• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan rakyat merupakan hutan yang dibangun di atas tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan sebagai sumberdaya alam yang mengandung nilai ekonomi cukup tinggi (Mindawati et al., 2006).

Menurut Simon (1999) praktek usaha tani masyarakat yang menyerupai kehutanan masyarakat telah berkembang sejak awal abad ke-20 dengan adanya pekarangan di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, atau talun di Jawa Barat. Sampai dengan sekarang, hutan rakyat di Jawa telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pada tahun 2008, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura (BPKH) melansir luas total potensi hutan rakyat di Jawa dengan interpretasi citra adalah sebesar 2,6 juta Ha dengan taksiran potensi kayu total sebesar 74,8 juta m3 (Anonim, 2008). Pada tahun 2010, Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) melansir luas hutan rakyat di Jawa-Madura telah mencapai luasan 2,80 juta ha dengan potensi standing stock sebesar 97,97 juta m3 (Nugroho, 2010). Dalam harian Pos Sore tanggal 21 April 2014, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS PS) melansir luas hutan rakyat di Jawa saat ini sebesar 2,7 juta Ha yang berpotensi

(2)

2

menghasilkan 78,7 juta m3. Dari data tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan luasan hutan rakyat di pulau Jawa. Adanya penurunan luas dan potensi hutan rakyat di tahun 2014 diduga akibat perbedaan sumber data.

Pada umumnya petani (pemilik lahan) tidak hanya mengusahakan satu jenis komoditi saja dalam berusaha tani tetapi pada saat yang sama dan dalam sebidang hamparan lahan milik, yang bersangkutan menanam lebih dari satu komoditi (Awang et al., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat tidak hanya memiliki keuntungan secara ekonomi namun juga memberikan kelestarian lingkungan. Dari sisi ekologis, hutan rakyat telah mampu menciptakan sumber-sumber mata air baru untuk daerah pegunungan ataupun di daerah dengan lahan-lahan kritis (Awang et al., 2001). Lebih lanjut, pola hutan rakyat campuran yang dilakukan secara terus menerus selain dapat mengurangi erosi juga dapat memperbaiki kesuburan tanah dan memelihara keseimbangan ekologi (Mindawati et al., 2006).

Dari sisi sosial, keberadaan hutan rakyat turut memberikan peranan yang besar. Aspek sosial yang paling menonjol adalah sisi penyediaan lapangan kerja, tingkat kesejahteraan petani hutan rakyat, interaksi dan hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya hutan dan lahan (Trison dan Hero, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat memiliki peluang dan potensi yang sangat besar dalam memajukan industri kehutanan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki kualitas lahan, dan menjaga kesuburan tanah serta tata air (antaranews.com, 2014).

(3)

3

Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 sebagai payung hukum kehutanan di Indonesia mengakui keberadaan hutan rakyat (Anonim, 1999). Dalam UU tersebut, pengelolaan kawasan hutan pada umumnya hanya merujuk pada aspek perencanaan, perizinan dan perlindungan hutan yang sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah dan karenanya sangat sulit diakses oleh masyarakat (Taridala & Adijaya, 2002). Sedangkan aturan mengenai aspek pengelolaan di hutan rakyat tidak dibahas secara jelas.

Kebijakan yang pertama kali diterapkan oleh pemerintah terhadap hutan rakyat adalah kebijakan tentang penatausahaan hasil di hutan hak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 51/Menhut-II/2006 jo P. 62/Menhut-II/2006 jo P. 33/Menhut-II/2007 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan P. 30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal Dari Hutan Hak. Dalam peraturan tersebut, pemerintah mengesahkan kayu yang dipanen, diangkut dan diperdagangkan adalah berasal dari hutan hak

Dunia internasional juga mengembangkan skema sertifikasi pengelolaan hutan lestari yang juga mencakup dan mengatur tentang aspek legalitas kayu di hutan rakyat. Sertifikasi hutan pada awalnya dikembangkan untuk mengatasi masalah deforestasi dan degradasi hutan serta untuk mempromosikan pemeliharaan keanekaragaman hayati, khususnya di negara-negara tropis (Rametsteiner dan Simula, 2003). Pada perkembangannya, sertifikasi ini digunakan sebagai sistem pasar yang didorong oleh non-pemerintahan (non state

(4)

4

market-driven) yang berbasis sukarela untuk mempromosikan penggunaan sumber daya hutan secara bijaksana untuk menanggapi ketidakefektifan pendekatan dari pemerintah dalam hal konservasi hutan dan pengelolaan hutan secara lestari (Maryudi, 2009).

Sertifikasi hutan di dunia pertama kali muncul oleh Forest Stewardship Council (FSC) di tahun 1993 (Cashore & Stone, 2012). Salah satu program dari FSC yang diperuntukkan bagi pemegang hutan hak adalah SLIMF (Small and Low Intensity Managed Forest) pada tahun 2002 (Maryudi, 2009). Di Indonesia sendiri, skema sertifikasi sukarela berbasis pasar juga dikembangkan oleh LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) mulai tahun 2001. Skema PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari) ini diperuntukkan bagi pemegang hutan hak. Kedua skema tersebut didesain untuk membuat sertifikasi hutan lebih mudah diakses oleh masyarakat dan atau petani hutan rakyat (Maryudi, 2009). Hal ini disebabkan standar pengelolaan hutan dalam SLIMF (FSC) dan PHBML (LEI) yang relatif lebih sederhana dibandingkan dengan standar untuk pengelolaan hutan dengan skala besar.

Pemerintah Indonesia juga mengembangkan skema verifikasi legalitas kayu mulai tahun 2009 dengan nama Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Peraturan mengenai SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 38/Menhut-II/2009 jo. P. 68/Menhut-II/2011 jo. P. 45/Menhut-II/2012 jo. P. 42/Menhut-II/2013 jo P. 43/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Sistem ini

(5)

5

merupakan akar kerangka awal monitoring dan verifikasi terhadap kayu, termasuk Tata Usaha Kayu yang telah berganti nama menjadi Penatausahaan Hasil Hutan (Obidzinski et al., 2014). Pada perkembangannya, Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 dengan perubahannya tersebut kemudian direvisi dengan Permenhut No. P. 95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Permenhut P. 43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak.

Dalam proses sertifikasi ini, semua pemegang ijin pengelolaan hutan dan industri pengolahan kayu baik skala besar maupun kecil diwajibkan (mandatory) mendapatkan sertifikasi SVLK agar dapat melaksanakan transaksi kayu bulat ataupun produk olahan kayu (Kementerian Kehutanan, 2014c). Dalam hal proses operasional, SVLK mirip dengan sertifikasi hutan sukarela yang berbasis pasar (Obidzinski et al., 2014). SVLK dipandang sebagai pendekatan hybrid, yang menggabungkan pendekatan sertifikasi kayu berbasis pasar dengan kerangka legalitas dari negara (Obidzinski et al., 2014).

Di Kabupaten Gunungkidul, keempat skema sertifikasi tersebut ada dan diterapkan. Adanya skema sertifikasi non-pemerintah berupa PHBML (LEI) atau SLIMF (FSC) dan skema sertifikasi pemerintah berupa SVLK yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, juga ditambah dengan skema penatausahaan hasil hutan dari hutan hak (SKAU) dalam satu tempat diduga dapat menyebabkan kebingungan di masyarakat tingkat petani hutan rakyat dalam proses legalitas kayu miliknya. Hal tersebut dapat berakibat adanya perbedaan dalam hal tingkat

(6)

6

pengetahuan dan pengelolaan di hutan rakyat baik di daerah dengan skema sertifikasi hutan lestari dari pemerintah maupun non-pemerintah.

Dalam skala internasional, terdapat kasus adanya kebijakan sertifikasi hutan dan kebijakan pemerintah terjadi di negara Costa Rica, Guatemala dan Nicaragua yang mengakibatkan kegagalan perubahan perilaku pemilik dan kondisi hutan. Untuk mengatasinya, diperlukan sumber daya yang cukup, kemampuan untuk dapat mengeksekusi kebijakan, dan juga memerlukan aturan inovatif untuk mempromosikan, memverifikasi dan menegakkan kebijakan (McGinley & Cubbage, 2011). Penelitian ini berusaha menguraikan masalah adanya dampak berbagai kebijakan terkait legalitas kayu yang berada di dalam satu luasan wilayah hutan dan pengaruhnya terhadap petani hutan rakyat.

1.2. Permasalahan Penelitian

Hutan rakyat di Indonesia memiliki berbagai manfaat positif bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial maupun segi ekologi. Hutan rakyat di beberapa desa di Kab. Gunungkidul telah mendapat Sertifikat SLIMF (FSC), dan PHBML (LEI), sementara itu Kementerian Kehutanan juga mewajibkan sertifikat SVLK untuk hutan hak. Masyarakat juga masih menggunakan dokumen Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) untuk pengangkutan kayu.

Adanya sertifikasi hutan rakyat diduga dapat membantu kejelasan status lahan, menguatkan posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan kapasitas/kemampuan pengelolaan mereka. Akan tetapi dengan adanya berbagai kebijakan legalitas kayu tersebut dapat menimbulkan kebingungan bagi petani

(7)

7

hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah, bagaimana dampak berbagai kebijakan legalitas kayu terhadap tingkat pengetahuan masyarakat, bagaimana dampak berbagai kebijakan legalitas kayu terhadap praktek pengelolaan hutan rakyat di lapangan, dan bagaimana dampak berbagai kebijakan legalitas kayu terhadap keunggulan kompetitif dari berbagai produk kayu hutan rakyat bersertifikasi di Kabupaten Gunungkidul.

1.3. Tujuan Penelitian

Dari hasil perumusan masalah yang disebutkan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dampak berbagai kebijakan terkait legalitas kayu terhadap tingkat pengetahuan petani hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul

2. Untuk mengetahui dampak berbagai kebijakan legalitas kayu terhadap praktek pengelolaan hutan rakyat terkait di Kabupaten Gunungkidul

3. Untuk mengetahui dampak berbagai kebijakan terkait legalitas kayu terhadap keunggulan kompetitif kayu rakyat dari di Kabupaten Gunungkidul.

1.4. Manfaat Penelitian

(8)

8

1. Dapat memberikan pemahaman tentang kondisi kebijakan legalitas kayu di Kabupaten Gunungkidul

2. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah maupun pusat dalam membuat keputusan terhadap pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul pada khususnya maupun hutan rakyat di Indonesia pada umumnya.

1.5. Pembatasan Masalah

Ruang lingkup dalam penelitian tentang kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat ini sangat luas, sehingga perlu dilakukan pengerucutan dalam pembatasan masalah. Karena berbagai keterbatasan maka penelitian ini berfokus pada dampak berbagai kebijakan terkait legalitas dalam hal tingkat pengetahuan, praktek pengelolaan kayu dan keunggulan kompetitif kayu di hutan rakyat. Penelitian ini berfokus di Kabupaten Gunungkidul. Hal ini disebabkan kondisi di Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu sentra hutan rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.6. Keaslian Penelitian

Kajian yang berkaitan dengan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul baik dari segi pengelolaan, kelembagaan maupun terkait sertifikasi pengelolaan hutan lestari telah banyak dijumpai. Tabel 1.1. menyaajikan beberapa penelitian terkait hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul.

(9)

9 Lanjutan...

Tabel 1.1. Beberapa hasil penelitian terkait dengan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Lingkup Penelitian

Peneliti Metode Hasil Penelitian

Pengelolaan 1. Silalahi,Sabam B. 2005 2. Purwowidiyanto, Aris. 2011 3. Yudha, Firman Dermawan. 2012 4. Suprihadhi, Adhi. 2012 5. Widadi, Agung. 2012 Deskriptif, K-Independent Test Deskriptif kualitatif Survey Survey inventarisasi hutan GIS

Pengaturan tanaman berperan nyata terhadap pendapatan petani

Pengelolaan hutan rakyat sertifikasi belum cukup sederhana

Pengelolaan menggunakan silvikultur tradisional Adanya penerapan asas kelestarian pada kegiatan pengelolaan hutan Pembuatan geodatabase sebaran dan potensi hutan rakyat Kelembagaan 1. Purwowidiyanto, Aris. 2011 2. Suprihadhi, Adhi. 2012 Deskriptif kualitatif Survey inventarisasi hutan

Kapasitas lembaga UMHR Wana Lestari masih lemah Pengembangan KUD Bima menjadi unit manajemen HTR

Pemasaran Yudha, Firman

Dermawan. 2012 Survey

Pemasaran kayu umumnya langsung ke pedagang pengumpul dalam keadaan pohon berdiri. Silvikultur 1. Lewerissa, Ebedly. 2010 2. Gustiani, Andi. 2012 Kuantitatif dan kualitatif Kuantitatif dan kualitatif

Produksi tanaman pangan dipengaruhi oleh luas tajuk pohon, intensitas cahaya dan kelembaban

Nilai indeks komposisi tertinggi terjadi pada pekarangan

(10)

10 Sertifikasi 1. Yudha, Firman

Dermawan. 2012 2. Syofi’i, Achmad. 2014 Survey Kualitatif dan kuantitatif Sertifikasi memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat

Harga kayu sertifikasi mengalami kenaikan

Penelitian “Dampak Berbagai Kebijakan Legalitas Kayu Terhadap Petani Hutan Rakyat Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta” yang dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian pada tabel 1.1.Hal ini dapat dijelaskan melalui 3 (tiga) pilar utama suatu penelitian ilmiah meliputi fokus, lokasi dan metode penelitian.

Fokus penelitian : Kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat Lokasi penelitian : Desa Semoyo, Kecamatan Patuk,

Desa Karangsari, Kecamatan Semin, Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang

Metode Penelitian : Metode Silang Sekat (cross sectional method) Berdasarkan hasil pengamatan memang ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Yudha (2012) yang membandingkan antara hutan rakyat yang bersertifikasi dan hutan rakyat yang belum bersertifikasi, akan tetapi dalam penelitian ini terdapat perbedaan dalam fokus, lokasi dan metode penelitian. Dalam penelitian Yudha (2012), fokus penelitian membandingkan kedua hutan rakyat dalam bentuk pengelolaan, sosial ekonomi

(11)

11

dan kelembagaannya. Penelitian ini menggali dampak kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat terhadap tingkat pengetahuan, kegiatan pengelolaan dan keunggulan kompetitif produk kayu di hutan rakyat. Lokasi penelitian Yudha (2012) dilakukan di daerah bersertifikasi pengelolaan hutan lestari di Kabupaten Gunungkidul dan daerah belum bersertifikasi hutan lestari di Kabupaten Cianjur. Lokasi dalam penelitian ini adalah daerah di Kabupaten Gunungkidul, namun memiliki kriteria sudah bersertifikasi hutan lestari, sedang dalam proses pensertifikasian, dan belum sama sekali memiliki sertifikasi hutan lestari. Metode penelitian yang digunakan oleh Yudha (2012) adalah metode survey, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode silang sekat.

Penelitian ini masih dapat dilaksanakan, sehingga keaslian penelitian “Dampak Berbagai Kebijakan Legalitas Kayu Terhadap Petani Hutan Rakyat Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta” masih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

1.7. Kerangka Pikir Penelitian Gambar 1.1. menunjukkan kerangka pikir penelitian.

Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian

HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN (PHBML, SLIMF) SERTIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK, SKAU) PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KEUNGGULAN KOMPETITIF KAYU RAKYAT TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT DAMPAK KEBIJAKAN

(12)

12

Berbagai kebijakan terkait legalitas kayu berupa skema sertifikasi pengelolaan hutan (FSC, LEI) dan skema sertifikasi legalitas kayu (SVLK, SKAU) diterapkan pada hutan rakyat di beberapa desa di Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah ada dampak yang ditimbulkan terkait berbagai kebijakan legalitas kayu terhadap tingkat pengetahuan petani hutan rakyat, dampak yang ditimbulkan terkait berbagai kebijakan legalitas kayu terhadap kegiatan pengelolaan di hutan rakyat dan dampak yang ditimbulkan terkait berbagai kebijakan legalitas kayu terhadap keunggulan kompetitif produk kayu hutan rakyat bersertifikasi.

Gambar

Tabel  1.1.  Beberapa  hasil  penelitian  terkait  dengan  hutan  rakyat  di  Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan Sistem Informasi Simpan Pinjam KPN IGTKI PGRI Pekanbaru berbasis web ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja KPN IGTKI PGRI Pekanbaru, karena

Prinsip kerja relay OCR adalah berdasarkan adanya arus lebih yang dirasakan relay, baik disebabkan adannya gangguan hubung singkat atau overload (beban lebih)

Sedangkan kontrol (tanpa jamur, hanya menggunakan aquades steril), bertujuan untuk menentukan mortalitas terkoreksi.. masing perlakuan menggunakan 10 ekor serangga dewasa

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik perilaku komunikasi nonverbal guru peserta PPGSD di laboratorium microteaching. Penelitian ini

Rowley (1998) menyatakan bahwa fokus sistem informasi (manajemen) perpustakaan adalah untuk mendukung layanan secara efektif bagi pengguna, manajemen pengadaannya,

Berdasarkan parameter tinggi genangan, luas genangan, lama genangan, dan frekuensi genangan pada tahun 2015 dari 19 titik lokasi yang terjadi genangan oleh air

Pengaruh perlakuan deoperlukasi benih dan media perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren ( Arenga pinnata (Wurmb) Merr).. Parameter Pengujian Vigor Benih dari