• Tidak ada hasil yang ditemukan

Animaal Rights, Analisis Pergeseran Makna Perlakuan Etis terhadap Hewan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Animaal Rights, Analisis Pergeseran Makna Perlakuan Etis terhadap Hewan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Animaal Rights, Analisis Pergeseran Makna Perlakuan Etis terhadap Hewan

Mahasiswa: Mellisa Anggiarti Pembimbing: Rocky Gerung

Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Mellisa Anggiarti Program Studi: Ilmu Filsafat

Judul : Animal Rights, Analisis Pergeseran Makna Perlakuan Etis terhadap Hewan

Perlakuan etis terhadap hewan sudah menjadi salah satu pertimbangan di dalam penerapan etika lingkungan. Kemunculan Animal Rights sebagai advokasi yang berangkat dari perlakuan etis bersifat serius, manambahkan perlindungan hukum sebagai jalan keluar. Skripsi ini bertujuan memaparkan penerapan yang dilakukan Animal Rights, serta konsekuensinya melalui analisis konsep tentang perlakuan etis yang telah mengalami pergeseran makna. Pengembalian kemanusiaan dan peran manusia sebagai moral agent menjadi titik tolak dari penentangan perlakuan etis yang berlebihan melalui Animal Rights.

Kata Kunci:

Animal Rights, berlakuan etis, berlebihan, Moral Agent, Kemanusiaan

ABSTRACT

Name : Mellisa Anggiarti

Program Studies : Philosophy

Title : Animal Rights, Analysis Shifting Meanings Ethical Treatment of Animals

Ethical treatment of animals has become one of the considerations in the application of environmental ethics. Emerging of Animal Rights as advocating that departs from the ethical treatment of a serious nature, adding legal protection as a way out. This thesis aims to describe the implementation carried Animal Rights, and its consequences through the analysis of the

(2)

concept of ethical treatment that has undergone a shift in meaning. Returns humanity and the role of humans as moral agents became the starting point of opposition to the ethical treatment of excessive through Animal Rights.

Keywords:

Animal Rights, ethical treatment, excessive, Moral Agent, Humanities

A.

Pendahuluan

Dalam tiga tahun terakhir, Konferensi Internasional „Animal Rights’ sudah digelar dan dihadiri oleh negara-negara Eropa sebagai bentuk dukungan aktif untuk legalisasi rights dan perlindungan hukum atas hewan. Konferensi yang semula hanya rutin diselenggarakan di Washington DC, kini menjadi agenda wajib yang diselenggarakan bergiliran oleh negara-negara yang merupakan negara pro Animal Rights. Pembahasan mengenai advokasi-advokasi atas kepentingan hewan, perlawanan atas ekploitasi dan tindakan kekerasan terhadap hewan sampai menghentikan penggunaan atas hewan untuk kepentingan manusia, menghasilkan laporan dan kampanye yang berkelanjutan demi pelegalan Animal Rights. Itu semua dimaksudkan agar segera disepakati dan diterapkannya Animal Rights menjadi bagian dari basic rights dan dipertimbangkan sebagai prioritas.

Bagi Tom Regan, filsuf yang bekerja dan mengabdikan pemikirannya untuk Animal

Rights, menganggap bahwa tidak ada lagi perlindungan yang kongkrit terhadap hewan selain

memberikan mahluk itu hak yang dilindungi oleh hukum. Animal Welfare yang populer dan berhasil membuat perubahan terhadap penggunaan hewan yang mempertimbangkan kesejahteraan hewan dengan menerapkan „five freedom’1

, dianggap perlindungan yang basa-basi. Menurut Regan, konservasi yang dilakukan Animal Welfare tidak cukup melindungi kepentingan hewan, melainkan sebagai salah satu jalan untuk melakukan lebih banyak pembantaian legal terhadap hewan karena penggunaan atas hewan tidak dapat dipisahkan dari kekejaman.

Seiring dengan penerapan moralitas dalam tingkat yang cukup serius hingga menyeret advokasi hukum, pertimbangan etis untuk hewan makin marak diwarnai gerakan-gerakan senada

Animal Rights yang notabene juga ingin melindungi kepentingan hewan. Dapat pula disebut

1 Kesepakatan standarisasi dalam pengelolaan hewan sebagai konsumsi manusia. Meliputi, kebebasan dari rasa

haus dan lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal, dan bebas dari rasa tertekan dan stress.

(3)

sebagai tren, perlindungan terhadap hewan menciptakan komunitas-komunitas yang menganggap penggunaan atas hewan adalah melanggar kemanusiaan. Secara tidak langsung, kelompok itu menganggap memanusiakan hewan adalah bagian dari kemanusiaan, disamping konsekuensi dari memanusiakan hewan akan berpengaruh terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Boikot atas produsen-produsen daging hewan, menutup tempat sirkus yang mempekerjakan hewan sebagai hiburan, berbagai aksi tolak animal testing untuk produk-produk kecantikan adalah ekspansi dari persoalan Animal Rights. Di balik tindakan advokasi itu, ada gangguan dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia, yang menghasilkan kontradiksi mengenai keberadaan advokasi yang terlalu berlebihan untuk hewan, karena dalam argumennya, perlindungan yang mengatasnamakan kemanusiaan ini ternyata tidak mencapai tujuan untuk kembali kepada kemanusiaan.

Beberapa kajian etika seperti golden rules yang menyatakan manusia ingin diperlakukan sebagaimana ia harus memperlakukan orang lain, kini harus pula diterapkan kepada hewan. Manusia harus memposisikan diri sebagai hewan-hewan yang dipergunakan sebagai bahan makanan, hiburan maupun uji coba agar mampu memahami sudut pandang hewan. Sikap ini menjadi faktor mengapa pembelokan etis terjadi dalam Animal Rights, karena sebenarnya manusia tidak mampu membuktikan mentalitas hewan secara pasti. Belum ada penelitian menunjukan hewan paham terhadap pembelaan yang dilakukan manusia dan pengandaian yang melihat dari sudut pandang hewan, hanya akan menimbulkan persepsi yang tidak bisa diseragamkan.

Animal Rights pada dasarnya merupakan gerakan yang optimis bahwa perilaku manusia

sangat menentukan keharmonisan hubungan antar makhluk hidup, sehingga perilaku tersebut harus diatur dan hewan harus diberikan hak serta perlindungan hukum. Hal ini tentu menimbulkan konsekuensi yang disertai kontroversi, karena pemberian hak dan perlindungan hukum terhadap hewan merupakan sebuah tindakan yang seharusnya memberikan kewenangan kepada hewan untuk dapat mengatur hubungan sesamanya. Karena pada akhirnya, apabila

Animal Rights berhasil disahkan, posisi manusia dan hewan akan setara di depan hukum.

Setelahnya, hewan juga harus dapat menentukan keharmonisan hubungan antar makhluk hidup, serta menerapkan teori-teori yang dipakai manusia dalam menjaga relasi agar dapat berpartisipasi dalam hubungan tersebut.

(4)

Relasi manusia dan hewan dalam kesetaraan menjadi sebuah absurditas. Selama hewan tidak memiliki kemampuan seperti manusia, maka moral agent tetap diperankan oleh manusia. Hal ini menggambarkan posisi yang setara justru menjadi tidak seimbang dalam penerapan, karena manusia akan lebih banyak dibebani dengan urusan moral serta tanggung jawab atas hewan. Penentangan yang tidak pernah selesai dari Anti-Animal Rights akan terus bermunculan karena didalam advokasi tersebut, tersisa masalah yang belum bisa disepakati secara rasional.

1.1 Perumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Animal Rights merupakan tindakan serius dari kepedulian manusia terhadap

hewan, dipandang berdasarkan relasi yang manusia bangun sejak peradaban pertama tetapi mengalami pembelokan etis setelah tujuannya ingin melampaui apa yang ditujukan Animal

Welfare. Perlindungan ini semakin menuai kontroversi ketika manusia mulai menuntut

perlindungan hukum atas hewan dalam penerapan perlakuan etis, tanpa pertimbangan bahwa hewan adalah pihak yang tidak mengerti atas perlindungan tersebut. Permasalahannya adalah, apabila perlindungan hukum diberikan kepada pihak yang tidak mengerti dan tidak dapat menjalani aturan yang dibuat untuk memaksimalkan perlindungan, maka perlindungan hukum hanya dapat diberikan apabila tujuannya kembali kepada kepentingan manusia demi menjaga moralitas dan kemanusiaan.

2. Kita dapat memprediksi, manusia akan menjadi lebih sering bertransaksi hak atas sesuatu yang sedang mereka bela karena berangkat dari compassion, sehingga rasionalitas yang menjadi unsur utama dari pengadaan hak menjadi tergeser. Transaksi atas hak-hak lain akan banyak bermunculan terutama untuk yang mereka anggap tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya sendiri dan hal ini justru membuat manusia dihadapkan kepada permasalahan kemanusian akibat compassion dan rasa ingin melindungi secara kongkrit melalui Animal Rights. 3. Dengan diberikannya perlindungan hukum dan hak kepada hewan, maka seluruh

moral agent memiliki kewajiban untuk menerapkan perlakuan etis dengan menghentikan

penggunaan terhadap hewan. Hal ini merupakan pelemparan tanggung jawab dari gerakan

Animal Rights kepada seluruh manusia berkesadaran sebagai jalan keluar yang tidak cukup

(5)

disetarakan dengan manusia, menciptakan banyak perubahan, terutama dalam bidang akademik, politik, hukum maupun etika.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Animal Rights menghasilkan antisipasi karena perlindungan hukum yang

ditujukan terhadap hewan tidak kembali untuk kepentingan kemanusiaan. Tidak seperti perlindungan hukum yang dibuat manusia untuk lingkungan—sebagai salah satu cara menjaga kemanusiaan lewat melestarikan sumber daya yang menjadi kebutuhan manusia, perlindungan hewan justru meminggirkan kepentingan manusia. Hewan dijaga kesejahteraannya lewat penghentian penggunaan atasnya, tanpa pertimbangan akan relasi yang dibuat oleh manusia untuk mencapai kesejateraannya adalah lewat penggunaan tersebut. Antisipasi ini merupakan rasionalitas yang pesimis akan penerapan Animal Rights karena dapat menabrak kepentingan manusia sebagai moral agent dan dilindungi hukum dalam mempertahankan kebutuhannya, sehingga konsep ini seharusnya kembali kepada Animal Welfare selama belum ditemukan konsep lain dalam pencapaian relasi manusia dan hewan yang harmonis.

2. Prediksi bahwa kelak manusia akan menjadi sumber evolusi hak atas segala sesuatu yang dinilai penting untuk keberlangsungan Animal Rights. Prediksi ini membuat segala dalil dari Animal Rights harus dihentikan sebagai upaya menghindari transaksi hak yang sia-sia. Ketidakberdayaan hewan menjadi salah satu alasan mengapa manusia harus memiliki tanggung jawab atasnya, tetapi bukan berarti manusia harus memiliki hak yang setara dengan hewan. Hak yang diberikan kepada hewan bukanlah jalan keluar yang efektif, mengingat pemberian hak harus dilandasi rasionalitas dan diperkuat oleh tujuannya menjaga kemanusiaan.

3. Menjabarkan konsekuensi apabila Animal Rights diterapkan. Relasi ideal sebagai tujuan dari Animal Rights melalui konsep perlindungan hukum dan pengadaan hak, dapat digagalkan oleh kebocoran argumentasi Animal Rights itu sendiri. Dan upaya Animal Rights menciptakan wilayah non-kontroversial yang harmonis, justru memunculkan wilayah kontroversi yang harus siap ditangani.

(6)

Ada perbedaan antara manusia dan hewan dari segi moralitas, yaitu manusia sebagai agen dan hewan sebagai pasien menurut Immanuel Kant.2 Perbedaan tersebut membawa manusia kepada indirect duty terhadap hewan sebagai salah satu yang menguatkan kemanusiaan. Teori-teori moralitas yang disuguhkan Kant untuk relasi sesama manusia, ditarik menjadi Teori-teori moralitas untuk relasi manusia dengan hewan. Tindakan etis, toleransi dalam interaksi sosial, menghindari kekejaman dipakai untuk memaknai eksistensi hewan, sementara Kant secara eksplisit berada di posisi yang setuju akan spesiesme yaitu paham yang mengakui perbedaan spesies antara manusia dan hewan.

Hewan bukan bersifat automata seperti yang dikemukakan oleh Rene Descartes dalam menguatkan teori Antroposentris.2 Tetapi apabila Animal Rights bertujuan menyetarakan diri dengan Human Rights yang memiliki titik berangkat Antroposentris, maka akan bertabrakan dengan paham yang membela kepentingan manusia jauh di atas segalanya terhadap hewan maupun alam. Hal ini merupakan tantangan bagi Animal Rights dalam mencari argumentasi yang dilandasi rasionalitas. Eksploitasi merupakan tindakan yang ditentang setelah maraknya teori etika berkembang. Dengan begitu pertimbangan etis mulai diterapkan dalam menjaga relasi manusia dengan sekitar. Bahwa tindakan penyiksaan, kekejaman dan eksploitasi merupakan potensi yang dapat membuat kemanusiaan terganggu.

Temuan-temuan baru mengenai mentalitas hewan diusung oleh kaum Utilitarianis yang membuat skema kemampuan suffering dari tingkatan hewan3. Hal ini yang menjadi prinsip dasar mengapa advokasi terhadap hewan perlu tetap ditegakan. Dibuktikannya bahwa simpanse memiliki mentalitas setara dengan manusia berumur 3 tahun menghasilkan perdebatan mengenai manusia dan rasionalitasnya yang baru terbentuk saat mencapai dewasa adalah yang ingin pembela hewan serang. Bahwa apabila kesetaraan tidak bisa dicapai, maka manusia yang belum memiliki rasionalitas tidak dapat diberikan hak untuk dilindungi secara hukum juga.

Tidak memberikan perlindungan kepada manusia sama saja menghentikan kewajiban manusia dalam melakukan duty sebagai moral agent. Bayi sekalipun, memiliki entitas sebagai

human-being. Mentalitas manusia berkembang, rasionalitas mengarahkan pemikirannya kepada

banyak keputusan dan tindakan. Argumentasi untuk mempertahankan tujuan dari Animal Rights, melalui penyetaraan mentalitas manusia dan hewan, bukan merupakan fondasi yang kuat.

2 Franklin, 2005:31 3

(7)

Untuk melegalkan Animal Rights, pembela dan yang dibela harus melahirkan reasoning sebagai suatu transaksi, dan hal ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi berdasarkan kemampuan hewan. Seperti cara kerja Natural Law dalam mencapai reasoning—transaksi manusia dalam menghasilkan seperangkat aturan, berdasarkan prinsip moral yang dilatarbelakangi karakteristik dasar manusia dan dinaungi hukum. Sementara hukum adalah perangkat yang harus selalu memperhatikan sisi moralitas dalam penyusunannya, apakah sebuah hukum telah efektif untuk kepentingan banyak pihak, atau partisipasi terjadi tidak aktif dari salah satu pihak, sehingga harus melalui kajian yang didasari rasionalitas dalam analisisnya.

C.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah Analisis Argumentatif. Permasalahan dijabarkan, kemudian dianalisis secara kritis reflektif untuk menguji kontroversi dan menghasilkan kesimpulan yang argumentatif. Teori-teori yang mendukung pernyataan tesis akan dijelaskan dan dikaitkan dengan permasalahan yang menjadi dasar penulisan.

D.

PEMBAHASAN

Wilayah non-kontroversial sebagai wilayah kontroversi

Gerakan pembela hewan menyatakan, penggunaan hewan tidak terlepas dari kecenderungan manusia menafikkan kesejahteraan mahluk tersebut. Adanya kekerasan dan minimnya perhatian serta penggunaan berlebihan atas hewan merupakan pemicu munculnya kontroversi dalam relasi manusia dan hewan. Sehingga, gerakan pembela hewan melihat advokasi hukum sebagai salah satu jalan keluar yang dapat melindungi hewan secara lebih luas dan membawa wilayah kontroversi ini ke dalam wilayah non-kontroversial, agar tujuan mereka pada akhirnya dapat terpenuhi.

Terdapat dua arah antisipasi menanggapi kontroversi atas penggunaan hewan. Antisipasi pertama, berasal dari gerakan pembela hewan yang memiliki ketakutan atas kepunahan. Golongan ini juga khawatir atas imbas rusaknya ekosistem dan rantai makanan, serta hilangnya

(8)

perlakuan etis manusia. Menurut kelompok pembela hewan ini, tingkat penggunaan atas hewan berbanding lurus dengan tindak kekejaman yang dilakukan. Dengan demikian, dapat dikatakan, manusia lebih banyak melakukan eksploitasi terhadap hewan sebab nilai intrinsik mahluk itu tidak lagi dipedulikan. Antisipasi ini akhirnya mengundang gagasan bahwa perlindungan hukum adalah salah satu dari aturan yang dapat memaksa manusia mempertimbangkan kesejahteraan dan kepentingan hewan serta meningkatkan tanggung jawab manusia terhadap hewan lantaran dirinya berperan sebagai moral agent.

Antisipasi kedua melihat, penerapan Animal Rights secara global serta menghentikan penggunaan atas hewan adalah ide yang tidak masuk akal. Sebaliknya, hal itu justru dapat menganggu kemanusiaan. Tindakan etis ialah perbuatan yang berasal dari kemanusiaan, dengan demikian Animal Rights yang dianggap sebagai perwujudan atas konsep itu lewat tuntutan perlindungan hukumnya justru akan menganggu kepentingan manusia, baik secara etis, hukum dan welfare. Antisipasi ini berpendapat manusia dan perannya sebagai moral agent, mendukung ditentangnya tindak kekejaman tanpa urgensitas terhadap makhluk apapun. Sehingga, kekejaman kepada hewan merupakan salah satu kerusakan moralitas dan kemanusiaan yang dihindari. Manusia perlu menjamin welfare dari hewan sebatas ia meminimalisir suffering, dan itu tidak berarti menghentikan segala penggunaan atas hewan. Selama manusia mampu menggunakan alat, maka peradaban manusia akan terus berjalan ke arah penciptaan teknologi untuk menjamin

welfare seimbang antara manusia dan hewan.

3.2 Animal Rights VS Human Rights

Jerman merupakan negara Eropa pertama yang menerapkan Animal Rights sebagai garansi negara terhadap status hewan. Tujuannya, ketentuan ini dilakukan demi menghormati dan menjaga martabat dari human beings. 4 Negara pendukung gerakan Animal Rights—sebagai salah satu perlindungan terhadap non-human animals, merupakan negara maju dari segi ekonomi maupun kepemilikan terhadap hewan. Contohnya, Amerika Serikat, sebagian besar warga negaranya memiliki hewan peliharaan dan memperlakukannya dengan sangat baik sebagaimana

4 John Hooper, “German Parliament Votes to Give Animals Constitutional Rights.” Guardian (London), May 18,

(9)

perlakuan atas anggota keluarga sendiri, seperti merayakan ulang tahun dan mendapatkan kado natal. 5

Berangkat dari fenomena ini, negara maju itu pun ingin ketentuan Animal Rights menjadi acuan memperlakukan hewan di negara lain. Pihaknya menyatakan Animal Rights mesti menjadi legal dan dapat disahkan secara global demi menjamin kesejahteraan dan perlindungan seluruh hewan secara hukum. Terlihat, tendensi Negara maju untuk mengesahkan Animal Rights lebih besar dibanding negara lain. Dilihat dari sudut pandang ini, negara maju memiliki permasalahan kemanusiaan yang relatif sedikit, seperti kelaparan atau kemiskinan. Oleh karena itu, negara itu memiliki banyak permasalahan lain yang dapat diadvokasikan, salah satunya Animal Rights. Konsep ini membuat suatu penyetaraan hak pada akhirnya mungkin terjadi, antara Human Rights dan Animal Rights.

Human Rights merupakan hak asasi yang melekat pada manusia sejak ia lahir dan

merupakan hak yang tidak dapat diganggu gugat atau inviolable, bersifat protektif secara individual. Beranjak dari hal itu hak dasar mesti melindungi seluruh kepentingan manusia sekaligus meminimalisir kekacauan yang disebabkan oleh pertentangan kepentingan. Hak ini diciptakan lewat keadaan alami manusia yang memiliki kehendak dan bekerja demi kehendak tersebut. Dengan demikian asumsinya, apabila tidak ada Human Rights yang melindungi individual, akan banyak kepentingan saling silang dan bertabrakan, sehingga relasi diantaranya harus diatur dan dijamin perlindungan hukum.

Apabila Animal Rights menginginkan apa yang disepakati melalui rasional konsensus seperti Human Rights—dan inviolable rights, maka setelah hewan mendapatkan perlindungan hukum, kondisi yang harus diatur setelahnya adalah relasi diantara sesama hewan. Sementara relasi sesama hewan merupakan relasi alamiah yang diatur dengan sendirinya oleh hukum alam, terutama untuk hewan yang hidup di alam liar, dan aturan yang dibuat manusia dalam rangka menjaga relasinya dengan hewan. Namun, aturan yang dibuat itu tidak terlepas dari sudut pandang manusia itu sendiri. Sehingga premis “setara” antara Human Rights dan Animal Rights sebenarnya tidak pernah dapat tercapai, sebab hewan tidak mampu mengatur sendiri hubungan sesamanya dalam rangka melindungi kepentingan masing-masing individu, khususnya lewat upaya legalitas hukum, kecuali manusia berdiri untuk menjadi wali advokasi dari mereka.

5

(10)

Keberadaan manusia sebagai wali dari hewan tidak sepenuhnya dapat dijadikan kewajiban. Anggapan bahwa manusia semata-mata hanya berbasa-basi terhadap relasi yang mereka bangun secara etis terhadap hewan menjadi perdebatan awal mengapa perlakuan etis yang lebih serius harus dibahas dan diperjuangkan khalayak. Hal ini menggambarkan perlindungan terhadap hewan mengalami evolusi secara advokasi. Maksudnya, perlindungan ke dalam hukum menggambarkan upaya manusia dalam komunitas yang dinilai mampu menjamin masyarakat secara keseluruhan bersedia mengafirmasi perlindungan tersebut. Pengadaan atas hak yang dilindungi secara hukum terhadap hewan menjadi tindakan pelemparan kewajiban dan tanggung jawab kepada publik yang sesungguhnya tidak memiliki keharusan dalam menjaga relasi antara hubungan manusia dan hewan. Contohnya, para pedagang akan saling memonitori keberadaan seekor kucing yang biasa berlalu lalang di stasiun UI, saat kucing itu hilang, maka pedagang sekitar stasiun UI harus mempertanggung jawabkan atas hilangnya kucing tersebut.

Perlindungan hukum ini dengan kata lain, bukan hanya sebagai jalan keluar dari indirect

duty yang melahirkan direct duty, melainkan sebagai new duty dan membebani seluruh manusia

sebagai moral agent. Letak kesetaraan dalam hal ini menjadi sebuah absurditas baru yang dapat mengganggu kemanusiaan dan masalah etis lainnya. Lewat hal itu manusia dimungkinkan memperlakukan hewan setara dengan manusia, tetapi apakah hewan memiliki kemampuan menjaga hak asasi manusia seperti yang akan dilakukan oleh manusia? Poin itu menjadi tanda tanya besar. Hewan buas tetap akan memakan manusia saat ia kelaparan, sementara manusia harus mempertimbangkan rasa laparnya saat ia harus berhadapan dengan perlindungan terhadap hewan. Tidak menutup kemungkinan, bahwa manusia akan mengkonsumsi dagingnya sendiri saat kelaparan daripada harus berhadapan dengan hukum yang melindungi hewan agar tidak digunakan sebagai pangan.

Berkaitan dengan kemampuan manusia dan hewan sebagai pengkonsumsi daging, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Hewan memiliki insting bawaan sejak lahir dan dipengaruhi lingkungan sebagai karnivora atau herbivora. Insting dasar mereka untuk mengkonsumsi tidak pernah bisa ada yang mengatur, sekalipun hewan itu sendiri. Harimau tidak dapat menjadi pemakan rumput, instingnya bekerja untuk mencari daging, sekalipun yang akhirnya ia terkam adalah rusa betina, ibu dari 4 anak rusa lainnya dan sedang mencari makan.

(11)

kepentingan dari rusa yang telah dikonsumsi harimau. Animal Rights dalam relasinya dengan sesama hewan, adalah sebuah absurditas.

Hewan, dalam konteks ini tidak seperti manusia yang diliputi pertimbangan saat akan mengkonsumsi daging. Harimau tidak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan unsur etis dalam memilih mangsanya, harimau tidak serta merta memilih rusa sebatang kara untuk diterkam. Sementara manusia dapat memilih pangan yang ingin dikonsumsi. Menjadi vegetarian adalah upaya manusia keluar dari wilayah kontroversial dan menciptakan wilayah non-kontroversial. Sekalipun melihat adanya ketidak-etisan dalam mengkonsumsi daging, kecenderungan manusia memakan daging menjadi semakin natural didukung dengan penciptaan teknologi dari sayuran yang dibuat menyerupai daging. Dalam hal ini, ada pembelokan hasrat mengkonsumsi daging dan penciptaan etis baru dibalik kenyataan bahwa manusia mampu memanipulasi segalanya. Vegetarian seperti menyadari bahwa hasrat mengkonsumsi daging adalah natural, terlepas dari ia sedang meminggirkan h hasrat tersebut untuk keperluan etis.

Penciptaan sayuran yang menyerupai daging, seharusnya bukan dilihat sebagai jalan keluar dari rasa nikmat manusia saat mengkonsumsi daging. Tetapi dibalik fenomena itu, terselubung hasrat yang direpresi untuk kepentingan hewan. Hal ini sejatinya hanya akan menciptakan wilayah kontroversial baru, sebab evolusi atas hak dimungkinkan untuk terjadi dengan adanya represi ini. Manusia semakin hanyut dalam compassion dan humanity serta mengatasnamakan „perlakuan etis‟ terhadap sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan. Berbeda dengan harimau yang mengikuti insting dan hasratnya untuk memangsa daging rusa karena ia menyadari ia menyukai dan membutuhkan itu untuk melanjutkan hidupnya. Relasi semacam ini adalah relasi yang tidak dapat manusia atur, termasuk untuk menghindari kekejaman. Dengan demikian, Human Rights dan Animal Rights tidak dapat sejajar.

Keberadaan Animal Rights justru dapat mengganggu berlangsungnya Human Rights— sebagai salah satu yang lahir dari konsep Antroposentris, dalam beberapa kasus, seperti kampanye yang menyuarakan penghentian penggunaan atas hewan. Misalnya, untuk keperluan makanan, bahan pakaian, produk kecantikan atau percobaan. Akan tetapi, lewat tuntutan ini akan banyak problem yang timbul, salah satunya dari segi lapangan pekerjaan. Human Rights yang telah menjamin kesejahteraan bagi seluruh manusia, harus mengerahkan pekerjaan yang dulu menghidupi manusia kepada pekerjaan lain apabila penggunaan atas hewan dilindungi hukum.

(12)

Tidak hanya itu, penggunaan terhadap hewan sebagai objek eksperimen merupakan jalan keluar dari studi ilmiah dalam menyelamatkan kepentingan dan nyawa manusia.

Animal Rights menolak Utilitarianisme karena dianggap memiliki dasar pengelompokan

hewan berdasarkan kemampuan suffering. Tom Regan dalam mempertahankan Animal Rights, mengatakan semua pembelaan terhadap hewan hanya sampai kepada taraf pembelaan yang sia-sia dan tidak sungguh mencapai apa yang seharusnya diterapkan secara global bila tidak mengajukan tuntutan perlindungan itu dalam hukum. Tetapi di sisi lain pembelaan itu juga tidak dapat menentukan kepentingan hewan dan manusia dalam posisi sosial yang jelas berbeda. Penggunaan atas hewan kadang merupakan salah satu jalan yang membuat kepentingan hewan dan perannya dihargai, lewat kebergunaan mereka untuk manusia, sebagai contoh kebergunaan mereka untuk dimakan, sebagai alat transportasi dan objek penelitian.

3.3 Rights dalam Akademis

Diterapkannya Animal Rights secara universal, akan memiliki dampak dalam wilayah akademis. Salah satunya, kewajiban memperluas pengetahuan atas hewan. Manusia diwajibkan memperkaya pengetahuan tentang hewan dan segala elemennya termasuk perlakuan ideal untuk masing-masing hewan. Dokter hewan mesti disejajarkan dengan dokter manusia, untuk semua dokter umum diwajibkan menguasai struktur organ tubuh manusia dan hewan, serta semua penyakit dan penangannya. Sementara melihat kemungkinan dokter spesialis, akan muncul banyak spesialisasi kategori tersebut. Misalnya, dokter mamalia, dokter reptil, dokter amphibi, bahkan kategorisasi yang lebih spesifik, diantaranya, dokter Singa, dokter Gajah, dokter Orang Utan, atau bahkan sampai ke dokter spesialis THT Panda Jepang.

Tidak hanya dalam bidang pendidikan medis, kancah hukum pun dimungkinkan mengadakan pengacara untuk membuat kasus pelanggaran dapat ditangani secara serius. Hal ini membuat praktisi hukum harus mendalami hukum tidak hanya relasi manusia dan manusia, tetapi antara manusia dengan hewan dan hewan dengan hewan. Dituntutnya seorang akademisi untuk menguasai persoalan melampaui relasi sesama manusia, akan membuat banyak persoalan baru. Contohnya, muatan lokal di suatu negara harus bertambah seiring dengan concern manusia terhadap hewan. Orang tua harus menanamkan etika bahwa membunuh hewan, sekecil apapun hewan tersebut, merupakan perbuatan yang melanggar hukum kepada anaknya. Tidak menutup kemungkinan, bayi sekalipun memiliki kecenderungan tidak sengaja membunuh hewan atau

(13)

orang tua merasa bahwa hewan tersebut membahayakan bayinya maka perlu dibunuh. Prediksi ini membuat Animal Rights perlu dipertanyakan, hukum di sini harus bekerja untuk memihak siapa.

Penghapusan terhadap cerita hewan atau fable juga akan terjadi untuk menghapus spesiesme melalui Animal Rights dalam dunia pendidikan. Tidak hanya itu, wawasan seseorang akan diukur dari seberapa besar ia memiliki sumbangsih terhadap permasalahan hak dan evolusi melalui Animal Rights, yang mana rasionalitas dari banyak argumen untuk membela gerakan ini, tidak pernah pergi dari penyetaraan berdasarkan compassion, duty of humanity dan ekspansi dari teori moralitas yang seharusnya untuk manusia.

3.4 Animal Rights & Citizenship

Ekspansi dari absurditas ini pun berbicara tentang prediksi selanjutnya dari Animal Rights itu sendiri. Terlepas dari tujuannya, untuk melindungi hewan secara hukum, memberikan kesejahteraan, mensejajarkan dengan Human Rights, Animal Rights harus memikirkan kewajiban dari hewan tersebut, seperti hubungan timbal-balik antara manusia dan negara lewat citizenship atau kewarganegaraan. Hubungan timbal-balik yang dimaksud, negara menjamin keselamatan dan kesejahteraan manusia lewat kewarganegaraannya, dan manusia berkontribusi serta berpartisipasi aktif terhadap negaranya lewat kewarganegaraannya.

Semula, negara merupakan pemegang kendali atas warga negaranya. Selama ada kesepakatan negara akan menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga negara, persyaratan yang harus dijalani adalah warga negara harus tunduk dalam semua aturan negara. Namun dalam keberlangsungannya, tidak menutup kemungkinan kesepakatan ini lebih mementingkan kepentingan negara. Adanya kerja paksa dan penjajahan atas suatu negara kepada negara lain adalah salah satu bukti kekuasaan negara, sehingga perlindungan atas manusia harus diberikan perindividual dan dilegalkan secara universal melampaui kewenangan negara atas warga negaranya lewat Human Rights. Kendali atas negara terhadap warga negaranya kini harus melalui standardisasi Human Rights yang mengatur prinsip kehidupan lewat menjunjung tinggi nilai kesetaraan martabat dan kemanusiaan, meskipun ketika seseorang tidak memiliki kewarganegaraan, maka ia pun juga terbebas dari kerja paksa, perbudakan, kekejaman dan pembunuhan karena keseragaman hak secara individual yang diterapkan Human Rights.

(14)

Setiap warga negara memiliki kewajiban membela negaranya dan ikut berpartisipasi terhadap demokrasi yang diberlakukan, seperti dalam peperangan, pemilihan umum dan penentu suatu aturan untuk diterapkan negara. Kewarganegaraan juga dapat diartikan sebagai batasan, manusia tidak memiliki kewajiban berpatisipasi terhadap negara lain, tetapi boleh melakukan partisipasi lewat kerjasama antar negara dan sukarelawan membantu masalah yang terjadi di luar negaranya. Kewarganegaraan juga berperan sebagai identitas yang membedakan budaya antar negara, pemberian hak paten terhadap suatu budaya berdasarkan sejarah dari warga negara yang menciptakan dan menjalankan budaya tersebut di dalam negaranya.

Penjelasan pada paragraph sebelumnya itu merupakan faktor yang dapat mengganggu jalannya rasionalisasi atas disahkannya Animal Rights sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak dapat diperdebatkan lagi. Dilihat dari kemampuan yang dimiliki, hewan dinilai tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai warga Negara, bila kemudian hewan diberikan hak yang universal dan dilindungi secara hukum. Hubungan timbal-balik tidak akan berlaku atas pengadaan tersebut, karena hewan hanya akan diberikan perlindungannya tanpa bisa mengembalikan perlindungan tersebut terhadap negaranya.

Masalah tersebut terjadi dalam perdebatan atas hak dan kewarganegaraan yang diberikan terhadap anak dibawah umur yang belum mengerti partisipasi dan kewarganegaraannya. Seperti difabilitas yang kerap kali juga tidak dapat memberikan hubungan timbal-balik terhadap negara karena keterbatasannya. Berkaitan dengan kritik ini, gerakan yang membela difabilitas keberatan atas perbedaan yang diberikan kepada mereka dalam hak dan status kewarganegaraan. Keberadaan mereka sebagai manusia dan melalui Universal Human Rights, difabilitas tetap memiliki inviolable rights. Partisipasi mereka sebagai kewajiban seorang warga negara yang dapat diwakili orang tuanya dalam paternalisme sosial. Seorang yang memiliki difabilitas terkadang tidak mampu menyampaikan maksud mereka, kecuali sebatas tanda pergerakannya terkadang hanya dapat dimengerti orang terdekat mereka. Gerakan yang lebih baru lagi mengenai perdebatan ini dapat dilihat melalui slogan “nothing about us without us” yang membuat mereka resmi memiliki kewarganegaraan yang haknya dilindungi hukum, meski tidak dapat berpartisipasi secara penuh.

Terkait hal ini, ada argumentasi menyatakan perlu membela difabilitas sebagai warga negara istimewa, meski adanya perbedaan kemampuan. Penilaian atas difabilitas ini menciptakan komitmen dengan manusia normal melalui kepercayaan jujur dua pihak. Meski kemampuannya

(15)

berbeda, pihak yang menyandang difabilitas ini tetap memiliki entitas sama, yaitu being sebagai manusia. Dengan begitu, difabilitas masih dianggap memiliki kapasitas sebagai warga negara, lantaran ia mampu mengekspresikan dirinya sebagai seseorang yang baik, lewat kepribadian dan komunikasi. Kapasitas lainnya, mereka mampu tergabung dalam masyarakat dengan relasi yang saling percaya satu sama lain. Tidak hanya itu, mereka pun dimungkinkan berpartisipasi meski dengan bentuk interaksi yang berbeda.6

Pendukung Animal Rights seharusnya mulai berpikir bahwa pengadaan kewarganegaraan atas hewan tidak dapat terlepas dari keadaan memilah-milih jenis hewan yang akan dilindungi. Pertanyaannya, apakah hewan tersebut diukur berdasarkan kemampuan, kedekatan dengan kehidupan manusia atau yang menguntungkan manusia? Bila pengukuran berdasarkan kemampuan, maka hewan yang hidup di alam liar sekalipun harus mendapat perhatian, seperti lumba-lumba atau simpanse. Poin berikutnya, jika pengukuran berdasarkan kedekatan dengan kehidupan manusia, maka nyamuk, semut sekalipun harus ada di dalam daftar perlindungan. Terakhir, apabila perlindungan adalah untuk hewan yang menguntungkan manusia, maka akan ada perlindungan hak terhadap hewan yang dapat menguntungkan manusia, misalnya dari segi pengobatan seperti lintah atau lebah sekalipun.

Ada nilai universal dan nilai teritorial terkait disahkannya Animal Rights dan Citizenship. Manusia tidak dapat menentukan batas dari perlindungan terhadap hewan. Sehingga jika hal ini diterapkan, akan terjadi kesenjangan antara hewan yang dilindungi dan tidak. Berbeda dengan

Human Rights yang mencakup semua keadaan dari manusia, meski memiliki kemampuan yang

berbeda seperti penyandang difabilitas. Hewan, dalam konteks ini, juga perlu diperhatikan tidak hanya haknya tetapi teritorial kenegaraannya, seekor lumba-lumba, apakah ia berenang terlalu jauh sehingga menerobos wilayah negara lain dan akhirnya dimiliki negara lain ataukah ia merusak properti dari negara lain sehingga negara harus bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Keadaan ini, sesungguhnya hanya mengganggu keadaan alami dari alam dan hewan. Perlindungan atas alam liar seharusnya menjadi pertimbangan Animal Rights itu sendiri, karena banyak hewan yang bisa dibiarkan hidup tanpa tersentuh tetapi karena mereka tidak dapat memilih untuk disentuh atau tidak, sehingga manusia merasa harus ikut campur ke dalamnya. Namun, apabila manusia tidak menyentuh kehidupan hewan, maka hubungan antara hewan dan

6

(16)

manusia dapat benar-benar hilang lantaran seringkali hubungan yang terjadi antar keduanya adalah hubungan tukar kepentingan.

Dengan diterapkannya perlindungan hukum untuk hewan, hidup dan mati mahluk itu adalah urusan hukum. Ketentuan itu mengandaikan adanya sensus pertumbuhan dan penyelidikan kematian atas hewan. Hal ini menggambarkan manusia telah menjadikan permasalahan alamiah menjadi sesuatu yang sangat teknis. Kesetaraan yang dinginkan Animal

Rights, sebenarnya hanya berbalik menjadi sesuatu yang dapat mengganggu wilderness dan natural dari ekosistem. “humas as cultural rather than natural and developed rather than wilderness”.7

3.5 Animal Rights & Other Rights

Hewan tidak hanya diandaikan perlu berpartisipasi dalam aktivitas Negara, tetapi juga ia nantinya dianggap layak memiliki partai demi menjadi setara dengan manusia. Alasannya paralel dengan perjuangan feminis untuk menjadi setara dengan laki-laki datang dari usaha perempuan itu sendiri, sehingga penyetaraan hewan atas manusia juga harus datang dari hewan tersebut. Partai untuk hewan harus disejajarkan dengan partai manusia, partai itu juga mesti memiliki kepentingan, apakah untuk berkuasa, merubah tatanan suatu wilayah atau menjadi pengatur dari institusi. Meskipun sebuah partai hewan tidak dapat dijalankan oleh hewan, tetapi manusia sebagai perwakilan dari partai hewan mesti mengikutsertakan hewan sebagai pengurus partai.

Perlindungan hukum harus mampu mengukur kapasitas pihak yang dilindungi, termasuk hak multikultural perlu diberikan kepada hewan. Multikultural mencakup hak untuk diobservasi dan dihapuskan diskriminasi diantaranya. Sehingga, sesama hewan diharapkan dapat hidup berdampingan dan dilarang saling membunuh atau memakan karena ada hak dan kewajiban yang dilindungi tersebut.

Kemampuan manusia dalam memperjuangkan hak, harus tetap dilandasi kepentingan rasional untuk manusia itu sendiri, terlebih demi pembelaan atas hak mereka. Namun, pengadaan atas hak ini seringkali menumbuhkan rasionalitas lain yaitu rasionalitas yang optimis. Rasionalitas macam ini diliputi optimisme bahwa hewan tidak dapat melakukan tindakan yang manusia lakukan. Dengan segala kemampuan yang tidak dimiliki hewan, maka manusia

7

(17)

diberikan tanggung jawab atas alam. Kewajiban manusia mesti menjaga dan mengolah alam dalam kapasitas yang mempertimbangkan kepentingan alam, termasuk kepentingan hewan.

Diberikannya ruang optimisme ini dilakukan demi pertimbangan atas alam, sehingga antisipasi dari rasionalitas lainnya adalah akan terjadinya banyak evolusi atas hak alam. Contohnya, apabila hak hewan sudah diakui, maka akan banyak hak lain yang diberikan demi kepentingan hewan itu. Misalnya saja, hal ini serupa dengan hak batu agar tetap keras supaya dapat melindungi hewan yang tinggal di baliknya; hak pohon bambu agar tidak terlalu besar supaya panda tetap dapat mengkonsumsinya dan banyak evolusi atas hak yang mungkin diberikan manusia setelahnya.

Kembali lagi, pengadaan hak terhadap hewan, merupakan sebuah resiprokasi yang perlu diantisipasi apakah tujuannya membawa kepada kebaikan yang dapat dirasionalkan dan berhak menjadi legal, atau hanya semacam kegusaran manusia yang kemudian melahirkan antisipasi karena tidak dapat menjamin kesejahteraan hewan. Alasannya, rasionalitas lain selain mereka yang menunjukan keterangan optimisme, menganggap bagaimanapun kepentingan manusia adalah kepentingan yang lebih memiliki urgensitas dari kepentingan alam dan hewan tersebut. Menjaga dan mengolah merupakan tanggung jawab yang melekat disamping penggunaan dari manusia sendiri.

Manusia menerapkan welfare dalam menjamin relasi manusia dan hewan, merupakan hubungan yang akan saling menguntungkan. Manusia mampu mengatasi problem jumlah populasi dan meminimalisir tingkat kepunahan dalam pemakaiannya melalui teknologi, yaitu peternakan, inseminasi, kloning ataupun bayi tabung. Dalam penggunaannya, manusia harus bertanggung jawab atas jumlah hewan di dalam lingkar kehidupannya. Begitupun manusia terhadap hewan peliharaannya. Manusia merasa memiliki teman lewat hewan peliharaannya, merasa terjaga oleh anjingnya, merasakan prestige memiliki hewan peliharaan yang bagus, mahal dan terawat. Dalam hubungan lebih lumrah antara manusia dan hewan yaitu manusia bisa mengkonsumsi hewan sebagai makan, pakaian, aksesoris, obat ataupun kecantikan. Begitupun sebaliknya hewan terhadap manusia, hewan yang dapat mendapatkan makanan dari manusia atau perlindungan dan perawatan dari pemiliknya.

(18)

Perlindungan relasi mengandaikan moral manusia sebagai agent dan hewan sebagai pasien. Hal ini memungkinkan manusia memiliki hak membela hewan sebagai relasi dari kemanusiaan terlepas dari pengadaan hak terhadap hewan itu sendiri, dan hubungan yang terjadi antara keduanya tidak dapat diartikan dan dibekukan dalam hukum. Alasannya, hal itu merupakan hak kemanusiaan yang hanya dapat dimaknai manusia sebagai makhluk yang mengerti moralitas lantaran pada dasarnya, kekejaman atas hewan adalah salah satu tindakan yang merusak kemanusiaan.

Manusia sebagai moral agent mendapati keadaan ia diberikan kewenangan sebagai seorang praktisi hukum membela hewan yang haknya diganggu oleh manusia lain, seperti dalam kasus Animal Law. Animal Law sendiri adalah bagian dari Animal Rights yang ingin semua agen moral yang berkesadaran memiliki antusiasme hewan adalah organisme hidup yang memiliki nilai intrinsik dan dapat menjaga keselarasan di antara kehidupan manusia. Keberadaan ini sesungguhnya merupakan keabsurdan dari Animal Law dan manusia sebagai moral agent. Dalam penerapannya, manusia yang berada di balik Animal Law akan melakukan advokasi dengan menyerang manusia lain yang dianggap melakukan kekejaman terhadap hewan, dan kasus kekejaman seperti itu menyeret banyak pihak untuk ikut bertanggung jawab seperti kriminalitas yang dilakukan manusia terhadap manusia lain. Manusia akan dibagi menjadi dua dalam kaitannya dengan Animal Law, manusia yang bekerja untuk membela kepentingan hewan dan manusia yang mempertahankan kepentingannya.

Dalam kaitan manusia sebagai moral agent, Regan mengakui adanya kesulitan dalam menerapkan Animal Rights. Membutuhkan banyak tangan dalam mewujudkan keseteraan manusia dan hewan. Manusia harus terlebih dahulu mengubah belief mereka sebelum mengubah

habit mereka. Tidak hanya itu, manusia pun dituntut mengubah konsep tentang reasoning

mengapa perlakuan etis harus dilakukan, daripada hanya berlandaskan compassion atau rasa kasihan semata. Prinsipnya, manusia dapat menerapkan perlakuan etis terhadap semua hewan, bukan hanya hewan perliharaannya. Mengenai moralitas, tidak hanya berbicara tentang perlakuan etis tetapi bagaimana melihat mereka sebagai bagian dari kontrak sosial.8

Kekejaman yang dilakukan kepada hewan dalam proses produksi, banyak dilatar belakangi oleh tuntutan keefektifan waktu dan faktor finansial. Contoh, gelonggong sapi menunjukkan tindakan manusia dalam memaksakan sapi mengkonsumsi air diluar batas wajar

8

(19)

adalah kekejaman, yang manusia sendiri menyadari ia telah melakukan perbuatan tidak etis. Namun, pada posisi manusia sebagai moral agent, jaminan kesejahteraan untuk manusia ialah prioritas. Kepentingan manusia harus selalu dalam pertimbangan, mengingat menjaga kesejahteraan manusia sama saja menciptakan moral agent lainnya. Maka kesejahteraan manusia harus menjadi hal yang didahulukan karena hal ini dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam menentukan pilihan untuk tidak melakukan kekejaman.

Senada dengan bahasan sebelumnya, para pecinta hewan, justru berasal dari negara-negara maju yang secara financial mampu untuk tidak menggunakan hewan sebagai konsumsi pangan, tetapi sebagai konsumsi sosial. Anggapannya, memiliki peliharaan yang banyak dan lucu adalah kebanggaan. Konsumsi sosial ini dianggap bersebrangan dengan pihak yang mengkonsumsi hewan guna menyambung hidup seperti yang dilakukan di Afrika atau bagian negara lain. Pembedaan ini menuai pernyataan, kesejahteraan suatu negara telah menjamin hidup warga negaranya sehingga perlindungan terhadap hewan dengan sendirinya bermunculan.

Terlepas dari perlindungan hukum terhadap hewan yang masih dirasa penting, sepertinya manusia perlu mulai memikirkan jalan keluar lain—cara rasional adalah tidak dengan melindungi yang tidak mengerti perlindungan tersebut atau dalam perannya sebagai moral

patient. Akan tetapi, mendahulukan untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan.

Melindungi pihak yang mengerti, bahwa proteksi hewan adalah sebuah tindakan yang benar dan memuliakan kemanusiaan seperti prinsip dasar moral agent. Dengan demikian, para pembela hak hewan yang mengabdikan hidupnya demi kepentingan hewan harus diberikan jaminan perlindungan hukum dan kesejahteraan dua kali lebih besar dari manusia yang tidak melakukannya. Penerapan jaminan kesejahteraan manusia secara universal penting dilakukan sebagai upaya pengurangan kekejaman terhadap hewan lewat penggunaan mahluk itu sebagai konsumsi dan objek eksploitasi.

E. Kesimpulan dan Saran

Animal Rights, sudah melegalkan status hewan sebagai being sejak 1992 di Switzerland,

dan beberapa periode kemudian, Jerman memutuskan untuk menerapkan Animal Rights sebagai salah satu garansi di negaranya pada tahun 2002 melalui amandemen pertama di tahun 1997. Kesuksesan yang terbesar dari aktivis Animal Rights adalah dibentuknya Undang-Undang perlindungan terhadap lima Great Ape di New Zealand tahun 1999. Garis besar perlindungan

(20)

tersebut menyatakan bahwa lima spesies Great Ape tersebut harus bebas dari penggunaan sebagai percobaan laboratorium, testing maupun dilatih untuk kepentingan sirkus. Perlindungan yang sejajar dengan diboikotnya percobaan terhadap Great Ape oleh Inggris di tahun 1986 ini kemudian diadaptasi oleh beberapa negara bagian lain sebagai suatu perlindungan terhadap

Great Ape karena dalam penelitian, Great Ape memiliki kualitas „human-like’, dimana di dalam

kemampuan bernalarnya, Great Ape setara dengan manusia umur 2 tahun.

Seperti terwujudnya sebuah perlindungan terhadap Great Ape yang dinamakan Great Ape

Project (GAP) oleh Peter Singer di Australia, merupakan perluasan dari sisi Darwinian dalam

filsafat Singer. Filosofis sebuah gerakan pembebasan hewan yang harus diadaptasi secara universal karena merupakan bentuk dari kesetaraan antara hewan dan manusia lewat utilititarianisme.9 Dalam The Great Ape Debate, Peter Singer berargumen bahwa spesiesme harus dihapuskan, dan moral manusia harus melampaui kepentingan spesies lain, sehingga tercipta suatu “kesetaraan” diantara keduanya.

Di sisi lain, spesiesme akan tetap ada mengingat kapasitas dari hewan yang memiliki banyak perbedaan signifikan. Rasionalitas dengan acuan moralitas, dapat menghasilkan tindakan-tindakan yang menghindari manusia dari kekejaman terhadap apapun. Soal memunculkan argumentasi yang rasional dan tidak rasional, terlihat seperti jalur yang tidak ingin

Animal Rights lewati. Imperatif Kategoris, Immanuel Kant dipakai perlindungan ini sebagai

acuan dari alasan mengapa hewan perlu diberikan hak setara dengan manusia. Namun, aturan moral yang berlaku universal atau maksim, menyampaikan moralitas dibalik gerakan Animal

Rights tidaklah memenuhi standar dan tidak dapat diuniversalisasikan sebagai sebuah hukum.

Terlihat dari kritik responsif terhadap gerakan tersebut yang memprediksi terjadinya kontroversi. Karena hukum yang diterapkan mesti mengandung kebijakan yang baik, untuk kembali kepada pihak yang terkait.10

Ethics dan legal protection ada untuk manusia. Dalam relasinya dengan hewan,

semestinya penerapan ethics dan legal protection tidak menimbulkan permasalahan lanjutan, tetapi justru harus menjadi acuan utama untuk memecahkan masalah. Dalam prakteknya, bila perlindungan hukum bekerja untuk melindungi hewan, maka perlindungan tersebut juga harus valid untuk perlindungan terhadap manusia. Bila kesepakatan dilanggar dan keberadaan manusia

9 Benthall, Jonathan. (2007). "Animal liberation and rights", Anthropology Today, volume 23, issue 2, April. 10

(21)

terancam, hewan juga harus dijerat hukuman. Kemampuan suffering yang disudutkan utilitarian, dalam menjelaskan fenomena ini akan diuji melalui kegelisahan manusia dan hewan bila harus mengisi ruang sempit tahanan.

Suffering manusia dapat ditangkap lebih nyata melalui ekspresi dan kemampuan

menyatakan secara verbal. Kepentingan manusia yang harus ditinggalkan demi menjalani hukuman bisa menjadi sangat banyak dibandingkan dengan hewan. Kemampuan makhluk itu untuk suffering tidak selalu dapat ditunjukan, dan kepentingan hewan tidak pernah melampaui apa yang disebut dengan „mencari makan‟. Apabila hewan ditahan di tempat yang sama dengan manusia, terlihat jelas siapa yang memiliki kemampuan suffering paling tinggi. Titik berangkat yang dilalui utilitarian untuk melakukan perlindungan pun tidak benar-benar kuat untuk memihak sebuah kepentingan berdasarkan contoh di atas.

Seperti yang dilansir New York Times, tanggal 6 April 2013, bahwa merekam kekejaman yang terjadi selama proses produksi makanan berbahan dasar daging merupakan tindakan kriminal. Kepentingan manusia menjadi tergeser akibat banyaknya pihak yang protes dan menghentikan kerja sama dengan produsen daging tersebut. Penyebaran video tersebut menjadi provokasi yang dibuat agar manusia menghentikan penggunaan terhadap hewan, sehingga produsen daging terancam bangkrut dan itu berarti menghapus lapangan kerja. Hal ini menggambarkan kepentingan manusia jauh lebih terganggu dibandingkan kepentingan hewan. Dalam kasus ini, mengabaikan manusia lain dan meminggirkan kepentingannya dalam usaha mendapatkan kesejahteraan hewan adalah hal yang melanggar hukum. Sebagai suatu maxim yang sudah disepakati, hal ini pun meminggirkan Human Rights yang bekerja secara nyata dalam melindungi kesejahteraan manusia.

Solusi yang ditawarkan dalam penulisan ini adalah jalan keluar lain dalam menjaga kemanusiaan lewat perlakuan etis terhadap hewan dengan tidak membebankan kewajiban kepada manusia lain. Moralitas manusia yang memiliki antusiasme tinggi dalam menjaga relasinya dengan hewan perlu dilindungi oleh hukum, lebih dari perlindungan terhadap manusia yang tidak memiliki antusiasme tinggi mengenai relasi ini. Seperti dengan memberikan insentif atau perlindungan hukum ganda terhadap pejuang kemanusiaan lewat perlakuan etis terhadap hewan. Dengan begitu, kehadiran moral agent untuk memperluas jaminan kesejahteraan bagi hewan dapat tercapai sebagai suatu harmonisasi relasi manusia dan hewan. Manusia tidak perlu meminggirkan kepentingannya, karena prioritas perlindungan terhadap dirinya bertambah, dan

(22)

hewan tidak perlu menjadi setara karena perlakuan etis atasnya sudah dijamin oleh moral agent yang memiliki concern terhadap hal ini.

Pada intinya, bila permasalahan kekejaman terhadap hewan ingin selesai, maka permasalahan kemanusiaan harus lebih dahulu diselesaikan. Adanya eksploitasi atas hewan terjadi karena adanya eksploitasi atas manusia. Kesejahteraan manusia harus menjadi prioritas sebelum kesejahteraan hewan dapat diterapkan. Begitupun jaminan atas relasi sesama manusia, harus tetap menjadi kajian utama yang dibahas sebelum manusia memutuskan untuk mengkaji relasi manusia dan hewan. Karena bagaimanapun, kekejaman yang dilakukan manusia terhadap manusia lain merupakan masalah yang lebih penting untuk ditangani, disamping penanganan kekejaman terhadap hewan. Apabila kekejaman dalam relasi sesama manusia sudah berhasil mencapai final sebagai penyelesaian, maka urusan kekejaman terhadap hewan baru dapat ditindak lanjuti. Penekanan tersebut memberikan batasan bahwa kepentingan hewan tidak bisa berada di atas kepentingan manusia, sehingga gangguan akan kemanusiaan tidak terjadi lewat kepedulian manusia sendiri. Relasi ideal adalah relasi yang kembali kepada kemanusiaan sebagai dasar dari pertimbangan tindakan.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, Arluke. (1996). Clinton Sanders Regarding Animals. Temple University Press.

Boria Sax. (2000). Animals in the Third Reich: Pets, Scapegoats, and the Holocaust. Continuum International Publishing Group.

Cavalieri, Paola and Singer, Peter (eds). (1994). The Great Ape Project: Equality Beyond

Humanity. St. Martin's Press.

Donaldson, Sue and Kymlicka, Will. (2011). Zoopolis, a political theory of Animal Rights. New York: Oxford University Press.

Donovan, Josephine. (2007). "Animal Rights and Feminist Theory," di dalam Josephine Donovan, Carol J. Adams, The Feminist Care Tradition in Animal Ethics: A Reader. Columbia University Press.

Franklin, Julian H. (2005). Animal Rights and Moral Philosophy. New York: Colombia University Press.

Francis, L.P. Silvers, Anita. (2007). Liberalism and Individually Scripted Ideas of the Good:

(23)

Francione, Gary. (1995). Animals, Property, and the Law. Temple University Press.

Garner, Robert. (2005) The Political Theory of Animals Rights. Manchester University Press. Griffin, Donald R. (1992). Animal Minds. University of Chicago.

Kant, Immanuel. (1952). Critique of Judgement. Oxford: Clarendon Press.

_____________ (1964). Groundwork of metaphysic of morals. New York, Harper..

Locke, John. (1988). Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press. ___________ (1693). Some Thoughts Concerning Education. Boston: Samuel N. Dickinson, printer.

Midgley, Mary. (1984). Animals and Why They Matter. University of Georgia Press. MacKinnon,

Nussbaum, Martha. (2006). Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership. Harvard University Press.

Rawls, John. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: Cambridge University Press. Regan, Tom. (1983). The Case for Animal Rights. University of California Press. Singer, Peter. (1990). Animal Liberation. New York: Avon books.

Spencer, Colin. (1995). The Heretic's Feast: A History of Vegetarianism. University Press of New England.

Steiner, Gary. (2005). Anthropocentrism and its Discontents: The Moral Status of Animals in the

History of Western Philosophy. University of Pittsburgh Press.

Sunstein, Cass R. "Can Animals Sue?" in Sunstein, Cass R. and Nussbaum, Martha. (2004). Animal Rights. Oxford University Press.

Taylor, Angus. (2009). Animals and Ethics: An Overview of the Philosophical Debate. Broadview Press,

Waldau, Paul. (2001). The Specter of Speciesism: Buddhist and Christian Views of Animals. Oxford University Press.

Jurnal:

Arluke and Sax, Unspecified (1993) Understanding Nazi Animal Protection and the Holocaust. Anthrozoos, 6 (2). pp. 72-107

Canadian Journal of Philosophy, (1977) Naverson on Egoism and the Rights of Animal. North Carolina State University, volume VII. pp. 179

(24)

Benthall, Jonathan. (2007). "Animal liberation and rights", Anthropology Today, volume 23, issue 2, April.

Referensi

Dokumen terkait

Paling tidak, gambaran model tersebut dapat membantu melacak bagaimana proses transformasi yang terjadi pada konteks data ekofak sampah cangkang kerang laut pada

Adalah berat jenis yang memperhitungkan volume partikel saja tanpa memperhitungkan volume pori yang dapat dilewati air.Atau merupakan bagian relative density dari bahan padat

Tujuan penelitian ini adalah menetapkan lokasi yang potensial untuk pengembangan kantong parkir pada rute Angkutan Umum Trans Sarbagita Koridor I dan Koridor II,

Hasil pemeriksaan fungsi paru diinterpretasikan melalui pembandingan nilai pengukuran yang didapat dengan nilai prediksi pada individu normal.. Prediksi nilai normal

Surfaktan terlarut dalam tetesan sisa minyak (residu minyak) sehingga meningkatkan saturasi di atas tingkat residu dan, di samping itu, tegangan permukaan antara tetesan minyak

Pada aspek pertama kemampuan berpikir kritis siswa yaitu memberikan penjelasan dasar, sebanyak 13 siswa yang dapat memaparkan informasi yang ada dalam masalah yang

Kebijakan revaluasi aset tetap akan mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari aset tetap, karena revaluasi akan mencatat nilai dari aset tetap menggunakan nilai pasar,

Hal ini disebabkan karena airtanah di daerah ini diperoleh dengan penggalian sedalam lebih dari 20 meter.Selain Mataair Umbulwadon, kedua desa tersebut juga memiliki