• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh FAUZAN WURYANTO F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh FAUZAN WURYANTO F"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

SIMULASI TATA GUNA LAHAN UNTUK PENGENDALIAN EROSI DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIBEET HULU PROVINSI JAWA BARAT

DENGAN MENGGUNAKAN METODE AGNPS. (Agricultural Non-Point Source Pollution Model)

Oleh

FAUZAN WURYANTO F14103122

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

SIMULASI TATA GUNA LAHAN UNTUK PENGENDALIAN EROSI DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIBEET HULU PROVINSI JAWA BARAT

DENGAN MENGGUNAKAN METODE AGNPS. (Agricultural Non-Point Source Pollution Model)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

FAUZAN WURYANTO F14103122

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

SIMULASI TATA GUNA LAHAN UNTUK PENGENDALIAN EROSI DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIBEET HULU PROVINSI JAWA BARAT

DENGAN MENGGUNAKAN METODE AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

FAUZAN WURYANTO F14103122

Dilahirkan di Jakarta, tanggal 1 Juli 1985

Tanggal ujian : 15 April 2008 Bogor :

Disetujui,.

Dr. Ir. Nora H.Pandjaitan Prof.Dr.Ir.Asep Sapei,MS Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS Ketua Departemen Teknik Pertanian

(4)

Simulasi Tata Guna Lahan Untuk Pengendalian Erosi Di Sub Daerah Aliran Sungai Cibeet Hulu Provinsi Jawa Barat dengan Menggunakan Metode

AGNPS.(Agricultural Non-Point Source Pollution Model). Nama Mahasiswa : Fauzan Wuryanto

NIM : F14103122 Tanggal Lulus

Pembimbing : 1. Dr. Ir.Nora H.Pandjaitan, DEA 2. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS

Ringkasan

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi yang berupa punggung bukit, yang menampung dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke suatu sungai utama, yang nantinya bermuara di danau atau di laut. Keberadaan suatu DAS tidak terlepas dari beberapa komponen sumberdaya utama lainnya yaitu ; vegetasi, tanah, air, dan manusia. Selain itu parameter lain yang mempengaruhi karakteristik DAS adalah curah hujan dan topografi.

Perubahan tata guna lahan yang cepat tanpa adanya perencanaan pengelolaan DAS yang baik dan optimal akan menimbulkan fenomena hidrologi yang merugikan lingkungan seperti banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, dan penurunan kualitas air. Saat ini telah banyak dikembangkan teknik pemodelan untuk mempermudah pendugaan terhadap besarnya erosi dan sedimentasi.Model pendugaan erosi dan sedimentasi dapat digunakan untuk membantu mengambil keputusan dalam perencanaan DAS.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menduga besarnya erosi dan sedimentasi pada Sub DAS Cibeet Hulu dengan menggunakan model simulasi AGNPS, dan (2) Menentukan tata guna lahan yang terbaik (best management practice) untuk menurunkan laju erosi tahunan dengan mensimulasi faktor vegetasi dan pengolahan lahan. Model AGNPS digunakan sebagai model untuk menduga besarnya erosi dan sedimentasi.

Wilayah yang diteliti seluas 24.576 ha dan terbagi menjadi 1.536 sel. Masing-masing sel memiliki luasan 16 ha. Dengan menggunakan model AGNPS pada kondisi awal Sub DAS Cibeet Hulu diduga laju erosi sebesar 210,96 ton/ha/tahun atau terjadi erosi tahunan sebesar 2883367,5 ton. Berdasarkan laju erosi yang terjadi dapat dikatakan wilayah ini termasuk ke dalam tingkat bahaya erosi berat. Untuk menurunkan nilai erosi yang terjadi maka disimulasikan 3 skenario perubahan tata guna lahan. Skenario terbaik dalam menurunkan erosi adalah mengganti vegetasi pada lahan tegalan yang mempunyai tingkat erosi > 30 ton/ha/tahun dengan vegetasi kacang tanah (C = 0,2) dan pada lahan kebun dengan laju erosi > 30 ton/ha/tahun ditanam kedelai dan ubi kayu (C = 0,2). Selain itu juga dilakukan tindakan konservasi berupa pembuatan teras bangku dengan standar baik (P=0,04) pada lahan-lahan dengan tingkat erosi > 30 ton/ha/tahun. Dengan skenario ini diduga laju erosi menjadi 14,925 ton/ha/tahun, yang berarti termasuk ke dalam tingkat erosi kecil dan laju erosi menurun sebesar 92,76 %.

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 3

2.2. Erosi ... 5

2.3. Pendugaan erosi ... 11

2.4. Model simulasi ... 14

2.5. Model simulasi AGNPS ... 16

2.6. Teknik konservasi tanah dan air ... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu ... 24

3.2. Bahan dan Alat ... 24

3.3. Pelaksanaan ... 24

IV. PEMBAHASAN 4.1. Keadaan umum Sub DAS Cibeet ... 28

4.2. Data Masukan Model AGNPS ... 28

4.3. Skenario Awal ... 35

4.4. Skenario 1 ... 39

4.5. Skenario 2 ... 43

4.6. Skenario 3 ... 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 48

5.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah-tanah di Indonesia` ... 13

Tabel 2. Klasifikasi tingkat bahaya erosi ... 22

Tabel 3. Data-data yang dijadikan input ... 28

Tabel 4. Luas dan kemiringan lereng ... 32

Tabel 5. Jenis tanah dan faktor K yang terdapat pada Sub DAS Cibeet Hulu. ... 33

Tabel 6. Tata guna lahan di Sub DAS Cibeet Hulu ... 33

Tabel 7. Nilai P dan C masing-masing faktor tata guna lahan. ... 35

Tabel 8. Keluaran program AGNPS skenario kondisi awal ... 35

Tabel 9. Klasifikasi tingkat erosi untuk skenario awal. ... 36

Tabel 10. Tata guna lahan yang diubah pada skenario 1 ... 40

Tabel 11. Keluaran program AGNPS dengan skenario 1 ... 40

Tabel 12. Klasifikasi erosi dengan skenario 1. ... 41

Tabel 13. Keluaran program AGNPS dengan skenario 2. ... 43

Tabel 14. Klasifikasi erosi dengan skenario 2. ... 45

Tabel 15. Keluaran program AGNPS dengan skenario 3 ... 45

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hubungan biofisik daerah hulu dan hilir suatu DAS ... 4

Gambar 2. Penomoran sel ... 18

Gambar 3. Angka arah drainase setiap sel ... 18

Gambar 4. Diagram alir pendugaan erosi dengan menggunakan AGNPS ... 27

Gambar 5. Arah drainase sel. ... 30

Gambar 6. Kemiringan lereng di Sub DAS Cibeet Hulu. ... 31

Gambar 7. Tata guna lahan Sub DAS Cibeet Hulu. ... 34

Gambar 8. Klasifikasi erosi tiap sel pada kondisi awal. ... 37

Gambar 9. Penyebaran erosi berdasarkan laju pembentukan tanah maksimal ... 38

Gambar 10. Klasifikasi erosi tiap sel pada skenario 1. ... 42

Gambar 11. Klasifikasi erosi tiap sel pada skenario 2 ... 44

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta letak Sub DAS Cibeet pada DAS Citarum ... 53

Lampiran 2. Nilai erodibilitas tanah (K) untuk 50 jenis tanah di Jawa. ... 54

Lampiran 3. Nilai C dari beberapa jenis pertanaman di Indonesia ... 56

Lampiran 4. Nilai P pada beberapa teknik konservasi tanah ... 58

Lampiran 5. Tampilan masukan data program AGNPS. ... 59

(9)

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Perubahan tata guna lahan dan praktek pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) akan mempengaruhi terjadinya erosi dan sedimentasi yang merupakan masalah utama kerusakan sumber daya lahan. Besarnya aliran permukaan yang terjadi pada musim penghujan dan berkurangnya luas kawasan hutan menyebabkan erosi permukaan menjadi semakin besar sehingga angkutan sedimen aliran permukaan bertambah besar pula. Angkutan sedimen yang terbawa aliran air akan mengendap di aliran sungai bagian hilir.

Erosi merupakan suatu gejala alam yang wajar dan tidak terlalu berbahaya, selama erosi tersebut merupakan erosi alami, yaitu dimana laju erosinya diimbangi dengan laju pembentukan tanah. Akan tetapi masalahnya menjadi lain apabila yang terjadi adalah erosi yang dipercepat, dimana laju erosi lebih cepat daripada laju pembentukan tanah. Penyebab utama erosi ini biasanya adalah tindakan manusia yang kurang memperhatikan pengelolaan sumber daya alam.

Besarnya erosi dan sedimen pada suatu DAS sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan dan keadaan yang terdapat dalam daerah alirannya, seperti salah satunya yang terjadi pada sungai Cibeet yang airnya berasal dari sub DAS Cibeet yang merupakan salah satu dari anak sungai Citarum (DAS Citarum). Perubahan tata guna lahan yang disebabkan pembukaan lahan pertanian baru yang dibuat terutama di daerah hulu karena lahannya subur dan temperatur serta lingkungan sangat mendukung untuk menghasilkan komoditi pertanian yang harganya cukup tinggi sehingga meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Namun demikian, dampak dari kegiatan ini secara makro telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan dan mengganggu sistem ekologi sehingga menimbulkan berbagai bencana, seperti banjir, menurunnya kualitas tanah dan berkurangnya cadangan air tanah. Di lain pihak, aliran air DAS Citarum digunakan sebagai air irigasi bagi pertanian seluas 300.000 ha persawahan, air baku untuk industri di sentra industri Purwakarta, Karawang, Bekasi, dan Jakarta Timur, penyediaan air bagi air minum, PAM DKI Jakarta Raya, PDAM Bekasi, dan PDAM Purwakarta (Tjarli, www.pikiran-rakyat.com).

Untuk itu diperlukan suatu pendekatan model serta simulasi tata guna lahan yang tepat dalam upaya mengurangi banjir, erosi, dan sedimentasi. Analisis limpasan

(10)

permukaan, erosi, dan sedimentasi yang pada penelitian ini menggunakan model terdistribusi dengan program AGNPS. Dipilihnya program AGNPS karena model ini merupakan model terdistribusi sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran yang baik terhadap perubahan parameter-parameter yang disimulasikan seperti faktor vegetasi dan pengelolaan lahan.

I.2. Tujuan

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk :

1. Menduga besarnya erosi dan sedimentasi pada sub DAS Cibeet hulu dengan menggunakan model simulasi AGNPS

2. Menentukan tata guna lahan yang sesuai (best management practice) untuk menurunkan laju erosi tahunan dengan mensimulasi faktor vegetasi dan pengolahan lahan.

(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Webster dalam Rahim (2003) DAS adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi yang berupa punggung bukit yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke suatu sungai utama yang bermuara di danau atau di laut. Sebuah DAS merupakan kumpulan dari banyak Sub DAS yang kecil sehingga sebuah sistem sungai dengan anak-anak sungainya dapat dianggap sebagai sebuah kesatuan yaitu ekosistem DAS.

DAS dapat memberikan respon hidrologis berupa erosi, sedimentasi, aliran permukaan dan pengangkutan nutrien yang berbeda-beda terhadap hujan yang jatuh di atasnya. Proses-proses hidrologi yang terjadi tergantung dari kondisi tanah, air dan tanaman, yang bergabung membentuk parameter-parameter pendukung di dalam DAS. Parameter-parameter tersebut adalah faktor tanaman, faktor pengelolaan tanah, konstanta permukaan tanah, kemiringan lahan, panjang lereng, tekstur tanah, erodibilitas tanah, dan kondisi saluran.

Daerah Aliran Sungai dibagi menjadi daerah hulu, tengah, hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dan merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%). Selain itu bagian hulu DAS bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasinya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil dan merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak, 2004).Hubungan biofisik antara daerah hulu dan hilir suatu DAS disajikan pada Gambar 1. (Brooks et al., 1989 dalam Asdak,2004)

(12)

Gambar 1. Hubungan biofisik daerah hulu dan hilir suatu DAS

Perubahan tata guna lahan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak hanya akan memberi dampak di lokasi di mana kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir, dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya. Sebagai contoh, erosi yang terjadi di daerah hulu akibat dari praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air atau akibat pembuatan jalan yang tidak direncanakan dengan baik, tidak hanya memberi dampak di daerah dimana erosi tersebut berlangsung (seperti penurunan produktivitas lahan), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir. Dampak yang terjadi dapat dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi yang pada gilirannya dapat meningkatkan resiko banjir, maupun dapat menurunkan luas lahan irigasi atau bahkan mengganggu jalannya operasi listrik tenaga air (Asdak,2004).

(13)

2.2 Erosi

2.2.1. Pengertian Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad, 1989). Arsyad menambahkan, ada dua macam erosi yaitu erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi normal disebut juga erosi geologi atau erosi alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah keadaan vegetasi alami. Erosi jenis ini tidak berbahaya karena lajunya seimbang dengan pembentukkan tanah di tempat terjadinya. Erosi dipercepat atau accelerated erosion adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah.

Dua proses penting terjadinya erosi adalah pelepasan dan pengangkutan. Pelepasan terjadi akibat tetesan hujan yang jatuh di atasnya. Tetesan hujan tersebut mengakibatkan pecahnya gumpalan-gumpalan tanah menjadi butir-butiran yang lebih kecil dan akan terlepas dari tanah. Pelepasan agregat tanah dan terlepasnya partikel tanah merupakan tanda awal terjadinya erosi. Selanjutnya, partikel-partikel yang terlepas akan menutup pori-pori tanah yang ada sehingga menurunkan kemampuan tanah menyerap air. Dengan tertutupnya pori-pori tanah, air tidak bisa masuk ke dalam tanah sehingga terjadilah aliran air dan kemudian aliran air akan membawa lapisan tanah atas ke tempat yang lebih rendah, kemudian diendapkan. (Wudianto,2000).

Erosi mempunyai dampak yang sangat luas. Kerusakan dan kerugian tidak saja dialami di daerah di mana erosi terjadi (daerah hulu), tetapi juga oleh daerah yang dilewati aliran endapan (daerah tengah dan di daerah hilir). Selain itu menurut Arsyad (1989) mengatakan, bahwa dampak erosi tanah di lahan pertanian merupakan dampak yang dapat terlihat langsung pada pengelolaan lahan yaitu berupa penurunan produktivitas. Hal ini berdampak pada kehilangan produksi, peningkatan penggunaan pupuk dan kehilangan lapisan olah tanah yang akhirnya mengakibatkan timbulnya tanah kritis.

2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi 2.2.2.1. Faktor iklim

Faktor yang mempengaruhi erosi pada daerah beriklim basah adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi

(14)

hujan terhadap tanah, jumlah, dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi (Arsyad,1989). Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu dan besarnya dapat dinyatakan dalam meter kubik per satuan luas. Distribusi hujan menunjukkan penyebaran waktu terjadi hujan. Intensitas hujan menyatakan besarnya curah hujan yang jatuh dalam suatu waktu

Jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila intensitas hujan tersebut merata, sedikit demi sedikit sepanjang tahun. Sebaliknya curah hujan rata-rata tahunan yang rendah dapat menyebabkan erosi yang berat apabila intensitasnya tinggi meskipun sekali-sekali. Ukuran butiran hujan sangat berperan dalam menentukan erosi karena energi kinetik merupakan penyebab utama dalam menghancurkan agregat-agregat tanah. Besarnya energi kinetik hujan tergantung pada besarnya hujan ditentukan oleh ukuran butir hujan dan angin (Hardjowigeno,2003).

Indeks erosi hujan adalah pengukur kemampuan suatu hujan untuk menimbulkan erosi. Kemampuan hujan untuk menimbulkan atau menyebabkan erosi itu disebut daya erosi hujan atau erosivitas hujan. Nilai El30 yang didapat dari setiap kejadian hujan merupakan pengukur daya erosi hujan untuk masa atau musim yang bersangkutan. Indeks erosi hujan untuk suatu tempat adalah indeks erosi rata-rata hujan tahunan selama beberapa tahun. Indeks erosi hujan dari beberapa tempat yang sama besarnya dapat dihubungkan oleh garis iso-iroden.

2.2.2.2. Faktor tanah

Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan erosi tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air dan (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir huan yang jatuh dan aliran permukaan. (Arsyad,1989)

Arsyad menambahkan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah (a) tekstur (b) struktur, (c) bahan organik, (d) kedalaman, (e) sifat lapisan tanah, dan (f) tingkat kesuburan tanah. Tekstur kasar mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sedangkan tanah yang bertekstur halus mempunyai kapasitas infiltrasi kecil, sehingga dengan curah hujan yang cukup rendah pun akan menimbulkan limpasan permukaan.

(15)

2.2.2.3. Faktor Topografi

Faktor topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah kemiringan dan panjang lereng. Unsur lain yang mungkin berpengaruh adalah keseragaman dan arah lereng (Arsyad, 1989). Semakin besar kemiringan lereng akan semakin besar jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang terjadi, sehingga kekuatan angkut air meningkat. Sedangkan pengaruh panjang lereng akan mengakibatkan akumulasi aliran semakin besar, potensi erosi juga semakin besar.

2.2.2.4. Faktor Vegetasi

Faktor tanaman penutup tanah memiliki sifat melindungi tanah dari kerusakan tanah oleh butir-butir hujan. Menurut Arsyad (1989), pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi menjadi empat bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanamanan; (b) mengurangi kecepatan aliran permukan dan kekuatan perusak air; (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah; dan (d) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang.

Pengaruh vegetasi tersebut berbeda-beda, bergantung pada jenis tanaman, perakaran, tinggi tanaman, dan tingkat pertumbuhan dan musim. Adanya vegetasi penutup tanah yang baik, seperti rumput yang tebal dan hutan yang lebat dapat menghilangkan pengaruh topografi terhadap erosi. Tanaman yang menutup permukaan tanah secara rapat tidak saja memperlambat erosi, tetapi juga menghambat pengangkutan partikel tanah. Menurut Widianto (2000) keadaan perakaran tanaman juga mempunyai pengaruh pada erosi, karena akar menentukan hubungan antara butir tanah dan keadaan pori (lubang udara) di dalam tanah.

2.2.2.5. Peranan Manusia

Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlereng curam merupakan pengaruh yang baik dari manusia karena dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerah-daerah pegunungan merupakan pengaruh manusia yang buruk karena dapat menyebabkan erosi dan banjir.

(16)

2.2.3. Jenis-jenis erosi

Berdasarkan kenampakan lahan akibat erosi, erosi dapat dibedakan atas : erosi percikan (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), erosi selokan (gully erosion), erosi tanah longsor (land-slide), erosi tebing (stream bank erosion)

2.2.3.1. Erosi percikan

Erosi percikan adalah terlepas dan terlemparnya partikel – partikel massa tanah akibat pukulan dan butian air hujan secara langsung, Supirin (2004). Erosi percikan maksimum terjadi segera setelah tanah menjadi basah dan kemudian akan menurun terhadap waktu sejalan dengan semakin meningkatnya ketebalan air diatas permukaan tanah. Menurut Widianto (2000), erosi percikan terjadi secara maksimum kira-kira 2-3 menit setelah hujan turun karena pada saat ini tanah dalam keadaan basah, sehingga mudah dipercikan. Setelah 2-3 menit percikan akan menurun dan akan berhenti apabila tetesan hujan sudah tidak mampu lagi untuk menembus ketebalan lapisan air.

Pada daerah yang permukaannya datar, terjadinya erosi percikan kurang menimbulkan permasalahan, karena tetesan air hujan yang menimbulkan percikan akan terbagi rata ke segala arah. Tapi untuk daerah yang mempunyai lahan miring akan menimbulkan permasalahan yang serius, karena tanah yang terlempar akibat percikan sebagian besar terlempar kearah bawah sesuai dengan kemiringan lahan tersebut. Semakin miring permukaan tanah, semakin banyak butiran yang terlempar ke bawah.

2.2.3.2. Erosi lembar (sheet erosion)

Erosi lembar/permukaan adalah pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah. Terbawanya butir-butir tanah oleh aliran permukaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kecepatan dan turbulensi aliran. Erosi permukaan terjadi jika kekuatan aliran permukaan lebih tinggi dari nilai ketahanan tanah. Erosi ini pada mulanya sulit untuk dilihat karena seakan-akan tidak ada perubahan, hal ini dikarenakan kehilangan lapisan tanah yang seragam, tetapi akan sangat berbahaya karena pada suatu saat lapisan tanah yang paling atas akan habis seluruhnya.

(17)

Menurut Arsyad (1989), Erosi alur terjadi karena air terkonsentrasi dan mengalir pada tempat-tempat tertentu di permukaan tanah sehingga pemindahan tanah banyak terjadi pada tempat tersebut. Arsyad menambahkan alur-alur yang terjadi masih dangkal dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah. Erosi alur biasanya terjadi pada tanah-tanah yang ditanam berbaris menurut lereng atau akibat pengolahan tanah menurut lereng atau bekas tempat menarik balok-balok kayu.

2.2.3.4. Erosi selokan (gully erosion)

Ada beberapa hal yang bisa menimbulkan terbentuknya erosi selokan yaitu : merupakan kelanjutan dari erosi alur, akibat runtuhnya terowongan atau saluran di bawah tanah, akibat terjadinya tanah longsor yang arahnya memanjang. Erosi ini dapat berbentuk V atau U, tergantung dari kepekaan erosi subtratnya. Bentuk V adalah bentuk yang umum terdapat, tetapi pada daerah-daerah yang subtratnya mudah lepas yang umumnya berasal dari batuan sediment maka akan terjadi bentuk U (Arsyad, 1989).

2.2.3.5. Erosi tanah longsor (land-slide)

Erosi tanah longsor merupakan suatu bentuk erosi tanah yang proses pemindahan tanahnya berlangsung pada suatu saat dengan melibatkan volume tanah yang sangat besar (Supirin,2004). Biasanya terjadi pada bukit yang memiliki lereng sangat curam yang dibawah permukaannya terdapat lapisan liat yang tahan atau kedap air. Arsyad (1989) mengatakan bahwa longsoran akan terjadi apabila terdapat tiga hal berikut :

a. Terdapat lereng yang cukup curam sehingga tanah bisa meluncur secara cepat

b. Adanya lapisan di bawah permukaan tanah yang kedap dengan air dan lunak yang akan menjadi bidang luncur.

c. Terdapat cukup kandungan air di dalam tanah sehingga tanah yang berada di lapisan kedap menjadi jenuh.

2.2.3.6. Tebing (stream bank erosion)

Stream bank erosion atau erosi tebing sungai adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing (Supirin 2004). Umumnya erosi ini terjadi pada sungai yang berkelok-kelok

(18)

tergantung dari derasnya arus sungai, sementara itu pada sungai lurus dapat terlihat jelas pada suatu sungai lurus yang makin menyempit, ini dikarenakan pada suatu sungai yang lurus lajunya, arus berada di bagian tengah sedang pada kedua sisinya arus berjalan sangat lambat. (Kataspoetra,dkk. 1991)

2.2.4. Sedimentasi

Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum disebut sedimen. Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa ke luar daerah tampung atau daerah aliran sungai. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Nisbah jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi dari daerah tersebut, disebut nisbah pelepasan sedimen (NPS) atau dalam bahasa inggris disebut sediment delivery ratio (SDR) (Arsyad, 1989).

Nilai NPS mendekati satu artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai terjadi pada daerah aliran sungai kecil dan yang tidak mempunyai daerah-daerah datar atau yang memiliki lereng-lereng curam, banyak butir halus yang terangkut, kerapatan drainase rendah yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menghambat pengendapan sedimen di dalam daerah aliran. Sementara itu akibat dari sedimen adalah :

a. Pendangkalan sungai

b. Tanah yang subur tertutup pasir, kerikil, batu

c. Air minum kotor, perlu biaya untuk menjernihkannya

d. Air keruh menyebabkan fotosintesis biota perairan terganggu

e. Perubahan dalam jumlah bahan yang diangkut menyebabkan keseimbangan sungai terganggu

f. Kadang-kadang sedimen menyebabkan tanah yang tidak subur menjadi subur bila tertutup bahan sedimen yang subur.

2.3 Pendugaan erosi 2.3.1. Menurut USLE

Wischmeier dan Smith (1978) dalam Asdak (2004) mengemukakan rumus erosi (universal soil loss equation) yang berlaku untuk tanah-tanah di Amerika Serikat.

(19)

Walaupun demikian rumus ini banyak pula digunakan di negara lain diantaranya Indonesia. Rumus tersebut adalah sebagai berikut :

A= R x K x L x S x C x P ... (1)

Dimana:

A = banyaknya tanah tererosi per satuan luas per satuan waktu.

R = faktor erovisitas hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30),tahunan dalam KJ.ha-1.

K = indeks erodibilitas tanah, yaitu angka yang menunjukkanmudah tidaknya partikel-partikel tanah terkelupas dari agregat tanah oleh gempuran air hujan atau ait larian, satuan ton.KJ-1.

L = faktor panjang kemiringan lereng yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandinga antara besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng 72.6 ft (petak percobaan)

S = faktor gradient (beda) kemiringan yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk tingkat kemiringan tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk kemiringan lereng 9 %.

C = faktor tanaman penutup lahan dan manajemen tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu lahan dengan penutup tanaman dan manajemen tanaman tertentu terhadap lahan yang identik tanpa tanaman, tidak berdimensi. P = faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan dan

merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi usaha konservasi ideal (misalnya, teknik penanaman sejajar garis kontur, penanaman dalam teras, penanaman dalam larikan) dengan besarnya kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus terhadap garis kontur.

2.3.2 Nilai Erosi yang Masih dapat dibiarkan

Erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan adalah laju erosi yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar tersedianya suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang dinyatakan dengan nilai T.

(20)

Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah-tanah di Indonesia. Sifat Tanah dan Substratum Nilai T

(mm/tahun)

Nilai erosi yang diijinkan(ton/ha)* Tanah sangat dangkal di atas batuan 0,0 0,0 Tanah sangat dangkal di atas bahan telah

melapuk ( tidak terkonsolidasi ) 0,4 4,8

Tanah dangkal diatas bahan telah melapuk 0,8 9,6 Tanah dengan kedalaman sedang di atas

bahan telah melapuk 1,2 14,4

Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang

kedap air di atas substrata telah melapuk 1,4 16,8 Tanah yang dalam denan lapisan bawah

berpermeabilitas lambat, di atas substrata telah melapuk

1,6 19,2 Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya

berpermeabilitas sedang, di atas substrata telah melapuk

2,0 24,0 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah

permeabel, di atas substrata telah melapuk 2,5 30,0 Sumber : Thompson (1957) dalam Arsyad (1989)

- mm x berat volume x 10 = ton/ha/tahun

- Berat volume tanah berkisar antara 0,8 sampai 1,6 gr/cc akan tetapi pada umumnya tanah-tanah berkadar liat tinggi mempunyai berat volume antara 1,0 sampai 1,2 gr/cc

*) Dengan asumsi berat volume =1,2 gr/cc

Adapun faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan nilai T tersebut adalah kedalaman tanah, ciri-ciri fisik dan sifat tanah lainnya yang dapat mempengaruhi perkembangan akar, penyusutan kandungan bahan organik, kehilangan unsur hara, dan masalah-masalah yang ditimbulkan sedimen di lapangan. Di daerah-daerah atau negara-negara yang sistem pertaniannya masih menggunakan teknologi tradisional atau masukan rendah maka nilai T harus ditetapkan rendah. Akan tetapi oleh karena temperatur dan curah hujan rata-rata yang lebih tinggi di daerah tropika basah jika dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang maka kecepatan pembentukan anah diperkirakan dua kali lebih besar dari pada di daerah beriklim sedang. Kecepatan tertinggi pembentukan tanah yang dalam, bertekstur sedang dengan permeabilitas sedang di Amerika Serikat (bagian Utara) diperkirakan 0,8 mm per tahun. Di Indonesia pada daerah-daerah yang masa pembentukan tanah lebih dari 270 hari maka kecepatan pembentukan tanah dapat mencapai lebih dari 2 mm per tahun. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Hardjowigeno (1987) di pulau Rakata (anak Gunung Krakatau) yang menunjukkan bahwa dalam masa 100 tahun (1883-1983) dari vulkanik hasil letusan G. krakatau tahun 1883 (bahan vulkanik vitrik), telah terbentuk tanah setebal 25 cm atau rata-rata 2,5 mm per tahun, yaitu untuk tanah yang dalam dengan lapisan bawah (subsoil) yang permeable dan

(21)

substratum yang tidak terkonsolidasi (telah mengalami pelapukan). Tanah-tanah yang kedalamannya kurang atau sifat-sifat lapisan bawah yang lebih kedap air atau terletak di atas substratum yang belum melapuk, maka nilai T nya harus lebih kecil dari 2,5 mm per tahun (Arsyad, 1989).

2.4 Model Simulasi

Suparanto (1988) menyatakan bahwa model merupakan suatu representasi dari suatu sistem yang sedang dipelajari (bisa berupa objek, kejadian, proses atau suatu sistem)dan dipergunakan sebagai alat untuk meramal atau mengontrol. Fungsi utama dari suatu model adalah kemampuannya untuk menjelaskan (explanatory) dan bukan hanya deskriptif. Model dimaksudkan agar dapat mempermudah penentuan efek perubahan terhadap suatu aspek (komponen) dari model yang merupakan suatu sistem,mempengaruhi aspek lainnya atau bahkan seluruh aspek.(Rahajeng,1997)

Simulasi merupakan teknik penyusunan model dari suatu keadaan nyata (sistem) dan kemudian melakukan percobaan dari model tersebut. Simulasi merupakan alat yang fleksibel dari suatu model atau metode kuantitatif (Muclish,1993).

Pada umumnya simulasi cocok bila diterapkan untuk menganalisa interaksi masalah yang rumit dari sistem sedangkan penggunaan teknik analisa yang ada sangat terbatas. Simulasi juga berguna untuk mengetahui pengaruh atau akibat suatu keputusan dalam jangka waktu tertentu.

Menurut Muslich (1993), tahapan atau prosedur yang perlu dilakukan dalam melakukan simulasi adalah formulasi masalah, menentukan kelayakan simulasi, menyusun model, memvalidasi model, menerapkan model simulasi dan menganalisis hasil simulasi. Formulasi masalah dilakukan untuk menentukan alternative metode pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang rumit seringkali tidak dapat dilakukan dengan menggunakan teknik analisa biasa sehingga alternatif pemecahan dengan simulasi sangat memungkinkan sebagai pemecahan yang lebih baik.

Pemecahan model simulasi dilakukan dengan mengidentifikasi komponen-komponen sistem kedalam formulasi matematik atau program komputer. Pada pembuatan model simulasi penekanannya diarahkan pada karakteristik utama sistem. Pada bagian ini terdapat beberapa komponen atau bagian yang ditinggalkan dan adapula pengidentifikasian variable yang merupakan suatu asumsi atau ketetapan baku dari sistem (Muslich, 1993)

(22)

Validasi model dilakukan untuk meyakinkan bahwa model simulasi mencerminkan sistem yang sebenarnya. Validasi dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasi yang sebenarnya. Akan tetapi jika model simulasi tersebut memberikan prediksiperbandingan hasil tersebut tidak perlu dilakukan.

Setelah validasi model dilakukan, model simulasi harus dicoba dengan memberikan nilai pada parameternya. Jika analisis keluaran dari simulasi tersebut menunjukkan kesesuaian dengan tujuan, maka model simulasi tersebut dapat digunakan. Akan tetapi jika tujuan tersebut tidak terpenuhi maka perlu dilakukan perubahan desain dan formulasi model. Sehingga model simulasi ini merupakan suatu prosedur kerja trial and error (uji coba).

Keuntungan utama penggunaan simulasi adalah kemampuan dalam menyelesaikan masalah atau eksperimen atas suatu sistem atau ekosistem yang mengandung masalah ketidakpastian, tanpa menganggu atau mengadakan perlakuan atas sistem yang sedang diteliti. Keuntungan lainnya adalah waktu menyelesaikan masalah secara singkat dengan hasil yang dapat dipercaya (Muslich,1993)

Selain dari keuntungan diatas, terdapat pula dua keterbatasan model simulasi yaitu :

1. Model simulasi lazimnya adalah besar dan rumit sehingga memerlukan biaya mal pada proses penyusunannya.

2. Model simulasi yang kompleks, menimbulkan kesukaran untuk dimengerti

Penggunaan model simulasi untuk menyelesaikan model matematik diklasifikasikan kedalam 3 bentuk :

1. Model Simulasi Statik dan Dinamik

Model Simulasi statik hádala model yang mewakili sebuah sistem yang tetap tiap waktunya. Sebaliknya, simulasi dinamik mewakili sebuah sistem yang berubah tiap waktunya.

2. Model Simulasi Deterministik dan Stokhastik

Model simulasi deterministik merupakan model simulasi yang tidak mengandung unsur probabilitas (peluang). Pada model deterministik, hasil keluaran ditentukan oleh jumlah (kuantiítas) masukan dan hubungannya dengan model telah spesifik. Sedangkan model stokastik merupakan model simulasi yang harus mempunyai sedikitnya satu komponen input yang bersifat random (acak). Pada model simulasi stokhastik, keluaran yang dihasilkan bersifat random sehingga memerlukan validasi

(23)

lebih lanjut untuk menentukan estimasi hasil yang sesuai dengan karakteristik model yang benar.

3. Model simulasi Diskrit dan Kontinu

2.5 Model Simulasi AGNPS

Agricultural Non-Point Source (AGNPS) adalah model parameter terdistribusi yang dikembangkan oleh ilmuwan dan teknisi dari Agricultural Research Services (ARS) Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), Morris, Minnesota bekerja sama dengan badan pengendali polusi, Minnesota Pollution Control Agency,(MPCA). Model tersebut merupakan sebuah program untuk menganalisis limpasan, erosi, sedimentasi dan perpindahan hara dari pemupukan (Nitrogen dan Pospor) dan COD pada suatu daerah aliran sungai. Model ini dikembangkan dengan membagi daerah aliran sungai menjadi sel-sel bujur sangkar yang seragam sehingga analisa untuk setiap sel dapat dilakukan.

Masukan data energi hujan pada model adalah apabila terdapat data pengukuran dari alat pengukur hujan otomatis maka nilai EI30 dapat dihitung dari persamaan Wischmeier dan Smith (1958) dalam Young et all., (1990) sebagai berikut :

E = 916 + 331 Log I ...(2) EI30 = E x I30 x 10-2 ...(3)

Dimana :

E = energi kinetik hujan (ft.ton.acre-1.in-1) I = intensitas hujan (in.jam-1)

EI30 = erosivitas hujan (m.ton.cm.ha-1.jam-1)

I30 = intensitas hujan maksimum selama 30 menit (in.jam-1)

Apabila hanya terdapat data curah hujan harian maka nilai erosivitas dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan Bols (1978) dalam Agung (2004) untuk hujan harian, yaitu :

EI30= 725 . 0 0727 . 0 ) ( 476 . 2 2 + R R ...(4) Dimana :

EI30 = erosivitas hujan harian (m.ton.cm.ha-1.jam-1) R = curah hujan harian (cm)

Untuk pendugaan erosi tahunan dipergunakan masukan erosivitas bulanan dengan mempergunakan persamaan Bols (1978) dalam Asdak (2004) yaitu :

(24)

EI30 = 6.11(RAIN)1.21(DAYS)-0.47(MAXP)0.53 ...(5) Dimana :

EI30 = erosivitas hujan bulanan (m.ton.cm.ha-1.jam-1) RAIN = curah hujan bulanan (cm)

DAYS = banyaknya hari hujan

MAXP = hujan harian maksimum bulanan (cm)

Nilai energi yang dijadikan masukan data adalah dalam satuan ft.ton.in.acre-1.jam -1

. Parameter-parameter yang menjadi masukan data dari tiap selnya adalah:

a. Nomor sel dan arah drainase setiap sel

Penomoran sel diberikan secara berurutan dari kiri atas kekanan dengan nomor terbesar pada outletnya. Untuk DAS yang berukuran kurang dari 2000 acre ukuran sel dibuat minimal 10 acre dan untuk daerah aliran sungai yang berukuran lebih dari 2000 acre ukuran sel dapat dibuat maksimal 40 acre, semakin kecil ukuran sel maka akan semakin terdistribusi dengn baik parameter-parameter dan semakin tinggi pula tingkat kesulitannya. Jumlah sel maksimum yang diperbolehkan adalah 1900 sel. Dengan demikian luas daerah aliran sungai maksimum yang dianjurkan adalah 76000 acre atau 307.56 km2.

Arah drainase tiap sel ditentukan berdasarkan arah aliran mayoritas (rata-rata) dari sel tersebut menurut topografi. Masukkan data arah drainase dan sel penerima harus cocok, karena bila terjadi kesalahan pemasukkan data antara arah drainase dengan sel penerima, tampilan secara grafisnya tidak akan terbentuk, dan pada monitor akan muncul pesan tampilan yang menunjukkan sel yang tidak cocok antara arah drainase dengan sel penerima sehingga harus dilakukan pengecekan pada sel tersebut.

Pemberian nomor pada sel penerima pada sel outlet yaitu angka yang lebih besar dari seluruh jumlah sel. Nilai masukan berupa angka 1-8 dengan angka 1 mengarah ke utara sesuai dengan arah jarum jam hingga angka 8 ke arah barat daya. Jika pada sel tersebut tidak ada drainase maka angka masukannya adalah 0.

(25)

1 2 14 8 17 5 16 21 3 13 25 18 23 4 9 22 10 15 20 7 6 12 11 19 24 26 1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 2. Penomoran sel Gambar 3. Angka arah drainase setiap sel

b. Kemiringan lereng

Kemiringan dianggap seragam dan masukkan data maksimal panjang lereng adalah 999 feet, sehingga apabila panjang lereng yang mencapai panjang satu sel normal (400 = 1320 ft), maka nilai yang dijadikan masukkan data adalah 999 ft = 302.7 m.. Kemiringan lereng dalam satuan persen dapat diperoleh dari peta topografi dengan asumsi bahwa kemiringan lereng untuk satu sel adalah seragam. Untuk permukaan yang tertutup air atau daerah rawa maka kemiringannya = 0 %. Kemiringan lereng dapat diketahui dengan persamaan berikut :

S = 100% min max min max x L L E E − − ……….…(6) Dimana : S = kemiringan Lereng (%) Emax = titik tertinggi pada sel (m) Emin = titik terendah pada sel (m)

Lmax-Lmin = jarak dari titik tertinggi ke titik terendah (m)

c. Faktor bentuk permukaan tanah

Pada masukan nilai AGNPS faktor bentuk permukaan tanah dibedakan menjadi tiga. Bentuk permukaan tanah yang seragam diberi angka 1, angka 2 untuk bentuk permukaan yang cembung, dan angka 3 untuk bentuk permukaan tanah yang cekung.

(26)

Panjang lereng merupakan konstanta yang dipengaruhi oleh jarak horizontal dan kemiringan lereng. Menurut Tjwan (1968) dalam Supirin (2004) dengan makin curam dan makin panjangnya lereng maka makin besar pula kecepatan aliran air permukaan dan bahaya erosi. Untuk permukaan yang tertutup air atau daerah rawa nilainya 0.

e. Faktor erodibilitas tanah (K)

Nilai erodibilitas tanah menunjukkan kepekaan tanah terhadap erosi atau kepekaan erosi tanah yang berarti mudah atau tidaknya tanah tererosi. Tanah yang mempunyai kepekaan rendah dapat mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terletak pada lereng yang curam dan panjang serta curah hujan yang dengan intensitas yang selalu tinggi. Sebaliknya tanah yang mempunyai kepekaan erosi yang tinggi, dapat mengalami erosi yang ringan atau tidak mengalami erosi jika terdapat pada lereng yang landai, dengan tanaman penutup yang baik dan curah hujan yang jatuh tidak berintensitas tinggi. (Arsyad,1989). Untuk permukaan yang tertutup air atau daerah rawa nilai K = 0. Data nilai erodibilitas tanah (K) untuk 30 jenis tanah di Jawa dapat dilihat pada Lampiran 2.

f. Faktor tanaman (C)

Nilai Faktor tanaman adalah nisbah besarnya erosi yang bertanaman dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanaman dan diolah bersih.

i. Faktor pengelolaan lahan (P)

Nilai faktor pengelolaan lahan (P) adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi (Supirin, 2004). Termasuk dalam tindakan konservasi tanah adalah penanaman dalam strip, pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, dan terras. Nilai yang digunakan merupakan rasio kehilangan tanah sesuai dengan musim, tanam, yang dapat dilihat pada Lampiran 4.

h. Tekstur tanah

Menurut Bennet (1939) dalam Supirin (2004), tekstur tanah kasar yang terpisah satu sama lain atau tidak membentuk agregat menunjukkan permeabilitas

(27)

yang lebih tinggi dari pada tekstur halus. Kondisi ini yang dapat mengurangi terjadinya erosi permukaan. Tetapi jika hal tersebut terjadi pada tanah-tanah yang cepat jenuh oleh air, bahaya erosi akan lebih besar. Nilai tekstur tanah pada masukkan AGNPS dibagi atas air = 0 pasir = 1, debu = 2, liat = 3, dan gambut = 4.

i. Nomor saluran

Nomor saluran menunjukkan tipe saluran yang ada pada suatu sel. Bila suatu sel adalah air maka nomornya = 0. Parameter saluran yang menyertainya adalah kemiringan saluran, kemiringan sisi saluran, dan panjang saluran.

j. Kemiringan saluran, sisi saluran dan panjang saluran.

Sisi dan kemiringan saluran diperoleh dari peta topografi, bila data ini tidak tersedia maka dapat diasumsikan bahwa kemiringan saluran hanya 50 % dari kemiringan lereng, dan kemiringan sisi saluran diasumsikan 10 %. Sedangkan panjang saluran dilakukan pengukuran langsung pada peta.

Parameter – parameter yang telah disebutkan di atas adalah parameter-parameter yang menjadi variabel masukan data AGNPS pada penelitian ini. Jika dibutuhkan parameter-parameter tersebut dapat ditambahkan dengan beberapa parameter tambahan, di antaranya tingkat pemupukan, availability factor (persentase pupuk yang tertinggal pada setengah inci kedalaman dari atas tanah), point source indicator (indikator total feedlods dan non feedlots), erosi gully dalam satuan ton, faktor COD (nilai konsentrasi COD pada sel berdasarkan tata guna lahan pada sel tersebut), dan impoundment factor.

Keluaran model AGNPS dikelompokkan kedalam dua bentuk, yaitu berbentuk grafik dan berbentuk tabel. Tampilan grafik dapat memuat keterangan setiap sel berupa : erosi tanah, konsentrasi nitrogen, pospor dan COD, dan jaringan saluran setiap grid. Tampilan tabel memuat karakteristik umum dari DAS dan nilai-nilai tangkapan yang didapatkan di outlet (watershed summary), analisis sedimen, hidrologi (erosi, sedimentasi dan limpasan untuk setiap sel), analisis hidrogen, pospor dan COD.

Erosi dan sedimentasi adalah respon dari DAS terhadap hujan yang jatuh di atasnya. Erosi yang terjadi terus menerus akan menyebabkan terjadinya kerusakan tanah. Untuk menghindarinya terdapat batasan erosi yang dapat ditoleransi pada suatu bidang tanah.

(28)

Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan berhubungan dengan penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan laju erosi yang akan terjadi telah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat digunakan secara produktif dan lestari. Sedimentasi yang ditoleransi dinyatakan dalam klasifikasi tingkat bahaya erosi berdasarkan jumlah tanah yang tererosi per hektar luasan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi tingkat bahaya erosi

Klasifikasi Besarnya (ton.ha-1.tahun-1) Erosi sangat kecil 0 - 12.50 Erosi kecil 12.50 - 50.00 Erosi sedang 50.00 - 125.50 Erosi berat 125.50 - 330.00 Erosi sangat berat > 330.00 Sumber : Ilyas, 1985 dalam Djokaho, 2000

2.6 Teknik konservasi tanah dan air

Menurut Hardjowigeno (1992), metode-metode konservasi tanah pada umumnya dilakukan dengan maksud melindungi tanah dari curahan langsung air hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, mengurangi run-off dan meningkatkan stabilitas agregat tanah.

Metode-metode yang dapat digunakan dalam pengolahan tanah dan air adalah sebagai berikut :

1 ). Metode vegetatif

Metode vegetatif dilakukan dengan cara : a. Penghijauan/penghutanan kembali

b. Penanaman dengan rumput pakan ternak (Permanent pasture) c. Penutup tanah permanen (cover crop)

d. Penanaman dalam baris (strip cropping) e. Pergiliran tanaman (rotation)

f. Penggunaan sisa-sisa tanaman (residue management)

(29)

2). Metode mekanik

Metode mekanik adalah perlakuan fisik mekanik pada lahan yang bertujuan untuk menghambat aliran permukaan, menampung, dan menyalurkan aliran permukaan sehingga daya rusaknya berkurang, memperbesar infiltrasi, memperbaiki aerasi tanah, dan penyediaan air bagi tanaman.

Yang termasuk dalam metode mekanik ini adalah : a. pengolahan tanah (tillage),

b. pengolahan tanah menurut kontur (contour cultivation), c. Pembuatan guludan,

d. Pembuatan teras,

e. Pembuatan sedimen kontrol (Waduk, tanggul) f. Perbaikan drainase dan irigasi.

3). Metode kimia

Metode ini dilakukan dengan menggunakan bahan kimia untuk memperbaiki struktur tanah, yaitu meningkatkan kemantapan agregat tanah sehingga tidak mudah hancur oleh air hujan. Bahan kimia yang sering digunakan adalah bitumen, emulsi, dan krilium.

(30)

METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Tanah dan Air, Fakultas Teknologi Pertanian – IPB, Bogor. Penelitian ini menggunakan peta Sub DAS Cibeet Hulu yang terletak pada 06016’34” LS – 06042’44” LS dan 106058’30” BT – 107018’30” BT di Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah penerapan AGNPS. (peta lokasi dapat dilihat pada Lampiran 1). Penelitian dilakukan sejak bulan Maret hingga November 2007.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah :

1. Data curah hujan bulanan dengan periode 10 tahun (1997-2006) 2. Peta rupa bumi sub DAS Cibeet berskala 1: 25.000

3. Peta jenis tanah sub DAS Cibeet berskala 1: 250.000 Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Seperangkat komputer lengkap

2. Peralatan gambar

3. Program komputer (Windows 98, XP, AGNPS, Microsoft Excel,Word)

3.3. Pelaksanaan

Pelaksanaan penelitian yang dilakukan dengan menentukan parameter-parameter masukan AGNPS untuk dianalisa. Untuk menentukan parameter-parameter yang akan menjadi masukan pada program AGNPS, dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut :

1. Menyamakan skala pada peta rupa bumi dan peta tinjau tanah pada skala 1 : 25.000 kemudian menentukan posisi sel (grid) pada peta rupa bumi Sub DAS Cibeet Hulu dengan ukuran tiap sel 16 ha (1,6 cm x 1,6 cm.)

2. Grid diberi nomor secara berurutan dimulai dari kiri atas ke kanan bawah dengan nomor terbesar pada outletnya.

3. Mengidentifikasi tiap sel pada peta rupa bumi untuk menentukan parameter-parameter sel penerima (aspek), arah aliran, kemiringan dan panjang lereng, bentuk lereng, nomor saluran., kemiringan saluran, kekasaran manning, faktor tanaman, dan pengelolaan lahan.

4. Mengidentifikasi tiap sel pada peta tanah tinjau untuk menentukan parameter-parameter faktor erodibilitas tanah, dan tekstur tanah.

(31)

5. Menumpangtindihkan peta tanah tinjau dan peta tata guna lahan dengan peta topografi untuk menentukan faktor pengelolaan lahan (SCS curve number).

6. Menyusun nilai parameter dari setiap sel untuk dijadikan parameter masukan dalam program AGNPS.

7. Analisis data curah hujan dengan periode 10 tahun untuk memperoleh curah hujan dan energi intensitas hujan dari data curah hujan bulanan

8. Menentukan alternatif-alternatif tata guna lahan yang akan diambil untuk memperkecil besarnya erosi dan sedimentasi di Sub DAS Cibeet Hulu dengan mengubah parameter masukkan. Parameter masukkan yang disimulasikan adalah faktor vegetasi dan tindakan konservasi lahan. Skenario yang dilakukan pada penelitian ini yaitu :

a. Skenario 1

Skenario 1, dilakukan berdasarkan besarnya laju pembentukkan tanah maksimal Indonesia sebesar 30 ton/ha/tahun. Tindakan yang dilakukan adalah merubah vegetasi pada lahan tegalan yang mempunyai tingkat erosi > 30 ton/ha/tahun dengan vegetasi kacang tanah (C = 0,2) dan pada lahan kebun dengan tingkat erosi > 30 ton/ha/tahun dengan vegetasi kedelai dan ubi kayu (C = 0,2). Selain itu juga dilakukan tindakan konservasi berupa pembuatan teras bangku dengan standar baik (P=0,04) pada lahan-lahan dengan tingkat erosi > 30 ton/ha/tahun.

b. Skenario 2

Melakukan tindakan konservasi pada ladang / tegalan dengan cara pembuatan teras bangku standar sedang (P=0,15). Perubahan yang dilakukan hanya pada sel-sel yang didominasi oleh ladang yang mengalami erosi berat dan sangat berat berdasarkan Tabel 2.

c. Skenario 3

Melakukan perubahan lahan yang tidak produktif seperti semak belukar menjadi hutan tanaman industri seperti jati (sesuai dengan klasifikasi iklim Schmith Ferguson adalah iklim tipe C yaitu dengan daerah agak basah dengan hutan rimba, di antaranya terdapat jenis vegetasi yang daunnya gugur pada musim kemarau (seperti tanaman jati).

(32)
(33)

IV. PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Sub DAS Cibeet

Sub DAS Cibeet terletak di provinsi Jawa Barat dan merupakan bagian Hulu dari DAS Citarum. Menurut letak geografisnya Sub DAS Cibeet terletak pada 06016’34” LS – 06042’44” LS dan 106058’30” BT – 107018’30” BT, dengan panjang sungai 1.044,27 km dan luasan 106.376,64 ha, yang meliputi 127 desa di 20 kecamatan. Namun pada penelitian ini dibatasi pada Sub DAS Cibeet Hulu yang meliputi : 8 desa di Kecamatan Cariu, 1 desa di Kecamatan Sukamakmur, 3 desa di Kecamatan Cikalongkulon, 1 desa di Kecamatan Sukaresmi, dan 2 desa di Kecamatan Pacet, mempunyai luasan 24.576 ha dengan hulu sungai terletak di desa Batulawang Kecamatan Pacet hingga di desa Tanjung Rasa Kecamatan Cariu.

Penggunaan lahan pada Sub DAS Cibeet Hulu terdiri dari hutan, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan, kebun, semak belukar dan pemukiman. Curah hujan rata-rata Sub DAS Cibeet Hulu sebesar 1691.1 mm/tahun dan tipe iklim yang berlaku menurut Schmidt Ferguson adalah tipe C yaitu daerah agak basah dengan vegetasi hutan rimba, seperti jenis vegetasi yang daunnya gugur pada musim kemarau (seperti tanaman jati). Bulan basah jatuh pada bulan Oktober hingga Mei sedangkan bulan kering jatuh pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus.

4.2 Data Masukan Model AGNPS

Data yang dijadikan masukan ke dalam AGNPS dibagi 2 yaitu pada initial data dan input data.

Tabel 3. Data-data yang dijadikan input

No Initial data Input data 1 Nama sungai Arah drainase 2 Luas tiap sel sel penerima drainase 3 banyaknya sel kemiringan lereng 4 Curah hujan rata-rata Panjang lereng 5 energi intensitas hujan Bentuk lereng

6 Faktor erodibilitas tanah

7 Jenis tanah

8 Faktor tanaman

9 Faktor pengelolaan tanah

(34)

4.2.1. Luas dan Jumlah Sel

Luasan tiap sel yang dijadikan masukan adalah 16 ha (40 acre) dan jumlah sel di Sub DAS Cibeet Hulu sebagai input dalam AGNPS sebanyak 1536 sel. Ini sesuai dengan ketentuan AGNPS bahwa untuk DAS dengan luas lebih dari 800 ha (2000 acre) maka jumlah sel maksimal sebanyak 1900 sel.

4.2.2. Curah Hujan Rata-Rata dan Energi Intensitas Hujan.

Perhitungan curah hujan diambil dari data curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir (1997-2006), dan dengan menggunakan rumus Bols pada persamaan 5. Masukan data hujan hanya berasal dari stasiun curah hujan Cikalongkulon, karena curah hujan yang lain tidak aktif atau berada jauh di luar batas Sub DAS Cibeet Hulu, dari hasil perhitungan didapatkan curah hujan rata – rata tahunan di Sub DAS Cibeet Hulu sebesar 1691.1 mm dan El30 sebesar 1158,194 m.ton.cm.ha-1.jam-1atau 609.57 ft.ton.in.arce-1.jam-1 .(1 ft.ton.in.arce.jam-1 = 1,9 m.ton.cm.ha-1.jam-1).

4.2.3. Arah Drainase dan Sel Penerima

Pada penelitian ini sel outlet-nya adalah sel no 29, dimana sel penerimanya adalah 1537 (jumlah sel seluruhnya 1536). Jenis aliran sungai pada Sub DAS Cibeet Hulu yaitu aliran sungai tahunan (parennial), sungai musiman (intermittent) dan non definitive channel.

4.2.4. Bentuk, Kemiringan dan Panjang Lereng.

Bentuk lereng merupakan bentuk lereng rata-rata dari sel tersebut (convex, concave, atau uniform). Kemiringan lereng Sub DAS Cibeet Hulu didominasi oleh kemiringan 15% - 25% sebanyak 8688 ha atau 35,0 %. Secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4 dan untuk distribusi besarnya kemiringan lereng tiap sel dapat dilihat pada Gambar 6.

(35)
(36)

Tabel 4. Luas dan kemiringan lereng.

Kemiringan (%)

Luas

Jumlah sel ha acre (%)

0,00-8,00 123 1968 4920 8,0 8,01-15,00 302 4832 12080 20,0 15,01-25,00 543 8688 21720 35,0 25,01-45,00 382 6112 15280 25,0 > 45,00 186 2976 7440 12,0 Total 1536 24576 61440 100,0

Sumber : Diolah dari peta rupa bumi skala 1 : 25.000

4.2.5. Tekstur dan Faktor Erodibilitas Tanah (K)

Tekstur tanah dan faktor erodibilitas tanah (K) diambil berdasarkan peta tanah tinjau yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah 1966 skala 1 : 250.000 untuk kabupaten Bogor dan Cianjur. Tekstur tanah Sub DAS Cibeet Hulu didominasi oleh tekstur tanah liat (clay) seluas 16.608 ha atau 67,57% dan lempung (loam) seluas 7.968 ha atau 32,42%. Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik hujan

Tanah–tanah dengan tekstur kasar seperti pasir tahan terhadap erosi karena butir-butir yang besar (kasar) tersebut memerlukan lebih banyak tenaga untuk mengangkut. Demikian pula tanah-tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena gumpalan–gumpalannya sukar dihancurkan.

Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Oleh karena itu makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah menjadi makin peka terhadap erosi.

(37)
(38)
(39)

Tabel 5. Jenis tanah dan faktor K yang terdapat pada Sub DAS Cibeet Hulu.

No. Jenis Tanah Nilai K

1 Alluvial abu-abu dan alluvial coklat keabu-abuan 0,193 2 Kompleks grumosol, regosol dan tanah mediteranian 0,201

3 Latosol coklat hitam kemerahan 0,058

4 Gabungan latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 0,067 5 Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat

kemerahan dan litosol

0,064 6 Kompleks laterik merah kekuningan dan tanah podsolik

merah kekuningan

0,175 7 Kompleks latosol merah dan latosol coklat kemerahan 0,061 Sumber : Puslitbang pengairan Bandung dalam Djokaho (2000)

4.2.6. Tata guna Lahan

Besarnya erosi dan sedimentasi berkaitan erat dengan tata guna lahan serta pengelolaannya (faktor P dan C). Data yang menjadi masukan dalam program AGNPS adalah data dari tata guna lahan pada masing-masing sel, yang diperoleh dari peta rupa bumi.

Tata guna lahan di Sub DAS Cibeet Hulu terdiri dari semak belukar, kebun, hutan, tegalan, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan pemukiman. Luas untuk masing-masing tata guna lahan dapat dilihat pada Gambar 7 dan Tabel 6. Nilai faktor P dan faktor C sebagai masukan pada program AGNPS dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6. Tata guna lahan Sub DAS Cibeet Hulu. Jenis penggunaan lahan Luasan Ha acre (%) Hutan 3376 8440 13,74 Kebun 4864 12160 19,79 Tegalan/Ladang 2496 6240 10,16 Sawah Irigasi 2528 6320 10,29

Sawah Tadah Hujan 3184 7960 12,96

Semak Belukar 7152 17880 29,10

Pemukiman 976 2440 3,97

Total 24576 61440 100,00

Sumber : Diolah dari peta rupa bumi 1 : 25.000

(40)

Tabel 7. Nilai P dan C masing-masing faktor tata guna lahan. Tata guna lahan Nilai P Nilai C

Sawah Irigasi 0,013 0,010

Sawah Tadah Hujan 0,209 0,050

Tegalan/ladang 0,400 0,700

Kebun 0,400 0,300

Hutan 1,000 0,001

Semak Belukar 0,020 0,100

Pemukiman 1,000 0,010*

Sumber : Hammer (1980) dalam Hardjowigeno (1992) * Young et, al

4.3 Skenario Awal

Skenario awal adalah skenario kondisi di mana parameter-parameter yang ada tidak diubah. Skenario menggunakan curah hujan bulanan untuk memprediksi besarnya sedimentasi dan erosi. Erosi dan sedimentasi tahunan pada Sub DAS Cibeet Hulu adalah tingkat erosi rata-rata yang terjadi mulai tahun 1997 sampai dengan tahun 2006. Untuk memprediksi erosi tahunan digunakan masukan data hujan bulanan dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2006.

Tabel 8. Keluaran program AGNPS dengan skenario awal Jenis Partikel Erosi (t/ha) SDR (%) Rasio Pengkayaan Konsentrasi rata-rata (ppm) Sedimen

Daratan Saluran (ton/ha) (ton)

Liat 16,05 0 100 2 896,85 16,03 343988,2 Debu 14,68 0 95 2 777,73 13,90 341659,6 Halus 113,22 0 77 1 4873,89 87,10 2141066,0 Kasar 58,78 0,025 0 0 13,74 0,25 5918,1 Pasir 8,25 0 0 0 1,67 0,02 735,6 Total 210,96 0,025 56 1 6563,88 117,30 2883367,5

Masukan curah hujan rata-rata tahunan di Sub DAS Cibeet adalah 1691,1 mm dengan nilai intensitas hujan 30 menit (El30) (dihitung dengan persamaan 5) sebesar 1158,194 m.ton.cm.ha-1.jam-1 atau 609,57 ft.ton.in.arce-1.jam-1 . Berdasarkan data masukan di atas maka hasil pendugaan laju erosi, sedimentasi dan nisbah pelepasan ratio (SDR) pada kondisi awal dapat dilihat pada Tabel 8.

(41)

Pendugaan sedimentasi yang terjadi di Sub DAS Cibeet Hulu pada kondisi awal sebesar 2883367,5 ton dan besarnya erosi per satuan luas di Sub DAS Cibeet Hulu yaitu 210,96 ton/ha/tahun atau 84,38 ton/acre/tahun. Berdasarkan klasifikasi erosi pada Tabel 2, erosi yang terjadi pada Sub DAS Cibeet Hulu termasuk ke dalam kategori erosi berat yaitu berada pada selang erosi 125,5 – 330,00 ton/ha/tahun. Nilai SDR pada daerah tersebut sebesar 56 %, artinya jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi yang ada di daerah tersebut sebesar 56 %.

Tabel 9. Klasifikasi tingkat erosi untuk kondisi awal.

Besar erosi (ton.ha-1tahun-1)

Jumlah sel Luasan ha (%) Sangat kecil (0,00 -12,50) 818 13088 53,26 Kecil (12,50- 50,00) 267 4272 17,38 Sedang (50,00 -125,50) 61 976 3,97 Berat (125,50 -330,00) 119 1904 7,75 Sangat Berat (>330,00) 271 4336 17,64 Total 1536 24576 100,00

Pada Tabel 9 terlihat bahwa sel-sel Sub DAS Cibeet Hulu kategori erosi sangat kecil sebanyak 818 sel atau seluas 13088 ha. Namun berdasarkan klasifikasi tingkat bahaya erosi Sub DAS Cibeet termasuk ke dalam tingkat erosi sangat berat. Hal ini dikarenakan nilai erosi pada sel-sel berat dan sangat berat tinggi, sehingga tetap menghasilkan nilai rata-rata erosi yang berat. Erosi kecil dan sangat kecil umumnya terjadi pada lahan-lahan yang memiliki tingkat kemiringan yang relatif rendah seperti daerah pemukiman dan persawahan, dan di daerah yang berupa semak belukar ataupun hutan. Distribusi penyebaran besarnya erosi berdasarkan klasifikasi erosi dapat dilihat pada Gambar 8. Penyebaran besarnya erosi maksimal yang masih diijinkan berdasarkan laju pembentukan tanah dapat dilihat pada Gambar 9.

Erosi berat dan sangat berat terutama terjadi di daerah yang mempunyai kemiringan lereng yang tinggi dengan kondisi tutupan lahan yang kurang baik, seperti kebun dan ladang. Namun demikian, walaupun pada bagian timur Sub DAS Cibeet Hulu memiliki kemiringan lereng yang curam namun mempunyai tingkat erosi yang kecil. Hal ini dikarenakan tutupan lahannya didominasi oleh hutan, sehingga meskipun kecepatan

(42)
(43)
(44)

aliran besar karena tingginya kemiringan lereng, air hujan yang jatuh akan terlebih dahulu terintersepsi oleh vegetasi hutan sehingga daya hancurnya terhadap permukaan tanah akan berkurang. Selain itu, lapisan permukaan tanah hutan umumnya mempunyai

pori-pori tanah yang besar (karena aktifitas mikroorganisme dan akar vegetasi hutan) akan memperbesar jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah (infiltasi) sehingga akan

memperkecil erosi.

Erosi kecil banyak terjadi di daerah persawahan dan pemukiman penduduk. Hal ini dikarenakan pada daerah tersebut kemiringan lahan yang relatif kecil mengakibatkan kecepatan aliran permukaan kecil sehingga partikel tanah yang terbawa akan berjalan lambat seiring dengan menyusutnya air. Arah aliran (drainase) dan bentuk lahan secara umum (cekung, cembung, atau rata) pada tiap sel akan berpengaruh terhadap laju sedimentasi hasil erosi dari dan menuju masing-masing sel. Pada lahan-lahan cekung sedimen yang terjadi relatif lebih besar karena penumpukan yang terjadi lebih banyak. Sebaliknya untuk lahan-lahan dengan bentuk datar atau cembung biasanya sedimentasinya kecil karena aliran air permukaan yang melewati sel tersebut akan mudah mengangkut tumpukan partikel-partikel yang mengendap.

4.4 Skenario 1

Diketahui besarnya erosi yang terjadi pada kondisi awal sebesar 210,96 ton/ha/tahun, Terlalu besar dibandingkan dengan nilai T maksimal untuk tanah di Indonesia (pada Tabel 1) yaitu sebesar 30 ton/ha/tahun, artinya tanaman dan pola tanam serta tindakan konservasi pada tanah tersebut belum cukup untuk mencegah atau menekan erosi sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Untuk menjaga agar kerusakan tanah tidak terjadi dan tanah dapat dipergunakan secara lestari, maka nilai erosi harus ditekan menjadi sama atau lebih kecil dari 30 ton/ha/tahun dengan mencari dan menerapkan tanaman/pola tanam dan tindakan konservasi tanah (P).

Pada skenario ini dilakukan perhatian yang besar terhadap lahan-lahan yang bererosi > 30 ton/ha/tahun (batas maksimal pembentukan tanah di Indonesaia). Tujuannya adalah untuk menekan laju erosi menjadi sama atau lebih kecil dari pembentukkan tanah. Tindakan yang dilakukan adalah merubah faktor vegetasi pada lahan tegalan yang mempunyai tingkat erosi > 30 ton/ha/tahun dengan vegetasi kacang tanah (C = 0,2) dan pada lahan kebun dengan tingkat erosi > 30 ton/ha/tahun dengan vegetasi kedelai dan ubi kayu (C = 0,2). Selain itu juga juga dilakukan tindakan konservasi berupa pembuatan teras bangku dengan standar baik (P=0,04) pada lahan-lahan dengan tingkat erosi > 30

(45)

ton/ha.tahun. Perubahan tindakan konservasi dilakukan pada lahan-lahan ladang, kebun, dan sawah tadah hujan. Perubahan tidak dilakukan pada lahan semak belukar karena tidak mempunyai nilai ekonomi, dan pemukiman. Sementara sawah irigasi dan hutan tidak dilakukan perubahan karena memiliki tingkat bahaya erosi < 30 ton/ha/tahun. Perubahan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Tata guna lahan yang diubah pada skenario 1.

No Tata guna lahan Luas (ha)

1 Sawah Tadah Hujan 528

2 Tegalan/ladang 2496

3 Kebun 4656

Berdasarkan data masukkan curah hujan rata-rata tahunan dan EI30 yang sama, maka nilai erosi, sedimentasi dan nisbah pelepasan ratio (SDR) pada skenario 1 dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Keluaran program AGNPS dengan skenario 1. Jenis Partikel Erosi (t/ha) SDR (%) Rasio Pengkayaan Konsentrasi rata-rata (ppm) Sedimen

Daratan Saluran (ton/ha) (ton)

Liat 1,150 0 100 2 65,31 0,47 28690,6 Debu 1,025 0 95 2 59,95 0,39 24141,5 Halus 8,050 0,025 78 1 349,34 2,50 153464,1 Kasar 4,125 0,025 2 0 4,46 0,03 1959,4 Pasir 0,575 0 3 0 1,13 0,01 495,4 Total 14,925 0,05 57 1 475,19 3,40 208751,0

Dari hasil keluaran skenario 1 menggunakan AGNPS dapat diketahui bahwa nilai erosi tahunan sebesar 14,925 ton/ha/tahun dan nilai sedimentasi sebesar 208751 ton/ha. Berdasarkan nilai tersebut dapat diindikasikan pada Tabel 2 bahwa kategori Sub DAS Cibeet Hulu termasuk ke dalam kategori erosi kecil yaitu berada pada selang 12,50-50,00 ton/ha/tahun. Penurunan tingkat bahaya erosi yang terjadi bila dibandingkan dengan kondisi awal sebesar 196,035 ton/ha/tahun atau menurunkan erosi sebesar 92,9 % dan menurunkan sedimentasi tahunan sebesar 2674616,5 ton/tahun atau sebesar 92,76 %.

(46)
(47)
(48)

Tabel 12. Klasifikasi erosi dengan skenario 1

Besar erosi (ton.ha-1tahun-1) Jumlah sel

Luasan ha (%) Sangat kecil (0,00 -12,50) 972 15552 63,28 Kecil (12,50- 50,00) 486 7776 31,64 Sedang (50,00 -125,50) 66 1056 4,29 Berat (125,50 -330,00) 11 176 0,73 Sangat Berat (>330,00) 1 16 0,06 Total 1536 24576 100,00

Tabel 12 menunjukan bahwa presentase sel-sel yang termasuk ke dalam erosi sangat kecil di dalam Sub DAS Cibeet Hulu sebesar 63,28%. Sementara itu terjadi penurunan pada jumlah sel-sel yang mempunyai tingkat erosi berat dan sangat berat menjadi 0,79 %. Sel yang masih memiliki tingkat erosi yang besar merupakan sel dengan daerah/lahan yang memiliki tingkat kemiringan yang curam, sehingga tidak cocok untuk dijadikan lahan kebun ataupun ladang.

Namun skenario ini sulit untuk dilakukan karena berhadapan dengan lahan petani dan pola tanamnya. Salah satunya adalah untuk melaksanakan skenario ini pola tanam petani pada lahan yang tererosi > 30 ton/ha/tahun dibuat sama yaitu pada kebun menjadi kedelai dan ubi kayu dan ladang menjadi kacang tanah. Hal ini tentunya berdampak pada kebiasaan dan pendapatan petani itu sendiri. Secara spasial hasil simulasi skenario 1 ditampilkan pada Gambar 10.

4.4 Skenario 2

Pada skenario ini dilakukan pengelolaan hanya pada ladang dengan cara pembuatan teras bangku standar sedang (P=0,15). Hal ini dikarenakan lahan ladang memiliki erosi yang tinggi terlihat seluruh lahan ladang memiliki tingkat erosi diatas batas maksimal pembentukan tanah di Indonesaia yaitu sebesar > 30 ton/ha/tahun (lihat pada Tabel 10), dan digunakan konservasi teras bangku sedang, karena diasumsikan pembuatan teras hanya berkualitas biasa saja. Perubahan tindakan dilakukan hanya difokuskan pada sel-sel yang mempunyai tingkat erosi yang berat dan sangat berat (sebanyak 149 sel atau seluas 2384 ha).

(49)

Berdasarkan data masukkan curah hujan rata-rata tahunan di Sub DAS Cibeet Hulu dan EI30 yang sama, maka nilai erosi, sedimentasi dan nisbah pelepasan ratio (SDR) pada skenario 2 dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Keluaran program AGNPS dengan skenario 2. Jenis Partikel Erosi (t/ha) SDR (%) Rasio Pengkayaan Konsentrasi rata-rata (ppm) Sedimen

Daratan Saluran (ton/ha) (ton)

Liat 8,83 0,000 100 2 492,59 8,800 216396,4 Debu 7,93 0,000 95 2 420,74 7,525 184832,6 Halus 61,55 0,000 77 1 2681,36 47,925 1177926 Kasar 31,78 0,025 0 0 9,12 0,175 4007,2 Pasir 4,40 0,000 0 0 1,36 0,025 596,1 Total 114,49 0,025 56 1 3605,17 64,45 1583758,3

Dari hasil keluaran skenario 2 menggunakan AGNPS dapat diduga bahwa nilai sedimentasi tahunan sebesar 1583758,3 ton/tahun erosi sebesar 114,49 ton/ha/tahun (45,76 ton/acre/tahun). Berdasarkan nilai tersebut dapat diindikasikan bahwa Sub DAS Cibeet Hulu termasuk ke dalam kategori erosi sedang yaitu berada pada selang 50,00-125,00 ton/ha/tahun. Penurunan sedimentasi yang terjadi bila dibandingkan dengan kondisi awal sebesar 129960,2 ton/tahun atau menurunkan erosi tahunan sebesar 45,07 %.

Tabel 14. Klasifikasi erosi dengan skenario 2

Besar erosi (ton.ha-1tahun-1) Jumlah sel

Luasan ha (%) Sangat kecil (0,00 -12,50) 818 13088 53,26 Kecil (12,50- 50,00) 306 4896 19,92 Sedang (50,00 -125,50) 128 2048 8,33 Berat (125,50 -330,00) 137 2192 8,92 Sangat Berat (>330,00) 147 2352 9,57 Total 1536 24576 100,00

Tabel 14 menunjukkan bahwa presentase sel-sel yang termasuk ke dalam erosi sangat kecil di Sub DAS Cibeet Hulu sebesar 53,26%. Sementara itu terjadi penurunan pada jumlah sel-sel yang diduga mengalami erosi berat dan sangat berat menjadi 18,49 %. Sel yang termasuk ke dalam erosi berat dan sangat berat umumnya adalah sel-sel yang memiliki tingkat kemiringan dan panjang lereng yang besar ataupun sel-sel yang memiliki

(50)
(51)

Gambar

Gambar 1. Hubungan biofisik daerah hulu dan hilir suatu DAS
Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah-tanah di Indonesia.
Tabel 2. Klasifikasi tingkat bahaya erosi
Gambar 4. Diagram alir pendugaan erosi dengan menggunakan AGNPS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saran bagi lembaga dan mentor yang ada di Rumah Pemulihan Efata adalah harus ada pelatihan khusus dalam pemecahan masalah yang dihadapi klien skizofrenia, perlu dilatih

Baik pendapatan dan biaya yang terjadi telah dilaporkan dalam laporan laba rugi, namun besarnya pendapatan tersebut belum tentu sama dengan uang yang diterima karena

Dan marilah kita panggil seorang shahabat mulia Abu Sa'id al-Khudri radhiallahu anhu untuk menceritakan mimpi yang dilihat oleh 'Abbad tersebut begitu pun Ta'birnya, serta

penelitian ini yaitu mengenai Program Bus Sekolah, Dinas Perhubungan Surabaya memiliki tugas untuk menyampaikan dan mengkomunikasikan program Bus Sekolah agar dapat

Dari Tabel 3 dapat dilihat kualitas media pembelajaran herbarium pada materi organ tumbuhan yang telah dikembangkan menunjukkan bahwa untuk indikator penilaian

Pegadaian Persero Cabang Wonokromo Surabaya ” ini merupakan hasil dari penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan terkait apakah pengaruh brand equity

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat hubungan atau pengaruh yang kuat antara variabel kualitas produk (X1) dan daya tarik

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh perilaku konsumen dari faktor psikologis yang terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan, dan sikap secara parsial