• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umur, Ketebalan dan Lingkungan Pengendapan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Umur, Ketebalan dan Lingkungan Pengendapan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

43 3.2.3.3 Umur, Ketebalan dan Lingkungan Pengendapan

Berdasarkan h asil an alisis k eterdapatan f osil f oraminifera p lankton (lihat Lampiran F ), fosil petunjuk yang ditemukan pada lapisan bawah satuan batuan ini adalah Globorotalia kugleri dan Globigerinoides primordius yang m enunjukkan s atuan i ni be rumur M iosen Awal (N4) (klasifikasi B low, 1969 dalam Bolli, dkk. 1985) pada l apisan bawah d ari s atuan ba tuan i ni. Sedangkan, pa da l apisan a tas s atuan ba tuan i ni di temukan Globigerinoides primordius dan Globoquadrina dehiscens yang m enunjukan satuan i ni be rumur Miosen Awal (N4-N5) (klasifikasi B low, 1969 dalam Bolli, dkk. 1985). S ehingga, d isimpulkan s atuan in i me miliki umur (N4-N5) (klasifikasi Blow, 1969 dalam Bolli, dkk. 1985).

Gambar 3.25 Karakteristik satuan batulempung lanauan di lapangan, di beberapa tempat terdapat (a) sisipan batupasir pada batulempung lanauan, secara setempat terdapat (b) laminasi karbon dan

(c) struktur sedimen flaser.

b

OMS 3

a

OMS 7

c

BRT 3

(2)

44 Lingkungan pengendapan pada satuan ini didasarkan pada fosil foraminifera bentos yang ditemukan y aitu Quinqueloculina sp. dan Spiroloculina sp. menunjukkan lingkungan pengendapan satuan batulempung lanauan pada zona bathymetri litoral dengan kedalaman 0-20 m (lihat L ampiran F). Sedangkan, menurut B oggs ( 2006) berdasarkan s truktur s edimen yang ditemukan berupa struktur sedimen yang khas berupa struktur flaser menunjukkan bahwa satuan batulempung lanauan ini diendapkan pada lingkungan sistem tidal flat. Menurut Boggs (2006), tidal f lat b agian atas m emiliki k omposisi ba tu l empung da n batu lanau ha sil pe ngendapan suspensi yang m erupakan l ingkungan p engendapan s upra t idal p ada s istem t idal f lat. Berdasarkan kom posisi satuan i ni berupa dom inasi batulempunglanauan dengan dibeberapa tempat terdapat sisipan batupasir disimpulkan satuan ini diendapkan pada lingkungan supra tidal pada sistem tidal flat.

Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini mencapai ± 870 m. 3.2.3.4 Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Kontak satuan batuan ini dengan satuan batulempung batupasir dan satuan batupasir yang lebih t ua pa da d erah pe nelitian m erupakan kont ak s esar. B erdasarkan k edudukan um um da ri satuan ba tupasir da n k edudukan s atuan b atulempung lanauan yang m emiliki ar ah k emiringan yang sama yaitu berarah relatif timur laut, maka hubungan satuan batuan batupasir dan satuan batuan batulempunglanauan ditafsirkan selaras.

Berdasarkan ci ri-ciri litologi, maka satuan ini disetarakan dengan napal formasi Ombilin (Koesomadinata dan Matasak, 1981).

3.2.4 Satuan Batupasir Batulempung

Satuan batupasir batulempung i ni terdiri dari l itologi pe rselingan ba tupasir da n batulempung (Gambar 3.26).

(3)

45 3.2.4.1 Penyebaran

Satuan in i me nempati 15% dari l uas ke seluruhan daerah p enelitian, dalam peta g eologi (lihat Lampiran A.3) satuan ini diberi warna kuning gelap. Satuan ini berada pada bagian tengah daerah penelitian dan tersingkap pada morfologi punggungan pada ketinggian 200-400 m di atas permukaan l aut. Secara um um, ke dudukan j urus l apisan r elatif be rarah ba rat l aut-tenggara dengan arah kemiringan lapisan ke arah timur laut sebesar 15°-60° dibagian punggungan sebelah barat dari daerah satuan batupasir batulempung dan kedudukan jurus lapisan berarah barat laut-tenggara d engan arah kemiringan l apisan k e ar ah b arat d aya s ebesar 4 5°-60° dibagian punggungan sebelah timur dari daerah satuan batupasir batulempung yang menunjukan adanya lipatan sinklin. Satuan ini tersingkap dengan baik di daerah Bukit Bual dan Taratak Malintang. 3.2.4.2 Ciri Litologi

Satuan ini terdiri dari l itologi pe rselingan ba tupasir da n ba tulempung d engan ba tu pa sir memiliki sifat dominan dibandingkan dengan batulempung. Kondisi singkapan pada umumnya sangat lapuk sampai cukup baik.

Berdasarkan p engamatan l apangan, s ecara m egaskopis batupasir pa da satuan b atupasir batulempung ini berwarna abu k ecoklatan, ukuran but ir pa sir ha lus-kasar, be ntuk but ir membundar-menyudut t anggung, t erpilah bur uk, ke mas t ertutup, ge tas, de ngan m ineral t erdiri

TR 6

Gambar 3.26 Satuan batupasir batulempung terdiri dari litologi perselingan batupasir dan batulempung.

(4)

46 dari f ragmen kua rsa da n f eldspar d an m atriks be rupa l empung k arbonatan dengan s truktur sedimen laminasi s ejajar, lentikuler, g raded be dding dan c ross bedding (Gambar 3.27 ). Sedangkan, batulempung pa da s atuan ba tupasir b atulempung ini berwarna ab u-abu coklat kemerahan, getas dan karbonatan, secara setempat terdapat fosil tumbuhan (Gambar 3.28).

Secara mikroskopis ba tupasir pada s atuan b atupasir b atulempung ini bertekstur k lastik, terpilah buruk, kemas tertutup dengan point contact dan long contact. Butiran 70% terdiri dari fragmen batuan (45%), butiran kuarsa (15%), felspar (5%) dan mineral opak (5%), ukuran butir

Gambar 3.28 Fosil tumbuhan berupa fosil biji pada litologi satuan batupasir batulempung.

Gambar 3.27 (a) Struktur sedimen yang terdapat pada satuan batupasir batulempung berupa lentikuler dan (b) tabular cross bedding

BTB 13

a

TR 1

b

(5)

47 0,02-0,16 mm, bentuk butir menyudut tanggung-membundar tanggung, matriks berupa lempung 5% dan semen oksida besi 25%. (lihat Lampiran B.4).

3.2.3.3 Umur, Ketebalan dan Lingkungan Pengendapan

Berdasarkan h asil an alisis k eterdapatan f osil foraminifera pl ankton (lihat L ampiran F), fosil petunjuk yang ditemukan pada lapisan bawah satuan ini adalah Globigerinoides ruber dan Globigerinodes trilobus yang m enunjukkan s atuan i ni be rumur M iosen A wal (N4-N5) (klasifikasi Blow, 1969 dalam Bolli, dkk., 1985) pada lapisan bawah dari satuan batuan ini.

Lingkungan pengendapan pada satuan ini didasarkan pada fosil foraminifera bentos yang ditemukan y aitu Quinqueloculina sp. dan Ammonia beccarii menunjukkan l ingkungan pengendapan pada zona bathymetri litoral dengan kedalaman 0-20 m (lihat Lampiran F).

Sedangkan, menurut Boggs (2006) berdasarkan struktur sedimen yang ditemukan berupa struktur s edimen yang khas be rupa s truktur l entikuler m enunjukkan b ahwa s atuan batupasir batulempung ini diendapkan pada lingkungan sistem tidal flat. Menurut Boggs (2006), pada tidal flat bagian bawah terakumulasi batupasir yang dipengaruhi oleh tidal channel yang merupakan lingkungan p engendapan s ub t idal pa da s istem t idal f lat. Berdasarkan kom posisi s atuan i ni berupa perselingan batupasir batulempung serta analisa profil pada bagian bawah (TR 7), bagian tengah ( TR 6) da n pa da ba gian a tas ( TR 1) (lihat L ampiran C.3) menunjukkan, satuan i ni didominasi batupasir pa da pe rselingan ba tupasir ba tulempung, disimpulkan s atuan ini diendapkan pada lingkungan sub tidal pada sistem tidal flat.

Berdasarkan hubungan sistem lingkungan pengendapan antara satuan batulempunglanauan yang lebih tua dan satuan batupasir batulempung yang lebih muda, menunjukkan adanya posisi yang berkebalikan pada lingkungan p engendapan sistem tidal flat dan menunjukkan hubungan semakin m endalam t erhadap u mur yang s emakin m uda, diperkirakan ketika t erjadi pr oses pengendapan s atuan ba tupasir b atulempung, daerah p enelitian m engalami p roses t ransgressi (Gambar 3.29).

(6)

48 Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini mencapai ± 814 m. 3.2.4.4 Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Hubungan s tratigrafi dengan satuan batulempunglanauan di b awahnya ad alah selaras, walaupun t idak di temukan kont ak antara s atuan ba tulempunglanauan da n s atuan ba tupasir

Satuan batulempung lanauan

Satuan batupasir batulempung

Gambar 3.29 (a) Diagram blok menurut Walker dan James (1992) yang menunjukkan lingkungan pengendapan sistem tidal flat (b) Suksesi vertikal dari sistem tidal flat yang pada daerah penelitian menunjukkan adanya posisi yang berkebalikan.

(a)

(7)

49 batulempung dilapangan, akan t etapi satuan i ni m enunjukkan kedudukan l apisan yang relatif sama pada peta geologi (lihat Lampiran A.3).

Satuan i ni d isetarakan d engan b atupasir Formasi O mbilin ( Koesomadinata d an Matasak,1981).

3.2.5 Satuan Endapan Aluvial

Satuan endapan a luvial merupakan s atuan t ermuda yang t ersingkap d i d aerah p enelitian dan terdiri dari litologi endapan sungai berupa material lepas (Gambar 3.16).

3.2.5.1 Penyebaran

Satuan ini menempati 4% dari luas keseluruhan daerah penelitian, pada peta geologi (lihat Lampiran A.3) satuan i ni d iberi w arna ab u-abu. S atuan i ni memanjang d ari b agian s elatan sampai bagian timur daerah p enelitian dan t ersingkap pada m orfologi dataran pada k etinggian 162.5-200 m di atas permukaan laut. Satuan ini tersingkap baik di Sungai Ombilin bagian hilir. 3.2.5.2 Ciri Litologi

Satuan ini tersusun oleh endapan sungai yang terdiri dari endapan material lepas berukuran bongkah s ampai l empung yang t erdiri da ri l itologi ba tuan b eku granitik, di oritik, a ndesitik, batupasir dan batubara (Gambar 3.16).

3.2.5.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Satuan endapan aluvial ini berumur Kuarter yang diketahui dari proses pengendapan yang masih berlangsung hingga saat ini. Satuan batuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan sungai.

3.2.5.4 Hubungan Stratigrafi

Satuan ini mengerosi satuan-satuan dibawahnya yang disebabkan oleh proses pengendapan aluvial yang masih terus berlangsung hingga saat ini, sehingga hubungan satuan batuan ini tidak selaras dengan satuan batuan yang lebih tua.

(8)

50 3.3 Struktur Geologi

Struktur g eologi yang t erdapat p ada da erah pe nelitian be rupa s esar na ik yang bi dang sesarnya relatif berarah barat-timur, sesar geser yang bidang sesarnya relatif berarah barat laut-tenggara, sesar geser yang bidang sesarnya relatif timur laut-barat daya, sesar geser yang bidang sesarnya relatif berarah utara-selatan, serta lipatan dengan sumbunya relatif utara-selatan.

Identifikasi unsur struktur di daerah penelitian diawali dengan data-data literatur, analisa pada SRTM berupa pola kelurusan dan peta topografi sebelum menuju daerah p enelitian yang kemudian s etelah be rada pa da da erah pe nelitian di hubungkan de ngan da ta-data be rupa pengamatan lapangan. Bukti-bukti di lapangan yang dapat menunjukkan adanya struktur-struktur tersebut an tara l ain b erupa k ekar geser b erpasangan (shear fracture), z ona ha ncuran, gawir – gawir berupa tebing tinggi yang cukup terjal, serta berupa kedudukan yang tidak beraturan.

Penamaan u nsur s truktur d i d aerah p enelitian d idasarkan atas p ara p eneliti s ebelumnya untuk s esar T anjung Ampalu, s esar R antih d an a ntiklin K otopanjang, s edangkan uns ur-unsur struktur s elain ke tiga na ma tersebut didasarkan atas n ama geografis d imana struktur-struktur tersebut dijumpai.

3.3.1 Sesar Mendatar Tanjung Ampalu

Gejala struktur sesar yang ditemukan di lapangan adanya gawir-gawir, gores-garis, shear fracture, kedudukan yang t idak be raturan dan drag fo ld (Gambar 3 .30). Berdasarkan an alisa kelurusan S RTM (Gambar 3.31) dan pe ta t opografi m enunjukkan gawir-gawir in i me nerus dengan arah relatif utara-selatan dan mengubah arah aliran Sungai Ombilin menjadi rectangular yang secara umum memperlihatkan gejala sesar dengan pergerakan menganan.

(9)

51

Gambar 3.30 Gejala sesar geser Tanjung Ampalu di lapangan: (a) Gawir sesar yang memanjang dari utara ke selatan (foto diambil dari SGL 17 ke arah barat), (b) Gores-garis pada sesar

geser Tanjung Ampalu dengan kedudukan 30o, N160oE dan pitch 25o dan(c) drag fold.

a

b

BRT 5 – BRT 7

c

(10)

52 Berdasarkan an alisis k inematik (lihat la mpiran G) yang di lakukan da ri shear fra cture dengan bidang berupa kelurusan dari SRTM didapat sesar menganan turun dengan bidang sesar N175oE/ 80oNE dengan pitch 20° dengan net-slip 17o, N171oE. Berdasarkan analisa d inamik

arah tegasan maksimum (σ1) yang mempengaruhi sesar Tanjung Ampalu ini memiliki orientasi 18o/N239oE.

3.3.2 Sesar Mendatar Rantih

Gejala struktur sesar yang ditemukan di lapangan adanya gawir-gawir, shear fracture, dan kedudukan yang t idak beraturan. Berdasarkan analisa ke lurusan S RTM da n pe ta t opografi menunjukkan gawir-gawir ini menerus dengan arah relatif barat laut-tenggara (Gambar 3.32).

(11)

53 Berdasarkan an alisis k inematik (lihat la mpiran G) yang di lakukan da ri shear fra cture dengan bidang berupa kelurusan dari SRTM didapat sesar menganan naik dengan bidang sesar N279oE/ 7 7oNE dengan pitch 18° dengan net-slip 18o, N 282oE. Berdasarkan an alisa dinamik arah t egasan m aksimum ( σ1) yang me mpengaruhi s esar R antih in i me miliki o rientasi 15o/N295oE.

Gambar 3.32 (a) Gejala sesar mendatar Rantih berupa gawir yang menerus dengan arah relatif baratlaut-tenggara di lapangan (foto diambil dari OML 12 ke arah barat daya) dan (b) kelurusan pada SRTM

a

(12)

54 3.3.3 Lipatan Sinklin Kotopanjang

Pada d aerah penelitian, l ipatan sinklin ditandai de ngan adanya pe rubahan j urus da n kemiringan yang ditemukan pada perbukitan Bukit Bual, Bukit Gumpung dan Taratakmalintang Selatan (Gambar 3.1 2). Kedudukan l apisan satuan ba tupasir batulempung pada punggungan Bukit B ual s ebelah ba rat adalah N350°E/40°NW (pada t itik A IC11), s edangkan p ada b agian Bukit Bual sebelah timur memiliki kedudukan lapisan N172°E/47°SE (pada titik TR1). Lipatan ini memiliki sumbu dengan arah relatif utara-selatan.

Dari p engolahan d ata p ada b idang p erlapisan d i d aerah p enelitian (lihat la mpiran G), lipatan i ni memiliki s ayap N349oE/ 37oNE dan N163oE/ 49oSW dengan bi dang lipatan N345oE/83o dan sumbu 8o, N347oE serta diklasifikasikan upright sub horizontal fold (klasifikasi Twiss dan Moore, 1992 dalam Sapiie dan Harlosumakso, 2008).

3.3.4 Lipatan Sinklin Kumbara

Pada da erah pe nelitian, l ipatan s inklin di tandai de ngan adanya pe rubahan j urus da n kemiringan yang ditemukan pada daerah Kumbara. Kedudukan lapisan pada bagian barat daerah Kumbara adalah N35°E/20°SE (pada titik JLN 21), sedangkan kedudukan lapisan pada bagian timur daerah Kumbara adalah N185°E/20°SW (pada titik JLN 2). Lipatan ini memiliki sumbu dengan arah relatif utara-selatan.

Dari p engolahan d ata p ada b idang p erlapisan d i d aerah p enelitian (lihat la mpiran G), lipatan ini memiliki s ayap N139oE/ 20oSW dan N25oE/ 21oSE dengan bidang N172oE/88SWo

dan sumbu 10o,N179oE serta diklasifikasikan upright sub horizontal fold (klasifikasi Twiss dan

Moore, 1992 dalam Sapiie dan Harlosumakso, 2008). 3.3.5 Lipatan Antiklin Supadang

Pada da erah pe nelitian, l ipatan antiklin ditandai de ngan adanya p erubahan j urus da n kemiringan yang ditemukan pada daerah Supadang dan terdapatnya dua buah sinklin di bagian tengah da erah pe nelitian s inklin K otopanjang da n s inklin K umbara. Kedudukan lapisan pada bagian barat daerah Supadang adalah N140°E/45°SW (pada titik AIC 12), sedangkan kedudukan lapisan pada bagian timur daerah Kumbara adalah N332°E/55°NE (pada titik SGM 6). Lipatan ini memiliki sumbu dengan arah relatif utara-selatan.

Dari p engolahan d ata p ada b idang p erlapisan d i d aerah p enelitian (lihat la mpiran G), lipatan ini memiliki s ayap N168oE/ 49oSW dan N23oE/ 22oSE dengan bidang N0oE/72Eo dan

(13)

55 sumbu 13o,N177oE serta diklasifikasikan simply inclined gently plunging fold (klasifikasi Twiss

dan Moore, 1992 dalam Sapiie dan Harlosumakso, 2008). 3.3.6 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi

Secara regional, daerah penelitian berada pada sistem transtensional dari sesar Sitangkai dan sesar Silungkang yang membentuk cekungan Ombilin, yang mana adanya fase ekstensional dan kom presional yang ditemukan pa da j arak yang s angat de kat m erupakan f enomena um um untuk cekungan Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip (Situmorang, dkk., 1991) , selain itu daerah penelitian juga dipengaruhi oleh pergerakan sesar besar Sumatra yang berada pada 20 km ke arah barat dari daerah penelitian.

Berdasarkan analisa dari ke seluruhan uns ur struktur di l apangan be rupa da ta a nalisa struktur (Tabel 3.1) dan unsur struktur berdasarkan interpretasi SRTM, maka dapat disimpulkan terdapatnya dua buah fase pembentukan dari struktur-struktur di atas agar sesuai dengan model Simple Shear menurut Harding, dkk. (1973), yaitu tegasan maksimum dengan arah relatif barat-timur yang menghasilkan lipatan dan sesar mendatar dan tegasan maksimum dengan arah relatif timur laut-barat daya yang menghasilkan sesar mendatar.

Menurut Hastuti, dkk. (2001) tegasan maksimum berarah barat- timur terjadi pada kala Miosen Akhir, dan tegasan berarah timurlaut-barat daya terjadi pada kala Plio-Pleistosen.

(14)

56 Tabel 3.1 Hasil analisa struktur daerah penelitian

Referensi

Dokumen terkait

32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten / Kota dan pihak ketiga mengikutsertakan Pemerintah Desa dan

Berdasarkan hasil eksperimen diperoleh bahwa s-box yang dibangkitkan menggunakan metode Nyberg memiliki nilai peluang maksimum difference dengan

3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah;.. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut

Pengembangan komoditasnya Kriteria penentuan wilayah pengembangan Prioritas program pembangunan industri pengolahan hasil pertanian Analisis MCDM Kelompok industri dan jml unit

Berdasarkan informasi, fenomena, dan permasalahan yang terjadi penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, ” Pengaruh Iklan dan Atribut Produk

Jogjakarta sebagai kota tuj uan wisata, akan merangsang tumbuhnya usaha­ usaha industri kerajinan untuk wisatawan (baik itu dari dalam maupun dari Iuar negri) yang

Bandung Media Televisi Indonesia (Bandung TV), seorang koordinator liputan harus menjalin komunikasi yang baik dengan para wartawan divisi pemberitaan (news)..

Meningkat-nya keterse-diaan sarana dan pra-sarana dasar pendukung aksesibilitas kawasan perkotaan Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana dasar pendukung