• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Isu yang semakin penting dalam gerakan keluarga berencana (KB) di masa depan adalah perubahan orientasi dari penekanan utama pada kuantitas peserta KB ke kualitas pelayanan KB. Tantangan dalam upaya pensuksesan pelaksanaan program KB adalah dilimpahkannya kewenangan bidang Keluarga Berencana Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Keppres Nomor 103 tahun 2001).

Provinsi Bali dalam rangka mewujudkan sasaran program KB Nasional, telah menetapkan kebijakan dan sasaran program tahun 2005 dengan mengacu pada 4 program pokok, yakni Program Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga, Program Keluarga Berencana, Program Kesehatan Reproduksi Remaja dan Program Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas. Mengkhusus pada Program Keluarga Berencana, pencapaian BKKBN Propinsi Bali dalam pelaksanaan program ini menunjukkan keberhasilan. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan tingkat partisipasi Pasangan Usia Subur (PUS) dalam ber KB. Sasaran tingkat partisipasi pemakaian kontrasepsi di Bali dalam tahun 2005 sebesar 71,26% dari PUS, berdasarkan data susenas tahun 2004, tingkat partisipasi (PA/PUS) mencapai 66,41% atau realisasinya mencapai 93,19%. Pencapaian PA/PUS kabupaten/kota berkisar antara 55,35% sampai dengan 80,34% (BKKBN Provinsi Bali, 2006).

Secara kualitas, masih terdapat kegagalan dalam penggunaan kontrasepsi yang dialami para akseptor. Secara nasional (sampai dengan Oktober 2005) angka kumulatif kegagalan kontrasepsi sebanyak 1.630 kasus, yang tersebar dalam empat metode kontrasepsi, yaitu IUD, MOW, MOP dan Implant (BKKBN, 2005). Berdasarkan data nasional tersebut, sebanyak 3,6% atau 58 kasus kegagalan kontrasepsi terjadi di Bali. Namun laporan tahunan program KB Nasional Propinsi Bali justru menyebutkan bahwa dalam tahun 2005 jumlah peserta KB yang mengalami kegagalan adalah sebanyak 75 peserta, atau hanya 0,03% dari jumlah peserta KB aktif di seluruh kabupaten/kota di Bali (BKKBN, 2006: 27).

(2)

Imbas utama dari kegagalan KB adalah dapat menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Bahkan menurut data yang ada di World Health Organization (WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan pertahun, sekitar 38 persen (75 juta) merupakan KTD (Berer, 2000 dalam YKP, 2003). Selain disebabkan kegagalan KB kasus KTD juga bisa dialami oleh mereka yang tidak menggunakan kontrasepsi dalam 3 bulan terakhir padahal mereka termasuk aktif secara seksual. Bahkan sejak terjadinya krisis ekonomi kelompok ini jumlahnya bertambah. Karena pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan alat kontrasepsi dengan jumlah dan harga yang terjangkau.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1). Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kegagalan kontrasepsi atau KTD yang terjadi pada pasangan usia subur peserta KB?

2). Bagaimanakah kualitas alat kontrasepsi dan kualitas pelayanan KB sehingga dapat meminimalisir kegagalan kontrasepsi atau KTD pada pasangan usia subur dan peserta KB?

1.2 Tujuan Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan dapat menjawab tujuan penelitian, antara lain: 1). Memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

kegagalan kontrasepsi atau KTD yang terjadi pada pasangan usia subur peserta KB. 2). Memperoleh informasi tentang kualitas alat kontrasepsi dan kualitas pelayanan KB

sehingga dapat meminimalisir kegagalan kontrasepsi atau KTD pada pasangan usia subur dan peserta KB.

(3)

Bab II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pelayanan Keluarga Berencana

Menurut Dwiyanto (1996), setidak-tidaknya ada 4 hal yang menyebabkan mengapa isu kualitas pelayanan menjadi penting, yakni 1). Kualitas pelayanan memang diperlukan bagi keberhasilan gerakan KB, 2). Adanya peningkatan modernitas dan rasionalitas masyarakat, 3) adanya kaitan yang erat antara kualitas pelayanan KB dengan kesehatan reproduksi, dan 4). Perbaikan kualitas pelayanan merupakan satu cara efektif untuk memperkecil kegagalan kontrasepsi atau KTD bagi para akseptor.

Dihapuskannya target akseptor baru dari agenda kegiatan KB sebagai salah satu tindak lanjut dari peningkatan kualitas pelayanan masih mengalami hambatan. Melembaganya internalisasi target sebagai suatu nilai yang harus dikejar dalam birokrasi BKKBN menjadi salah satu faktor penghambat sosialisasi kebijakan KB yang berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan (Dwiyanto, 1996 dalam Marhaeni dkk, 2004).

2.2 Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)

Menurut Kamus Istilah Keluarga Berencana, Kehamilan Tidak Diinginkan adalah kehamilan yang dialami oleh seorang ibu yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan untuk hamil lagi.

Ada beberapa alasan untuk tidak menginginkan kehamilan antara lain karena perkosaan, kurang pengetahuan yang memadai tentang kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan kesehatan, janin cacat, usia muda atau belum siap menikah, pasangan tidak bertanggungjawab atau hubungan dengan pasangan belum mantap, kendala ekonomi, dan lainnya (WHO, 2000).

(4)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di seluruh kabupaten / kota di Provinsi Bali. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan penjajagan awal, KTD menyebar di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota di Bali. Selain itu, dengan mengambil responden di seluruh kabupaten/kota di Bali, akan dapat diperoleh informasi yang lebih beragam mengenai KTD.

3.2 Identifikasi Variabel

Variabel-variabel pokok yang diteliti diantaranya sebagai berikut. 1) Identitas responden, antara lain: nama, alamat, pekerjaan, agama

2) Karakteristik responden, antara lain: umur, pendidikan, lama perkawinan, umur kawin pertama, jumlah anak yang dimiliki, jumlah anak yang diinginkan, tingkat ekonomi (yang diukur dengan rata-rata pendapatan atau pengeluaran keluarga). 3) Keikutsertaan dalam program KB, antara lain: alat kontrasepsi yang digunakan,

lama menggunakan alat kontrasepsi

4) Variabel internal yang akan diteliti, antara lain: sebab kehamilan, riwayat penghentian KTD, kepuasan PUS terhadap alat kontrasepsi yang digunakan, komitmen PUS untuk menggunakan kontrasepsi.

5) Variabel eksternal yang akan diteliti, antara lain: kualitas alat kontrasepsi, kualitas pelayanan KB

3.3 Definisi Operasional Variabel

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitiani ini dapat dididefinisikan sebagai berikut.

1) Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan yang istrinya berumur antara 15 s/d 49 tahun, dalam hal ini termasuk pasangan suami istrinya berumur dibawah 15 tahun atau lebih dari 49 tahun dan tetap mendapatkan haid.

(5)

2) Peserta KB adalah pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan salah satu alat kontrasepsi.

3) Angka Kegagalan Kontrasepsi adalah angka yang menunjukkan banyaknya akseptor yang menjadi hamil pada saat masih menggunakan alat kontrasepsi per akseptor aktif.

4) Kehamilan Tidak Diinginkan adalah kehamilan yang dialami oleh seorang ibu yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan untuk hamil lagi. 3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif seperti tingkat partisipasi PUS dalam ber-KB, jumlah anak yang dimiliki, jumlah anak yang diinginkan, jumlah responden menurut pendidikan, tingkat ekonomi responden, lama waktu menggunakan kontrasepsi dan data kualitatif seperti alat kontrasepsi yang digunakan, riwayat penghentian KTD, pengalaman fisik dan emosi PUS pasca penghentian KTD, kepuasan PUS terhadap alat kontrasepsi yang digunakan, komitmen PUS untuk menggunakan kontrasepsi. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden melalui wawancara berdasarkan instrumen penelitian yang telah dipersiapkan serta in-depth interview. Data sekunder diperoleh melalui observasi terhadap dokumen maupun laporan yang telah ada sebelumnya terutama berkaitan dengan data jumlah PUS yang mengalami KTD disetiap kabupaten/kota di Bali.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode sensus, wawancara, observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview).

3.6 Metode Penentuan Sampel

Responden pada penelitian ini adalah akseptor yang mengalami kegagalan dalam kontrasepsi atau KTD, kepala BKKBN, ketua PKK dan provider. Dari data yang berhasil disensus, akan diambil 200 responden, yang diambil dari seluruh lokasi penelitian. Digunakannya jumlah responden sebanyak 200 dengan pertimbangan jumlah

(6)

responden tersebut sudah tergolong sampel besar, sehingga dapat dilakukan analisis statistik tertentu, misalnya dalam rangka perbandingan antar kabupaten.

Pengambilan sampel disetiap lokasi penelitian dilakukan dengan metode non

probability sampling, yaitu accidental sampling artinya siapapun responden yang

ditemui asalkan memenuhi kriteria yang diinginkan yaitu mengalami kegagalan kontrasepsi dan sesuai dengan jumlah responden dimasing-masing lokasi penelitian akan dijadikan responden. Sampel penelitian terdiri dari 146 responden PUS, 9 responden kepala BKKBN kabupaten/kota, 9 responden ketua PKK, dan 36 responden provider.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan antara lain analisis kualitatif, dengan memberi interpretasi yang mendalam tentang fenomena kegagalan kontrasepsi atau KTD dari para akseptor, sesuai dengan variabel penelitian yang dikumpulkan. Sementara analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif antara lain tabel tunggal, tabel silang, dan rata-rata.

(7)

Bab IV

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Responden PUS berjumlah 146 orang, diambil secara acak (Random Sampling

Method), tersebar secara merata di 8 (delapan) kabupaten dan 1 Kota di Provinsi Bali.

Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng masing 17 responden, sisanya masing-masing 16 responden di setiap kabupaten. Total responden yang terpilih dalam penelitian ini sebanyak 146 orang.

4.1 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan agama

Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat proporsi terbesar sampel adalah tamatan SMA (31,45%), Perguruan tinggi 21,9%, SLTP dan SD masing-masing 19,9%, dan yang tidak tamat SD 6,8%. Pendidikan formal ternyata tidak terlalu berpengaruh pada kesadaran responden untuk mengikuti program KB. Dari sampel yang diambil, ternyata responden yang tamat SD proporsi memilliki 2 anak, lebih banyak (7,5%) dari responden yang memiliki 3 anak. Sebaliknya responden yang tamatan SLTA dan PT, ternyata proporsi memiliki 3 anak lebih banyak masing-masing 13% dan 10% dari responden yang memiliki 2 anak sesuai dengan program KB.

Pendidikan formal ternyata juga tidak terlalu berpengaruh pada pola alokasi pengeluaran responden untuk kepentingan program KB seperti pembelian alat kontrasepsi. Responden yang tidak tamat SD justru mengaku rata-rata pengeluarannya untuk KB Rp 100.000,- selama sebulan, responden yang tamat SD, SLTP, SLTA, dan PT sebagian besar ternyata mengaku tidak mengalokasikan pengeluaran untuk KB.

Pekerjaan responden terbesar berada pada sektor swasta (25,3%), pengangguran (22,6%), yang lain-lain (16,4%), wiraswasta(15,8%), PNS (12,3%), dan petani (7,5%). Pekerjaan lain-lain yaitu apoteker, BUMN, buruh, mahasiswa, pensiunan PNS, dan ibu rumah tangga sejumlah 8,9% dari total sampel responden. Sebagian besar responden (95,2%) beragama Hindu, sebanyak 6 orang (4,1%) beragama islam dan hanya 1 responden (7%) beragama Kristen Protestan. Dari 146 sampel yang terpilih, ternyata sebagian besar responden perempuan (istri) mempergunakan alat kontrasepsi (93,2%).

(8)

Sementara responden laki-laki (suami), hanya 21,9% yang pernah mempergunakan alat kontrasepsi.

Dilihat dari jenis kelamin, perempuan yang paling berperan dalam kehamilan dan perawatan anak, terbukti paling sadar untuk mempergunakan alat kontrasepsi, sebagaimana tergambar dalam Tabel 4.1.1.

Tabel 4.1.1 Responden yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di Provinsi Bali menurut Status Penggunaan alat kontrasepsi (%)

Jenis Kelamin Mempergunakan Tidak Mempergunakan

Laki-Laki (Suami) 21,9 78,1

Perempuan (Istri) 93,2 6,8

Sumber : Data Primer, 2008

Dilihat dari pengeluaran perbulan, sebagian besar responden (69,9%) mengaku memiliki pengeluaran kurang dari Rp 2,5 juta, sebanyak 41 orang (28,1%) memiliki pengeluaran antara Rp 2,5 juta-Rp 5 juta. Sisanya yaitu 1,4% selama sebulan mencatat pengeluarannya antara Rp 5 juta hingga kurang dari Rp 7,5 juta, dan 1 orang responden (0,7%) mengaku memiliki pengeluaran antara Rp 7,5 juta hingga Rp 10 juta sebulan. Baik responden yang pengeluarannya kurang dari Rp 2,5 juta sebulan, maupun responden yang memiliki total pengeluaran terbesar ternyata mengaku tidak mengalokasikan pengeluaran untuk pembelian alat kontrasepsi.

4.2 Karakteristik responden berdasarkan status perkawinan dan komposisi anak Dilihat dari umur istri kawin pertama, ternyata masih ada pernikahan usia dini (kurang dari 17 tahun), sebanyak 14 orang (9,6%). Sebagian besar responden (59,6%) berusia antara 20 – 24 tahun, disusul kelompok usia 17 – 19 tahun sebanyak 33 (22,6%), kemudian usia 25 – 29 tahun sebanyak 7,5% dan hanya 1 responden (0,7%) yang umur istri saat kawin pertama berusia 30 – 34 tahun.

Dari 14 responden yang umur istri kawin pertamanya kurang dari 17 tahun, ternyata tidak semuanya langsung melahirkan anak pertama. Sebanyak 6 dari 14 orang responden tadi (4,1%) responden melahirkan anak pertama saat berusia kurang dari 17 tahun. Sebagian besar responden yaitu 90 orang (61,6%) melahirkan anak pertama

(9)

ketika berusia 20-24 tahun, sebanyak 15,8% melahirkan umur 17-19 tahun, 15,1% antara 25-29 tahun, 4 orang (2,7%) baru melahirkan anak pertama usia 30-34 tahun, dan hanya 1 responden melahirkan anak pertama pada usia 35 – 39 tahun. Meskipun memiliki waktu reproduksi yang lebih panjang dibandingkan dengan responden yang umur istri kawin pertama berusia 30-34 tahun, namun sebagian responden (67,1%) responden mengaku ingin memiliki anak sesuai program KB yaitu 2 orang saja.

Sebanyak 43 responden ternyata tergolong pasangan suami istri yang umur pernikahannya kurang dari 10 tahun, tepatnya 8,9% dari total sampel yaitu 13 orang, baru menikah kurang dari 5 tahun dan sisanya 30 orang mengaku menikah selama 5 – 9 tahun. Pasangan suami istri selama 10 – 14 tahun sebanyak 19,2%, 15 – 19 tahun sebanyak 15,8%, 20 – 24 tahun sebanyak 18,5%. Sisanya sebanyak 11% telah menikah selama 25 – 29 tahun dan sebanyak 6,2% telah menikah selama 30 – 34 tahun.

Lama perkawinan ternyata mempengaruhi keinginan seorang istri untuk mempergunakan alat kontrasepsi. Dari data responden, pasangan yang menikah kurang dari 5 tahun ternyata 2,1% mengaku tidak pernah mempergunakan alat kontrasepsi. Hal ini disebabkan karena keinginan untuk memiliki anak lagi masih tinggi. Semakin lama pernikahan, semakin meningkat komposisi istri yang dengan sadar mempergunakan alat kontrasepsi.

Komposisi anak: jumlah anak yang pernah dilahirkan, sebanyak 13,7% ternyata tidak pernah melahirkan anak laki-laki, 43,8% pernah melahirkan 1 anak laki-laki, 28,8% pernah melahirkan 2 anak laki-laki, 12,3% atau 18 responden pernah melahirkan 3 orang anak laki-laki, sementara sisanya masing-masing 0,7% mengaku pernah melahirkan 4 anak laki-laki dan 5 anak laki-laki.

Sedangkan ketika ditanyakan jumlah anak perempuan yang pernah dilahirkan, sebanyak 21,9% mengaku tidak pernah melahirkan anak perempuan, 26,7% pernah melahirkan 1 anak perempuan, 34,9% pernah melahirkan 2 anak perempuan, 11% pernah melahirkan 3 anak perempuan, sebanyak 7 orang (4,8%) pernah melahirkan 4 anak perempuan, dan hanya 1 orang responden pernah melahirkan 5 anak perempuan.

Informasi penting dari data responden membuktikan bahwa tingkat kematian bayi di Provinsi Bali relative rendah. Kenyataan ini tercermin dalam jawaban responden

(10)

yang ketika ditanyakan jumlah anak laki-laki yang meninggal , hanya 13 responden atau 8,9% responden kehilangan anak laki-lakinya, dan 4,1% atau 6 orang kehilangan anak perempuannya.

Kesehatan ibu dan bayi yang semakin meningkat juga didukung adanya kesadaran masyarakat dalam mengatur jarak kelahiran anak pertama dan selanjutnya. Hal ini juga ditunjukkan oleh responden yang sebagian besar, sebanyak 41 orang (28,1%) memiliki anak kedua dengan jarak 3 tahun dari anak pertama. Sebaliknya hanya 3 orang (2,1%) responden mengaku memiliki anak kedua dengan jarak kurang dari 1 tahun.

Sedangkan jumlah anak yang masih hidup, sebanyak 3,4% mengaku tidak ada anaknya yang masih hidup, sebanyak 6,2% memiliki jumlah anak yang masih hidup sebanyak 1 orang. Sebagian besar, yakni 31,5% dan 34,9% responden memiliki anak yang masih hidup masing-masing sebanyak 2 dan 3. Sementara 19,9% atau 29 orang memiliki 4 orang anak yang masih hidup, sebanyak 5 responden (3,4%) memiliki 5 anak yang masih hidup, sisanya 1 responden memiliki 6 anak yang masih hidup.

Ternyata sebagian besar responden (67,1%) sebenarnya berkeinginan untuk memiliki 2 anak saja, sesuai dengan program KB. Namun 53,4% diantaranya ternyata memiliki anak lebih dari 2 orang. Beberapa alasan dikemukakan responden, sebagaimana tersirat dalam Tabel 4.2.2 dan Tabel 4.2.3

Tabel 4.2.2 terlihat hanya sebanyak 1,4% yang memiliki anak lebih dari 2 karena alasan ekonomi, yaitu diharapkan agar anak yang dilahirkan kelak dapat membantu pekerjaan orang tua. Sisanya disebabkan karena alasan non-ekonomi seperti adapt dan tradisi di Bali yang patrilinieal mengharuskan memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Sehingga tidak akan berhenti melahirkan anak hingga memiliki anak laki-laki. Alasan lain adalah harapan agar ada yang merawat di saat lanjut usia, atau bahkan yang sekedar ingin suasana rumah menjadi ramai. Selanjutnya Tabel 4.2.3 menunjukkan faktor ekonomi sebagai alasan utama responden untuk membatasi jumlah anak. Sedangkan persentase kesadaran responden akan manfaat melaksanakan program yang dicanangkan pemerintah yaitu KB dan keluarga berkualitas adalah sebanyak 8,9%.

(11)

Tabel 4.2.2. Alasan Responden memiliki anak lebih dari 2

Alasan Jumlah %

Membantu pekerjaan orang tua Agar suasana ramai di keluarga Ingin anak laki-laki

Tidak cocok mengikuti program KB Kebobolan

Kepercayaan tidak boleh punya anak jumlahnya ganjil Penerus keturunan

KB belum dikenal (Pasangan lebih dari 30 tahun) Anugrah Tuhan Data missing 2 2 15 1 7 1 1 1 58 58 1,4 1,4 10,3 0,7 4,8 0,7 0,7 0,7 39,7 39,7 Total 146 100,0

Sumber : Data Primer, 2008

Tabel 4.2.3.Alasan responden membatasi jumlah anak

Alasan Jumlah %

Mengatur jarak anak

Biaya hidup meningkat dengan adanya banyak anak Faktor ekonomi

Ikut Program pemerintah Ingin keluarga kecil

Ingin mensejahterakan keluarga Intensitas perhatian terhadap anak Kesulitan ekonomi

Sesuai dengan tanggungan tempat kerja Sudah direncanakan

Jumlah anak sudah cukup Data missing 1 1 6 13 1 1 2 3 2 1 15 100 0,7 0,7 4,1 8,9 0,7 0,7 1,4 2,1 1,4 0,7 10,3 68,5 Total 146 100,0

(12)

Bab V

DINAMIKA KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN (KTD) PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS) PESERTA KB DI BALI

5.1 Status Pemakaian Alat Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) peserta KB di Bali

Pengujian terhadap pernah tidaknya Istri menggunakan alkon, diperoleh hasil perhitungan umum bahwa sebagian besar responden atau sekitar 93.2 % dari 146 sampel responden istri pernah menggunakan alkon dengan alasan yang lebih banyak dilatarbelakangi oleh ketidakinginan untuk memiliki anak lagi (Tidak Ingin Anak Lagi/TIAL). Rata-rata persentase responden yang TIAL mencapai 51,4 % dari total sampel penelitian. Terkecuali pada kabupaten Buleleng, Kelungkung dan Tabanan, diperoleh alasan lain yang juga cukup kuat mendasari pemakaian alkon oleh istri disamping alasan sebelumnya yaitu mengatur jarak kelahiran anak dan menunda kehamilan. Namun hasil yg cukup homogen diperlihatkan Kabupaten Jembrana, dimana seluruh responden (100% dari total 16 sampel PUS di Kabupaten Jembrana) menyatakan TIAL.

Alasan lain pemakaian alkon oleh istri seperti faktor biaya ( 0,7%), mengikuti program/anjuran pemerintah (1,4 %), jumlah anak sudah terlampau banyak (0,7%), mengatur/menjaga jarak kelahiran anak (24,0%), menunda kehamilan (14,4%), alasan permintaan suami/bidan/dokter (3,4%), dan sudah memiliki anak laki-laki dalam keluarga (0,7%).

Status partisipasi KB pria, diperoleh data sebanyak 78,1 % responden PUS menyatakan bahwa suami tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi. Berbeda dengan perbedaan yang tajam dari sisi pemakaian alkon wanita (istri), perbedaan proporsi jumlah pemakai dan bukan pemakai KB pria cenderung lebih tipis. Keberadaan KB pria memang belum seefektif KB wanita, namun demikian besaran angka 21,92 % yang mewakili responden PUS yg pernah menggunakan alkon pria menunjukkan pula bahwa telah muncul kesadaran dari pihak pria (suami) untuk menggunakan alkon saat istri tidak menggunakan meskipun ketika istri juga sedang menggunakan. Bahkan data yang

(13)

berbeda justru ditunjukkan oleh responden PUS di Kabupaten Badung, dimana sebagian besar PUS yang menjadi responden menyatakan pernah memakai alkon pria (sebanyak 68,75 % dari 16 responden). Sebaliknya di Kota Denpasar, tidak satupun responden yang pernah menggunakan alkon pria.

Dari total 32 PUS pemakai alkon pria, sebanyak 84,4 % responden menyatakan alasan ingin mencegah kehamilan dengan menggunakan alkon pria. Sedangkan alasan lain dengan persentase masing-masing 3,1% seperti kondisi istri yang sedang membuka alat KB/tidak menggunakan sementara waktu, sepenuhnya karena istri tidak memakai, kegagalan alkon pada istri, mengatur jarak kelahiran, dan 1 orang responden yang tidak mampu memberikan alasan. Sebaliknya, alasan responden tidak menggunakan alkon pria didominasi oleh kondisi istri yang telah menggunakan alkon sehingga telah dirasa cukup dan mampu mencegah terjadinya kehamilan dengan persentase 37,7 % dari total 114 responden non pemakai alkon pria. Persentase terbesar pada kelompok ini adalah responden yang tidak mampu memberikan alasan mengapa memakai alkon pria (30,8 %) dan sejumlah kecil lainnya seperti belum terpikirkan untuk memakai alkon (2,7%), takut efek samping, tidak ada jenis alkon yang sesuai dengan selera, tidak lazim bagi kehidupan penduduk di desa untuk memakai alkon pria dengan persentase masing-masing 0,7%, rendah keinginan untuk memakai (4,1%), serta perasaan tidak nyaman untuk memakai alkon (1,4%).

Data frekuensi pemakaian alkon IUD di kalangan responden PUS di Provinsi Bali menunjukkan bahwa frekuensi pemakaian IUD di kalangan PUS peserta KB di Provinsi Bali pada tahun 2008 menunjukkan kecendrungan yang menurun (dihitung dari perbandingan frekuensi pemakaian alkon yang pernah dan sedang digunakan khusus IUD). Kondisi justru berbalik dimana responden yang memakai IUD menurun jumlahnya hingga mencapai 41,37 % dan meningkat sebanyak 61,02 % untuk jumlah responden yang tidak lagi memakai IUD Data kuantitafif tersebut juga didukung oleh hasil observasi tahap awal terhadap sebaran sampel dimana diperoleh informasi dari Dokter dan Bidan Praktek Swasta, Petugas Lapangan KB, Pegawai Kantor BKKBN di Kabupaten bahwa kini telah terjadi pergeseran trend pemakaian alat kontrasepsi dari Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD, MOW, dan MOP menjadi yang berjangka pendek seperti suntik, pil, implant, dan kondom. Alasan yang

(14)

melatarbelakangi lebih banyak disebabkan oleh alasan kepraktisan dan efek samping. Mengkhusus pada kasus pemakaian IUD, berkurangnya kecendrungan PUS memakai alkon dimaksud adalah didorong oleh beredarnya informasi yang menyatakan bahwa pemakaian IUD sering disertai efek IUD patah, timbul infeksi, IUD bergeser maupun indikasi medis lainnya yang berakhir pada KTD.

Adapun alasan yang melatarbelakangi dipilihnya IUD sebagai alkon bagi responden terutama disebabkan oleh sifat alkon IUD yang praktis tidak saja dalam aplikasinya tapi juga perawatannya. Selain itu pemakaian IUD juga tidak menimbulkan efek-efek hormonal. Terdapat pula alasan jangka waktu pemakaian yang lama bagi IUD, dijawab oleh 12,77% responden. Tingkat kepraktisan yang tinggi dipilih oleh 41,40 % responden dari total 64,38 % responden yang mampu menyatakan alasannya memakai alkon dimaksud. Sisanya sebanyak 35,62 % adalah responden yang tidak menyertakan alasan mengapa pernah memilih menggunakan IUD.

Data pemakaian MOW di kalangan responden PUS di Bali tampak tidak terlalu berfluktuasi dibandingkan data sebelumnya. Dengan membandingkan data pemakaian sebelum dan saat ini diketahui bahwa terjadi perubahan kuantitas pemakai alkon MOW secara positif. Meskipun secara total kontribusinya kini baru mencapai 10 % atau dengan kata lain tidak sebaik kondisi alkon IUD, namun terlihat bahwa masyarakat telah berani mendifersifikasi alat kontrasepsinya ke MOW. Diantara 10 % responden dimaksud, maka alasan responden memilih dan tetap memakai MOW 100 % karena tidak ingin memiliki keturunan/mencegah kehamilan melalui mekanisme sterilisasi.

Data pemakaian alkon MOP bagi responden PUS di Bali sama halnya dengan MOW hanya menunjukkan pertambahan yang minim dari sebelumnya dengan persentase terhadap total kurang dari 5 %. Jika pada pengalaman sebelumnya, 100 % responden menyatakan tidak pernah menggunakan alkon MOP, maka saat ini sebanyak 2,74 % responden menyatakan telah menggunakan. Namun demikian, perubahan positif ini selanjutnya harus dapat disikapi berkait potensi pengembangan alkon pria. Jika kesadaran PUS untuk menggunakan alkon tidak hanya berfokus pada alkon wanita (Pil, IUD, Suntikan, MOW, dan Implant) namun juga pada alkon pria (kondom, MOP) maka upaya pencegahan kehamilan dan pengaturan jarak kelahiran akan lebih mudah.

(15)

Adapun alasan yang melatarbelakangi meningkatnya jumlah pemakai alkon pria khususnya MOP sebagian besar karena alat kontrasepsi istri kurang efektif (tidak mampu mencegah kehamilan) diwakili oleh 75 % responden dan sisanya karena ingin mencegah kehamilan.

Data pemakaian alkon kondom dikalangan responden PUS di Bali sama halnya dengan MOP juga menunjukkan perubahan yang tidak terlalu signifikan atau meningkat hanya sebesar 15 % dari kondisi sebelumnya atau secara lebih sederhana terdapat tambahan 2 responden pada saat sekarang ini yang menggunakan alkon Kondom. Menyikapi data dimaksud, hal yang dirasa penting untuk disikapi adalah masih rendahnya keterlibatan suami dalam ber-KB. Akibatnya seringkali kegagalan pemakaian alat kontrasepsi yang berakhir pada kehamilan kurang mampu dicegah.

Peningkatan jumlah PUS yang memakai alkon Kondom juga dapat dimaknai berdasarkan alasan yang dipaparkan, seperti karena alkon yang digunakan istri selama ini tidak efektif dalam mencegah terjadinya kehamilan (diwakili oleh 26,6 % responden), kondom tidak menimbulkan efek samping (diwakili oleh 20 % responden), serta alasan biaya yang cukup terjangkau, praktis dan karena kondom adalah alkon yang paling umum diwakili oleh persentase dibawah 13%.

Data pemakaian alkon Implant dikalangan PUS di Bali menunjukkan bahwa secara umum alkon implant kurang diminati oleh responden terbukti dari hanya sebanyak 2,05 % responden yang menyatakan pernah memakai alkon dimaksud. Bahkan pada masa sekarang, terdapat 2 PUS yang mengalihkan pemakaian alkonnya dari implant ke alkon lain. Sehingga proporsi pemakaian alkon saat sekarang menjadi hanya 0,68 %. Adapun alasan yang melatarbelakangi dipilihnya implant oleh sejumlah responden adalah karena alasan kenyaman dalam pemakaian Implant.

Data pemakaian alkon Suntik KB di kalangan PUS di Bali menunjukkan bahwa alkon suntik KB merupakan salah satu pilihan utama responden setelah IUD, terlihat dari persentase responden yang menyatakan pernah memakai alkon suntik sebesar 37,67 % dari total responden. Namun demikian, memasuki periode pemakaian saat sekarang, persentase pemakai alkon Suntik KB turun sebanyak 43,64 %.

(16)

Dari sejumlah 21,23 % responden yang saat ini menggunakan alkon suntik KB, mengemuka sejumlah alasan yang melatarbelakangi yaitu karena alkon suntik lebih praktis (diwakili oleh persentase sebesar 35,48%), alkon yang aman dan paten (diwakili oleh persentase sebesar 19,35%), mengalami kegagalan/trauma kehamilan saat memakai alkon lain (diwakili oleh persentase sebesar 19,35%), saran dari bidan serta alasan psikologis lainnya (seperti: tetap menstruasi ketika menggunakan, sedang coba- coba memakai, dan kemudahan memperoleh) dengan persentase tidak lebih tinggi dari 9,68 %.

Data pemakaian alkon Pil KB di kalangan PUS di Bali menunjukkan bahwa alkon pil KB sama halnya dengan Suntik KB merupakan alkon yang cukup banyak dipilih oleh responden setelah IUD. Terlihat dari persentase responden yang menyatakan pernah menggunakan Pil KB mencapai 32,19 % dari total responden. Namun demikian, kecendrungan yang sama tampak terulang pada kondisi pemakaian alkon Pil KB dimana responden yang menyatakan menggunakan alkon dimaksud saat ini menurun jumlahnya dibandingkan sebelumnya. Penurunan sebesar 53,19 % menyertai penurunan persentase terhadap total menjadi hanya 15,07 %.

Dari 47 responden PUS yang menyatakan pernah menggunakan alkon Pil KB sebagian besar responden atau sebanyak 61,70 % menyatakan alasan bahwa Pil KB adalah alkon yang praktis dan mudah dalam penggunaannya, sedangkan sejumlah alasan lainnya seperti lemah efek samping, trauma kegagalan pemakaian alkon lain, lancar menstruasi, murah, alasan pemintaan keluarga dan hanya alkon dimaksud yang disediakan oleh Bidan setempat, masing-masing dengan persentase 2, 13 %. Selanjutnya, dari 22 responden PUS yang saat ini menggunakan alkon Pil KB, alasan kepraktisan masih menjadi dasar diwakili oleh 45,45 % responden disamping alasan-alasan lainnya yang tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya.

16  Setelah diuraikan berdasarkan jenis alkon yang digunakan, status pemakaian alkon juga dapat dilihat dari kurun waktu pemakaian alkon. Sebanyak 36,3 % responden menyatakan usia pemakaian alkon berkisar antara 12 – 59 bulan, 21,9 % responden menyatakan usia pemakaian alkon berkisar antara 60 – 107 bulan, 14,4 % responden menyatakan usia pemakaian alkon < 12 bulan, 11,6 % diantaranya berusia 108 – 155 bulan, 9,6 % diantaranya berusia 156 – 203 bulan, 4,1 % responden menyatakan usia

(17)

pemakaian mencapai 204 – 251 bulan, dan hanya 1,4 % dari total responden yang memakai alkon memiliki usia pemakaian hingga > 251 bulan.

Setelah sebelumnya diuraikan mengenai status dan profil pemakaian alkon di kalangan PUS peserta KB di Bali, berikut akan ditelaah profil responden yang tidak menggunakan alkon (khususnya alkon istri). Dari total 10 responden yang menyatakan tidak menggunakan alkon wanita (istri yang tidak menggunakan alkon) mengemuka sejumlah alasan seperti usia anak yang pertama masih kecil, belum ada keinginan untuk menggunakan alkon, suami yang memakai alkon dan keterbatasan biaya yang masing-masing diwakili oleh 10 % responden, serta alasan takut akan efek samping yang diwakili oleh 30 % responden sedangkan sisanya tidak memberikan alasan tertentu.

Untuk melihat kontribusi suami dalam mencegah terjadinya kehamilan, maka telaah terhadap keterlibatan pria/suami untuk menggunakan alkon pria (kondom, MOP) sangat diperlukan. Berdasarkan hasil penjajagan lapangan diketahui bahwa dari 32 responden yang menyatakan memakai alkon pria, sebanyak 87,50 % beralasan mencegah terjadinya kehamilan istri, sedangkan sebanyak 6,25 % berasalan memakai alkon karena istri tidak memakai alkon, sedangkan sisanya sebanyak 3,12 % berasalan memakai alkon karena alkon yang digunakan istri selama ini tidak mampu mencegah terjadinya kehamilan.

Berikutnya, status pemakaian alkon pria juga dilihat dari sudut pandang suami yang tidak memakai alkon beserta alasannya. Telaah ini didasari oleh pemikiran bahwa meskipun istri sudah memakai alkon namun kemungkinan terjadinya kehamilan tetap tidak dapat dicegah. Dari 114 responden yang menyatakan tidak menggunakan alkon pria, sebanyak 38,6 % justru tidak memberikan alasan, sebanyak 47,37 % diantaranya beralasan bahwa cukup istri saja yang memakai alkon, 7,02 % diantaranya beralasan belum terlalu berminat untuk menggunakan alkon, 4,39 % berasalan tidak mau memakai alkon, dan dalam persentase yang sangat kecil terdapat responden yang beralasan takut efek samping serta alasan budaya karena pria memakai alkon bukan hal yang lazim bagi kehidupan masyarakat desa.

(18)

5.2 Implikasi Kegagalan dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi terhadap Status Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) pada PUS di Bali

Seluruh PUS yang pernah mengalami KTD dan menjadi responden dalam penelitian ini menyebutkan angka berkisar antara 1 sampai 5, ketika diberi pertanyaan berapa kali pernah mengalami KTD. Sebanyak 85,6% responden mengatakan pernah mengalami KTD sebanyak satu kali; 10,3% responden pernah mengalami KTD sebanyak dua kali; 0,7% responden pernah mengalami KTD masing-masing sebanyak tiga dan lima kali; dan sisanya 2,8% responden tidak memberi jawaban.

Saat penjajagan lapangan tahap I terungkap bahwa diantara jumlah anak yang pernah dilahirkan PUS, selalu terdapat kelahiran yang bermula dari KTD. Artinya meski terjadi KTD, banyak PUS yang tetap menrima kondisi ini sebagai sebuah rejeki, takdir, yang harus diterima. Apalagi banyak harapan bahwa anak yang akan dilahirkan atas kehamilan yang tidak diinginkan itu adalah berjenis kelamin laki-laki, sebab mengingat peran anak laki-laki sangat penting dalam keluarga Hindu di Bali.

Hasil penelitian menerangkan bahwa kasus KTD terbanyak terjadi pada responden yang pernah melahirkan anak sebanyak tiga kali. Dari 51 responden yang pernah melahirkan anak sebanyak 3 orang, seluruhnya pernah mengalami KTD. Sebanyak 47 (92,2%) diantaranya pernah mengalami KTD sebanyak satu kali, dan 4 (7,8%) responden pernah mengalami KTD sebanyak dua kali.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada responden yang pernah melahirkan anak sebanyak dua dan empat orang anak. Sebanyak 38 (92,7%) dari 41 responden yang pernah melahirkan anak sebanyak dua orang pernah mengalami KTD sebanyak satu kali, dan hanya 1 (2,4%) yang pernah mengalami KTD sebanyak dua kali. Selanjutnya sebanyak 26 (74,3%) dari 35 responden yang pernah melahirkan anak sebanyak empat orang, pernah mengalami KTD sebanyak satu kali, dan 8 (22,9%)- nya pernah mengalami KTD sebanyak dua kali.

Sedangkan responden yang pernah melahirkan anak sebanyak satu orang, adalah sebanyak 7 responden, dan 6 (85,7%) diantaranya mengakui pernah mengalami KTD sebanyak satu kali. Hal ini mengindikasikan bahwa meski hanya memiliki satu orang anak (sampai saat penelitian dilakukan), responden tidak meneruskan atau memilih 18 

(19)

untuk menghentikan proses kehamilan yang sejak awal memang tidak diinginkan tersebut. Indikasi lainnya adalah memang sejak awal perkawinan PUS tidak/belum ingin memiliki anak, tetapi kemudian terjadi KTD dan diteruskan hingga lahir dan PUS tercatat sebagai responden yang pernah melahirkan satu orang anak. Terdapat pula satu responden yang berasal dari kabupaten Badung yang pernah melahirkan anak sebanyak enam anak, dan lima diantara enam anak yang dilahirkan tersebut adalah karena/bermula dari KTD.

Beragam alasan yang disampaikan responden mengenai kehamilan yang tidak diinginkan antara lain :

1. Menggunakan alat kontrasepsi tetapi gagal (78,7%) 2. Tidak menggunakan alat kontrasepsi ( 16,4%)

3. Desakan suami atau keluarga untuk menambah jumlah anak (12,3%)

4. Alasan lainnya seperti: belum siap punya anak lagi, mengharapkan anak laki-laki ( 9,0%)

Terdapat dua tindak lanjut berbeda yang dilakukan responden setelah mengalami KTD, yaitu tetap mempertahankan kehamilan tersebut hingga bayi dilahirkan (82,2%), karena alasan Takut dosa bila melakukan aborsi, Adanya harapan yang besar bahwa anak yang dikandung tersebut adalah anak laki-laki, Anak adalah rejeki dari Tuhan sehingga bila kita menggugurkan berarti menolak rejeki dari Tuhan, Tindakan aborsi bertentangan dengan agama, Khawatir akan resiko yang ditimbulkan bila ternyata proses aborsi gagal.

Responden lainnya memilih melakukan aborsi/ menggugurkan kandungan (19,2%) setelah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut. Alasan yang disampaikan responden tentang keputusan melakukan aborsi sebagian besar berargumen bahwa aborsi dilakukan semata-mata karena indikasi medis, dan kedua jarak kehamilan yang terlalu dekat dengan kehamilan sebelumnya.

Selanjutnya kepada responden yang melakukan aborsi tersebut ditanya dimana tempat melakukan aborsi, sebagian besar responden (sekitar 78,8%) tidak bersedia menyebutkan tempat melakukan aborsi. Sisanya, sebanyak 12,3% responden mengaku

(20)

memilih bidan dokter swasta (BDS) sebagai tempat untuk melakukan aborsi, dan 8,2% responden melakukan aborsi di rumah sakit. Selain BDS dan rumah sakit, terdapat satu orang responden (0,7%) yang berasal dari kabupaten Bangli memilih dukun untuk membantu menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan tersebut.

Hasil penjajagan yang dilakukan tim peneliti di 9 kabupaten/kota menunjukkan bahwa terdapat beberapa kasus KTD yang terjadi akibat kegagalan penggunaan alat kontrasepsi. Akan tetapi kurangnya kesadaran “korban” untuk melaporkan kasus ini kepada instansi kabupaten terkait, dalam hal ini SKPD-KB kabupaten/kota, yang sudah termasuk dalam mekanisme pencatatan pelaporan yang sudah bakukan (unmetneed). Bila dilihat berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan 146 responden, terlihat bahwa hampir semua metode pernah mengalami kegagalan dalam penggunaan yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada responden.

Metode kontrasepsi yang paling banyak mengalami kegagalan selama masa penggunaannya dan menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan PUS adalah metode IUD. Kegagalan metode lainnya, juga bila diurut berdasarkan bentuk kegagalan terbanyak antara lain metode suntik, pil, kondom, implant dan MOP.

Tabel 5.2.2 Kegagalan Penggunaan Alat Kontrasepsi Menurut Metode Kontrasepsi yang Digunakan di 9 Kabupaten/Kota di Bali

Metode Kontrasepsi (persen) Kabupaten/

Kota IUD MOW MOP Kondom Implant Suntik PIL

N % N % N % N % N % N % N % 1. Badung 4 25,0 - - - 5 31,3 8 50,0 2. Bangli 7 43,8 - - - 3 18,8 2 12,5 3. Buleleng 3 17,6 - - - - 4 23,5 1 5,9 3 17,6 - - 4. Denpasar 12 70,6 - - - 3 17,6 2 11,8 5. Gianyar 1 6,3 - - - - 2 12,5 - - - - - - 6. Jembrana 5 31,3 - - - - 1 6,3 1 6,3 10 62,5 6 37,5 7. Krngsem 10 62,5 - - 1 6,3 - - - - 2 12,5 4 25,0 8. Klkung 12 75,0 - - - 1 6,3 3 18,8 9. Tabanan 9 56,3 - - - 4 25,0 3 18,8

Sumber: Data Primer, 2008

(21)

Besarnya jumlah kegagalan pada metode IUD equivalen dengan banyaknya jumlah masyarakat yang menggunakan metode tersebut. Sehingga bisa dimaklumi bila secara kuantitas jumlah kegagalan metode IUD di Bali tertinggi jika dibanding metode lainnya. Sedangkan untuk kasus kegagalan penggunaan metode suntik dan pil, hampir terjadi secara merata di seluruh kabupaten/kota di Bali. Hanya kabuapten Gianyar yang terbebas dari kasus kegagalan KB suntik dan pil, dan kabupaten Buleleng terbebas dari kegagalan KB Pil. Hal yang perlu dicermati pada banyaknya kegagalan penggunaan suntik dan pil, adalah ditemukannya beberapa kasus kegagalan yang penyebabnya justru karena keteledoran pengguna dalam mengkonsumsi pil dan menaati jadwal suntik. Sedangkan untuk metode MOW, terjadi 0% kegagalan. Sebaliknya pada metode MOP terdapat satu kasus kegagalan (6,3%), pada responden yang berada di wilayah Karangasem. Pada kasus kegagalan penggunaan kondom dialami oleh sekitar 23,5% responden di kabupaten Buleleng, 12,5% di kabupaten Gianyar, dan 6,3% responden dari kabupaten Jembrana. Rata-rata bentuk kegagalan yang terjadi adalah karena bocornya kondom yang digunakan saat melakukan hubungan suami istri.

Untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari responden PUS mengenai KTD yang diakibatkan oleh kegagalan penggunaan alkon, maka penelitian ini juga menggali informasi-informasi pendukung lainnya, yang salah satunya bersumber dari provider KB (PKBRS, BDS, dan PLKB) di 9 kabupaten/kota di Bali. Dari total 36 responden provider, sekitar 9 (25%) diantaranya menyatakan pernah menerima pasien PUS yang mengalami kehamilan tidak diinginkan akibat kegagalan penggunaan alat kontrasepsi, sisanya sebanyak 27 (75%) menyatakan tidak pernah menerima pasien dengan keluhan tersebut.

Secara komulatif terdapat 11 pasien KTD yang diterima provider dalam tiga periode, Juli, Agustus dan September. Terjadi peningkatan jumlah pasien yang datang dari bulan Juli yakni sebanyak 2 pasien, bertambah menjadi 5 pasien pada bulan Agustus, kemudian berkurang menjadi 4 pasien pada bulan September. Bila dilihat berdasarkan sebaran wilayah, tampaknya provider di kabupaten Klungkung-lah yang paling banyak menerima dan paling rajin melakukan pencatatan secara administrasi tentang kedatangan pasien yang mengalami KTD akibat kegagalan penggunaan alkon dalam tiga bulan terakhir, yaitu sebesar 5 kasus. Disusul oleh kabupaten Buleleng

(22)

dengan 3 kasus, Karangasem 2 kasus, dan Jembrana 1 kasus. Berbagai bentuk kegagalan yang dijumpai antara lain: IUD patah (5 kasus), Kebocoran pada penggunaan kondom (1 kasus), Letak IUD yang berubah (2 kasus), dan Efek-efek hormonal (1 kasus)

Informasi lain yang diperoleh dari responden provider adalah data mengenai jumlah kasus KTD akibat kegagalan penggunaan alkon menurut metode kontrasepsi yang digunakan. Metode kontrasepsi yang paling banyak mengalami kegagalan selama bulan Juli sampai Agustus adalah metode IUD. Beberapa bahkan disertai dengan komplikasi berat pada bulan Agustus sampai September. Kegagalan kondom terjadi pada Agustus, satu kasus kegagalan metode suntik pada bulan Juli.

(23)

Bab VI

PERSEPSI PUS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KB DI BALI Terpenuhinya kebutuhan PUS dalam memperoleh layanan yang baik dalam ber-KB, tergantung pada kualitas layanan yang diberikan penyedia jasa layanan ber-KB. Tanggung jawab ini bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pihak penyedia layanan KB swasta seperti: bidan dokter praktek swasta (BDS), klinik KB swasta, LSM atau organisasi yang fokus sasarannya adalah PUS. Adapun tempat-tempat pelayanan KB yang didatangi oleh responden PUS untuk memperoleh layanan diurut berdasarkan intensitasnya yaitu BDS (53,4%), klinik KB (43,8%), dan PKBRS (8,9%). BDS dipilih pada urutan pertama diduga terkait dengan kualitas layanan BDS yang lebih baik dibandingkan tempat lainnya. Selain itu totalitas pelayanan dari segi waktu dan kedekatan hubungan antara petugas dengan pasien serta terjaganya privasi responden merupakan nilai plus pelayanan yang dimiliki BDS. Sementara pada klinik KB dan rumah sakit (PKBRS), responden merasa kurang nyaman terutama terkait dengan prosedur klinik dan rumah sakit yang harus diikuti bila ingin memperoleh layanan KB. Selain itu proses antri bersama pasien-pasien penyakit lain di rumah sakit juga menjadi faktor pemicu rendahnya jumlah kunjungan responden ke rumah sakit dalam memperoleh layanan ber-KB.

Sumber pembiayaan yang biasanya digunakan PUS dalam mengakses layanan KB adalah melalui program pemerintah dan pembiayaan secara mandiri. Dari 146 responden PUS hanya 24,7%-nya yang menyatakan pernah memanfaatkan pembiayaan melalui program pemerintah dalam ber-KB, dan di atas 70% responden menggunakan pembiayaan secara mandiri. Dari seluruh responden yang menggunakan pembiayaan secara mandiri, terdapat pula diantaranya keluarga miskin yang karena keterbatasan informasi mengenai pembiayaan dari program pemerintah, tidak memanfaatkan pembiayaan melalui program pemerintah tersebut.

Melihat beberapa kondisi di atas kiranya pemerintah perlu melakukan perbaikan-perbaikan demi peningkatan mutu dan kualitas pelayan KB kepada masyarakat. Menurut Zeithmahl, dkk (dalam Tjiptono, 2006), suatu layanan kepada konsumen dikatakan berkualitas bila memenuhi lima indikator, meliputi: Bukti

(24)

Langsung (Tangibles), Keandalan (Reliability,) Daya Tanggap (Responsiveness), Jaminan (Assurance), dan Empati (Empaty). Untuk itu mengetahui kuaitas tingkat pelayanan KB di Bali, maka kepada responden PUS diminta pendapat/ persepsinya mengenai lima indikator pelayanan di atas, yang diimplementasikan ke dalam beebrapa pertanyaan.

Indikator Bukti Langsung diukur dengan menggunakan beberapa variabel seperti tingkat kebersihan tempat pelayanan, cara berpenampilan pemberi layanan, ketersediaan alkon di tempat layanan, ketersediaan informasi mengenai pilihan alkon yang tersedia, ketersediaan informasi mengenai kontraindikasi alkon, ketersediaan informasi mengenai efek samping pemakaian alkon, dan ketersediaan informasi mengenai pelayanan lanjutan yang diperlukan responden diperoleh hasil secara umum bahwa responden memberikan penilaian/ persepsi baik pada tingkat kebersihan, cara berpenampilan dan ketersediaan alkon di tempat pelayanan. Namun penilaian kurang diberikan responden pada kriteria pemberian informasi baik itu terkait dengan informasi pemilihan alkon, kontraindikasi dan efek samping penggunaan alkon. Hasil rekapitulasi terhadap persepsi responden dalam indikator bukti langsung menunjukkan bahwa secara umum berpersepsi baik dengan bobot rata-rata 4,5. Kualitas layanan juga dapat diukur dari tingkat ketanggapan pemberi layanan dalam membantu responden. Terkait dengan indikator dimaksud, beberapa responden memberikan persepsi yang agak kurang terhadap sejumlah indikator variabel yang digunakan untuk mengukur dimensi Keandalan. Secara lebih terperinci, sekitar 2,1% responden memiliki persepsi bahwa pemberi layanan kurang mampu memahami permasalahan yang dihadapi responden. Sebanyak 6,2% responden berpersepsi bahwa pemberi layanan kurang mampu membantu responden dalam memecahkan masalah yang dihadapi responden. Bahkan sebanyak 0,7% responden berpersepsi bahwa pemberi layanan tidak tanggap dalam memberikan jadwal penggunaan alkon dan check up terhadap responden.

Merujuk pada hasil tersebut, maka bila provider ingin melakukan perbaikan terhadap kualitas pelayanan berarti intervensi pertama yang harus dilakukan pemberi layanan adalah memperbaiki kemampuan untuk memahami dan kemampuan untuk memberikan solusi pemecahan permasalahan yang dihadapi responden. Begitu juga dengan ketanggapan provider dalam menginformasikan waktu serta jadwal yang tepat

(25)

bagi klien dalam kaitannya dengan pemasangan maupun check-up, secara keseluruhan, persepsi responden adalah tanggap. Sedangkan jika kualitas layanan pemberi layanan diukur dari dimensi empati yang menggunakan definisi kemampuan pemberi layanan untuk secara bersungguh-sungguh berempati terhadap permasalahan yang dihadapi responden, maka diperoleh hasil bahwa pemberi layanan telah berempati terhadap permasalahan responden.

Informasi mengenai alkon yang dipilih juga berkaitan dengan informasi mengenai kontraindikasi dari masing-masing penggunaan alkon. Sebab sudah menjadi hak para pengguna alkon untuk mengetahui secara terbuka kontraindikasi yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan alkon. Namun demikian masih ada responden yang memberikan persepsi kurang tersedianya informasi tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai efek samping dari penggunaan alkon. Pemberi layanan harus secara terbuka menjelaskan efek samping dari masing-masing penggunaan alkon, sehingga PUS bisa secara tepat membuat pilihan mengenai alkon yang akan digunakan.

Kemampuan responden untuk memilih secara mandiri alkon paling tepat yang akan digunakan agaknya kurang dapat terealisasi secara merata, sebab masih ada responden yang memberikan persepsi tidak tersedianya informasi mengenai efek samping dari penggunan alkon yang dipilih (0,7%), dan sebanyak 2,1% responden memberikan persepsi kurang tersedianya informasi mengenai efek samping tersebut. Penilaian yang sama juga terjadi pada kriteria ketersediaan informasi mengenai pelayanan lanjutan yang diperlukan responden, dimana sebanyak 0,7% dan 2,1% responden yang berpersepsi tidak tersedia dan kurang tersedianya informasi mengenai pelayanan lanjutan dalam ber-KB.

(26)

Bab VII

KONTRIBUSI PROVIDER DAN PEMERINTAH (BKKBN DAERAH/PROVINSI DAN PKK) DALAM SOSIALISASI KB

Keterlibatan aktif provider dalam pemberdayaan KB dewasa ini semakin dituntut mengingat tantangan sosialisasi KB yang semakin berat. Dibutuhkan kesiapan sarana dan prasarana penunjang tidak hanya kualitas namun juga kuantitas. Terpeliharanya kualitas sarana prasarana dan personel menjamin pelayanan manajemen keluarga berencana yang lebih baik. Sebaran penduduk yang luas dengan capaian yang beragam mengharuskan dimilikinya suatu sistem perencanaan yang terpadu diantara berbagai pihak yang berkepentingan dibawah komando kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) di level nasional hingga kabupaten. Penciptaan keluarga kecil sejahtera dan bahagia adalah tujuan pemberdayaan keluarga berencana nasional.

Hasil penjajagan lapangan menguji kontribusi BKKBN dalam pengalokasian dana pengganti bagi PUS yang mengalami KTD. Diperoleh hasil bahwa dari 9 kantor SKPD-KB yang menjadi responden 44,4 % diantaranya tidak menjelaskan ketersediaan dana pengganti. Kabupaten dimaksud adalah Denpasar, Jembrana, Karangasem, dan Tabanan. Sedangkan sebanyak 22,2 % responden SKPD-KB Kabupaten yang menyatakan tidak memberikan dana pengganti kegagalan kontrasepsi. Kabupaten dimaksud meliputi Kabupaten Badung dan Bangli. Sedangkan sisanya sebanyak 33,3 % adalah responden SKPD-KB kabupaten yang menyatakan memberikan sejumlah dana pengganti kepada PUS yang melaporkan kejadian kegagalan kontrasepsi. Kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Buleleng, Gianyar, dan Kelungkung.

Sebanyak 22,2 % responden yang menyatakan tidak memberikan dana pengganti, 50 % diantaranya menyatakan bahwa biaya pengganti kegagalan kontrasepsi memang tidak dianggarkan dalam anggaran pembiayaan kantor/badan. 50 % sisanya menyatakan tidak memberikan dengan alasan bahwa pasien/PUS umumnya lebih sering berkonsultasi langsung kepada Bidan dan Dokter Praktek Swasta sehingga seringkali tidak ada pelaporan kepada BKKBN. Sebaliknya 33,3 % responden kabupaten yang memberikan sejumlah dana pengganti, sebanyak 100 % menyatakan telah mengusulkan anggaran pengganti kepada BKKBN provinsi dengan prosedur pelaporan pertama oleh 26 

(27)

bidan untuk diajukan oleh SKPD-KB Kabupaten kepada Provinsi sesuai dengan pagu DIPA BKKBN.

Kontribusi BKKBN kepada PUS yang mengalami KTD akibat kegagalan kontrasepsi juga terlihat dari ketersediaan jasa konseling bagi PUS. Konseling dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan tindakan terhadap kondisi yang muncul terlebih apabila PUS adalah pasangan yang baru menikah. Secara lebih lanjut, konseling ini sebagian besar atau sebanyak 80 % dilakukan oleh PLKB dan sisanya sebanyak 20 % adalah kontribusi dokter pemerintah. Dengan mempertimbangkan kembali masih rendahnya ketersediaan tenaga lapangan penyuluh KB (PLKB) serta tenaga medik sedangkan cakupan wilayah layanan sangat luas dan kasus yang terjadi sangat beragam, maka penyusunan program terpadu di tiap-tiap wilayah kerja terkait antisipasi dan tindak lanjut pasca KTD terutama akibat kegagalan kontrasepsi mesti dirintis. Hasil survey lapangan menunjukkan kondisi anomaly dimana sebagian besar responden (44,4 %) tidak memberikan keterangan, 33,3 % menyatakan tidak memiliki program khusus, dan hanya 22,2 % sisanya yang menyatakan mencanangkan program terkait KTD dan kegagalan kontrasepsi. Jenis program yang dicanangkan berupa sosialisasi kesehatan reproduksi yang ditujukan kepada PUS dan program pasektomi.

Masih minimnya tindak nyata BKKBN dalam pencanangan program menunjukkan bahwa permasalahan KTD belum menjadi isu manajemen keluarga berencana di kalangan BKKBN sendiri. Bahkan ketersediaan data dari masing-masing SKPD pun masih dirasa sangat lemah terutama yang berkaitan langsung dengan kejadian KTD. KTD juga memiliki implikasi terhadap angka kematian ibu dan bayi karena kehamilan yang tidak diinginkan dapat berakhir pada keputusan menggugurkan kandungan (aborsi).

(28)

Bab VIII

SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan

Adapun simpulan dari penelitian ini adalah

1) Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi di kalangan responden PUS di Bali disebabkan oleh kegagalan alat kontrasepsi, PUS tidak menggunakan alat kontrasepsi, adanya desakan dari suami/kelurga terdekat untuk menambah jumlah anak, alasan-alasan lain seperti belum siap punya anak, dan belum memiliki keturunan laki-laki.

2) Derajat kejadian KTD di kalangan PUS di Bali masih dominan disebabkan oleh kegagalan alat kontrasepsi terutama IUD. Kegagalan alat kontrasepsi suntik KB, Pil, kondom, implant dan MOP juga terjadi namun dalam persentase yang relatif kecil dibandingkan kegagalan IUD (IUD Patah, letak IUD yang bergeser, IUD lepas, IUD tertutup lemak, serta adanya infeksi di tempat pemasangan IUD). Dari sisi kualitas pelayanan penyedia jasa KB yang dukur dari 5 (lima) indikator pelayanan berkualitas meliputi Bukti Langsung (tangibles) yang secara umum dipersepsikan berkinerja baik, Keandalan (reliability) yang secara umum dipersepsikan berkinerja cukup dapat diandalkan, Daya Tanggap (responsiveness) yang secara umum dipersepsikan berkinerja tanggap, Jaminan (assurance) yang secara umum dipersepsikan berkinerja telah mampu dalam memberikan jaminan pelayanan, dan Empati (empaty) yang secara umum dipersepsikan berempati terhadap permasalahan PUS.

7.2. Saran

Adapun pokok-pokok pikiran yang dapat disarankan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :

1) Sehubungan dengan masih lemahnya ketersediaan data mengenai KTD yang dapat benar-benar dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan, maka diperlukan pencatatan, pelaporan data terkini, serta perapihan database dengan format yang sama dari bottom- level kepada up-level maupun 28 

(29)

sebaliknya, terutama melalui pencatatan mengenai kasus-kasus unmetneed yang dapat terjadi karena belum terlayaninya PUS sebagaimana mestinya sehingga berisiko terjadi KTD.

2) Sosialisasi menyeluruh meliputi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) terhadap program-program yang dicanangkan pemerintah. Tidak hanya bagi PUS namun juga bagi Provider. Edukasi dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran PUS akan manfaat, metode pemakaian, kontraindikasi, dan efek samping dari penggunaan alkon tertentu.

3) Sosialisasi ketersediaan dana pengganti kepada PUS yang potensial terkena KTD akibat kegagalan kontrasepsi atau kegagalan lainnya disertai koordinasi antara BKKBN Provinsi selaku penyedia dana dengan SKPD-KB Kabupaten/kota serta petugas lapangan KB, disamping juga adanya dukungan dari APBD atau pihak-pihak lain yang tidak mengikat.

4) Perlu dibuat desain/program yang terkait langsung dengan intervensi terhadap kasus KTD terutama kualitas informasi mengenai penggunaan, kontraindikasi, dan efek samping alkon. Konseling pasca KTD dengan memaksimalkan peran lembaga, provider serta SDM pemberi layanan KB di semua lini.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fausi, dkk. 2002. Aborsi di Indonesia. www.kesepro.com. Depkes RI. 1996. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1995. Jakarta

Hasil studi Kausalitatif “Persepsi KTD dan Aborsi di kalangan Remaja”. 2005. Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA).

Kamus Istilah Keluarga Berencana/ BKKBN. Jakarta 1993.

Marhaeni, AAIN dkk. 2004. Riset Operasional Dalam Upaya Menurunkan Unmet Need

Daerah Legok di Provinsi Bali. Kerjasama KKS FE Unud dan BKKBN

Provinsi Bali. Denpasar.

Laporan Tahunan Program KB Nasional Provinsi Bali tahun 2005. BKKBN Provinsi Bali tahun 2006.

Perda Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2003, tentang Rencana Stratejik (Renstra) Pemerintah Provinsi Bali Tahun 2003 – 2008.

Rubrik KB-Kesehatan Reproduksi. 2005. Aborsi Aman Ditentang?. Edisi Senin, 10 Oktober 2005. www.bkkbn.go.id

Tim Peneliti Fakultas Hukum Unud. 1983. Masalah Abortus Provocatus dan

Kebijaksanaan Keluarga Berencana. Denpasar

Tjiptono, Fandy. 2006. Manajemen Jasa. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Yayasan Kesehatan Wanita. 2003. Penghentian KTD yang Aman Berbasis Konseling di

Indonesia. Jakarta.

 

Referensi

Dokumen terkait

Pengaplikasian Face Recognition ini memiliki database berupa informasi wajah pemilik mobil yang sebelumnya telah disimpan kemudian dibandingkan oleh wajah yang

Apabila sektor memiliki indek keterkaitan kebelakang lebih dari satu dan indek keterkaitan ke depan kurang dari satu, maka sektor ini akan masuk pada kuadran sektor dengan

Pada analisis sebelumnya diperoleh jenis kegiatan industri yang sesuai sesuai dengan komoditas unggulan di Kabupaten Muara Enim dan faktor pengembangan komoditas unggulan

Dilihat dari fungsi penampilan tokoh, suatu peran dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah roman membuat pembaca

Kompetisi Caleg yang berdomisili di luar Dapil adalah kompetisi yang terjadi antar Caleg yang berdomisili di luar daerah pemilihan dalam memperebutkan

Analisis Structural Equation Modeling (SEM) menggunakan software SmartPLS Permen No.32/2007, metode MASSCOTE, RAP, Analisis Jalur (Path Analysis), metode MASSCOTE

Daun gaharu kelompok genus Aquilaria mengandung komponen kelompok senyawa 2- (Phenylethyl) chromones yang merupakan senyawa umum ditemukan juga pada resin