• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL SEKTOR INFORMAL (Studi Pedagang Kaki Lima di Jalan Hang Tuah Kota Tanjungpinang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL SEKTOR INFORMAL (Studi Pedagang Kaki Lima di Jalan Hang Tuah Kota Tanjungpinang)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Pedagang Kaki Lima di Jalan Hang Tuah Kota Tanjungpinang)

A. Latar Belakang

Di sebagian besar negara berkembang, sektor in-formal merupakan tumpuan hidup dari masyarakat mar-ginal di kota, karena sektor ini menyerap cukup banyak tenaga kerja (Richardson, 1984). Sebagai contoh di Amerika Latin, kira-kira 31 persen dari angkatan kerja di kota bekerja di sektor informal (Portes dan Schauffer, 1993:42). Sedangkan di Indonesia, pada tahun 1980 ada sekitar 80 persen dari angkatan kerja yang bekerja di sektor informal, kemudian turun menjadi 68,8 persen pada tahun 1985 dan pada akhirnya menjadi 63 persen pada tahun 1990 (Evers, 1994:260).

Aktivitas sektor informal mencakup berbagai sub-sektor, seperti: sub-sektor pertanian, pertambangan,

manufacture, listrik, konstruksi, perdagangan,

transpor-tasi, bank/keuangan dan lain-lainnya. Dari berbagai sub-sektor tersebut, sub-sub-sektor perdagangan adalah yang paling besar (BPS, 1990). Oleh karena itu, studi ini akan memfokuskan pada sub-sektor perdagangan, yakni Pedagang Kaki Lima. Pedagang Kaki Lima didefinisikan sebagai seseorang/kelompok orang yang berusaha sendiri dalam skala kecil dan hubungan antara majikan dengan pekerjanya bersifat personal.

Pedagang Kaki Lima di Kota Tanjungpinang dan juga di berbagai kota di negara berkembang merupakan fenomena keseharian yang bersifat kontroversial. Di satu sisi, pemegang otoritas kota sering bersifat tidak ramah pada mereka bahkan mengusir mereka dari tata ruang kota, tetapi di sisi lain mereka dijadikan sumber pendapatan bagi pemerintah kota melalui pungutan

retribusi dan dapat mengatasi permasalahan ketenaga-kerjaan di perkotaan. Keberadaan Pedagang Kaki Lima yang bersifat illegal dan tidak tertata sering dianggap sebagai sumber problema dalam tata ruang kota yang lebih berorientasi pada estetika. Namun demikian, persoalan Pedagang Kaki Lima tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena semakin hari jumlah mereka semakin bertambah banyak dan akan berakibat pada ter-ganggunya ruang gerak publik, terutama pejalan kaki. Sudah tentu, kebijakan kota untuk mengatasi Pedagang Kaki Lima harus berangkat dari karakteristik (profil) mereka, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang tepat. Apabila pemerintah kota, khususnya Pemko Tanjungpinang tidak memiliki informasi tentang profil Pedagang Kaki Lima, niscaya tidak dapat membuat kebijakan yang tepat. Untuk itu, diperlukan data dan informasi tentang karakteristik Pedagang Kaki Lima, seperti historis usaha mereka, motivasi memasuki sektor ini, dari mana mereka berasal, latar belakang pendidikan dan pengalaman, dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: Seperti apakah profil Pedagang Kaki Lima di Kota Tanjungpinang? Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun profil Pedagang Kaki Lima di Kota Tanjungpinang.

B. Tinjauan Pustaka

Sektor informal oleh Biro Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa Oleh:

Padang Rihim Siregar

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji

Abstract

Informal sector activities include various sectors. In this study will focus on the sub-sectors of trade, the Merchant Street Markets. The informal sector is defined as a small-scale business units that produce and distribute goods and services with the primary pur-pose of creating employment opportunities and income for themselves, even though they faced obstacles both physical capital and human resources

(2)

dengan tujuan utama menciptakan kesempatan kerja dan penghasilan bagi dirinya sendiri, meskipun mereka menghadapi kendala baik modal maupun sumberdaya fisik dan manusia (BPS dikutip oleh Sethuraman, 1981a:17). Di dalam literatur, konsep/pengertian sektor informal digunakan silih berganti dengan konsep aktivitas informal (informal activity), kesempatan kerja yang diciptakan sendiri (self employment), ekonomi bawah tanah (undeground economy), ekonomi pasar gelap (black market economy), ekonomi bayangan (shadow economy) dan kerja sampingan (casual work). Penggunaan istilah formal dan informal pada dasarnya untuk menggambarkan sifat dualistik sistem ekonomi perkotaan. Sifat dualistik sistem ekonomi perkotaan di banyak negara berkembang telah diakui sejak tahun 1950-an oleh para peneliti, seperti Boeke (1953), Geertz (1963), Hart (1970), ILO (1972), McGee (1973), dan Santos (1979). Boeke (1953) di dalam studinya tentang sistem ekonomi di Indonesia menggunakan terminologi ekonomi prekapitalis (precapitalistic economy) dan ekonomi kapitalis

(capi-talistic economy). Ekonomi prekapitalis ditenggarai

(ditandai) oleh usaha individual dengan dukungan modal yang kecil, tergantung pada unit lokal, belum menggu-nakan alat-alat mekanik, dan sistem transport dan jaringan yang masih tradisional. Sebaliknya sistem kapitalis ditandai oleh sifat usaha yang telah terorganisir dan didukung oleh modal yang besar, produksi bersifat massal, menggunakan teknologi yang tinggi, dan sistem transport yang modern.

Geertz (1953) dalam studinya mengenai sistem ekonomi di dua kota di Indonesia, yakni Mojokerto di Jawa Timur dan Tabanan di Bali, mengidentifikasi

adanya dua sistem ekonomi yang disebut sebagai tipe ekonomi bazaar (bazaar type economy) dan tipe ekonomi perusahaan (firm type economy). Ekonomi bazaar untuk menggambarkan sistem ekonomi yang tradisional, menggunakan metode padat modal, lebih berorientasi pada meminimumkan resiko daripada memaksimalkan keuntungan. Sedangkan ekonomi perusahaan bersifat rasional, padat modal, ditentukan oleh kekuatan pasar, dan terkadang menggantungkan pada berbagai peraturan pemerintah dalam beroperasi. Pada tahun 1970-an, Hart dalam studinya tentang masalah-masalah perkotaan di Ghana untuk pertama kali menggunakan dua terminologi yang dikenal dengan kesempatan memperoleh pendapatan dari sektor infor-mal dan forinfor-mal (inforinfor-mal and forinfor-mal income

opportuni-ties). Kesempatan memperoleh pendapatan dari sektor

informal untuk menggambarkan pendapatan yang diperoleh dari usahanya sendiri. Sedangkan usaha yang diperoleh dari gaji baik dari pemerintah maupun swasta dan dari tunjangan pensiun serta tunjangan peng-angguran disebut pendapatan formal.

Semenjak konsep sektor informal digunakan pertama kali dalam studi di Ghana oleh Hart (1973) kemudian konsep tersebut dipinjam oleh ILO/UNDP

(In-ternational Labour Organization/United Nations Devel-opment Programme) dalam laporannya tentang Employ-ment Mission to Kenya (ILO, 1972), konsep informal

tersebut mulai mendapat tempat yang penting dalam berbagai literatur studi pembangunan khususnya kebijakan yang berhubungan dengan tenaga kerja. Menurut ILO/UNDP (ILO, 1972) perbedaan antara sektor informal dan formal dapat dilihat sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik Sektor Informal dan Formal

(3)

McGee (1973) membedakan dua sistem produksi yang disebut sistem produksi petani (peasant system

of production) dan sistem produksi kapitalis (capitalist form of production). Sistem produksi petani ditandai oleh

usaha bersifat individual, menggunakan padat tenaga kerja, dan biasanya dimiliki oleh keluarga. Sebaliknya, sistem produksi kapitalis ditandai oleh tenaga kerja merupakan faktor komoditas untuk disewa/digaji oleh perusahaan yang sangat dipengaruhi oleh perubahan

skala organisasi, menggunakan metode mekanisasi, dan produk didasarkan pada permintaan pasar (McGee, 1973:137).

Santos (1979) dalam studinya tentang sistem ekonomi di negara-negara berkembang menggunakan dikotomi ekonomi sirkuit rendah (lower circuit) dan ekonomi sirkuit atas (upper circuit), yang masing-masing memiliki karakteristik seperti terlihat pada Tabel 2.

Weeks (1975) di dalam memahami perbedaan antara konsep sektor informal dan formal meletakkan pada perbedaan peranan pemerintah pada kedua sektor tersebut. Menurut Weeks (1975:3-4), sektor formal dapat terdiri dari aktivitas pemerintah dan usaha swasta yang secara formal diakui, dikembangkan dan diatur oleh pemerintah. Sektor tersebut juga ditandai dengan beroperasi dalam skala besar, padat modal dan tingkat upah yang tinggi. Sebaliknya, sektor informal beroperasi di luar peraturan pemerintah, tidak ada akses ke institusi kredit formal, dan tidak menggunakan teknologi luar. Sebagai konsekuensi, sektor informal beroperasi dalam skala kecil, padat tenaga kerja, berpendapatan rendah, dan pada umumnya dimiliki oleh pribumi (indigenous

ownership).

Mazumdar (1976:656) mendiskripsikan sektor infor-mal sebagai sektor yang tidak terproteksi/terlindungi

(unprotected) dan sektor formal sebagai sektor yang terproteksi (protected). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa:

Perbedaan yang mendasar diantara kedua sektor tersebut adalah pada ide bahwa kesempatan kerja di sektor formal dalam beberapa atau segala hal terproteksi, sehingga tingkat upah dan kondisi kerja di dalam sektor ini pada umumnya tidak tersedia bagi pencari kerja dalam pasar tenaga kerja, kecuali kalau mereka dapat mengatasi kendala untuk masuk ke dalam sektor ini. Proteksi tersebut dapat dilakukan oleh tindakan organisasi buruh, pemerintah atau kedua-duanya.

PREALC (1976) (Regional Employment for Latin

America and Caribean, organisasi di bawah ILO)

sebagaimana dikutip oleh Roberts (1990) berpendapat Tabel 2 Karakteristik Dua Sirkuit Ekonomi Kota di Negara-negara Berkembang

(4)

bahwa perbedaan diantara sektor formal dan informal terletak pada struktur dan peranan pemerintah. Sektor informal mencakup aktivitas yang tidak terorganisasi dan tidak diatur oleh pemerintah. Sektor ini juga tidak terdaftar dan berusaha menghindari pajak dan aturan-aturan hukum. Sedangkan sektor formal adalah sektor yang terproteksi, dan menerima kredit dari bank-bank dan lembaga formal.

Hidayat (1978a:8 dan 1978b:7) mengajukan sebelas karakteristik sektor informal sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha tidak terorganisir dengan baik. 2. Pada umumnya tidak memiliki izin usaha.

3. Aktivitas usahanya tidak teratur baik dalam arti tempat dan waktunya.

4. Pada umumnya kebijakan pemerintah tidak menyentuh sektor ini.

5. Pola usahanya dapat berubah dari sub-sektor satu ke sub-sektor yang lain.

6. Menggunakan teknologi sederhana.

7. Operasi usahanya dalam skala kecil karena modalnya relative kecil.

8. Pendidikan formal bukan syarat utama untuk menjalankan sektor ini, tetapi lebih mendasarkan pada pengalaman.

9. Aktifitas kerjanya dilakukan sendiri dan dibantu anggota keluarga yang tidak diupah.

10. Modal diperoleh dari tabungan pribadi atau institusi keuangan yang bukan formal.

11. Sebagian besar barang dan jasa yang diproduksi untuk kelompok masyarakat berpendapatan menengah.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, tidak mudah mendefinisikan karakteristik sektor informal karena setiap pakar memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat sektor informal di negara yang berbeda. Dalam studi ini, sektor informal didefinisikan sebagai unit usaha yang berskala kecil yang menghasilkan dan men-distribusikan barang dan jasa dengan tujuan utama untuk menciptakan kesempatan kerja dan penghasilan bagi dirinya sendiri. Selanjutnya dicoba untuk disusun kombinasi karakteristik sektor informal berdasarkan pendapat para pakar yang telah dibahas di atas, namun demikian tidak berarti bahwa karakteristik ini bersifat universal.

Adapun kombinasi karakteristik sektor informal adalah sebagai berikut:

1. Sektor informal mudah dimasuki (Boeke, 1953; ILO, 1972; Hidayat, 1978a dan 1978b).

2. Tidak memerlukan izin untuk beroperasi (PREALC, 1976 dalam Roberts, 1990; Hidayat, 1978a dan 1978b).

3. Menggunakan teknologi sederhana dan padat tenaga kerja (Geertz, 1963: ILO, 1972; McGee, 1973; Weeks, 1975; Hidayat, 1978a dan 1978b; Santos, 1979).

4. Tidak ada akses ke institusi keuangan formal (Weeks, 1975; PREALC, 1976 dalam Roberts, 1990; Hidayat, 1978a dan 1978b; Santos, 1979).

5. Beroperasi dalam skala kecil dan biasanya milik keluarga (Boeke, 1953; ILO, 1972; McGee, 1973; Weeks, 1975; Hidayat, 1978a dan 1978b; Santos, 1979).

6. Unit usaha yang tidak terorganisir (Geertz, 1963; Weeks, 1975; PREALC, 1976 dalam Roberts, 1990; Hidayat, 1978a dan 1978b; Santos, 1979).

7. Kesempatan kerja di sektor ini tidak terproteksi sebab tidak diatur oleh peraturan pemerintah (ILO, 1972; Weeks, 1975; Mazumbar, 1976; PREALC, 1976 dalam Roberts, 1990).

C. Metode Penelitian

Penyusunan profil ini didasarkan pada jawaban 50 orang responden PKL yang beroperasi mulai dari sore hari hingga malam hari di Jl Hang Tuah Kota Tanjung-pinang. Pengambilan sampel atau penentuan responden dilakukan dengan metode acak (random). Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka digunakan metode dokumentasi, wawancara dan kuesioner. Semua data yang terkumpul akan dianalisis dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang bersifat kuantitatif akan dianalisis dengan metode frekuensi dan persentase untuk mengetahui kecenderungannya. Sedangkan data yang bersifat kualitatif akan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Metode yang terakhir ini digunakan hanya untuk melengkapi metode pertama.

D. Hasil Penelitian

Terdapat 7 (tujuh) variabel penting yang dapat menggambarkan karakteristik Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Hang Tuah Kota Tanjungpinang, yaitu karakteristik personal, aktivitas PKL, historis PKL, kepemilikan PKL, masa depan PKL, komunitas PKL dan respon PKL terhadap kebijakan pemerintah.

1. Karakteristik Pedagang Kaki Lima

Apabila dilihat dari jenis kelamin PKL yang menjadi responden dalam penelitian ini, data menunjukan bahwa sebagian besar (70%) PKL berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan perempuan yang berdagang di sektor infor-mal ini hanya mencapai 30%.

(5)

berasal dari luar kota Tanjungpinang dan 20% berasal atau asli dari Kota Tanjungpinang. Dari data pendidikan terakhir responden PKL diketahui bahwa sekitar 44% PKL berpendidikan SLTP, diikuti dengan SLTA sebesar 36% dan SD sebesar 20%. Dengan demikian, dari ukuran central tendency modus memperlihatkan PKL mempunyai tingkat pendidikan yang tidak tinggi, yaitu SLTP dan diikuti dengan perimbangan kuantitas antara yang berpendidikan SD dan SLTA.

Berdasarkan survey diketahui bahwa tempat tinggal responden PKL mengikuti aktivitas pekerjaannya, yakni 100% dari mereka menyatakan tinggal di Kota Tanjungpinang. Modus lama tinggal di Kota Tanjung-pinang sebesar 44%, dengan kurun waktu lebih dari 6 tahun. Selebihnya, 24% responden PKL yang lama tinggalnya 4 – 6 tahun, 20% yang lama tinggalnya 1 – 3 tahun, dan 12% yang lama tinggalnya kurang dari 1 tahun. Karakteristik asal kota, lokasi tinggal dan lama waktu tinggal menunjukkan bahwa sebagian besar responden PKL berasal dari luar Kota Tanjungpinang dan tinggal di Kota Tanjungpinang dalam kurun waktu yang cukup lama (>6 tahun). Implikasi dari ekses karakteristik ini menunjukkan bahwa Tanjungpinang menjadi salah satu kota tujuan pendatang yang menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai PKL.

2. Aktivitas Pedagang Kaki Lima

Lokasi usaha para responden PKL berada di Jl Hang Tuah Kota Tanjungpinang, sehingga lokasi-lokasi usaha PKL di tempat lainnya tidak menjadi bagian dalam penelitian ini. Dilihat dari klasifikasi barang dagangan para responden PKL yang menjual makanan sebesar 94% dan sisanya 6% berwujud bukan makanan. Barang bukan makanan tersebut seperti, sandal, hiasan/asesori, mainan anak-anak dan lain sebagainya. Ditinjau dari jumlah jam operasi mereka untuk berjualan, semua responden PKL, yakni 100% menyatakan berjualan lebih dari 4 jam per hari dengan rincian, 58% PKL berjualan lebih dari 8 jam per hari dan 42% PKL berjualan antara 4-8 jam per hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa aktivitas PKL lebih banyak terfokus di lokasi kerja mereka dan memakan waktu cukup banyak, serupa dengan jam kerja/aktivitas di sektor formal (6-8 jam/hari). Pada umumnya mereka para PKL di Jl Hang Tuah Kota Tanjungpinang mulai berjualan dari jam 16.00 sampai dengan jam 24.00, namun ada juga beberapa PKL masih berjualan hingga jam 02.00 dini hari.

3. Historis Pedagang Kaki Lima

Berikut ini akan diuraikan historis para responden PKL sehingga mereka terjun ke sektor informal. Historis

dimaksud berupa mulai dari apa pekerjaan mereka sebelum terjun ke sektor informal ini, siapa yang mengajak mereka memasuki sektor informal ini, apa alasan mereka masuk ke aktivitas sektor informal ini dan apakah mereka ada pekerjaan sampingan selain bekerja di sektor informal.

Data menunjukan bahwa sebagian besar responden PKL, yakni 46% menyatakan tidak bekerja sebelum bekerja di sektor informal sebagai PKL, 34% bekerja sebagai pedagang, 10% bekerja sebagai buruh, sisanya 2% sebagai petani, dan 8% bekerja lain-lain (tukang ojek, sopir dan pembantu rumah tangga). Kondisi ini menunjukkan bahwa berjualan sebagai pedagang kecil menjadi penopang hidup sebagian besar responden PKL. Ketidak seimbangnya antara jumlah tenaga kerja dengan kebutuhan tenaga kerja di sektor formal menjadikan sektor informal sebagai sektor “penyelamat” sistem perekonomian kota.

Ketika kepada para responden PKL ditanyakan siapa yang mengajak mereka memasuki sektor ini, sebagian besar dari mereka menjawab bahwa, yakni 40% menyebutkan karena ajakan keluarga, sedangkan 32% berangkat dari inisiatif pribadi, 20% atas ajakan teman dan 8% karena ajakan tetangga.

Kemudian, ketika para responden PKL ditanyakan alasan utama memasuki sektor ini, maka sebagian besar dari mereka (40%) mengemukakan karena tidak adanya pekerjaan lain (alasan negatif) dan mandiri (alasan positif). Sedangkan sisanya tersebar pada kombinasi jawaban tidak memiliki modal dan pendidikan rendah (alasan negatif) dan sektor ini menjanjikan keuntungan besar, serta mudah dimasuki (alasan positif).

Selanjutnya, ketika para responden PKL ditanyakan tentang lama bekerja sebagai PKL, sebagian besar responden PKL (50%) menekuni profesi sebagai PKL lebih dari 6 tahun, 30% PKL telah berprofesi sebagai PKL antara 4-6 tahun dan 20% PKL yang berjualan antara 1-3 tahun.

4. Kepemilikan Pedagang Kaki Lima

Modal awal usaha berjualan/berdagang yang dimiliki oleh responden PKL mempunyai ukuran kecenderungan pada kisaran Rp 1 juta sampai dengan Rp 5 juta (70%), responden PKL yang memulai usaha dengan modal lebih dari Rp 5 juta (20%), sedangkan 10% responden membangun usaha sebagai PKL dengan modal yang kurang dari Rp 1 juta. Dana yang diperoleh sebagai modal awal usaha tersebut sebagian besar berasal dari pribadi (38%) dan keluarga (24%). Sisanya 38% tersebar dari teman, pinjaman koperasi dan kombinasi antara pribadi dan keluarga, pribadi dan teman, pribadi

(6)

dan pinjaman koperasi, keluarga dan pinjaman koperasi. Dari hasil jawaban para responden tersebut, menun-jukkan hal yang menarik bahwa tidak ada satupun responden PKL memperoleh dana awal modal usaha yang berasal dari pinjaman bank.

Jumlah orang yang diperbantukan untuk membantu aktivitas berjualan para responden PKL tidak terlalu besar. Dengan kata lain, responden PKL dalam melaksanakan aktivitasnya menggunakan tenaga kerja pembantu yang jumlahnya relatif sedikit. Hampir separuh (48%) responden PKL mempekerjakan kurang dari 3 orang dan 52% responden PKL bekerja sendiri tanpa tenaga bantuan dalam menjalankan aktivitasnya berjualan. Orang yang diperbantukan sebagian besar masih berstatus keluarga (72%), berstatus teman (20%) dan hanya 4 orang (8%) saja yang menjawab orang bantuannya berstatus buruh.

Sehubungan dengan sistem pembayaran barang dagangan yang didagangkan para responden PKL, separuh lebih (52%) responden PKL mengaku sudah membayar dahulu barang dagangan mereka sedangkan yang membayar belakangan porsinya juga cukup banyak mencapai 40% dan hanya 4 orang responden PKL (8%) yang menjawab kombinasi antara keduanya. Rata-rata pendapatan kotor per hari para responden PKL paling banyak berada pada kisaran Rp 100 ribu sampai Rp 199 ribu (40%), 10% berpendapatan kotor kurang dari Rp 100 ribu dan 30% berpendapatan antara Rp 200 ribu sampai Rp 299 ribu. Hal yang menarik adalah ada 20% responden PKL (10 orang) yang berpendapatan kotor lebih dari Rp 300 ribu.

Rata-rata pendapatan bersih responden PKL diperoleh nilai terbesar pada kisaran Rp 50 ribu sampai dengan Rp 99 ribu (44%), 16% lebih kecil dari Rp 50 ribu per hari, 34% berkisar antara Rp 100 ribu sampai dengan Rp 150 ribu dan 3 orang (6%) berpendapatan bersih lebih dari Rp 150 ribu.

Dari rata-rata keuntungan/pendapatan bersih per hari tersebut 6% responden PKL mengatakan tidak bisa menabung, 44% bisa menabung dengan jumlah kurang dari Rp 25 ribu per hari, 32% bisa menabung antara Rp 25 ribu sampai dengan Rp 49 ribu per hari, 16% bisa menabung antara Rp 50 ribu sampai dengan Rp 75 ribu per hari dan hanya 1 orang saja (4%) yang bisa menabung dalam kisaran lebih dari Rp 75 ribu per hari.

5. Masa Depan Pedagang Kaki Lima

Sebagian besar responden PKL (80%) tidak mempunyai rencana untuk pindah ke bidang usaha lain, sedangkan 10 orang responden PKL (20%) mempunyai rencana berganti usaha. Motif ekonomi untuk

menda-patkan keuntungan yang lebih besar mendominasi (60%) responden PKL yang mempunyai rencana pindah ke bidang usaha lain. Jenis pekerjaan yang diinginkan oleh sebagian besar responden PKL apabila pindah ke bidang usaha lain adalah membuka restoran (48%), sedangkan 28% menginginkan membuka warung dan sisanya 20% ingin membuka toko dan 4% menjadi PNS.

6. Komunitas Pedagang Kaki Lima

Sebagian besar responden PKL (90%) menjadi anggota koperasi/ paguyuban PKL, yaitu menjadi anggota paguyuban pedagang minang (56%), pagu-yuban pedagang jawa 22%, dan 22% responden PKL menjadi anggota pada koperasi PKL “melayu scure”. Dengan adanya koperasi/paguyuban tersebut ternyata mampu memberikan bantuan kepada responden PKL, di mana 89% responden PKL merasa terbantu dengan ikut serta atau menjadi anggota dari koperasi/ paguyuban, sedangkan sisanya menganggap bahwa menjadi anggota koperasi/paguyuban tidak membantu usaha mereka.

Adapun jenis bantuan yang diperoleh dari koperasi/ paguyuban yang mereka ikuti mencakup: modal (33%) dan konsultasi (27%) ataupun gabungan antara modal dan konsultasi (33%). Hanya 3 orang saja (7%) yang mengatakan mendapatkan bantuan peralatan dari koperasi/paguyuban.

7. Respon Pedagang Kaki Lima Terhadap Kebijakan Pemerintah

Sebagian besar responden PKL (90%) memiliki kartu pengenal/kartu identitas (bukan izin usaha tetap) dari Pemda yang oleh mereka disebut kartu izin usaha, sedangkan sisanya tidak memiliki. Kondisi ini menunjuk-kan bahwa PKL cukup mempunyai kepedulian terhadap legitimasi usaha mereka dari sudut pandang hukum. Walaupun mereka bekerja pada sektor ekonomi infor-mal, akan tetapi responden PKL mempunyai tingkat kepedulian terhadap “legalisasi” usaha mereka. Dalam memperoleh kartu identitas tersebut, 94% responden mengatakan mudah untuk memperolehnya dan hanya 3 orang saja (6%) yang merasakan sulit memperoleh kartu izin usaha. Realisasi jawaban ini menunjukkan bahwa terdapat tingkat kemudahan yang tinggi bagi usaha PKL dari pemerintah daerah dalam memberikan kartu identitas. Akan tetapi, walaupun responden PKL mempunyai kepedulian atas legalisasi usaha mereka, 76% responden tidak mengetahui peraturan daerah yang berhubungan dengan PKL dan 24% responden mengetahui.

(7)

terhadap pemerintah daerah paling banyak (54%) sebesar Rp 2.000 per hari, 30% membayar Rp 3.000 per hari dan 16% responden PKL membayar retribusi sebesar Rp 1.000 per hari. Menurut responden PKL mengatakan bahwa besaran jumlah pungutan retribusi yang ada termasuk murah (64%), sisanya menjawab cukup dan tidak ada yang mengatakan mahal (lihat Tabel 31). Jawaban ini memberikan suatu legitimasi bahwa pungutan retribusi terhadap responden PKL tidak memberatkan mereka karena sebagian besar meng-anggap pungutan tersebut murah.

Setelah selesai usaha (berjualan), gerobak jualan para responden PKL tidak ada yang di tinggalkan di lokasi jualan (100%) seluruhnya dibawa pulang. Biasanya gerobak jualan dititipkan disekitar pemukiman masyarakat yang berdekatan, selain dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Pengalaman responden PKL dari penertiban petugas menunjukkan fakta bahwa sebagian besar (84%) responden PKL tidak pernah terkena penertiban di lokasi berjualan, sedangkan sisanya (16%) pernah terkena penertiban. Adapun penyebab para responden PKL terkena penertiban petugas, alasan terbesar (75%) karena berjualan di luar area yang sudah ditetapkan (area yang tidak diperbolehkan pedagang kaki lima berusaha), sedangkan alasan lain karena melanggar ketentuan waktu usaha (25%).

Tingkat kepedulian responden PKL terhadap kebersihan lingkungan tempat mereka berjualan sangat tinggi, 92% responden PKL mengatakan selalu membersihkan lokasi tempat mereka berjualan setelah mereka selesai berjualan. Hanya 4 orang saja (8%) yang menjawab kadang-kadang membersihkan lokasi berjualan mereka.

Hampir seluruh responden PKL (90%) mengatakan bahwa luas lahan usaha mereka sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak Pemko Tanjungpinang dan hanya 3 orang saja (10%) yang mengatakan luas lahan usahanya lebih luas dari ketentuan yang berlaku.

Ketika para responden PKL ditanya apakah mereka terlebih dulu minta ijin kepada pemerintah setempat sebagai pemilik lahan pada waktu awal beroperasi, ternyata hampir seluruhnya 90% dari mereka menya-takan meminta ijin dari Pemko Tanjungpinang. Sedangkan 10% tidak meminta ijin. Fenomena ini membuktikan bahwa ada ketidak pedulian dan rasa hormat PKL terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemko Tanjungpinang, sebaliknya mereka hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

Profesi PKL dikenal sebagai profesi yang

mobilitas-nya tinggi. Termobilitas-nyata dari hasil jawaban kuesioner, 82% responden PKL mengaku belum pernah berpindah lokasi usaha dan 18% pernah pindah lokasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa tempat usaha mereka yang sekarang dipandang cukup nyaman baik dari segi ekonomi maupun hukum, sehingga tidak ada niat untuk berpindah-pindah tempat.

Hampir seluruh responden PKL (94%) memandang bahwa lokasi usaha mereka strategis, dan hanya 3 or-ang saja (6%) yor-ang beror-anggapan tidak strategis (lihat Tabel 4.39). Alasan ini pulalah yang menyebabkan 80% responden tidak bersedia jika dipindah ke lokasi yang lain, sedangkan sisanya (20%) bersedia dipindah ke lokasi lain.

Dalam hal pelatihan dari pemerintah, hampir seluruh responden PKL (96%) belum pernah mengikuti atau memperoleh pelatihan dari pemerintah daerah dan hanya 2 orang saja (4%) yang pernah mengikuti atau memperoleh pelatihan dari pemerintah daerah.

Upaya yang dilakukan responden PKL dalam menghadapi permasalahan dengan pemerintah daerah, 24% responden PKL minta penjelasan dengan mendatangi kantor pemko, 16% minta tolong dari koperasi/paguyuban yang diikutinya, 6% dengan melakukan demonstrasi, 10% minta tolong wartawan/ LSM, 16% menyatakan tidak pernah mengalami permasalahan dengan pihak Pemko dan 28% gabungan antara minta penjelasan dengan mendatangi kantor pemko dan minta tolong koperasi/paguyuban, minta tolong wartawan/LSM serta demonstrasi. Tidak satupun dari responden PKL yang mengatakan minta tolong kepada wakil rakyat yang duduk di DPRD. Fenomena ini dapat diartikan bahwa (1) mereka merasa tidak memiliki wakil yang dapat menyalurkan aspirasi mereka; dan (2) tidak adanya komunikasi antara wakil rakyat dengan konstituennya.

Keberadaan LSM yang membantu usaha PKL hanya dirasakan oleh 5 orang responden PKL (10%) sedangkan hampir seluruh responden PKL (90%) mengatakan tidak ada LSM yang membantu usaha PKL. LSM yang dimaksud memberikan bantuan konsultasi (83%) dan manajemen (17%).

E. Penutup 1. Kesimpulan

Berdasarkan temuan lapangan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden PKL adalah kaum migran dari luar kota Tanjungpinang dan berpendidikan menengah. Mereka terjum ke sektor ekonomi informal karena ajakan keluarga dan karena tidak ada pekerjaan lain di sektor formal. Fenomena ini nampak sesuai

(8)

dengan kejadian yang terjadi di beberapa negara berkembang sebagaimana telah didiskusikan pada Bab II di atas.

Dalam perspektif, hukum sektor ekonomi informal kurang berada dalam kondisi tidak jelas (abu-abu). Di satu pihak pemerintah menarik retribusi dari mereka, tetapi di pihak lain pemerintah tidak mau mengeluarkan izin formal yang dapat melindungi mereka. Hubungan hukum antara majikan dan buruh di sektor ini bersifat kekeluargaan dan tradisional. Oleh karena itu, buruh tidak mendapat perlindungan hukum.

Data membuktikan bahwa sektor ekonomi informal ternyata memberikan penghasilan yang menurut mereka cukup tinggi, dan karenanya sebagian besar dari mereka tidak mau beralih ke profesi lain. Kondisi ini menyebabkan setiap usaha pemerintah untuk mengatasi sektor ekonomi informal selalu mendapat resistensi dari mereka.

Dalam kaitannya dengan regulasi, penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar dari pelaku ekonomi informal tersebut tidak memahami peraturan pemko yang mengatur perilaku mereka. Namun demikian, tingkat ketaatan mereka pada peraturan termasuk tinggi. Sebagian besar dari responden juga menyatakan bahwa mereka minta izin kepada pihak pemko Tanjungpinang sebagai pemilik lahan dimana mereka berjualan. Kedua fenomena tersebut dapat diartikan bahwa mereka telah mereduksi tertib sosial sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kepentingan ekonomi mereka.

2. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan berbagai temuan lapangan sebagai-mana dipaparkan di atas, penelitian ini merekomen-dasikan sebagai berikut:

a. Keberadaan sektor ekonomi informal di sepanjang jalan Hang Tuah Kota Tanjungpinang perlu lebih ditertibkan melalui law enforcement yang tegas. Selain itu, kontrol secara rutin perlu dilakukan disertai sanksi yang tegas bagi pedagang kaki lima yang melanggar ketentuan yang berlaku.

b. Ruang publik yang semakin terdesak dengan semakin bertambahnya jumlah pedagang kaki lima mengharuskan Pemko Tanjungpinang untuk melarang pendatang baru yang melakukan aktivitas di sektor ekonomi informal di kawasan tersebut. c. Pendataan dalam arti registrasi identitas para pelaku

sektor ekonomi informal perlu dilakukan oleh Pemko Tanjungpinang untuk memudahkan pembinaan dan dalam jangka panjang bertujuan menggiring mereka beralih ke sektor lain setelah mendapat pembekalan pelatihan dan fasilitas yang lain.

d. Retribusi yang ditarik dari sektor ekonomi informal dalam penggunaannya sebagian harus dikembalikan untuk program-program yang mampu membekali mereka dan dapat merangsang mereka untuk berusaha di sektor lain.

e. Perlu studi lebih lanjut untuk merumuskan kebijakan publik yang tepat yang berhubungan dengan penataan PKL di kawasan jalan Hang Tuah Kota Tanjungpinang.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, A.T.M.N. (1987), “The Role of the Informal Sec tor in Economic Development: Some Evidence from Dhaka, Bangladesh, di dalam International

Labour Review, Vol. 126, No. 5, September –

October, h.611-624.

Boeke (1953), Economic and Economic Policy of Dual

Societies: As Exemplified by Indonesia,

Interna-tional Secretariat, Institute of Pacific Relations, New York.

Cheng, L. dan Gereffi, G. (1994), “The Informal Economy in East Asia Development, di dalam International

Journal of Urban and Regional Research, Vol.18,

No.2, h. 194-219.

Evers, H.D. dan Mehmet, O. (1994), “The Management of Risk: Informal Trade in Indonesia, di dalam

World Development, Vol.22, No.1, h. 1-9.

Geertz, Clifforrd (1963), Peddlerrs and Princes: Social

Change and Economic Modernization in Two In-donesian Towns, The University of Chicago

Press, Chicago.

Hart, Keith (1970), “Small-Scale Entrepeneur in Ghana and Development Planning, di dalam The

Jour-nal of Development Studies, Vol.6, No.4,

h.104-119.

___________ (1973), “Informal Income Opportunies and Urban Employment in Ghana, di dalam The

Jour-nal of Modern African Studies, Vol.2, No.1, h.

61-89.

Hidayat (1978a), Peranan Sektor Informal Dalam

Struktur Perekonomian Daerah Yogyakarta,

Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Universitas Padjadjaran, Bandung. ___________ (1978b), Pengembangan Sektor Informal

Dalam Pembangunan Nasional: Masalah dan Prospek,

Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumberdaya Manusia, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Bandung.

ILO (1972), Employment, Incomes and Equality: a Strat

egy for Increasing Productive Employment in Kenya, Geneva.

Lewis, A. (1954), “Economic Development with Unlimi-ted Supplies of Labour, di dalam The

Manches-ter School of Economic and Social Studies, Vol.

22, No.2, h. 139-191.

Mazumdar, D. (1976), “The Urban Informal Sector, di dalam World Development, Vol.4, No.8, h. 655-679.

McGee, T.G. (1971), The Urbanization Process in Third

World: Explorations in Search of A Theory, G.

Bell and Sons, London.

___________ (1973), Peasant in the Cities: Paradox, A Paradox, A Most Ingenious Paradox, di dalam

Human Organization, Vol.32, No.2, h. 135-142.

McGee, T.G. dan Yeung, Y.M. (1977), Hawkers in South

east Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy, International Development Research

Centre, Ottawa.

___________ (1991), “Southeast Asian Urbanization: Three Decades of Change, di dalam Prisma, No.51, h. 3-16.

Misra, R.P. (1981), “The Changing Perception of Devel-opment Problems, di dalam Misra, R.P. dan Honjo, M. (ed.) (1981), Changing Perception of

Development Problems, Maruzen Asia,

Singapore, h. 7-37.

Mitra, Arup (1990), “Duality, Employment Structure and Poverty Incidence: The Slum Perspective, di dalam Indian Economic Review, Vol.25, No.1, h. 57-73.

Moir (1978), Jakarta Infomal Sector, National Institute

of Economic and Social Research, Indonesia

In-stitute of Sciences (LEKNAS-LIPI), Jakarta. ___________ (1981), “Occupational Mobility and

Infor-mal Sector in Jakarta, di dalam Sethuraman, S.V. (ed.), (1981), The Urban Informal Sector in

De-veloping Countries: Employment, Poverty and Environment, ILO, Geneva, h. 109-120.

NUDS (1995), Laporan Akhir NUDS, Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, Direktorat Cipta Karya PU, UNDP, UNCHS.

Portes, A. dan Schauffer, R. (1993), “Competing Per-spectives on the Latin American Informal sector, di dalam Population and Development Review, Bol.19, No.1, March, h. 33-59.

Rachbini, Didik J. dan Hamid, Abdul (1994), Ekonomi

Informal Perkotaan, LP3ES, Jakarta.

Richardson, H. (1984), “The Role of The Urban Infor mal Sector: An Overview, di dalam Regional

De-velopment Dialogue, Vol.5, No.2, h. 3-40.

Roberts, B. (1990), “The Informal Sector in Compara-tive PerspecCompara-tive, di dalam Smith, Estellie M. (ed.),

Perspectives on the Informal Economiy,

Univer-sity Press of America, Lanham, h. 23-48. Sanyal, B. (1988), “The Informal Sector Revised: Some

Notes on the Relevance of the Concept in the 1980s, di dalam Third World Planning Review,

(10)

Vol.10, No.1, h. 65-83.

Santos, Theotonio Dos (1973), “The Structure of De-pendence, di dalam Wilber, Charles K. (ed) (1973), The Political Economy of Development

and Underdevelopment, Random House, New

York, h. 109-117.

Santos, M. (1979), The Shared Space: The Two

Cir-cuits of the Urban Economy in Underdeveloped Countries, Methuen, London.

Sethuraman, S.V. (1975), Urbanization and Employ-ment: A Case Study of Djakarta, di dalam

Inter-national Labour Review, Vol.112, No.2-3.

___________ (1976a), The Urban Informal Sector: Con-cepts, Measurement aand Policy, di dalam

In-ternational Labour Review, Vol.114, No.1, h.

69-81.

___________ (1976b), Jakarta: Urban Development and

Employment, International Labour Office,

Geneva.

___________ (1977a), “Urban Poverty and Role of the Informal Sector in Creating Employment, di dalam Haq, Khadija (ed.) (1977), Equality of

Opportunity Within and Among Nations, Praeger

Publisher, New York, h. 73-80.

___________ (1977b), “The Urban Informal Sector in

Africa, di dalam International Labour Review, Vol.116, No.3, h. 343-352.

___________ (1981a), “Concept, Metodology and Scope, di dalam Sethuraman, S.V. (ed.) (1981a), The Urban Informal Sector in Developing Coun-tries: Employment, Poverty and Environment, ILO, Geneva, h. 10-23.

Soto, H.D. (1990), The Other Path: The Invisible

Revo-lution in the Third World, Harper and Row, New

York.

Subarsono (1996), Toward Managing the Informal

Sec-tor for Urban Economic Development: Govern-ment Policy and Informal Sector, MA Thesis, the

Flinders University of South Australia, Adelaide. Thomas, J.J. (1992), Informal Economic Activity,

Har-vester Wheatsheaf, New York.

UNDP (1996), Humant Development Report 1996, Ox-ford University Press, New York.

Weeks (1975), “Policy for Expanding Employment in Informal Urban Sector of Developing Economies, di dalam International Labour Review, Vol.111, January-June, h. 1-13.

World Bank (1995), World Development Report 1995, Workers in an Integrating World, Oxford Univer-sity Press, New York.

Gambar

Tabel 1 Karakteristik Sektor Informal dan Formal

Referensi

Dokumen terkait

pengelolaan pedagang kaki lima menjelaskan bahwa: “Pedagang Kaki Lima(PKL) adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usaha dagang dan jasa non formal dalam jangka

Menurut pengamatan penulis, untuk jumlah PKL belum terimpelemantasi dengan baik, meskipun para pedagang kaki lima sudah mematuhi aturan yang ditentukan antara pihak paguyuban

Hasil analisa yang diperoleh berdasarkan temuan penelitian bahwa penataan PKL di Kota Malang melalui sosialisasi kebersihan dan keindahan, PKL Trunojoyo tidak ada relokasi

34 Tabel III.14 Jumlah dan Prosentase Responden Berdasarkan Keamanan Lokasi Usaha ... 35 Tabel III.16 Jumlah dan Prosentase Responden Berdasarkan

Upaya untuk tetap mempertahankan usaha yang digeluti PKL tidak lain dan tidak bukan ditujukan sebagai satu cara bagi PKL untuk dapat bertahan hidup. Namun meskipun hak asasi

(3) Penataan lokasi tempat usaha PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

• Penelitian ini hanya dilakukan sepanjang koridor Jalan Samanhudi dan tidak membahas pengaruh dan pertumbuhan PKL bagi perkembangan Kabupaten Jember, sehingga memerlukan adanya

Sejalan dengan uraian di atas, bahwa Usaha kecil (termasuk pedagang kaki lima). merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja