• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian. ciri yang mengarah pada diri sendiri. Menurut Freud (Alwisol, 2005;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian. ciri yang mengarah pada diri sendiri. Menurut Freud (Alwisol, 2005;"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

9

1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian

Kecemasan didefinisikan oleh Kartono (2005) sebagai suatu kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas dan mempunyai ciri yang mengarah pada diri sendiri. Menurut Freud (Alwisol, 2005; Maramis, 2016) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberikan sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan jika tidak segera melakukan tindakan maka ego bahaya tersebut akan meningkat sampai ego bisa dikalahkan.

Freud (Nevid, 2005) kecemasan dibedakan menjadi tiga yaitu kecemasan realistik, kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Kecemasan realistik terjadi apabila individu merasakan adanya bahaya yang mengancam dari luar, misalnya seorang anak yang takut akan kegelapan atau seseorang yang takut akan serangga. Kecemasan neurotik yaitu kecemasan yang menampakkan wujudnya sebagai penyakit, objeknya tidak jelas dan berupa benda-benda atau hal-hal tertentu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti, misalnya seseorang yang beranggapan akan ada sesuatu yang hebat atau yang menakutkan akan terjadi dan ketakutan yang irrasional (phobia). Kecemasan moral muncul

(2)

apabila individu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal nuraninya, misalnya seseorang yang merasa kecantikannya ditandingi oleh orang lain sehingga timbul sikap dengki dan kebencian.

Tampler (Henderson, 2002) menyatakan bahwa kecemasan terjadi ketika seseorang memikirkan kematian. Menurut Belsky (Henderson, 2002) kecemasan menghadapi kematian didefinisikan sebagai pikiran, ketakutan, dan emosi tentang kejadian akhir dari hidup yang dialami individu. Lebih lanjut dijelaskan oleh Maskawaih (Zubair, 2008; Wijayanti dkk, 2012) bahwa kecemasan menghadapi kematian melekat pada orang yang tidak mengetahui apa hakikat mati atau orang yang menyangka bahwa setelah jasmaninya rusak maka dirinya juga akan hilang atau orang yang mengira bahwa alam ini akan terus lestari sedangkan dirinya musnah.

Kecemasan menghadapi kematian merupakan hal yang wajar dimana yang hidup akan mati (Zubair, 2008; Wijayanti dkk, 2012). Perkembangan pada usia lanjut berada dalam fase masa dewasa akhir berusia antara 60 tahun keatas, yang mengalami diferensiasi sebagai proses perubahan yang dinamis pada masa dewasa berjalan bersama dengan keadaan menjadi tua (Monks, 2014). Selain itu (Maramis, 2016) mendefinisikan menua sebagai berkurangnya kemampuan organisme untuk mempertahankan diri atau suatu proses kemunduran yang terjadi dalam tahap-tahap akhir dari hidup yang akhirnya mengakibatkan kematian.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi kematian yaitu sebagai pikiran, ketakutan, dan emosi tentang

(3)

kejadian akhir dari hidup yang dialami individu, individu dalam hal ini adalah lansia. Selain itu kecemasan menghadapi kematian termasuk dalam jenis kecemasan neurotik yaitu kecemasan yang menampakkan wujudnya sebagai penyakit, objeknya tidak jelas dan berupa benda-benda atau hal-hal tertentu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti.

2. Aspek - Aspek Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia

Menurut Nevid (2005) ciri kecemasan diklarifikasi menjadi tiga yaitu ciri fisik, ciri behavioral dan ciri kognitif.

a. Ciri fisik merupakan ciri-ciri fisik yang menyertai kecemasan, meliputi: jantung berdebar, keringat dingin, kepala pusing, ujung-ujung jari terasa dingin, sulit tidur, dada sesak, nafsu makan menurun atau hilang, gangguan pencernaan, merasa lemas dan badan terasa kaku.

b. Ciri perilaku (behavioral) dari kecemasan seseorang meliputi: bermalas-malasan, menghindar dan perilaku dependen.

c. Ciri kognitif seseorang yang mengalami kecemasan meliputi: khawatir tentang sesuatu (sepele), perasaan takut dengan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang, khawatir akan ditinggal sendiri, sulit berkonsentrasi dan ketidakmampuan menghadapi masalah.

Menurut Gail (Anissa & Ifdil, 2016) aspek-aspek kecemasan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu aspek perilaku, aspek kognitif dan aspek afektif.

a. Aspek perilaku: gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri, melarikan diri dari masalah,

(4)

menghindar dan sangat waspada.

b. Aspek kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, hambatan berfikir, bingung, kehilangan objektifitas, takut kehilangan kendali, takut cedera atau kematian dan mimpi buruk.

c. Aspek afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah dan timbul perasaan malu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek kecemasan ada beberapa ciri atau aspek, yaitu ciri behavioral, ciri kognitif, aspek fisik dan aspek afektif. Aspek atau ciri-ciri kecemasan menurut Nevid (2005) ini yang digunakan untuk menjelaskan kecemasan menghadapi kematian pada lansia, karena aspek-aspek tersebut lebih rinci untuk mengukur perilaku kecemasan khususnya kecemasan menghadapi kematian. Selain itu, pada penelitian sebelumnya banyak yang menggunakan aspek-aspek ini untuk menjelaskan kecemasan menghadapi kematian, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Maramis (2016).

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Kematian

Henderson (2002) mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan terhadap kematian seseorang, yaitu :

a. Faktor Usia

Faktor usia diduga mempengaruhi tingkat kecemasan terhadap kematian seseorang. Menurut Henderson, saat seseorang menjadi lebih tua dan lebih

(5)

dekat dengan kematian maka akan memiliki tingkat kecemasan terhadap kematian yang lebih tinggi.

b. Integritas Ego

Integritas ego adalah perasaan utuh pada diri individu ketika individu tersebut mampu menemukan arti atau tujuan hidupnya. Goebel dan Boeck (Henderson, 2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa integritas ego merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dampak lingkungan dimana individu tinggal dengan kecemasan menghadapi kematian. Orang yang tinggal di panti mempunyai tingkat kecemasan menghadapi kematian yang lebih tinggi dari pada orang dengan tingkat integritas ego yang rendah yang tinggal dengan keluarga.

c. Kontrol Diri

Kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap permasalahan yang berasal dari lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Lebih lanjut dijelaskan orang yang mempunyai kontrol diri akan mampu mengatasi masalah yang berasal dari luar atau eksternal. Henderson menjelaskan orang yang mempunyai kontrol diri rendah cenderung memiliki tingkat stress yang tinggi, khususnya berkaitan dengan persoalan yang tidak terkontrol seperti kematian, sehingga tingkat kecemasan terhadap kematiannya cenderung tinggi.

d. Religiusitas

Faktor religiusitas mampu mempengaruhi tingkat kecemasan terhadap kematian. Henderson mengartikan religiusitas sebagai konsistensi seseorang

(6)

dalam menjalankan agamanya. Menurut Kartono (2005) religiusitas memberikan kesadaran pada manusia akan hakikat hidup yang sesungguhnya, disamping merangsang manusia untuk lebih tahan terhadap segala duka dan nestapa, kepedihan serta rutinitas hidup sehari-hari dan tidak lekang dari krisis emosional dan depresi. Semua penderitaan mengandung nilai dan arti tersendiri yang menjadi elemen-elemen konstruktif bagi pembentuk kepribadian manusia. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Henderson (2002) menunjukkan bahwa komunitas yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi mempunyai kecemasan terhadap kematian yang lebih rendah. e. Personal Sense of Fulfillment

Personal sense of fulfillment diartikan sebagai kontribusi apa saja yang telah diberikan seseorang dalam mengisi kehidupannya. Kontribusi tersebut terkait dengan seberapa besar kesempatan yang dimiliki seseorang untuk hidup secara penuh. Kehidupan yang demikian berkaitan dengan waktu yang dimiliki seseorang dalam hidupnya, sedangkan kesempatan untuk hidup sepenuhnya berkaitan dengan pencapaian-pencapaian tujuan dalam hidup.

Menurut Nevid dkk (2011) kecemasan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu :

a. Faktor sosial lingkungan, meliputi pemaparan peristiwa yang mengancam dan traumatis yang mengamati respon takut kepada orang lain.

b. Faktor biologis, meliputi disposisi genetis ireguaritas dalam fungsi neurotransmitter dan abnormalitas dalam jalur otak yang memberi sinyal bahaya atau yang menghambat tingkah laku reflektif.

(7)

c. Faktor behavioral, meliputi pemasangan stimuli aversif dan stimuli sebelumnya netral. Kelegaan dari kecemasan ini karena melakukan kompulsif atau menghindar terhadap objek atau situasi yang ditakuti. d. Faktor kognitif dan emosional, meliputi konflik psikologis yang tidak

terselesaikan. Faktor kognitif ini seperti ketakutan yang berlebihan, keyakinan yang irrasional dan sensitif berlebihan terhadap suatu ancaman. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan terhadap kematian adalah faktor usia, integritas ego, kontrol diri, religiusitas, personal sense of fulfillment, faktor sosial lingkungan, faktor biologis, faktor behavioral dan faktor kognitif emosional. Dalam penelitian ini faktor religiusitas digunakan sebagai variabel bebas karena berpengaruh terhadap tingkat kecemasan menghadapi kematian, hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Hawari (2006) yang menunjukkan bahwa lansia yang memiliki tingkat religiusitas tinggi akan lebih tabah dan tenang menghadapi saat-saat terakhir atau kematian daripada yang kurang religius.

B . Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas

Menurut Glock & Stark (Ancok & Suroso, 2011) religiusitas didefinisikan sebagai bentuk komitmen yang berhubungan dengan keyakinan dan agama yang dapat dilihat melalui aktivitas sehari-hari atau perilaku individu yang bersangkutan pada agama atau keyakinan yang dianutnya. Selain itu religiusitas merupakan internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang

(8)

dan internalisasi disini berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama baik didalam hati ataupun dalam ucapan, kepercayaan ini kemudian diaktualisasikan dalam perubahan tingkah laku sehari-hari (Ancok & Suroso, 2011).

Hardjana (2005) membedakan antara istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama merujuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban, sedangkan religiusitas diartikan sebagai perasaan dan kesadaran akan hubungan atau keterikatan dengan Allah. Religiusitas merupakan pengalaman spiritual manusia dalam hubungan dengan Tuhan mengacu pada pemahaman akan pengalaman manusia dalam mencari kebenaran spiritual dan merupakan suatu tingkat keberagaman (Ancok dan Suroso, 2011). Lebih lanjut dijelaskan orang yang religius adalah orang yang mengkhususkan dan mempersembahkan diri dan hidup seutuhnya demi kepentingan Tuhan. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan spiritual dan bukan hanya berkaitan dengan hal yang nampak dan dapat dilihat mata, namun juga aktivitas yang tidak nampak dan terjadi dalam hati seseorang. Religiusitas merupakan suatu nilai yang akan mempengaruhi cara berpikir, bersikap, bereaksi dan berperilaku. Nilai tersebut mempunyai peranan penting dalam menentukan sikap dan mengarahkan perilaku dalam setiap individu yang dikenal dengan religiusitas yang merupakan wujud nyata dari kualitas keagamaan individu (Husein, 2000).

(9)

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa religiusitas merupakan komitmen yang berhubungan dengan keyakinan dan agama yang dapat dilihat melalui aktivitas sehari-hari atau perilaku individu yang bersangkutan pada agama atau keyakinan yang dianutnya.

2. Aspek-Aspek Religiusitas

Menurut Glock & Stark (Ancok dan Suroso, 2011) ada lima dimensi religiusitas:

a. Dimensi Keyakinan (Ideologis); pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teoligis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganutnya diharapkan akan taat. b. Dimensi Praktik Agama (Ritualistik); mencakup perilaku pemujaan,

ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek agama ini terdiri dari dua kelas penting yakni ritual dan ketaatan seperti sembahyang, zakat dan taat dalam menjalani puasa.

c. Dimensi Penghayatan (Eksperensial); berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan dan persepsi yang dialami seseorang serta berisikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu.

d. Dimensi Pengalaman (Konsekuensial); mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, tentram

(10)

ketika mendengar ayat kitab suci dan merasa takut berbuat dosa.

e. Dimensi Pengetahuan Agama (Intelektual); mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. Pengatahuan disini meliputi segala informasi yang berkaitan dengan agama seseorang, seperti pengetahuan tentang kitab suci dan konsep kehidupan beragama lainnya. Pengetahuan seseorang terhadap praktek-praktek keagamaan dan anjuran dalam ajaran agama tentang bagaimana menjalankan kehidupan dengan baik dan bijaksana.

Menurut Kementrian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987) ada lima aspek religiusitas yaitu :

a. Aspek islam; menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan seperti shalat, puasa, zakat dan haji.

b. Aspek iman; keyakinan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para Nabi, mu’jizat, hari akhir dan tentang setan.

c. Aspek ilmu; pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya seperti pengetahuan fiqih dan tauhid.

d. Aspek ikhsan; pengalaman dan perasaan tentang kedekatan dengan Tuhan, perasaan takut jika melanggar larangan Tuhan, ketenangan hidup, perasaan dekat dengan Tuhan, keyakinan menerima balasan dan dorongan untuk melaksanakan perintah agama.

e. Aspek amal; segala tingkah laku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

(11)

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada lima dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark yaitu dimensi keyakinan, dimensi praktek agama, dimensi penghayatan, dimensi pengalaman dan dimensi pengetahuan agama. Selain itu ada lima aspek religiusitas menurut Kependudukan dan Lingkungan Hidup yaitu aspek islam, aspek iman, aspek ilmu, aspek ikhsan dan aspek amal.

Dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark yang digunakan untuk menjelaskan religiusitas yang berkaitan dengan kecemasan menghadapi kematian. Alasannya karena dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark lebih menjelaskan religiusitas dalam berbagai sisi, tidak hanya dalam hal yang tampak namun juga aktivitas yang tidak tampak dan sesuatu yang terjadi dalam hati seseorang.Selain itu banyaknya penelitian sebelumnya yang menggunakan aspek-aspek religiusitas menurut Glock dan Stark seperti penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas dkk (2013).

C. Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia

Religiusitas merupakan komitmen yang berhubungan dengan keyakinan dan agama yang dapat dilihat melalui aktivitas sehari-hari atau perilaku individu yang bersangkutan pada agama atau keyakinan yang dianutnya. Religiusitas mampu memberikan kesadaran pada manusia akan hakikat hidup yang sesungguhnya, disamping merangsang manusia untuk lebih tahan terhadap segala duka dan nestapa, kepedihan serta rutinitas hidup sehari-hari dan tidak lekang dari krisis emosional dan depresi. Menurut Glock & Stark (Ancok dan Suroso, 2011) ada

(12)

lima dimensi religiusitas yaitu dimensi keyakinan, dimensi praktik agama, dimensi penghayatan, dimensi pengalaman dan dimensi pengetahuan agama.

Individu yang memiliki religiusitas tinggi cenderung akan memiliki tingkat kecemasan rendah, hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Henderson (2002) yang menyatakan religiusitas mampu mempengaruhi tingkat kecemasan terhadap kematian. Henderson mengartikan religiusitas sebagai konsistensi seseorang dalam menjalankan agamanya. Individu yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah akan cenderung mengalami kecemasan dalam menghadapi kematian, ciri-ciri kecemasan yang muncul seperti ciri-ciri fisik (jantung berdebar, berkeringat, pusing, sulit tidur dan nafsu makan turun), ciri perilaku (sikap menghindar) dan ciri kognitif (khawatir dengan masa yang akan datang, bingung, takut dan selalu bersikap waspada). Lebih lanjut dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Hawari (2004) yang menyatakan individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi akan lebih tabah dan tenang menghadapi kematian.

Jalaludin (2000) mengartikan religiusitas adalah serangkaian aturan-aturan dan kewajiban yang dilaksanakan dan mengikat individu atau kelompok hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Religiusitas merupakan pengalaman spiritual manusia dalam hubungan dengan Tuhan mengacu pada pemahaman akan pengalaman manusia dalam mencari kebenaran spiritual dan merupakan suatu tingkat keberagaman (Ancok dan Suroso, 2011). Lebih lanjut dijelaskan orang yang religius adalah orang yang mengkhususkan dan mempersembahkan diri dan hidup seutuhnya demi kepentingan Tuhan.

(13)

Merujuk pada dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark (Ancok dan Suroso, 2011) seperti dimensi keyakinan, dimensi penghayatan dan dimensi pengetahuan agama dimana dimensi-dimensi tersebut mengacu pada pengharapan-pengharapan individu yang berpegang teguh pada pandangan teoligis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin yang ada dan memiliki persepsi yang berisikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan tertentu. Pengharapan-pengharapan tersebut juga didasari dengan pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan seperti pengetahuan tentang kitab suci dan tradisi. Dalam kitab suci al-qur’an itu sendiri sudah dijelaskan mengenai akan datangnya kematian yang kelak akan dialami oleh semua individu,salah satu ayat al-qur’an mengenai kematian tertulis pada Surat Al-Ankabut ayat 57 yang menyatakan “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikmbalikan”. Lebih lanjut Glock & Stark (2011) yang menyatakan dengan penghayatan yang maksimal, mampu membuat individu menjadi lebih tenang dan mengurangi berbagai kecemasan yang timbul. Dimana dalam hal ini individu khususnya lansia tidak lagi merasa pusing, nafsu makan stabil, jantung berdetak normal karena secara kognitif lansia tidak lagi merasa takut menghadapi kematian yang kelak akan datang sehingga lansia juga mampu berbaur dengan lingkungan. Oleh karena itu hal ini diharapkan mampu mengurangi kecemasan yang dialami oleh individu khususnya lansia dalam hal menghadapi kematian.

Dimensi praktik agama mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yamg dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan komitmen terhadap agama

(14)

yang dianutnya seperti sembahyang, mengaji, zakat dan puasa Glock & Stark (Ancok & Suroso, 2011). Dalam hal ini ketika individu mengamalkan dimensi praktik agama dengan baik seperti membaca atau mendengarkan ayat-ayat suci al-qur’an diharapakan mampu mengurangi individu tersebut dalam hal menghadapi kematian. Misalnya ketika individu membaca atau mendengarkan ayat-ayat al-qur’an hatinya menjadi lebih tenang, mampu membuat individu mengurangi gejala kecemasan yang ada seperti berkurangnya keringat dingin, meningkatnya nafsu makan dan perncernaan normal. Selain itu ketika membaca atau mendengarkan ayat-ayat al-qur’an memberikan efek yang mengacu pada ketenangan batin, lansia tidak lagi berpikir bahwa kematian sesuatu yang menakutkan. Dengan begitu lansia mampu menyikapi sebuah kematian dengan wajar dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sholikah (2014) yang menyatakan terapi mendengarkan ayat-ayat al-qur’an mampu menurunkan kecemasan yang dialami oleh lansia, yang artinya ketika lansia mampu untuk memahami ayat-ayat al-qur’an dengan baik maka lansia tersebut juga mampu memaknai tujuan hidupnya, memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ketika lansia hidup di dunia akan memiliki tujuan akhir yang tidak lain adalah kematian.

Dimensi pengalaman menjadi dimensi yang paling kompleks karena mengacu pada identifikasi akibat-akibat adanya keyakinan agama, praktik agama, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari seperti misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa tentram ketika mendengar ayat suci al-qu’an dan merasa takut ketika berbuat dosa. Selain itu menurut Glock & Stark (Ancok &

(15)

Suroso, 2011) ketika penghayatan dan pelaksanaan terhadap nilai-nilai agama meningkat maka akan memunculkan perasaan bahagia, senang, puas dan mengacu pada ketenangan batin, dengan begitu diharapkan hal ini mampu mengurangi kecemasan yang dihadapi oleh lansia tersebut khusunya kecemasan menghadapi kematian. Zubair (Wijayanti dkk, 2012) menjelaskan bahwa kecemasan menghadapi kematian merupakan sesuatu yang wajar, namun kecemasan memiliki dampak yang negatif khususnya bagi lansia. Sehingga kecemasan khususnya dalam menghadapi kematian harus dihilangkan, misalnya lansia tidak lagi mengalami gangguan pencernaan ketika memikirkan kematian, dada tidak lagi terasa sesak dan tidak lagi mengalami sulit tidur ketika memikirkan apapaun yang berkaitan dengan kematian. Hal ini bisa terjadi ketika lansia menganggap kematian sesuatu hal yang wajar dan pasti akan dialami oleh semua individu sehingga lansia mampu meyikapinya dengan tenang dan besar hati. Lebih lanjut hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Hannan (2014) yang menunjukkan hasil bahwa dzikir khafi mampu menurunkan kecemasan menghadapi kematian pada lansia. Penelitian lain dilakukan oleh Larasati dan Saifudin (2014) yang menunjukkan bahwa pemberian terapi musik religi mampu mengurangi kecemasan yang dialami oleh lansia khususnya kecemasan dalam menghadapi kematian, dimana lirik dalam lagu religi tersebut mampu memberikan ketenangan dan mendorong seseorang untuk berbuat baik sesuai dengan lirik yang didengarkan.

Berdasarkan penjabaran diatas peneliti berasumsi bahwa religiusitas berhubungan dengan kecemasan menghadapi kematian pada lansia. Hal tersebut

(16)

juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas dkk (2013) menunjukkan terdapat hubungan negatif antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi tutup usia pada lanjut usia di Kelurahan Jebres Surakarta, jadi semakin tinggi religiusitas seseorang semakin rendah kecemasan menghadapi tutup usia.

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi kematian pada lansia di Balai Rehsos Wiloso Wredo. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia, sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia.

Referensi

Dokumen terkait

4.6 Menyusun teks interaksi transaksional, lisan dan tulis, pendek dan sederhana, yang melibatkan tindakan unsur dan meminta informasi terkait keadaan/tindakan/ kegiatan/

Merujuk pada beberapa kasus yang melibatkan beberapa bank tersebut diatas, yang hampir semuanya diakibatkan oleh salah dalam melakukan analisis sbagai

Banyaknya galian yang cukup dalam di pemukiman yang cukup ramai, tidak diberi rambu lalu-lintas, pengaman ataupun Papan Peringatan / Garis Batas sehingga membahayakan pengguna

Dari Tabcl 4.11 di atas dapat diketahui tingkat penyerapan logam Cr total oleh tanaman eceng gondok, maka dapat kita bandingkan dengan penelitian mengenai penurunan

1. Kesatuan merupakan prinsip yang utama di mana unsur-unsur seni rupa saling menun+ang satu sama lain dalam mementuk k$mp$sisi yang agus dan serasi. !ntuk

bukan untuk menghabiskan atau merusak barang tersebut karena ijarah tidak sah kecuali pada manfaat suatu barang, sedangkan barangnya tetap ada. 3) Manfaat pada ijarah

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat

Nilai ini menunjukkan bahwa kombinasi genotipe C111 dengan C120 untuk menghasilkan F1 yang memiliki jumlah buah terbanyak dibanding dengan genotipe hasil kombinasi tetua yang