• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS SAPI POTONG SILANGAN HASIL IB DENGAN RANSUM BERBEDA FORMULA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS SAPI POTONG SILANGAN HASIL IB DENGAN RANSUM BERBEDA FORMULA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS SAPI POTONG SILANGAN HASIL IB

DENGAN RANSUM BERBEDA FORMULA

(Performance of Crossbred Beef Cattle Resulted from Artificial Insemination

Given Ration of Different Formula)

SOEHARSONO1,R.A.SAPTATI2danK.DIWYANTO2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Karangsari Sleman, Kotak Pos 1013, Yogyakarta 55010 2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav-59, Bogor 16151

ABSTRACT

In this study 158 heads of crossbred Simental Ongole (Simpo) and Limosin Ongole (Limpo) cattles with 508 kg of initial liveweight were used. Feed was formulaed to form mixture of: comercial concentrate, rice brand, fresh cassava, dry cassava, broken soybean and rice straw. Complately randomized design (CRD) was applied with: R-1; R-2; R-3; and R-4 treatments. Ration contained crude protein (CP) 8,01 – 10,67% and total digestible nutrien (TDN) 65,09 – 69,48% was given 2,75% (DM bases) of liveweight. Data of feed intake, average daily gain (ADG), feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain (FCG) and income over feed cost (IOFC) was analyzed and continued by Duncan new multiple range test (DMRT) when necessary. The result showed that intake of: CP, CF and EE were significantly different (P < 0.05). The highest ADG during 4 month of the treatment R-1 29.18% significant different (P < 0.05) from the R-2, R-4 and R-3 (23.09; 22.47 and 19.34%) respectively. The highest ADG from treatment R-1 and R-2 (1.49kg/day and 1.43kg/day) was significantly different (P < 0.05) from that of R-4 and R-3 (1.24 kg/day and 1.08 kg/day). The lowest FCR was resulted from treatment R-1 and R-2 (1.49 kg/day and 1.43 kg/day) significantly different (P < 0,05) from that of R-4 and R-3 (1,24 kg/day and 1.08 kg/day). The lowest FCG was resulted from R-1 and R-2 (Rp16,368,- and Rp17,736,-) significantly different (P < 0.05) from that of the R-4 and R-3 (Rp18.583,- and Rp20,789,-). The highest IOCF was resulted from R-1 and R-2 (Rp10,318,- /head/day and Rp9,359,- /head/day) significantly different (P < 0.05) from that of R-4 and R-3 (Rp6,175,-/head/day and Rp3,898,-/head/day). It is concluded that the highest performance and benefit were resulted from the ration that was formulated using fresh cassava (R-1) or combined with broken soybean (R-2).

Key Words: Productivity, Differ Ration, Beef Cattle

ABSTRAK

Populasi 158 ekor sapi potong persilangan hasil IB (Simental Ongole/Simpo dan Limosin Ongole/Limpo) dengan bobot badan rata-rata 508 kg digunakan dalam penelitian ini. Empat formula pakan disusun dari konsentrat komersial, bekatul, kedelai pecah, ubikayu kering (gaplek), ubikayu segar dan jerami padi. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakukan formula pakan : R-1; R-2; R-3; dan R-4 diberikan pada sapi yang jumlahnya tidak sama untuk setiap perlakuan. Ransum mengandung protein kasar (PK) 8,01 – 10,67% dengan total digestible nutrient (TDN) 65,09 – 69,48%, dan diberikan 2,75% BK dari bobot hidup. Data konsumsi pakan, peningkatan bobot badan harian (PBBH), feed convertion ratio (FCR), feed cost

per gain (FCG) dan income over feed cost (IOFC) dianalisis Anova dan bila berbeda nyata dilanjutkan uji Duncan new multiple range test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi PK, SK dan LK

pada formula ransum berbeda menyebabkan perbedaan nyata (P < 0,05), yang disebabkan karena perbedaan komposisi PK dan SK pada masing-masing perlakukan ransum. Pertambahan bobot badan tertinggi terjadi pada kelompok R-1 yang mencapai 29,18% dan berbeda nyata (P < 0,05) dengan R-2, R-4 dan R-3 (23,09%; 22,47 dan 19,34%). PBBH tertinggi juga terjadi pada perlakuan R-1 yaitu sebesar 1,49 kg/hari, tidak berbeda nyata dengan R-2 (1,43 kg/hari), namun berbeda nyata (P < 0,05) dengan R-4 dan R-3 (1,24 kg/hari dan 1,08 kg/hari). FCR terkecil pada perlakuan R-1 dan R-2 (9,21 and 10,06) berbeda nyata (P < 0,05) dengan R-4 dan R-3 (11,14 dan 13,78). FCG terkecil pada perlakuan R-1 dan R-2 (Rp16.368,- dan Rp17.736,-) berbeda nyata (P < 0,05) dengan R-4 dan R-3 (Rp18.583,- dan Rp20.789,-). IOFC terbesar pada perlakuan R-1 dan R-2 (Rp 10.318,-/ekor/hari dan Rp 9.359,-/ekor/hari) berbeda nyata (P < 0,05) pada R-4 dan R-3 (Rp 6.175,-/ekor/hari dan Rp3.898,-/ekor/hari). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa produktivitas dan keuntungan tertinggi

(2)

dicapai pada formula ransum yang menggunakan ubikayu segar (R-1) atau dikombinasikan dengan kedelai pecah (R-2).

Kata Kunci: Produktivitas, Pakan Berbeda, Sapi Potong

PENDAHULUAN

Salah satu program pemerintah yang berkembang cukup menonjol dalam beberapa tahun terakhir ini adalah kegiatan inseminasi buatan (IB) menggunakan semen beku produksi dalam negeri. Semen beku jenis Limousin dan Simental dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari sangat diminati masyarakat yang tercermin dengan permintaan selama tahun 2005 – 2010. Pada tahun 2005 permintaan semen beku dari kedua bangsa sapi tersebut hampir sama, masing-masing sekitar 333 ribu dan 305 ribu. Namun pada tahun 2010 terjadi perubahan yang cukup besar dimana permintaan semen Limousin meningkat mencapai 1,292 juta dosis (4 kali lipat), sementara permintaan semen Simental hanya 0,918 juta dosis (3 kali lipat). Jumlah pejantan donor yang digunakan untuk memproduksi semen tersebut berjumlah 67 ekor Limousin dan 39 ekor Simental (BBIB SINGOSARI, 2011).

Gambaran tersebut di atas mengindikasikan bahwa masyarakat telah menerima program IB untuk meningkatkan performan pedet yang dihasilkan melalui persilangan antara sapi lokal dengan sapi jenis Bos taurus. Pengaruh nyata yang dapat dilihat dari persilangan ini adalah meningkatnya bobot lahir, bobot sapih, dan rata-rata pertambahan bobot badan harian (average daily body weight gain, ADG), serta bobot maksimal yang dapat dicapai. Prestasi ini hanya dapat terwujud bila sapi memperoleh makanan yang sesuai dengan kebutuhan biologisnya, baik untuk maintenance maupun pertumbuhan. Oleh karenanya, pakan menjadi salah satu kunci terpenting dalam pengembangan sapi potong silangan melalui IB. Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa ADG pada kegiatan penggemukan sapi silangan hasil IB dapat mencapai 1,61 kg/hari, dan masih memberi keuntungan ekonomi yang layak (SOEHARSONO

et al., 2010).

Oleh karena itu sangatlah tepat bila sapi silangan hasil IB dilakukan tunda potong sampai mencapai bobot maksimum sesuai

potensi genetik dan potensi ekonominya. DIWYANTO et al. (2011) melaporkan bahwa sapi silangan hasil IB dapat digemukkan sampai mencapai bobot potong di atas 600 kg dan masih memberikan keuntungan ekonomi yang layak. Namun dengan fluktuasi harga jual sapi yang semakin tidak menentu dan harga pakan yang terus meningkat menyebabkan peternak kecil sangat sulit mempertahankan usaha penggemukannya. Mereka menjual sapi ketika masih di bawah bobot optimumnya, dan sebagian besar dipotong jagal pada kisaran berat 350 – 400 kg.

Proporsi biaya pakan menempati urutan tertinggi (70 – 80% biaya variabel) dari total biaya produksi usaha peternakan secara komersial. Perubahan pakan dalam rangka efisiensi usaha mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan biaya produksi. Tingkat konsumsi pakan yang lebih baik pada ternak akan berpengaruh langsung terhadap meningkatnya pertumbuhan, sehingga dalam waktu yang relatif singkat pertumbuhan daging menjadi optimal dan menghasilkan berat potong yang lebih tinggi.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa konsentrat yang beredar mempunyai kualitas dan harga berbeda-beda. Aplikasi konsentrat tersebut pada usaha ternak sapi potong memerlukan strategi agar tidak berdampak pada turunnya produksi dan naiknya biaya produksi peternakan. Bahan pakan lokal yang biasa digunakan sebagai pakan suplemen sumber energi (bekatul, ubikayu segar, ubikayu kering (gaplek) dan onggok), yang biasa diberikan dalam jumlah sedikit dan dalam bentuk tunggal, sedangkan pakan suplemen sumber protein jarang diberikan. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas perlu optimalisasi penggunaan bahan pakan lokal sebagai komponen utama dalam menyusun ransum berkualitas sehingga diharapkan dapat mengatasi problematika pakan pada usaha peternakan.

Kekurangan energi dapat mengakibatkan terhambatnya pertambahan bobot badan, penurunan bobot badan dan berkurangnya semua fungsi produksi sehingga mengakibatkan

(3)

kematian bila berlangsung lama (TILLMAN et

al., 1998). Ternak memanfaatkan energi untuk

pertumbuhan dan produksi setelah kebutuhan hidup pokoknya terpenuhi. Kebutuhan energi akan meningkat seiring dengan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan itu sendiri (PARAKKASI, 1999). Dengan demikian energi dalam penyusunan formula ransum menjadi pertimbangan utama agar performans sapi dapat maksimum.

Konsentrasi protein kasar pada suplementasi energi berpengaruh pada intake dan kecernaan hijauan. Pemenuhan kebutuhan hidup mikrobia rumen perlu keseimbangan suplai energi dan protein. BOHNERT dan DELCURTO (2010) melaporkan bahwa peningkatan kandungan energi dan rendahnya suplemen protein dapat menurunkan intake dan kecernaan hijauan berkualitas rendah sedangkan peningkatan kandungan energi pada suplemen protein yang tinggi sedikit berpengaruh pada intake dan kecernaan hijauan. Oleh karena itu ratio TDN : kasar protein (TDN : CP) sering digunakan untuk mengevaluasi energi dan keseimbangan protein pada pakan.

Penelitian lapang ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai formula ransum yang digunakan peternak dalam melakukan tunda potong melalui usaha penggemukan. Dalam menyusun formula ransum digunakan bahan pakan lokal antara lain bekatul, ubikayu dalam bentuk gaplek atau singkong segar sebagai pakan suplemen sumber energi dan kedelai afkir sebagai pakan suplemen sumber protein. Selain melihat pengaruh formula pakan terhadap ADG ternak sapi potong silangan hasil IB, juga dilakukan analisa ekonomi sederhana.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di kandang penggemukan yang disewa oleh koperasi, KJUB Puspetasari Klaten Jawa Tengah selama 4 bulan. Populasi sapi potong silangan hasil IB (Simmental cross/Simpo dan Limousine cross/ Limpo) sebanyak 158 ekor jantan umur sekitar 2 tahun dengan bobot badan rata-rata 508 kg dipelihara di 4 lokasi kandang secara individu dengan dilengkapi tempat pakan dan minum. Jumlah ternak untuk masing-masing lokasi

tidak sama, yaitu berturut-turut 55, 53, 21 dan 29 ekor, sesuai dengan kapasitas kandang. Formula pakan yang digunakan dalam penelitian ini disusun sesuai kondisi atau lokasi kandang yang tersebar di beberapa tempat, yang terdiri atas konsentrat komersial (berasal dari koperasi), bekatul, ubikayu kering (gaplek), ubikayu segar sebagai sumber energi dan kedelai afkir sebagai sumber protein serta jerami padi sebagai sumber serat. Formula ransum dari empat lokasi ini berbeda dalam hal susunan bahan baku pakan maupun komposisi kimianya dan penetapan formula diserahkan sepenuhnya oleh keputusan manajer setempat.

Percobaan ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakukan formula pakan masing-masing : R-1; R-2; R-3; dan R-4 dengan komposisi kimia ditunjukkan Tabel 1.

Pakan diberikan sebanyak 2,75% BK berdasarkan bobot hidup diberikan dua kali sehari dan air minum diberikan secara ad

libitum. Konsentrat campuran terdiri dari

konsentrat komersial, bekatul, kedelai pecah dan gaplek dicampur diberikan pada awal dilanjutkan ubikayu dicacah dan berikutnya jerami padi sesuai formulasi. Data peningkatan bobot badan harian (ADG), konsumsi pakan,

feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain

(FCG) dan income over feed cost (IOFC) dianalisis Anova bila berbeda nyata dilanjutkan

Duncan new multiple range test (DMRT)

(ASTUTI, 1981).

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi pakan

Walaupun formula pakan dari keempat perlakukan tidak sama, ternyata konsumsi BK, BO, abu, dan ETN pada ternak sapi potong silangan hasil IB dengan bobot badan rata-rata 508 kg tidak berbeda nyata (P > 0,05) (Tabel 2).

Rata-rata konsumsi BK sebesar 13,10 kg/hari; BO sebesar 12,11 kg/hari; abu sebesar 1,29 kg/hari; serta ETN sebesar 8,13 kg/hari. Perbedaan yang tidak nyata ini diduga karena walaupun keempat perlakuan tersebut mempunyai kandungan protein kasar dan serat kasar yang berbeda, tetapi kualitas pakan yang diberikan pada semua perlakuan hampir sama (terutama TDN).

(4)

Tabel 1. Formula ransum dan komposisi kimia ransum pada penggemukan sapi potong silangan dengan

pakan dengan formula berbeda

Perlakuan ransum (%BK) Formula pakan R-1 R-2 R-3 R-4 Konsentrat komersial 37,31 40,77 38,00 43,90 Bekatul 18,22 21,44 12,37 14,29 Kedelai pecah 0,00 3,14 6,33 7,32 Gaplek 0,00 0,00 12,37 14,29 Ubikayu 22,78 12,77 0,00 7,44 Jerami padi 21,69 21,88 30,93 12,76 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 Komposisi kimia BK 67,65 76,21 90,76 81,11 BO 90,63 90,08 90,48 90,28 Abu 9,37 9,92 9,52 9,72 SK 16,12 17,27 18,11 14,86 PK 8,01 9,68 9,94 10,67 LK 3,09 3,47 3,44 3,89 ETN 63,41 59,66 58,99 60,87 TDN1 65,09 65,79 65,47 69,48

BK: Bahan kering; BO: Bahan organik; SK: Serat kasar; PK: Protein kasar; LK:Lemak kasar; ETN: Ekstrak tanpa nitrogen; TDN: Total digestible nutrient

1

HARTADI et al. (2005)

Tabel 2. Konsumsi nutrien sapi potong hasil IB dengan pakan suplemen dari ubikayu dengan formula

berbeda

Konsumsi pakan (kg/hari) Perlakuan BK BO Abu SK PK LK ETN Proporsi BB (%) R-1 (n = 55) 13,36 12,11 1,25 2,15ab 1,07a 0,4a 8,47 2,70 R-2 (n = 53) 13,26 11,94 1,32 2,29bc 1,28b 0,46b 7,91 2,73 R-3 (n = 21) 13,70 12,40 1,30 2,48c 1,36c 0,47b 8,08 2,64 R-4 (n = 29) 13,26 11,97 1,29 1,97a 1,41c 0,52c 8,07 2,61 BB: bobot badan; Huruf yang berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata (P < 0,05)

Sementara itu konsumsi PK, SK dan LK pada keempat formula pakan dalam penelitian ini berbeda nyata (P < 0,05), yang patut diduga karena komposisi kimia pada masing-masing perlakukan ransum yang memang berbeda (Tabel 1). Konsumsi SK terkecil pada perlakuan R-4 sebesar 1,97 kg/hari, meningkat pada perlakuan R-1 sebesar 2,15 kg/hari, dan tertinggi pada R-2 sebesar 2,29 kg/hari dan R-3 sebesar 2,48 kg/hari. Hal ini mungkin

dikarenakan oleh SK pada ransum perlakukan berturut-tutur mulai terkecil pada perlakuan R-4 diikuti R-1; R-2 dan terbesar pada R-3. Konsumsi PK terbesar pada perlakuan R-4 sebesar 1,41 kg/hari dan R-3 sebesar 1,36 kg/hari, menurun nyata (P < 0,05) pada perlakuan R-2 sebesar 1,28 kg/hari, dan terendah pada R-1 sebesar 1,07 kg/hari. Hal ini mungkin dikarenakan oleh PK pada ransum perlakukan berturut-tutut mulai terbesar pada

(5)

perlakuan R-4 diikuti R-3; R-2 dan terkecil pada R-1. Konsumsi LK terbesar pada perlakuan R-4 sebesar 0,52 kg/hari, menurun pada perlakuan R-3 sebesar 0,47 kg/hari, dan R-2 sebesar 0,46 kg/hari serta terendah pada R-1 sebesar 0,41 kg/hari.

Kinerja dan performans ternak

Selama pemeliharaan empat bulan menunjukkan bahwa peningkatan bobot badan (PBB) tertinggi pada perlakuan R-1 sebesar 29,18% berbeda nyata (P < 0,05) bertutur-turut pada R-2 sebesar 23,09% dan R-4 sebesar 22,47% serta terkecil R-3 sebesar 19,34% (Tabel 3). Keempat formula ransum mempunyai komposisi kimia yang berbeda, kecuali kadar BO (90,08 – 90,63%) dan kadar abu (9,37 – 9,92%) yang relativ hampir sama. Sementara itu kadar PK dan ETN relatif cukup bervariasi. Konsumsi protein kasar pada R-1 yang mempunyai kandungan PK paling kecil menyebabkan konsumsi PK juga paling rendah dibandingkan dengan perlakukan lainnya (P < 0,05). Namun PBB pada perlakuan R-1 justru paling tinggi dibandingkan formula ransum lainnya. Yang membedakan R-1 dengan perlakuan lainnya adalah konsumsi ETN, dimana pada R-1 paling besar walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Fenomena ini sangat menarik, karena kadar protein kasar (8,01%) atau konsumsi PK yang relatif rendah tidak memberi pengaruh pada PBB untuk penggemukan atau tunda potong sapi persilangan hasil IB pada bobot badan awal 508 kg. Penggunaan ubikayu dalam menyusun formula pakan seperti pada Tabel 1 dengan demikian dapat diaplikasikan karena hampir semua wilayah dapat dengan mudah untuk memperolehnya. Kajian lebih mendalam

terkait kadar PK dalam ransum perlu dilakukan untuk lebih memberi keyakinan dalam pengembangan ke depan, karena konsumsi bahan kering pakan sangat dipengaruhi oleh kandungan protein kasar bahan penyusun pakan (SUPARNO, 2005), dan pada gilirannya dapat berpengaruh pada ADG. Perbedaan jenis pakan yang menyusun ransum juga dapat menimbulkan perbedaan palatabilitas dan kandungan nutrisi yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak (SUWIGNYO et al., 2004). Proporsi konsumsi bahan kering terhadap bobot badan pada perlakuan ransum tidak berbeda nyata sebesar 2,73 – 2,61.

Dengan asumsi bobot awal dalam penelitian ini adalah 508 kg dengan PBB 29 persen pada R-1, maka akan diperoleh bobot akhir sebesar 655 kg. Pencapaian ini bila dibandingkan dengan rata-rata pemotongan sapi lokal hasil IB yang hanya 400 kg akan diperoleh tambahan produksi karkas atau daging sedikitnya 63 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sasaran target untuk meningkatkan produksi daging 20 persen dalam program swasembada daging sapi (KEMENTERIAN PERTANIAN, 2010).

Peningkatan bobot badan harian (PBBH) atau ADG tertinggi terjadi pada formula R-1 yaitu sebesar 1,49 kg/hari, namun tidak berbeda nyata dengan R-2 yang mencapai ADG sebesar 1,43 kg/hari (P > 0,05); namun berbeda nyata (P < 0,05) berturut-turut dengan R-4 yang mempunyai ADG sebesar 1,24 kg/hari, dan terkecil pada R-3 dengan ADG sebesar 1,08 kg/hari. Secara teknis terjadinya perbedaan ini diakibatkan karena formula ransum yang berbeda komposisi kimia maupun bahan-bahan penyusun ransumnya. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini sedikit lebih

Tabel 3. PBB, PBBH, FCR, FCG dan IOFC sapi potong hasil IB dengan formula ransum yang berbeda

Perlakuan PBB (%) PBBH (kg/hari) FCR FCG (Rp/hari) IOFC (Rp/hari) R-1 (n = 55) 29,18c ± 6,69 1,49c ± 0,20 9,21a ± 2,19 16,368a ± 2,294 10.318c ± 4.657

R-2 (n = 53) 23,09b ± 8,32 1,43c ± 0,39 10,06ab ± 3,35 17,736ab ± 5,009 9.359bc ± 8.954 R-3 (n = 21) 19,34a ± 6,52 1,08a ± 0,27 13,78c ± 5,04 20,789c ± 6,107 3.898a ± 6.292 R-4 (n = 29) 22,47ab ± 5,97 1,24b ± 0,22 11,14b ± 2,81 18,583b ± 3,38 6.175ab ± 4.984 PBB: peningkatan bobot badan; PBBH: peningkatan bobot badan harian; CR: feed conversion ratio; FCG: feed cost per gain; IOFC: income over feed cost

(6)

rendah dibandingkan dengan laporan sebelumnya, yang dapat mencapai ADG > 1,60 kg/hari (SOEHARSONO et al., 2010; DIWYANTO

et al., 2011).

Pencapaian yang diperoleh dalam penelitian ini ternyata jauh lebih baik dibandingkan dengan sapi bakalan Brahman Cross ex-impor (BX) yang rata-rata ADG-nya hanya sekitar 0,85–1,25 kg/hari (NGADIONO, 2000); namun R-1 sama dengan hasil penelitian (SOEHARSONO et al., 2010) yang juga mencapai 1,4 kg/hari. Dalam penelitian SOEHARSONO et al. (2010) tersebut, sapi persilangan hasil IB diuji dengan sapi bakalan Brahman Cross ex-impor yang dipelihara dalam kandang yang sama dan diberi pakan dengan model ’komboran’ (konsentrat diberikan dalam bentuk basah dan dimasak terlebih dahulu). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa selain PBBH-nya lebih rendah, harga jual sapi BX eks-impor juga lebih murah untuk setiap kg bobot hidup, dan jagal kurang berminat karena karkasnya cenderung lebih rendah dibandingkan sapi lokal hasil persilangan dengan teknologi IB (49 vs 53%).

Tingginya kandungan serat kasar pada formula R-3 (Tabel 1) mungkin yang menyebabkan tingkat kecernaan yang lebih rendah sehingga PBBH-nya terkecil. Formula pakan dengan kualitas yang lebih baik akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pakan berkualitas rendah. Dari penelitian ini terindikasi bahwa jenis bahan penyusun ransum, serta komposisi kimia dan konsumsi pakan berpengaruh besar terhadap ADG. Secara umum diketahui bahwa konsumsi protein dan energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat (SOEPARNO, 2005). Pada formula pakan R-2 menunjukkan bahwa pengurangan proporsi ubikayu dibandingkan dengan R-1 dan penambahan sumber protein kedelai pecah tidak berpengaruh nyata terhadap PBBH. VALKENERS et al. (2004) menyatakan bahwa degradasi karbohidrat dan N suplai pada rumen ternak sapi potong berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan energi maupun protein dan kecepatan pertumbuhan. Perubahan sumber karbohidrat dan protein pada pakan yang lebih banyak dipengaruhi oleh berubahan spesifik substrat seperti pati dengan NDF dan

protein dengan NPN yang berpengaruh penting pada keseimbangan energi dan protein (CABRITA et al., 2006).

Ditinjau dari rasio TDN : CP menunjukkan bahwa rasio TDN : CP tertinggi pada perlakuan R-1 sebesar 8,13 diikuti R-2 sebesar 6,80; R-3 sebesar 6,59 dan terkecil pada R-4 sebesar 6,51. Hasil penelitian ini terlihat bahwa penggunaan ubikayu sebagai pakan suplemen sumber energi atau dikombinasi dengan kedelai pecah sebagai sumber protein pada penggemukan sapi potong silangan menghasilkan PBBH yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian bahwa rasio TDN : CP pada beberapa penelitian berkisar 6,1 – 8,0 menghasilkan bobot badan yang lebih baik (BOHNERT dan DELCURTO (2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurunnya rasio TDN : CP maka bobot badan harian semakin rendah. NGADIONO et al. (2008) melaporkan bahwa ransum perlakuan pada sapi PO dengan rasio TDN : CP (6,35 vs 5,53) menghasilkan bobot badan harian sebesar (0,93 vs 0,87 kg/hari).

Feed convertion ratio (FCR) terkecil pada terjadi pada formula pakan R-1 yaitu sebesar 9,21; namun tidak berbeda nyata dengan R-2 yang nilainya mencapai sebesar 10,06. Akan tetapi angka FCR ini berbeda nyata (P < 0,05) berturut-turut dengan R-4 sebesar 11,14 dan FCR terbesar pada R-3 dengan nilai sebesar 13,78. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa semakin besar PBBH pada kegiatan tunda potong melalui penggemukan akan menyebabkan efisiensi penggunaan pakannya akan semakin baik dan menguntungkan. FCR dalam penelitian ini hampir sama dengan FCR sapi Brahman Cross (BX) yang digemukkan pada saat bobot awalnya 320 kg (NGADIONO, 2000). Dilaporkan bahwa sapi Brahman Cross (BX) jantan kastrasi dengan bobot badan awal 320 kg yang digemukkan selama 2 – 4 bulan mempunyai FCR sebesar 8,34; 7,90 dan 11,52. Sementara itu HAFID et al. (2001) melaporkan bahwa sapi bakalan Australian commercial cross/ACC atau sapi BX dengan kondisi kurus tetapi sehat hanya membutuhkan waktu 60 hari untuk menjadi gemuk, dengan rataan bobot badan 454 kg dan konversi pakan 8,22. Apabila penggemukan dilakukan lebih lama 90 dan 120 hari, efisiensi penggunaan pakannya akan menurun.

(7)

FCR pada formula R-2 menunjukkan bahwa pengurangan proporsi ubikayu dan penambahan sumber protein kedelai pecah tidak berpengaruh nyata bila dibandingkan dengan perlakuan R-1. Efisiensi penggunaan energi dan protein tersebut untuk pertumbuhan mikrobia sehingga meningkatkan efisiensi konversi pakan, penurunan absorbsi NH3, dan menurunkan N ekskresi (REYNOLDS dan KRISTENSEN, 2008). Hasil penelitian ini terlihat bahwa penggunaan ubikayu sebagai pakan suplemen sumber energi atau dikombinasi dengan kedelai pecah sebagai sumber protein pada ransum penggemukan sapi potong silangan lebih efisien.

Feed cost per gain (FCG) yang merupakan

besarnya biaya pakan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan terindikasi ada perbedaan yang signifikan. Biaya pakan secara berturut-turut pada formula R-1 adalah sebesar Rp. 23.900; R-2 sebesar Rp. 23.550; R-3 sebesar Rp. 21.000 dan R-4 sebesar Rp. 22.350 untuk setiap ekor/hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa FCG terkecil terjadi pada formula R-1 yaitu sebesar Rp. 16.368 namun tidak berbeda nyata dengan R-2 sebesar Rp. 17.736 (P > 0,05); akan tetapi berbeda nyata (P < 0,05) berturut-turut dengan R-4 yang mencapai nilai sebesar Rp. 18.583 dan terbesar pada R-3 sebesar Rp. 20.789 Penelitian ini dapat member gambaran lebih jelas bahwa formula ransum dengan menggunakan ubikayu sebagai pakan suplemen sumber energi atau dikombinasi dengan kedelai pecah sebagai sumber protein pada penggemukan sapi potong silangan hasil IB dapat menekan biaya pakan yang relatif lebih rendah untuk menghasilkan bobot badan harian yang tinggi.

Income over feed cost (IOFC) merupakan

pendapatan atas besarnya biaya pakan untuk menghasilkan bobot badan selama masa pemeliharaan sapi persilangan hasil IB dalam kurun waktu empat bulan. Pendapatan diperoleh dari harga penjualan yang dihitung dari peningkatan bobot hidup pada saat akhir penggemukan sebesar Rp. 23.000/kg. Dari penelitian ini diperoleh IOFC terbesar pada formula R-1 yang mencapai nilai sebesar Rp. 10.318/ekor/hari, namun tidak berbeda nyata (P < 0,05) dengan R-2 (Rp. 9.359/ekor/hari); dan berbeda nyata (P < 0,05) berturut-turut dengan R-4 (Rp. 6.175/ekor/hari) maupun

dengan R-3 (Rp. 3.898/ekor/hari). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa formula ransum dengan bahan baku lokal dan penggunaan ubikayu sebagai pakan suplemen sumber energi atau dikombinasi dengan kedelai pecah sebagai sumber protein pada penggemukan sapi potong silangan lebih menguntungkan.

KESIMPULAN

Tunda potong sapi silangan hasil IB melalui penggemukan lebih lanjut dengan menggunakan berbagai formula ransum masih memberi nilai positif. Akan tetapi performans terbaik justru dicapai pada sapi yang diberi ransum dengan kadar PK relatif rendah, yang disusun dari bahan baku pakan lokal yang mudah diperoleh peternak. Ubikayu sebagai salah satu bahan pakan penyusun ransum untuk sumber energi (R-1) atau dikombinasikan dengan kedelai pecah sebagai sumber protein (R-2) menghasilkan pertambahan bobot sapi potong selama pemeliharaan (PBB) lebih tinggi, peningkatan bobot badan harian (PBBH) lebih baik, efisiensi pakan (FCR) lebih efisen, dan mampu menekan biaya pakan atas produksi (FCG) yang relatif lebih murah serta pendapatan atas biaya pakan (IOFC) lebih menguntungkan.

Penelitian lapang ini perlu lebih diperdalam untuk mengetahui secara pasti faktor-faktor yang diperlukan dalam menyusun ransum untuk sapi dewasa yang dilakukan tunda potong sampai mencapai bobot di atas 600 kg. Bila tunda potong ini dilakukan secara baik dan benar maka dapat diharapkan akan meningkatkan bobot potong dan produksi karkas maupun daging yang jumlahnya sangat signifikan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada manajemen klub Puspitasari Klaten dan pak Edy dari NCBA-Indonesia yang telah memberikan kesempatan untuk dilakukan kerjasama penelitian ini. bantuan selama pengumpulan data di lapangan (wawancara, pengamatan dan penimbangan) sangat diapresiasi, sehingga makalah ini dapat dianalisa dan ditulis secara lengkap.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

ASTUTI, M. 1981. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian II. Bagian Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. BOHNERT,D and T.DELCURTO. 2010. Fundamentals

of supplementing low-quality forage. Cattle Producer’s Library. Nutrition Section. Western Beef Resource Committee. Oregon State University. www.csubeef.com/ dmdocuments/317.pdf.

CABRITA,A.R.J.,R.J.DEWHURST,J.M.F.ABREU and A.J.M. FONSECA. 2006. Evaluation of the effects of synchronising the availability of N and energi on rumen function and production responses of dairy cows, a review. Anim. Res. 55: 1 – 24.

DIWYANTO, K.,R.A. SAPTATI, I.G.A.P. MAHENDRI dan SOEHARSONO. 2011. Penyapihan Dini Pedet (3 Bulan) untuk Memperpendek Calving

Interval (12 Bulan) serta Peningkatan Pertumbuhan Sapi Lokal > 1,3 kg/Hari. Laporan Penelitian Ristek. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

HAFID, H.H., R.E.GURNADI, R. PRIYANTO dan A. SAEFUDDIN. 2001. Komposisi potongan komersial karkas sapi Australian Commercial Cross kebiri yang digemukkan secara feedlot pada lama penggemukan yang berbeda. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland 8(1): 90 – 96. HARTADI, H., S. REKSOHADIPRODJO dan A.D.

TILLMAN. 2005. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Cetakan Ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

KEMENTERIAN PERTANIAN. 2010. Blue Print: Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.

NGADIONO, N. 2000. Penampilan produksi sapi Brahman Cross jantan kastrasi pada berbagai lama waktu penggemukan yang berbeda. Bul. Peternakan 24(2): 68 – 75.

NGADIYONO, N, G. MURDJITO, A. AGUS dan U. SUPRIYANA. 2008. Kinerja produksi sapi peranakan Ongole jantan dengan pemberian dua jenis konsentrat yang berbeda. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 33(4) 282 – 289.

PARAKKASI, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Ternak Ruminan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

REYNOLDS, C.K. and N.B. KRISTENSEN. 2008. Nitrogen recycling through the gut and the nitrogen economy of ruminants: An asynchronous symbiosis1. J. Anim. Sci. 86: E293 – E305.

SOEHARSONO, R.A. SAPTATI dan K. DIWYANTO. 2010. Penggemukan sapi lokal hasil inseminasi buatan dan sapi bakalan impor dengan menggunakan bahan pakan lokal. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 3 – 4 Agustus 2010, Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 116 – 122.

SOEPARNO. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

SUWIGNYO, B., A. AGUS dan R. UTOMO. 2004. Efektivitas penggunaan complete feed berbasis jerami padi fermentasi pada ternak Australian Commercial Cross. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. LUSTRUM VII Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. hlm. 74 – 80.

TILLMAN, A.D.,H.HARTADI,S.REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSUKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

VALKENERS, D., A. THE´WIS, F. PIRON and Y. BECKERS. 2004. Effect of imbalance between energy and nitrogen supplies on microbial protein synthesis and nitrogen metabolism in growing doublemuscled Belgian Blue bulls. J. Anim. Sci. 82: 1818 – 1825.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui hasil uji hipotesis ditemukan bahwa persepsi harga, produk, promosi, dan tempat secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian sepeda

Pada jenis kesalahan siswa yang pertama yaitu ketidakmampuan siswa dalam penguasaan konsep secara benar, untuk indikator kesalahan tertinggi pada materi operasi

Bagi kami marketing adalah segala hal yang kita lakukan dalam bisnis. Apapun itu kami anggap masuk ke dalam bagian marketing. Hal ini dikarenakan dengan fast changing environment

Berdasarkan hal tersebut, model pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi pembangunan guna memenuhi

Oleh karena itu, konsep ini mengandung cakupan lebih luas dari Fikih yang bersumber berbagai undang-undang, disamping topik yang berbeda pada pengaturan umat

Sistem formularium merupakan metode yang digunakan staf medik di rumah sakit yang bekerja melalui Komite Farmasi dan Terapi (KFT), mengevaluasi, menilai dan memilih dari berbagai

menyebutkan, bahwa “Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada SD/MI dilakukan melalui pembelajaran dengan model tematik terpadu dari kelas I sampai kelas VI.” Hal tersebut

Berdasarkan hasil penelitian pembinaan prestasi di PPLP Panahan Mandiri Bojone- goro, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: (1) untuk para pengurus