• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. hal yang dirasa kurang tegas atau kurang dilakukan pemda secara maksimal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. hal yang dirasa kurang tegas atau kurang dilakukan pemda secara maksimal"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

107

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Kabupaten Demak

Pemda Kabupaten Demak telah melaksanakan segala bentuk dukungan dan bentuk koordinasi di dalam penyelenggaraan program OVOP. Terdapat satu hal yang dirasa kurang tegas atau kurang dilakukan pemda secara maksimal adalah pada tindakan monitoring. Karena bentuk monitoring dari Pemda adalah melakukan tindakan atau turun tangan setelah terjadinya suatu permasalahan di dalam pelaku-pelaku lain. Hal inilah yang menjadi penyebab kurang maksimalnya pelaksanaan OVOP di lingkup Koperasi, Kelompok OVOP, dan UMKM. Sehingga keberhasilan OVOP hanya dirasakan salah satu OVOP yaitu OVOP Pengasapan ikan.

Keberhasilan OVOP Pengasapan Ikan didukung dari kinerja Koperasi yang baik, dilihat dari kemampuan mengembangkan jenis usaha, menyediakan pelayanan khusus bagi anggota OVOP, serta rutin melakukan RAT dan berkoordinasi dengan Pemda setempat. Sebaliknya, Koperasi OVOP Tempe meskipun mampu mengembangkan jenis usahanya dan memberikan pelayanan khusus bagi anggota OVOP, tetapi Koperasi ini tidak mampu berkoordinasi dengan baik. Terbukti dari tidak adanya RAT dan koordinasi Pemda yang sulit

(2)

untuk diciptakan. Karena sering kali Koperasi secara bottom up meminta pengarahan mengenai OVOP.

Selanjutnya kinerja yang baik ditunjukan oleh Kedua Kelompok OVOP yang telah memahami pengembangan pasar dan memahami posisi daya saing dari produk sejenis kedua OVOP. Dari pemahaman kedua kelompok didapati masih ada permasalahan dalam mengembangkan jangkauan pemasaran dari produk yang dihasilkan. Hal ini juga terbukti dari fakta di lapangan bahwa dari 8 UMKM yang ada, semuanya tidak mampu mengembangkan jangkauan pemasaran produk mereka. Disamping itu perkembangan usaha dari indikator peningkatan volume produksi dan profit, belum sepenuhnya merata dirasakan oleh semua pengusaha. Jika disatu sisi mengalami peningkatan, disisi lain tidak mengalami pekembangan. Sehingga perkembangan usaha UMKM OVOP di Kabupaten Demak belum sepenuhnya berkembang.

Perkembangan aset yang dimiliki UMKM kedua OVOP tidak merata dialami semua pengusaha, karena bantuan peralatan yang didistribusikan tidak merata. Bahkan peralatan yang diberikan juga tidak terupgrade dengan peralatan yang lebih canggih, sehingga peralatan yang digunakan tetap saja menggunakan alat manual. UMKM OVOP di Kabupaten Demak selama ini tidak pernah menemui hambatan mengenai ketersediaan input produksi, meskipun asal pasokan didapat dari daerah yang berbeda-beda. Kunci dari permasalahan OVOP di Kabupaten Demak ialah kurangnya peran Pemda sebagai pengawas, pendamping, dan pemecah masalah bagi para pelaku, serta kurangnya kesadaran para pelaku untuk saling berkoordinasi guna membahas hambatan yang dihadapi.

(3)

5.1.2 Kabupaten Semarang

Aturan/kebijakan serta berbagai program telah dijalankan Pemda Kabupaten Semarang untuk mendukung program OVOP. Bentuk koordinasi juga telah dijalin Pemda dengan SKPD dan pelaku usaha yang bersangkutan, akan tetapi keterlibatan perguruan tinggi belum dapat terealisasikan. Sebenarnya keberadan perguruan tinggi dapat membantu untuk mendampingi UMKM OVOP, mengingat salah satu hambatan yang dihadapi Pemda adalah keterbatasan personil. Keterbatasan ini ternyata berimbas pada pelaksanaan monitoring yang tidak maksimal, karena monitoring hanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain yang dilakukan oleh Pemda setempat.

Pengawasan yang minim berdampak pada pelaksanaan OVOP di garis koordinasi bawah Pemda. Seperti yang terjadi pada Koperasi kedua OVOP dimana OVOP Kampung Rawa ternyata tidak berjalan seperti Koperasi OVOP lain. Bahkan untuk OVOP Kampung Rawa tidak berjalan sampai ke akarnya (UMKM). Sedangkan untuk Koperasi OVOP bunga krisan sendiri tidak mengalami perkembangan jenis usaha yang dijalankan. Selain itu bentuk koordinasi yang dilakukan Koperasi ini juga tidak maksimal. Tidak ada RAT dan koordinasi dengan Pemda tidak dijalankan dengan maksimal. Akan tetapi hal itu tidak menjadi hambatan untuk tetap memberikan pelayanan terhadap anggota yang khusus bergabung dengan OVOP.

Kinerja berbeda yang ditunjukan oleh Kelompok OVOP bunga krisan yang memahami pengembangan pasar dan posisi daya saing dari usaha UMKM yang menjadi anggotanya. Sehingga didapati permasalahan pada jangkauan

(4)

pemasaran yang masih rendah. Kekurangan tersebut juga menjadi salah satu penyebab UMKM dalam OVOP ini tidak mengalami perkembangan usaha. Meskipun ada beberapa pengusaha yang mampu menaikan volume produksi dan profit tetapi sebagian besar dari mereka tidak mengalami perkembangan itu. Mengenai ketersediaan dan pasokan input produksi, pengusaha tidak mengalami hambatan apapun. Perkembangan aset (peralatan) dari semua UMKM mengalami peningkatan dan terupgrade dengan alat mesin, meskipun juga diusahakan sendiri oleh pengusaha atau dengan kata lain distribusi bantuan alat belum merata. Sehingga dari berbagai fakta maupun fenomena yang terjadi di Kabupaten Semarang ini, OVOP dikatakan tidak dapat diterapkan dengan maksimal dalam garis koordinasi yang ada. Oleh karena tidak maksimalnya kinerja Pemda dalam mengawasi dan mendampingi UMKM, kurangnya koordinasi dari berbagai pelaku sehingga kegagalan yang sekarang terjadi tidak diantisipasi sebelumnya dengan cara duduk bersama untuk saling bertukar pikiran atas permasalahan yang dihadapi masing-masing pelaku.

5.1.3 Kabupaten Kendal

Pemda Kabupaten Kendal dinilai tidak kooperatif dengan keberadan program yang dapat memberi peluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui OVOP. Berbagai program yang diterima oleh UMKM OVOP berasal dari Dinas Koperasi Provinsi Jawa Tengah. Selain itu bentuk koordinasi dan

monitoring yang dilakukan Pemda juga tidak ada kejelasan. Kinerja baik dari

(5)

usahanya dan kemampuan menyediakan pelayanan khusus bagi anggota OVOP. Koordinasi yang baik juga dilakukan keduanya dengan Pemda setempat mengenai pelaksanaan OVOP. Akan tetapi permasalahan yang terjadi dari kedua koperasi adalah tidak melakukan RAT secara rutin.

Beralih pada Kelompok dari kedua OVOP, dimana Kelompok Jambu Getas Merah dan Kelompok Bandeng Cabut Duri mampu memahami pengembangan pasar dan posisi daya saing dengan produk sejenis dari masing-masing UMKM anggotanya. Permasalahan yang juga terjadi di Kabupaten Kendal adalah ketidakmampuan UMKM untuk mengembangkan usahanya. Penyebab utama disebabkan oleh jangkauan pemasaran yang tidak berkembang dan ini dialami oleh sebagian besar pengusaha. Ditambah lagi perkembangan volume produksi dan profit yang tidak dialami oleh seluruh pengusaha. Kendala lain adalah tidak meratanya bantuan alat yang diberikan Pemda untuk UMKM di kedua OVOP. Sehingga aset peralatan yang dimiliki sebagian besar pengusaha konstan dan masih menggunakan peralatan manual. Sebaliknya, tidak ada kendala bagi pengusaha untuk mengakses input produksi, meskipun dipasok dari dalam desa, luar desa, dan luar kota.

Dari fakta yang terjadi di lapangan, menunjukan bahwa hambataan dalam pelaksanaan OVOP masih terjadi di kalangan Pemda, Koperasi, dan UMKM. Program OVOP kurang dimaknai filosofinya oleh Pemda setempat sehingga dalam beberapa tindakan mengharuskan Dinas Koperasi Provinsi yang turun tangan sendiri. Koordinasi juga kurang efektif dan kurang terjalin dengan baik

(6)

diantara pelaku, sehingga tindak lanjut dari ketidakmampuan UMKM untuk memperluas jangkauan pemasaran tidakterealisasi.

5.1.4 Kabupaten Grobogan

Dukungan Pemda dalam program OVOP hanya berupa program dengan sasaran UMKM OVOP, dukungan berupa aturan dan kebijakan untuk mengarahkan pelaksanaan OVOP tidak dikeluarkan oleh Pemda setempat. Bentuk koordinasi sudah dijalin antara Pemda dengan SKPD lain dan pelaku usaha tanpa melibatkan perguruan tinggi. Bentuk perhatian Pemda melalui pelaksanaan

monitoring tidak dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Grobogan. Sehingga

Pemda mengalami kecolongan dibeberapa hal. Dari kedua OVOP yang telah ditunjuk, hanya satu yang masih berjalan dan bertahan, yakni OVOP makanan khas. Akan tetapi tetap saja, dalam pelaksanaan OVOP tersebut masih banyak kendala disetiap pelaku.

Koperasi OVOP makanan khas tidak mampu mengembangkan usahanya walaupun sudah menjadi bagian dari OVOP. Kemampuan yang dimiliki oleh Koperasi adalah memberikan pelayanan khusus bagi anggota yang tergabung OVOP dan menjalin koordinasi yang baik melalui RAT maupun dengan Pemda. Sedangkan kendala yang dihadapi kelompok adalah untuk memahami posisi daya saing dengan produk sejenis, akibat kurangnya atau terbatasnya akses informasi pasar dari produk sejenis. Sehingga kelompok tidak mampu menjadi sumber informasi bagi UMKM anggotanya. Berbeda dengan pemahaman mengenai

(7)

pengembangan pasar, kelompok memahami dengan betul potensi dan rencana pengembangan produk yang dihasilkan.

Berbeda dengan UMKM lain, UMKM OVOP makanan khas sebagian besar mampu mengembangkan usahanya baik dari segi jangkauan pemasaran, volume produksi, serta profit yang diperoleh. Hambatan mengenai ketersediaan dan pemennuhan input produksi juga tidak dalami seluruh pengusaha. Hanya saja dalam penerimaan bantuan peralatan masih terjadi ketimpangan diantara para pengusaha. Sebagian besar dari pengusaha emping jagung mampu mengembangkan aset peralatannya dengan menggunakan alat mesin atas usaha sendiri dan tidak bergantung pada bantuan Pemda. Dari berbagai hambatan yang terjadi di Kabupaten Grobogan, dapat disimpulkan bahwa diantara pelaku tidak ada keterbukaan, koordinasi, usaha, dan saling kontrol diantara pelaku untuk bersama-sama mengkonsultasikan hambatan dan ketimpangan yang terjadi dengan pelaku lain agar mendapat solusi bersama.

5.1.5 Kota Semarang

Kinerja dari Pemda Kota Semarang yang ditunjukan dengan program pendukung OVOP, koordinasi dengan semua pihak yakni SKPD lain, pelaku usaha, dan perguruan tinggi, serta upaya monitoring semuanya telah dilaksanakan. Hanya saja aturan/kebijakan yang sebagai acuan tidak kunjung dikeluarkan.

Monitoring sudah baik dilakukan kepada UMKM, tidak diimbangi monitoring

yang baik kepada Koperasi OVOP Kota Semarang. Koperasi OVOP yang berjalan hanyalah Koperasi OVOP Bandeng yang mampu mengembangkan usaha dan

(8)

mampu menyediakan pelayanan khusus bagi anggota yang tergabung OVOP. Akan tetapi koordinasi antara Koperasi dengan anggota (RAT) dan Pemda tidak terjalin. Tentu saja ini menjadi hambatan yang besar untuk pelaksanaan OVOP, mengingat peran Koperasi yang juga sebagai pihak yang memediasi antara Pemda dan UMKM OVOP.

Kinerja yang baik telah ditunjukan oleh kedua Kelompok OVOP karena telah memahami pengembangan pasar dan posisi daya saing dengan produk sejenis. Hingga didapati kendala yang dialami UMKM yakni dalam mengembangkan usahanya, terutama dalam memperluas jangkauan pemasaran produk yang telah dihasilkan. Begitu juga dengan peningkatan volume usaha dan profit juga belum terjadi pada seluruh pengusaha. Kendala tidak terjadi dalam ketersediaan input produksi bagi usaha mereka meskipun didatangkan dari daerah yang berbeda-beda. Bantuan alat dari pemda setempat juga telah dirasakan sebagian besar pengusaha. Meskipun jenis alat yang diberikan berbeda, kepada OVOP Bandeng masih dengan alat manual, sedangkan kepada OVOP Batik sudah menggunakan mesin.

Monitoring Pemda berarti belum efektif, mengingat pengakuan Pemda

bahwa monitoring dilakukan dengan mendatangi paguyuban-paguyuban. Tetapi ternyata UMKM masih saja kesulitan untuk memperluas jangkauan pemasarannya. Pembahasan dan tindak lanjut Pemda untuk membantu perluasan jangkauan pemasaran sangat dibutuhkan daripada hanya mendatangi UMKM.

(9)

5.1.6 Kota Salatiga

Pelaksanaan program OVOP di Kota Salatiga sedikit mengalami miss

communication antara Pemda dengan Dinas Koperasi Provinsi mengenai

penetapan produk OVOP tahun 2012, yakni makanan khas. Akibat ketidakjelasan ini, pelaku-pelaku yang termasuk dalam OVOP makanan khas seperti Koperasi dan UMKM tidak mengetahui mengenai program ini atau dengan kata lain sosialisi program juga tidak tuntas dilaksanakan oleh Pemda Kota Salatiga. Kejadian ini dapat terjadi juga karena tidak ada arahan atau acuan jelas dari Pemda setempat melalui aturan/kebijakan yang dikeluarkan. Selama ini Pemda mendukung OVOP melalui program yang ditujukan untuk perkembangan UMKM OVOP. Pelaksanaan OVOP oleh Pemda tidak terlepas dari pelibatan SKPD lain, pelaku usaha, dan perguruan tinggi. Bentuk monitoring Pemda juga ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan pameran untuk mengekspos dan memperkenalkan produk kepada masyarakat luas.

Koperasi yang telah ditunjuk sebagai wadah OVOP telah melakukan bentuk-bentuk pelayanan untuk anggota khusus OVOP, dan menyelenggarakan koordinasi rutin dengan Pemda dengan frekuensi tiga bulan sekali. Hanya saja pelaksanaan RAT sebagai ukuran Koperasi yang “sehat” tidak dilaksanakan. Kemampuan lain yang dimiliki Koperasi adalah menunjukan eksistensinya melalui perkembangan usaha Koperasi. Keberadaan Kelompok juga membantu UMKM untuk selalu mengikuti persaingan di pasar yang lebih luas. Kelompok mengikuti dan memahami pengembangan pasar dan posisi daya saing dengan produk sejenis. Hambatan yang ditemui adalah kapasitas produksi yang rendah

(10)

akibat skill pekerja yang rendah dan jangkaun pemasaran yang tidak berkembang. Sedangkan hambatan bagi UMKM sendiri adalah pada perkembangan usaha dan ketersediaan bahan baku yang mengalami kesulitan. Sedangkan untuk perkembangan aset yang juga dibantu dari Pemda, diterima secara merata oleh seluruh pengusaha.

5.1.7 Implementasi OVOP di Eks Karesidenan Semarang

Secara keseluruhan, pelaksanaan atau implementasi OVOP di Eks Karesidenan Semarang belum berjalan maksimal bagi setiap pelakunya. Makna

top down yang melekat pada program OVOP khususnya di Eks Karesidenan

Semarang, belum menyadarkan Pemerintah Daerah bahwa mereka sebagai pelaku kunci dalam pelaksanaan program ini. Pemda belum memiliki kesadaran akan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program OVOP. Terbukti pelaksanaan OVOP disetiap Kabupaten/Kota yang masih kabur, akibat tidak adanya aturan atau kebijakan yang dikeluarkan Pemda setempat yang berguna sebagai dasar dan acuan. Selain itu juga masih kurangnya kesadaran Pemda untuk melibatkan perguruan tinggi untuk ikut serta melakukan pendampingan dan melakukan research and development bagi UMKM OVOP sebagai upaya untuk mencapai progress ekonomi yang maksimal. Pembinaan Pemda melalui pelatihan dan pemberian fasilitas kurang diimbangi dengan “pendampingan” terhadap para pelaku yang ada dibawahnya. Disamping itu sebagian Pemda masih terkesan meremehkan upaya monitoring, alhasil penerapannya juga masih banyak kesemrawutan dan ketimpangan.

(11)

Koperasi wadah OVOP seharusnya koperasi yang sudah benar-benar mapan. Fakta yang mencuat dari lapangan sebagian besar koperasi yang dipilih merupakan Koperasi yang tidak sehat karena tidak ada manajemen yang baik, dimana penilaiannya dari tidak adanya pelaksanaan RAT yang diselenggarakan Koperasi. Selain itu juga masih ada OVOP yang berjalan meskipun tidak terdapat Koperasi, tentu saja hal ini menyimpang dari aturan OVOP.

Pengusaha yang tergabung dalam OVOP di eks karesidenan Semarang sebenarnya memiliki semangat untuk menjalankan usahanya. Hal yang belum mereka miliki adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mengembangkan usahanya. Minimnya layanan informasi pasar (dari Kelompok) dan pengarahan dari Pemda maupun Kelompok OVOP menjadi beberapa contoh penyebabnya. Tetapi belum ada aksi nyata yang dilakukan untuk memecahkan dan mencari solusi untuk hambatan ini. Apalagi OVOP di wilayah ini sudah 2 tahun dilakukan, seharusnya tahun pertama pelaksanaan menjadi tahun pembelajaran dan evaluasi untuk kedepannya, tetapi bukan semakin baik pelaksanaannya bahkan ada OVOP yang mandeg. Buruknya koordinasi antar pelaku adalah jawaban dari ketidakpahaman antara satu dengan yang lain mengenai hambatan yang sedang dialami. Disinilah sebuah koordinasi sangatlah penting untuk dilakukan, karena kesepahaman antara Pemda, Koperasi, Kelompok OVOP, dan UMKM mampu mendorong percepatan pengembangan usaha agar mampu mencapai kesejahteraan yang dicita-citakan.

Selain itu, kesimpulan yang dapat ditarik lainnya adalah kriteria yang paling cenderung dipenuhi ialah pada produk OVOP Ikan Asap, Bunga Krisan,

(12)

Jambu Getas Merah, dan Bandeng Cabut Duri, tetapi sebagian besar dari OVOP tersebut masih mengalami kerugian dalam usaha mereka. Hal ini mengindikasikan pengimplementasian dan tujuan yang terkandung dalam OVOP belum terealisasikan secara maksimal dalam memberikan nilai tambah pada produk yang telah diolah. Sehingga produk yang mampu mendekati atau memenuhi kriteria-kriteria OVOP belum menjamin keberhasilan usaha dalam meningkatkan nilai jual produk.

5.2 Usulan Kebijakan

Selama ini yang tercermin dalam “pembinaan” OVOP di eks Karesidenan Semarang cenderung pada penyuluhan. Dimana Pemerintah Daerah turun ke lapangan, mensosialisasikan program kemudian melepaskan UMKM untuk melakukannya sendiri dan menganggap program telah berhasil. Namun yang diharapkan adalah kontrol, peran, dan pendampingan Pemda untuk setiap langkah penerapan OVOP, mengingat program ini adalah top bottom dimana Pemda sebagai penggerak utama. Hambatan yang paling sering terjadi di setiap Kota/Kabupaten terletak pengembangan UMKM. Semestinya masing-masing Pemda harus mengevaluasi ulang hal apa yang sebenarnya perlu ditingkatkan.

Program pemberian bantuan peralatan dari masing-masing Pemda, seharusnya melakukan observasi di UMKM OVOP terlebih dahulu untuk mengetahui apa yang paling dibutuhkan UMKM. Sehingga peralatan yang dibagikan nantinya mampu memberikan keefektifan bagi UMKM dalam proses produksinya. Selanjutnya Pemda harus tetap mendampingi dalam memasarkan

(13)

produk dengan membuka jalur pemasaran. Salah satu caranya dengan bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyediakan pasar bagi produk OVOP.

Didukung dengan promosi atau pengenalan OVOP dan Produknya ke masyarakat luas yang seharusnya gencar dilaksanakan melalui media sosial, media masa, dan lainnya. Agar masyarakat mengenal, mencintai, dan menggunakan produk-produk made in Indonesia. Sehingga produk-produk yang “berlabel OVOP” juga mampu merealisasikan nilai jual yang tinggi.Sebagai kontrol Pemda atas penerapan OVOP dilapangan, seharusnya dilakukan sosialisasi dan pendataan rutin, dimana tujuan lain dari tindakan ini agar terciptanya relasi dan koordinasi antar pelaku agar setiap hamabatan dapat diusulkan jalan keluarnya dan mampu di tangani secara tepat dan cepat oleh masing-masing Pemda.

5.3 Implikasi Teoritis

Pembangunan pedesaan dengan menggunakan pendekatan OVOP tidak berjalan efektif seperti OVOP dari Jepang, oleh karena gerakan program yang top

down yang hanya mengikuti rencana dari pemerintah pusat. Rencana dan

penindaklanjutan yang terkesan disamaratakan, tidak bisa menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang benar-benar penting. Filosofinya pun juga tidak dapat diterapkan, karena perbedaan orientasi pembangunannya. Pelaksanaan OVOP di Eks Semarang sama dengan OVOP versi Thailand (OTOP), seperti pada penelitian Denpaiboon dan Amatasawatdee (2012) dan Natsuda et.al (2011), bahwa pembangunan melalui OTOP berorientasi kepada produk barang bukan

(14)

SDM. Kerap kali yang ditemui pada OVOP di Eks Karesidenan Semarang adalah bantuan atau dukungan Pemerintah melalui bantuan alat. Sedangkan pendampingan dan pelatihan untuk pengembangan SDM masih dilakukan porsi yang minim, bahkan terkadang juga tidak memberikan sesuatu yang baru pada pengusaha.

Implementasi OVOP bagi koperasi menunjukan mayoritas dari kemampuan koperasi di Eks Karesidenan Semarang berfungsi untuk memediasi akses produksi. Sebagian kecil lainnya berfungsi untuk memediasi pada permodalan dan pemasaran. Tetapi tidak satupun yang ditemukan seperti pada Koperasi Mitra Tani Parahyangan Cianjur dari penelitian Yuliani (2012), yang menciptakan hubungan mutualisme dengan UMKM anggotanya. Koperasi menjadi sumber untuk memperoleh fasilitas produksi, membukakan akses pasar sekaligus menjadi pihak yang menjadi penjamin harga dengan buyer (swasta). Disisi lain Koperasi sangat membutuhkan petani dalam menyediakan berbagai jenis sayur mayur untuk memenuhi kebutuhan konsumen (swasta). Kondisi koperasi-koperasi di eks karesidenan Semarang sama dengan koperasi OVOP batik kayu di Yogyakarta dalam penelitian Eka (2013), yang berfokus pada satu/dua fungsi koperasi saja dan tidak mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah daerah atas permasalahan yang dihadapi. Sehingga pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengembangan potensi ekonomi rakyat yang bergantung pada keberadaan koperasi tidak dapat terlaksana.

Sehingga dapat dikatakan pengimplementasian terhadap prinsip-prinsip dalam OVOP belum sepenuhnya terealisasi. Hasil dari Eks Karesidenan Semarang

(15)

juga sangat cocok dengan hasil penelitian dari Triharini, dkk (2014) yaitu tentang implentasi OVOP di Plered Purwakarta. Dimana produk yang dihasilkan belum mencapai pada pemasaran pada tingkat internasional (global), kemandirian dan kreatifitas sudah ada yang dilakukan sebagian pengusaha melalui pemanfaatan SDA dan SDM, dan pada pengembangan SDM belum dapat dilaksanakan secara baik dan menyeluruh. Dapat diduga OVOP-OVOP dari daerah lain (Provinsi Jawa Tengah) pasti juga mengalami maju mundur yang sama dengan OVOP yang ada di Eks Karesidenan Semarang.

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang Perwakilan Koperasi hanya boleh menyertai satu Mesyuarat Agung Negeri sahaja dalam tahun diadakan Mesyuarat Agung Negeri dan jika Perwakilan Koperasi itu juga adalah

Pemilihan alat peraga dapat mempengaruhi tujuan pengajaran yang akan dicapai apakah alat peraga tersebut mampu meningkatkan pemahaman siswa tentang mata pelajaran matematika

[r]

Prosedur peningkatan hak guna bangunan menjadi Hak Milik untuk rumah tinggal di Kantor Pertanahan Kota Semarang adalah sebagai berikut : (1) Pemohon mengajukan permohonan

Jawaban ketiga ini menyebabkan tujuan pendidikan sejarah tidak diarahkan untuk menguasai kompetensi atau kemampuan yang dianggap penting hanya oleh ilmu sejarah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan buruknya kepribadian anak-anak yang dapat menimbulkan kemerosotan moral pada anak-anak, di antaranya: (1) Kurang tertanamnya nilai-nilai

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara parsial variabel kualitas produk berpengaruh terhadap keputusan pembelian hand sanitizer Dettol pada mahasiswa Universitas

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan