian pada ayam broiler kelompok kontrol dan perlakuan

Perlakuan Pertambahan Bobot Badan Harian (gr/hari/ekor)

hari ke-3 hari ke-5 hari ke-7

Kontrol 36,7 ± 7,1 a 40,0 ± 6,3 a 46,7 ± 6,7 A

SK-33 35,6 ± 7,3 ab 35,0 ± 5,5 b 33,3 ± 5,7 B

SK-36 32,2 ± 6,7 b 31,7 ± 7,5 b 26,7 ± 4,8 BC

SK-39 32,2 ± 8,3 b 28,3 ± 4,1 b 23,3 ± 5,8 C

*Huruf kecil dan besar superskrip yang berbeda pada kolom

yang sama, berturut-turut menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) dan (P<0,01). Keterangan: Suhu pada kandang

kontrol: 30,5 ± 0.7oC; SK-33 = suhu dalam kandang 33 ± 1oC;

SK-36 = suhu dalam kandang 36 ± 1oC; dan SK-39 = suhu

dalam kandang 39 ± 1oC.

Peningkatan suhu dalam kandang sampai dengan suhu 39 ± 1oC belum menunjukkan efek penurunan PBBH bila diberikan selama 5 hari dengan lama waktu pemberian 4 jam/hari. Pengaruh yang belum terlihat pada PBBH akibat peningkatan suhu kandang pada suhu 33 ± 1oC, 36 ± 1oC, dan 39 ± 1oC yang diberikan sampai hari ke-5, diduga lama waktu pemberian 4 jam/hari masih dapat ditoleransi oleh tubuh ayam, meskipun suhu tersebut berada diluar zona suhu kenyamanan hidup ayam. Menurut Hillman et al. (2000) bahwa zona suhu untuk kenyamanan hidup ayam yang berkisar antara 24 dan 27oC. Borrel (2001) menjelaskan peningkatan suhu dalam kandang pemeliharan ayam broiler pada siang hari masih dapat ditoleransi bila lama peningkatan berkisar 2-3 jam. Sebab dalam masa tersebut perubahan metabolisme (proses homeostasis) akibat peningkatan sekresi hormon stres (hormon glukokortikoid) belum menimbulkan efek buruk.

Peningkatan suhu memperlihatkan efek yang sangat nyata (P<0,01) pada PBBH ayam broiler setelah diberikan selama 7 hari. Pemeliharaan ayam pada suhu kandang 33 ± 1oC, 36 ± 1oC, dan 39 ± 1oC selama 7 hari dapat menyebabkan penurunan PBBH ayam broiler berturut-turut sebesar 28,7, 42,8, dan 50,1% dibandingkan dengan PBBH ayam kontrol. Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Al-Fataftah dan Abu-Dieyeh (2007) yang menunjukkan bahwa pemberian cekaman panas pada suhu kandang 35oC dapat menyebabkan penurunan PBBH mencapai 44% jika dibanding PBBH ayam yang dipelihara pada suhu 25oC.

Dampak penurunan PBBH ayam yang baru terlihat setelah diberi cekaman panas selama 7 hari terkait dengan penambahan umur dan bobot badan ayam. Semakin bertambah umur maka bobot badan ayam juga bertambah dan pertumbuhan bulu yang menutupi tubuh juga semakin sempurna, akibatnya pelepasan panas tubuh juga semakin berkurang. Pada saat pertumbuhan bulu semakin semakin sempurna, ayam menjadi semakin rentan dengan kenaikan suhu lingkungan. Artinya ayam menjadi lebih mudah stres karena panas, hal ini disebabkan kemampuan tubuhnya untuk melepaskan panas endotermnya juga semakin menurun. Oleh sebab itu peningkatan suhu lingkungan melebihi kisaran zona suhu kenyamanan menyebabkan stres (cekaman) panas pada ayam broiler. Ayam broiler akan mengalami cekaman panas serius bila suhu lingkungan lebih tinggi dari 32oC dan akan menyebabkan penurunan bobot badan (Cooper dan Washburn, 1998; Austic, 2000). Pada saat ayam menghadapi cekaman panas, tubuh beradaptasi melalui proses homeostasis tubuh, sehingga panas yang dilepaskan sebanding dengan panas yang diterima dan yang dibentuk dalam tubuh (Lin et al., 2005). Sugito dan Delima (2009) melaporkan bahwa peningkatan suhu dalam kandang berpengaruh nyata terhadap peningkatan suhu tubuh ayam. Menurut Hillman et al. (2000) dan Lin et al. (2005) peningkatan suhu tubuh pada ayam yang mengalami cekaman panas disebabkan berkurangnya kemampuan pelepasan panas endoterm secara nonevaporasi. Pertumbuhan bulu yang menutupi tubuh menjadi salah satu faktor terganggunya pelepasan panas tubuh pada ayam. Untuk itu tubuh merespons pelepasan panas dengan meningkatkan evaporasi melalui pernapasan, dengan cara panting.

KESIMPULAN

Peningkatan suhu dalam kandang sampai pada suhu 36 ± 1oC belum berdampak nyata terhadap profil hematologi dan pertambahan bobot badan harian ayam broiler. Dampak peningkatan suhu dalam kandang baru terlihat pada suhu kandang 39 ± 1oC yang dipelihara selama 7 hari. Dampak yang terlihat berupa: a). peningkatan jumlah leukosit, b). penurunan jumlah eritrosit, dan c). penurunan

(17)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

14

pertambahan bobot badan harian ayam broiler.

Pemeliharaan ayam broiler berumur di atas 20 sampai 27 hari yang dipapar cekaman panas 4 jam perhari pada suhu kandang 39 ± 1oC dapat menyebabkan cekaman (stres) panas serius pada ayam broiler.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Tri Budi staf pada Laboratorium Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aengwanich, W. dan Simaraks, S., 2004. Pathology of heart, lung, liver and kidney in broilers under chronic heat stress. Songklanakarin J. Sci. Technol. 26(3):417-424.

Aengwanich, W. and Chinrasri, O., 2003. Effects of chronic heat stress on red blood cell disorders in broiler chickens. Mahasarakham Univ. J. 21: 1-10. Aengwanich, W., Pornchai, S., Yupin, P.,

Thevin, V., Parwadee, P., Suporn, K. and Suchint, S., 2003. Effects of ascorbic acid on cell mediated, humoral immune response and pathophysiology of white blood cell in broilers under heat stress. Songklanakarin J. Sci. Technol. 25(3) : 297-305.

Al-Fataftah, A.A.A. and Abu-Dieyeh, Z.H.M., 2007. Effect of chronic heat stress on broiler performance in Jordan. Int. J. Poult. Sci. 6 (1): 64-70.

Altan, O., Altan, A., Çabuk, M., Bayraktar, H., 2000. Effects of heat stress on some blood parameters in broilers. Turky J. Vet. Anim. Sci. 24:145–148.

Austic, R.E., 2000. Feeding Poultry in Hot and Cold Climates. Di dalam MK Yousef, editor. Stress Physiology in Livestock Vol III, Poultry. Florida: CRC Pr. hlm. 123-136.

Bedanova I., Voslarova, E., Vecerek, V., Strakova, E. and Suchy, P., 2003. The haematological profile of broilers under acute and chronic heat stress at 30 ± 1 °C level. Folia Vet. 47:188-192.

Borrel, V.E.H., 2001. The biology of stress and its application to livestock housing and transportation assessment. J. Anim. Sci. 79(E. Suppl.):E260-267.

Cooper, M.A. and Washburn, K.W., 1998. The relationships of body temperature to weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poult. Sci. 77:237-242.

Gupta, B.B.P. and Lalchhandama, K., 2002.

Molecular mechanisms of

glucocorticoid action. Current Sci. 83:1103-1111.

Hillman, P.E., Scot, N.R., van Tienhoven, A., 2000. Physiological, Responses and Adaptations to Hot and Cold Environments. Di dalam Yousef MK, editor. Stress Physiology in Livestock. Volume 3, Pultry. Florida: CRC Pr. hal: 1-71.

Kuczynski, T., 2002. The application of poultry behaviour responses on heat stress to improve heating and ventilation systems efficiency. Electr. J. Pol. Agric. Univ. Vol. 5 and Issue 1.

Lin, H., Zhang, H. F., Du, R., Gu, X. H., Zhang, Z. Y., Buyse, J. and Decuypere, E., 2005. Thermoregulation responses of broiler chickens to humidity at different ambient temperatures. II. Four weeks of age. Poult. Sci. 84:1173-1178.

Padgett, D.A. and Glaser, R., 2003. How stress influences the immune response. Trends Immunol. 24(8):444-448. Scope, A., Filip, T., Gabler, C. and Resch, F.,

2001. The influence of stress from transport and handling on hematologic and clinical chemistry blood parameters of racing pigeons (Columba livia domestica). Avian Dis. 46(1):224–229. Sugito dan Delima, M., 2009. Dampak Cekaman Panas terhadap Pertambahan Bobot Badan, Rasio Heterofil:Limfosit, dan Suhu Tubuh Ayam Broiler. J. Ked. Hewan. 3 (1): 216-224.

St-Pierre, N.R., Cobanov, B. and Schnitkey, G., 2003. Economic losses from heat stress by US livestock industries. J. Dairy Sci. 86:E52-E77.

(18)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

15

Penggunaan Prebiotik Oligosakarida Ekstrak Tepung Buah Rumbia

(Metroxylon sago Rottb.) dalam Ransum terhadap Performan Ayam

Pedaging

(Effect of prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit (Metroxylon sago Rottb.) in the ration on broiler performance)

Muhammad Daud1, Wiranda G Piliang2, Komang G Wiryawan2 dan Agus Setiyono3

1

Fakultas Pertanian, Universitas Abulyatama-Aceh 2Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

3

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT Prebiotic oligosaccharides are thought to provide beneficial effects in the gastrointestinal tract of humans and animals by stimulating growth of selected members of the intestinal microflora. Prebiotic oligosaccharides are defined as nondigestible food ingredients that provide beneficial effects to the host by stimulating the growth of selected microbial members of the gastrointestinal tract. Among the colonic bacteria capable of metabolizing prebiotic oligosaccharides and whose growth is stimulated are species of

Lactobacillus and Bifidobacterium. Prebiotic oligosaccharides can be produced in transgli-cosylation reactions catalyzed by glycosidases. Glycosidases from different biological sources have specific ability to catalyze the formation of oligosaccharides with particular chain lengths (usually DP < 7) and predominant glycosidic linkages. Oligosaccharide used this research was purified rumbia fruit extract as prebiotic for feed additive in the ration on broiler. The objectives of

this research were to study the performance of broiler given of prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit (metroxylon sago Rottb.) in the ration. Two hundred day-old chicks of broiler were divided into three dietary treatments and four replications. Ration used was consisted of: R1 = basal ration

(control), R2 = basal ration + 0,4%

oligosaccharide extract rumbia fruit, and R3 = basal ration + 0,4% frukto-oligosaccharide (FOS). The variables observed were: feed consumption, body weight, feed conversion ratio, mortality, and production index. The result showed that the performances of the broiler supplemented prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit (R2) was significantly (P < 0.05) differences between of feed consumption, body weight, and mortality. It is concluded that of prebiotic oligosaccharide extract rumbia fruit were able to decrease the mortality and feed consumption at six week of age.

Key words: Prebiotic, oligosaccharide, rumbia fruit, performance, broilers

2009 Agripet : Vol (9) No. 2: 15-20

PENDAHULUAN3

Tingginya kewaspadaan konsumen terutama di negara-negara maju terhadap makanan yang dikonsumsi terutama makanan yang berasal dari produk hewani dan semakin disadari bahwa fungsi pangan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh, tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat lain terhadap kesehatan. Kepedulian masyarakat akan kesehatan menjadi peluang bagi peneliti untuk mengembangkan produk ternak yang berkhasiat bagi kesehatan. Salah satunya adalah dengan pemberian prebiotik

Corresponding author: daewood_vt@yahoo.co.id

sebagai nutrisi untuk tumbuh dan berkem-bangnya bakteri menguntungkan di dalam saluran pencernaan seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus yang pada gilirannya dapat meningkatkan resistensi tubuh dan tidak meninggalkan residu pada produk ternak sehingga aman bagi manusia yang mengkonsumsinya. Prebiotik merupakan bahan pakan berupa serat yang tidak dapat dicerna oleh ternak berperut tunggal (monogastrik seperti ayam dan babi). Serat tersebut dapat menjadi pemicu untuk peningkatan bakteri yang menguntungkan bagi ternak seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria, sehingga dapat meningkatkan

(19)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

16

kesehatan inang (Salminen et al. 1998;

Manning et al. 2004; Gibson 2004; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida dapat bertindak sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian dan hasil tanaman lainnya. Oligosakarida juga dapat diperoleh dengan cara hidrolisis atau proses enzimatis polisakarida, seperti pati dan serat kasar (Manning et al. 2004).

Bahan yang banyak mendapat perhatian dan sukses dipakai sebagai prebiotik adalah „non-digestible oligosaccharide‟ yang salah satunya adalah fruktooligosakarida (FOS) dan inulin. Fruktooligosakarida dan inulin berperan dalam memperbaiki kesehatan dengan jalan memodifikasi keseimbangan mikroflora usus (Crittenden, 1999) dan secara selektif

merangsang pertumbuhan bakteri

menguntungkan seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria (Cumming et al., 2001). Karbohidrat spesifik tersebut berfungsi sebagai makanan bagi bakteri yang menguntungkan (Patterson dan Burkholder, 2003). Bahan ini di alam banyak terdapat pada tanaman-tanaman sebagai berikut : Hellanthus tuberosus (15-20%), Cichorium intybus (13-(15-20%), Asparagus (2-3%), Allium cepa (2-6%) (Spiegel, 1994). Namun sejauh ini belum ada informasi tentang pemanfaatan buah rumbia (Metroxylon sago Rottb.) yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat ditingkatkan nilai gunanya sebagai salah satu sumber prebiotik dalam rangka pendayagunaan bahan alam, yang belum termanfaatkan, murah dan mudah diperoleh untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus dalam saluran pencernaan.

Mengamati hal tersebut, perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang potensi buah rumbia (Metroxylon sago Rottb.) melalui penggunaan oligosakarida hasil ekstraksi dan purifikasi dari tepung buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik dalam upaya penerapan strategi penyediaan feed additive yang tidak melibatkan penggunaan antibiotik

dalam ransum ternak.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1). Melihat respon pertumbuhan dan penampilan ayam pedaging dari penggunaan prebiotik oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia. 2). Meningkatkan potensi dan nilai guna buah rumbia sebagai salah satu sumber prebiotik dalam ransum ternak.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini telah dilakukan di kandang B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi penelitian yang digunakan adalah ayam pedaging umur sehari (DOC) strain Jumbo seri A Cibadak sebanyak 200 ekor, yang dibagi ke dalam 3 perlakuan, dimana setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 17 ekor. Kandang yang digunakan adalah kandang litter sebanyak 12 unit dengan ukuran masing-masing 200 x 200 cm, dengan alas sekam padi setebal 10 cm, dan dilengkapi tempat ransum dan air minum serta lampu pijar 40 watt sebagai penerang kandang.

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal tanpa antibiotik, yang terdiri dari 2 jenis yaitu : (1). Ransum periode starter (umur 0-3 minggu) dengan kandungan protein 21-23% dan energi metabolis 2800-3000 Kkal/kg, dan (2). Ransum periode finisher (umur 3-6 minggu) dengan kandungan protein 19-21% dan energi metabolis 3000-3200 Kkal/kg. Semua ransum perlakuan menggunakan bahan pakan yang sama, hanya berbeda pada pemakaian oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia dan fruktooligosakarida (FOS) sebagai sumber prebiotik. Bahan ransum yang digunakan terdiri dari jagung kuning, bungkil kedelai, tepung ikan, dedak gandum, bungkil kelapa, DL-Methionine, dan L-Lysine (Tabel 1).

Tabel 1. Susunan dan kandungan nutrisi ransum penelitian Bahan penyusun ransum Komposisi Starter (0-3 minggu) Finisher (3-6 minggu) Jagung kuning (%) Bungkil kedelai (%) Tepung ikan (%) Dedak gandum (%) 56 15 11 10 65 12 7,5 7,0

(20)

Agripet Vol 9, No. 2, Oktober 2009

17

Bungkil kelapa (%) DL-Methionine (%) L-Lysine (%) 6,5 0,5 1,0 7,0 0,7 0,8 Total 100 100 Kandungan nutrisi ransum Bahan kering (%) Abu (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Kalsium Phosphor Energi metabolisme (kkal/kg) 86,87 7,52 21,81 3,08 4,74 1,28 0.96 2956 88,09 7,87 20,02 3,34 3,98 1, 35 0,95 3120

Hasil analisa : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

Ransum perlakuan yang diberikan pada ayam pedaging selama penelitian (umur 0-6 minggu) adalah sebagai berikut : R1 = Ransum basal (kontrol), R2 = Ransum basal + 0,4% oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia, dan R3 = Ransum basal + 0,4% frukto-oligosakarida (FOS). Oligosakarida yang digunakan merupakan hasil ekstraksi dan purifikasi dari tepung buah rumbia yang dilakukan di Laboratorium Seafast Center Institut Pertanian Bogor. Selama penelitian berlangsung ransum ayam pedaging diberikan secara ad libitum (umur 0-6 minggu). Peubah yang diamati meliputi : konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, konversi ransum, mortalitas, dan indek produksi ayam pedaging umur enam minggu.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

yang terdiri dari 3 perlakuan dan 4 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analisis of Variance) dan apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan dialnjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test menurut Steel dan Torrie (1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum merupakan aspek terpenting dalam melakukan evaluasi terha-dap nutrisi pakan, karena keragaman penam-pilan sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia (R2) pada minggu pertama (0-1 minggu) dan pada minggu terakhir (5-6 minggu) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum (Tabel 2). Hasil uji lanjut Duncan konsumsi ransum pada perlakuan R2 nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R1 (kontrol), namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan R3. Sedangkan konsumsi ransum secara akumulatif (0-6 minggu) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara perlakuan. Rendahnya konsumsi ransum pada perlakuan R2 memberi pengaruh yang positif yang ditandainya dengan meningkatnya efisiensi ransum apabila dibandingkan dengan perlakuan R1 (kontrol).

Tabel 2. Rataan konsumsi ransum ayam pedaging (g/ekor/minggu dan akumulatif)

Perlakua n Umur (minggu) 0-1 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 R1 182,1±11,9b 406,4 ± 73,8 653,1 ± 34,9 713,2 ±48,5 909,1 ± 183,8 953,3 ±274,1b R2 136,2±34,9a 445,5 ±119,6 696,6 ±117,9 717,1 ±43,3 884,9 ±70.8 806,1 ±293,7a R3 147,4±1,70ab 421,9 ± 16,4 713,6± 42,9 695,5 ±13,7 939,0 ± 20,7 826,7±190,5ab

Konsumsi ransum akumulatif

0-1 0-2 0-3 0-4 0-5 0-6

R1 182,1±11,9 588,6± 69,0 1241,7±87,1 1954,9 ±95,1 2864,0±238,6 3817,3±477,7 R2 136,2±34,9 581,7± 151,5 1278,4± 256.7 1995,5 ±232,8 2880,4 ±195,4 3686.4 ±302.5 R3 147,4±1,70 562.9± 6,3 1344.7 ±12.1 2018,4 ±16,8 2936,5 ±11,5 3629.9 ±103.9

Keterangan : Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai standart performan ayam pedaging. Tabel 3 menujukkan bahwa pertambahan

bobot badan ayam pedaging pada umur 4-5 minggu dan 5-6 minggu menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, demikian juga pertambahan bobot badan secara akumulatif (0-6 minggu)

Gambar

Gambar  3.  Kecernaan  Ransum  dengan  Perlakuan  Jenis  Karbohidrat (A1 =  Glukosa; A2 = Maltosa;
Gambar 6. Kadar glukosa darah tanpa penambahan EDM  (B0) dan dengan  penambahan EDM (B1)
Tabel  2.  Rataan  konsumsi  bahan  kering  ransum  tikus Putih (g/ekor/hari)
Gambar  1.  Hubungan  antara  perlakuan  dengan  konsumsi  bahan  kering ransum tikus Putih
+2

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu juga, wisata masjid bersejarah pun akan mampu meningkatkan kekuatan sosial; dan hal tersebut sejalan dengan temuan Azmi &amp; Ismail yang menunjukkan

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa waktu pengaruh kombinasi pemberian pupuk nitrogen dan bobot mulsa jerami tidak berpengaruh nyata terhadap panjang

Keabsahan data dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan kriteria kredibilitas (derajat kepercayaan). Kredibilitas dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang

Hasil penelitian tindakan kelas (PTK) menunjukan bahwa pembelajaran dengan tutor sebaya terbukti dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam bermain ornamen suling lubang

〔商法三三八〕選任決議を欠く登記簿上の取締役について商法一四 条の類推適用による責任追及の成否東京地裁昭和六二年八月六日判 決

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penelitian dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

EKSPEKTASI PELANGGAN LAYANAN YANG DIHARAPKAN PELANGGAN PENILAIAN PELANGGAN TERHADAP LAYANAN YANG DIBERIKAN TINGKATLAYANAN YANG DIBUTUHKAN UNTUK ME`MENUHI EKSPEKTASI

Interview (wawancara) adalah teknik mendapatkan informasi dengan cara bertnya langsung kepada responden, percakapan itu dilakukan dengan maksud tertentu, percakapan