• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 15 Issue 2 Article 5

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 15 Issue 2 Article 5"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 15 Issue 2 Article 5

2020

Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung

Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung

(FDI) Industri Manufaktur Indonesia

(FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Indah Sri Rejeki

Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Andi Fahmi Lubis

Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke

Part of the Economics Commons, Public Affairs, Public Policy and Public Administration Commons, and the Urban Studies and Planning Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Rejeki, Indah Sri and Lubis, Andi Fahmi (2020) "Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia," Jurnal Kebijakan Ekonomi: Vol. 15 : Iss. 2 , Article 5. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol15/iss2/5

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Economics & Business at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Kebijakan Ekonomi by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

Peran Aglomerasi Dalam Penyebaran Investasi Asing Langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia

Indah Sri Rejeki1

Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

Andi Fahmi Lubis

Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Abstract

For Indonesia and other developing countries where domestic savings are limited, foreign direct investment (FDI) is a main choice in financing industrial manufacturing development. The problem is that the geographical distribution of FDI is not evenly distributed between provinces in Indonesia. This research empirically analyzes the role of agglomeration in the distribution of FDI in Indonesian Manufacturing Industry. Unlike most previous studies, FDI data available by provinces in Indonesia are aggregated into 2-digit ISIC industry from 2010 to 2014. This is intended to enrich the results of previous studies which mostly assume the effect of agglomeration on FDI is the same for all sectors. By using the Generalized Least Square (GLS) regression method, this research has proven the positive influence of agglomeration on the distribution of FDI. The existence of agglomeration which is measured by localization index and manufacturing density index certainly enhances a provincial’s attractiveness to foreign investment. In addition, besides agglomerations, factors affecting the distribution of manufacturing FDI in Indonesia are infrastructure, PDRB per capita, capital intensity, wages, and labor productivity.

Keywords: agglomeration, foreign direct investment (FDI), localization, manufacturing density

JEL classification: R32, F21

Abstrak

Bagi negara Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dimana tabungan domestic sangat terbatas, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) menjadi salah satu primadona sumber pembiayaan pembangunan industri manufaktur. Permasalahan yang muncul adalah persebaran geografis FDI tidak merata antar provinsi di Indonesia. Penelitian ini menganalisis secara empiris peran aglomerasi dalam penyebaran investasi asing langsung (FDI) Industri Manufaktur Indonesia. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, data FDI yang tersedia untuk tiap provinsi diagregasikan kedalam sub sektor 2 digit ISIC dari tahun 2010 – 2014. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya hasil penelitian sebelumnya, dimana sebagian besar mengasumsikan dampak aglomerasi adalah sama untuk semua sektor. Dengan menggunakan metode regresi Generalized Least Square (GLS), penelitian ini berhasil membuktikan adanya pengaruh posistif aglomerasi terhadap penyebaran FDI. Spesialisasi industri di suatu lokasi meningkatkan daya Tarik lokasi tersebut bagi masuknya FDI. Selain faktor aglomerasi, faktor-faktor lain yang mempengaruhi persebaran FDI di industri manufaktur Indonesia adalah PDRB per kapita, intensitas capital, tingkat upah, dan produktivitas tenaga kerja.

Kata Kunci: agglomerasi; investasi asing langsung (FDI)

PENDAHULUAN

Sektor industri manufaktur mempunyai peran yang cukup penting dalam

1 Alamat korespondensi: [email protected]

pembangunan ekonomi Indonesia. Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional merupakan yang terbesar diantara sektor lainnya. Data

(3)

menunjukkan dari tahun 2011 sampai dengan 2014, kontribusi sektor industri manufaktur mencapai lebih dari 20% per tahun, diikuti oleh sektor pertanian dan perdagangan yang mencapai 13% per tahun dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar kurang lebih 10% per tahun (Laporan Kinerja Kementerian Perindustrian, 2015).

Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mempercepat perkembangan industry manufaktur adalah dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi masuknya investasi asing langsung (FDI). Hal ini dikarenakan FDI merupakan

salah satu sumber modal kapital yang diperlukan untuk pengembangan dan peningkatan efisiensi industry yang secara paralel dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan meningkatkan laju perekomian nasional.

Permasalahan utama terkait investasi asing perusahaan manufaktur Indonesia adalah terjadinya ketidakmerataan persebaran

geografis dari realisasi FDI di setiap propinsi di Indonesia. Terdapat kesenjangan yang cukup mencolok antara satu propinsi dengan propinsi lainnya. Apabila dilihat ke dalam wilayah yang lebih luas, data BKPM menunjukkan bahwa dari tahun 2010 – 2014, penyebaran FDI di Indonesia cenderung terpusat di Pulau Jawa. Dari tabel 1 diketahui bahwa realisasi FDI industri manufaktur di Pulau Jawa mencapai lebih dari 65% per tahun, dan secara rata-rata, selama kurun waktu tersebut, persebaran FDI di Pulau Jawa mencapai 72% sedangkan di luar Pulau Jawa hanya sekitar 28%.

Adanya ketidakmerataan persebaran geografis realisasi FDI ini dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi antar pulau di Indonesia. Untuk itu, faktor determinan masuknya investasi asing dirasa perlu untuk dikaji ulang sehingga kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan industri di luar Pulau Jawa dapat tercapai.

Tabel 1. Penyebaran Geografis FDI Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2010 – 2014 Berdasarkan Pulau 2010 2011 2012 2013 2014 Jawa Ribu US $ 2,454,995.60 5,528,359.50 7,851,788.70 11,753,110.00 8,493,104.70 Persentase 73.56 81.42 66.71 74.11 65.23 Sumatera Ribu US $ 318,477.50 614,125.50 2,173,081.90 2,352,695.60 2,128,666.00 Persentase 9.54 9.05 18.46 14.84 16.35 Kalimantan Ribu US $ 367,787.80 198,031.10 736,466.30 487,232.50 858,980.80 Persentase 11.02 2.92 6.26 3.07 6.60 Sulawesi Ribu US $ 172,445.00 364,627.30 964,956.80 1,202,358.60 1,514,472.40 Persentase 5.17 5.37 8.20 7.58 11.63 Bali, Maluku, Ribu US $ 9,708.30 78,026.60 34,095.70 34,437.60 16,074.70 Dan Nusa Tenggara Persentase 0.29 1.15 0.29 0.22 0.12 Irian Ribu US $ 13,887.90 6,477.70 9,561.90 28,958.60 7,975.00 Persentase 0.42 0.10 0.08 0.18 0.06

(4)

Salah satu faktor yang dianggap dapat mempengaruhi masuknya FDI ke dalam suatu wilayah atau negara adalah aglomerasi. Aglomerasi memungkinkan perusahaan untuk melakukan produksi dengan biaya (rata-rata) yang rendah atau sering disebut sebagai penghematan aglomerasi. Hoover menyatakan ada dua macam penghematan aglomerasi: (i) Localization economies, yaitu biaya rata-rata perusahaan sejenis (dalam satu industri) pada lokasi yang sama turun dikarenakan jumlah produksi industri tersebut meningkat dan (ii) Urbanization economies, yaitu biaya total rata-rata tiap perusahaan pada suatu lokasi turun karena membesarnya skala ekonomis (penduduk, output, pendapatan, dan kesejahteraan) dari lokasi tersebut.

Konsep aglomerasi diperkenalkan pertama kali oleh Marshall (1920). Menurut Marshall, perusahaan dalam industri yang sama dapat memperoleh penghematan akibat dari pembentukan kluster yang terkonsentrasi pada lokasi yang sama. Marshall menyatakan bahwa terjadinya konsentrasi geografis didorong oleh ketersediaan tenaga kerja yang terspesialisasi, ketersediaan input spesifik yang lebih baik dan lebih murah, serta terjadinya limpahan pengetahuan (knowledge spillover) antar perusahaan dalam industri yang sama.

Berbeda dengan Marshall, Jacobs (1969) mengemukakan adanya eksternalitas positif yang berasal dari industri yang berbeda-beda yang berada dalam satu lokasi yang sama.

Berdasarkan teori ini, dibandingkan spesialisasi pada satu industri tertentu, diversifikasi industri lebih mempercepat pertumbuhan melalui perpindahan ide-ide baru dan munculnya inovasi.

Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, industri manufaktur juga mengikuti proses selektif dari segi geografis. Mayoritas industri manufaktur di Amerika Serikat terkonsentrasi pada suatu wilayah yang disebut sabuk manufaktur (Manufacturing Belt), yaitu di sebagian kecil Northeast serta bagian timur Midwest atau di daerah antara Green Bay, St. Louis, Baltimore, dan Portland. Sabuk manufaktur tersebut yang terbentuk sejak pertengahan kedua abad 19 dan terbukti menonjol dan dan terus bertahan sampai tahun 1950-an. Di Inggris, konsentrasi spasial serupa ditemukan di kawasan industri Axial Belt yang terdapat pada beberapa pusat industri, seperti di Birmingham, Leeds, Manchester, dan Sheffield.

Di Indonesia, persebaran geografis industri manufaktur Indonesia terpusat di wilayah Indonesia bagian barat. Hasil penelitian Kuncoro (2004) menunjukkan bahwa selama tahun 1976 – 2001, sebagian besar aktivitas industri manufaktur Indonesia terus berlangsung di Pulau Jawa dan Sumatera. Menurut Kuncoro, jika 27 propinsi yang ada pada waktu itu dikelompokkan ke dalam lima pulau utama (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau-pulau Katimin), Jawa dan Sumatera menyerap lebih dari 90% tenaga kerja Indonesia selama kurun waktu tersebut.

(5)

Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk membuktikan adanya pengaruh positif aglomerasi terhadap masuknya FDI ke dalam suatu wilayah atau negara, menguji apakah konsentrasi spasial yang terjadi dapat menarik lebih banyak aliran masuk FDI ke dalam wilayah tersebut. Beberapa penelitian berhasil membuktikan adanya pengaruh positif aglomerasi terhadap FDI industri manufaktur, sedangkan beberapa penelitian lain menunjukkan adanya hubungan negatif aglomerasi terhadap FDI. Hasil yang berbeda kemungkinan diperoleh akibat dari penggunaan ukuran yang berbeda sebagai proksi tingkat aglomerasi atau karena adanya tingkat kompetisi yang berbeda antar industry dalam suatu wilayah. Dengan membedakan aglomerasi ke dalam spesialisasi dan diversifikasi, Papalia dan Bertarelli (2008) menguji peran aglomerasi dalam menarik investasi asing di Italia. Hasil penelitian keduanya membuktikan bahwa spesialisasi berpengaruh positif hanya pada FDI sektor manufaktur, sedangkan diversifikasi berpengaruh positif pada sektor pertanian dan konstruksi dan tidak berpengaruh pada sektor manufaktur. Penelitian lain dilakukan oleh He (2008) dengan menggunakan indeks yang dikembangkan oleh Maurel dan Sedilot sebagai proksi lokalisasi/aglomerasi geografis dan tabel input-output untuk mengukur tingkat hubungan intra-inter industri. Dengan menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang ada di China, He berhasil membuktikan bahwa aglomerasi industri meningkatkan daya

tarik suatu industri bagi masuknya FDI. Meskipun demikian, hubungan positif ini hanya terjadi pada industry dimana didalamnya hubungan intra-industri cukup kuat. Untuk industri dimana hubungan inter-industri kuat, FDI yang masuk justru mengalami penurunan.

Di Indonesia, studi terkait faktor-faktor determinan yang mempengaruhi masuknya FDI ke dalam industri manufaktur sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, sepengetahuan penulis, studi yang memfokuskan kepada peran aglomerasi terhadap persebaran FDI masih sangat jarang. Beberapa studi menggunakan infrastruktur sebagai variabel control dan menganalisis pengaruhnya terhadap aliran masuk FDI (Sodik dan Nuryadin, 2008; Fitriandi et al, 2014; Soekro dan Widodo, 2015). Selain itu, sebagian besar penelitian mengasumsikan efek aglomerasi adalah sama untuk semua sektor.

Ketersediaan fasilitas infrastruktur dianggap sebagai salah satu faktor penarik terjadinya konsentrasi geografis industri manufaktur di suatu wilayah tertentu. Infrastruktur yang baik memungkinkan perusahaan memperoleh manfaat berupa penghematan biaya transportasi sehingga menurunkan biaya produksi. Penghematan inilah yang akan meningkatkan daya tarik suatu wilayah bagi masuknya investasi, baik investasi domestik maupun investasi asing.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh aglomerasi terhadap penyebaran FDI industri

(6)

manufaktur Indonesia dengan menggunakan indeks spesialisasi dan densitas manufaktur sebagai ukuran terjadinya penghematan aglomerasi. Menurut penulis hal ini perlu dilakukan karena pada industri yang teraglomerasi, perusahaan selain memperoleh penghematan yang berasal dari penurunan biaya transportasi akibat ketersediaan infrastruktur yang memadai, juga dapat memperoleh penghematan biaya transaksi lain yang berasal dari kedekatan jarak, pemusatan tenaga kerja terampil dan ketersediaan pemasok tertentu. Di samping itu, perusahaan yang terdapat di wilayah aglomerasi juga dapat memperoleh eksternalitas positif yang berasal dari pertukaran informasi dan teknologi yang memicu terjadinya inovasi.

Artikel penelitian ini disusun dalam lima bagian. Bagian pertama berisi latar belakang yang menjadi alasan dilakukannya penelitian, perumusan masalah penelitian dan tujuan penelitian. Bagian kedua menjelaskan tinjauan literatur yang menjadi acuan dalam penelitian, yang meliputi landasan teori dan studi empiris terkait peran aglomerasi dalam meningkatkan daya tarik wilayah bagi masuknya FDI. Dari tinjauan teori dan empiris tersebut, dirumuskan hipotesis dari penelitian ini. Bagian ketiga menjelaskan tentang jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian, termasuk metode empiris dan penjelasan dari masing-masing variabel. Bagian keempat menguraikan hasil estimasi dan pembahasan mengenai hasil tersebut dan

terakhir, bagian kelima berisi kesimpulan, implikasi kebijakan serta keterbatasan penelitian.

TINJAUAN LITERATUR

Secara teoritis, penyebaran geografis dari realisasi FDI dipengaruhi oleh keunggulan monopolistik yang dimiliki oleh perusahaan multinasional dan karakteristik dari wilayah yang menjadi tujuan dari FDI. Untuk itu, dalam melihat peran aglomerasi terhadap persebaran FDI, penelitian ini mendasarkan pada teori lokasi industri yang menjelaskan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi persebaran aktivitas ekonomi secara geografis.

Alfred Weber (1907 – 1933) mengemukakan suatu teori yang menyatakan bahwa industri sebaikknya berlokasi di tempat yang mempunyai biaya paling minimal. Menurut Weber, pemilihan lokasi suatu industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja, dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.

Menurut Weber, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional yang bersifat umum, serta faktor aglomerasi yang bersifat lokal dan khusus. Beberapa asumsi utama yang digunakan oleh Weber adalah lokasi bahan baku berada di tempat tertentu begitu pula tempat konsumsi sehingga terdapat suatu persaingan

(7)

sempurna. Ada beberapa tempat dimana tenaga kerja bersifat tidak mudah bergerak. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku, Weber menggunakan konsep segitiga lokasi (locational triangle) untuk memperoleh lokasi optimum yang menunjukkan apakah lokasi tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar. Dalam menyusun

konsepnya, Weber melakukan

penyederhanaan dengan membayangkan adanya bentang lahan yang homogen dan datar serta mengesampingkan upah buruh dan jangkauan pasar. Dengan asumsi harga satuan angkutan sama, menurut Weber biaya transportasi akan tergantung pada bobot atau volume barang dan jarak pengangkutan.

Weber mengelompokkan industri menjadi dua: (i) Industri yang weight losing, yaitu industri yang hasil produksinya mempunyai berat yang lebih ringan daripada bahan bakunya, misalnya industri kertas. Pada industri ini, biaya transportasi bahan baku menuju pabrik lebih mahal daripada biaya transportasi produk jadi menuju pasar. Oleh karena itu, lokasi produksi sebaiknya ditempatkan di dekat sumber bahan baku. (ii) Industri yang weight gaining, yaitu industri yang bahan bakunya mempunyai berat lebih ringan daripada hasil produksinya. Pada industri ini, biaya transportasi bahan baku menuju pabrik lebih murah daripada biaya transportasi produk jadi menuju pasar. Oleh karena itu, lokasi produksi sebaiknya ditempatkan di dekat pasar. Pada intinya, lokasi akan optimal apabila pabrik berada di sentral,

karena biaya dari manapun akan rendah. Biaya transportasi tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu biaya transportasi bahan mentah dari pemasok dan biaya transportasi hasil produksi ke pasar.

Weber menjelaskan adanya gejala aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi dapat terjadi dalam satu perusahaan atau berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Gejala ini menarik industri dari lokasi biaya angkut minimum karena adanya berbagai bentuk penghematan eksternal yang disebut agglomeration economies. Perpindahan ini mengakibatkan kenaikan biaya angkut, sehingga dilihat dari segi ini tidak lagi optimum.

Menurut Weber, industri tersebut baru akan pindah apabila penghematan yang disebabkan aglomerasi lebih besar daripada kenaikan biaya angkut akibat perpindahanmtersebut.

Istilah aglomerasi yang diperkenalkan Weber kemudian disempurnakan oleh Marshall (1920). Aglomerasi Marshall mendasarkan pada pemikiran tentang terjadinya penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau dalam istilah Marshall disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries). Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi produksi yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan

(8)

apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut (Tilaar, 2010).

Penghematan aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of proximity) diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya, seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi. Menurut Marshall, konsentrasi geografis didorong oleh ketersediaan tenaga kerja yang terspesialisasi, ketersediaan input spesifik yang lebih baik dan lebih murah, serta terjadinya limpahan pengetahuan (knowledge spillover) antar perusahaan dalam industri yang sama.

Ide pertama Marshall mendasarkan pada anggapan bahwa perusahaan tertarik pada lokasi yang mempunyai cukup banyak supply tenaga kerja. Pada saat yang sama, tenaga kerja tertarik pada industri yang terkonsentrasi untuk mengurangi resiko menganggur.

Dalam kondisi keseimbangan, kondisi tersebut mengurangi resiko peningkatan upah yang tinggi, meningkatkan ketersediaan supply tenaga kerja, dan menguntungkan perusahaan dengan membayar upah yang lebih rendah. Ide kedua mendasarkan padapemikiran bahwa ketersediaan input yang produktif lebih besar pada daerah yang terkonsentrasi. Perusahaan memperoleh keuntungan dari ketersediaan pemasok input tertentu sehingga mengurangi biaya transaksi. Yang

terakhir, ide ketiga mendasarkan pada anggapan bahwa jarak yang tereduksi dengan adanya konsentrasi geografis akan memperlancar arus informasi dan pengetahuan.

Teori tentang eksternalitas spesialisasi Marshall kemudian dikembangkan oleh Arrow dan Romer, sehingga dikenal juga sebagai teori eksternalitas MAR. Teori eksternalitas MAR menyatakan bahwa konsentrasi industri pada suatu wilayah mendorong terjadinya limpahan pengetahuan antar perusahaan pada industri yang sama yang ada di wilayah tersebut. Spesialisasi industri yang terjadi pada suatu wilayah tersebut mendorong terjadinya transmisi dan pertukaran pengetahuan, ide, dan informasi, baik melalui proses imitasi maupun perpindahan tenaga kerja terampil. Berbeda dengan teori eksternalitas MAR, Jacobs (1969) mengemukakan adanya eksternalitas positif yang berasal dari industri yang berbeda-beda yang berada dalam satu lokasi yang sama. Eksternalitas positif yang dikenal dengan istilah eksternalitas Jacobs ini mendasarkan pada ide bahwa keragaman dari berbagai industri yang berdekatan secara spasial mendorong transfer pengetahuan dan mempercepat pertumbuhan. Berdasarkan teori ini, dibandingkan spesialisasi pada satu industri tertentu, diversifikasi industri lebih mempercepat pertumbuhan melalui perpindahan ide-ide baru dan munculnya inovasi antara industri satu ke industri yang lain.

(9)

Krugman (1991) berusaha menurunkan efek aglomerasi dari interkasi antara besarnya pasar, biaya transportasi dan increasing return dari perusahaan. Teori yang disebut sebagai New Economic Geography ini menekankan pada mekanisme kausalitas sirkular untuk menjelaskan konsentrasi spasial dari kegiatan ekonomi. Teori ini mendasarkan pada pemikiran mengapa industri manufaktur secara umum hanya terkonsentrasi pada satu atau beberapa wilayah saja pada suatu negara (disebut dengan wilayah core), sedangkan wilayah lainnya didiami oleh sektor primer yang merupakan pemasok bahan baku untuk industri tersebut (disebut dengan wilayah periphery).

Menurut Krugman (1991b), eksternalitas yang terjadi pada wilayah core-periphery merupakan eksternalitas pecuniary yang disebabkan oleh keterkaitan permintaan atau penawaran, dan bukan hanya limpahan teknologi. Eksternalitas pecuniary hanya dapat terjadi pada kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing returns to scale. Dengan pertimbangan skala ekonomis, proses produksi industri manufaktur hanya dapat dilakukan pada beberapa lokasi saja. Lokasi yang dipilih terutama disebabkan oleh permintaan yang relatif tinggi di lokasi tersebut dan biaya transportasi minimal akan diperoleh jika perusahaan berdekatan dengan pasar.

Pada perkembangannya, Krugman membandingkan dua kekuatan saling bertentangan yang dapat mempengaruhi konsentrasi industri manufaktur, yaitu

kekuatan sentripetal dan kekuatan sentrifugal. Dalam model tersebut, kekuatan sentripetal (faktor pendorong aglomerasi) berasal dari adanya variasi konsumsi atau beragamnya intermediate goods pada sisi produksi. Sedangkan kekuatan sentrifugal (faktor penghambat aglomerasi) berasal dari tekanan yang dimiliki oleh konsentrasi geografis dari pasar input lokal yang menawarkan harga lebih tinggi. Jika biaya transportasi cukup rendah, maka akan terjadi aglomerasi. Menurut Krugman, sumber-sumber kekuatan sentripetal sama dengan sumbersumber ekonomi external yang diungkapkan oleh Marshall, yaitu kedekatan dengan pemasok dan konsumen sehingga terjadi penurunan biaya transportasi, pengumpulan tenaga kerja dengan keahlian yang sejenis, dan pure external economies melalui limpahan pengetahuan. Kekuatan sentrifugal bersumber dari faktor-faktor produksi yang tidak bergerak (immobile factors) seperti tanah, sumber daya alam, dan juga penduduk yang menghalangi terjadinya konsentrasi kegiatan produksi.

Dari sisi penawaran, perusahaan harus berlokasi dekat dengan sumber daya alam dan tenaga kerja, sedagkan dari sisi permintaan, perusahaan harus berlokasi dekat dengan pasar yang tidak terkonsentrasi. Konsentrasi aktivitas perekonomian dapat menyebabkan harga sewa tanah dan perumahan menjadi meningkat, sehingga membuat perusahaan ataupun tenaga kerja enggan untuk berlokasi dan bermukim di suatu wilayah.

(10)

Konsentrasi tersebut juga dapat menyebabkan timbulnya pure external diseconomies, yang dapat terjadi jika suatu wilayah sudah sangat terkonsentrasi atau penuh sesak dengan lapangan usaha dan juga penduduk. Pada akhirnya, kepadatan populasi dan aktivitas produksi merupakan hasil dari keseimbangan kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Jika faktor-faktor produksi tidak bergerak (immobile factors) tetap bertahan di wilayah periphery, perusahaan dari wilayah core dapat berpindah ke wilayah periphery untuk memenuhi kebutuhan wilayah tersebut dan juga menghindari konsentrasi geografis yang terlalu tinggi.

Dalam model eksternalitas teknologi, transfer pengetahuan antar perusahaan memberikan insentif bagi aglomerasi ekonomi. Informasi dianggap sebagai barang public sehingga tidak ada persaingan untuk memperolehnya. Dengan mengasumsikan bahwa masing-masing perusahaan menghasilkan informasi yang berbeda-beda, manfaat interaksi meningkat seiring dengan jumlah perusahaan. Karena interaksi informal, perluasan pertukaran informasi menurun dengan meningkatnya jarak. Hal ini memberikan insentif bagi perusahaan untuk berlokasi berdekatan dengan perusahaan lain sehingga menghasilkan aglomerasi.

Dalam pandangan teori neo klasik, Kojima (1982) menyatakan bahwa keunggulan komparatif (comparative advantage) dari suatu wilayah menjadi faktor panarik masuknya FDI ke dalam wilayah tersebut. Kojima mengidentifikasi biaya tenaga kerja

sebagai keunggulan komparatif dari suatu wilayah. Menurut Santiago (1987), kemudahan akses menuju sentral bisnis, biaya transportasi dan ketersediaan infrastruktur lah yang menjadi faktor keunggulan komparatif dari wilayah. Dalam pandangan new economic

geography, Krugman (1991)

mengidentifikasi penghematan aglomerasi sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi daya Tarik wilayah bagi masuknya FDI. Agglomerasi meningkatkan konsentrasi FDI di wilayah tertentu dikarenakan aglomerasi meningkatkan return dari perusahaan yang ada di dalamnya (Shaver dan Flyer, 2000; Coughlin dan Segev, 2000). Aglomerasi juga membantu mengurangi biaya transportasi (Guimaraes et al, 2000). Akan tetapi, ketika aglomerasi mencapai level tertentu, wilayah/kota akan mengalami disekonomis atau kehilangan keunggulan komparatifnya dikarenakan eksternalitas negative dari aglomerasi, seperti misalnya kenaikan tingkat upah dan harga lahan (Chan et al 2008 dalam Kang, 2000). Apabila efek eksternalitas positif lebih besar dibandingkan efek kenaikan tingkat upah atau harga lahan, maka FDI tetap masuk ke dalam wilayah tersebut.

Penelitian telah banyak dilakukan untuk membuktikan pengaruh positif aglomerasi terhadap investasi asing langsung, baik pada level negara, kawasan, wilayah maupun level provinsi. Sebagian besar penelitian bertujuan untuk menguji ada atau tidaknya peran aglomerasi terhadap

(11)

keterpilihan lokasi FDI (Shaver dan Flyer, 2000; Bronzini, 2004; Papalia dan Bertarelli, 2009; Lamin dan Livanis, 2013). Beberapa penelitian lain bertujuan menguji peran aglomerasi dalam meningkatkan daya tarik wilayah bagi masuknya lebih banyak FDI, melihat seberapa besar pengaruh aglomerasi terhadap FDI yang masuk ke dalam suatu wilayah (Tuan dan Linda, 2004; He, 2008; Brude, 2014). Untuk tujuan penelitian yang pertama, beberapa proksi yang berbeda digunakan untuk mengukur keberadaan penghematan aglomerasi, menganalisis pengaruhnya terhadap probabilitas suatu wilayah terpilih sebagai lokasi FDI. Dengan menggunakan discrete choice model, hasil yang positif menunjukkan adanya pengaruh positif aglomerasi terhadap kemampuan atau ketidakmampuan wilayah menarik investasi asing. Wilayah dikatakan mampu menarik investasi jika ada FDI yang masuk ke dalam wilayah tersebut, dan begitu pula sebaliknya, wilayah dikatakan tidak mampu menarik arus masuk FDI apabila tidak ada FDI yang masuk ke dalam lokasi tersebut. Untuk tujuan penelitian yang kedua, beberapa proksi yang berbeda digunakan untuk mengukur keberadaan penghematan aglomerasi, menganalisis pengaruhnya terhadap jumlah FDI yang masuk, baik dalam satuan nilai maupun jumlah proyek. Hasil penelitian yang bertanda positif dan signifikan menunjukkan pengaruh positif dari aglomerasi terhadap daya tarik wilayah untuk masuknya FDI. Wilayah dikatakan mempunyai daya tarik apabila arus FDI yang masuk ke dalam lokasi tersebut lebih

banyak dibandingkan FDI yang masuk ke wilayah lain.

Beberapa proksi yang berbeda yang digunakan oleh peneliti sebelumnya untuk mengukur aglomerasi, antara lain: (i) rasio antara jumlah tenaga kerja manufaktur atau jumlah penduduk per luas lahan (Caughlin et al, 1991; Pelegrin dan Catalina, 2008); (ii) jumlah perusahaan manufaktur yang ada di suatu wilayah (Basile, 2002); (iii) tingkat industrialisasi yang diukur dengan rata-rata tertimbang output manufaktur terhadap GDP (Wheeler dan Mody, 1992); (iv) infrastruktur dari endowment atau stok FDI sebelumnya (Wheeler dan Mody, 1992, Fitriandi et al, 2014); (v) rasio tenaga kerja sektor tertentu terhadap total tenaga kerja nasional (Head et al, 1995); (vi) jumlah perusahaan asing yang ada di suatu wilayah pada periode sebelumnya (Bronzini, 2004), dan (vii) indeks spesialisasi Marshall dan diversifikasi Jacobs (Bronzini, 2007; Papalia dan Bertarelli, 2008).

METODE

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia dan sumber-sumber lainnya. Data BKPM dalam penelitian ini berupa data realisasi investasi asing langsung pada industri manufaktur Indonesia, sedangkan data BPS berasal dari survey tahunan industri besar dan menengah yang mempunyai tenaga kerja minimal 20 orang. Dari data IBS, diperoleh data jumlah tenaga kerja, nilai

(12)

output, status kepemilikan, nilai kapital dan nilai ekspor dari tahun 2010 sampai dengan 2014.

Selain kedua sumber data tersebut, penelitian ini juga menggunakan data upah minimum provinsi yang diperoleh dari Publikasi Kementerian Ketenagakerjaan dan data luas lahan per provinsi yang diperoleh dari publikasi Kementerian Dalam Negeri.

Untuk perhitungan variabel aglomerasi, dalam hal ini adalah indeks spesialisasi, dilakukan pengagregasian data menurut ISIC 2 digit sebagai agregasi level sektor dan provinsi sebagai agregasi level wilayah.

Metode estimasi

Penelitian ini menggunakan data panel sektor industri manufaktur dan provinsi di Indonesia dengan periode waktu tahunan dari tahun 2010 – 2014. Metode estimasi yang digunakan adalah regresi data panel dengan model empiris sebagai berikut: 𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑡 = 𝛼 + 𝛽1𝐼𝑁𝑇𝑅𝐴𝑖𝑗, −1 + 𝛽2𝐷𝐸𝑁𝑆𝑖, 𝑡 − 1 + 𝛽3𝑃𝐷𝑅𝐵𝑖, 𝑡 − 1 + 𝛽4𝐸𝑋𝑃𝑇𝑖𝑗 , 𝑡 − 1 + 𝛽5𝐾𝐿𝑗 , 𝑡 − 1 + 𝛽6𝑈𝑀𝑃𝑖, 𝑡 − 1 + 𝛽7𝑃𝑅𝑂𝐷𝑇𝐾𝑖𝑗 , 𝑡 − 1 + 𝛽8𝐻𝐻𝐼𝑖𝑗 , 𝑡 − 1 + 𝜀𝑖𝑗𝑡(1) Keterangan:

FDI : aliran masuk FDI pada industri manufaktur

INTRA : indeks spesialisasi Marshall DENS : indeks densitas manufaktur

PDRB : PDRB per kapita

EXPT : tingkat perdagangan, diukur dengan intensitas ekspor

KL : intensitas modal

UMP : upah minimum provinsi PRODTK: produktivitas tenaga kerja HHI : tingkat kompetisi provinsi i : provinsi

j : sub sektor industri 2 digit ISIC t : tahun pengamatan

Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini menggunakan satu variabel terikat dan beberapa variabel bebas yang terdiri dari satu variabel bebas utama dan beberapa variabel kontrol. Variabel bebas utama merupakan variabel bebas yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, sedangkan variabel kontrol merupakan variabel-variabel lain selain variabel bebas utama yang juga mempengaruhi variabel terikat.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah aliran masuk investasi asing langsung/FDI industri manufaktur Indonesia yang diukur dengan nilai realisasi FDI di setiap provinsi untuk masing-masing sub sektor industri. Dikarenakan fokus penelitian adalah melihat pengaruh aglomerasi terhadap penyebaran FDI, maka variabel bebas utama pada penelitian ini adalah aglomerasi ekonomi yang dibedakan atas spesialisasi ekonomi dan densitas manufaktur. Spesialisasi ekonomi atau localization economies merupakan variabel yang digunakan untuk menganalisis adanya eksternalitas yang terjadi pada industri yang sama (intra-industry externality). Merujuk

(13)

pada teori aglomerasi Marshall, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Papalia dan Bertarelli (2009), dalam penelitian ini digunakan indeks spesialisasi dari industri dengan 2 digit ISIC yang sama. Perusahaan yang terspesialisasi dianggap mampu menarik masuknya perusahaan baru dikarenakan adanya efek koordinasi dan complemantary products. Menurut Hoover, perusahaan memperoleh eksternalitas dari konsentrasi perusahaan sejenis apabila perusahaan dengan industri yang sama menggunakan pemasok input spesifik yang sama dan terjadi pemusatan tenaga kerja terampil. Indeks spesialisasi industri regional relatif terhadap komposisi industri nasional dinyatakan sebagai berikut: 𝐼𝑁𝑇𝑅𝐴𝑖𝑗 = 𝐼𝑆𝑖𝑗−1 𝐼𝑆𝑖𝑗+1 𝑑𝑖 𝑚𝑎𝑛𝑎 𝐼𝑆𝑖𝑗 = 𝐿𝑖𝑗 ∑ 𝐿𝑗 𝑖𝑗 ⁄ 𝐿𝑗𝑁 ∑ 𝐿𝑗 𝑗𝑁 ⁄ (2)

Lij merupakan jumlah tenaga kerja provinsi i pada sub sektor j dan LjN adalah jumlah tenaga kerja nasional pada sub sektor j. Ukuran aglomerasi yang kedua adalah manufacturing density. Densitas manufaktur merupakan variabel untuk menganalisis adanya efek demonstrasi dari aglomerasi.

Caughlin et al (1991) menyatakan bahwa keberadaan aktivitas manufaktur di suatu wilayah memberikan gambaran tersedianya pemasok dan pelanggan dalam jumlah yang cukup besar dimana didalamnya terdapat hubungan industri yang kuat sehingga memberikan daya tarik bagi masuknya

perusahaan baru. Sama halnya Pelegrin dan Catalina (2008), indeks densitas manufaktur yang digunakan dalam penelitian ini diukur dengan banyaknya tenaga kerja manufaktur per km persegi. Rumus perhitungan densitas manufaktur adalah sebagai berikut:

𝐷𝐸𝑁𝑆𝑖 = 𝐿𝑖 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑖

(3)

Li adalah jumlah tenaga kerja industri manufaktur yang ada di provinsi i. Selain variabel utama, sebagaimana disampaikan sebelumnya, penelitian ini juga menggunakan beberapa variabel bebas lain yang disebut sebagai variabel kontrol. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran FDI selain faktor aglomerasi sehingga dengan mengontrol variabel-variabel lain yang mungkin juga mempengaruhi penyebaran FDI, diharapkan hasil estimasi yang diperoleh konsisten dan tidak bias. Pada penelitian ini, variabel kontrol yang digunakan antara lain PDRB, tingkat perdagangan, intensitas kapital, tingkat upah, tingkat produktivitas tenaga kerja dan tingkat kompetisi industri. PDRB dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita untuk tiap provinsi di Indonesia. Menurut Dunning (2000), salah satu motivasi melakukan FDI adalah market seeking, yang berarti melakukan investasi dengan tujuan untuk memperoleh potensi pasar yang lebih besar. PDRB per kapita selain menggambarkan ukuran pasar (market size) juga dapat menggambarkan kemampuan/daya beli dari masyarakat (Chunlai, 2012). Semakin tinggi PDRB per kapita menggambarkan semakin tinggi

(14)

tingkat perekonomian suatu provinsi dan dengan demikian, semakin tinggi PDRB per kapita semakin menarik suatu wilayah bagi masuknya FDI.

Tingkat keterbukaan perdagangan suatu provinsi dalam penelitian ini dilambangkan dengan variabel EXPT dan diukur dengan menggunakan rasio ekspor terhadap PDRB. Beberapa studi menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan berpengaruh positif terhadap aliran masuk FDI ke suatu negara (Asiedu, 2002). Biasanya, diawali dengan perdagangan, bisnis internasional akan melakukan investasi asing langsung sebagai pengganti ataupun pelengkap dari perdagangan (UNCTAD, 2002).

Semakin tinggi intensitas ekspor menggambarkan semakin besar penggunaan produk lokal oleh negara lain. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan masuknya investasi asing untuk industri tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, variabel EXPT diharapkan juga berpengaruh positif terhadap FDI.

KL merupakan variabel yang digunakan untuk menunjukkan intensitas modal dari masing-masing sub sektor industri. KL diukur dengan menggunakan rasio asset tetap terhadap jumlah tenaga kerja tiap sektor. Semakin tinggi nilai KL menunjukkan industri adalah capital and technological intensive. Menurut He (2008) pengaruh positif variabel ini terhadap jumlah FDI menunjukkan bahwa investor asing lebih memilih daerah dimana industri adalah lebih padat modal. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa pada era

globalisasi seperti sekarang, keberadaan mesin-mesin memungkinkan proses produksi lebih cepat dan efisien. Oleh karena itu, semakin industri adalah capital and technological intensive, semakin banyak arus FDI yang masuk.

Tingkat upah dalam penelitian ini dinyatakan dengan variabel UMP dan diukur dengan upah minimum provinsi. UMP menggambarkan biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan multinasional. Dunning (2000) menyatakan bahwa salah satu motivasi melakukan FDI adalah resource seeking, yang berarti melakukan investasi untuk memperoleh sumber daya yang tidak tersedia di negara asal atau tersedia di negara asal tetapi mencari di wilayah lain dengan harga yang lebih rendah. Semakin tinggi UMP semakin tinggi biaya produksi yang harus dikeluarkan (Lee, et al, 2016). Oleh karena itu variabel UMP diharapkan berpengaruh negatif terhadap persebaran FDI.

Untuk menggambarkan kualitas tenaga kerja perusahaan manufaktur Indonesia, penelitian ini menggunakan variabel tingkat produktivitas tenaga kerja yang dinyatakan dengan variabel PRODTK. PRODTK diukur sebagai rasio output terhadap jumlah tenaga kerja per sub sektor industri. Semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin efisien proses produksi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini variabel PRODTK diharapkan berpengaruh positif terhadap FDI. Semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin banyak investasi asing yang masuk.

(15)

HHI, merupakan variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat kompetisi pasar. HHI dalam penelitian ini diukur dengan

menggunakan Herfindahl-Hirschman indeks share tenaga kerja sektor manufaktur. Nilai HHI berkisar antara nol hingga satu. Jika H mendekati nol, maka berarti terdapat sejumlah besar perusahaan dengan ukuran yang hamper sama dalam industri, dan konsentrasi pasar adalah rendah. Sebaliknya, industri bersifat monopoli jika H sama dengan satu.

Dalam penelitian ini, semua variabel bebas diestimasi dalam bentuk logaritma natural dan diukur dengan menggunakan nilai pada periode sebelumnya (t-1). Hal ini dikarenakan perusahaan multinasional dalam menentukan lokasi FDI didasarkan pada informasi dari karakteristik lokasi yang tersedia pada periode sebelumnya.

HASIL DAN ANALISIS

Perkembangan Investasi Asing Langsung Perusahaan Manufaktur Indonesia

Pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan arus investasi sebagai salah

satu sumber pendanaan yang diperlukan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produktivitas industri,

menurunkan angka kemiskinan dan menurunkan tingkat pengangguran. Dari tahun 2010 – 2014, arus investasi asing langsung yang masuk di setiap sektor industri manufaktur Indonesia cenderung mengalami peningkatan.

Meskipun semenjak tahun 2014 aliran masuk FDI tampak mulai tersebar ke beberapa propinsi di luar Pulau Jawa, secara umum, aliran masuk FDI masih cenderung terpusat di Pulau Jawa, terutama di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Grafik perkembangan FDI industri manufaktur dapat dilihat pada gambar 4.1. Dari gambar terlihat bahwa pulau Jawa dan Sumatera masih menjadi daerah favorit bagi investor asing atau dengan kata lain aliran masuk FDI masih terpusat di wilayah Indonesia bagian barat.

Apabila dilihat dari sub sektor industri, data BKPM menunjukkan bahwa sub sector industri barang dari logam, mesin dan

Catatan: BKPM (data diolah)

Gambar 1. Grafik Perkembangan FDI industri manufaktur Indonesia per Pulau Tahun 2010 – 2014 (dalam $)

(16)

peralatan merupakan sub sektor dengan nilai investasi asing terbesar dibandingkan sub sektor lainnya, diikuti oleh sub sektor

industri kimia, karet dan plastik serta industri makanan, minuman, dan tembakau. Secara lengkap, data investasi per sub sektor industri tampak pada tabel 4.1. (2?)

Analisis Aglomerasi Industri Manufaktur Indonesia

Menurut Fujita (1991), aglomerasi merupakan proses pengelompokan dari aktivitas ekonomi secara spasial, yang terjadi dan terbentuk secara komulatif oleh beberapa alasan. Pandangan tersebut dilengkapi oleh Ellison dan Glaeser (1997) yang menyatakan bahwa agglomerasi tidak selalu terjadi dalam satu industri, agglomerasi dapat terjadi pada beberapa industri yang berbeda dan tidak saling terkait.

Pada negara maju seperti contohnya Amerika Serikat dan Inggris, industri pengolahan juga mengikuti proses selektif

dari segi geografis. Mayoritas industry pengolahan di Amerika Serikat telah lama berkonsentrasi pada suatu wilayah yang

disebut sabuk manufaktur (Manufacturing Belt), yaitu di sebagian kecil Northeast serta bagian timur Midwest atau di daerah antara Green Bay, St. Louis, Baltimore, dan Portland. Sabuk manufaktur tersebut yang telah terbentuk sejak pertengahan kedua abad 19 terbukti menonjol dan terus bertahan hingga 1950-an. Di Inggris, konsentrasi spasial serupa ditemukan di kawasan industri Axial Belt yang terdapat pada beberapa pusat industri terutama di Birmingham, Leeds, Manchester, dan Sheffield. Pada negara sedang berkembang, konsentrasi industri dan penduduk terutama terjadi di sekitar ibu kota negara, seperti di Bangkok, New Delhi, Mexico City, Sao Paulo, dan Jakarta (Kuncoro, 2004).

Dari hasil perhitungan manufacturing density, data menunjukkan bahwa industry manufaktur Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Share jumlah tenaga kerja

Tabel 2. Perkembangan FDI menurut sub sektor industri Tahun 2010 – 2014

Sub Sektor Nilai Investasi (Ribu US $)

2010 2011 2012 2013 2014

Makanan, minuman & tembakau

1,025,746.7 1,104,642.7 1,782,947.7 2,117,740.2 3,139,575.4

Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit

285,176.6 752,268.5 632,004.7 846,901.0 633,150.4

Kayu dan sejenisnya 43,055.9 51,140.8 76,286.0 39,494.6 63,654.5

Kertas, Percetakan dan Penerbitan

46,411.4 257,529.6 1,306,607.0 1,168,884.2 706,494.6

Kimia, Karet dan Plastik 897,670.7 1,837,356.2 3,430,084.0 3,614,536.7 2,867,282.8

Barang galian non logam 28,395.8 137,147.7 145,760.8 874,130.4 916,881.3

Logam dasar 229,557.2 907,498.2 1,684,056.6 2,267,435.0 1,428,881.5

Barang dari logam, mesin dan peralatan

753,725.8 1,677,325.1 2,612,018.0 4,817,970.1 3,111,582.4

Industri Lainnya 27,562.0 64,738.9 100,186.5 111,700.7 151,770.7 Catatan: BKPM (data diolah)

(17)

industry manufaktur per km2 lahan menunjukkan bahwa sebagian besar industri manufaktur berada di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Menurut Landiyanto (2005), terbentuknya kluster industri di suatu wilayah yang terjadi akibat proses agglomerasi menyebabkan wilayah tersebut menjadi terspesialisasi pada suatu industri. Spesialisasi industri menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi pada suatu wilayah dikuasai oleh beberapa industri tertentu (OECD, 2000). Suatu wilayah dapat diartikan sebagai wilayah yang terspesialisasi apabila dalam sebagian kecil industry pada wilayah tersebut memiliki pangsa pasar yang besar terhadap keseluruhan industri.

Struktur industri yang terspesialisasi pada industri tertentu menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki keunggulan berupa daya saing pada industri tersebut. Hasil perhitungan indeks spesialisasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa provinsi DKI Jakarta sebagai pusat aktivitas industri manufaktur di Indonesia terspesialisasi pada sub sektor industri barang dari logam,

mesin dan peralatan. Banten di urutan kedua terspesialisasi pada sub sektor industri tekstil, pakaian jadi dan kulit. Jawa Barat terspesialisasi pada sub sektor industri barang dari logam, mesin dan peralatan, sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur terspesialisasi pada sub sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Analisis Deskriptif

Tabel 4.2 menunjukkan hasil statistik deskriptif dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tidak semua provinsi di Indonesia mendapatkan aliran masuk FDI. FDI dengan nilai minimum 0 dan nilai ratarata yang jauh dari nilai maksimum menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia tidak memperoleh aliran masuk FDI, beberapa memperoleh FDI dalam jumlah yang sedikit, dan hanya beberapa provinsi lain yang mendapatkan FDI dalam jumlah yang besar.

Mengikuti indeks spesialisasi yang digunakan dalam Papalia dan Bertarelli (2009), semakin tinggi indeks menunjukkan bahwa subsektor semakin terspesialisasi secara relative pada provinsi

Tabel 4.2. Statistik Deskriptif

Variable Obs Mean Std. Dev. Min Max

fdi 2357 2.750 4.277 0.000 14.980 intra 2356 -0.512 1.035 -5.070 0.683 density 2356 1.615 1.676 0.002 6.156 pdrb 2356 10.296 0.574 9.140 11.823 expt 2356 0.097 0.233 0.000 2.383 kl 2356 1.575 0.124 1.330 1.971 ump 2356 13.905 0.280 13.353 14.708 prodtk 2356 12.097 2.032 0.000 17.453 hhi 2356 0.248 0.134 0.091 0.620

(18)

tertentu. Dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan semakin banyak perusahaan sejenis yang terkonsentrasi secara geografis pada provinsi tertentu sehingga skala ekonomis yang diperoleh dari kedekatan dengan perusahaan sejenis semakin besar.

Variabel density menunjukkan kepadatan aktivitas industri manufaktur pada suatu wilayah. Semakin tinggi nilai density menunjukkan semakin banyak aktivitas manufaktur yang terkonsentrasi secara geografis per km2 wilayah. Dengan kata lain semakin tinggi nilai density, semakin banyak tenaga kerja yang bekerja pada industri manufaktur per km2 wilayah tertentu. Nilai minimum variabel density sebesar 0,002 (mendekati 0) menunjukkan bahwa di Indonesia, terdapat provinsi dimana aktivitas industry manufaktur sangat sedikit.

Variabel PDRB dalam hal ini adalah PDRB per kapita menunjukkan tingkat perekonomian suatu provinsi dan kemampuan daya beli masyarakat. Nilai rata-rata PDRB yang lebih mendekati nilai minimumnya menunjukkan bahwa daya beli rata-rata provinsi di Indonesia masih rendah.

Variabel expt menunjukkan tingkat keterbukaan perdagangan yang diukur dengan intensitas ekspor subsektor industri di setiap provinsi Indonesia. Nilai minimum variabel ini sebesar 0 menunjukkan bahwa terdapat subsektor industri tertentu yang sama sekali tidak melakukan kegiatan ekspor. Nilai rata-rata

variabel expt yang lebih mendekati nilai minimumnya menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas industri di Indonesia ditujukan untuk melayani konsumsi dalam negeri.

Variabel kl menunjukkan tingkat capital intensif dari subsektor industri. Nilai ratarata variabel ini yang lebih mendekati nilai minimumnya menunjukkan bahwa sebagian besar industri manufaktur di Indonesia cenderung labor intensif atau berteknologi rendah.

Variabel prodtk menunjukkan elastisitas produktivitas tenaga kerja. Nilai minimal variabel prodtk sebesar 0 menunjukkan bahwa di Indonesia, terdapat subsektor dimana tingkat produktivitas tenaga kerja adalah sama setiap tahunnya. Semakin tinggi nilai variabel prodtk menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja.

Variabel hhi menunjukkan tingkat kompetisi wilayah. Semakin tinggi nilai variabel hhi menunjukkan bahwa industri dalam wilayah tersebut semakin terkonsentrasi, dan ini berarti semakin tinggi tingkat kompetisi. Nilai rata-rata variabel hhi yang lebih mendekati nilai minimum menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kompetisi industri di provinsi Indonesia masih rendah. Hhi bernilai 1 menunjukkan bahwa industri bersifat monopoli.

Analisis Regresi

Untuk menguji pengaruh aglomerasi terhadap penyebaran FDI industri manufaktur Indonesia, penelitian ini

(19)

menggunakan metode estimasi regresi data panel. Setelah dilakukan pengujian pemilihan model terbaik, ditemukan adanya heteroskedastisitas dan korelasi antar unit cross-section pada model. Dilakukan perbaikan dengan menggunakan metode estimasi Generalized Least Square. Tabel 4.3 menunjukkan hasil estimasi dengan menggunakan metode tersebut.

Hasil regresi menunjukkan bahwa secara bersama-sama, variabel bebas berpengaruh terhadap aliran masuk FDI. Hal ini ditunjukkan dari nilai F-statistic yang signifikan pada α = 1 persen. Berdasarkan hasil uji parsial t dapat diketahui bahwa hampir semua variable bebas yang digunakan dalam penelitian berpengaruh signifikan terhadap arus masuk FDI.

Tingkat spesialisasi, densitas manufaktur, PDRB per kapita, intensitas modal, tingkat upah (UMR) dan produktivitas tenaga kerja berpengaruh secara signifikan terhadap arus masuk FDI. Hanya variabel intensitas ekspor dan tingkat persaingan wilayah yang tidak berpengaruh terhadap arus masuk FDI.

Tingkat Spesialisasi/localization economies

Variabel tingkat spesialisasi berpengaruh positif terhadap aliran masuk FDI pada derajad α = 1 persen. Dari hasil regresi diperoleh elastisitas FDI terhadap tingkat spesialisasi adalah sebesar 0,5397. Hal ini berarti jika jumlah tenaga kerja yang ada pada subsektor industri yang sama dan berlokasi pada provinsi yang sama meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi

Tabel 4.3. Hasil Estimasi Data Panel

Variabel independen Koefisien Estimasi

PLS FE RE GLS

INTRA (indeks spesialisasi) .6698*** -.03800 .1469* .5397***

0.000 0.612 0.036 0.000 DENS (manufacturing density) .4868*** -.9324* .6278*** .6398*** 0.000 0.018 0.000 0.000 PDRB (market size) 1.1183*** 1.6811** .8638** .9987*** 0.000 0.009 0.002 0.000

EXPT (tingkat keterbukaan) .2499 -.4116 -.3293 .9303

0.473 0.063 0.137 0.721

KL (intensitas kapital) .0537 -1.1633* -.8009 1.0511*

0.936 0.044 0.146 0.046

UMP (tingkat upah) -2.0765*** -.8982** -0.9629*** -1.6550***

0.000 0.005 0.000 0.000

PRODTK (produktivitas tenaga kerja)

.3685*** .5135 .1115** .2037***

0.000 0.129 0.001 0.000

HHI (tingkat kompetisi) -1.3186 3.1708* -.2876 .0026

0.147 0.034 0.794 0.996

konstanta 15.4263*** .3635 6.2719 10.5604**

0.000 0.980 0.060 0.002

Sumber : Hasil stata; * signifikan statistic pada 0.05, ** signifikan statistic pada 0.01, *** signifikan statistic pada 0.001

(20)

variabel-variabel lain adalah konstan (ceteris paribus), maka arus masuk FDI akan meningkat sebesar 0,5397 persen. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Bronzini (2004) dan Papalia & Bertarelli (2009).

Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Marshall, konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan yang bergerak pada subsektor industri yang sama dapat memberikan eksternalitas positif sehingga meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah. Hal ini disebabkan karena berkumpulnya industri yang sama mendorong pemasok bahan baku dan konsumen untuk mendekati pasar, sehingga memungkinkan terjadinya penghematan biaya transportasi bahan baku dan biaya distribusi produk. Konsentrasi industri juga menyebabkan berkumpulnya tenaga kerja dengan keahlian yang sama pada wilayah tersebut. Hal tersebut menimbulkan kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja terampil, sehingga biaya perekrutan dan pelatihan dapat ditekan. Jarak yang berdekatan juga memungkinkan terjadinya transfer ilmu pengetahuan antar perusahaan, baik melalui mobilitas tenaga kerja maupun proses imitasi. Dengan adanya kondisi tersebut, spesialisasi akan meningkatkan daya saing dari wilayah sehingga menarik bagi para investor untuk melakukan investasi.

Pada penelitian ini, hasil positif variabel ini menunjukkan bahwa provinsi dimana di dalamnya terdapat semakin banyak industri sejenis yang berkumpul pada lokasi yang sama, lebih menarik bagi perusahaan

multinasional untuk masuk ke dalamnya. Hal ini disebabkan karena wilayah yang terspesialisasi memberikan penghematan aglomerasi terhadap perusahaan yang berlokasi di dalamnya sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Marshall.

Densitas manufaktur

Variabel densitas berpengaruh positif terhadap aliran masuk FDI pada derajad α=1 persen. Dari hasil regresi diperoleh elastisitas FDI terhadap tingkat densitas perusahaan manufaktur adalah sebesar 0,6398. Hal ini berarti jika aktivitas industri manufaktur per km2 meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi variabel-variabel lain adalah konstan (ceteris paribus), maka arus masuk FDI akan meningkat sebesar 0,6398 persen. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pelegrin dan Catalina (2008).

Menurut Pelegrin dan Catalina, arus masuk FDI dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas industri manufaktur pada periode sebelumnya. Perusahaan multinasional menghadapi resiko bisnis dan ketidakpastian yang lebih besar dibandingkan perusahaan domestik. Resiko dan ketidakpastian tersebut menurut Lee et al (2016) dapat dikurangi dengan memasuki wilayah yang didalamnya terdapat hubungan industri yang kuat.

Keberadaan aktivitas industri manufaktur pada suatu wilayah dianggap dapat memberikan sinyal adanya efisiensi produksi pada wilayah tersebut sehingga menjadikan wilayah tersebut lebih menarik bagi perusahaan multinasional.

(21)

PDRB per kapita

Variabel PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap aliran masuk FDI pada derajad α = 1 persen. Dari hasil regresi diperoleh elastisitas FDI terhadap PDRB per kapita adalah sebesar 0,9987. Hal ini berarti jika PDRB per kapita meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi variabel-variabel lain adalah konstan (ceteris paribus), maka arus masuk FDI akan meningkat sebesar 0,9987 persen. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sodik dan Nuryadin (2008), Chunlai (2012), dan Huang et al (2016). PDRB per kapita selain menggambarkan ukuran pasar (market size), juga dianggap dapat menggambarkan kemampuan/daya beli dari masyarakat. Semakin tinggi PDRB per kapita menggambarkan semakin tinggi tingkat perekonomian suatu provinsi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pangsa pasar yang besar masih menjadi daya Tarik provinsi di Indonesia bagi masuknya investasi asing.

Intensitas ekspor

Variabel intensitas ekspor tidak berpengaruh signifikan terhadap aliran masuk FDI. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asiedu (2002) yang berhasil membuktikan adanya pengaruh positif ekspor terhadap FDI. Biasanya, diawali dengan perdagangan, bisnis internasional akan melakukan investasi asing langsung sebagai pengganti ataupun pelengkap dari perdagangan (UNCTAD, 2002). Semakin tinggi intensitas ekspor menggambarkan semakin besar penggunaan produk lokal

oleh negara lain. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan masuknya investasi asing untuk industry tersebut. Intensitas capital

Variabel intensitas kapital berpengaruh positif terhadap aliran masuk FDI pada derajad α = 10 persen. Variabel ini menggambarkan intensitas modal dari setiap sub sektor industri di Indonesia. Semakin tinggi nilai intensitas capital menggambarkan industri adalah technological intensif. Dari hasil regresi diperoleh elastisitas FDI terhadap intensitas kapital adalah sebesar 1.0511. Hal ini berarti jika rasio modal per tenaga kerja meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi variabel-variabel lain adalah konstan (ceteris paribus), maka arus masuk FDI akan meningkat sebesar 1.0511 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa arus FDI yang masuk ke dalam industry manufaktur Indonesia mulai bergeser dari sub sektor industri yang padat tenaga kerja menjadi sub sektor yang padat modal. Pada provinsi dimana industri yang bersifat technological intensif semakin banyak, semakin besar arus FDI yang masuk. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian He (2008). Pada kondisi globalisasi seperti sekarang, keberadaan dari mesin-mesin dan peralatan dianggap dapat menghemat biaya produksi dikarenakan proses produksi yang dapat berjalan secara lebih efisien.

Tingkat upah

Tingkat upah menggambarkan besarnya biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan multinasional. Variabel

(22)

tingkat upah dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan upah minimum provinsi. Variabel upah berpengaruh negatif terhadap aliran masuk FDI pada derajad α = 1 persen. Dari hasil regresi diperoleh elastisitas FDI terhadap tingkat upah adalah sebesar -1.6550. Hal ini berarti jika tingkat upah meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi variabel-variabel lain adalah konstan (ceteris paribus), maka arus masuk FDI akan berkurang sebesar 1.6550 persen. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2016).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biaya tenaga kerja yang murah masih menjadi salah satu keunggulan komparatif yang harus dimiliki oleh provinsi di Indonesia untuk dapat menarik lebih banyak aliran masuk FDI. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kojima (1982) dalam Kang (2012).

Produktivitas tenaga kerja

Dalam penelitian ini, variabel produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif terhadap aliran masuk FDI pada derajad α = 1 persen. Dari hasil regresi diperoleh elastisitas FDI terhadap produktivitas tenaga kerja adalah sebesar 0,2037. Hal ini berarti jika produktivitas tenaga kerja meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi variabelvariabel lain adalah konstan (ceteris paribus), maka arus masuk FDI akan meningkat sebesar 0,2037 persen. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sodik dan Nuryadin (2008).

Adanya pengaruh positif produktivitas tenaga kerja terhadap arus masuk FDI menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi mempunyai keunggulan kompetitif yang lebih besar dikarenakan proses produksi yang berjalan secara lebih efisien dan efektif. Sesuai dengan pendapat Hayter (2000) dalam Sodik dan Nuryadin (2008), perusahaan multinasional dalam menentukan lokasi sangat terkait erat dengan manfaat yang dapat diperoleh perusahaan seperti efisiensi biaya produksi dan optimalisasi produktivitas sumber daya yang ada. Dengan demikian, wilayah dimana tingkat produktivitas tenaga kerja adalah lebih tinggi akan mampu menarik lebih banyak FDI masuk.

Tingkat kompetisi

Variabel tingkat kompetisi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Herfindahl Index. Menurut He (2008), herfindahl-hirschman index digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri dalam pasar. Semakin tinggi indeks menunjukkan semakin besar hambatan bagi perusahaan baru untuk memasuki pasar. Perusahaan multinasional umumnya menghindari adanya hambatan masuk yang besar. Dalam penelitian ini, hhi indeks tidak berpengaruh terhadap aliran masuk FDI kedalam industry manufaktur Indonesia.

KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran aglomerasi terhadap penyebaran investasi asing langsung (FDI) perusahaan manufaktur Indonesia. Studi literatur

(23)

tentang motivasi FDI oleh Dunning menyatakan bahwa salah satu motivasi perusahaan multinasional melakukan investasi asing langsung adalah efficiency seeking, yaitu melakukan investasi untuk mendapatkan keuntungan dari skala ekonomis. Studi literature tentang penentuan lokasi industri, salah satu nya yang dikembangkan oleh Weber menyatakan bahwa perusahaan memilih lokasi yang memberikan biaya paling minimal, dimana penjumlahan biaya transportasi dan tenaga kerja adalah paling sedikit. Oleh karena itu, menurut Weber terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi produksi, yaitu biaya transportasi, perbedaan tingkat upah, dan penghematan aglomerasi. Adanya penghematan aglomerasi menurut Weber dapat menarik perusahaan dari lokasi dengan biaya minimal sehingga meningkatkan biaya angkut dan menyebabkan kondisi tidak lagi optimum. Apabila besarnya penghematan aglomerasi lebih besar dibandingkan peningkatan biaya angkut akibat perpindahan tersebut, maka menurut Weber, industri sebaikkan dipindahkan ke lokasi yang baru dimana didalamnya terdapat aglomerasi industri.

Marshall (1920) mengembangkan pemikiran Weber tentang penghematan aglomerasi. Menurut Marshall, penghematan aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of proximity) diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen

secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya, seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi. Marshall menyatakan bahwa terkonsentrasinya perusahaan sejenis secara geografis dapat mendorong terjadinya penghematan aglomerasi melalui penggunaan bersama input bahan baku, pemusatan tenaga kerja terampil, dan persebaran ilmu pengetahuan/ teknologi antar perusahaan. Penghematan aglomerasi meningkatkan keuntungan komparatif dan kompetitif wilayah sehingga memberikan insentif masuknya investasi baru.

Dengan menggunakan data tingkat spesialisasi subsektor industri pada level 2 digit ISIC dan indeks densitas aktivitas manufaktur per km2 untuk setiap provinsi di Indonesia dari tahun 2010 - 2014, penelitian ini berhasil membuktikan adanya pengaruh positif aglomerasi terhadap penyebaran FDI industri manufaktur Indonesia. Semakin terkonsentrasi industri secara spasial dan semakin terspesialisasi suatu industri di suatu provinsi, semakin besar arus FDI yang masuk ke dalam provinsi tersebut. Selain aglomerasi, faktor-faktor lain yang mempengaruhi besarnya arus masuk FDI ke dalam industri manufaktur Indonesia adalah PDRB per kapita, intensitas modal, tingkat upah dan tingkat produktivitas tenaga kerja.

Dengan mempertimbangkan hasil yang diperoleh, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi persebaran geografis dari realisasi FDI, khususnya peran aglomerasi terhadap FDI industri manufaktur Indonesia. Implikasi

(24)

dari hasil penelitian ini adalah bahwa pembentukan pusat-pusat industri yang terspesialisasi berdasar keunggulan komparatif tiap-tiap provinsi dapat dikembangkan sehingga pemerataan penyebaran investasi asing ke semua wilayah Indonesia dapat tercapai.

Kelemahan dalam penelitian ini adalah belum mempertimbangkan efek ketergantungan spasial yang mungkin terjadi di antara provinsi yang saling berdekatan. Investor kemungkinan juga akan mempertimbangkan keunggulan komparatif dari provinsi lain yang berdekatan dengan provinsi yang dipilih dalam menentukan lokasi FDI

DAFTAR PUSTAKA

Belkhodja, O. (2016). FDI Location Decision: Evidence from Firms Investing in China. International

Journal of Business and

Management, 11(6), 47.

Bernhard, B., Geisler, C., & Dohlmann, C. (2017). The location choice of foreign direct investments : Empirical evidence and methodological challenges. Journal of World Business, 52(1), 62–82.

Biro Perencanaan. (2016). Laporan Kinerja

Kementerian Perindustrian Tahun 2015.

Bronzini. (2004). www.econstor.eu. In

Foreign Direct Investment and Agglomeration: Evidence from Italy.

Chunlai, C. (2012). Location determinants and provincial distribution of FDI. In L.

Garnaut, Ross; Song (Ed.), China:

New Engine of World Growth. ANU

Press.

Cookson, G., Piesse, J., & Strange, R. (2014). The FDI location decision : Distance and the effects of spatial dependence. International Business

Review, 23, 797–810.

Crozet, M., Mayer, T., Mucchielli, J. (2004). How do firms agglomerate? A study of FDI in france. Regional

Science & Urban Economics, 34, 27–

54.

Driffield, Nigel; Munday, M. (2000).

Industrial Performance,

Agglomeration, and Foreign Manufacturing Investment in the UK.

Journal of International Business Studies, 31(1), 21–37.

Dunning, J. H. (2000). The eclectic paradigm as an envelope for

economic and business

theories of MNE activity.

International Business Review, 9(2),

163–190.

Dunning, J. H. (2003). The Role of Foreign Direct Investment in Upgrading China's Competitiveness. Journal of

International Business and Economy.

Fitriandi, P., Kakinaka, M., & Kotani, K. (2014). Foreign direct investment and infrastructure development in Indonesia: Evidence from province

level data. Asian

Journal of Empirical Research, 4(1),

74–94.

Götz, M., & Jankowska, B. (2014). How to Investigate Polish Clusters ’

(25)

Attractiveness for Inward FDI ? Addressing Ambiguity Problem.

International Journal of Management and Economics, (43), 74–93.

Guimaraes, P., Woodward, D., & Introduction, I. (2000). Agglomeration and the Location of Foreign Direct Investment in Portugal. Journal of Urban Economics, 47(August 1997), 115–

135.

Hasli, A., Ho, C. S. F., & Ibrahim, N. A. (2015). Determinants of FDI inflow in Asia. Journal of Emerging

Economies and Islamic Research, 3(3), 1–9.

He, C. (2008). Foreign Manufacturing Investment in China : The Role of Industrial Agglomeration and Industrial Linkages. China and World

Economy, 16(1), 82–99.

Head, K., Riesat, J., & Swensonb, D. (1995). Agglomeration benefits and location choice : Evidence from Japanese manufacturing investments in the United States. Journal of Inter,

38, 223–247.

Hilmawan, R. (2013). Lokasi Industri dan

Fenomena Aglomerasi di Indonesia : Perspektif Ekonomi Regional.

Hoaby, S. E. (2006). Can the New Economic Geography explain Inequality Between the Great Plains and Great Lakes ?, (July), 1–35. Huang, H., & Dennis, Y. (2016). Spatial

inequality of foreign direct investment in China : Institutional change, agglomeration economies,

and market access. Applied Geography, 69, 99–111.

Javorcik, B. S. (2004). Does foreign direct investment increase the productivity of domestic firms? in search of spillovers through backward linkages. American Economic Review, 94(3), 605–627.

Kakinaka, M. K. (2014). Foreign direct investment and infrastructure development in Indonesia : Evidence from province data. Asian Journal of

Empirical Research, 4(1)(May), 79–

94.

Kuncoro, Mudrajad; Wahyuni, S. (2009). FDI Impacts On Industrial Agglomeration: The Case of Java, Indonesia. Journal of Asia Business

Studies, 3(2), 65–77.

Kuncoro, M. (2004). Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Indonesia? Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia, 19(4), 1–19.

Landiyanto, E. (2005). Spesialisasi Dan Konsentrasi Spasial Pada Sektor Industri Manufaktur Di Jawa Timur. In ResearchGate.

Lee, I. H. (Ian), Hong, E., & Makino, S. (2016). Location decisions of inward FDI in subnational regions of a host country: Service versus manufacturing industries. Asia Pacific Journal of Management, 33(2), 343–370.

Liu, K., Daly, K., & Varua, M. E. (2012). Regional Determinants of Foreign Direct Investment in Manufacturing

Gambar

Gambar 1. Grafik Perkembangan FDI industri manufaktur Indonesia per Pulau  Tahun 2010 – 2014 (dalam $)
Tabel  4.2  menunjukkan  hasil  statistik  deskriptif  dari  setiap  variabel  yang  digunakan  dalam  penelitian
Tabel 4.3. Hasil Estimasi Data Panel

Referensi

Dokumen terkait

perkembangan pesat, baik di sektor industri maupun jasa, sehingga pada gilirannya persaingan akan muncul yang harus dilihat sebagai hal yang positif, dimana

Apabila dilihat berdasarkan hasil dari analisis dan hasil observasi yang ada di lapangan maka dapat dilihat bahwa dikarenakan lokasi dari klaster industri yang strategis

• Pada subsektor berteknologi sedang, karena masing-masing variabel interaksi secara signifikan menunjukkan hasil yang negatif dan nilai mutlak koefisiennya lebih