• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KONSELOR DALAM INTERVENSI SOSIAL. Marsini Guru SMA Negeri 3 Luwuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN KONSELOR DALAM INTERVENSI SOSIAL. Marsini Guru SMA Negeri 3 Luwuk"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KONSELOR DALAM INTERVENSI SOSIAL Marsini

Guru SMA Negeri 3 Luwuk A. PENDAHULUAN

Konsep dasar konseling adalah suatu hubungan bantuan (helping relationship), dan upaya pemberian bantuan, selanjutnya disebut sebagai helping. Bantuan (Helping) itu sendiri menurut Nurihsan (2007) memiliki tiga aspek pokok, yaitu (1) kondisi-kondisi yang mendasari bantuan. Aspek ini meliputi adanya kejelasan dari seseorang untuk mencari bantuan, dan di sisi lain adanya keinginan seseorang untuk memberikan bantuan dengan menggunakan keterampilan konselor dan setting yang memungkinkan bantuan diberikan. (2) prakondisi yang mengarah pada karakteristik seseorang atau klien pencari bantuan dan karakteristik pribadi lain atau konselor yang memberikan bantuan. Karakteristik klien berupa keterampilan penguasaan dan kemampuan penyelesaian masalah, konsep diri, tempramen dan emosional, pengalaman-pengalaman interpersonal. Sedangkan karakteristik pemberi bantuan atau konselor adalah pengalaman memberi bantuan, konsep diri, sikap profesional, pengalaman interpersonal dan kesadaran diri yang mempengaruhi perkembangan hubungan bantuan. (3) aspek hasil akhir dari hubungan bantuan antara konselor dengan klien.

B. KONSEP DASAR KONSELING 1. SIKAP DASAR KONSELOR

Sikap dasar ini mengacu pada aspek-aspek afektif dari konselor yang sangat menentukan keberhasilan dan kelancaran proses konseling. Menurut Rogers (1971) ada tiga aspek afektif konselor:

a. Congruence (for genuinness, authenticity)

Kongruen dimaknai oleh Rogers (1971) sebagai perasaan yang dialami konselor itu ada dalam jangkauannya, dalam kesadarannya dan dapat mengkomunikasikannya, bila keadaannya sesuai dan pantas untuk mengkomunikasikannya. Kongruen dapat dimaksudkan sebagai sikap terbuka dan untuk menjadi geunine konselor harus kongruen. Yaitu sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa pura-pura dan ditutup-tutupi, memahami kondisi dirinya, dan terbuka pada klien.

Aunthenticity merujuk pada keselarasan antara pikiran dan perasaan konselor dengan apa yang terungkap melalui perbuatan dan ucapannya. Atau dengan kata lain kongruen antara apa yang diucapkannya dengan apa yang dilakukannya. Misalanya, ia mengatakan senang karena klien menemui anda, maka itu benar-benar menunjukkan keadaan sebenarnya dari isi hatinya, bukan basa-basi semata.

Genuine menurut Egan (dalam Mappiare, 1992) dimaksudkan sebagai penunjukkan adanya perasaan senang, ramah dengan dirinya sendiri, dan tidak mengada-ada atau melebih-lebihkan. Selanjutnya Egan (dalam Mappiare, 1992) menyebutkan enam hal yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh konselor untuk menjadi pribadi yang genuine. Yaitu menghindari peran yang berlebihantapi tetap akrab, spontan tapi tidak lepas konrol, tegas tapi tidak sombong, menghindari sifat defensiftetapi sadar kekuatan dan kelemahannya, konsisten tapi juga menghindari pertentangan nilai dan perilakunya serta antara perkataan dan berbuatan, terbuka dan dapat mengungkapkan diri untuk berbagi pengalaman tapi tidak larut.

Keterbukaan pada konselor merupakan suatu cara konselor mengungkapkan kesepahamannya atau kongruen, karena keterbukaan dapat menumbuhkan keterbukaan pada orang lain.

b. Penerimaan (for positive regard)

Penerimaan selaras pengertiannya dengan penghargaan positif (positive regard) yang merujuk pada kesediaan konselor untuk menghargai klien tanpa adanya batasan atau prasyarat tertentu terhadap klien sebagai manusia atau pribadi secara utuh. Hal ini berarti konselor menerima setiap klien yang datang tanpa menolak. Aspek-aspek pribadinya yang lemah maupun yang kuat, dengan kata lain menerima apa adanya diri klien tanpa menjastifikasi setuju atau tidak dengan kondisi aspek-aspek pribadi klien. c. Empati

Empati merujuk pada pengertian memahami apapun kondisi klien dari sudut pandang atau kerangka berpikir klien itu sendiri, dan ini tidak hanya dipahami dan dirasakan apa yang dialami klien tetapi juga mampu mengekspresikannya, dengan mengabaikan nilai-nilai pribadinya dan jangan larut pada nilai-nilai klien. Empati

(2)

merupakan cara utama untuk memahami klien. Artinya empati adalah pemahaman yang sungguh-sungguh dalam menyelami perilaku, fikiran, dan perasaan klien sedalam mungkin yang mampu dicapai konselor.

2. KETERAMPILAN DASAR KONSELOR

Keterampilan dasar konselor dilandasi oleh pengetahuan siap pakai mengenai tingkah laku manusia, pemikiran yang cerdas, dan kemampuan mengintegrasikan peristiwa yang dihadapi dengan pendidikan dan pengalamannya. Keterampilan dasar konselor merujuk pada kompetensi-kompetensi yang harus dikembangkan, dilatih serta dipelihara sebagai prasyarat yang dapat menentukan efektif tidaknya proses konseling. Keterampilan-keterampilan dasar tersebut menurut Mappiare (1992), antara lain:

a. Kompetensi intelektual

Mampu berpikir runtut dan rapi dalam membantu klien, serta objektif, menempatkan peristiwa pada kerangka yang tepat, mempertimbangkan alternatif dan menafsirkan hasil-hasil, serta komunikatif.

b. Kelincahan karsa cipta

Secara umum dituntut untuk fleksibel dalam menempatkan diri, tidak kaku, dan tanggap terhadap perubahan sikap, persepsi serta ekspektasi klien. Secara khusus bersifat intensionalitas, hal ini berkenaan dengan kemampuan konselor untuk memilih respon-respon terhadap pernyataan-pernyataan klien dari beberapa respon yang terlintas dalam pikiran konselor.

c. Pengembangan keakraban (rapport)

1) Mampu membangun hubungan baik yang didasari ketulusan, kenyamanan, dan perhatian.

2) Mencakup menciptakan, pemantapan, pemeliharaan keakraban selama konseling. 3) Keakraban mengacu pada suasana hubungan konseling yang berlangsung secara santai, selaras hangat, saling memudahkan, terbaik, dan saling menerima antara klien dan konselor.

3. MASALAH-MASALAH KONSELOR

Konselor adalah manusia biasa yang juga menghadapi berbagai macam persoalan dan masalah meskipun dirinya adalah profesional tetapi terkadang dapat terkena masalah ketika melakukan proses konseling. Masalah-masalah tersebut harus diantisipasi dan dihindari serta diusahakan atau disiasati agar tidak muncul selama proses konseling. Beberapa masalah yang harus dihindari tersebut, antara lain:

a. Kebosanan

Kebosanan kadang menghinggapi konselor yang sudah berpengalaman atau lama berprofesi sebagai konselor. Hal ini dikarenakan seringnya konselor mengahadapi klien dengan masalah yang sama. Misalnya, menangani sampai 25 atau 50 orang berbeda dengan masalah depresi yang sama.

Jika kebosanan melanda maka tiga kemungkinan yang akan mengganggu proses konseling. Pertama, konselor menjaga jarak dengan kliennya. Kedua, konselor akan melamun atau berfantasi sendiri atau tidak mendengarkan dengan cermat. Ketiga, tidak konsentrasi dan kehilangan perhatian yang memungkinkan kehilangan informasi penting.

b. Hostilitas (permusuhan)

Adanya konflik kecil yang tidak disadari oleh klien dan konselor di satu sisi konselor merasa dirinya sering membantu orang yang berharap dihargai oleh klien. Di sisi lain klien merasa konselor sebagai perwujudan orang-orang yang dianggap sebagai sumber masalah dalam kehidupannya. Seperti mantan kekasih yang dibenci, orang tuanya yang tidak disukai, atau tokoh otoritas lainnya dalam hidup klien.

c. Kesalahan-kesalahan konselor

Kesalahan sifatnya alamiah sebagai manusia, tetapi hal ini harus diminimalisir dan dihindari dengan melatih diri dan evaluasi. Kesalahan yang sering terjadi adalah konselor menunjukkan sikap lemah dan kurang tegas, dan tidak mengakui kesalahan. d. Manipulasi

Misalnya menyuruh klien tetap dalam konseling, walaupun klien sudah terbebas dengan masalahnya dan tidak butuh konseling lagi, atau karena bosan dan jengkel konselor menyatakan bahwa klien telah mengalami kemajuan dan konselor butuh istirahat.

(3)

Penderitaan yang dialami konselor dikarenakan adanya perasaan empati yang berlebihan terhadap klien. Dirinya merasa tidak berdaya dan tidak mampu membantu apa-apa selain rasa empati pada masalah yang dihadapi klien.

Klien menderita karena keinginannya bertentangan dengan apa yang diinginkan konselor. Misalnya konselor ingin kliennya mengembangkan kondisinyal, tetapi klien ingin menetap dengan kondisi saat itu, atau klien tidak mau melepaskan seluruh perasaan yang dirasakan saat itu. Sedangkan konselor menginginkan sebaliknya.  Hubungan yang tidak membantu dalam konseling

a) Distansi emosional, konselor tidak dapat menyatakan dirinya dengan pikiran, perasaan dan persepsi klien atau tidak dapat berempati. Keterlibatannya bersifat intelektual (berfungsi sebagai director, tutor atau mentor)semata. Terkadang konselor sendiri yang menjaga jarak.

b) Kelekatan emosional, berkaitan dengan kebutuhan dasar mereka, seperti rasa aman, cinta, dan dibutuhkan. Sikap konselor terhadap klien dapat berupa parental (orang tua yang terlalu melindunginya), fraternal (sahabat), dan romantik (kekasih). Sedangkan sikap klien terhadap konselor berupa keinginan membina hubungan khusus dengan konselor, ingiin kontak di luar sesi (telepon, surat, sms), atau membawa hadiah-hadiah yang bersifat personal.

 Hubungan yang membantu,

Hubungan yang membantu berupa keterlibatan emosional yang menggambarkan bahwa mereka cukup saling mengenal untuk dapat saling percaya dan berempati, dan secara emosional mereka dekat, dan tercipta hubungan yang dinamis.

f. Terminasi konseling

Klien secara prematur ingin menghentikan konseling. Konselor ingin menghentikan meskipun klien ingin melanjutkan

g. Burn Out

Pemutusan atau putus asa, sebagai akumulasi dari bosan atau stres dalam konseling.

4. PERAN DAN FUNGSI KONSELOR

Seorang konselor yang berjiwa helper menurut Baruth dan Robinson III (dalam Lesmana, 2008)harus memiliki lima peran pokok, yaitu sebagai konselor, sebagai konsultan, sebagai agen pengubah, sebagai agen prevensi primer dan sebagai menager.

Kelima peran yang harus dijalankan oleh seorang konselor tersebut menjadi pondasi dari fungsi-fungsi konselor yang harus diwujudkan dalam membantu klien untuk keluar dari masalah yang dihadapinya. Oleh sebab itu untuk memahami peran dan fungsi konselor dengan lebih baik, maka tabel di bawah ini akan membantu pemahaman berkait dengan peran dan fungsi konselor tersebut.

PERAN KONSELOR Konselor Konsultan Agen

Pengubah Agen Prevensi Primer Manager FUNGSI KONSELOR  Pertumbuh an dan perkemban gan manusia  Keterampil an interperson al  Keterampil an pembuatan keputusan  Keterampil an pemecaha n masalah  Bidang sama dalam peran konselor  Proses konsultasi  Sertifikat mengajar  Memiliki minimal 3 tahun pengalama n mengajar  Memahami sistem sosial & lingkungan  Keterampila n merancang dan mengimplem entasikan perubahan institusional, masyarakat, dan sistem  Dinamika kelompok  Pelatihan kelompok/terst ruktur  Pengembanga n kurikulum  Perkembanga n manusia normal  Psikologi belajar  Teknologi mengajar  Perencaan program  Assesmen kebutuhan  Strategi evaluasi program  Perencanaan sasaran  Buggetting  Pembuatan keputusan

(4)

 Intervensi krisis sosial dan interperson al  Pemberian bantuan

C. KONSELING DALAM INTERVENSI SOSIAL 1. ASESMEN

Menilai (melakukan asesmen) apa yang sebenarnya menjadi masalah klien adalah bagian yang sangat penting dari konseling. Seorang konselor pemula, kadang-kadang begitu ingin untuk membantu kliennya, untuk mengurangi penderitaannya, sehingga terburu-buru dalam fase ini yang akibatnya kurang akurat dan banyak kehilangan informasi penting. Konselor harus berusaha untuk betul-betul memahami kliennya, karena tanpa pengetahuan ini, konselor mungkin tidak melihat kondisi atau karakteristik yang penting tentang masalah klien dan proses terapi menjadi tidak produktif.

2. TUJUAN ASESMEN

Proses asesmen dapat memberikan keuntungan dalam sebuah proses konseling. Keuntungan ini berkaitan dengan kemungkinan sifatnya yang reaktif, artinya hanya dengan melakukan asesmen, sudah terjadi perubahan tingkah laku. Misalnya, anak muda yang merasa sulit berkomunikasi dengan perempuan. Hanya dengan mengeksplorasi tingkah lakunya dengan konselor, sudah terjadi perubahan perilaku.

Asesmen memiliki beberapa fungsi dalam sebuah proses konseling. Selain dapat memberikan pendekatan yang sistematik untuk memperoleh dan mengorganisasi informasi yang relevan tentang klien, juga mengidentifikasi peristiwa-peristiwa apa yang memberi kontribusi pada timbulnya masalah klien. Hackney dan Cormier (2001) mengemukakan manfaat asesmen yang dapat meningkatkan hubungan antara konselor dengan klien. Antara lain:

1. Melancarkan proses pengumpulan informasi.

2. Memungkinkan konselor membuat diagnosis yang akurat.

3. Memfasilitasi perkembangan dari suatu rencana tindakan yang efektif.

4. Menentukan tepat atau tidaknya seseorang untuk suatu program tindakan tertentu.

5. Menyederhanakan pencapaian sasaran dan pengukuran kemajuan.

6. Meningkatkan wawasan (insight) mengenai kepribadian seseorang dan mengklarifikasi konsep diri.

7. Menilai lingkungan atau konteks.

8. Meningkatkan konseling dan diskusi yang lebih terfokus dan relevan.

9. Mengindikasikan kemungkinan bahwa peristiwa tertentu akan terjadi, seperti sukses dalam usaha okupasional/akademik.

10. Meningkatkan terjemahan dari minat, kemampuan dan dimensi kepribadian. 11. Menghasilkan opsi dan alternatif.

12. Memfasilitasi perencanaan dan pembuatan keputusan. 3. KOMPONEN ASESMEN

Adapun komponen asesmen menurut Hackney dan Cormier (2001)meliputi interviu riwayat hidup dan definisi masalah.

 Interview Riwayat Hidup

Hal-hal yang harus diperoleh dalam interviu riyawat hidup, antara lain data identifikasi, presentasi problem oleh klien, tatanan hidup klien saat ini, riwayat keluarga, riwayat pribadi, deskripsi klien selama interviu, serta ringkasan dan rekomendasi.

a. Data identifikasi

Data identifikasi dimungkinkan dapat diketahui tentang nama, alamat dan nomor telepon, umur, jenis kelamin, status pernikahan, serta pekerjaan dan pendidikan. Data tersebut mempermudah konselor untuk menghubungi klien jika diperlukan, dan melalui alamatnya dapat juga disimpulkan kehidupan klien (daerah kumuh, menengah atau dari kalangan ekonomi atas).

(5)

Masalah yang disampaikan klien sebaiknya dicatat sesuai dengan apa yang telah diungkapkan klien. Informasi yang harus diperoleh mencakup:

1) Seberapa jauh masalah ini mengganggu fungsi sehari-hari?

2) Bagaimana masalah ini menunjukkan dirinya, pikiran, serta perasaan dan tingkah laku apa yang terlihat?

3) Kapan mulai muncul, seberapa sering dan sudah berlangsung berapa lama?

4) Apakah ada pola tertentu di sekitar munculnya masalah, dengan siapa dan kapan terjadinya, apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya dan apakah dapat diantisipasi? 5) Apa yang menyebabkan klien memutuskan unuk datang konseling?

c. Tatanan kehidupan klien saat ini

Tatanan kehidupan klien saat ini berkaitan dengan latar belakang dan konteks kehidupan sehari-hari klien. Seperti aktivitas sosial, religius, dan rekreasional. Bagaimana keadaan pekerjaan atau pendidikan klien. Kemudian apakah ada hal-hal khusus yang berkaitan dengan budaya, etnik, religi, gaya hidup, usia, dan fisik yang harus dihadapi klien.

d. Riwayat keluarga

1) Usia ibu dan ayah, dan pekerjaannya, pendidikan, deskripsi kepribadian, peranan dalam keluarga, hubungan mereka, serta hubungan klien dengan mereka dan saudara lainnya.

2) Nama dan usia saudara-saudara lainnya, pendidikan, pekerjaan, situasi kehidupan mereka dan hubungan mereka dengan klien dan saudara lainnya.

3) Deskripsi tentang stabilitas keluarga. Misalnya berapa kali pindah, serta berapa banyak pekerjaan yang dipegang.

e. Riwayat pribadi

1) Riwayat medis, berkaitan dengan sakit yang pernah dialami atau sakit yang relevan dari sebelum lahir sampai sekarang serta sakit yang tidak biasa.

2) Riwayat pendidikan, baik dari kecil sampai pendidikan terakhir. Termasuk kegiatan ekstrakulikuler dan hubungan dengan teman-temannya.

3) Riwayat pekerjaan, berkaitan dengan lokasi pekerjaan, tipe pekerjaan, berapa lama dan bagaimana hubungan dengan teman kerja.

4) Riwayat seksual dan marital. Dimana klien mendapat informasi seksual, riwayat pacaran, pernah bertunangan atau menikah, hubungan pacaran serius sebelum dan sekarang, jika putus mengapa? Bagaimana hubungan pacaran dengan pasangan sekarang, karakteristik apa yang menyebabkan akhirnya menikah, dan apakah memiliki anak, dan bagaimama hubungannya dengan anak.

5) Pengalaman apa yang dimiliki dengan proses konseling, apakah pernah ikut konseling dan bagaimana reaksinya.

6) Apa sasaran pribadi klien dalam hidup? f. Deskripsi klien selama interviu

Observasi tentang klien meliputi penampilan fisik, pakaian, sikap tubuh, gerakan-gerakan tangan, ekspresi wajah, kualitas suara, ketegangan, bagaimana klien berelasi selama sesi, kesiapan jawaban klien, fungsi-fungsi sensori yang mengganggu? Taraf informasi yang diberikan, pembendaharaan kata, penilaian klien, kemampuan abstraksi, bagaimana alur berpikir dan caranya berbicara, apakah logis dan kesinambungan pembicaraan.

g. Ringkasan dan rekomendasi

Ringkasan dan rekomendasi dapat berwujud gambaran singkat dari hasil wawancara dan kemungkinan rekomendasi solusi yang tepat bagi masalah yang dihadapi klien. Sundberg dkk (2002) mengungkapkan garis-garis besar interviu riwayat hidup sebagai berikut:

1) Data identifikasi: nama, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan, pendidikan status marital, alamat, tanggal dan tahun lahir, agama, identitas kultural dan lain-lain. 2) Alasan datang ke instansi, harapan pelayanan.

3) Keadaan sekarang dan baru-baru ini: tempat tinggal, kegiatan utama, aktivitas sehari-hari, perubahan-perubahan hidup dalam bulan-bulan terakhir, perubahan yang akan terjadi.

4) Konstelasi keluarga: deskripsi tentang orang tua, saudara, keluarga lain yang signifikan, peran responden dalam masa perkembangannya.

5) Ingatan-ingatan dini: deskripsi tentang peristiwa pertama yang paling jelas diingat dan kejadian yang melingkupinya.

(6)

6) Kelahiran dan perkembangan: usia ketika berjalan, bicara, masalah jika dibandingkan dengan anak lain, kesulitan-kesulitan perkembangan lainnya, pandangan tentang efek dari pengalaman dini.

7) Kondisi kesehatan dan fisik: penyakit dan luka-luka (injury)pada masa kanak-kanak dan kemudian, obat-obatan yang dikonsumsi sekarang berdasar resep dokter, obat tanpa resep yang diminum, rokok, alkohol, perbandingan tubuh sendiri dengan orang lain, kebiasaan makan dan olahraga.

8) Pendidikan dan pelatihan: termasuk minat khusus atau prestasi khusus, belajar di luar sekolah, bidang-bidang yang menimbulkan kesulitan dan kebanggaan, apakah ada masalah budaya.

9) Catatan pekerjaan: alasan ganti pekerjaan dan sikap terhadap kerja.

10) Rekreasi, minat dan kesenangan: termasuk kerja volunter, membaca, dan pandangan responden atas kemampuan untuk mengekspresikan diri sendiri dan membahagiakan diri sendiri.

11) Perkembangan seksual: meliputi awarness pertama, aktivitas seksual yang dijalankan, pandangan tentang keadequatan ekspresi seksualnya sekarang ini. 12) Data marital dan keluarga: peristiwa-peristiwa penting dan apa yang

menyebabkannya, perbandingan antara keluarga sekarang dengan keluarga asal. 13) Dukungan sosial, jaringan komunikasi, dan minat sosial, termasuk orang-orang

yang paling sering diajak bicara, orang-orang yang dapat memberikan berbagai macam bantuan, jumlah dan kualitas interaksi, perasaan memberi kontribusi kepada orang lain dan minat terhadap masyarakat.

14) Deskripsi diri: termasuk kekuatan dan kelemahan diri, kemampuan untuk menggunakan imajinasi, kreativitas, nilai-nilai dan ideal-ideal.

15) Pilihan-pilihan dan titik ubah (turning point) dalam hidup: reviu mengenai keputusan responden yang paling penting dan perubahan penting yang terjadi, termasuk suatu kejadian paling penting.

16) Sasaran pribadi dan pandangan tentang masa depan: apa yang dikehendaki subjek untuk terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang, dan apa yang diperlukan supaya hal itu dapat terjadi, realisme dalam orientasi waktu dan kemampuan untuk prioritas.

17) Keterangan lain yang menurut responden belum ditanyakan atau terlupakan dari riwayat hidupnya.

 Pendefinisian Masalah

Pendefinisian masalah menurut Hackney dan Cormier (2001), adalah dimensi kedua dalam melakukan asesmen terhadap masalah klien. Dimensi pendefinisian masalah ini berbeda dengan pencarian informasi awal, karena di sini fokusnya melakukan eksplorasi terhadap caranya klien mempresentasikan problem. Yang tercakup di sini tidak saja masalah yang dipresentasikan pada awalnya (disebut presenting problem), tetapi juga masalah-masalah lain yang muncul kemudian. Kadang-kadang masalah terawal (presenting problem) yaitu masalah yang disampaikan pertama kali dan dikatakan oleh klien sebagai penyebab datangnya hendak berkonsultasi bukanlah masalah yang betul-betul merupakan masalah. Masalah yang sesungguhanya, yang menjadi sumber keprihatinannya, dapat muncul kemudian dalam sesi-sesi berikut. Dalam hal ini mungkin karena klien belum percaya betul kepada konselor ataupun kepada situasi konseling, lagipula supaya dapat mengidentifikasikan problem dengan benar, diperlukan hubungan terapeutik yang sehat yang memerlukan waktu untuk pembentukannya (rapport tidak terbentuk seketika).

Cara klien mempresentasikan problem sangatlah penting. Brammer dkk (1993) mengatakan seorang konselor yang baik akan berusaha mengidentikan pengartian pribadi (personalized meaning) dari suatu masalah. Bagi klien pribadi, apakah artinya masalah ini. Misalnya masalah kesepian didefinisikan klien sebagai penghamabt pekerjaan? Ataukah kesepian kemudian termanifestasi dalam keluhan bahwa dirinya adalah orang yang membosankan, jelek dan sebagai konsekuensinya tidak dapat membina hubungan dengan orang lain? Dengan memahami pengartian pribadi ini, lebih mudah bagi konselor untuk membantu kliennya mencari solusi dari permasalahannya.

(7)

Ada bebrapa indikator yang dapat dijadikan patokan dalam rangka memahami masalah klien untuk dieksplorasi menurut Hackney dan Cormier (2001), yaitu:

a. Komponen-komponen masalah

1. Cara-cara masalah termanifestasi baik secara primer maupun sekunder.

2. Perasaan-perasaan yang diasosiasikan dengan masalah (kebingungan, depresi, rasa marah dan sebagainya)

3. Kognisi yang diasosiasikan dengan masalah (pikiran, keyakinan, persepsi dan dialog internal / self talk)

4. Tingkah laku yang diasosiasikan dengan masalah (perilaku spesifik yang dapat diamati).

5. Keluhan fisik dan somatik yang diasosiasikan dengan masalah.

6. Aspek interpersonal dari masalah (efek pada dan dari orang-orang yang signifikan) b. Pola peristiwa, maksudnya yang dapat memberi kontribusi:

1. Kapan masalah terjadi?dimana?dengan siapa? 2. Apa yang terjadi pasda waktu masalah muncul? 3. Apa yang terjadi sebentar setelah masalah muncul? 4. Apa yang tipikal terjadi segera setelah masalah muncul? 5. Apa yang membuat masalah menjadi membaik? Menghilang? 6. Apa yang memperburuk masalah?

c. Lamanya/durasi masalah

1. Sudah berapa lama masalah ini ada? 2. Seberapa sering masalah ini terjadi?

3. Berapa lama berlangsungnya jika masalah ini terjadi?

4. Apa yang menyebabkan klien meminta konseling sehubungan dengan masalah? 5. Dengan cara-cara bagaimana masalah ini mengganggu berfungsinya klien

sehari-hari?

d. Keterampilan coping klien

Kekuatan-kekuatan dan sumber daya yang dimiliki klien:

1. Bagaimana caranya klien menanggulangi itu selama ini?mana yang berhasil? Mana yang tidak berhasil?

2. Bagaimana cara klien secara sukses mengatasi masalah lain?

3. Sumber daya, kekuatan-kekuatan, sistem dukungan apa saja yang dipunyai klien yang dapat membantu usaha untuk perubahan?

4. Bagaimana pandangan mendunia klien? Kelompok lingkungannya? bahasa yang dikuasai? lingkungan dimana dibesarkan? agama yang dianut?

5. Selain berbagai hal tersebut di atas, menurut Hackney dan Cormier (2001) ada hal lain yang dapat digunakan untuk memahami masalah klien, yaitu tes psikologi dan self rating (penilaian diri sendiri), serta melihat efek dari lingkungan terhadap timbulnya masalah, karena tidak semua masalah berasal dari diri sendiri. Misalnya diskriminasi karena minoritas. Kemudian dapat juga menggunakan manual diagnostik (diagnostic and statistical manual).

4. KETERAMPILAN DALAM ASESMEN

Menurut Hackney dan Cormier (2001), keterampilan yang diperlukan untuk interview dalam rangka pendefinisian masalah adalah perilaku attending (memberi perhatian verbal) dan non verbal, paraphrasing, dan keterampilan bertanya khususnya pertanyaan untuk mengklarifikasi, dan pertanyaan terbuka.

1. Pertanyaan klarifikasi

Pertanyaan klarifikasi penting dilakukan karena klien terkadang memberikan informasi yang membingungkan. Oleh sebab itu daripada membuat asumsi dan salah, lebih baik klarifikasi. Misalnya:

a. “dapatkah anda menggambarkan perasaan itu dengan cara lain? Saya kurang yakin menangkap apa yang anda sampaikan”?

b. “apa yang anda maksud ketika kamu mengatakan kalau orang tuamu cuek”? 2. Pertanyaan terbuka

Pertanyaan terbuka adalah harus dalam proses konseling, karena dengan pertanyaan terbuka dapat mengungkap penjelasan yang panjang. Pertanyaan terbuka dapat dilakukan pada saat:

a. Awal interview. Misalnya, “anda ingin bicara tentang apa”?

b. Saat mendorong klien untuk elaborasi. Misalnya, apa yang terjadi ketika anda kehilangan kendali”?

(8)

c. Meminta contoh spesifik. Misalnya, “apa yang anda lakukan ketika itu terjadi”? 5. EFEK ASESMEN

Asesmen dapat berdampak positif dan negatif (Hackney dan Cormier, 2001), positif karena dapat menyebabkan klien merasa dipahami, lega, punya harapan, dan termotivasi untuk melakukan perubahan-perubahan. Dapat juga negatif, karena klien dapat mengalami perasaan cemas, seperti diintrogasi, serta penuh pertanyaan apakah konselor adalah orang yang dapat dipercaya, merasa dievaluasi. Serta bertanya- tanya apakah dirinya bodoh, gila, atau ada sesuatu yang benar-benar salah dalam dirinya. D. PENUTUP

Dari paparan tulisan ini dapat disimpulkan adanya intervensi social melalui konseling memberikan gambaran tentang konsep-konsep dasar konseling, yang dalam dinamikanya tidak lepas dari penguraian faktor-faktor yang mempengaruhi proses konseling itu sendiri yang melibatkan interaksi perilaku klien dan konselor, serta situasi lingkungan konseling. Kajian dan implementasi perilaku yang terkait dengan proses konseling dibahas secara lebih luas serta pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam teknik konseling.

DAFTAR PUSTAKA

Charlesworth, E.A., and Nathan, R.G. 1985. Stress Management. New York: Ballantine Books. Corey, G. 2001. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Sixth Ed. Belmont, CA: Wardsworth.

Dinkmeyer, D. And Coldwell, E. 1970. Developmental Counseling and Guidance: A Comprehensive School Approach. New York: McGraw-Hill Book Company.

Ellis, A., 1973. Rational Emotive Therapy In Corsini (Ed). Current Psychotherapies. (pp. 167-206). Itasca, II: F.E. Peacock.

Current Psychotherapies.Fifth Ed. (pp. 162-196). Itasca, II: F.E. Peacock.

Ivey, E.A., dkk., 2002. Theories of Counseling and Psychotherapy. A Multicultural Perspective. Boston: Allyn & Bacon.

(9)

Diterbitkan. Jakarta: Fakultas Psikologi UI.

Mappiare, A. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nurihsan, A.J. 2007. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: PT. Refika Aditama.

Patterson, C.H., 1966. Counseling and Guidance in Schools: A First Course. NeW York: Appleton-Century-Croff.

Robichow, H., and Sklamsky, M., 1980. Effective Counseling of Adolescents. Chicago: Follett.

Rogers, C.R., 1957. The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change. J. Consult. Psychology. 1957, 21, 95-103.

Constable and Company, Ltd.

Shertzer, B., dan Stone, S.C., 1974. Fundamentals of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sundberg, N.D., dkk., 2002. Clinical Psychology. Fourth Edition. Upper Saddle River, N.J: Prantice Hall.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan metode literature review yang bertujuan untuk mengetahui efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan obat NSAID pada pasien yang menderita

Adapun untuk prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman dalam pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat yaitu investasi

Adapun penelitian tentang implementasi e-learning yang telah diteliti yaitu Afrioni Jaya Saputra, 2014, Aplikasi E-Learning Berbasis Web dan Pengiriman Informasi Untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui tingkat religiusitas siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang (2) Untuk mengetahui kesejahteraan psikologis (psychological

Berdasarkan uji-t dua pihak diperoleh hasil pengolahan data thitung> ttabel yaitu 2,15>1,67 dengan dk= 70 dan t 0,95 yang berarti Penerapan strategi Genius

Dari penjelasan Sardiman diatas dapat diartikan bahwa minat adalah kondisi dimana seorang anak dikatakan memiliki minat terhadap sesuatu dengan melihat hal-hal yang berkaitan dengan