RESPONS PERTUMBUHAN SAPI PERANAKAN ONGOLE
DAN SILANGAN PADA KONDISI PAKAN BERBASIS LOW
EXTERNAL INPUT
(The Response of Growing Peranakan Ongole Cattle and the Crossbred at
Feed Low External Input Based)
HARTATI, MARIYONO danD.B. WIJONO Loka Penelitian Sapi Potong, Grati Pasuruan
ABSTRACT
Farmer interest on crossbred cattle was very high, and it could be proved by the fact that many local breed of Ongole - Peranakan Ongole (PO) had been crossed with Simmental or Limousin bull. Crossbred cattle have fast growth and high prices. However, this genetic potency will appear if supported by the availability of feedstuff in terms of quantity and quality. On the other hand, the availability of feedstuff is still an unsolved problem especially at areas with high density of livestock. Therefore, from 23 November 2004 to16 February 2005 a fattening experiment was conducted at Beef Cattle Research Station to find out the differences of growth responses between PO cattle and crossbreed. Twenty one (21) heads of cattle, 2–3 years old consisting of 13 heads of PO cattle with initial body weights of 288.60 ± 43.50 kg and 8 heads of crossbreed with body weight of 321.88 ± 54.65 kg were used. The feed used referred to Low External Input Concept by utilizing crop by-products, namely corn straw and rice straw. Corn straw and concentrate given was 3% of live weight, with a ration of corn straw and concentrate of 3:1. Elephant grass was given as much as 3 kg and dry rice straw was 1.25% of live weight. The parameters measured were feed consumption, daily weight gain, feed conversion, and benefit cost ratio. Data were analyzed by using analysis of variance with body weight as a covariance. The results showed that feed consumption of PO cattle was significantly different (P<0.05) from that of the crossbred and not significantly different (P<0.05) in conversion ratio and life weight gain that were 0.85 kg for PO cattle and 0.82 kg for crossbreed. The feed conversions were 29.73 and 35.40 for PO cattle and cross cattle respectively. Benefit cost ratios were 3.49 for PO cattle and 3.13 for cross cattle. At a condition with limited quality feed, rearing PO cattle is more beneficial.
Key Words: PO Cattle, Cross Cattle, Rearing, Low External Input
ABSTRAK
Minat petani terhadap sapi silangan sangat tinggi, terbukti dari banyaknya sapi-sapi lokal (PO) yang disilangkan dengan jenis Simmental atau Limousin. Sapi silangan mempunyai pertumbuhan yang cepat dan harga bakalannya pun tinggi; namun potensi genetik ini akan muncul bila ditunjang oleh ketersediaan pakan yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitas. Disisi lain ketersediaan pakan ternak masih menjadi masalah yang belum terpecahkan terutama di daerah-daerah padat ternak. Oleh karena itu, sejak 23 November 2004– 16 Februari 2005 dilakukan uji coba pembesaran sapi jantan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong guna mengetahui perbedaan respons pertumbuhan antara sapi lokal dengan silangan. Sebanyak 21 ekor sapi potong jantan umur 2-3 tahun yang terdiri atas 13 ekor sapi PO dengan bobot hidup awal 288,60 ± 43,50 kg dan 8 ekor sapi silangan (PO X Simmental dan PO X Limousin) dengan bobot hidup awal 321,88 ± 54,65 kg. Pakan yang digunakan mengacu kepada konsep Low External Input, dengan memanfaatkan limbah pertanian berupa tumpi jagung dan jerami padi. Tumpi dan konsentrat diberikan sebanyak 3% BH. Perbandingan antara tumpi dan konsentrat adalah 3:1. Rumput gajah diberikan sebanyak 3 kg dan jerami padi kering diberikan sebanyak 1,25% BH. Parameter yang diamati adalah konsumsi bahan kering (BK) ransum, PBHH, konversi pakan dan Benefit Cost ratio (B/C). Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis variansi, menggunakan uji-t dengan bobot hidup awal sebagai covariate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi BK ransum pada sapi PO berbeda nyata (P<0,05) dengan sapi silangan dan tidak berbeda (P>0,05) terhadap konversi ransum dan tampilan PBHH yaitu 0,85 kg pada sapi PO dan 0,82 kg pada sapi silangan. Konversi ransum 29,73 dan 35,40 berturut-turut untuk sapi PO dan silangan. BC ratio 3,49 pada sapi PO dan
3,13 pada sapi silangan. Pada kondisi keterbatasan kualitas pakan, pembesaran sapi PO lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi silangan.
Kata Kunci: Sapi PO, Sapi Silangan, Pertumbuhan, Low External Input
PENDAHULUAN
Usaha agribisnis sapi potong secara nasional mengalami problema yang ditunjukkan dengan adanya isu penurunan populasi sapi potong dari tahun ke tahun. Telah banyak usaha dilakukan untuk meningkatkan populasi, namun hasilnya belum memberikan dampak positif (YUSDJA, 2003). Pada tahun 2001 populasi sapi potong di Indonesia mencapai 11,1 juta ekor dengan jumlah sapi PO sebanyak 874.000 ekor (7,81%) dan 74,58% berada di Jawa (ANONIMUS, 2003a). Pada tahun 2002 populasi sapi potong mengalami penurunan menjadi 10,436 juta ekor, 28,90% tersebar di Jawa Timur dengan jumlah sapi PO sebanyak 468.807 ekor (ANONIMUS, 2003b). Penurunan ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa sapi PO merupakan aset genetik yang perlu dipertahankan (ASTUTI, 2004).
Selain itu, sistem pemeliharaan sapi potong pada tingkat peternak produktivitasnya masih rendah dengan tingkat pertumbuhan <0,5 kg/hari (UTOMO et al., 1999). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sapi PO, salah satunya adalah melalui sistem persilangan. Tidak kurang dari 10 macam bangsa sapi potong telah diimpor, baik berupa ternak hidup maupun dalam bentuk semen beku untuk disilangkan dengan ternak lokal (HARDJOSUBROTO, 2004). Sistem persilangan yang dilakukan lebih ditujukan untuk menghasilkan bangsa baru melalui
grading up dan untuk menghasilkan sapi jantan
(final stock) yang pada akhirnya digunakan untuk penggemukan (THALIB dan SIREGAR, 1999).
Sapi hasil silangan menunjukkan perfor-mans yang lebih baik dibandingkan dengan sapi lokal, sehingga banyak disenangi oleh peternak, terbukti dari banyaknya sapi-sapi
bangsa sapi yang ada (ANONIMUS, 2003b). Disamping mempunyai pertumbuhan yang cepat dan kualitas karkas yang baik, sapi hasil silangan juga mempunyai harga jual yang tinggi. Harga jual bakalan turunan Simmental dan Limousin lepas sapih bisa mencapai Rp. 3.500.000 (YUSRAN et al., 2001)
Sapi PO dan silangan mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda terhadap lingkungan, terutama terhadap pakan yang sebagian besar terdiri atas limbah pertanian. Sapi yang mampu beradaptasi akan mempunyai penampilan produksi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons pertumbuhan sapi PO dan silangan yang dipelihara pada kondisi
Low External Input.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong selama 85 hari. Materi yang digunakan adalah 21 ekor sapi potong jantan yang terdiri atas 13 ekor sapi (PO dan 8 ekor sapi silangan (PO X Simmental atau PO X Limousin), umur 2-3 tahun dengan bobot hidup awal masing-masing adalah 288,60 ± 42,30 kg dan 321,88 ± 54,60 kg.
Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep low
external input, yaitu dengan memanfaatkan
limbah-limbah pertanian berupa tumpi jagung dan jerami padi. Suplementasi konsentrat diperlukan untuk mensubstitusi kekurangan nutrien jerami padi. Konsentrat yang digunakan adalah konsentrat sapi potong produksi Pabrik Makanan Ternak “Yellow
Feed” Kejayan Pasuruan. Tumpi dan
konsentrat diberikan sebanyak 3% dari bobot hidup (BH) dengan perbandingan 3 : 1; rumput gajah diberikan sebanyak 3 kg dan jerami padi diberikan sebanyak 1,25% BH.
Tabel 1. Kandungan zat nutrien bahan pakan penyusun ransum
Nutrien Tumpi Konsentrat Jerami padi Rumput Gajah Bahan kering (%) PK (%) SK (%) BO (%) TDN (%) 77,30 8,04 11,69 68,16 51,16 90,47 10,67 15,16 80,47 60,73 92,35 4,27 34,60 69,38 41,43 20,30 6,30 33,60 10,38 52,20 Hasil analisa laboratorium pakan Loka Penelitian sapi Potong
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan Total
Digestible Nutrien (TDN) ransum, pertambahan
bobot hidup harian (PBHH), konversi ransum dan benefit cost ratio (BC Ratio). Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan diuji dengan uji t-student menurut petunjuk SUDJANA (1989), bobot hidup awal sebagai covariate.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi ransum
Rataan konsumsi BK, PK, BO dan TDN ransum hasil penelitian tertera pada Tabel 2. Hasil analisis statistik terhadap konsumsi BK ransum pada sapi PO dan silangan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Konsumsi BK ransum pada sapi silangan lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi BK sapi PO. Perbedaan ini disebabkan oleh bobot badan yang berbeda pada kedua bangsa sapi. Semakin besar ukuran tubuh atau bobot hidup ternak maka akan semakin besar pula pakan yang dibutuhkan (ARYOGI, 2004). Disamping perbedaan bobot hidup, konsumsi juga dipengaruhi oleh bangsa sapi (SITEPU, 1997).
Hasil analisis kovariansi sapi PO dengan rataan bobot badan awal 288,60 kg menghasilkan konsumsi BK ransum sebesar 9,36 kg/ekor/hari atau setara dengan 3,24% BB, sedangkan konsumsi BK ransum sapi
silangan dengan rataan bobot hidup awal 321,90 kg adalah 11,36 kg/ekor/hari atau setara dengan 3,53% BH. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ARYOGI (2004) bahwa konsumsi BK sapi PO lebih rendah dibandingkan dengan sapi silangan Simmental X PO. Konsumsi BK ransum pada penelitian ini telah memenuhi standar kebutuhan yang direkomendasikan oleh RANJHAN (1981) sebanyak 8,10 kg/ekor/hari untuk target PBBH 0,90 kg pada rataan bobot hidup yang sama.
Tingginya konsumsi BK ransum pada sapi silangan mengindikasikan bahwa kemampuan konsumsi sapi silangan lebih baik dibandingkan dengan sapi PO, namun memiliki efisiensi ransum yang lebih rendah (7,37%) dibandingkan dengan sapi PO (9,08%). SITEPU (1997) menyatakan bahwa efisiensi pakan tergantung daripada breed dan umur pada sapi potong, sehingga diperlukan strategi pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan, bangsa dan faktor lainnya.
Konsumsi PK, BO dan TDN pada kedua bangsa sapi menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), perbedaan ini erat kaitannya dengan konsumsi BK yang berbeda nyata pula. Konsumsi PK dan TDN pada sapi PO belum mencapai kebutuhan yang direkomendasikan oleh RANJHAN (1981) masing-masing sebanyak 0,81 kg dan 5,4 kg untuk target PBHH 0,90 kg pada rata-rata bobot hidup yang sama, namun pada sapi silangan konsumsi PK dan TDN sudah memenuhi kebutuhan yang disarankan.
Tabel 2. Konsumsi ransum, PBBH dan Konversi ransum
Parameter Sapi PO Sapi Silangan
BK (kg/hari) PK (kg/hari) BO (kg/hari) TDN (kg/hari) PBHH (kg) Konversi ransum 9,36 ± 1,17a 0,67 ± 0,09a 6,25 ± 0,82a 4,66 ± 0,59a 0,85 ± 0,26a 29,73 ± 10,30a 11,36 ± 1,85b 0,82 ± 0,15b 7,68 ± 1,33b 5,67 ± 0,96b 0,82 ± 0,18a 35,40 ± 10,92a a,b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Pertambahan bobot hidup harian
PBHH pada kedua bangsa sapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). PBHH sapi silangan (0,82 kg) tidak berbeda dengan sapi PO (0,85 kg). Pada kondisi low
external input pertumbuhan sapi PO mampu
menyamai PBHH sapi silangan. ASTUTI et al.,
(2002) menyebutkan bahwa sapi Simmental atau Limmousin adalah sapi dari bangsa Bos
Taurus yang berasal dari daerah sedang
(temperate zone), terbiasa hidup di daerah dingin dengan tatalaksana pemeliharaan yang intensif sedangkan sapi PO termasuk bangsa
Bos Indicus yang berasal dari daerah tropis,
terbiasa hidup di daerah panas dan tatalaksana pemeliharaan yang ekstensif. Menurut TILLMAN et al.(1998), faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan, bila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, maka pertumbuhannya akan menjadi cepat, demikian pula sebaliknya.
Konsumsi BK ransum yang tinggi pada sapi silangan ternyata tidak diikuti oleh pertambahan bobot hidup, hal ini erat kaitannya dengan efisiensi ransum yang rendah. PBHH sapi PO dan silangan pada penelitian ini belum memenuhi standar menurut RANJHAN (1981) sebesar 0,90 kg, tetapi lebih tinggi daripada hasil penelitian UTOMO et al. (1999) yaitu 0,23 kg dengan pakan basal jerami padi yang diberikan secara
ad libitum dengan suplementasi konsentrat
komersial sebanyak 30 g/kg bobot hidup
pakan komplit berbahan dasar tongkol jagung menghasilkan PBHH 0,6 kg.
Konversi ransum
Konversi ransum pada sapi PO dan silangan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Konversi ransum pada sapi PO adalah 29,73 dan pada sapi silangan 35,40 tertera pada Tabel 2. Pada kondisi pakan low
external input sapi PO mempunyai efisiensi
pakan yang sama baik dengan sapi Simmental X PO (SIMPO) dan Limmousin (LIMPO).
Konversi ransum sapi PO pada penelitian ini lebih baik dari hasil penelitian UTOMO (2004) bahwa konversi pakan pada sapi jantan dewasa yang diberi pakan basal jerami padi secara ad libitum dengan suplementasi konsentrat komersial sebanyak 30 g/kg bobot hidup metabolik adalah 42,13. Hal ini berarti bahwa pemberian konsentrat sebanyak 64% dari kebutuhan BK pada penelitian ini mampu memperbaiki nilai konversi pakan.
Benefit Cost Ratio (BC Ratio)
Hasil perhitungan estimasi pendapatan kotor/hari pada sapi PO yang memperoleh pakan dengan kondisi low external input adalah Rp. 6.081,9 ekor/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan sapi silangan sebesar Rp. 5.047,3 ekor/hari. Tingkat efisiensi penggunaan pakan pada sapi PO lebih tinggi terhadap respons pertambahan bobot hidup yang
Tabel 3. Benefit cost ratio selama penelitian
Parameter PO Silangan
Harga bakalan (Rp/ekor/) Biaya ransum (Rp/ekor/periode) Total biaya
Harga jual (Rp/ekor)
Pendapatan kotor (Rp/ekor/hari) BC Ratio 4.401.150 310.590 4.711.740 5.228.700 6.081,9 3,49 4.908.670 339.056,5 5.247.726,5 5.676.750 5.047,3 3,13 Harga jerami padi Rp. 100/kg Harga tumpi Rp. 175/kg
Harga konsentrat Rp. 650/kg Harga rumput gajah Rp. 250/kg
Harga bakalan per kg bobot hidup Rp. 15.250 Harga jual per kg bobot hidup Rp. 14.500 Biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan
Rendahnya estimasi pendapatan kotor pada sapi silangan disebabkan karena PBHH yang diperoleh lebih rendah, dengan pengeluaran biaya pakan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sapi PO. Semakin tidak efisien biaya pakan terhadap perolehan PBHH, maka pendapatan yang diterima semakin rendah. Namun secara umum pendapatan kotor yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari beberapa hasil penelitian yang dilaporkan. Sebagai pembanding PRIYANTI et al. (2001) melaporkan bahwa pendapatan kotor yang diperoleh pada sapi PO asal Boyolali yang diberi pakan jerami fermentasi memberikan nilai yang tertinggi sebesar Rp. 2.897 ekor/hari sedangkan sapi PO asal Pasuruan dan sapi PO asal Gunung Kidul memberikan estimasi pendapatan masing-masing sebesar Rp. 2.339 ekor/hari dan Rp. 1.889 ekor/hari
KESIMPULAN
Pembesaran sapi PO pada kondisi pakan yang berbasis low external input dengan komposisi pakan yang terdiri atas tumpi dan konsentrat sebanyak 3% dari bobot hidup dengan perbandingan 3:1, jerami padi 1% dari bobot hidup dan rumput gajah sebanyak 3 kg menghasilkan pertambahan bobot hidup yang lebih baik dan secara ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi silangan
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMUS, 2003a. Statistik sapi potong di Indonesia. Indonesian International Animal Science Research and Development.
ANONIMUS, 2003b. Model Program Pembibitan Silang. Dinas peternakan propinsi Jawa Timur. Surabaya.
ARYOGI, 2004. Kemungkinan Timbulnya Interaksi Genetik dan Ketinggian Lokasi terhadap Performan Sapi Potong Silangan Peranakan Ongole di Jawa Timur. Thesis S2. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
ASTUTI, M. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan Ongole (PO). Wartazoa 14: 98-106.
ASTUTI, M., W. HARDJOSUBROTO, SUNARDI dan S, BINTARA. 2002. Livestock Breeding and
Reproduction in Indonesia: Past and Future.
Invited paper in the 3th ISTAP. Faculty of
Animal Sci, Gadjah Mada Univ, Yogyakarta. HARDJOSUBROTO, W. 2004. Alternatif Kebijakan
Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Genetika sapi Potong Lokal dalam Sistem Perbibitan Ternak Nasional: Wartazoa 14: 93-97.
PRIYANTI, A. T, KOSTAMAN. B, HARYANTO dan K. DIWYANTO. 2001. Kajian Nilai Ekonomi Usaha Ternak Sapi Melalui Pemanfaatan Jerami Padi. Wartazoa 11: 28-35.
RANJHAN, S.K. 1981. Animal Nutrition in Tropics. Second Revised Edition. Vikas Publishing House. PVT LTD, New Delhi.
SUDJANA, 1989. Metode Statistika Ed. Ke-5. Tarsito Bandung.
SITEPU, P. 1997. Perbandingan performan “Feederstock” eks.impor dan local pada kondisi feedlok: Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 329–343.
SUHARTANTO, B. ,B.P. WIDYOBROTO dan R. Utomo. 2003. Produksi ransum lengkap (complete
feed) dan suplementasi undegraded protein
untuk meningktkan produksi dan kualitas daging sapi potong. Laporan Penelitian Ilmu Pengetahuan Terapan (hibah Bersaing X/2). Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada. THALIB, C. dan A.R. SIREGAR, 1999. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan pedet PO dan crossbreednya dengan Bos indicus dan
Bos taurus dalam pemeliharaan tradisional.
Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1–2 Desember 1998 Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 200–207. TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO,
S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO, 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
UTOMO, R. 2004. Review Hasil-Hasil Penelitian Pakan Sapi Potong: Wartazoa 14: 116–123. UTOMO, R., S. REKSOHADIPRODJO, B.P.
WIDYOBROTO, Z. BACHRUDINDAN B. SUHARTANTO. 1999. Sinkronisasi degradasi energi dan protein dalam rumen pada ransum basal jerami padi untuk meningkatkan efisiensi kecernaan nutrien sapi potong. Laporan Penelitian Komprehensif HBV. Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Terapan. Lemlit UGM Yogyakarta.
YUSRAN, M.A., L. AFFANDHY dan SUYAMTO, 2001. Pengkajian Keragaan, Permasalahan dan alternatif solusi program IB sapi potong di Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Bogor, 17–18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 155–167.
YUSDJA, Y, N. ILHAM, W.K. SEJATI, 2003. Profil dan Permasalahan Peternakan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Juli 21(1): 44–56.
DISKUSI Pertanyaan:
Komposisi pakan perlu dipertimbangan untuk memudahkan perhitungan nilai ekonominya? Apa yang dimaksud dengan sapi silangan dalam hal in?
Jawaban:
Saran kami terima dan akan kami perhatikan. Sapi silangan dimaksud adalah bukan sapi lokal, dan komposisi darah sapi yang ada tidak diketahui secara pasti, karena tidak ada catatan di tingkat petani.