9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian dengan judul “Gaya Bahasa Sindiran pada Rubrik Kartun Terbitan Kompas Edisi April-Juni 2014” karya Hendra Bharata (2015), Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Penelitian yang membahas gaya bahasa sindiran sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hendra Bharata (2015) dengan judul “Gaya Bahasa Sindiran pada Rubrik Kartun Terbitan Kompas Edisi April-Juni 2014”. Penelitian tersebut memperoleh hasil: (1) gaya bahasa sindiran yang terdapat dalam rubrik “Kartun” terbitan Kompas, meliputi gaya bahasa sindiran ironi, sinisme, sarkasme, antifrasis, dan inuendo. Gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam rubrik “kartun” terbitan Kompas tersebut adalah gaya bahasa sinisme sebanyak 23 data, sedangkan gaya bahasa sindiran yang paling sedikit digunakan dalam rubrik “kartun” terbitan Kompas adalah gaya bahasa sindiran inuendo sebanyak 5 data, (2) fungsi gaya bahasa yang terdapat dalam gaya bahasa sindiran, diantaranya fungsi bahasa personal sebanyak 14 data, fungsi bahasa instrumental sebanyak 7 data, fungsi bahasa imajinatif sebanyak 7 data.
Perbedaan dari penelitian ini adalah terletak pada data dan sumber data. Data pada penelitian ini adalah tuturan para tokoh acara “Sentilan Sentilun” di Metro TV yaitu Sentilan, Sentilun, serta para bintang tamu yang hadir dalam acara tersebut. Sedangkan pada penelitian Hendra Bharata datanya adalah wacana yang mengandung gaya bahasa sindiran pada rubrik kartun terbitan Kompas edisi April-Juni 2014. Sumber data dari penelitian ini adalah empat episode tayangan “Sentilan Sentilun”.
10
Episode yang diambil sebagai sumber data yaitu (1) Bagi Remisi, Korupsi Lagi, (2) Kontroversi Ojek Online, (3) Negeri Darurat Asap, (4) Jaga Energi, Jaga Masa Depan. Sedangkan sumber data dari penelitian Hendra Bharata adalah Rubrik kartun terbitan Kompas edisi April-Juni 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode padan referensial. Sedangkan dari penelitian Hendra Bharata adalah menggunakan metode agih.
2. Penelitian dengan Judul “Gaya Bahasa Sindiran pada Novel Pelangi di Pasar Kembang Karya Dion Febrianto (Sebuah Kajian Stilistika)” karya Dewi Widyantika Eka Putri (2011), Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewi Widyantika Eka Putri (2011) dengan judul “Gaya Bahasa Sindiranpada Novel Pelangi di Pasar
Kembang Karya Dion Febrianto (Sebuah Kajian Stilistika)”. Penelitian tersebut
memperoleh hasil: (1) gaya bahasa sindiran yang terdapat dalam novel Pelangi di
Pasar Kembang Karya Dion Febrianto, meliputi gaya bahasa sindiran ironi, sinisme,
sarkasme, antifrasis, dan inuendo. Gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam novel tersebut adalah gaya bahasa sindiran ironi (6 data atau 35,29%); sedangkan gaya bahasa sindiran yang paling sedikit digunakan dalam novel tersebut adalah gaya bahasa sindiran inuendo dan antifrasis (1 data atau 5,88%); (2) fungsi bahasa yang terdapat dalam gaya bahasa sindiran, diantaranya fungsi emotif, retorikal, interpersonal, dan fungsi imajinatif. Fungsi bahasa yang paling banyak digunakan dalam gaya bahasa sindiran adalah fungsi imajinatif (10 data atau 58,82%), karena pengarang menggunakan gaya bahasa tersebut hanya sebagai gurauan untuk kesenangan penutur maupun pendengarnya saja. Sedangkan, fungsi bahasa yang
11
paling sedikit digunakan yaitu fungsi emotif (2 data atau 11,76%). Perbedaan dari penelitian ini adalah terletak pada data dan sumber data.
Perbedaan dari penelitian ini adalah terletak pada data dan sumber data. Data pada penelitian ini adalah tuturan para tokoh acara “Sentilan Sentilun” di Metro TV yaitu Sentilan, Sentilun, serta para bintang tamu yang hadir dalam acara tersebut. Sedangkan dari penelitian Dewi Widya Eka Putri datanya adalah wacana yang mengandung gaya bahasa sindiran pada novel Pelangi di Pasar Kembang. Sumber data dari penelitian ini adalah empat episode tayangan “Sentilan Sentilun”. Episode yang diambil sebagai sumber data yaitu (1) Bagi Remisi, Korupsi Lagi, (2) Kontroversi Ojek Online, (3) Negeri Darurat Asap, (4) Jaga Energi, Jaga Masa Depan. Sedangkan sumber data dari penelitian Dewi Widya Eka Putri adalah novel Pelangi di
Pasar Kembang.
3. Penelitian dengan judul “Implikatur dalam Tuturan Acara Sentilan Sentilun di Metro TV” karya Ayesa Pia Sadhora (2015), Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Dalam penelitian “Implikatur dalam Tuturan Acara Sentilan Sentilun di
Metro TV” bertujuan untuk mendeskripsikan implikatur yang terdapat pada tuturan
tokoh dalam acara “Sentilan Sentilun” di Metro TV. Mendeskripsikan bentuk implikatur percakapan yang diwujudkan dalam prinsip kerja sama dan prinsip kesopananpada tuturan tokoh dalam acara “Sentilan Sentilun”. Adapun hasil penelitian tersebut adalah terdapat tuturan acara “Sentilan Sentilun” sebanyak 76 dari 83 tuturan. Dari 76 tuturan, terdapat 36 tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama dan 34 tuturan yang melanggar prinsip tersebut. Data dalam penelitian tersebut adalah tuturan pada acara “Sentilan Sentilun”. Tuturan yang dimaksud berupa tuturan yang mengandung implikatur konvensional maupun percakapan. Sumber data pada
12
penelitian tersebut adalah tiga episode tayangan “Sentilan Sentilun”. Teknik dasar yang digunakan metode padan pragmatis adalah teknik pilah unsur penentu (PUP). Teknik lanjutan pada metode padan menggunakan teknik Hubung Banding Menyamakan (HBS). Metode padan dengan teknik dasar PUP dan teknik lanjutan HBS digunakan untuk menganalisis data yang sudah ada.
Perbedaan dari penelitian ini adalah terletak pada judul. Judul yang terdapat pada penelitian ini adalah “Gaya Bahasa Sindiran dalam Acara Sentilan Sentilun di
Metro TV Episode September 2015”. Sumber data pada penelitian ini adalah pada
bulan September 2015 terdapat empat episode tayangan “Sentilan Sentilun”. Metode yang digunakan adalah metode padan referensial, teknik sadap, simak, dan teknik lanjutannya adalah SBLC (Simak Bebas Libat Cakap). Dalam hasil penelitian ini ditemukan tiga jenis gaya bahasa sindiran . Jenis gaya bahasa sindiran yang ditemukan meliputi ironi sebanyak empat data (2,24%), sinisme sebanyak 43 data (76,78%), dan sarkasme sebanyak sembilan data (16,07%).
B. Bahasa dan Fungsi Bahasa 1. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2009: 2). Senada dengan hal itu Sumarsono (2012: 18) mengungkapkan bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Dengan demikian bahasa merupakan simbol yang bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan wajib antara bahasa dengan konsep yang dilambangkan. Menurut Chaer (2007: 32) bahasa adalah
13
sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinterkasi, dan mengidentifikasi diri. Selain pengertian tersebut, Kridalaksana (2008: 24) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinterkasi, dan mengidentifikasi diri. Dari beberapa pengertian bahasa yang dikemukakan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sistem lambang atau simbol bunyi yang arbitrer berupa percakapan (perkataan) yang baik digunakan untuk untuk berkomunikasi, bekerjasama, mengidentifikasi diri, yang digunakan oleh anggota masyarakat.
2. Fungsi Bahasa
a. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain: agar menarik perhatian orang lain terhadap kita, keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.
b. Alat Komunikasi
Komunkasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi kita dapat menyampaikan semua yang kita rasakan, pikiran, dan kita ketahui kepada orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sejaman dengan kita.
14
c. Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa, di samping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dari pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang memasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembaruan) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya.
d. Alat Mengadakan Kontrol Sosial
Kontrol sosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang-orang lain. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa itu mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat. Proses-proses sosialisasi itu dapat diwujudkan dengan cara-cara berikut: pertama, memperoleh keahlian bicara, dan dalam masyarakat yang lebih maju, memperoleh keahlian membaca dan menulis. Keahlian bicara dan keahlian pada masyarakat yang sudah maju, merupakan prasyarat bagi tiap individu untuk mengadakan partisipasi yang penuh dalam masyarakat tersebut. Kedua, bahasa merupakan saluran yang utama di mana kepercayaan dan sikap masyarakat diberikan kepada anak-anak yang tengah tumbuh. Mereka inilah yang menjadi penerus kebudayaan kepada generasi berikutnya. Ketiga, bahasa melukiskan dan menjelaskan peran-peran yang dilakukan oleh si anak untuk
15
mengidentifikasikan dirinya supaya dapat mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan. Dan keempat, bahasa menampakan rasa keterlibatan (atau sense of
belonging atau esprit de corps) pada si anak tentang masyarakat bahasanya.
C. Diksi dan Gaya Bahasa 1. Diksi
Menurut Kridalaksana (2008: 5) diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007: 264) diksi adalah pemilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Gaya bahasa sebagai bagian dari diksibertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Pengertian diksi (pilihan kata) jauh lebih luas dari yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu.
Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan dan susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan (Keraf, 2009: 22-23). Dari pengertian diksi di atas, dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pilihan kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan yang penggunaannya disesuaikan dengan konteks guna untuk memperoleh efek tertentu.
16
2. Gaya Bahasa
a. Pengertian Gaya Bahasa
Kata style diturunkan dari kata Latin stilius, yaitu „semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian dalam menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititiberatkan pada keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Aminuddin (1997: 1) mengemukakan gaya adalah perwujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapannya sebagai mana cara yang digunakannya. Menurut Keraf (2009: 112) gaya atau khusunya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah
stlye.
SlametMuljana (dalam Waridah, 2015: 322) menjelaskan bahwa gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan tertentu dalam hati pembaca. Karena perkembangan tersebut, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi (pilihan kata). Gaya bahasa selalu mempersoalkan cocok atau tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan yaitu, pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Masalah nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi, jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik (Keraf, 2009: 112).Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah sususnan perkataan yang terajdi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu
17
perasaan tertentu dalam hati pembaca, karena mempergunakan kata-kata indah dan bernilai artistik tinggi.
b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan susunan perkataan yang timbul dari perasaan penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu di hati pembaca karena menggunakan kata-kata yang indah. Gaya bahasa seseorang pada saat mengungkapkan perasaannya, baik secara lisan maupun tulisan dapat menimbulkan reaksi pembaca berupa tanggapan (Waridah, 2015: 322). Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Oleh sebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Dilihat dari unsur-unsur bahasa yang digunakan, gaya bahasa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) pilihan kata, (2) nada yang terkandung dalam wacana, (3) struktur kalimat, (4) langsung tidaknya makna (Keraf, 2009: 116-135).
1) Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata
Gaya bahasa bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat darilapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam hal ini, kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang dalam mempergunakan gaya bahasa ketika menghadapi situasi-situasi tertentu. Jenis gaya bahasa berdasarkan
18
pilihan kata dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu, gaya bahasa resmi, gaya bahasa tidak resmi, dan gaya bahasa percakapan.
2) Gaya Bahasa Berdasarkan Nada yang Terkandung dalam Wacana
Gaya bahasa berdasarkan nada tergantung pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari pembicara. Jadi, antara rangkaian kata yang terkandung dalam wacana dengan sugesti suara dari pembicara memiliki hubungan yang erat. Hubungan tersebut akan menghidupkan wacana yang dibaca menggunakan suara dan nada yang tepat. Jenis gaya bahasa beradasarkan nada dapat dibedakan menajdi tiga macam yaitu, gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya mengeluh.
3) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Dalam hal ini, struktur kalimat merupakan tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila ingin yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Bagian-bagian yang kurang penting atau semakin kurang penting dideretkan sesudah bagian yang dipentingkan tadi, dan jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederjat. Jenis gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dapat dibedakan menajdi lima jenis, yaitu, klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan
19
4) Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya, atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu mempertahankan makna, maka bahasa itu masih bersifat polos. Bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna emotifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya bahasa yang dimaksud di sini. Jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. (a) gaya bahasa retoris terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof,
apofasis, apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron, pleonasme, perifasis, prolefsis, erotesis, silepsis, koreksio, hiperbola; dan (b)
gaya bahasa kiasan terdiri atas persamaan, metafora, alegori, personifikasi,
metonimia, ironi, sarkasme, inuendo, antifrasis. Menurut Waridah (2015: 322) ironi,
sinisme, sarkasem, antifrasis, dan inuendo itu termasuk gaya bahasa sindiran.
c. Gaya Bahasa Sindiran
Dalam proses penciptaan, gaya bahasa jelas disadari oleh seorang penulis. Hal ini bertujuan untuk memperoleh aspek keindahan secara maksimal, untuk menemukan satu kata atau kelompok kata yang dianggap tepat. Secara garis besar, gaya bahasa terdiri atas empat jenis, yaitu gaya bahasa penegasan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa perbandingan, dan gaya bahasa sindiran (Waridah, 2015: 322). Masih menurut Waridah (2015-328-329), gaya bahasa sindiran terdiri atas ironi, sinisme, sarkasme, antifrasis, dan inuendo. Menurut Ratna (2013: 439) gaya bahasa sindiran terdiri atas antifrasis, inuendo, ironi, permainan kata, sarkasme, dan sinisme. Penulis mengambil
20
gaya bahasa sindiran menurut Waridah (2013: 326) yaitu ironi, sinisme, sarkasme, antifrasis, dan inuendo.
1) Ironi
Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti „penipuan atau pura-pura‟. Sebagai bahasa kiasan, ironi adalah salah satu acuan yang ingin mengatakan sesatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Secara sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya (Keraf, 2009: 143). Waridah (2015: 328) juga menyatakan bahwa ironi adalah gaya bahasa untuk menyatakan suatu maksud dengan menggunakan kata-kata yang berlainan atau bertolak belakang dengan maksud tersebut. Contoh: Rapi sekali kamarmu sampai-sampai tidak satupun sudut
ruangan yang tidak tertutupi sampah kertas. Rapi sekali berarti tempat yang bersih
dan tertata rapi. Hal yang berlawanan dengan rapi sekaliadalah tidak satu pun sudut
ruangan yang tidak tertutupi sampah kertas. Penggunaan kata rapi sekali, tidak secara
langsung menyebutkan kata kotor (ruangan kotor). Namun, bagian kalimat tidak satu
pun sudut ruangan yang tidak tertutupi sampah kertas menyebutkan bahwa ruangan
tersebut sangat kotor.
2) Sinisme
Sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mendukung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme diturunkan dari
21
nama suatu aliran filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam pengendalian diri dan kebebasan. Selanjutnya, mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya (Keraf, 2009: 143). Sinisme juga merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian cerita yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati (Waridah, 2010: 328). Contoh: Memang anda adalah
seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini. Tuturan tersebut menggambarkan seorang wanita pekerja tuna susila, karena dengan kecantikan yang dia miliki, dia dapat melakukan apa saja
termasuk menghancurkan generasi muda. Banyak wanita yang lebih memilih untuk bekerja sebagai tuna susila. Hal inilah yang menyebabkan moral masyarakat dan moral bangsa menjadi hancur. Gadis tercantik dapat diartikan sebagai gadisyang pekerjaannya adalah sebagai kupu-kupu malam (wanita tuna susila), pekerjaan mereka selalu menggoda para lelaki atau pun menjajakan dirinya di pinggir jalan.
3) Sarkasme
Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan cemoohan yang getir. Sarkasme dapat juga bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dari kata Yunani sarkasmus, yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti; „merobek-robek daging anjing‟, „menggigit bibir karena marah‟ atau „berbicara dengan kepahitan‟. Waridah (2015: 328) menjelaskan bahwa sarkasme merupakan gaya bahasa yang berisi sindiran kasar. Contoh: Mulutmu harimaumu.
22
Mulut adalah alat ucap manusia, sedangkan harimau adalah binatang yang
menakutkan. Dalam ungkapan tersebut dapat diartikan bahwa dalam berbicara kita harus berhati-hati, karena apa yang kita ucapkan dapat saja menjatuhkan diri kita sendiri. Dalam kalimat di atas, mulut manusia disamakan dengan harimau, karena kata-kata yang dikeluarkan dari mulut tersebut sangatlah kasar, seperti harimau, binatang buas biasanya identik dengan kasar.
4) Antifrasis
Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Contoh:
Lihatlah sang raksasa telah tiba (maksudnya si cebol). Raksasaadalah sosok manusia
yang sangat besar dan menakutkan. Sedangkan pada contoh tersebut maksudnya adalah si Cebol, yang artinya pendek sekali. Antifrasis akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar mengetahui atau dihadapkan pada kenyataan, bahwa yang dikaitkan itu adalah sebaliknya. Bila diketahui yang datang adalah seorang Cebol, maka contoh tersebut jelas disebut antifrasis. Kalau tidak diketahui dengan pasti, maka ia disebut saja dengan ironi (Keraf, 2009: 145).
5) Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakiti hati kalau dilihat sambil lalu (Keraf, 2009: 144). Menurut Ratna inuendo adalah mengecilkan keadaan yang sesungguhnya. Contoh: Setiap kali
23
ada pesta, pasti ia akan mabuk karena terlalu banyak minum. Minum adalah suatu
kegiatan yang selalu kita lakukan setiap hari. Namun, minum yang dimaksud di sini adalah minum alkohol yang dapat menyebabkan orang bisa menjadi mabuk.
D. Acara “Sentilan Sentilun” Gaya Bahasa Sindiran dalam Acara “Sentilan Sentilun di Metro TV Episode September 2015.
Berdasarkan media penyampaiannya acara “Sentian Sentilun” ini merupakan bentuk wacana lisan. Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara langsung dengan bahasa verbal (Mulyana, 2005: 52). “Sentilan Sentilun” merupakan salah satu acara di Metro TV dalam Special program yang ditayangkan setiap Jumat pukul 22.30. Acara ini pertama kali ditayangkan pada tanggal 19April 2010. Acara ini merupakan perbincangan dua orang tokoh utama yaitu Sentilan dan pembantunya (batur) Sentilun, dua tokoh yang membawakanperan dengan gaya yang renyah dan bersahaja, umumnya berlogat Jawa. Logat Jawa dipakai karena tokoh utamanya lebih banyak bergaul dengan orang Jawa. Sentilan yang diperankan Slamet Raharjo yang selalu dipanggil oleh Sentilun dengan sebutan “Ndara” alias tuan yang lebih tahu banyak tentang berbagai hal. Sedangkan Sentilun diperankan oleh Butet Kertaradjasa yang memainkan peran batur(pembantu) yang sedikit ceriwis dan kritis serta selalu ingin tahu.
Kedua tokoh tersebut kadang juga dibantu dengan kehadiran tokoh lainnya seperti Markonah, janda sebelah yang sumringah, yang diperankan oleh Happy Salma. Sentilan menggunakan baju lurik, berkain sarung khas Jawa dengan kacamata serta duduk di kursi goyang. Sedangkan Sentilun menggunakan baju safari yang agak lusuh, dan mengenakan lap kumal di pundaknya, berkacamata, berkopiah lusuh. Butet
24
berperan dengan mengubah mimik muka dengan memajukan gigi bawahnya, sehingga nampak khas sangat merakyat, rakyat jelata.
Perbincangan kedua tokoh ini merupakan sketsa-sketsa pendek yang disampaikan kepada pemirsa untuk mengkritik dengan kata lain “menyentil” fenomena yang terjadi di masyarakat, pemerintahan, panggung politik, publik pigur (artis), bahkan BUMN semacam PLN pun kena sentil dalam episode “Perusahaan Lilin Negara”. Dari perbincangan yang renyah kedua tokoh tersebut, kadang keluar jargon-jargon Jawa yang sangat renyah juga di kuping, misalnya “mblegedeh” yang sering diucapkan oleh Sentilan ketika mendengar ulasan Sentilun yang nyleneh atau
ngawur, dan terlalu mengkritik. Sedangkan Sentilun akan selalu berucap “Menurut
analisis saya!” jika menemukan ide, saran, ulasan, atau kritikan tambahan atas perbincangan yang terjadi. Biasanya Sentilun hanya berkat “Menurut...” yang disambung oleh penonton “...analisis saya!” sangat khas mempengaruhi dan menghanyutkan penonton.
Visi dan misi dibuatnya program “Sentilan Sentilun” sebenarnya “menurut analisis saya” jadi sebenarnya memberikan pengajaran khusus pada generasi muda. Kalau generasi tua juga tahu namanya politik di Indonesia. Sebenarnya unsur utamanya adalah memberikan gambaran bahwa sebenarnya jalan keluar yang ada di dalam parodi ini sesuatu hal yang biasa, tapi ada di masyarakat. Mereka tahu jawabannya tapi dapat disentilorang langsung tertawa, tersenyum. Karena ini memang ada di masyarakat, mungkin generasi muda juga memberikan pengarahan, tontonan yang tidak muluk-muluk seperti sinetron. Hal-hal yang bermimpi tapi dengan formatnya yang hanya sederhana satu atau dua tapi ini semacam obrolan bawahan dan atasan tetapi itu ternyata obrolan-obrolan yang pintar. Jadi atasan harus sadar akan
25
bawahannya. Bawahan harus sadar tanggung jawabnya terhadap atasan. Hal tersebut merupakan alasan yang kuat untuk perpaduan dua karakteristik.
Peneliti memilih acara “Sentilan Sentilun” sebagai sasaran penelitian ini karena acara tersebut dikemas secara mengkritik komedi tetapi mudah dicerna. Sasarannya adalah para mahasiswa mahasiswi, acara tersebut sengaja dibuat seperti Srimulat dikemas di Metro TV dengan bahasa yang tetap mengedepankan politik serta menyentil pemerintahan yang ada di Indonesia. Acara “Sentilan Sentilun” ini tidak hanya memberikan informasi saja tetapi juga memberikan solusi. Tayangan tersebut juga memberikan pembelajaran kepada penonton tentang keadaan politik di