• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang, lapisan masyarakat, dan lembaga atau instansi pemerintah seperti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang, lapisan masyarakat, dan lembaga atau instansi pemerintah seperti"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik korupsi sudah menjadi masalah yang harus mendapatkan prioritas untuk diselesaikan. Karena korupsi sudah menggerogoti baik dari segi hukum, ekonomi, sosial, dan moral masyarakat. Korupsi juga telah “menjalar” kedalam berbagai bidang, lapisan masyarakat, dan lembaga atau instansi pemerintah seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan telah melemahkan kemampuan negara untuk menyediakan barang-barang publik yang mendasar, seperti jasa-jasa yang mutlak ada serta aturan-aturan yang memungkinkan suatu masyarakat untuk berfungsi secara efektif. Akibatnya, korupsi paling banyak membebani golongan termiskin dan paling rentan di Indonesia, menciptakan resiko-resiko tinggi bagi makro ekonomi, membahayakan stabilitas keuangan, mengkompromikan keamanan publik serta hukum dan ketertiban, dan lebih dari itu, menggerogoti keabsahan serta kredibilitas negara di mata rakyat4

Oleh karena itu korupsi merupakan ancaman besar terhadap transisi ekonomi dan politik yang sukses bagi Indonesia. Dengan menggerogoti aturan-aturan formal dan organisasi-organisasi pokok yang bertugas untuk mengamankannya, dan dengan menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga tersebut, maka korupsi mengancam demokrasi itu sendiri.

.

5

Korupsi sendiri semakin lama semakin banyak bentuk dan cara

4

World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan, (Jakarta : World Bank Office, 2003), hlm:1

(2)

melakukannya. Salah satunya adalah dalam bentuk gratifikasi. Gratifikasi, dalam arti sempit adalah sebuah pemberian kepada orang lain dalam bentuk uang atau barang. Tidak ada hal yang salah sebenarnya apabila ada pihak yang memberikan uang atau barang kepada pihak lain (pejabat negara) sebagai suatu ucapan terimakasih atau selamat ataupun dalam rangka silaturahmi.Akan tetapi, apabila pemberian itu didasarkan dengan harapan ataupun kepentingan terhadap kebijakan atau keputusan pejabat itu, dan pemberian itu nilainya diluar kewajaran serta dapat mempengaruhi independensi, integritas dan objektivitas terhadap kebijakan atau keputusan sehingga dapat menguntungkan pihak lain ataupun diri sendiri, hal ini jelas perlu dilarang.

Sesungguhnya pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Penjelasan Pasal 12 B mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

(3)

penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”6

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian

yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.7

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi.8

Di negara-negara maju, pemberian gratifikasi bagi kalangan birokrat dilarang keras. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan bocornya keuangan negara yang diakibatkan dari pembuatan kebijakan ataupun keputusan yang independen. Bahkan dikalangan swasta pun gratifikasi dilarang keras dan diberikan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Sehingga, pelarangan gratifikasi dalam ruang lingkup BUMN pun perlu dilarang dan diberi sanksi yang tegas bagi

6

http://hukumham. Info/index.php?option=com, content & task=view &id=1085&itemid=43, Jakarta, HukumHam. Info, 02 November 2009, pkl 12.15 WIB

7

http://www.kesad.mil.id/index.php?option=com_content&view=article&id=170:gratifik asi&catid=52:umum pkl 11:38 WIB

5

(4)

para pelanggarnya. Hal ini dikarenakan BUMN sebagai salah satu sektor strategis yang menguasai atau mempengaruhi hajat hidup masyarakat banyak. Bank Dunia pun seiring dengan semakin maraknya upaya pemberantasan korupsi, telah menempatkan tata pemerintahan (governance) di barisan depan dan pusat strategi pembangunannya, menerapkan porsi besar analisisnya, memberikan pinjaman serta sumber daya- sumber daya pengawasannya untuk membantu memperbaiki tata pemerintahan dan akuntabilitas.

Pelarangan tentang kegiatan gratifikasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam suatu badan usaha seperti BUMN, hal ini belum sepenuhnya dipatuhi dan dilakukan oleh semua BUMN yang ada. Padahal masalah ini bersifat vital dan dapat mempengaruhi kinerja BUMN selain daripada merugikan BUMN itu sendiri dan masyarakat banyak. Pengaturan mengenai pelarangan gratifikasi di dalam BUMN sendiri hanya secara tak kasat mata, sehingga tidak memberi efek pencegahan ataupun sanksi yang jelas bagi pelanggarnya demi kelangsungan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik.

Karena alasan tersebutlah penulis kemudian memilih topik larangan mengenai gratifikasi ini sebagai topik skripsi yang berjudul “ Larangan Gratifikasi Dalam Rangka Good Corporate Governance Di BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ”. selanjutnya untuk melihat bagaimana sebuah BUMN mengimplementasikan larangan gratifikasi, maka penelitian skripsi ini memilih studi pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero).

(5)

Pemilihan BUMN ini dikarenakan PTPN III adalah salah satu BUMN yang telah mengatur gratifikasi dalam Code of Conduct perusahaannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas selanjutnya di dalam skripsi ini, yaitu :

1. Apakah yang menjadi latar belakang gratifikasi harus dilarang dalam suatu BUMN sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimanakah pengaturan gratifikasi dalam perusahaan, di luar KUHP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

3. Apakah pelarangan gratifikasi dapat menjadi sebuah code of conduct dalam perusahaan dan menjadi sebuah corporate social responsibility terhadap masyarakat?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui dasar dan latar belakang pelarangan gratifikasi khususnya di dalam perusahaan BUMN.

b. Untuk mengetahui implementasi dari pelarangan terhadap gratifikasi dalam BUMN, dalam hal ini pada PTPN III ( Persero) Medan.

c. Untuk melihat dan mengetahui bahwa pelarangan gratifikasi adalah merupakan bagian dari Code of Conduct dalam perusahaan dan

(6)

menjadi sebuah Corporate Social Responsibility terhadap masyarakat.

2. Manfaat Penulisan a. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang pengetahuan ilmu hukum ekonomi pada umumnya dan tentang tindak pidana korupsi gratifikasi khususnya sehingga diperlukan suatu peraturan internal perusahaan tersendiri untuk mengaturnya di samping peraturan perundangan yang ada. Sehingga diharapkan skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang berkaitan dengan hal tersebut.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang tindak pidana korupsi gratifikasi khususnya dalam BUMN kepada masyarakat dan mahasiswa yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi gratifikasi di Indonesia. 2. Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga Negara

yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana korupsi baik eksekutif, legislatif dan yudikatif agar dapat diperoleh solusi dalam menangani kasus-kasus korupsi yang timbul.

(7)

3. Dapat memberi masukan kepada segenap perusahaan sehingga dapat mengambil langkah yang tepat, baik dalam hal pencegahan maupun dalam hal penyelesaian apabila terjadi sebuah peristiwa gratifikasi di dalam BUMN sendiri.

D. Keaslian Penulisan

“Larangan Gratifikasi Dalam Rangka Good Corporate Governance Di BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ” yang diangkat menjadi judul dari skripsi ini merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), terutama yang berkaitan dengan Larangan Gratifikasi Dalam Rangka Good Corporate Governance Di BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kata “ korupsi “ menurut Fockema Andrea berasal dari bahasa latin “

corruptus “ yang kemudian di sadur ke bahasa Inggris menjadi “ corruption “

yang berarti “ penyuapan ”. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata “corrumpere” suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti : Inggris yaitu “corruption”, Prancis yaitu “corruption” dan Belanda yaitu “corruptie”. Kita

(8)

dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.9

Dalam istilah Klitgaard : KORUPSI = MONOPOLI + KEBIJAKSANAAN – AKUNTABILITAS. Menghilangkan korupsi berarti hanya menghilangkan monopoli, menghilangkan kebijaksanaan, dan menambah akuntabilitas.

Korupsi secara harfiah berarti busuk, buruk, bejat, dapat disogok, atau suka disuap. Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, korupsi berarti jahat atau busuk. Sedangkan A.I.N Kramer ST menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.

10

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi Secara harfiah korupsi memang merupakan sesuatu yang jahat, busuk dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian (gratifikasi), faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

9

Andi Hamzah , Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm: 4.

10

Robert Klitgaard, Controlling Corruption, (Berkeley : University of California Press, 1988), hlm: 75.

(9)

dibidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.11

11

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm: 9.

Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi,

financials manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang

membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by

officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap

kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum). Dikatakan pula disguised payment in the form of gifts, legal fees,

employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk

pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political

corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of officer or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara

dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan

(10)

melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administratif, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan). 12

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pengertian tindak pidana korupsi dengan tegas diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 TAHUN 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:

(2) Dalam hal tidak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.13

Adapun elemen dari Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 ini adalah:

a. Secara melawan hukum

Adapun yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum formil maupun materil.

12 Ibid, hal 9-10 13

Tim REDAKSI Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Fokusmedia,2008) hlm: 87.

(11)

Melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan Undang-Undang. Sedangkan melawan hukum secara materil adalah bahwa meskipun perbuatan itu tidak ada diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun adalah melawan hukum apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, seperti bertentangan dengan adat-istiadat, kebiasaan, moral, nilai agama, dan sebagainya, maka perbuatan itu dapat dipidana (Penjelasan Pasal 2).14

1. Melanggar undang-undang

Pengertian Perbuatan melawan hukum adalah:

2. Melanggar hak subjektif orang lain, seperti: a) Kebebasan

b) Kehormatan c) Nama baik d) Dan lain-lain

3. Hak-hak atas kekayaan, seperti: a) Hak-hak kebendaan

b) Hak mutlak lainnya

4. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipembuat : a) Kewajiban-kewajiban yang tertulis

b) Kewajiban yang tidak tertulis 5. Bertentangan dengan kesusilaan

6. Bertentangan dengan kepatutan, seperti:

14

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002 ), hlm: 29-30.

(12)

a) Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentigan yang layak

b) Perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, dimana menurut manusia normal hal itu harus diperhatikan.

b. Melakukan perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Korporasi

Adapun perbuatan yang dilakukan oleh elemen ini adalah: 1. Memperkaya diri sendiri

Artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.

2. Memperkaya orang lain

Maksudnya akibat perbuatan hokum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.

3. Memperkaya korporasi

Atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atan kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hokum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999).15

15

(13)

c. Dapat merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara

Dari rumusan elemen ini diketahui bahwa tindak pidana korupsi adalah delik formil, artinya akibat itu tidak perlu sudah terjadi. Akan tetapi, apabila perbuatan itu dapat/mungkin merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan.

Kejelasan mengenai pengertian keuangan negara masih tersebar dalam beberapa undang-undang. Diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan negara dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Definisi keuangan negara dapat dipahami atas tiga interpretasi atau penafsiran terhadap pasal 23 UUD 45 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara yaitu,

Penafsiran pertama adalah : Pengertian keuangan Negara

diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN sebagai sub sistem keuangan negara dalam arti sempit.

Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi dari

(14)

keuangan Negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara.16

Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas, adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna keuangan negara.

Sementara itu, penafsiran kedua adalah berkaitan dengan metode dan sistematik dan historis yang menyatakan: Keuangan negara dalam

arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara.

17

16

Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus.

Penafsiran ketiga dilakukan melalui pendekatan sistematik dan

teleologis atas sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat

memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya.

http://korup5170.wordpress.com/opiniartikel-pakar-hukum/pemahaman-keuangan-negara/ pkl 11:38 WIB

17

(15)

Maksudnya adalah, Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan, dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit.

Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematik dan teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN , APBD , BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan Negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan.

Penafsiran ketiga inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat.18

Adapun yang dimaksud dengan Keuangan Negara dalam arti luas adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.17 Tahun 2003, yang didefinisikan sebagai keuangan negara ialah semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

18

(16)

atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara Daerah, yayasan, badan hukum,dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.19

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti pada waktu Negara dalam

Hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

19

(17)

keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi (recidivist), atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dam moneter, maka pidana mati dapat dijatuhkan. Ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).20

Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa paling tidak terdapat sepuluh pilar penyebab korupsi di Indonesia menurut Masyarakat Transparansi Internasional , yaitu :21

a. Absennya kemauan politik pemerintah

b. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah c. Dominannya peran militer dalam bidang politik

d. Politisasi birokrasi ( sering terjadi dalam BUMN ) e. Tidak independennya lembaga pengawas

f. Kurang berfungsinya parlemen g. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil h. Kurang bebasnya media massa i. Opurtunismenya sektor swasta

20

Ibid, hlm: 31-33

21

http://www.transparansi.or.id/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id= 41&Itemid=58, 01 September 2010, pukul 17.23 WIB

(18)

2. Pengertian Gratifikasi

Gratifikasi sesungguhnya merupakan delik korupsi yang unik. Tidak seperti lazimnya delik, gratifikasi mensyaratkan unsur tenggat waktu untuk ‘sempurna’ disebut sebagai delik. Pasal gratifikasi memang lebih didasari oleh semangat pengembalian uang negara yang telah dikorupsi ketimbang menjebloskan pelakunya ke sel penjara. Sayang, semangat mengembalikan uang negara sepertinya terlalu besar sehingga rumusannya tidak jelas. Akibatnya, implementasinya juga tidak optimal seperti yang terjadi sekarang.

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.22

1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan: Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:

a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

22

http://www.kesad.mil.id/index.php?option=com_content&view=article&id=170:gratifik asi&catid=52:umum, 18 April 2010, pkl 16:28 WIB

(19)

b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum:

2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).23

Sementara yang dimaksud dengan gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan “yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.24

23

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm: 259-260.

24

Darwan Prinst op.cit ,hlm: 57.

Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan lebih terang dan hal ini berarti lebih menjamin kepastian hukum dari pada tidak dijelaskan sama sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

(20)

1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya.

2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi grastifikasi menurut Pasal 12B ini.

3. Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12B ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, dan c.25

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 B ayat (1), menurut Barda Nawawi Arief, diketahui 6 hal berikut.26

25

Adami chazawi, op.cit, hlm: 261-262.

a. Gratifikasi dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya dirumuskan dalam "penjelasan Pasal 12 B ayat (1)", yaitu suatu "pemberian dalam arti luas" yang meliputi:

1) pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya;

26

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Ite mid=1,02 September 2010, pkl 21.24 WIB

(21)

2) pemberian itu diterima di dalam maupun di luar negeri; 3) pemberian itu dilakukan dengan atau tanpa sarana elektronik.

b. Dilihat dari perumusannya, gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik, yang dijadikan tindak pidana menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan gratifikasi-nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi.

c. Pasal 12 B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan mengenai:

1) batasan pengertian gratifikasi yang dianggap sebagai "pemberian suap"; dan

2) jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai "pemberian suap".

Tindakan yang dianggap sebagai "pemberian suap", yaitu apabila gratifikasi (pemberian) diberikan kepada "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara"; dan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Berdasarkan ketentuan tentang gratifikasi diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis gratifikasi, yaitu:

a.) gratifikasi yang bernilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih; dan

b.) gratifikasi yang bernilai kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

d. Pasal 12 B ayat (2) menentukan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu

(22)

2) pidana penjara dalam waktu tertentu, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan

3) pidana denda (minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) clan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)).

e. Dengan perumusan Pasal 12 B ayat (2) itu. maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi jenis pertama (besarnya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih) dan penerima gratifikasi jenis ke dua (besarnya di bawah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)). Jadi, tidak ada perbedaan substantif. Yang ada hanya perbedaan prosesual, yaitu (berdasarkan Pasal 12 B ayat (1)):

1) Untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima;

2) Untuk gratifikasi kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap) pada penuntut umum (PU).

f. Logika pembuat undang-undang dalam menentukan Pasal 12 B ayat (2) untuk tidak membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2, tidak konsisten dengan logika yang tertuang daiam Pasal 12 A yang membedakan ancaman pidana untuk Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut:

1) Yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), diancam pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun (tidak ada minimalnya) dan denda maksimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) (tidak ada minimalnya); lihat Pasal 12 A ayat (2).

(23)

2) Yang nilainya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih, berlaku ketentuan pidana dalam pasal yang bersangkutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 12); lihat Pasal 12 A ayat (1). Berarti untuk Tindak Pidana Korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam pasal yang bersangkutan.

3. Peranan Badan Usaha Milik Negara Sebagai Penyelenggara Kepentingan Umum

BUMN dalam konteks perekonomian Indonesia mempunyai tempat yang sangat penting, bukan hanya karena eksistensinya secara tersirat disinggung dalam Pasal 33 UUD, melainkan juga karena diperlukan investasi untuk produksi barang dan jasa yang tidak menarik atau terlalu besar bagi swasta.

Ada bermacam-macam latar belakang pendirian BUMN, tergantung dari periode pendiriannya dan kebijaksaaan pemerintah saat itu. Beberapa BUMN merupakan kelanjutan dari perusahaan-perusahaan yang didirikan pada jaman perjuangan sebelum kemerdekaan.27

1) Perusahaan Jawatan (Perjan)

Namun karena berbagai landasan ini mempersulit pengendaliannya, maka disusunlah Undang-Undang No.19 Tahun 1960 mengenai Perusahaan Negara. Tetapi hal ini kemudian masih diperbaharui oleh Undang-Undang No.9 Tahun 1969, dikarenakan pada undang-undang sebelumnya tidak diatur mengenai klasifikasi atau batas bidang usaha negara pada saat itu. Undang-undang ini kemudian mengelompokkan BUMN dalam 3(tiga) klasifikasi, yaitu:

27 Pandji Anoraga, BUMN,Swasta dan Koperasi, (Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 1995),

(24)

2) Perusahaan Umum (Perum) 3) Perusahaan Perseroan (Persero)28

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, tidak lagi dikenal badan usaha yang berbentuk Perjan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut BUMN dibagi menjadi :

1) Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. 2) Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka,

adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal.

3) Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.29

Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989, yang dimaksud Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah Badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara ( pasal 1 Ayat 2a ). Atau badan usaha yang seluruh sahamnya dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN ( Pasal 1 Ayat 2b ), yaitu :

28 Ibid, hlm: 13 29

(25)

1) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah.

2) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya

3) BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional/asing dimana negara memiliki saham mayoritas minimal 51%.30

4. Tinjauan Umum Good Corporate Governance Dalam Badan Usaha Milik Negara

Kata “governance” berasal dari bahasa Prancis “gubernance” yang berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut dipergunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau jenis organisasi yang lain, menjadi corporate governance. Dalam bahasa Indonesia corporate governace diterjemahkan sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan.31

Pertama kali, istilah corporate governance diperkenalkan oleh

Cadbury Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai

Cadburry Report. Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning point)

30

Pandji Anoraga, op.cit, hlm: 1

31

Siswanto Sutojo & E Jhon Aldridge, Good Corporate Governance, (Jakarta : PT. Damar Mulia Pustaka, 2005), hlm: 1.

(26)

yang menentukan praktik Corporate Gorvernance di seluruh dunia32. Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai: “ A set of rules that

define the relationship between shareholder, managers, creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”33

“ Corporate governance is the system by which business corporations are directed and control. The corporate governance structure specifies the distributian of right and responsibilities among different participant in the corporattion, such as the board, the managers, shareholders and other staheholder, and spells out the rule and procedure for making decision on corprate affairs. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set,and the means of attaining those objectives and monitoring performance”

.

The Organization for Economic Corporation and Development (OECD),

mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:

34

Dalam keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-117/M-MBU/2002, tanggal 31 Juli 2002, tentang pengembangan praktik Good Corporate

Governance dalam perusahaan persero, disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan GCG adalah prinsip perusahaan yang sehat dan diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga

32

I. Nyoman Tjager, dkk.,Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan Bagi Komuniutas Bisnis Indonesia,( Jakarta : PT. Prenhallindo, 2003), hlm:24.

33

Ibid, hlm:26.

34

(27)

kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.

World Bank memdefinisikan GCG “ adalah kumpulan hukum,

peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakt sekitar secara keseluruhan”35

Forum for Corporate Governance in Indonesia mendefenisikan Corporate Governance can be defined as a set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities, or the system by which companies are directed and controlled. The objective of corporate governance is to create added value to the stakeholders ( seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara

pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern atau ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi pihak pemegang kepentingan)

.

36

35

Hassel Nogi S. Tangkilisan, Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance,(Yogyakarta: Balairung&Co, 2003), hlm: 12.

36

Amin Widjaja Tunggal, Corporate Governance Suatu Pengantar, (Jakarta :Harvarindo, 2007), hlm: 3

. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa GCG merupakan :

1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya. 2) Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian

perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.

(28)

3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya. 37

37

Good Corporate Governance, http://www.madani-ri.com, 18 April 2010, pkl 16:28 WIB

Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG antara lain : 1) Transparency (keterbukaan informasi)

Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakaninformasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya.

2) Accountability (Akuntabilitas)

Akuntabilitas berarti adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.

3) Responsibility (Pertanggungjawaban)

Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada

shareholder juga kepada stakeholders lainnya.

(29)

Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran)

Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak

stakeholders sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 38

perusahaan.

Berdasarkan berbagai definisi GCG yang disampai di atas dapat diketahui ada lima macam tujuan utama Good Corporate Governance yaitu:

1. melindungi hak dan kepentingan pemegang saham,

2. melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders nonpemegang saham,

3. meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham,

4. meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of

Directors dan manajemen perusahaan, dan

5. meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior 39

Menindaklanjuti komitmen pelaksanaan prinsip-prinisip GCG, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai kebijakan, misalnya Keputusan Menteri BUMN No.Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada BUMN, dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan GCG sebagai landasan operasional. Ini berarti

38

Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, (Jakarta: Fascho Publishing, 2007), hlm: 11-12

39

Johny Sudharmono, Good Governed Company Panduan Praktis bagi BUMN untuk menjadi G2C dan Pengelolaannya Berdasarkan Suara Hati,( Jakarta : PT. elex Media Komputindo, 2004), hlm: 8.

(30)

khusus BUMN merupakan kewajiban dan BUMN dijadikan contoh dalam penerapan GCG di Indonesia, namun sayang hingga saat ini baru sebagian kecil BUMN yang melaksanakan instruksi Keputusan Menteri BUMN tersebut, seperti PT. Batu Bara Bukit Asam, PT. Aneka Tambang, PT. Pusri, PT Perkebunan Nusantara III, dll.40

5. Kaitan Antara Larangan Gratifikasi Terhadap Prinsip Good Corporate

Governance.

Salah satu tujuan dari implementasi GCG pada sektor usaha adalah agar tercipta kondisi usaha yang bersih dari praktek-praktek korupsi, baik secara internal perusahaan maupun dalam kaitannya dengan perusahaan atau lembaga lain. Oleh karena itu, perlu didalami bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam mencegah tindakan korupsi.

Kelemahan yang sangat mencolok dalam proses tercapainya good

governance selama ini adalah tingginya korupsi yang terjadi. Korupsi dapat

dikatakan merajalela terutama dikalangan birokrasi pada institusi publik atau lembaga pemerintah baik departemen maupun lembaga bukan departemen serta lembaga BUMN/D. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu upaya untuk menegakkan paradigma good governance. Paradigma Good Governance berjalan seiring dengan paradigma good corporate governance.41

Good Corporate Governance diharapkan merupakan sarana untuk

menjadikan perusahaan secara lebih baik, antara lain dengan menghambat praktik-

40 Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya Vol. 4, No 8 Desember 2006, hlm: 102 41

(31)

praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), meningkatkan disiplin anggaran, mendayagunakan pengawasan serta mendorong efisiensi pengelolaan perusahaan.

Pada dasarnya, corporate governance mengatur soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan serta menerapkan prinsip dan etika anti-korupsi dalam berbisnis. Berjalannya penegakan hukum seperti penerapan larangan gratifikasi memberikan momentum bagi reformasi corporate governance.42

1. Metode Pendekatan F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research).

Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan

42

(32)

demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).

Metode menjawab permasalahan dalam skripsi ini digunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakuka n pada penulisan skripsi dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi gratifikasi.

2. Sumber dan Tehnik Pengumpulan Data

Materi dalam penelitian ini diambil dari data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research) dan dengan studi dokumen pada PT Perkebunan Nusantara III (Persero).

Bahan hukum Library Research, mengacu pada 3 bahan hukum;

a. Bahan Hukum Primer, yaitu Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi dan peraturan- peraturan tentang penerapan Prinsip Good Corporate Governance,antara lain UU No. 31/1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, The United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC), UU No.19 Tahun

2003 tentang BUMN, KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lainnya ;

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku, majalah,artikel, serta beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan

(33)

persoalan di atas, dan pencarian data kesalah satu perusahaan, yaitu PTPN III di Medan, Sumatera Utara ;

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu pendukung lain, misalnya kamus, buku-buku ensiklopedia,,

Studi kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan yang lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Studi dokumen yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis dokumen-dokumen pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisa kualitatif yaitu data yang diporoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisis kualitatif adalah menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

(34)

BAB I PENDAHULUAN, Berisikan pendahuluan yang didalamnya diuraikan mengenai latar belakang penulisan skripsi ini, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai defenisi dan pengertian-pengertian dari beberapa istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut dan terakhir diuraikan sistematika penulisan.

BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN GRATIFIKASI SEBAGAI SALAH SATU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UU NO 31 TAHUN 1999 JO UU NO 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, Berisikan bagaimanakah sejarah pengaturan tindak pidana korupsi gratifikasi itu dalam KUHP, dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu juga dalam bab ini dijelaskan landasan pengaturan gratifikasi dalam UU No. 20 tahun 2001.

BAB III KAITAN ANTARA PELARANGAN GRATIFIKASI TERHADAP PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA, berisikan tentang latar belakang penerapan prinsip Good Corporate Governance serta dasar hukumnya di dalam suatu Badan Usaha Milik Negara, kaitan antara pelarangan gratifikasi terhadap penerapan prinsip Good Corporate Governance yang mana juga dapat memicu conflict of

interest serta pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Good Corporate Governance

(35)

tanggung jawab sosial dan moral perusahaan terhadap masyarakat ( Corporate Social Responsibility ).

BAB IV LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III ( PTPN III), dimana bab ini akan mengulas mengenai penerapan larangan gratifikasi di PTPN III Medan yang mana juga merupakan bab pokok dari semua bab. Yaitu dengan melihat penerapan Good Corporate Governance di PTPN III terutama dalam hal larangan gratifikasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, pada bab yang terakhir ini berupa penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran – saran yang memuat secara keseluruhan hal- hal yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

BAB II

LATAR BELAKANG PENGATURAN GRATIFIKASI

SEBAGAI SALAH SATU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM

UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, di Era Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi hingga sekarang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih belum memuaskan. Sejarah pengaturan masalah korupsi ini sendiri

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya sumbu simetrisitas ruang pada rumah tinggal kolonial di Kidul Dalem juga dilihat secara integral tidak simetris. Ketidaksimetrisan ruang secara integral ini

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

To conclude, the researchers’ reason to conduct this research are based on the importance subject-verb agreement in the succes of writing, the result of the previous research

Pada saat pemerintahan Kolonial Belanda, Kawasan Pulo Brayan Bengkel Medan merupakan pusat balai yasa serta stasiun bagi kereta api penumpang, akan tetapi seiring

Oleh karena itu perusahaan dengan total aset yang besar akan lebih mampu untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi, sehingga laba tersedia bagi pemegang

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Photodioda adalah salah satu jenis dioda yang bekerja berdasarkan intensitas cahaya, jika photodioda terkena cahaya maka photodioda bekerja seperti dioda pada umumnya,

To complete the diagonal in this same BINGO card using P QQQ , we recognize that the group P number must occur in the same column in which the group S number occured in the 3 rd.