• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian Berjudul Konflik Batin dalam Novel Bumi Cinta Karya

habiburrahman El Shirazy El Shirazy: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA yang disusun oleh Leni

Wahyuni Tahun 2013

Penelitian yang berkaitan dengan konflik batin sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Leni Wahyuni, mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian yang dilakukannya juga memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Leni Wahyuni dalam skripsinya mendeskripsikan tokoh utama yang bernama Ayyas. Dia menceritakan tentang perjuangan seorang santri salaf bernama Muhammad Ayyas yang berjuang mati-matian menghadapi musuh-musuh iman. Ayyas berjuang sampai titik darah penghabisan. Musuh iman yang dihadapi tokoh Muhammad Ayyas adalah Menuhankan kebebasan, free sex, pornografi, dan pornoakasi di negara Rusia.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah pada objek penelitian. Objek penelitian antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh penyusun ini adalah tentang konflik batin. Pada sumber data juga terdapat persamaan, yaitu mengambil data dari novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Sedangkan perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada fokus penelitian. Pada penelitian kali ini, fokus penelitiannya adalah konflik batin tokoh wanita yang

(2)

bernama Yelena dan Linor. Kemudian, terdapat perbedaan pada rumusan masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Leni Wahyuni mengambil dua rumusan masalah yang berkaitan dengan struktur yang membangun novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan juga konflik batin yang dialami tokoh utama, yaitu Muhammad Ayyas. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh penyusun, rumusan masalah yang digunakan adalah bagaimana konflik batin yang dialami tokoh wanita, dan apakah faktor penyebab terjadinya konflik batin pada tokoh wanita. Oleh karena rumusan masalah yang berbeda, maka teori yang digunakan juga berbeda. Pada skripsi Leni Wahyuni menggunakan teori tentang struktur yang membangun novel, dan terdapat perbedaan dalam penggunaan teori jenis-jenis konflik.

2. Penelitian Berjudul Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Bumi Cinta

Karya Habiburrahman El Shirazy: Kajian Psikologi Sastra yang disusun oleh

Irhamna Tahun 2015

Penelitian selanjutnya yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian dengan judul Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Kajian Psikologi Sastra yang ditulis oleh Irhamna, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara tahun 2015. Irhamna meneliti tokoh utama yang bernama Ayyas. Ayyas diceritakan mengalami beberapa konflik batin, diantaranya yaitu Ayyas berjuang menghadapi godaan gadis Rusia yang benar-benar menguji keimanan sosok Ayyas. Setiap kali gadis Rusia menggoda. Ayyas berjuang mengontrol batinnya agar tidak terjerat oleh mereka.

Penelitiannya berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti. pada penelitian kali ini, fokus penelitiannya adalah konflik batin tokoh wanita, bukan

(3)

konflik batin tokoh utama. Selain itu, terdapat perbedaan pada landasan teori yang digunakan. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Irhamna, dia menggunakan teori tentang psikoanalisa melalui analisis naluri Id, ego, dan superego yang dikemukakan oleh Freud. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti menggunakan teori jenis konflik yang dikemukakan oleh Sundari dan Wiramihardja.

B. Landasan Teori

Sebuah novel dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur akan saling berhubungan dan saling menentukan, kesemuanya itu akan menyebabkan novel tersebut menjadi karya yang bermakna dalam hidup. Nurgiyantoro (2007: 176-178) mengungkapkan sebuah karya sastra dapat memuat berbagai tokoh dan penokohan. Tokoh dan penokohan tersebut dapat dilihat dari peristiwa atau kejadian yang dialami oleh tokoh yang dimuat di dalam karya sastra tersebut. Sebuah karya sastra umumnya memuat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama diceritakan memiliki banyak peran terhadap berhasilnya sebuah cerita. Sedangkan tokoh tambahan hanya berperan sedikit dalam sebuah cerita. Tokoh tambahan ini juga hanya sebagai pendukung cerita. Tokoh dan penokohan akan membawa cerita menjadi lebih hidup. Kekuatan tokoh dan penokohan menjadi unsur yang penting dalam sebuah cerita. Dari tokoh dan penokohan, cerita dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Melalui tokoh dan penokohan dapat diurai pula mengenai konflik batin dari tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang mengalami sebuah konflik akan menjadi Tokoh-tokoh penentu berhasilnya sebuah cerita. Hadirnya konflik batin tersebut menjadikan novel tersebut menarik, karena tanpa adanya konflik, novel tidak akan menemukan pembacanya.

(4)

Setiap konflik muncul dari dalam dirinya. Sebuah konflik muncul sebagai akibat seseorang tidak bisa mengontrol kondisi batinnya. Kondisi batin yang buruk akan memicu masalah baru datang di saat yang tidak tepat. Akhirnya, seseorang menjadi tidak bisa berpikir jernih dalam menyelesaikan sebuah konflik yang sedang dihadapinya. Setiap konflik pasti ada penyebabnya, pasti ada yang melatarbelakanginya. Kemudian, tugas seseorang adalah mencari tahu penyebab terjadinya konflik tersebut, bukan terus menerus larut dalam konflik dan menyalahkan apa yang sudah terjadi. Masalah apapun pasti akan ada jalan keluarnya, hanya saja, cara menyelesaikannya tersebut yang harus tepat. Ada banyak cara menyelesaikan konflik, tetapi jangan sampai salah memilih cara menyelesaikan konflik, karena bisa jadi hanya akan memperkeruh dan menambah sebuah konflik, apalagi kaitannya dengan konflik batin.

1. Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam (Nurgiyantoro, 2007: 165), adalah orang-orang yang berperan dalam suatu karya naratif atau drama dengan berbagai ekspresi, baik dari cara berbicara maupun dari tindakan, sehingga pembaca bisa menafsirkan tokoh tersebut. Selanjutnya menurut Sayuti (2000: 73) tokoh yaitu sesuatu paling utama dalam sebuah cerita, karena hadirnya tokoh akan menghadirkan cerita pula. Sementara itu, menurut Thobroni (2008: 66) mendefinisikan tokoh dalam cerita sebagai orang atau pelaku cerita yang menimbulkan rasa penasaran di hati pembaca. Apa yang ditampilkan harus menimbulkan kesan yang meyakinkan dari cerita tersebut. Jika sudah demikian, maka akan muncul emosi dari pembaca, dan

(5)

pembaca akan merasakan dirinya sedang dalam keadaan yang ditampilkan dalam cerita, seolah pembaca adalah pemain ceritanya.

Menurut Sayuti (2000: 74-78) tokoh fiksi dibedakan menjadi tiga, yaitu tokoh sentral atau tokoh utama, tokoh pariferal atau tokoh tambahan, dan tokoh yang kompleks atau bulat. Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil peran paling banyak dalam cerita, biasanya tokoh utama paling banyak memiliki keterkaitan dengan tokoh yang lain. Tokoh tambahan adalah tokoh yang memiliki peran lebih sedikit dari tokoh utama, kehadirannya pun bisa dibilang jarang, dan kurang mempengaruhi jalannya sebuah cerita. Tokoh kompleks atau tokoh bulat adalah tokoh yang bisa dilihat dari semua sisi kehidupannya. Tokoh bulat ini mampu memberikan kejutan kepada pembaca.

Penokohan lebih luas artinya dari pada “tokoh” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jika kita kembali ke pembagian dikhotomis tokoh, watak dan segala emosi yang dikandungnya itu aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Jadi dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek: isi dan bentuk. Menurut Jones dalam (Nurgiyantoro, 2007: 166) yang terpenting adalah bukan tentang apa dan siapa tokoh cerita, melainkan pembaca mampu mengidentifikasi kedirian tokoh cerita dan mampu memnyimpulkan watak tokoh cerita menurut logika mereka. Sedangkan menurut Thobroni (2008: 66-67) penokohan merujuk kepada penggambaran watak tokoh cerita, dan mengandung unsur kewajaran.

(6)

Sayuti (2000: 90-109) berpendapat bahwa pengambaran tokoh dapat melalui berbagai metode yaitu: metode diskursif atau analitik dan metode dramatik. Metode analitik adalah pengarang secara langsung mendeskripsikan kedirian tokoh. Sedangkan metode dramatik adalah metode di mana tokoh-tokohnya yang memberikan uraian tentang wataknya kepada pembaca melalui beberapa cara. Di antaranya dari cara tokoh berbicara, bertingkah laku, maupun dari aktivitas dia dalam sebuah cerita. Di sisi lain, Nurgiyantoro (2007: 195-210) menguraikan bahwa penokohan seorang tokoh dapat dilukiskan melalui beberapa teknik yaitu: a) teknik analitik atau ekspositori, b) teknik dramatik.

a. Teknik Analitik atau Ekspositori

Teknik ekspositori sering disebut juga dengan teknik analitis. Jadi pengarang mendeskripsikan watak tokoh cerita secara langsung. Pengarang tidak mengungkap watak tokoh secara berbelit-belit. Namun, pengarang menguraikan tokoh cerita secara mudah, mungkin saja pembaca akan langsung mengetahui kedirian tokoh. Kedirian tokoh itu dapat dilihat dari sikap, sifat, tingkah laku, atau bahkan dari ciri fisik tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 195).

Teknik analitik atau ekspositosi memberikan kemudahan untuk mengetahui pelukisan tokoh dalam karya sastra. Pengarang secara langsung mengungkapkan kedirian tokoh dalam karya sastra. Biasanya, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu penggunaan kata „dia‟, „ia‟, atau nama tokohnya. Pelukisan tokoh dalam karya sastra bisa dilihat dari tingkah laku, sifat, sikap, maupun watak. Teknik pelukisan ekspositoris bersifat sederhana dan cenderung ekonomis. Deskripsi kedirian

(7)

tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif. Artinya, ia tidak akan berwujud penuturan yang bersifat dialog, walau bukan merupakan suatu pantangan atau pelanggaran jika dalam dialog pun tercermin watak para tokoh yang terlibat.

b. Teknik Dramatik

Teknik dramatik adalah penggambaran watak secara tidak langsung. Artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara langsung watak dari tokoh cerita. Tetapi pengarang melalui tokoh cerita mendeskripsikan dan menguraikan wataknya. Jadi, tokoh ceritalah yang memberikan penjelasan watak kepada pembaca. Caranya bisa melalui cara dia berbicara, bersikap, mereaksi suatu keadaan, dan lain sebagainya (Nurgiyantoro, 2007: 198).

Setiap pengarang memiliki gaya penulisan berbeda-beda. Ada yang gemar menciptakan karakter tokoh yang mudah ditebak oleh pembaca. Ada pula pengarang yang gemar menciptakan karakter tokoh yang berbelit-belit, atau disebut pula dengan teknik dramatik. Tujuannya adalah agar pembaca menyimpulkan watak atau karakter tokoh tersebut melalui apa yang ditampilkan lewat aktivitas yang dilakukan oleh tokoh dalam karya sastra. Pengarang yang gemar menciptakan watak tokoh secara berbelit-belit biasanya termasuk pengarang karya sastra literer, karena pembaca yang harus menyimpulkan sendiri watak tokoh yang diciptakan tersebut.

Pelukisan kedirian seorang tokoh memerlukan banyak kata, diberbagai kesempatan dengan berbagai bentuk yang relatif panjang. Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Teknik dramatik tersebut, yaitu: 1)

(8)

teknik cakapan, 2) teknik tingkah laku, 3) teknik pikiran dan perasaan, 4) teknik arus kesadaran, 5) teknik reaksi tokoh, 6) teknik reaksi tokoh lain, 7) teknik pelukisan latar, dan 8) teknik pelukisan fisik (Nurgiyantoro, 2007: 201-210). Dari sejumlah teknik itu, pembaca akan bisa menebak bagaimana watak dari si tokoh cerita. Pengarang memberikan kesempatan kepada pembaca untuk memahami sendiri bagaimana watak si tokoh cerita.

1) Teknik Cakapan

Teknik cakapan dimaksudkan sebagai penggambaran tokoh cerita dapat dilihat dari cara tokoh bertutur kata ataupun berdialog dengan tokoh lain (Nurgiyantoro, 2007: 201). Teknik cakapan ini dapat dengan mudah menampilkan kedirian dari tokoh. Melalui teknik cakapan ini, pembaca dapat mengetahui seperti apa tokoh yang digambarkan pengarang dalam cerita. Pengarang mencoba untuk memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mengungkapkan sendiri bagaimana tokoh dalam cerita. Pembaca dirangsang untuk tidak hanya sekedar membaca, tetapi memahami cerita yang dibuat oleh pengarang.

Teknik cakapan ini sebagai salah satu teknik untuk mengetahui pelukisan tokoh secara dramatik. Teknik ini akan membantu menyingkap kedirian tokoh yang pengarang ciptakan dalam sebuah karya sastra. pengarang mencoba mendeskripsikan kedirian tokoh melalui cara si tokoh berbicara atau berdialog dengan tokoh lainnya. Dari percakapan tersebut, kedirian tokoh bisa diketahui dengan jelas. Teknik ini memberikan kebebasan kepada para pembaca untuk mendeskripsikan sendiri mengenai kedirian tokoh dalam sebuah karya sastra (novel). Untuk mengenal secara lebih lengkap, pembaca harus menafsirkannya dari keseluruhan wacana cerita, khususnya lewat teknik-teknik pelukisan karakteristik kedirian tokoh yang lain.

(9)

2) Teknik Tingkah Laku

Teknik tingkah laku ini menyaran kepada tindakan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita. Dari tindakan yang dimunculkan oleh tokoh cerita tersebut akan memberikan penjelasan tentang kedirian tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 203). Tingkah laku yang digambarkan oleh tokoh cerita akan memudahkan pembaca mengetahui kedirian tokoh. Teknik tingkah laku ini akan lebih cepat merangsang pembaca dalam mengetahui kedirian tokoh cerita. Kedirian tokoh itu akan menambah semangat pembaca dalam memahami cerita.

Selain teknik cakapan, ada pula teknik lain lain yang akan membantu pembaca mengetahui watak atau karakter tokoh dalam karya sastra. Teknik kedua ini disebut teknik tingkah laku. Tingkah laku atau aktivitas tokoh dalam karya sastra akan memberikan kejelasan kepada pembaca dalam menyimpulkan watak atau karakter tokoh dalam sebuah karya sastra. Penggambaran karakter melalui tingkah laku lebih memudahkan pembaca dalam mengetahui watak tokoh. Gerak-gerik tokoh dapat cepat diketahui oleh pembaca.

3) Teknik Pikiran dan Perasaan

Teknik pikiran dan perasaan berkaitan dengan jalan pikiran serta perasaan tokoh. Teknik ini juga berkaitan dengan apa yang sedang dirasakan oleh tokoh dalam cerita. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengetahui kedirian atau watak tokoh. Cara tokoh bertutur kata dan cara tokoh bertingkah lau merupakan perwujudan konkret pikiran dan perasaan. Artinya, penuturan dan tingkah laku dapat menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh. (Nurgiyantoro, 2007: 204).

(10)

Teknik ketiga ini disebut teknik pikiran dan perasaan. Teknik ini sebagai wujud konkret dari teknik cakapan dan teknik tingkah laku. Perasaan yang disampaikan tokoh dalam sebuah karya sastra adalah hasil dari percakapan maupun perbuatan tokoh. Namun demikian, terkadang pengarang menampilkan perasaan yang digambarkan pada tokoh tertentu dengan berbagai jenis rasa dalam satu kalimat. Dengan kondisi yang demikian, tentu pembaca akan sulit menyimpulkan kedirian dari tokoh dalam karya sastra. Namun, bagaimanapun pengarang melukiskan tokoh dalam sebuah karya sastra, tujuannya adalah memberikan cara baru kepada pembaca dalam menafsirkan kedirian tokoh di dalam novel.

4) Teknik Arus Kesadaran

Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan dengan kebatinan. Apa yang sedang ada di batin atau apa yang sedang dirasakan oleh batin, itu dinamakan arus kesadaran. Teknik ini hampir sama dengan teknik pikiran dan perasaan, karena berkaitan dengan apa yang dirasakan dalam jiwa (Nurgiyantoro, 2007: 206). Apa yang dirasakan oleh tokoh cerita seringkali memberikan kesan tersendiri di hati pembaca. Dari hal itu, pembaca akan lebih tertantang untuk mengetahui bagaimana kedirian tokoh cerita.

Teknik arus kesadaran juga menjadi salah satu teknik pelukisan tokoh yang mudah dalam mengungkap kedirian tokoh pada sebuah karya sastra. Teknik arus kesadaran ini hampir sama dengan teknik pikiran dan perasaan, yaitu berkaitan dengan batin tokoh. Keduanya saling berkaitan karena berbicara tentang apa yang dirasakan atau dialami baik secara sadar maupun di alam bawah sadar. Arus kesadaran ini akan mengungkap kedirian tokoh dalam sebuah karya sastra secara cepat, karena pembaca

(11)

bisa memahami apa yang sedang dialami tokoh melalui kondisi batin yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Biasanya, pembaca akan lebih mudah menyimpulkan kedirian tokoh melalui kondisi batin tokoh yang diceritakan dalam sebuah karya sastra.

5) Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu hal, bisa berkaitan dengan masalah, keadaan, dan juga tingkah laku orang lain. Reaksi yang dihadirkan oleh tokoh cerita akan memberikan gambaran tentang watak dari si tokoh tersebut. Sifat-sifat kediriannya akan melukiskan watak dan sikap tokoh. Watak dan sikap tokoh itulah yang akan merespon hal-hal yang ada di sekitar tokoh tersebut. Hal-hal tersebut berupa tokoh lain, lingkungan, keadaan alam, dan lain sebagainya (Nurgiyantoro, 2007: 207).

Dari setiap perkataan, tindakan, dan perasaan, akan menimbulkan reaksi tersendiri dari tokoh. Ketika ada seseorang yang mengganggunya maupun menyukainya tentu ada reaksi yang berbeda dari tokoh yang tersebut. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi marah, maupun tersipu malu karena disanjung atau disukai oleh orang lain. Reaksi positif maupun negatif tersebut akan memunculkan dugaan sementara pada pikiran pembaca. Kemudian ketika reaksi tokoh menjadi sebuah kebiasaan dalam sebuah karya sastra, pembaca dapat langsung menyimpulkan kedirian tokoh dalam sebuah karya sastra (novel) tersebut.

6) Teknik Reaksi Tokoh Lain

Teknik reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai adanya reaksi tokoh lain terhadap tokoh yang sedang ingin diketahui kediriannya. Reaksi itu dapat berupa pendapat,

(12)

sikap ataupun komentar. Dari penilaian tersebut, pembaca dapat mengidentifikasi kedirian tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 209). Kedirian tokoh bukan semata ditunjukkan oleh dirinya sendiri, tetapi kedirian tokoh itu bisa muncul dari reaksi tokoh lain. Dari reaksi itu, kedirian tokoh menjadi lebih jelas terungkap, karena telah melalui beberapa reaksi dari tokoh lain.

Dalam karya sastra diciptakan tokoh utama dan tokoh ketiga. Tokoh utama sebagai tokoh sentral, biasanya digambarkan sebagai sosok yang banyak disukai oleh tokoh yang lain, tetapi tak jarang pula menjadikan tokoh lain iri terhadapnya. Berbeda dengan tokoh utama, tokoh ketiga ini biasanya diceritakan sebagai sosok yang iri terhadap tokoh utama, atau bisa juga diceritakan sebagai sosok yang juga peduli terhadap tokoh utama. Kedua jenis tokoh tersebut, akan ada penilaian masing-masing dari tokoh yang lain. Kemudian dari penilaian tersebut, akan memancing tokoh utama maupun ketiga untuk melakukan tindakan. Reaksi dari tokoh lain kepada tokoh utama maupun tokoh ketiga tersebut bersumber dari sikap, pandangan, maupun tindakan yang dilakukan oleh kedua jenis tokoh.

7) Teknik Pelukisan Latar

Pelukisan latar dapat digunakan pula dalam mengetahui kedirian tokoh, karena dari latar yang ditampilkan tersebut, akan ada kesan tertentu di mata pembaca. Latar memberi warna tersendiri dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007: 209). Pembaca akan langsung tertarik ketika mengetahui latar yang diungkap dengan detail oleh pengarang. Pelukisan latar ini dapat memikat hati pembaca. Para pembaca akan merasa menikmati bacaannya jika cerita disuguhi dengan latar yang bagus.

Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang

(13)

berada di luar kedirian tokoh. Suasana latar sering juga kurang ada hubungannya dengan penokohan, paling tidak hubungan langsung. Pelukisan suasana latar khususnya dimaksudkan sebagai penyituasian pembaca terhadap suasana cerita yang akan disajikan. Meskipun latar berada di luar kedirian tokoh, tetapi dengan adanya latar, cerita yang diangkat menjadi lebih menarik. Pelukisan latar ini menjadi salah satu bagian yang menyempurnakan cerita.

8) Teknik Pelukisan Fisik

Pandangan budaya tentang bibir tipis menandakan seseorang cerewet telah membuat generasi baru sependapat dan menyepakati pandangan budaya yang seperti itu. Hal ini juga pengarang ciptakan dalam karyanya dengan tujuan memberikan kemudahan kepada pembaca dalam mengetahui kedirian tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 210). Pandangan masyarakat itu terbentuk dengan sendirinya. Zaman seolah mengikuti pandangan masyarakat terdahulu tentang sesuatu. Pandangan itu salah satunya berupa ciri-ciri fisik seseorang.

Teknik pelukisan terakhir ini disebut teknik pelukisan fisik. Teknik ini sering dikaitkan dengan bagaimana masyarakat melihat kondisi fisik tokoh. Teknik pelukisan fisik ini bisa disebut juga dengan penciptaan cap pada seorang tokoh dengan melihat fisiknya. Tokoh yang memiliki fisik berbeda dari yang lain, atau khas, akan lebih dikenal oleh orang lain. Hal tersebut juga ada dalam sebuah karya sastra. Ada pengarang yang menciptakan tokoh dengan pelukisan fisik tokoh yang berbeda dari segi fisik. Kenyataan yang ada di masyarakat diangkat menjadi sebuah karya sastra dengan tambahan imajinasi pengarang akan menguatkan pendapat seseorang bahwa orang yang memiliki fisik demikian berarti termasuk orang yang demikian pula.

(14)

Dari pendapat mengenai tokoh dan penokohan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah seorang pelaku dalam suatu cerita yang berperan serta dalam sebuah alur cerita. Tokoh dalam sebuah karya sastra merupakan faktor kunci dalam jalannya cerita. Sedangkan penokohan bisa diartikan sebagai karakter tokoh dalam sebuah novel. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Baik tokoh maupun penokohan, keduanya saling berhubungan erat.

2. Latar

Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan dengan sebuah drama, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun tentu saja, hal itu kurang lengkap, sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Latar memberikan pengaruh yang cukup banyak dalam sebuah cerita. Tanpa adanya latar, maka cerita akan terasa kurang hidup. Latar memberikan warna tersendiri dalam sebuah cerita.

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007: 216) latar atau setting menyaran kepada pengertian tempat terjadinya peristiwa di dalam cerita. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2007: 243) latar atau setting merupakan unsur sangat penting dalam novel, karena dengan adanya latar atau setting. Cerita yang ditampilkan akan memiliki nilai estetik tersendiri di hati pembaca. Sugihastuti dan Suharto (2013: 168) mengemukakan bahwa latar berfungsi membuat cerita menjadi lebih hidup. Latar akan memunculkan nilai sendiri dari cerita tersebut, sehingga pengarang harus berhasil menuangkan idenya tentang latar.

(15)

Latar dibagi menjadi 3, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar waktu dapat memberikan penjelasan mengenai masa atau zaman terjadinya cerita. Latar tempat dapat menunjukkan lokasi terjadinya cerita. Adapun latar sosial dapat mendeskripsikan kondisi masyarakat di dalam karya sastra. Berikut ini penjelasan lebih dalam mengenai latar waktu, latar tempat, dan latar sosial.

a. Latar Waktu

Latar waktu berarti berkaitan dengan kapan peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar waktu juga harus memberikan deskripsi suasana atau keadaan di dalam cerita (Sugihastuti dan Suharto, 2013: 178). Sedangkan Nurgiyantoro (2007: 230-233) mendefinisikan pengertian latar waktu dengan lebih menitikberatkan kepada “kapan” peristiwa dalam cerita itu berlangsung. Latar waktu ini menjadi unsur yang penting dalam sebuah cerita. Tanpa deskripsi latar waktu, maka cerita yang ditampilkan tidak akan hidup dan tidak akan berkesan.

b. Latar Tempat

Sugihastuti dan Suharto (2013: 187) berpendapat bahwa latar tempat berfungsi untuk membuat cerita menjadi lebih hidup. Latar tempat tersebut akan menambah estetika sebuah cerita. Jadi, latar tempat harus memiliki daya dukung yang kuat dalam cerita tertentu, sehingga alur cerita menjadi lebih indah. Sedangkan Nurgiyantoro (2007: 227-230) mengemukakan bahwa latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa di dalam cerita. Latar tempat harus diciptakan dengan bervariasi, atau paling tidak tempat itu merupakan tempat bersejarah atau tempat yang sedang didambakan oleh orang-orang. Dengan digunakannya tempat-tempat yang memiliki ciri khas, maka akan mempengaruhi cerita dan respon pembaca.

(16)

c. Latar Sosial

Latar sosial berarti berkaitan dengan lingkungan, adat istiadat, dan ciri khas dari sebuah desa. Latar sosial ini tidak tentu kehadirannya dalam sebuah cerita sastra, tetapi hadirnya latar sosial dapat memberikan penguatan sebuah tempat yang dipakai oleh pengarang (Sugihastuti dan Suharto, 2013: 192). Kemudian, menurut Nurgiyantoro (2007: 233-234) latar sosial menyaran kepada perilaku kehidupan sosial di masyarakat dalam suatu tempat. Biasanya berkaitan dengan kebiasaan hidup dan juga status sosial tokoh yang bersangkutan. Latar sosial juga berkaitan dengan hubungan dalam keluarga.

Selain itu, Stanton dalam Nurgiyantoro (2007: 216) mengemukakan bahwa latar, tokoh, dan plot merupakan satu kesatuan yang penting dalam sebuah cerita. Ketiganya akan membuat cerita menjadi lebih lebih hidup dan bisa dikatakan sempurna. Latar akan menambah kesan menarik untuk dibaca. Dari latar itu, cerita yang diungkap akan menjadi lebih bermakna. Dengan latar yang menarik, maka para pembaca akan menikmati cerita yang dibuat oleh pengarang.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar menjadi bagian penting dalam sebuah karya sastra. Dengan adanya latar, cerita di dalam karya sastra tersebut menjadi lebih hidup. Latar memberikan imajinasi pada pembaca dengan ide pengarang menceritakan sebuah latar. Pembaca bisa saja hanyut dan seolah berada dalam suasana latar yang pengarang ciptakan dengan sangat detail. Baik latar tempat, latar waktu, maupun latar sosial, ketiganya merupakan satu kesatuan. Dalam sebuah karya sastra harus memuat ketiganya.

3. Konflik Batin

a. Pengertian Konflik Batin

Alwisol (2009: 135) berpendapat bahwa konflik adalah pertentangan antar kekuatan yang tidak dapat dihindari. Konflik menjadi hal yang paling sering dialami

(17)

oleh manusia. Sementara Sundari (2005: 47) mengatakan bahwa konflik merupakan suatu keadaan di mana individu tidak bisa lari dari keadaan itu. Individu hanya perlu memilih salah satu. Konflik adalah adanya dua atau lebih pertentangan yang tumbuh di hati dari keinginan-keinginan yang ingin dicapai. Semiun (2006: 400-402) juga mengemukakan tentang konflik, menurut Semiun, konflik adalah tegangan yang disebabkan oleh adanya pertentangan antara dua hal atau lebih yang sama-sama ingin dipenuhi. Konflik muncul semata bukan karena ketidakcocokan keinginan dengan suara hati, melainkan timbul karena pengalaman yang buruk di masa lampau dengan kejadian di masa sekarang. Dari pengalaman tersebut, ada berbagai macam reaksi baik positif maupun negatif. Sedangkan pengertian batin adalah sesuatu yang di dalam, yang sulit, yang tersembunyi (Imam, 2005: 84). Jika disimpulkan, konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri.

b. Jenis-jenis Konflik Batin

Jenis konflik batin ini mengadopsi jenis konflik pada umumnya, yaitu: 1) approach aviodance conflict, 2) double approach conflict, 3) double aviodance conflict (Sundari, 2005: 48; Wiramihardja, 2007: 46-47). Ketiga jenis konflik ini menjadi landasan teori yang dipakai dalam pembahasan. Peneliti berusaha mengungkap jenis konflik batin yang dialami oleh dua tokoh wanita, yaitu Yelena dan Linor. Jenis konflik ini akan disesuaikan dengan konflik batin yang dirasakan oleh dua wanita dalam novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Berikut ini akan dipaparkan tentang teori jenis konflik batin.

1) Approach-Aviodance Conflict

Konflik ini merupakan konflik yang berisi tentang kecenderungan individu dalam mendekati atau menjauhi sesuatu yang ingin dicapai, di mana di dalamnya

(18)

terdapat nilai positif dan nilai negatif. Konflik ini berhubungan dengan seseorang hanya perlu menerima, karena nilai positif dan negatif tidak bisa dihilangkan salah satunya (Sundari, 2005: 48; Wiramihardja, 2007: 46). Sementara itu, Semiun (2006: 404) menyebut approach aviodance conflict dengan istilah konflik mendekat menjauh. Konflik ini merujuk pada hubungan seseorang dengan orang lain yang tidak sepenuhnya atas dasar suka. Dalam hubungan seseorang dengan orang lain itu terdapat hal lain yang bisa jadi adalah sesuatu yang menyebalkan. Seseorang mungkin menyukai lawan bicaranya, tetapi sekaligus ada perasaan tidak suka, penyebabnya bisa jadi karena sifat-sifat kepribadiannya yang mungkin menjijikan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa sangat menyukai mata kuliah tertentu sejak masih duduk di bangku SMA, tetapi di perguruan tinggi dia mendapati dosen yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Akhirnya, dia terjebak dalam kondisi di mana dia menyukai mata kuliah tertentu sejak di bangku SMA, sekaligus dia tidak menyukai dosen yang menyebalkan.

2) Double Approach Conflict

Double approach conflict adalah adanya pertentangan yang melibatkan dua hal atau lebih yang sama-sama diinginkan. Solusi dari konflik ini adalah yang terpenting individu bersedia memilih salah satu dari dua hal atau lebih yang menyenangkan, atau membuang salah satu atau lebih hal yang sebenarnya sama-sama menyenangkan. Jenis konflik ini lebih menyulitkan individu. Pada orang-orang tertentu, terkadang mereka memilih untuk mempertahankan keduanya (Sundari, 2005: 48; Wiramihardja, 2007: 47). Sementara itu, Semiun (2006: 403) menggunakan istilah lain yaitu konflik mendekat-mendekat. Pengertiannya hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh

(19)

Wiramihardja dan Sundari. Misalnya, tugas seorang dokter adalah mengobati dan mengecek kesehatan pasiennya, namun aktivitas itu tidak dapat dilakukan secara bersamaan, karena pasiennya berbeda-beda. Untuk beberapa dokter, dua hal itu membuat mereka sulit untuk memilih, karena kedua hal tersebut adalah kewajibannya.

3) Double Aviodance Conflict

Konflik ini merupakan sebuah konflik pertentangan antara dua hal yang sama-sama tidak disukai. Dalam kondisi ini, individu harus tetap memilih, karena jika tidak, berarti dia menyerah, dan bisa jadi ada resiko yang harus diterima atas pilihannya tersebut (Sundari, 2005: 48; Wiramihardja, 2007: 47). Sementara itu, Semiun menggunakan istilah lain yang maknanya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Wiramihardja dan Sundari tentang double aviodance conflict. Semiun (2006: 403) menggunakan istilah Double aviodance conflict dengan istilah konflik menjauh-menjauh. Konflik menjauh-menjauh dimaksudkan bahwa individu terjebak dalam dua pilihan atau lebih yang negatif. Individu tidak bisa melarikan diri jika mengalami konflik ini. Individu harus tetap memilih, meskipun keduanya adalah hal yang sama-sama tidak disukai. Dalam penyelesaian konflik ini, individu bersedia memilih yang lebih sedikit nilai negatifnya. Jika ada dua pilihan, maka individu harus memilih yang resikonya lebih sedikit. Sebagai contoh dari konflik ini, ada anak yang ingin putus sekolah karena minder, tetapi dia takut akan ada banyak orang yang tidak menghargainya.

Konflik yang dialami tokoh dari awal akan membentuk pusaran yang mengerucut. Konflik tokoh yang meruncing akhirnya akan meledak pada titik yang disebut klimaks. Konflik dapat terjadi antara manusia dengan manusia, konflik

(20)

manusia dengan alam sekitarnya, konflik mausia dengan masyarakat, sesuai ide dengan ide lain dan seseorang dengan kata hatinya. Setiap konflik akan menimbulkan reaksi yang bermacam-macam, itu disebabkan latar belakang setiap individu juga bermacam-macam. Konflik di sini memiliki beberapa tingkatan, yaitu berkaitan dengan konflik yang mudah diadakan penyelesaian, konflik yang menimbulkan seseorang mengalami kebimbangan yang berlarut-larut, dan ada juga konflik yang membuat individu tidak bisa memilih, dari kebimbangan itu, ada beberapa orang yang lebih memilih untuk menyerah. Dari berbagai tingkatan tersebut akan memberikan gambaran bahwa ada beragam manusia dengan segala permasalahannya memilih cara sendiri untuk menyelesaikan sebuah konflik dalam kehidupannya. Tetapi yang terpenting adalah, pertimbangan dalam memilih cara penyelesaian harus didasari pikiran dan perasaan yang tenang.

c. Faktor Penyebab Konflik Batin

1) Persepsi Diri (Self Perseption) dan Cognetive Map

Persepsi diri berkaitan dengan konflik yang terjadi di masa lampau akan mempengaruhi seseorang di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan latar belakang yang berbeda menimbulkan permasalahan yang berbeda pula. Sedangkan Cognetive map adalah hubungan manusia dengan lingkungannya. Adanya lingkungan sosial yang baik akan membentuk perilaku yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, jika lingkungan sosialnya buruk, maka tidak menutup kemungkinan bahwa perilakunya sesuai dengan lingkungannya (Semiun, 2006: 350; Wiramihardja, 2007: 17).

2) Early Deprivation

Deprivation adalah suatu istilah yang menggambarkan adanya reaksi menerima atau pasrah dari individu terhadap situasi atau keadaan yang menuntut. Konflik ini

(21)

memberikan rasa tidak nyaman di hati individu. Senang atau tidak senang, keadaan yang menuntut tersebut harus tetap dihadapi dan dijalani. Dari keadaan yang menuntut tersebut, individu biasanya merasakan sakit hati setiap harinya, karena tidak ada pilihan lain selain menjalaninya sampai titik akhir hidupnya (Wiramihardja, 2007: 18). Terdapat beberapa wujud yang menghasilkan deprivasi, yaitu: a) instutionalisasi, dan b) deprivasi di rumah.

a) Instutionalisasi

Instutionalisasi adalah sebuah kondisi seorang anak yang masih merasakan atau membutuhkan pemeliharaan intensif dari orangtuanya. Anak terpaksa harus menghilangkan harapan untuk mendapatkan kehangatan dari orangtua karena orangtua bekerja (Wiramihardja, 2007: 19). Sedangkan menurut Slamet dan Sumarno Markam (2007: 44) institusionalisasi adalah sebuah kondisi di mana anak harus dititipkan kepada baby sitter atau asrama. Anak-anak yang seperti itu biasanya akan memperoleh hambatan dalam perkembangan intelektual dan bahasa. Anak dalam kondisi seperti ini sering menunjukkan sikap apati sosial, sikap acuh tak acuh, atau haus akan kasih sayang.

b) Deprivasi di rumah

Deprivasi adalah sebuah situasi yang tidak menyenangkan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi ketika seorang anak menghadapi ancaman-ancaman. Respon-respon yang dikondisikan menjadi dasar dari pengalaman-pengalaman traumatik yang bisa digeneralisasikan terhadap situasi lain. Situasi traumatik cenderung untuk menghasilkan sikap dan perilaku dalam kondisi yang kuat dan otomatis yaitu relatif (Wiramihardja, 2007: 19). Deprivasi ini akan mempengaruhi

(22)

permasalahan yang dialami oleh seseorang. Tidak menutup kemungkinan bahwa masalah akan menjadi lebih sulit sebagai akibat adanya deprivasi.

3) Pengasuhan Orangtua yang Tidak Adequat

Wiramihardja (2007: 19) berpendapat bahwa pengasuhan orangtua yang tidak adequat atau inadequat parenting adalah tidak adanya rasa aman pada diri anak terhadap pengasuhan dari orangtuanya. Anak merasa tidak terpelihara dengan baik, sebagai akibatnya, mungkin saja anak tidak memberikan nilai positif kepada orangtuanya. Anak juga merasa tidak bahagia hidup bersama dengan orangtuanya. Menurut Slamet dan Sumarno Markam (2007: 44) pengasuhan orangtua yang tidak adequat akan menimbulkan pengaruh negatif. Misalnya, kurangnya nafsu makan, bertambahnya tegangan otot, mudah marah, dan menjadi anak yang tertutup.

4) Struktur Keluarga yang Patogenik

Struktur keluarga yang patogenik adalah struktur keluarga yang tidak terkoordinir dengan baik. Banyak hal buruk yang didapatkan anak dari sikap orangtuanya. Keluarga yang terganggu atau terguncang akan nampak dalam: a) orangtua yang berusaha menyeimbangkan urusannya sendiri dengan urusan anak. Tetapi ada beberapa hal yang tetap tidak bisa diterima oleh anak, sehingga menyebabkan anak merasa tidak terpelihara dengan baik, b) komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara orangtua dan anak, c) Incredibility, yaitu adanya rasa tidak saling percaya atau tidak saling menghargai antara orangtua dan anak, d) keluarga yang tidak lengkap sebagai akibat karena adanya kematian, perceraian, atau situasi yang lain, dan e) maladaptif relationship. (hubungan antara teman sebaya yang maladaptif). Adanya hubungan dengan teman sebaya dalam keluarga yang tidak

(23)

dilandasi adanya saling menyayangi, saling mengasihi, tidak peduli satu sama lain. Hubungan yang seperti itu juga dapat membuat anak merasa dikucilkan atau tersisihkan (Wiramihardja, 2007: 20-21).

5) Trauma pada Masa Anak-anak

Wiramihardja (2007: 17) berpendapat bahwa trauma adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Dari pengalaman tersebut dapat mempengaruhi terjadinya pemahaman negatif dan kemudian menimbulkan rasa takut atau cemas dalam jiwa individu. Pengalaman buruk tersebut membuat seseorang dilanda cemas ketika dihadapkan pada situasi yang sama dengan masa lalunya. Cemas yang dirasakan seseorang itu bisa jadi berdampak panjang hingga seseorang itu meninggal.

Dari beberapa pendapat tersebut mengenai faktor penyebab konflik, dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi sebuah konflik, individu harus mengetahui akar permasalahannya terlebih dahulu, sehingga permasalahan dapat diatasi dengan cepat, tanpa menyebabkan perasaan yang tidak nyaman kepada diri sendiri serta menyebabkan terganggunya suatu tujuan yang akan dicapai dalam kehidupan. Latar belakang yang bermacam-macam, menimbulkan permasalahn yang dialami individu juga bermacam-macam dan faktor penyebabnya juga bermacam-macam. Adanya perbedaan latar belakang tersebut, mempengaruhi perbedaan pola pikir dalam menyelesaikan masalah. Ada yang membuat keputusan secara tergesa-gesa, ada pula yang mengambil langkah tindakan penyelesaian masalah dengan hati yang tenang dan pikiran yang dingin. Yang terpenting adalah, manusia harus memahami bahwa setiap permasalahan akan ada solusinya. Dalam solusi itu terdapat beberapa pilihan yang harus dipilih oleh individu. Seringkali konflik yang menghampiri kehidupan manusia

(24)

membuat keadaan menjadi tidak tenang dan tidak nyaman, karenanya individu perlu mengetahui akar permasalahannya tersebut. Setelah ditemukan akar permasalahannya, individu mulai mencari jalan keluar paling efektif dari permasalahannya tersebut. Solusi yang dipilih harus sudah melalui proses pertimbangan yang matang dan sudah memikirkan konsekuensi yang akan terjadi setelahnya. Jika sudah demikian, maka konflik tidak akan berlarut-larut, dan hidup akan berubah menjadi aman dan nyaman.

4. Psikologi Sastra

Psikologi dan sastra memiliki objek yang sama, yaitu manusia. Pembedanya hanya manusia dalam bentuk nyata dan manusia dalam bentuk rekaan, karena dilihat dari segi sastra tentu saja objek yang dimaksud yaitu manusia dalam bentuk imajinatif. Psikologi sastra hadir sebagai ilmu yang memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Aspek-aspek kejiwaan itulah yang digambarkan pengarang melalui tokoh-tokoh fiktif dalam karyanya. Seperti yang dikemukakan oleh Endraswara (2008: 88), psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan manusia. Hanya saja perbedaannya, gejala kejiwaan yang terdapat dalam karya sastra merupakan gejala kejiwaan dari tokoh fiksional, sedangkan dalam psikologi, gejala kejiwaan dialami oleh manusia riil.

Sastra adalah fenomena yang tepat didekati secara psikologis. Psikologi sastra memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabadikan untuk kepentingan estetis. Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan suasana

(25)

kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa (emosi) (Endraswara,

2008: 86). Penelitian psikologi sastra dapat dilakukan dengan dua tahap, yaitu: 1)

melalui pemahaman tentang teori-teori psikologi diadakan analisis terhadap suatu karya sastra, 2) menentukan karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan beberapa teori psikologi yang dianggap relevan untuk kemudian dianalisis (Ratna, 2013: 342-344). Dalam hal penelitian, psikologi sastra memang memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra. Banyak hal unik dan menarik ketika mengkaji psikologi sastra.

Pada dasarnya, psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya. Artinya, psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang (Minderop, 2013: 52). Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah-masalah psikologis. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya (Minderop, 2013: 54). Psikologi sastra sebagai sebuah disiplin ditopang oleh tiga pendekatan studi menurut Endraswara (2008: 99) yaitu, 1) pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif yang terproyeksi lewat karya ciptanya, 2) pendekatan tekstual yang mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra, 3) pendekatan reseptif pragmatis yang mengkaji aspek psikologis pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya sastra yang dinikmatinya, serta proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang menganalisis karya sastra dari sisi kejiwaan atau

(26)

psikologi manusia. Psikologi sastra erat kaitannya dengan perilaku manusia, perilaku manusia timbul atas dorongan jiwa atau perasaan yang ada dalam diri seseorang. Manusia di sini diartikan dengan tokoh imajinatif. Tokoh imajinatif itulah yang dihadirkan oleh pengarang dalam karya sastranya, sesuai dengan kondisi kejiwaan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Kehidupan manusia secara individu maupun sosial tidak akan lepas dari problematika kejiwaan. Sehubungan dengan hal tersebut, psikologi sastra hadir sebagai kajian yang bisa digunakan untuk menelusuri kejiwaan manusia. Kejiwaan manusia dalam konteks ini yang dimaksud yakni manusia dalam bentuk fiktif.

Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Psikologi sastra memfokuskan diri pada memahami aspek kejiwaan dari tokoh dalam sebuha cerita. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran kosakata bahasa Mandarin dengan menggunakan model pembelajaran TGT (Teams Games

BKC telah dilaksanakan di Bogor yaitu Kejurnas BKC 1999, Kejuaraan Daerah BKC Se- Jawa Barat, Kejuaraan Wilayah V Jawa Barat, dan untuk Desember tahun 2016 Kota Bogor kembali

Tujuan dari Praktek Kerja Lapang ini adalah untuk mempelajari metode pembekuan udang vannamei menggunakan Air Blast Freezer (ABF) beserta kelebihan, kekurangan,

ini terdiri dari data tentang 306 korban (6%) pada tahun 2008, yang berarti sebanyak 94% dari jumlah total korban yang tercatat di banyak negara pada tahun 2008 tidak

Deskripsi Customer buka halaman web pilih menu kategori pembantu setelah itu sistem menampilkan menu kategori pembantu dan customer memilih klasifikasi pekerja,

Ketika kita bersatu dengan Kristus, Roti Hidup yang dipecah-pecahkan bagi dunia ini, kitapun dipersatukan dalam kematian dan kebangkitan Kristus.. Dipersatukan

22 Hermina Ciputat Banten Tangerang RSIA Jl. Ciputat Raya no. KS Tubun No. Raya Jombang No. Raya PLP Curug No. Letnan Soetopo Kav. Hasyim Ashari No. Alam Sutera Boulevard Kav.

Juara 2 Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) Tingkat Provinsi Sumatera Selatan Kategori “Seni Tunggal Puteri” di Asrama Haji Sumatera Selatan pada tahun