• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Jagung"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

 

TINJAUAN PUSTAKA

Jagung

Jagung (Zea mays) adalah tanaman serealia yang tergolong jenis tanaman semusim. Menurut Noble dan Andrizal (2003) terdapat dua golongan tanaman jagung yaitu jagung hibrida dan jagung komposit. Jagung hibrida adalah jagung yang memiliki potensi hasil lebih tinggi karena memiliki gen-gen dominan yang

favourable (baik) untuk berproduksi tinggi. Jagung hibrida dikembangkan

berdasarkan gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan populasi generasi F1 sebagai tanaman produksi. Oleh karena itu, varietas hibrida selalu dibuat atau diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Jagung komposit adalah jagung bersari bebas (Iriany dan Andi 2007).

Jenis-jenis jagung dibagi berdasarkan bentuk biji serta kandungan endosperma. Jenis jagung menurut bijinya menurut Jugenheimer (1976) yang dikutip Fahmi (2007) terdiri dari jagung gigi kuda, jagung mutiara, jagung bertepung jagung berondong, jagung manis, jagung berlilin dan jagung polong. Sedangkan menurut Dickerson (2003) jenis jagung berdasarkan kandungan endospermanya terdiri atas pop, flint, dent, flour dan sweet dan jenis yang keenam adalah jenis pod corn (Gambar 1).

Ket : = endosperma yang keras, = endosperma yang lunak, = Endosperma yang manis, = benih

Gambar 1. Jenis-jenis jagung berdasarkan kandungan endosperma (Dickerson, 2003)

(2)

 

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) yang dikutip oleh Hatorangan (2007), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn).

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) yang dikutip oleh Juniawati (2008) jenis jagung semiflint (semi mutiara) lebih mudah dibuat tepung dibandingkan jagung mutiara. Hal ini disebabkan jagung semi mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih banyak dibandingkan dengan endosperma kerasnya. Endosperma keras terdiri dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, sedangkan endosperma lunak susunan sel-selnya tidak serapat bagian keras.

Anatomi jagung terdiri dari empat bagian pokok, yaitu kulit (perikarp), tipcap, germ dan endosperma (Gambar 2). Kulit adalah bagian yang berfungsi sebagai pelindung endosperma dan bakal benih dari kerusakan fisik serta serangan serangga, menahan air dan mengurangi proses penguapan air dari biji. Bagian

tipcap adalah bagian tempat menempelnya biji pada tongkol jagung. Bagian ini

merupakan jalur makanan dan air untuk biji. Bagian germ (bakal benih) adalah bagian dari biji yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Bagian ini mengandung vitamin dan mineral serta lemak yang dibutuhkan biji untuk tumbuh. Bagian endosperma merupakan bagian terbesar dari biji (lebih dari 80%) yang merupakan sumber pati dan protein yang dibutuhkan untuk mendukung germinasi (Anonimb 2008).

Bagian endosperma adalah bagian yang mengandung pati, yang berfungsi sebagai cadangan energi. Sel endosperma memiliki lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Dalam endosperma terdapat granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian besar adalah zein (Johnson 1991 yang dikutip oleh Fahmi 2007). Endosperma jagung terdiri dari dua bagian, yaitu endosperma keras (horny endosperm) dan

(3)

 

endosperma lunak (floury endosperm). Bagian keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat. Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras (Watson 2003 yang dikutip oleh Merdiyanti 2008).

Gambar 2. Anatomi Biji Jagung (WSI 1997)

Tepung Jagung

Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperma, lembaga dan tip cap. Endosperma merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan dari endosperm karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena

Endosperrm 

(4)

 

lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tip cap juga merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tip cap tidak sempurna, maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung (Inglett 1970 yang dikutip oleh Juniawati 2003).

Proses pembuatan tepung jagung dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan penggilingan kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling). Penggilingan kering adalah penggilingan jagung pipil kering dengan dua kali penggilingan yaitu penggilingan kasar dan penggilingan halus. penggilingan dengan metode kering menggunakan alat hammermill untuk penggilingan kasar dan discmill untuk penggilingan halus (Pratama 2008).

Cara penepungan jagung kedua adalah dengan penggilingan basah. Penggilingan basah adalah penggilingan jagung pipil dengan menggunakan penggiling batu yang biasa digunakan untuk menggiling kedelai pada pembuatan tahu. Keuntungan proses penggilingan basah adalah kemudahan untuk mencapai derajat kehalusan yang tinggi, mencegah kenaikan suhu bahan yang terlalu tinggi, dan memperkecil kerugian akibat oksidasi bahan olah. Penggilingan basah terutama digunakan untuk mendapatkan hasil giling yang halus. Penggilingan untuk mendapatkan hasil yang halus biasanya melibatkan kebutuhan air yang banyak (Pratama 2008).

Penggilingan jagung kering menurut Nobel dan Andrizal (2003) menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibanding tepung dari hasil penggilingan basah, karena pada penggilingan basah banyak komponen jagung yang terbuang pada saat proses pembersihan dan pencucian. Selain itu tepung jagung dari penggilingan kering dapat menghasilkan tepung yang bisa disimpan dalam bentuk kering dengan kadar air 14% (kadar air yang aman dari kerusakan karena mikrobiologi).

Pati Jagung

Pati merupakan komponen terbesar pada biji jagung (54,1–71,7%) (Richana dan Suarni, 2007). Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama

(5)

 

pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu (Tabel 1). Pada tepung jagung komposisinya masih lengkap sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian.

Tabel 1. Perbandingan Sifat Pati Jagung dan Tepung Jagung

Parameter Satuan Pati jagung * Tepung jagung**

Kadar air % 10.21 10.9 Kadar protein (b/b) % 0.56 5.8 Kadar abu % 0.05 0.4 Kadar lemak (b/b) % 0.68 0.9 Karbohidrat by difference % 88.5 82.0 Kandungan pati % 98.01 68.2 PH (5% suspensi) - 5.18 - Residu SO2 Ppm 9.21 -

Lolos ayakan 100 mesh % 99.81 -

Viskositas Cps 900 -

Serat % - 7.8

Sumber: *) PT. Suba Indah Tbk (2004) **) Juniawati (2003)

Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman 1976). Sampai saat ini diduga bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati.

Granula pati jagung memiliki diameter berkisar antara 21–96 μm, kentang 15–10 μm, ubi jalar 15–55 μm, tapioka 6–36 μm, gandum 3–38 μm, dan beras 3– 9 μm (Fennema 1996). Granula pati yang lebih kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar ( Richana dan Suarni 2007).

(6)

 

Ukuran granula pati mempengaruhi sifat ketahanan panas dari pati yang akan berhubungan dengan suhu awal gelatinisasi. Granula pati dengan ukuran lebih besar lebih tahan terhadap panas dibandingkan granula pati berukuran kecil, sehingga menurut Wirakartakusumah (1981), pati dengan ukuran kecil memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih rendah. Ukuran granula pati jagung adalah 15 µm, sedangkan granula pati beras memiliki ukuran yang lebih kecil dari granula pati jagung (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Granula Pati

Jenis pati Ukuran granula (µm) Bentuk granula

Padi 3-8 Poligonal

Gandum 20-35 Lentikular atau bulat

Jagung 15 Polihedral atau bulat

Sorgum 25 Bulat

Rye 28 Lentikular atau bulat

Barley 20-25 Bulat atau elips

Sumber: Hoseney (1998).

Menurut Pomeranz (1973) yang dikutip oleh Muchtadi dan Sugiyono (1998), suhu gelatinisasi jagung sedikit lebih tinggi dibandingkan beras. Selain ukuran granula pati, keseragaman ukuran partikel pati atau tepung dapat mempengaruhi suhu gelatinisai. Hal tersebut dikarenakan ukuran partikel pati atau tepung yang lebih kecil akan menyerap air lebih cepat dibandingkan yang lebih besar. Apabila pati atau tepung diaplikasikan menjadi produk seperti pasta, maka keseragaman ukuran sangat dibutuhkan karena akan mempengaruhi karakteristik fisik dari produk tersebut. Perbedaan ukuran granula tersebut menurut Faridi dan Faubion (1995), dapat menyebabkan terbentuknya noda berwarna putih karena ukuran granula yang lebih besar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyerap air, dimana bagian granula yang tidak menyerap air akan membentuk noda berwarna putih.

Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak. Pati jagung menurut Swinkles (1985) yang dikutip oleh Fahmi (2007) terdiri dari 28% amilosa dan 72% amilopektin. Steven dan Elton (1971) yang dikutip oleh Afdi (1989),

(7)

 

melaporkan bahwa kebutuhan panas pada proses gelatinisasi berbeda-beda tergantung pada perbandingan fraksi linier (amilosa) dan fraksi bercabang (amilopektin). Kebutuhan panas dari pati jagung dengan kandungan amilosa 25% (jagung normal) dan 100% amilopektin (waxy corn) dengan perbandingan air–pati 1 : 2, masing-masing adalah 3,6 kal/g untuk pati jagung normal dan 4,9 kal/g untuk pati “waxy corn”.

Dibanding sumber pati lain, jagung mempunyai beragam jenis pati, mulai dari amilopektin rendah sampai tinggi. Jagung dapat digolongkan menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya, yaitu jenis normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20% amilopektin atau 40-70% amilosa, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati (Afdi 1989).

Pati yang memiliki kandungan amilosa yang tinggi sangat sukar menggelatinisasi karena molekul amilosa cenderung berada dalam posisi sejajar, sehingga gugus-gugus hidroksilnya dapat berikatan dengan bebas dan pati akan membentuk kristal agregat yang kuat (Anonim 1983 yang dikutip oleh Fardiaz dan Afdi 1989). Sebaliknya, pati yang memiliki komponen amilopektin tinggi sangat sukar untuk berikatan sesamanya karena rantainya bercabang, sehingga pati yang amilopektinnya tinggi sangat mudah mengalami gelatinisasi tetapi viskositasnya tidak stabil.

Sifat pati jagung seperti halnya pati lainnya dimana dalam bentuk alaminya memiliki kestabilan tekstur yang baik dalam sistem pangan, tetapi memiliki ketahanan yang rendah terhadap proses pengadukan dan proses yang melibatkan panas serta memiliki keterbatasan untuk mengalami retrogrdasi (Singh

et al 2007). Oleh sebab itu pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya

mengalami pencetakan. Sifat pati jagung lainnya adalah tidak dapat membentuk gel yang kaku kecuali pada kosentrasi yang tinggi (Belitz dan Grosch 1999), sehingga pati tidak bisa meghasilkan produk yang kuat dan kompak.

Kualitas mi yang diperoleh dari pati jagung menurut Singh et al (2002) memiliki nilai kelengketan yang lebih tinggi dibanding pati kentang dari beberapa varietas. Oleh karena itu sifat dan karakteristik pati jagung dalam bentuk alaminya

(8)

 

sulit untuk digunakan dalam proses pembuatan mi baik sebagai bahan baku maupun sebagai bahan pensubstitusi.

Karakter Pati untuk Produk Mi

Sifat fungsional pati akan sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena sifat fungsional ini berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi.

Menurut Lii dan Chang (1981) yang dikutip oleh Collado et al (2001), pati yang ideal untuk mi adalah pati yang memiliki swelling power dan solubility yang terbatas dan memiliki kurva viskositas brabender tipe C.

Menurut Schoch dan Maywald (1968) yang dikutip oleh Purwani dan Widianingrum (2006) penggolongan pasta pati dibagi menjadi 4 yaitu tipe A, tipe B, tipe C dan tipe D. Tipe A adalah tipe pasta yang mengalami pembengkakan yang tinggi dengan memperlihatkan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran dengan cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter pembengkakan yang sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Tipe C adalah pasta yang memiliki sifat dengan pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimum namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan sulit mengental pada saat dengan konsentrasi yang normal.

Selain itu karakter pati yang baik untuk mi adalah pati dengan viskositas yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta persen sineresis yang rendah (Sung and Stone 2004; Chen et al 2003), memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah dan cepat mengalami retrogradasi (Tam et al 2004).

Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakter seperti yang disebutkan diatas memiliki kualitas cooking loss yang rendah, untaian mi yang kuat dan kompak, elastis serta kelengketan yang rendah (Collado et al 2001; Singh et al 2002 ; Chen dan Voragen 2003; Sung and Stone 2004 ; Purwani et al 2006).

(9)

 

Untuk memperoleh karakter pati yang baik untuk diaplikasikan ke dalam produk mi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi pati tersebut. Salah satu metode modifikasi yang dapat menghasilkan karakter pati yang sesuai untuk produk mi adalah metode modifikasi HMT (Collado et al 2001 ; Purwani et al 2006).

Modifikasi Pati Metode HMT (Heat-Moisture Treatment)

Modifikasi pati adalah proses yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat lainnya (Glicksman 1969 yang dikutip oleh Subekti 2008). Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul.

Terdapat beberapa teknik modifikasi pati yang dapat dikelompokkan ke dalam modifikasi secara fisik, kimia dan konversi. Modifikasi pati dengan Heat

Moisture Treatment (HMT) dan pregelatinisasi termasuk teknik modifikasi secara

fisik. Modifikasi secara kimia di antaranya adalah teknik eterifikasi, esterifikasi, ikatan silang (cross-linking), sedangkan modifikasi konversi di antaranya adalah hidrolisis dengan asam secara parsial, hidrolisis enzimatik secara parsial, alkalinasi, oksidasi dan dekstrinisasi. Metode modifikasi ini dapat dilakukan secara tunggal baik secara kimia maupun konversi dan juga kombinasi antara keduanya. Masing-masing metode modifikasi tersebut akan menghasilkan karakteristik pati termodifikasi yang berbeda-beda dan ditujukan untuk proses pengolahan tertentu sesuai dengan kebutuhan proses dan penyimpanan produk (Singh et al 2007).

Metode modifikasi pati yang dipilih untuk dapat menghasilkan kriteria pati yang dapat diaplikasikan ke produk mi adalah metode HMT. Teknik modifikasi pati HMT dilakukan dengan cara perlakuan pemanasan pati pada suhu tinggi (80-120oC) dalam kondisi kadar yang yang dikontrol (35% atau lebih rendah) (Collado et al 2001). Modifikasi pati dengan HMT menyebabkan perubahan

(10)

 

struktur kristal pati, dimana kristal pati menjadi lebih resisten terhadap proses gelatinisasi (Stute 1992).

Metode modifikasi HMT dapat menurunkan nilai viskositas maksimum, mengurangi viskositas breakdown dan memiliki viskositas akhir yang tinggi serta menghasilkan pati dengan nilai swelling power dan solubility yang terbatas. (Collado and Corke 1999; Collado et al 2001; Gunaratne and Corke 2007; Pukkahutta et al 2008).

Penurunan viskositas maksimum pada pati HMT disebabkan karena modifikasi ini menyebabkan swelling power pati menjadi terbatas dan mengurangi

leaching amilosa sehingga suhu gelatinisasi yang dibutuhkan lebih tinggi dan

viskositas maksimum menjadi lebih rendah. Selain itu, pati hasil modifikasi HMT memiliki pasta yang lebih stabil dibanding pati alami. Kestabilan ini dapat ditunjukkan oleh viskositas breakdown pati HMT yang rendah dibanding pati alaminya. Semakin kecil nilai viskositas breakdown semakin stabil pati tersebut terhadap proses pemanasan dan pengadukan (Gunaratne and Corke 2007).

Pada akhir proses gelatinisasi, pati akan mengalami pendinginan sehingga membentuk gel. Modifikasi HMT menyebabkan pati mengalami peningkatan nilai viskositas akhir dan viskositas setback kecuali pati jagung standar dan waxy maize (Gunaratne and Corke 2007; Pukahutta et al 2007). Hal ini disebabkan karena rantai linier amilosa yang berkumpul kembali dengan cepat melalui formasi pembentukan gel.

Rasio puncak viskositas dengan viskositas akhir yang tinggi pada viskoamilograf menurut Collado et al (2001) sangat berpengaruh terhadap kekerasan mi. Selain itu juga pati yang cenderung cepat mengalami retrogradasi atau nilai viskositas akhir yang tinggi juga sangat baik untuk kualitas akhir produk mi.

Hoover dan Vasanthan (1994) melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan mengurangi proses leaching amilosa. Berkurangnya leaching amilosa ini akan mengurangi kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) pada produk mi. Selain itu metode HMT mempengaruhi penyusunan kembali molekul pati antara amilosa–amilosa dan amilosa–

(11)

 

amilopektin, dan memperkuat ikatan dalam pati (Franco et al 1995 yang dikutip oleh Hoover dan Gunaratne 2002;Shin et al 2004).

Purwani et al (2006) melaporkan bahwa penggunaan pati sagu yang dimodifikasi dengan HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan memodifikasi pola gelatinisasi pati sagu. Penggunaan sagu HMT dalam mi menghasilkan mi yang dapat diperbaiki sifat firmness dan elastisitasnya, serta mengurangi kelengketan mi dan (KPAP)/cooking loss.

Perubahan sifat fisikokimia pati lainnya akibat modifikasi HMT menurut Collado et al (2001) adalah memiliki gel viskoelastik yang pendek dan kemampuan mengembang (swelling) yang terbatas dibandingkan pati tanpa modifikasi. Collado et al (2001) juga melaporkan bahwa pati HMT menghasilkan sifat fisik mi tidak lengket.

Mi Jagung dan Teknologi Prosesnya

Mi merupakan salah satu jenis produk pasta yang sudah dikenal oleh masyarakat dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Produk mi menurut Suyanti (2008) terdiri dari empat jenis yaitu mi segar, mi basah, mi kering, dan mi instan. Mi segar adalah mi dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35% dengan daya simpan 50–60 jam dalam refrigator. Mi basah adalah mi yang mengalami proses perebusan setelah pemotongan. Kadar air mi ini mencapai 52 % sehingga masa simpannya sangat singkat (40 jam) pada suhu 28 – 300C. Mi kering adalah mi segar yang dikeringan dengan kadar air

sekitar 8 - 10%) sedangkan mi instan (instan fried noodle) adalah mi matang yang dikeringkan dengan cara digoreng maupun dengan aliran udara panas.

Proses produksi mi segar, mi basah, mi kering dan mi instan dapat dilihat pada Gambar 3. Proses produksi mi kering mencakup tahapan proses formulasi bahan (terigu dan bahan tambahan berupa air, garam, telur dan larutan alkali), pembentukan lembaran adonan (sheeting), pembentukan untaian mi, pengukusan, pemotongan, dan pengeringan. Untuk produksi mi instan, proses pengeringan diganti dengan proses penggorengan, sedangkan untuk mi segar tidak dilakukan proses pengeringan setelah pembentukan untaian mi, tetapi biasanya langsung

(12)

 

dikemas. Mi basah adalah mi mentah yang direbus dan dipupuri dengan minyak (Suyanti 2008).

Gambar 3. Teknologi Proses Produksi Mi (Suyanti 2008)

Tepung jagung dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menggantikan sebagian atau semua tepung terigu dalam produksi mi. Penggunaan tepung jagung dalam mi memiliki keunggulan, yaitu: (a) dapat mengurangi biaya bahan baku dan produksi; (b) mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku terigu; (c) memberikan keunggulan terhadap mi, yaitu tanpa penggunaan pewarna sintetis dan adanya kandungan beta karoten. Mi jagung yang dihasilkan dari 100% tepung jagung berwarna lebih kuning dibandingkan mi terigu atau mi substitusi, karena kandungan beta karoten dalam mi jagung lebih banyak (Kusnandar et al 2008).

Perebusan Pengukusan Pemotongan (slitting) Pembentukan lembaran (sheeting) Pencampuran dan Pengistirahatan adonan Pendinginan Penggorengan Pemberian minyak Pendinginan Pendinginan Pengeringan

Terigu ‐ Garam - Air

‐ Telur - Alkali

(13)

 

Penggunaan tepung jagung dalam mi akan dibatasi oleh karakteristik fungsional tepung jagung, terutama disebabkan oleh kandungan protein gluten yang rendah dan karakteristik protein tepung jagung tidak mengandung protein gliadin dan glutenin sebagaimana pada tepung gandum yang bertindak sebagai pengikat untuk membentuk tekstur adonan yang elastic-cohesive (Juniawati, 2003; Budiyah, 2005).

Protein total endosperm dalam jagung sebagian besar terdiri atas zein yang untuk membentuk massa yang elastic-cohesive memerlukan proses pregelatinisasi sehingga terbentuk pati tergelatinisasi. Oleh karena itu pada penelitian sebelumnya pembuatan mi dari tepung jagung sering dilakukan dengan cara disubstitusi dengan tepung lain yang memiliki kandungan gluten (Budiyah 2005). Selain kandungan dan komposisi protein gluten yang kurang sesuai, komposisi polimer jagung mengandung sekitar 80% amilosa dan 20% amilopektin. Hal ini menyebabkan kualitas mi jagung memiliki adonan dengan sifat agak rapuh.

Sebagai konsekuensinya, teknologi proses mi yang sudah ada di industri mi tidak bisa langsung diadopsi untuk memproduksi 100% mi jagung, karena harus menambah satu tahap proses pengukusan di antara tahap pencampuran bahan dan proses sheeting. Alternatif lain dari proses produksi mi jagung adalah dengan teknologi ekstrusi. Teknologi ekstrusi biasanya digunakan untuk memproduksi bihun atau soun (Kusnandar et al 2008).

Dalam pembuatan mi jagung dengan bahan pati kasar, ukuran partikel pati kasar akan berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Voragen (2003) menjelaskan bahwa, ukuran granula pati juga mempengaruhi proses pengolahan produk mi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pati ubi jalar yang ukuran granulanya kurang dari 20 µm (ukuran kecil) memberikan mutu mi yang lebih baik dibandingkan dari pati yang berukuran lebih besar dari 20 µm (ukuran besar). Selain itu juga ukuran granula pati yang kecil akan menghasilkan untaian mi yang lebih panjang. KPAP dan daya kembang mi dari pati yang berukuran kecil juga lebih baik dari yang berukuran besar dan lebih transparan. Hodge dan Osman (1976) yang dikutip oleh Juniawati (2003) melaporkan bahwa ukuran granula pati jagung adalah sekitar 15 µm.

(14)

 

Teknologi proses pembuatan mi jagung hampir sama dengan proses produksi mi secara umum, akan tetapi ada beberapa proses yang harus dilakukan dan tidak dilakukan pada mi terigu. Proses itu berupa pengukusan sebagian tepung jagung (70%) (Putra 2008). Prosentasi bagian tepung yag dikukus ini sebelumnya telah diujicoba dari 100-70% oleh Putra (2008) dan hasilnya bahwa 70% menghasilkan adonan yang tidak lengket pada roller mesin sheeting.

Pengukusan (Gambar 4) sebagian tepung ini diperlukan untuk mengatasi kesulitan pembentukan lembaran adonan, yaitu dengan mengandalkan pati jagung tergelatinisasi sebagai perekat (binding agent) selama proses sheeting. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka adonan tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum (Soraya, 2006).

Gambar 4. Proses pengukusan adonan menggunakan steam blancher Secara umum, proses produksi mi jagung dengan teknologi sheeting mencakup tahapan formulasi bahan, pengukusan untuk menggelatinisasi sebagian tepung jagung (70% dari total tepung), pencampuran antara formulasi bahan yang tidak digelatinisasi dengan tepung gelatinisasi (mixing), pembentukan lembaran adonan dan untaian mi (sheeting dan slitting), pengukusan, dan pengeringan (Putra 2008).

(15)

 

Tahap formulasi bahan adalah tahap penentuan komposisi bahan yang akan digunakan dalam proses pembuatan mi jagung yang terdiri dari tepung jagung, air, garam meja dan guar gum. Proses pencampuran semua bahan ini harus dilakukan secara merata agar proses hidrasi air dengan tepung berlangsung merata sehingga membentuk adonan yang cukup kadar air. Pencampuran yang kurang sempurna akan menghasilkan lembaran adonan yang kurang baik (Putra 2008).

Untuk mendapatkan adonan yang baik, faktor lain yang juga ikut mempengaruhi adalah jumlah air yang ditambahkan. Garam diperlukan dalam jumlah sedikit, karena adonan setelah bercampur air garam akan memiliki sifat fungsional yang penting, yaitu sebagai penguat tekstur dan penguat flavor serta meningkatkan elstisitas dan fleksibilitas mi (Juniawati 2008). Selain itu menurut Astawan (1999) yang dikutip oleh Indriani (2005) garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim amylase sehingga mi tidak lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.

Pengukusan adonan dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit. Pengurangan waktu pengukusan menyebabkan lembaran yang dihasilkan rapuh dan mudah sobek. Proses pregelatinisasi yang tepat akan menghasilkan gelatinisasi yang cukup dengan pati tergelatinisasi menjadi zat pengikat antar granula pati di dalam adonan (Susilawati 2007 yang dikutip oleh Putra 2008).

Pembentukan lembaran mendasari optimasi proses sesudah pengukusan. Optimasi proses dilakukan dengan menambahkan tahapan proses baru, yaitu penggilingan (grinding). Penggilingan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi Hal ini menyebabkan lebih banyak amilosa yang keluar dari granula pati dan berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan. Selain itu, penggilingan juga menyebabkan kompresi terhadap adonan meningkat. Kompresi menyebabkan adonan lebih kompak dan mudah dibentuk menjadi lembaran (Putra 2008).

Kompresi yang dihasilkan dari penggilingan menggunakan grinding mampu meningkatkan sifat cohesiveness adonan. Sifat ini memudahkan penanganan adonan saat sheeting. Besarnya kompresi yang diberikan saat penggilingan sebanding dengan peningkatan sifat cohesiveness (Putra 2008).

(16)

 

Dalam proses pembentukan lembaran, adonan dimasukkan ke dalam roll

press sehingga membentuk lembaran. Saat proses pembentukan lembaran,

lembaran adonan ditarik ke satu arah sehingga serat-seratnya sejajar. Menurut Astawan (2005), serat yang halus dan searah menghasilkan mi yang halus, kenyal, dan cukup elastis. Mikrostruktur adonan selama pengepresan menyebabkan partikel endosperma bercampur menyusun matriks dari protein sehingga menjadi lebih homogen (Kruger 1996 yang dikutip oleh Putra 2008)).

Pada saat adonan mencapai roller terakhir, adonan yang pada awalnya memiliki ketebalan 0,30 cm dan roll pertama, direntangkan sampai mencapai lembaran adonan yang tipis yang siap untuk mengalami proses pengirisan memanjang (slitting), dengan ketebalan 0,12 cm (Putra 2008).

Untaian mi yang telah terbentuk selanjunya dikukus lagi selama 20 menit pada suhu 95oC (Putra 2008). Pengukusan untaian mi ini bertujuan untuk menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak. Menurut Astawan (2005), proses gelatinisasi ini dapat menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang memberikan kelembutan pada mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi, serta terjadi perubahan pati beta menjadi pati alfa yang lebih mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mi kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) sampai kadar air sekitar 11-12%. Selain itu, proses ini menghasilkan mi yang kompak dengan tekstur yang lebih lembut, kenyal, basah, lunak, dan warnanya menjadi lebih kuning (Merdiyanti 2008).

Parameter mutu mi dapat dilihat dari mutu fisik, kimia dan organoleptik. Mi kering yang bermutu baik (sebelum dimasak) memiliki tekstur yang kuat (tidak rapuh/mudah patah), permukaan yang halus dan warna kuning yang seragam. Apabila dimasak (direbus dalam air), mi cepat mengalami rehidrasi (untuk mi instan kurang dari 3 menit), tidak hancur/larut dalam air rebusan (cooking loss rendah, yaitu <2%), tidak lengket, cukup elastis, dan tidak terlalu mengembang (Putra 2008; Chen dan Voragen 2003).

Produk mi yang berbahan dasar jagung merupakan produk yang memiliki peluang besar untuk diterima oleh kosumen karena menurut Juniawati (2003), dari

(17)

 

hasil preferensi konsumen, 84% panelis menyatakan bahwa produk mi jagung instan dapat menggantikan produk mi instan yang sudah ada di pasaran dan hanya 16% panelis yang menyatakan bahwa produk mi jagung instan tidak dapat menggantikan tetapi dapat memperkaya produk mi instan.

Menurut Juniawati (2003), mi jagung mengandung nilai gizi yang baik, yaitu menyumbangkan sekitar 360 kalori/kemasan. Tingginya nilai energi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung instan jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan, disebabkan tidak adanya proses penggorengan. Mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna seperti halnya mi terigu instan. Pewarna kuning yang biasa digunakan dalam pengolahan mi terigu instan adalah tartrazine. Pada pembuatan mi jagung instan warna kuning yang dihasilkan merupakan warna alami yang disebabkan karena pigmen kuning pada jagung yaitu beta karoten, lutein, dan xanthin. Keunggulan-keunggulan tersebut dapat menjadi nilai jual dan promosi mi jagung. Pengembangan produk mi basah berbahan baku tepung jagung diharapkan dapat diterapkan di industri kecil di sentra-sentra produksi jagung.

Juniawati (2003) membuat mi jagung instan dari bahan tepung jagung. Pada penelitian ini dilakukan penentuan formulasi yang akan dioptimasi. Tepung jagung, air, garam 1% adalah formulasi mi jagung instan yang akan dibuat. Perbandingan tepung jagung dengan air yang digunakan adalah 4 : 3 sampai dengan 1 : 1,25. Waktu pengukusan pertama dilakukan mulai dari 10 menit

sampai dengan 50 menit. Dari kesemua proses dan formulasi yang dilakukan dihasilkan desain proses yang terbaik berupa perbandingan tepung jagung dan air sebesar 1:1, dengan penggunaan waktu pengukusan pertama selama 10 menit dan pengukusan kedua selama 30 menit. Pengukusan selama 10 menit ini didukung oleh penggunaan baking powder yang dapat mempersingkat waktu pengukusan pertama. Hal ini disebabkan dengan penambahan baking powder maka penetrasi panas yang diterima oleh bahan lebih cepat sehingga proses gelatinisasi pun dapat berlangsung lebih cepat.

(18)

 

Budiyah (2004) melakukan penelitian mi jagung instan dengan memodifikasi formulasi dari penelitian Juniawati (2003). Dalam penelitian ini tepung jagung digantikan dengan tepung maizena dan gluten meal. Beberapa parameter proses juga diubah untuk mendapatkan hasil yang optimal misalnya pada jumlah air yang ditambahkan, kendali waktu pengukusan, serta ditambahkannya bahan pengikat lain berupa CMC. Formulasi terbaik yang dihasilkan berupa perbandingan air dengan pati dan CGM (Corn Gluten Meal) 3: 4 dan penambahan CMC sebesar 1%. Formulasi ini menghasilkan adonan yang mudah diuleni, hasil rehidrasi bagus, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) sedikit, mi tidak terlalu kenyal. Proses pembuatannya dilakukan pencampuran pati yang tergelatinisasi dengan pati yang tidak tergelatinisasi.

Fadlillah (2005) mencoba memodifikasi penelitian Budiyah (2004) berupa pengukusan seluruh bagian adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Selain itu dilakukan penambahan protein gluten terigu tetap dikombinasikan dengan penambahan CGM, dengan total penambahan 10% dari adonan serta penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan KPAP.

Rianto (2006) melakukan penelitian pembuatan mi basah jagung. Pada penelitian ini formula mi basah yang akan dioptimasi terdiri atas tepung jagung 100 gram, air 30 ml, garam 1% (1gram), dan baking powder 0,3% (0,3 gram). Adonan yang dihasilkan pada penambahan air 30 ml memiliki sifat mudah dibentuk menjadi lembaran mi, tidak lengket dan untaian mi yang dihasilkan seragam. Hasil pengukuran sifat fisik mi basah menunjukkan bahwa mi basah jagung dengan formula dan desain proses terbaik pada penelitian ini adalah mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit. Hal ini didasarkan pada karakteristik mi basah matang yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lengket, memiliki nilai KPAP yang terkecil dan nilai elongasi yang cukup besar.

Soraya (2006) melakukan penelitian pembuatan mi jagung basah yang memodifikasi proses dengan mencampurkan tepung terpregelatinisasi dengan tepung yang tidak terpregelatinisasi. Perbandingan yang optimum adalah 70:30. Pada level ini adonan tidak lengket di mesin mi dan mi yang dihasilkan tidak mudah patah. Selain itu waktu perebusan yang optimum adalah 1.5 menit dan

(19)

 

penambahan guar gum sebesar 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss mi jagung.

Kurniawati (2006) melakukan penelitian mi jagung basah yang menggunakan bahan dari pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Pada penelitian ini dilakukan modifikasi proses seperti yang dilakukan oleh Budiyah (2004) dengan mencampurkan pati yang tergelatinisasi dan pati yang tidak tergelatinisasi. Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan yang optimum pada penelitian ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2.5 menit. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan (garam, baking powder) kedalam pati yang digelatinisasi. Upaya perbaikan karakteristik fisik (elongasi mi) dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh substitusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan penambahan guar gum 1%.

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa mi jagung yang dihasilkan kualitasnya masih kurang baik diantaranya nilai kelengketan dan cooking loss/KPAP ( + 8 – 9%) yang tinggi (Putra 2008) tekstur mi yang kurang kenyal (Budiyah 2004), untaian mi rapuh dan mudah patah (Merdiyanti 2008).

Oleh sebab itu substitusi sebagian tepung jagung dengan pati jagung modifikasi HMT diharapkan dapat memperbaiki kualitas mi yang dihasilkan. Penggunaan pati HMT dalam produk mi dapat mengurangi KPAP, meningkatkan elastisitas, mengurangi kelengketan serta menghasilkan untaian mi yang kuat dan kompak (Collado et al 2001; Purwani et al 2006).

(20)

 

Proses Penggandaan Skala

Peningkatan skala adalah suatu studi yang mengolah dan menggunakan data hasil percobaan laboratorium atau percobaan skala pilot plant untuk merancang proses alat/mesin yang akan digunakan dengan skala pabrik (Aiba 1973).

Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu : (1) skala laboratorium, (2) skala pilot plant, (3) skala industri. Skala pilot plant merupakan skala untuk mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi secara komersial atau industrialisasi (Valentas et al 1991)

Peningkatan skala (scale up) merupakan salah satu target penelitian yang mempunyai arah industri, selain itu juga merupakan kunci penghubung antar laboratorium dengan industri. Peningkatan skala pada proses modifikasi pati jagung dengan metode HMT adakah suatu tindakan untuk membuat hasil proses (pati) memiliki karakter yang identik dengan karakter pati pada skala laboratorium pada laju tingkat produksi yang lebih besar dari perencanaan yang sebelumnya telah teruji baik (skala laboratorium). Dalam hal ini tersirat peningkatan produksi akan dilakukan dengan peralatan yang secara fisik lebih besar dari pada yang digunakan sebelumnya (Valentas et al 1991).

Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan parameter proses yang bersifat bebas, tidak terpengaruh oleh ukuran (skala) proses, yang pada umumnya melibatkan lebih dari satu skala proses. Perubahan skala proses secara kuantitas dan mekanik seperti jumlah bahan baku dan alat yang digunakan akan berpengaruh terhadap transfer panas atau terhadap tenaga. Sistem secara fisik dan obyek material pada dasarnya dicirikan oleh 3 kualitas, yaitu ukuran, bentuk dan komposisi. Kemiripan yang penting dalam peningkatan skala proses dan peralatan pangan adalah : kemiripan geometri, mekanika, termal dan kimiawi (Valentas et al 1991).

     

Gambar

Gambar 1. Jenis-jenis jagung berdasarkan kandungan endosperma  (Dickerson, 2003)
Gambar 2. Anatomi Biji Jagung (WSI 1997)
Tabel 1. Perbandingan Sifat Pati Jagung dan Tepung Jagung
Gambar 3. Teknologi Proses Produksi Mi (Suyanti 2008)
+2

Referensi

Dokumen terkait

7 adalah penyebaran informasi dan pengetahuan tentang konsep budidaya padi dengan vermicompost (kascing) dan budidaya cacing tanah sebagai bahan pasokan pupuk

Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan simulasi Computational Fluid Dynamics secara 3 dimensi pada susunan lube oil cooler seri dan paralel untuk

• Melalui Whattsapp group, Zoom, Google Classroom, Telegram atau media daring lainnya, Peserta didik mempresentasikan hasil kerjanya kemudian ditanggapi peserta didik yang lainnya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat pengaruh yang positif dan signifikan (secara parsial) Minat Belajar terhadap Prestasi Belajar siswa kelas X

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-3/W1, 2014 EuroCOW 2014, the European Calibration and Orientation

Parameter dalam penelitian ini adalah kadar asam laktat, pH, kadar gula reduksi, kadar air dan organoleptik fruitghurt dari lapisan putih (mesocarp) kulit buah semangka (

membuat struktur pembiayaannya terlebih dahulu. Dalam struktur pembiayaan tersebut telah diketahui margin yang akan diambil oleh LKS, jumlah dana pembiayaan