• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: Pengaruh Globalisasi, Anomali Budaya, Kearifan Lokal, Nusantara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: Pengaruh Globalisasi, Anomali Budaya, Kearifan Lokal, Nusantara"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

37

MENANGKAL PENGARUH GLOBALISASI DAN ANOMALI BUDAYA

MELALUI KEARIFAN LOKAL NUSANTARA OLEH : LALU PRIMA W PUTRA

Abstrak

Perubahan akan selalu terjadi disetiap hal apalagi dengan perkembangan globalisasi di era sekarnag ini sperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Tentu ini juga dapat mempengaruhi pada perubahan sikap dan perilaku yang tidak seimbang. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk menangkal pengaruh Globalisasi dan Anomal budaya melalui Kearifan Lokal Nusantara. Dalam artikel ini penulis membahas tiga pergeseran pendekatan antara lain; 1) pendekatan yang bersifat sentralistik menjadi lebih desentralistik 2)kekuatan dan dominasi pemerintah diimbangi oleh peran masyarakat juga semakin menonjol 3) mobilisasi masyarakat dalam pembangunan menjadi partisipasi masyarakat. Yang menjadi pembahasan ini pada tulisan ini ialah penjelasa tentang apa itu Gobalisasi dan Liberalisasi, Kearifan Lokal, bagaimana pengaruh arus baru tanatangan liberalsasi terhadap kearifan lokal itu sendiri dan bagaimana kearifan lokal itu menjadi benteng kearifan masyarakat Sasak itu sendiri.

Kata kunci: Pengaruh Globalisasi, Anomali Budaya, Kearifan Lokal, Nusantara

I. Pendahuluan

Globalisasi sebenarnya hanya sebuah istilah yang muncul sekitar 20 tahun yang lalu. Sebagai sebuah istilah boleh dikatakan baru. Namun sebagai sebuah proses dan tujuan, globalisasi telah muncul berabad-abad. Proses dan tujuan yang dimaksud adalah sebuah rencana bersama untuk dicapai. Bermula dengan para pemikir-pemikir awal yang ditandai dengan mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Seiring dengan itu, globalisasi kemudian menjadi sebuah ideologi yang sering kali dikaitkan dengan perubahan corak kehidupan sosial kemasyarakatan dari yang paling dasar, yakni kebebasan memilih prinsip hidup yang didasari oleh keyakinan dan norma. Kemudian selanjutnya ditopang oleh ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Fenomena ini telah dialami oleh hampir sebagian besar Negara di dunia yang berimpikan Negara serba cepat. Demikian juga yang terjadi di Indonesia.

Dekade terakhir, Indonesia juga mengalami perubahan iklim pengetahuan dan tekhnologi yang sangat pesat. Cara berfikir juga semakin meluas, rumpun ilmu terus bercabang, teknologi menjadikan manusia Indonesia mandiri dalam proses persaingan yang relatif cepat.

Perubahan ini memberi kemudahan yang baik bagi Indonesia dalam proses persaingan dunia di berbagai aspek. Sisi lain, fenomena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia juga mengalami perubahan pada sikap dan perilaku yang tidak seimbang. Hal ini ditandai dengan nilai-nilai di masyarakat sebagai pengontrol, penyaring antara baik dan buruk jarang lagi menjadi pegangan. Baik nilai universal maupun nilai-nilai kelokalan pada setiap kelompok masyarakat. Prinsip dasar kehidupan pada setiap kelompok masyarakat ini yang disebut dengan karifan lokal. Apakah kearifan tersebut dimaksimalkan dalam proses

(2)

38

persaingan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi atau tidak, hal ini dibahas dalam makalah ini.

Indonesia perlu dilihat dari cara pandang secara umum. Bahwa ada penulis melihat ada pergeseran paradigma pembangunan masyarakat. Pergeseran ini berpengaruh pada pendekatan pelaksanaan pembangunan sosial. Paling tidak penulis melihat ada beberapa pergeseran pendekatan yang menarik untuk dibahas.

Pertama, pendekatan yang bersifat sentralistik menjadi lebih desentralistik. Dimana pembagian kewenangan atau otoritas daerah untuk tidak lagi bergantung pada pusat, walaupun tidak pada semua aspek. Pada aspek ilmu pegetahuan, tekhnologi, dan ditopang oleh kearifan lokal masing-masing, setiap daerah di Nusantara justru seharusnya mandiri dalam pembangunan. Sebab akses secara pengetahuan dan teknologi mendorong setiap kelompok masyarakat untuk melihat tantangan sendiri dan pola penyelesaiannya.

Kedua, kekuatan dan dominasi pemerintah diimbangi oleh peran masyarakat juga semakin menonjol. Justru perkembangan ini melalui proses kemandirian dari masyarakat lokal. Pada akhirnya juga menopang kemajuan secara menyeluruh yang bersifat beragam pada aspek nilai-nilai kelokalan. Dari sini pula berawal kreatifitas dan inisiatif masyarakat dan mendukung tumbuh suburnya masyarakat madani.

Ketiga, mobilisasi masyarakat dalam pembangunan menjadi partisipasi masyarakat. Dengan adanya partisipasi masyarakat, mereka tidak lagi dipandang sebagai obyek pembangunan, melainkan menjadi subyek dalam proses pembangunan. Masyarakat dengan leluasa memunculkan ekspresi-ekspresi kelokan mereka dan tidak mesti bergantung pada cara pandang global yang sejatinya belum mampu menyentuh ranah kearifan lokal masyarakat Nusantara secara maksimal. Dari partisipasi masyarakat inilah rasa tanggung jawab bersama diharapkan muncul.

Dari pandangan diatas, penulis berpendapat dapat menangkal anomali kebudayaan. Yang dimaksud anomali kebudayaan adalah situasi dimana sebuah kebudayaan yang tercerabut dari akarnya, tidak memiliki kecirian yang khas serta tidak dikenali sebagai sebuah eksistensi sekelompok orang yang memilikinya.

Kaitanya dengan kebudayaan, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dari hasil CIPTA-KARSA-dan RASA manusia (Koentjaraningrat, 1992). Penulis berpendapat kebudayaan itu sendiri adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia melalui belajar dan adaptasi beserta keseluruhan dari hasil-hasil karyanya kecuali wahyu Tuhan. Produk akal pikiran manusia ini kemudian dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dari pengertian ini, seluruh kelompok masyarakat yang ada di Nusantara nampaknya hidup dengan produk kebudayaannya masing-masing. Produk ini dapat dilihat dari sistim Keyakinan, Sistim prilaku, Filsafat, Ilmu Pengetahuan, Politik, Tekhnologi, Bahasa, Kesenian. Justru Indonesia sendiri semestinya fokus pada kerangka pembangunan dengan menopang produk kebudayaan masyarakat lokal. Karena dengan itu ancaman global dapat disiasati. Namun pada intinya, masyarakat harus didorong untuk memahami ujung dari setiap produk kebudayaannya, yakni menjadi sikap dan prilaku sehari-hari pada setiap substansi kearifan lokal. Jika tidak demikian, semuanya hanya sekedar meng-globalisasikan kelokalan melalui formalitas dan eksistensi tanpa isi.

(3)

39 II. Globalisasi dan Liberalisasi

1. Globalisasi

Globalisasi adalah adalah sebuah proses terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi masyarakat yang berada diseluruh dunia bertujuan mengikuti sistem dan kaedah tertentu yang sama (Selo Soemardjan). Globalisasi juga bukan fenomena baru, suatu fenomena khusus dalam kehidupan manusia yang bergerak maju, lebih-lebih dari sudut pola kehidupan manusia global. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi menopang akselerasi proses globalisasi. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh diberbagai wilayah menuntut masyarakat Nusantara untu terus berupaya melakukan transformasi bentuk-bentuk kebudayaanya. Dari segi bahasa, masyarakat harus lebih cepat memahami komunikasi antar kelompok tanpa harus meninggalkan nilai-nilai lokal yang terkandungnya. Demikian juga dari segi teknologi. Masyarakat pertanian tradisi menuju kebudayaan industri dan perdagangan dengan system yang lebih mudah, cepat, dan praktis. Namun sekali tantangannya adalah proses transformasi nilai-nilai yang ada didalam produk kebudayaan tersebut. Semua itu menuntut harus berubah sesuai tantangan zamannya. Di tahap inilah, rumus transformasi itu dibutuhkan agar ketika terjadi perubahan bentuk kebudayaan, nilainya tetap kelokalan masayarakat tetap terjaga. Tahap ini terkadang juga sulit dicapai. Resikonya yang sering terjadi adalah perubahan besar terhadap tatanan nilai dan keadaan sosial masyarakat lokal, bahkan mengubah sifat dasar moralitas manusia. Seringkali terjebak pada kemudahan, pragmatis, dan melupakan keyakinan berdasarkan wahyu Tuhan. Sebagaimana landasan hirarki dalam sebuah sikap dan perilaku manusia Nusantara. Urutan hirarki menurut penulis sendiri, masyarakat Nusantara bersikap dilandasi oleh keyakinan kepada Tuhannya, keyakinan ini kemudian memengaruhi cara pandangnya dan berpengaruh pada norma-norma, hingga pada sikap dan perilaku.

2. Liberalisasi

Di kalangan para pemikir barat modern, liberalisme menempati posisi sentral dalam menjelaskan tujuan akhir individu dan pencarian manusia, terutama pencarian yang bersifat moralitas. Pemikir liberal percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan rasio dan logika untuk menentukan hal-hal yang benar dan baik. Secara umum liberalisme faham yang mencita-citakan suatu masyarakat yg bebas, dicirikan oleh kebebesan berfikir bagi para individu paham liberal menolak adanya pembatasan, khususnya oleh pemerintah dan agama. Dalam masyarakat moderen liberalisme tumbuh dalam sistem demokrasi karena sistim demokrasi sangat berdasarkan kebebasan dan suara mayoritas. Di Indonesia memang mengadopsi sistem kebebasan dan suara mayoritas. Namun prinsip ini diikat oleh prinsip keyakinan dan pancasila seingga tergolong pada definisi kebebasan yakni, terikat pada nilai, dan kebebasa yang dipertanggung jawabkan.

Berlin (2004) menjelaskan kebebasan atau liberal adalah keadaan dimana manusia dapat menentukan pilihannya sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak luar, termasuk pemerintah, dan penguasa. Penulis sendiri tidak sependapat dengan logika kebebasan yang didefinisikan oleh Berlin tersebut diatas. Justru manusia tidak bias menentukan pilihannya sendiri tanpa ada kekuatan lain di luar dari dirinya. Contoh, ketika hendak lahir, manusia tidak punya pilihan di bumi mana ia harus dilahirkan, nama jenis apa yang dia ingin sematkan sebagai identitas. Dari sini, manusia justru dipengaruhi faktor lain di luar dirinya.

(4)

40

Pada perkembangan selanjutnya, manusia kemudian dikontrol oleh nilai-nilai alamia yang ada pada dirinya. Nilai ini seringkali disebut dengan nilai universal. Nilai universal ini juga tidak terikat oleh agama dan aturan formal sebagaimana yang berlaku dalam system Negara atau kelompok tertentu. Bahwa orang yang tidak percaya terhadap aturan agama atau sistem Negara sekalipun, pastilah tidak senang terhadap kebohongan/ketidakjujuran. Dan pastilah setiap orang senang terhadap cinta dan kasih sayang. Nilai-nilai ini sebetulnya telah melekat dalam dirinya dan tidak terikat oleh identitas apapun.

Pada masyarakat lokal, selain memiliki nilai universal juga mereka dihadapkan oleh nilai-nilai yang hasilkan oleh budayanya masing-masing. inilah yang melahirkan code of conduct tersebut. Ciri ini sangat melekat di masyarakat Nusantara, masyarakat yang beragam dengan nilai-nilai kelokalannya. Karena ini, liberalisasi maupun globalisasi terkesan rumit dan penuh pertimbangan untuk sampai masuk dalam sistem kelolakan yang telah menjadi prinsip hidup setiap individu dan masyarakat di Nusantara.

III. Kearifan Lokal

Kearifan lokal memiliki banyak variasi istilah. Ada yang menyebutnya inisiatif lokal, kecerdasan lokal, teknologi lokal, nilai lokal, dan budaya lokal. Dari berbagai variasi penamaan ini pada intinya kearifa lokal bermuara pada satu substansi makna yakni kondisi matang yang dimiliki seseorang atau kelompok orang. Kondisi matang ini kemudian menjadi modal melakukaan penemuan baru, inovasi, kreativitas, dan memuat sistem nilai, norma, perilaku, tindakan, dan makna-makan positif melahirkan perubahan sosial positif pula bagi kondisi bersama.

Kearifan sering kali dipersonifikasikan pada seseorang yang secara kepribadian dinilai matang, konsisten, rela berkorban, jujur, tidak menang sendiri, berkasih sayang sesama makhluk, dan memiliki wawasan yang luas. Ciri orang seperti ini biasa disebut orang arif (wise man). Pada kelompok masyarakat tertentu, ciri diatas akan menghasilkan koridor masyarakat yang teduh, damai, aman, saling menghargai, saling menyayangi, saling jujur, dll. Jika dalam suatu kelompok masyarakat tertentu di Nusantara dirasakan tidak ada perdamaian, penuh kekacauan, saling menjatuhkan, pribadi yang menipu, kerakusan, memanfaatkan kepentingan untuk sebagai keuntungan pribadi, ini menandakan kearifan lokal yang ada pada dirinya atau kelompoknya tidak menjadi sikap dan perilaku nyata.

Nilai-nilai ini pada dasarnya telah melakat pada diri setiap manusia yang kemudian disebut nilai universal dan sangat ilahiyah. Setiap orang pasti merasa tidak menyukai kebohongan, perlakuan kasar, dilecehkan, dan segala jenis tindakan yang mengancam buruk dirinya dan kelompoknya. Ini menandakan bahwa kearifan itu telah ada pada diri setiap manusia kemudian dituntut untuk menjadi sikap dan perilaku yang berdampak positif bagi lingkunganya (masyarakat dan alam sekitar). Jadi Kearifan Lokal pada intinya adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dari diri seseorang menuju sebuah komunitas berupa nilai-nilai yang mengatur keselarasan hubungan manusia dengan alam, dan keharmonisan hubungan dengan manusia, dan ketaqwaannya terhadap Allah SWT. Kesemuanya ini akan berdampak baik pada ketahanan sosial jika dimaksimalkan dalam sikap dan perilaku nyata.

(5)

41

Desa – Kala – Patra = Desa artinya Wilayah, Kala artinya Waktu, Patra Berarti Kondisi.

Maknanya bahwa dalam menerapkan adat istiadat suatu masyarakat terpaut dengan dimana wilayahnya, Kapan waktunya, Bagaimana Kondisinya.

Dalam Budaya Sasak di kenal ungkapan : lain tutuq lain jajag, lain gubug lain adat

Artinya :

Lain Tutuk lain Jajag ( Alat Tenun Tradisonal) /lain Kampung lain adatnya.

Maknanya bahwa setiap wilayah memiliki adat yang bebeda, sebagai bentuk keragaman yang harus dihormati oleh semua pihak. Semakna dengan ungkapan : Dimana Bumi di Pijak di sana Langit di Junjung. Dari sini pula posisi kearifan lokal itu.

Selain itu, di masyarakat Sasak juga seringkali dijumpai pernyataan sebagai berikut; Iye te gawe, iye te dait (apa yang dikerjakan akan ditemukan/dialaminya dikemudia hari). Pernyataan ini berangkat dari spirit tentang kebaikan dan kejelekan dalam melakukan sesuatu. Jika sikap dan perilaku itu melanggar aturan Allah SWT, suara hati, norma yang berlaku di masyarakat, maka masyarakat Sasak berkeyakinan akan dijumpainya dikemudian hari. Jika baik yang kerjakan, maka kebaikan pula ditemukan. Sebaliknya buruk yang dikerjakan, buruk pula yang ditemukan. Pesan ini mengandung kehati-hatian, ketelitian, dan prinsip yang biasanya ditemukan wujudnya pada sikap dan perilaku.

IV. Arus Baru Liberalisme dan Tantangan bagi Kearifan Lokal

Jika dilihat dari sejarah perkembangannya, paham liberal mulai digaungkan di ruang publik oleh barat modern. Pada fase ini orientasi pemikir liberal memiliki cita-cita untuk mengangkat individu menjadi pemilik dunia secara otonom dan membebaskan diri dari penghalang kebebasan individu untuk mengekspresikan sebagai manusia. Karenanya paham ini sangat diperlukan.

Tradisi berpifkir liberal yang diklasifikasikan oleh Julio Teehankee juga mengandung pengertian-pengertian yang pada dasarnya dibutuhkan oleh manusia, diantaranya;

1. Individualisme, mereka percaya bahwa pribadi adalah sesuatu yan sangat penting dan mengandung hal yang sangat penting. Oleh karena itu, ia arus diberikan ruang menggali dan mengekspresikan yang ada dalam dirinya kepada yang sebenarnya pemilik pribadi itu sendiri.

2. Rasionalisme, mereka percaya bahwa dunia memiliki struktur yang rasional yang dalam batas tertentu dapat dipahami secara logis.

3. Kebebabasan, yang terpenting abgi kaum liberal adalah kebebasan. Dimana dimaknai sebagai kemampuan untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan mata hati.

4. Tanggung Jawab, kebebasan tanpa tanggung jawab adalah keliaran, baik tanggung jawab kepada sosial maupun kepada Tuhan. Orang sering kali memahami liberalism sebagai liarisme. Justru tidak demikian. Liberalisme adalah kebebasan yang didasari oleh tanggung jawab.

5. Keadilan, mereka juga percaya bahwa keadilan adalah nilai moral yang harud dijunjung tinggi. Keadilan yang dimaknai pada kebanyakan orang bahwa, ia harus mengorbanan hak yang satu untuk membela yang lain, pandangan ini justru tidak tepat. Keadilan harusnya

(6)

42

memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk bersaing dan menggapai hak-haknya.

6. Toleransi, sikap menerima dan menghormati pada orang lain juga dibbutuhkan dalam kehidupan masyarakat lebih-lebih dalam masyarakat multicultural yang memiliki kearifan lokal masing-masing seperti di Nusantara. Justru poin ini menjadi modal dasar dalam kebersamaan dan kerukunan.

Tiga unsur diatas sangat dibutuhkan oleh manusia. Ketiganya pula harus diposisikan sebagai jalan. Jalan mengenal siapa manusia itu sesungguhnya.pada keluarannya, liberalisasi diyakinikan dapat mendorong dinamika pribadi masyarakat dalam mengolah sistem yang lebih mudah, dengan persamaan hak, peran, tanpa gap kelas-kelas sosial. Pada dasarnya liberalisme adalah sangat baik untuk memahami diri manusia. Para pencetus liberalisme sesungguhnya merangkai wacana tentang nilai-nilai yang diangganya ideal bagi waa manusia, mereka percaya tiap orang punya hak dasar tentang bebas, dan memiliki nilai-nilai moral yang bersifat universal/ilahiyah. John Rawl dalam karyanya tentang Fairness and Goodness menyinggung bahwa manusia sesungguhnya memiliki konsep hak yang sama dalam dirinya secara universal. Bahwa setiap orang pasti tidak senang dibongi, dilukai, dan disakiti.

Pada perkembanganya, justru kecenderungan liberalisasi mengabaikan keseimbangan, keselarasan dan keharmonisan serta bersifat eksplotatif. Hal ini terjadi karena ada upaya penyamaan antara liberalism dan neoliberasme. Pemikirannya dikembangkan oleh Friedrich von Hayek yang dikenal sebagai bapak Neoliberalisme. Pada fase selanjutnya dapat membangkitkan pasar bebeas abad 19 dan seterusnya. Prinsipnya adalah yang kuat memangsa yang lemah dengan kekuatan secara kapitalistik. Kearifan lokal pada kekinian justru terjebak pada fase ini. Semua akan dianggap bernilai manakala memiliki daya tawar secara ekonomi menanggalkan nilai-nilai moral yang berwujud pada sikap dan perilaku. Bertolak belaka dengan orientasi kearifan lokal yang seharusnya memperbaiki kehidupan masyarakat dari dalam yaitu mendengar suara hati dan pikiran sehat.

Pada praktek pasar misalnya, neoliberalisme dan liberalisme justru memiliki spirit yang berbeda. Mekanisme pasar pada praktek liberalisme dipakai untuk mengatur ekonomi Negara dan untuk kemakmuran umum, sedangkan neoliberalisme dipakai untuk mengatur kepentingan ekonomi global dan kemakmuran individu. Maka ketika kearifan lokal masuk dalam ranah neoliberalisme akan terjebak pada nilai untung rugi. Dengan pegangan nilai luhurnya yang bewujud pada sikap dan perilaku, kearifan lokal harus mampu mengatur pengaruh dari luar, dan menangkal diperuhi oleh pihak luar.

Namun ada kelebihannya, nilai kearifan lokal bersifat kontekstual, sifatnya terbatas dan melindungi komunitas dalam sekala kecil. Sejatinya menekankan kepada keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan. Tidak eksplotatif dengan pemanfaatan Sumberdaya Alam secara berkesinambungan. Kelemahannya lebih eksklusif, dinamika sosial rendah, sitem jaringan sosial lemah dan terbatas sehingga mudah untuk kuasai dan dipengaruhi.

V. Benteng Kearifan Masyarakat Sasak

Dalam menangkis arus globalisasi, masyarakat Sasak memiliki kesadaran sendiri sebagai makhluk sosial. Kesadaran ini seringkali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang digambarkan oleh Zuhdi (2018). Sikap itu antara lain;

(7)

43

Sikap sosial ii terdiri dari; (1) saling jot/perasak (sama-sama saling memberi atau mengantarkan makanan); (2) saling pesilaq (sama-sama saling undang untuk suatu hajatan keluarga); (3) saling belangarin (sma-sama saling layat jika ada kerabat/sahabat yang meninggal); (4) saling ayoin (sama-sama saling mengunjungi); (5) saling ajinan (sama-sama saling menghormati atau saling menghargai terhadap pebedaan, menghargai adanya kelebihan dan kekurangan yang dimilki oleh seseorang atau kelompok tertentu); (6) saling jangoq (sama-sama saling silaturrahmi, menjenguk jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah); (7) saling bait (sama-sama saling ambil-ambilan dalam adat perkawinan); (8) saling wales/bales (sama-sama saling balas silaturrahmi, kunjungan atau semu budi /kebaikan yang pernah terjadi karena kedekatan-persahabatan); (9) saling tembung/sapak (sama-sama saling tegur sapa jika bertemu atau bertatap muka antar seorang dengan orang lain dengan tidak membedakan suku atau agama); (10) saling saduq (sama-sama saling mempercayai dalam pergaulan dan persahabatan) terutama membangun peranakan Sasak Jati (persaudaraan Sasak sejati) di antara sesama sanak (saudara) Sasak dan antar orang Sasak dengan batur luah (non-Sasak); dan (11) saling ilingan/peringet (sama-sama saling mengingatkan satu (sama-sama lain antara seseorang (kerabat/ sahabat) dengan setulus hati demi kebaikan dalam menjamin persaudaraan/silaturahmi.

2. Bidang ekonomi perdagangan,

Pada bidang ini tercermin dalam kehdupan masyarakat Sasak, yaitu: (a) saling peliwat (suatu bentuk menolong seseorang yang sedang pailit atau jatuh rugi dalam usaha dagangannya; (b) saling liliq/gentiq (suatu bentuk menolong kawan dengan membantu membayar hutang tanggungan sahabat atau kawan, dengan tidak memberatkannya dalam bentuk bunga atau ikatan lainnya yang mengikat); dan (c) saling sangkul/sangkol/sangkon (saling menolong dengan memberikan bantuan material terhadap kawan yang sedang menerima musibah dalam usaha perdagangan).

3. Bidang Pertanian

Sikap masyarakat Sasak dalam bidang ini tercermin dari saling tulung (bentuk tolong menolong dalam membajak menggaru sawah ladang para petani); saling sero (saling tolong dalam menanami sawah ladang); saling saur alap (saling tolong dalam mengolah sawah ladang, seperti dalam hal ngekiskis/membersihkan rerumputan dengan alat potong kikis atau ngoma/ngome/ mencabuti rumput; dan besesiru/besiru, yaitu nilai kearifan lokal ini juga hampir sama dengan saling saur alap, yaitu pekerjaan gotong royong bekerja di sawah dari menanam bibit sampai panen.

VI. Rekomendasi

1. Kearifan lokal orang Sasak adalah mengandung spirit berserah diri kepada Allah, maka dalam menyikapinya dibutuhkkan hati yang bersih dari keserakahan, keegoisan, dan kesombongan diri sendiri, dan penyakit hati lainya. Sebab sifat ini yang dibangun dalam pengaruh globalisasi yang berupaya meruntuhkan nilai-nilai kearifan seperti kesederhanaan, kasih sayang, solidaritas dll.

2. Menjadikan nilai-nilai luhur dalam wujud sikap dan perilaku nyata.

3. Dibutuhkan sebuah wujud kongkrit pemerintah dari gerakan revolusi mental yang menghasilkan sebuah pribadi Bangsa Indonesia yang di dasarkan pada nilai budaya

(8)

44

PANCASILA dalam ke BHINEKA TUNGGAL IKA, untuk mewujudkan kedaulatan NKRI yang berpegang pada UUD’45.

VII. Daftar Pustaka

Berlin, Isiah. 1969. Empat Esai Kebebasan. Trans. A. Zaim Rofiqi. Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta.

Julio Teehankee. Equity and Justice in a Globalized World: A Liberal Review. Dalam Yunus. 2012. Pengaruh Paham Liberalisme dan Neoliberalisme terhadap pendidikan Islam. Jurnal: Vol. 8, No.1, April.

Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Zuhdi, MH. 2018. Kearifan Lokal Suku Sasak sebagai Model Pengelolaan Konflik di Masyarakat Lombok. Jurnal Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

Referensi

Dokumen terkait

Produsen 2 dengan modal Rp 20.600.00 dan hanya memproduksi dua jenis produk yakni kursi tamu dan kursi makan memiliki rasio omset penjualan terbesar yakni 1,40 berarti

Model mencari pasangan kartu Index card match, cukup menyenangkan dalam proses belajar mengajar dan mengulang pembelajaran yang telah diberikan sebelumnya oleh

Anak berkesulitan belajar umum secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis,

Tadi sudah disampaikan oleh pembicara yang tiga, saya setuju Pak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, masukan, kami setuju Pak, dengan

Dengan evaluasi parameter komponen lingkungan pada setiap kegiatan (prakonstruksi, konstruksi, pasca konstruksi) terhadap Baku Mutu Lingkungan Hidup dan

Tabel 1 merincikan persentase butiran sedimen per fraksi, dimana ditemukan bahwa pada daerah aliran sungai (stasiun 1-5) memiliki kandungan fraksi kerikil dan pasir sangat

Menurut Sukamto dan Shalahuddin (2013:70) berpendapat bahwa “Data Flow Diagram (DFD) atau dalam bahasa Indonesia menjadi Diagram Alir Data (DAD) adalah representasi

Untuk mengatasi hal tersebut telah diambil langkah kebijakan dengan mengoptimalkan fungsi tenaga yang ada dan dibantu penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada bidang lain