• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru dari Ambon, Minahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru dari Ambon, Minahasa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Seko bermukim di hulu Sungai Karama, di aliran Sungai Uro dan Betue, di Kabupaten Luwu-Utara, Sulawesi-Selatan, Indonesia. Mengalami perubahan sosial mendasar sekitar tahun 1920-an sampai dengan 1965 akibat masuknya Agama Kristen, ekonomi pasar, serta administrasi kolonial, yang

disusul berturut-turut oleh militer Jepang, revolusi mempertahankan

kemerdekaan dan pendudukan gerombolan DI/TII.1

Sesuai dengan kebijakan pemerintahan kolonial, jajaran Gereja Protestan Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru dari Ambon, Minahasa dan Timor yang kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di beberapa perkampungan di Seko tahun 1923-1934. Murid-murid diajarkan membaca, menulis, menggambar dan menyanyi. Bahan ajarnya bersumber dari ajaran Kristen, lambat laun murid-murid mengerti ajaran Kristen lalu kemudian mereka pindah agama dan masuk ke agama Kristen. Mereka juga mempengaruhi para orangtua sehingga pindah ke agama Kristen. Diduga pembaptisan pertama dilakukan antara tahun 1926-1927 yang dibaptis Ds. H. Van Weerden, penginjil utusan Gereformeerd Zendingsbond (GZB), setelah Van Weerden, meninggalkan pos pelayanannya karena ditahan pada masa pendudukan Jepang. Ds. P. Sangka Palisungan yang adalah orang Toraja di tempatkan sebagai penggantinya. Agama

1

Zakaria J. Ngelouw, Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII 1951 (Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008), 1.

(2)

2

Kristen disebarkan dengan menggunakan bahasa Toraja yang kemudian mengeserkan bahasa Seko.2

Sekitar tahun 1930-an Agama Islam masuk di Seko yang diperkenalkan oleh seorang pedagang dari Endrekang Duri yang awalnya menikah dengan masyarakat pribumi. Kehidupan berdampingan aman dan damai meskipun terdapat agama Kristen, Islam dan Kepercayaan tradisional masyarakat Seko. Pada awal tahun 1951 gerombolan DI/TII masuk di Seko dalam semangat politik.3 Pada Tahun 1952 gerombolan tersebut melarang masyarakat memeluk agama suku dan mewajibkan masyarakat menganut salah satu agama Kristen atau Islam. Pada bulan September tahun 1953 gerombolan DI/TII mengislamkan masyarakat Seko secara paksa, bagi masyarakat yang menolak pengislaman tersebut langsung dibunuh. Algojo pembunuh yang digunakan ialah masyarakat Seko yang telah pindah masuk ke Agama Islam dan direkrut menjadi tentara DI/TII. Menurut catatan Ngelouw, antar tahun 1953-1965 sekitar 120 jiwa warga Seko terbunuh pada waktu itu.4

Masyarakat Seko yang berhasil meloloskan diri dari tangan gerombolan dengan alasan menolak pemaksaan pindah agama dan berbagai kelaliman mengungsi keberbagai tempat. Masyarakat Seko bagian tengah dan barat mengungsi ke daerah Mamuju, Toraja dan daerah sekitarnya, sedangkan

2 Ngelouw, Masyarakat Seko, 7.

3 Gerombolan DI/TII dipakai untuk gerakan pemberontakan Kahar Muzakkar sejak masuk ke Seko tahun 1951, walaupun baru pada bulan Agustus 1953 nama DI/TII dipakai gerembolan. Dalam bahasa daerah gerombolan ini disebut gurilla, yang berasal dari nama awal gerakan ini yakni kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (GKSS), yang juga dipakai dalam suatu organisasi yang dibentuk dalam masyarakat, Gerilya Rakyat Indonesia (GRI). Lihat Zakaria Ngelouw, 10.

(3)

3

masyarakat Seko di bagian utara mengungsi ke arah Kulawi hingga sampai di lembah Palu. Rumah dan harta kekayaan masyarakat yang mengungsi tersebut dibakar dan terjarah oleh gerombolan DII/TII.

Pada masa inilah masyarakat Seko yang mengungsi ke daerah Mamuju berjumpa dengan budaya Karama, yang mengungsi ke wilayah Toraja bertemu dengan budaya setempat, sedangkan yang mengungsi ke wilayah Luwu berjumpa dengan budaya Luwu dan Bugis, dan yang mengungsi ke wilayah Sulawesi Tengah berjumpa dengan budaya, Kulawi, Bada’, Kaili, Pamona dan suku lainnya. Sehingga perjumpaan dengan kebudayaan sekitar menciptakan pengaruh besar bagi eksistensi kebudayaan Seko, yang sangat mungkin tergeserkan dan terdominasi oleh kebudayaan agung di sekitar mereka. Indikasinya adalah persoalan sosial, ekonomi, tekanan psikis dan traumatis yang dialami masyarakat Seko Pasca-pengislaman. Di lain sisi masyarakat yang masih tinggal di Seko berada dalam tekanan dan kendali gerombolan DI/TII.

Dampaknya ialah terporak-porandanya kebudayaan Seko, melahirkan masyarakat yang gagal kultural, kehilangan identitas dan jati dirinya. Seiring dengan kegagalan kultural tersebut melunturkan nilai dan falsafah masyarakat yang dihidupi. Kemudian merenggangkan kohesi sosial dalam kehidupan masyarakat setempat, menciptakan suasana yang tidak kondusif dan rawan terhadap konflik. Hal ini terungkap dari beragamnya konflik antar individu, keluarga dan kelompok masyarakat dalam persandingan kekuasaan.

Realitas ini adalah bentuk perubahan sosial yang turut serta mempengaruhi peradaban masyarakat yang muncul akibat pengaruh baik secara internal maupun

(4)

4

eksternal yang berakibat fatal menciptakan masalah sosial. Tambahan pula dengan kenyataan populasi penduduk yang semakin meningkat yang menciptakan masyarakat homogen dan kompleks menumbuhkan berbagai macam peluang benturan konflik yang meresahkan masyarakat. Signifikansi perubahan dalam dimensi kehidupan menjadi gelembung yang melanda interaksi aktivitas antar masyarakat. Hal itu menjadi perhitungan dalam kekuatiran terhadap goncangan budaya masyarakat yang menyentuh pikiran dan kesadaran mencari acuan sebagai reaksi menemukan identitasnya.5

Bertitik tolak pada disintegrasi di atas, Sallombengang menjadi penting sebagai instrumen integrasi sosial. Dengan tujuan mengeratkan kembali keretakan hubungan yang selama ini rawan karena konflik. Hal ini penting demi terciptanya masyarakat yang bersatu, utuh dan harmonis, integrasi sosial itu pernah dihidupi masyarakat Seko Embonatana tradisional pra-agama Kristen dan Islam. Sallombengang adalah salah satu bentuk ritual kebudayaan masyarakat Seko yang diyakini mempersatukan masyarakat dari segala perbedaan. Falsafah itu pertama kali disampaikan oleh Roka dengan tujuan masyarakat Seko tetap bersatu.6

Roka waktu itu tampil berbicara di depan seluruh lapisan masyarakat dengan memegang manik-manik lalu ia mengatakan, jika kamu tidak seperti

5 Arifin, Transfomasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional (Jakarta: Universitas Indonesia, 1988) , 155.

6

Sallombengang merupakan sistem nilai dan norma bagi masyarakat Seko Embonatana. Sejarah munculnya Sallombengang bermula dari wahyu yang diterima seorang masyarakat yang sederhana bernama Roka yang kemudian diberi julukan Passupu (perantara Tuhan dan manusia). Karena itu apa yang diucapkan Roka akan terjadi dikemudian hari. Adapun pesan yang dinyatakan dalam amanah Sallombengang ialah persatuan, kemanusiaan, keadilan dan kejujuran.

(5)

5

manik ini, hidup bersatu meskipun ada yang kecil, sedang dan besar serta warna-warni dan beragam, maka kamu akan bercerai-berai seperti manik-manik ini, sambil ia melepas tali manik-manik itu. Sebab itu kamu harus si-Sallombengang. Falsafah Sallombengang yang di jabarkan melalui manik-manik (saruhane) menekankan nilai-nilai kebersamaan hidup, yang harus dipegang teguh oleh masyarakat Seko, sehinga masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dalam hidup. Pemahaman yang hidup di masyarakat bahwa kata Sallombengang berasal dari akar kata lombeng yang berarti tempat memasukkan atau menyatukan biji-biji emas kecil untuk ditimbang, wadah itulah yang disebut satu lombeng atau Sallombengang.

Dengan demikian Sallombengang merupakan sumber norma dan nilai yang bersifat mengikat dalam kehidupan bersama yang seutuhnya dihayati sebagai yang sakral dengan kekuatan moral masyarakat.7 Secara disiplin dilakukan dalam kesadaran kolektif yang mengakarkan individu dalam masyarakat.8 Pemahaman religius ini mendorong rasa sepayuguban bersama-sama dalam mengambil bagian disetiap aktivitas sehari-hari.9

Penting dicatat bahawa budaya tradisional Seko Embonatana telah teramnesiakan Pasca-agama Kristen dan Islam masuk di Seko. Salah-satu diantaranya ialah Sallombengang yang secara praksis tidak lagi dilakukan dalam kehidupan saat ini dikarenakan adanya justifikasi bahwa kebudayaan ini kafir dan bebas nilai, tetapi falsafah tersebut masih hidup dalam memori kolektif

7 George Ritzer, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 168-169. 8 Djuretna A dan Imam Muhni, Moral Religi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 141. 9

Paul. B Hotson dan Chaster L.Hunt, Sosiologi Edisi Keenam (Jakarta: Erlangga, 1994), 306.

(6)

6

masyarakat setempat. Seperti yang dikatakan oleh Martin Heidegger bahwa sejarah bukanlah semata-mata narasi itu sendiri, melainkan suatu yang hidup di masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada masa kini untuk dimaknai (sekaligus memaknai) masa kini. Pemaknaan ini terhadap masa lalu itu dilakukan berdasarkan konteks masa kini.10 Hal ini menegaskan bahwa kebudaayaan yang pernah ada menjadi ingatan sejarah masa lalu untuk memaknai kehidupaan saat ini yang gemilang. Ungkapan itu dipertegas oleh Maurice Halbwachs yakni:

Memori adalah sebuah penampakan sosial yang isi dan kegunaanya dijelaskan melalui interaksi dengan orang lain dalam bentuk bahasa, tindakan, komunikasi dan dengan ungkapan emosi-emosi pada konfigurasi keberadaan sosial kita. Ingatan terbentuk melalui dialog dalam kelompok sosial, seperti halnya sebuah ingatan yang terbesar atau bagian kenangan yang terkuat akan menjadi ingatan yang resmi di dalam kelompok tersebut, dengan frasa “kita adalah yang kita ingat, menjadi apa yang kita miliki. Dalam arti ini, tindakan mengingat tersebut tidak semata dilakukan secara pribadi, tetapi secara kolektif, yakni ingatan sebuah kelompok masyarakat, atau sebuah bangsa. Ingatan kolektif semacam ini menjadi dasar bagi identitas kolektif masyarakat tersebut, termasuk bagaimana masyarakat itu memandang dirinya sendiri.11

Dalam konteks ini tepat sebagaimana pembahasan singkat yang menyitir pendapat Halbwachs di atas, bila dipakai mengungkapkan kembali memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap nilai-nilai dan falsafah yang terkandung dalam Sallombengang dengan tujuan mengangkat nilai-nilai mitos, spritual dan ideologi kebudayaan yang cemerlang dan kontekstual, sebagai usaha untuk keluar dari narasi agung (grand narrative) menuju narasi kecil (little

10 Martin Heidegger dalam Widya Fitria Ningsih, Sejarah Memori: Politik Memori dan Ideologisasi Sejarah Nasional: Masa Soekarno dan Soeharto, (ed ) Budiawan (Yogyakarta: Ombak, 2013), 6-7.

11

Lewis A. Coser, On Collective Memory (Chicago: University of Chicago Press, 1992) dalam Reza, A. A Wattimena, Ingatan Sosial, Trauma dan Maaf (Jakarta: Atma Jaya, 2008), 19.

(7)

7

narrative).12 Dengan latar belakang permasalahan sebagaimana terurai di atas tesis ini disusun dengan judul:

Sallombengang: Memori Kolektif Sebagai Instrumen Integrasi Sosial

Masyarakat Seko Embonatana 1.2. Signifikansi Penelitian

Dalam bagian ini penulis akan menguraikan penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya dengan maksud melihat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan dalam tesis ini.

Tulisan artikel yang pertama dikemukakan disini adalah tulisan Yunus Tippo tentang Sallombengang, Roka dan Dimbarokke yang di dalamnya Tippo menjelaskan dalam suatu deskripsi interpretasi pribadi secara singkat sejarah munculnya Sallombengang dari seorang bernama Roka dengan gelar Passupu (perantara Tuhan dan manusia) kemudian menjelaskan amanah Sallombengang seperti kesatuan, keterikatan, kejujuran, keterbukaan, menghargai dan menghormati antara masyarakat. Selanjutnya Tippo menjelaskan peristiwa peneguhan Dimbarokke yang dirubah namanya menjadi Bilande yang diberikan tugas sebagai pengayom masyarakat Seko. Kisah kehidupan Dimbarokke adalah manusia yang sederhana, jujur, mulia dan rendah hati yang senatiasa berdoa dan bergumul dalam keprihatianannya terhadap persoalan sosial yang terjadi di masa

(8)

8

itu. Tippo menyebutkan beberapa bukti-bukti nubuatan Roka terhadap masyarakat Seko.13

Selain karya Tippo di atas terdapat tulisan lainnya tentang Sallombengang yang dilakukan oleh Altur Kelo dalam Skripsinya di STAKN Toraja tentang Falsafah Sallombengang dan relevansinya bagi pertumbuhan Gereja di Seko. Kelo mendasarkan pikirannya pada amanah Sallombengang yang disampaiakan oleh Roka yang mengandung nilai kesatuan, keterikatan, kejujuran, keterbukaan, menghargai dan menghormati antara masyarakat yang kemudian dijadikan falsafah hidup masyarakat Seko dalam budaya Sallombengang. Lebih lanjut Kelo menjelaskan bahwa falsafah ini menjadi sumber nilai atau norma yang sifatnya mengikat masyarakat dalam mewujudkan kehidupan bersama. Dari nilai-nilai inilah diupayakan penerapan teologi kontekstual dalam praksis kehidupan bergereja di Seko, yang berbasis pada korelasi budaya Sallombengang dangan pemberitaan injil Kristus, demi terciptanya teologi kontekstual dalam pertumbuhan gereja-gereja di Seko.14

13 Sejarah munculnya Sallombengang di Seko Embonatana bermula dari wahyu yang diterima seorang masyarakat yang sederhana bernama Roka yang disampaikan kepada semua tetua masyarakat berkumpul saat itu di Amballong Seko-Tengah, namun ada satu yang belum hadir yakni Dimbaroke. Roka menyuruh utusan khusus untuk memanggilnya di Katehu, nama daerah di Seko, dengan mengirim daun sirih sebagai simbol penjemputan bagi orang yang dihargai. Dimbarokke hadir karena menghargai panggilan itu, ia ditegur dan dimarahi oleh Roka, dia dijemur di kerumunan tua-tua Seko (Para Tobara) dan masyarakat, lalu Roka berkata: Aku datang sebenarnya karena tangismu, ungkapan tersebut sebagai fakta bahwa doa Dimbarroke dijawab Tuhan. Roka mengambil sebuah kris bergelombang tujuh, dihunus dan dipancangkan di atas kepala Dimbarokke lalu diiringi ucapan: “Ni pabalai’amo ti konamu, unikonaiamo Bilande, mambilandei’ia mittu salunna Seko” (Sekarang nama mu diganti menjadi Bilande, supaya kau membilandei semua daerah sepanjang aliran sungai di Seko). Tippo dalam Zakaria J. Ngelouw, Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII 1951 (Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008), 230-233.

14

Altur Kelo, Suatu Studi Teologis-Sosiologis Terhadap Makna Falsafah Sallombengang dan Relevansinya Bagi Pertumbuhan Gereja di Seko (Tana Toraja: Skripsi STAKN Toraja 2010), 45-73.

(9)

9

Tulisan Tippo dan Kelo di atas berebeda dengan penelitian yang penulis lakukan di sini. Penulis mengkaji memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap kebudayaan Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial, guna menjawab beragam persoalan yang muncul di Seko Embonatana saat ini, demi terciptanya tatanan kehidupan yang rukun, damai dan harmonis.

1.3. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Demi menghindari meluasnya subjek dan ruang lingkungan dari penelitian ini, penulis perlu untuk membatasinya. Masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini dibatasi pada memori kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial, dengan demikian berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul sesuai judul dan dibatasi pada masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa makna Sallombengang dalam memori kolektif masyarakat Seko Embonatana?

2. Apa perspektif masyarakat Seko Embonatana terhadap Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan tesis ini ialah :

1. Menjelaskan makna Sallombengang dalam memori kolektif masyarakat Seko Embonatana.

(10)

10

2. Menjelaskan Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial bagi masyarakat Seko Embonatana.

1.5. Manfaat Penelitian

Penulisan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis dan praktis dalam upaya menghidupkan kembali nilai-nilai substansial yang eksis yang lahir dari rahim kebudayaan masyarakat Seko Embonatana, khususnya yang hendak dikomunikasikan melalui Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial yang kemudian nilai-nilai substansial tersebut bisa dijadikan sebagai perspektif bagai masyarakat Seko dalam konteks kekinian.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk interpertatif dengan metode penelitian kualitatif, yaitu pendekatan yang berusaha memahami makna dibalik kenyataan, yang dapat di amati atau di indra secara langsung. Konsep-konsep yang terdapat dalam kenyataan langsung dianggap sebagai makna.15 Penelitian ini akan menyajikan data dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.16 Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

15 Meryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 3.

16 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 29. Sementara Hadawi dan Mimi Martin mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalalm keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan atau diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik atau matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), 174.

(11)

11

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.17

Pendekatan yang dilakukan terhadap fenomena kemasyarakatan

menggunakan metode deskriptif kualitatif, peneliti berupaya untuk

menggambarkan, menganalisis, serta menginterpretasikan kesatuan-kesatuan dari variabel-variabel yang diteliti melalui pengamatan terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan pokok serta fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat, secara khusus yang berkaitan dengan pokok penelitian. Pendekatan ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan dari masyarakat yang diteliti secara sistematis, faktual dan akurat.18

1.6.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan cara yang penulis lakukan untuk merampung atau mengumpulkan data. Untuk mendapatkan data yang berupa teori, peneliti menggunakan metode library research atau studi kepustakaan yaitu usaha untuk memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan sumber bacaan, buku referensi atau hasil penelitian lain.19 Di samping itu, untuk mendukung data-data kepustakaan, penulis akan melakukan wawancara langsung dengan pola tidak terstruktur kepada beberapa orang tua di Seko Embonatana yang penulis anggap

17

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Rosdakarya, 2002), 3.

18 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Rosdakarya, 2003), 136-137.

19

M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 45.

(12)

12

masih mengetahui kebudayaan Sallombengamg sebagai instrumen integrasi sosial bagi masyarakat Seko.

1.6.3. Teknis Analisis Data

Untuk menganalisis data merupakan proses 1) pengakuratan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan masalah yang ingin diperoleh dalam penelitian; 2) mengorganisasikan dalam bentuk formasi, kategori ataupun unit varian tertentu sesuai dengan antisipasi penelitian; 3) interpertasi penelitian berkenaan dengan unsur-unsur satuan data yang sejalan dengan data yang hendaknya diperoleh; dan 4) penelitian atas unsur-unsur disatukan sehingga data tersebut menghasilkan kesimpulan, yakni kesimpulan yang baik atau buruk, tepat ataupun tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan.20

Dalam menganalisa dan memberikan interpretasi data yang diperoleh, disini penulis menggunakan metode analisis deskriptif yakni suatu metode penelitian yang dimaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau

kejadian-kejadian.21 Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep

sebagaimana adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep kemudian data tersebut akan diinterpretasi dengan cara menarik benang merah dari data-data tersebut, kemudian menyusunnya dalam sebuah ringkasan interpretasi.

20 Meriyani, Metode Penelitian, 75.

(13)

13 1.7. Lokasi Penelitian

Penulis melakukan penelitian di daerah Seko Embonatana yang letaknya secara geografis berada di Seko bagian Tengah dari Seko Padang dan Seko Lemo yang tepatnya berada di penghulu sungai Karama, di aliran anak sungai Betue dan Uro. Seko Embonatana terdiri dari tiga desa yakni desa Hoyane, desa Tanamakaleang dan desa Embonatana yang berdiri di bawah dua katobaraang (lembaga adat) yaitu Tobara Hoyane dan Tobara Embonatana, kini menjadi salah satu bagian dari kecamatan Seko di Kabupaten Luwu-Utara, Provinsi Selawesi-Selatan dengan jarak dari ibu kota kabupaten 100-150 KM yang ditempuh satu hari perjalanan dengan menggunakan sepeda motor atau mobil dan jalan kaki dengan membutuhkan waktu tiga sampai empat hari perjalanan. Lokasi tersebut sengaja penulis pilih karena selain alasan primordial dimana penulis adalah orang Seko yang sadar dengan masalah umum yang dialami oleh masyarakat Seko terkait gejolak kultural.

1.8. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, hasil penelitian akan disusun dalam lima bab pembahasan. Kelima bab pembahasan itu dimuat dalam sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I membahas Pendahuluan, bagian ini diawali dengan pemaparan latarbelakang permasalahan, signifikansi penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, lokasi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas Kerangka Teori tentang memori kolektif dan integrasi sosial sebagaimana yang disarankan oleh judul tesis. Bab III Memaparkan hasil penelitian yang penulis dapatkan melalui

(14)

14

wawancara dengan para responden di lapangan, terkait dengan Sallombengang sebagai instrumen integrasi sosial masyarakat Seko Embonatana. Pemaparan hasil penelitian tersebut penulis sajikan secara deskripsi. Bab IV Pada bagian ini penulis menganalisi data lapangan yang dikaitkan dengan teori pada Bab II. Acuan dalam analisis ini adalah apa yang telah dikemukakan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian. Bab V akan membahas penutup, bagian akhir tulisan ini merupakan kesimpulan pembahasan dari keseluruhan bab sebelumnya dan rekomendasi.

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat masalah kemiskinan dan banyaknya orang-orang yang terabaikan masih kurang mendapat perhatian gereja, maka dalam tulisan ini, objek pembahasan masalah akan dibatasi

Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada teknik mencatat Mind Mapping dan gaya belajar serta pengaruhnya terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada pengaruh Harga dan labelisasi halal terhadap keputusan

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada pengembangan perangkat pembelajaran IPA Terpadu Model Susan Loucks-Horsle pada Tema “Destilasi” yang bertujuan untuk

Sehubungan dengan identifikasi masalah di atas maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini akan dibatasi pada upaya meningkatkan kemampuan komunikasi lisan anak

Manfaat secara akademis pada penelitian sebagai masukan penelitian sejenis sedangkan manfaat praktis melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat, pengetahuan

Munculnya dampak yang ditimbulkan dalam kehidupan sosial masyarakat pasca dikeluarkannya kebijakan – kebijakan pemerintah Hindia Belanda terkait penanganan dan

Skripsi tersebut ditulis oleh Winingsari Trimurtini dari mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2015 yang