• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Daerah Resapan Dan Desain Artificial Recharge Daerah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Daerah Resapan Dan Desain Artificial Recharge Daerah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Daerah Resapan Dan Desain Artificial Recharge Daerah Jatinangor,

Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat

Ahmad Egi Pratama Hanif1, Ari Virdiansyah Putra1, Faisal Helmi2, dan Sapari Dwi Hadian3

1

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran 2

Laboratorium Geologi Dinamik 3

Laboratorium Geologi Lingkungan dan Hidrogeologi Universitas Padjadjaran

ahmadegipratamahanif@yahoo.com; faisal.helmi@unpad.ac.id; sapari@unpad.ac.id

Abstrak

Jatinangor merupakan kota yang berkembang dengan sangat cepat. Sehingga kebutuhan akan air bersih terus bertambah, dan akibatya air tanah juga semakin banyak diambil. Untuk memastikan bahwa kondisi air tanah bisa tetap lestari, fasilitas artificial

recharge bisa dibangun untuk mengimbangi penambahan konsumsi pada air tanah.

Penelitian pada daerah resapan dilakukan untuk mengetahui kondisinya.

Pertama-tama CAT ditentukan berdasarkan data geolistrik. Selanjutnya menentukan daerah resapan yang akan diteliti lebih lanjut. Setelah mengetahui daerah resapan, penentuan daerah sasaran dilakukan dengan meneliti tiga parameter utama yaitu nilai Fault and Fracture Density (FFD), nilai laju infiltrasi, dan tingkat pelapukan. Berdasarkan parameter tersebut dan juga kondisi lapangan, maka metode artificial recharge yang paling sesuai adalah bendungan kecil pada sungai intermittent. Dengan daerah artificial recharge seluas 209.000 m2, bendungan kecil ini dapat menampung 525 m3 air run off dengan intensitas maksimum hujan yang dapat ditampung efektif sebesar 59,44 mm/jam. Penambahan volume air resapan oleh struktur ini mencapai 65.000 m3 pertahunnya atau sekitar seperempat konsumsi air UNPAD tiap tahunnya.

Kata Kunci : Daerah Resapan, FFD, Pelapukan, Laju Infiltrasi, dan Artificial Aquifer

Recharge.

1. Pendahuluan

Daerah penelitian terletak di Jatinangor, berada di batas antara Bandung dan Sumedang. Lebihspesifiklagi daerah penelitian ada pada Daerah AM ran Sungai Cileles dandifokuskan padadaerah resapan. Jatingor berubah dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan yang memiliki penduduk yang padat dalam waktu yang singkat. Hal ini terutama disebabkan karena pengaruh pern bang u nan Perguruan Tinggi di daerah tersebut dan kemudian diikuti oleh kedatangan mahasiswa dalam jumlah besar. Hasilnya kondisi ekonomi berkembang pesat da n Jatinangor turnbuh dengan sangat cepat.

Suplai air bersih menjadi permasalahan karena kebutuhan akan air bersih terus

meningkat. Penyedia air utama adalah PDAM dan sumber utama air bersih adalah air tanah. Sehingga pengambilan air tanah semakin besar, sedangkan di sisi lain area terbuka (yang memungkinkan untuk infiltrasi dan resapan air) semakin sedikit akibat pembangunan.

Apabila hal ini terus berlanjut, pada masa mendatang masalah kelangkaan air tanah akan muncul akibat pengambilan yang berlebih dan kurangnya resapan. Penambangan air tanah akan terjadi apabila pengambilan lebih besar dibandingkan resapan (Fetter, 2006). Untuk mencegah hal ini, penelitian di daerah resapan dibutuhkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi daerah resapan dan juga

(2)

mendesain struktur artificial aquifer recharge yang praktis untuk meningkatkan jumlah resapan air tanah.

2. Metode Penelitian

Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kodisi daerah penelitian. Pengambilan data primer dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan secara langsung. Kondisi geologi dan hidrogeologi daerah lapangan diteliti dan dibuat peta. Cekungan air tanah ditentukan menggunakan data geolistrik. Peta hidrogeologi berdasarkan data geolistrik dibuat untuk menentukan lapisan akuifer dan non akuifer pada setiap kedalaman tertentu. Pada tiap lembar peta, arah aliran air tanah ditentukan berdasarkan nilai tahanan jenisnya. Batas lateral cekungan air tanah kemudian ditentukan dari tiap lembar peta untuk mengetahui batas lateral CAT. Untuk mengetahui kondisi cekungan secara vertical dibuat penampang hidrogeologi dari data geolistrik tersebut. Setelah mengetahui sebaran atau batas-batas cekungan, kemudian daerah resapan ditentukan.

Soengkono (1999) telah menunjukkan bahwa penyebaran reservoir geothermal Te Kopia sangat dipengaruhi oleh kekar dan sesar yang bisa dipetakan dari ekspresi permukaannya (foto udara atau citra satelit). Hal ini bisa diaplikasikan untuk akuifer air tanah terutama untuk mengidentifikasi akuifer yang terpengaruh kuat oleh struktur sehingga memiliki porositas dan permeabilitas yang lebih baik dibandingkan yang tidak terkena struktur. Penelititan lebih lanjut dilakukan dengan cara menghitung nilai Fault and Fracture Density (FFD) berdasarkan citra DEM. Untuk mendapatkan hasil maksimal digunakan 8 sudut pencahayaan. Nilai FFDnya kemudian dihitung dan dibuat peta. Pengambilan data FFD di lapangan dilakukan, dan hasilnya juga dibuat peta. Kedua peta itu kemudian dibandingkan. Pengambilan data laju infiltrasi di lapangan dilakukan dengan metode double rings falling head infiltrometer. Hasilnya

diolah menjadi peta laju infiltrasi. Data terakhir yaitu berupa data pelapukan dari data stasiun pengamatan geologi yang sudah diambil sebelumnya. Dari ketiga data ini kemudian dioverlay dan ditentukan daerah sasaran artificial recharge dan metode yang sesuai dengan kondisi geologi, hidrogeolgi dan lapangan yang ada. Desain artificial aquifer recharge dibuat berdasarkan kondisi lapangan, kapasitas dan efektifitasnya pun dihitung.

Gambar 1. Pengambilan data FFD di lapangan menggunakan grid satu meter persegi

Gambar 2. Double rings falling head infiltrometer yang digunakan untuk menghitung laju infiltrasi 3. Hasil Penelitian

Daerah penelititan memiliki kemiringan lereng curam di bagian utara dan melandai ke arah selatan. Bila dilihat dari morfologi gunung api, daerah penelitian dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu proximal, medial, dan distal. Daerah penelitian terdiri dari lima unit stratigrafi, yaitu satuan breksi jatuhan piroklastik 2, satuan breksi sisipan lava, satuan breksi jatuhan piroklastik 1, satuan aglomerat, satuan breksi aliran piroklastik.

(3)

Berdasarkan data muka air tanah yang terdapat pada sumur-sumur gali, dibuat peta isofreatik atau peta kontur muka air tanah. Dari data ini kemudian diolah lagi menjadi peta aliran air tanah. Aliran air tanah di daerah penelitian umumnya mengalir relatif dari utara ke selatan. Berdasarkan data geolistrik Saputra (2013), peneliti membuat peta hirdogeologi daerah penelitian yang terdiri dari akifer, akiklud dan akikrak.

Gambar 3. Peta aliran air tanah dangkal untuk daerah penelitian tanpa skala

Gambar 4. Peta hidrogeologi berdasarkan data geolistrik

Untuk bisa mengetahui cekungan air tanah diperlukan data bawah permukaan. Berdasarkan data geolistrik dari penelitian Saputra (2013), dibuat peta hidrogeologi untuk tiap kedalaman. Kemudian batas-batas cekungan dibatas-batasi menurut kondisi

cekungan menurut Neumann, Cauchy, dan Dirichlet. Berikut hasil cekungan air tanah setelah dibatasi secara lateral untuk tiap kedalaman. Dari hasil batas-batas tersebut kemudian dibuat peta cekungan air tanah. Pada bagian tengah CAT terdapat beberapa daerah non-CAT Hal ini karena pada bagian ini tersuun atas akuiklud yang bersifat menghalangi aliran airtanah sehingga tidak dimasukkan ke dalam CAT.

Gambar 5. Peta Cekungan Air Tanah Jatinangor Bila dilihat dari arah aliran air tanahnya, daerah recharge merupakan daerah dengan arah aliran airtanah yang menyebar/divergen, sedangkan untuk daerah discharge merupakan daerah dengan alirana air tanah yang mengumpul/konvergen (Fetter, 2001). Dilihat dari arah aliran air tanahnya, maka daerah recharge dan discharge untuk jatinangor seperti pada Peta aliran airtanah dibawah ini :

Gambar 6. Daerah recharge (hijau) dan discharge (kuning) berdasarkan aliran airtanah

(4)

Gambar 7. Daerah recharge dan discharge dilihat dari penampang geolistrik dan aliran airtanah.

Untuk air tanah dangkal, recharge terjadi karena air dapat masuk atau menginfiltrasi dari permukaan ke dalam akuier. Sehingga daerah recharge merupakan daerah dengan batuan permeabel yang tersingkap di permukaan dan terhubung dengan akuifer di bawahnya. Sehingga kita bisa lebih spesifik lagi untuk menentukan daerah resapan yaitu hanya berupa daerah yang memiliki batuan permeabel yang tersingkap di permukaan.

Untuk menentukan daerah sasaran artificial recharge dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menghitung nilai FFD dari citra DEM. Untuk memastikan bahwa nilai dari citra ini valid, maka dilakukan pengukuran FFD di lapangan menggunakan grid atau kotak seluas satumeter persegi. Dari hasil pengukuran FFD lapangan, hasilnya dibuat peta FFD. Peta FFD dari citra DEM dan dari hasil pengukuran lapangan, dibandingkan untuk memvalidasi nilai FFD dari citra satelit. Setelah dibandingkan, ternyata hasilnya relative sama. Hal ini bisa dilihat pada hasil plotting peta FFD dari lineasi DEM dan dari hail lapangan yang dioverlaykan pada model 3 dimensi topografi daerah penelitian. Perhatikan daerah pada lingkaran hitam memiliki nilai FFD yang relative tinggi pada kedua peta. Sedangkan daerah disekitarnya memiliki nilai yang sedang.

Pengukuran nilai laju infiltrasi dilakukan ada 4 titik yang merepresentasikan nilai FFD tinggi dan nilai FFD rendah. Hasilnya kemudian dibuat peta laju infiltrasi. Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh pelapukan terhadap infiltrasi, digunakan beberapa parameter untuk membandingkan kondisi pelapukan daerah penelitian satu dengan lainnya. Pertama dibuat perkiraan ketebalan tanah atau hasil lapukan batuan, dan kemudian dibuat peta ketebalan tanah. Tingkat pelapukan dan ketebalan soil serta keberadaan retakan sangat mempengaruhi laju infiltrasi di permukaan tanah atau batuan. Semakin tebal tutupan soil dan semakin banyak retakan di lokasi pengukuran maka laju infiltrasinya cenderung semakin besar. Namun, perlu diperhatikan bahwa tanah hasil lapukan yang dijumpai di keempat lokasi menunjukkan karakteristik yang kering dan bergerombol membentuk butir-butir seukuran kerikil. Kategori lapukannya juga bukan merupakan tanah organik, karena masih berwarna coklat kemerahan dan sedikit mengandung material organik (sisa akar tanaman).

Gambar 8. Model 3D topografi dengan overlay peta FFD dari DEM dan Lapangan serta overlay

(5)

Gambar 9. Peta laju infiltrasi daerah penelitian 4. Analisis

Berdasarkan data-data kondisi lapangan di daerah penelitian dilakukan analisis untuk menentukan daerah sasaran artificial recharge dan juga metode-metode yang bisa digunakan untuk tiap daerah. Daerah yang memenuhi syarat untuk artificial recharge adalah daerah yang masih termasuk kedalam DAS (agar terdapat suplai air untuk artificial recharge), daerah yang masih terhubung atau terdapat akuifer sasaran di dalamnya baik di permukaan atau bawah permukaan.

Sedangkan sifat-sifat lain yang mendukung yaitu daerah dengan nilai infiltrasi yang tinggi sehingga mudah untuk meresapkan air tanpa harus melakukan pengupasan/ membuang lapisan impermeable di permukaan, memiliki suplai air yang memadai dan airnya memiliki kualitas yang sesuai dengan metode artificial recharge yang akan digunakan di daerah tersebut, dll. Berdasarkan hal tersebut, maka ada beberapa pilihan untuk metode artificial recharge daerah penelitian. Berikut lokasi-lokasi sasaran untuk artificial recharge :

Gambar 10. Daerah-daerah sasaran artificial recharge

Gambar 11. Model 3 dimensi topografi Daerah 3 Terdapat 4 daerah sasaran artificial recharge seperti gambar di atas. Masing-masing daerah memiliki karakterisitik tersendiri, sehingga metode artificial recharge yang sesuai juga berbeda.

Daerah 1: Metode artificial recharge yang disarankan bisa berupa metode vegetative terutama untuk lahan yang masih jarang tananmannya, atau bisa juga menggunakan metode biopori. Pada daerah ini tidak disarankan untuk menggunakan sumur artificial yang dalam karena mulai dari kedalaman 25 meter terdapat batuan impermeable yang bersifat sebagai pengahalang aliran air tanah, yang meyebabkan aliran air tanah cenderung berbelok ke arah timur. Namun, studi lebih

(6)

detail bisa dilakukan bila tetap ingin menggunakan sumur resapan dalam.

Daerah 2 : Metode yang disarankan adalah metode sumur resapan dangkal (terutama untuk daerah pemukiman) atau sumur resapan dalam, cekungan/kolam resapan, biopori, atau parit resapan (padajaluraliran sungai intermittent).

Daerah 3: Metode artificial recharge yang disarankan adalah parit resapan, bendungan kecil, kolan/cekungan resapan.

Daerah 4 : Untuk daerah ini tidak disarankan untuk menggunakan metode biopori karena tanah/batuan yang tersingkap di permukaan bersifat plastis sehingga bila menyerap air akan berkurang daya dukungnya dan bisa menyebabkan kerusakan infrastuktur atau bangunan. Metode artificial recharge yang disarankan berupa sumur resapan dangkal, karena dengan metode ini air akan langsung meresap ke dalam akuifer tanpa harus meresap ke lapisan batuan di permukaan yang bersifat plastis tadi.

Berdasarkan data FFD dan laju infiltrasi, daerah yang paling potensial untuk artificial recharge adalah daerah 3, karena memiliki kekar-kekar yang berpotensi menaikkan porositas batuan (sehingga lebih baik untuk infiltrasi) dan juga memiliki laju infiltrasi paling tinggi. Daerah yang berpotensi ini tepatnya terletak pada elevasi 800 hingga 900 meter diatas permukaan air laut. Pengamatan lebih lanjut untuk daerah ini diperlukan sebelum melakukan perancangan atau pemilihan metode artificial recharge yang paling sesuai. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah keadaan topografi daerah sasaran tersebut. Pengolahan data sekunder dan survei lapangan telah dilakukan untuk mengetahui kondisi daerah ini.

Bila dilihat dari sudut pandang fungsional dan kepraktisan. Maka bendungan kecil atau spillway structure paling sesuai untuk daerah sarsaran, yaitu untuk daerah B khususnya. Keputusan ini dipertimbangkan melihat beberapa hal.

Pertama kondisi topografi yang mendukung yaitu lereng curam, lembah sempit dan memanjang, ditambah lagi sudah tedapat parit alami yang cukup dalam (0,5 - 2 m). Kedua sumber air untuk artificial recharge. Di daerah sasaran tidak terdapat aliran air permukaan (sungai) yang konstan, sehingga sumber utama air yang mungkin dimanfaatkan adalah air hujan yang nantinya menjadi run-off atau aliran sungai intermittent.

Ketiga dari segi kemudahan, pembuatan bendungan kecil sederhana sudah bisa menangkap dan menahan aliran sungai intermittent yang terjadi pada musim hujan. Aliran yang tertahan ini akan meresap sedikit demi sedikit ke dalam akuifer. Selain itu, konstruksinya sederhana dan mudah serta tidak memerlukan biaya yang besar. Dilihat dari sisi efektifitas, parit infiltrasi memiliki keunggulan dibanding kolam infiltrasi. Pada kolam infiltrasi air hanya menginfiltrasi dasar kolam saja. Pada parit infiltrasi, air tidak hanya menginfiltrasi dasar kolam saja tetapi juga dinding kanan dan kiri parit itu sendiri. Sehingga meski areanya lebih sempit tetapi bisa lebih efektif.

Desain untuk parit infiltrasi pun dibuat disesuaikan dengan kondisi lapangan. Model yang dibuat adalah bentuk bendungan kecil yang membendung parit-parit alami yang ada di daerah sasaran. Bendungan ini juga dilengakapi dengan spillway structure bila terjadi overload maka air akan melimpas dari bagian ini dengan lancar sehingga tidak merusak bendungan atau dinding parit. Tinggi bendungan dibuat rata-rata 1,5 meter dan lebarnya sekitar 0,6-1,5 meter. Tinggi dan lebar bendungan ini dibuat sesuai ukuran parit alami di lapangan.

Gambar 12. Desain bendungan kecil sebagai struktur artificial aquifer recharge

(7)

Untuk mengetahui jumlah air yang bisa diresapkan oleh struktur ini, maka kapasitas dan efektifitas dari struktur ini diperkirakan menggunakan data yang ada. Berdasarkan perhitungan matematis sederhana, kapasitas bendungan kecil ini adalah 525 m3, dengan intensitas hujan maksimum yang dapat ditampung efektif sebesar 59,44 mm/jam. Penambahan volume air resapan oleh struktur ini mencapai 65.000 m3 pertahunnya atau sekitar seperempat konsumsi air UNPAD tiaptahunnya.

Perlu diperhatikan bahwa perhitungan tersebut didasarkan pada daerah sasaran no 3 B, dengan panjang sekitar 350 meter dan luas 209.800 meter persegi. Total bedungan yang dibuat yaitu, sekitar 10 buah atau lebih dengan jarak antar bendungan sekitar 35 meter. Desain lebih mendetail diperlukan pengamatan lapangan lebih rinci serta data geoteknikyang mencukupi.

Perlu dieprhatikan bahwa terdapat beberapa metode artificial recharge lain selain bendungan untuk menangkap aliran intermittent, antara lain metode vegetasi, biopori, sumur resapan, kolam resapan, dll. Studi ini merupakan studi awal dari desain artificial recharge, bila desain ini akan diimplementasikan, maka perlu studi lebih lanjut terlebih dahulu terutama studi geoteknik untuk mengetahui pengaruh artificial recharge terhadap daya dukung lahan dan kestabilan tanah atau lereng. Daftar Pustaka

[1]. Boonstra J. and De Ridder, N.A. 1981. Numerical Modelling of Groundwater Basin-User Oriented Manual. Wageningen : International Institute for Land Reclamation and Improvement/I LRI.

[2]. Endarwin, dkk. 2013. Penentuan Nilai Ambang variability index (VI) serta nilain Intensitas Curah Hujan Optimal dalam Melakukan Estimasi Curah Hujan di Indonesia Menggunakn Metode Connective Stratiform Technique Hasil

Modifikasi (CSTm). Jurnal Meteorologi dan GeofisikaVol. 14 No. 1 Tahun 2013:19-24

[3]. Fetter, C.W. 2001. Applied Hydrogeology Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Johnson, A.I. 1963. A Field Method for measurement of Infiltration - General Groundwater Techniques, Geological Water-Supply Paper 1544-F USGS. Washington : United States Government Printing Office. [4]. Kresic, Neven. 2009. Groundwater

Resources-Sustainability,

Management and Restoration. New York: The McGraw Hill Companies, Inc. Mardiana,

[5]. Undang dkk. 2013. Sistem Akifer Pada Batuan Vulkanik di Lingkungan Kampus UNPAD Jatinangor, Sumedang Jawa Barat. Jurnal Geologi Lingkungan.

[6]. Puradimaja, Deny Juanda. 2004. Diktat Kuliah Hidrogeologi Umum. Fakultas llmu Kebumian dan Teknologi Mineral, ITB, Bandung. [7]. Puradimaja, Deny Juanda. 2006.

Hidrogeologi Kawasan Gunung Api dan Karst di Indonesia. Bandung: Balai Pertemuan llmiah ITB.

[8]. Saputra, Muhammad M. 2013. Zona Akuifer Airtanah di KAwasan Kampus Unversitas Padjadjaran Jatinangor dan Sekitarnya Berdasarkan Nilai Tahanan Jenis

Batuan, Skripsi tidak

dipublikasikan. Jatinangor, FakultasTeknik Geologi Universitas Padjadjaran.

[9]. Silitonga, PH. 1973. Peta Geologi Lembar Bandung, Djawa - Skala 1 : 100.000. Bandung : Direktorat Geologi.

[10]. Soengkono, Supri. 2000. Assessment Of Faults And Fractures At The Mokai Geothermal Field,Taupo Volcanic Zone, New Zealand. Proceedings World geothermal Congress 2000, Kyushu;page 1771-1776.

(8)

[11]. Soengkono, S. (1999). Te Kopia geothermal system (New Zealand) - The relationship between its

structure and extent. Geothermics, Vol. 28, no. 6, pp. 767-784.

Gambar

Gambar 2. Double rings falling head infiltrometer  yang digunakan untuk menghitung laju infiltrasi
Gambar 3.  Peta aliran air tanah dangkal untuk  daerah penelitian tanpa skala
Gambar 7. Daerah recharge dan discharge dilihat  dari penampang geolistrik dan aliran airtanah
Gambar 9. Peta laju infiltrasi daerah penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Aktinomiset endofit telah dapat diisolasi dari beberapa tanaman yang biasa digunakan sebagai obat darah tinggi yaitu pegagan dan belimbing wuluh (Sari 2011).

Pembiayaan pengelolaan drainase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dibebankan kepada pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah kota, Badan Usaha

Bahwa selama Terdakwa meninggalkan dinas tanpa ijin yang sah dari Komandan Kesatuan atau Pejabat lain yang berwenang Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam

Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan pada peserta didik kelas X SMA Negeri 1 Lappariaja tahun ajaran 2013/2014

Pada penelitian penentuan jenis kemasan tersebut, maka kemasan yang dipilih adalah kemasan botol kaca dengan melakukan modifikasi proses pembuatan produk

Jathilan Turonggo Kedhung Mataram mampu menjadi sarana sosial bagi pemuda sebagai media pergaulan untuk menjalin keakraban ataupun rasa kekeluargaan baik sesama pemuda

“Sebagai orang yang lama bergelut dalam masalah transmigrasi saya sangat bangga melihat perkembangan warga trans asal Purworejo sudah berhasil,” ungkap Woro.. Kata Woro,

nilai signifikan untuk pengaruh Lingkungan Kampus dan Pembelajaran Kewiraushaan secara simultan (bersama) terhadap Keinginan Berwirausaha pada Mahasiswa adalah sebesar F