14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana berisi tentang karakteristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. pemahaman mengenai pengertian dari tindak pidana ini penting tidak hanya untuk kepentingan akademis melainkan juga dalam rangka pembangunan kesadaran hukum di dalam masyarakat dapat berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh hukum (pidana), jika pedoman tingkah laku tidak dipahami.16
Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisi dari tindak pidana. Pengertian tindak pidana dipahami sejauh ini merupakan kajian teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana pada umumnya cenderung memasukan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Dua ahli hukum pidana Simons dan Van Hammel juga mendifinisikan tindak pidana dengan memasukan unsur kesalahan yang pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana baik Indonesia maupun Belanda hingga saat ini.
Simon mengatakan bawasannya strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan
16 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan,Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2006), halaman 25.
15 kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.17 Sedangkan Van Hammel mengemukakan bahwa
strafbaarfeit adalah kelakuan seseorang yang dirumuskan dalam Undang-Undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana, dilakukan dengan kesalahan.18 Dari dua pengertian tersebut, keduanya memasukan kesalahan
dalam pengertian tindak pidana. Maka dari itu, suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika didalamnya dirumuskan mengenai kesalahan.
Pengaruh pandangan yang diberikan oleh para ahli hukum Belanda tersebut, membuat umumnya diikuti oleh ahli-ahli hukum pidana Indonesia, termasuk generasi sekarang.Komariah E. Sapradjaja misalnya mengatakan, “tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.”19 Hal yang sama juga dirumuskan oleh
Indriyanto Seno Adji. Dikatakanya, “tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatanya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya.”20
Tindak pidana merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata tersebut belum ada keseragaman dalam penggunaan istilahnya, seperti Moeljatno menerjemahkan kata 17 Tongat, Op. Cit., Halaman 92
18 Ibid.
19 Komariah E. Sapradjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia;
studi kasus tentang penerapan dan perkembanganya dalam yurisprudensi, (Bandung : Alumni, 2002), halaman 22.
20 Indriyanto Seno aji, Korupsi dan Hukum Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan
16 strafbaarfeit sebagai “perbuatan pidana”, H.J Van Schravendijk menggunakan istilah “perbuaatan yang boleh dihukum”, dan Andi Zainal Abidin menggunakan istilah “Delik”.21 Namun pada hakikatnya, berbagai
istilah tersebut tidak menjadi persoalan sepanjang penggunaan kata tersebut disesuaikan pada konteks dan pemahaman dari maknanya.
Bertolak pada pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa strafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian kata “feit” mengandung arti dari kelakuan atau tingkah laku. Kemudian, bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang melakukan kelakuan tersebut.22
Kata strafbaarfeit diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “tindak pidana” yang diartikan berbeda-beda menurut doktrin hukum pidana yang dianut, yaitu pandangan monistis dan dualistis. Bagi aliran yang menganut pandangan monistis, yang dimaksudkan dengan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan kata lain seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Sedangkan bagi pandangan dualistis, seseorang yang melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana, karena pandangan dualistis hanya menunjuk pada sifat perbuatan, yakni sifat dilarangnya suatu perbuatan tersebut.
Artinya masih harus dilengkapi dengan adanya syarat kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Meskipun begitu, pada akhirnya untuk menentukan dijatuhkanya pidana kedua aliran ini tidak mempunyai 21 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, https://s3.amazonaws.com, diakses pada tanggal 05 Mar. 20
17 perbedaan prinsipil, hanya saja orang perlu menjelaskan dengan tegas tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana dengan memahami kedua doktrin hukum pidana ini.
Pada aliran monistis salah satu tokohnya adalah Simons23, yang
merumuskan bahwa tindak pidana ialah suatu perbuatan baik perbuatan positif (berbuat) atau negatif (tidak berbuat), yang melanggar hukum, diancam dengan pidana, dilakukan dengan kesalahan dan dianggap dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut aliran ini, strafbaarfeit keseluruhan syarat pidana melekat pada perbuatan pidana. Jadi tidak adanya pemisahkannya antara criminal act dan criminal responsibility.Sedangkan menurut aliran dualisme seperti Moeljatno24, merumuskan perbuatan pidana adalah perbuatan yang
melawan hukum dan diancam pidana, barangsiapa melanggar larangan aturan tersebut. Pada aliran dualisme ini, terdapat pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Jadi Moeljatno juga menegaskan untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan terjadinya tindak pidana tanpa adanya pertanggungjawaban pidana.
Pada dasarnya, kedua pandangan ini sama-sama mempersyaratkan untuk adanya pidana, harus ada criminal act dan criminal responsibility. Setiap tindak pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada
23 Ibid, halaman 95 24 Ibid, halaman 96.
18 dasarnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu unsur subjektif dan unsur objektif25
Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri manusia atau yang berhubungan dengan diri pelaku, termasuk segala sesuatu yang terkandung didalam batinnya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan suatu keadaan, yaitu keadaan dimana tindakan-tindakan seorang pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:26
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa). 2) Maksud atau voornement pada suatu percobaan atau poging
seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. 3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
5) Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1) Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid.
25 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),
halaman 183
19 2) Kualitas dari pelaku, misalnya “ keadaan sebagai seorang pegawai negeri “ di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 398 KUHP.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
B. Definisi Tentang Prostitusi B.1 Prostitusi / Pelacuran
Prostitusi atau pelacuran berasal dari bahasa latin yakni pro-stituere atau pro-stauree yang mempunyai arti membiarkan diri berbuat zina, melakukan percabulan, persundalan, dan pergendakan.27
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prostitusi mengandung makna suatu kesepakatan antara laki-laki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual, dimana pihak laki-laki membayar dengan sejumlah uang untuk pemenuhan keutuhan biologis yang diberikan pihak perempuan, biasanya dilakukan dilokalisasi, hotel, dan tempat lainnya.28
Perzinahan sendiri diatur didalam hukum positif kita yang berartikan sebagai perbuatan persetubuhan antara seseorang yang
27 Anitta, Analisis Kriminologis Tindak Pidana Prostitusi Online, (Malang: digilib.umm, 2016)
halaman, 17
20 telah berkeluarga dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya. Prostitusi menurut para ahli adalah :29
1) Menurut Bonger :
“Prostitusi adalah gejala sosial, dimana wanita menyerahkan dirinya untuk perbuatan seksualsebagai mata pencaharian”
2) Menurut Mundigno,
“Pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksual orang tersebut.”
3) Menurut Iwan,
“Pelacuran adalah suatu bentuk tertentu dari hubungan kelamin diluar pernikahan, dengan pola tertentu yaitu kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran, baik untuk persetubuhan, maupun kegiatan seksual lainnya memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan”
4) Menurut Soerjono Soekanto,
“Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah” 5) Menurut Commenge,
“Suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukannya untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang, dan wanita tersebut 29 Caswanto, Tindak Pidana Prostitusi Yang Diusahakan dan Disediakan Oleh Hotel Di
Indramayu Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, http://repository.unpas.ac.id, Diakses tanggal 03 Maret 20
21 tidak ada pencarian nafkah lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan orang banyak”.
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat diambil pengertian bawasannya prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual yang memperjualbelikan badan dan kehormatan untuk mendapatkan upah. Dalam hal ini, beberapa unsur yang dapat ditarik dari pengertian-pengertian prostitusi tersebut yaitu :30
a. Terdapat perbuatan, berupa penyerahan diri seorang wanita;
b. Menyerahkan diri kepada banyak laki-laki yang menginginkan persetubuhan dengannya; dan
c. Adanya upah atau bayaran atas perempuan yang diberikan oleh laki-laki tersebut;
B.2 Prostitusi Online
Prostitusi online atau prostitusi cyber adalah dua kata yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu prostitusi dan cyber. Prostitusi telah dijelaskan dalam pengertian diatas, yang pada intinya memberikan pengertian bentuk penyimpangan seksual yang memperjualbelikan badan dan kehormatan untuk mendapatkan upah. Sedangkan istilah cyber memaknai tempat dimana aktivitas dilakukan.
22 Cyber merupakan istilah yang digunakan seseorang untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan inter atau dunia maya. Maka prostitusi online atau prostitusi cyber adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual melalui dunia maya. 31 Kegiatan
tersebut dilakukan melalui media internet dengan sistem operasi di cyber space.
Prostitusi online merupakan perbuatan melawan hukum yang diatur didalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Mengenai prostitusi cyber ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut sebagai UU ITE, merumuskan perbuatan yang dilarang yaitu “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.32
Pada Pasal 1 Ayat (1) angka 1 UU ITE memberikan dasar bawasanya informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik yang termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik, telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah untuk 31 Dewi Bunga, Op.Cit., halaman 32
23 memiliki sebuah arti ataau yang dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.33
Kemudian, yang dimaksud dengan dokumen eletronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analogm digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.34
Sedangkan pengertian mengenai “melanggar kesusilaan”, tidak mudah untuk menetapkan batas-batas dari pengertian melanggar kesusilaan, khususnya istilah “kesusilaan” mempunyai arti yang sangat luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku didalamnya. Mengenai bentuk-bentuknya, tindak pidana kesusilaan sebagai kejahatan ditempatkan pada pasal 281 s/d 303 bis Bab XIV Buku II. Sedangkan pelanggaran kesusilaan pada pasal 532 s/d 544 Bab VI Buku III. Dalam praktiknya dapat menjadi persoalan hukum karena dalam pasal-pasal tersebut tidak diterangkan mengenai arti kesusilaan, dan banyaknya tindak pidana
33 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 Ayat
(1) angka 1.
34 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 Ayat
24 kesusilaan baik pelanggaran maupun kejahatan kesusilaan ancaman pidananya sangat beragam. 35
Jika merujuk pada pasal 281 angka 1 KUHP, berdasarkan pasal tersebut frasa “openbaar de eerbaarheid schendt”, banyak pakar hukum pidana menerjemahkannya menjadi “terbuka melanggar kesusilaan”. Frasa eerbaarheid schendt diterjemahkan sebagai “melanggar kesusilaan”, hal tersebut dipergunakan dalam pasal 281 angka 1 KUHP. Hal ini diterapkan pada Pasal 27 Ayat (1) UU ITE sebagai lex specialis dengan merujuk pada Pasal 281 angka 1 KUHP sebagai lex generalisnya.36
Apabila dikaitkan dengan peristiwa sebenarnya, pendapat diatas dikatakan tepat jika memanfaatkan teknologi informasi. Contohnya, seseorang yang membuat pengalaman pertama bersenggama dengan pacarnya melalui facebooknya, pada hal ini meskipun tidak ada seorangpun yang secara spesifik dirugikan, namun perbuatan tersebut bersifat melawan hukum berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, karena isinya melanggar kesusilaan. Sifat melawan hukum atas perbuatanya melekat pada isi dari Informasi Elektronik yang didalamnya melanggar kesusilaan37.
35 Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, (Malang:
Media Nusa Creative,2015), halaman 35.
36 Ibid, halaman 51. 37 Ibid, halaman 51-52
25
C. Pengaturan Prostitusi Dalam KUHP
Terkait Prostitusi sebagai tindak pidana konvensional, diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP, diantaranya sebagai berikut :
1) Pasal 296 KUHP.38
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
2) Pasal 506 KUHP.39
“Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”
D. Pengaturan Prostitusi Dalam UU ITE
Terkait larangan mengenai prostitusi online diatur didalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang ITE pada psal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
38 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 296 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 506
26 1) Pasal 27 Ayat (1).40
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
2) Pasal 45 Ayat (1)41
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
E. Penanggulan Tindak Pidana
Kebijakan penanggulangan kejahtan atau dapat disebut “politik kriminal” meliputi ruang lingkum yang luas. Menurut G. P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara :42
1) Penerapan hukum pidana (criminal law aplication);
2) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
3) Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing viewsof society on crime and punishment/mass media).
Dapat dikatakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu dengan jalur “penal” (hukum pidana) dan “non-penal” (diluar hukum pidana). Pada pembagian diatas, butir (2) dan (3) dimasukan dalam kategori upaya non-penal.
40 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 Ayat
(1)
41 Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45 Ayat(1)
42 Barda Nawawi Arief, Bunga Rumpai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2010)
27
E.1 Upaya Penal
Istilah “kebijakan hukum pidana” sering juga disebut sebagai strafrechtspolitiek dalam bahasa Belanda. Strafrechtspolitiek menurut Prof. Sudarto, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti berusaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 43
Dalam hal ini definisi dari penal policy menurut Marc Ancel44
menyatakan bahwa suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum posisitf dirumuskan secara lebih baik. Dalam definisi tersebut “peraturan hukum positif” maksudnya ialah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy” menurut Marc sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
Menurut A. Mulder kebijakan atau politik hukum pidana adalah : 45
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadi tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepas dari tujuan 43 Ibid., halaman 26
44 Ibid., halaman 27 45 Ibid.
28 penanggulangan kejahatan. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (law enforcement policy) dan juga, penanggulangan kejahatan melalui pembuatan hukum pidana juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare).
Maka dari itu kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social welfare). Social welfare diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahterahan masyarakat dan mencakup perlindungan masyarakat.46
Dalam menggunakan upaya penal, Nigel Walker mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain :47
a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;
b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan atau membahayakan; c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu
tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan;
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindakpidana itu sendiri;
e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
f. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapatkan dukungan kuat dari publik.
46 Ibid., halaman 28
47 Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana,
29
E.2 Upaya Non-Penal
Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur “penal”, lebih cenderung pada sifat “represive” (penindasan, pemberantasan/penumpasan), sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum terjadinya kejahatan.48
Mengingat bawasannya penanggulangan kejahatan “non-penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejatahan, maka sasaran utama dari upaya non-penal adalah masalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.49
Prof. Sudarto, pernah mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna, Pramuka, dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama, juga merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejatahatan.50 Penggarapan masalah
kesehatan jiwa/rohani sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan kejahatan, menjadi pusat perhatian pada Kongress
48 Barda Nawawi, Op.Cit. halaman 42 49 Ibid.
30 PBB No.3 Ke-6 Tahun 1980, mengenai “Effective Measure to Prevent Crime” yang menyatakan bahwa :51
1) That crime prevention is dependent on man himself (bahwa pencegahan kejahatan bergantung pada pribadi manusia itu sendiri)
2) that crime prevention stategies should be based on exalting the spirit of man and reinforcing his faith in his ability to do good (bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha membangkitkan/menaikkan semangat atau jiwa manusia dan usaha memperkuat kembali keyakinan akan kemampuannya untuk berbuat baik).
F. Faktor Yang Mempengaruhi Penanggulangan Tindak Pidana
Penanggulangan tindak pidana mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :52
1) Substansi hukum yang ditegakan; 2) Struktur para penegak hukum; dan 3) Kultur masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan kejahatan, menurut Soejono Soekanto dalam pelaksanaan penegakan hukum hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :53
1) Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri
Contohnya tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, kemudian belum adanya peraturan pelaksana yang dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, dan ketidakjelasan arti dari kata-kata di
51 Ibid., halaman 47
52 Elvia Marissa, Peran Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Berita
Bohong, http://digilib.unila.ac.id, diakses pada tanggal 08 Apr. 20, halaman 24.
53 Dwi Adhitya, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penganiayaan Pada Program Orientasi
Perguruan Tinggi Di Universitas Lampung, http://digilib.unila.ac.id, Diakses pada tanggal 08 Apr. 20 halaman 37.
31 dalam undang-undang tersebut yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran dan penerapannya.
2) Faktor penegak hukum
Yaitu para pihak yang membentuk maupun merapkan hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, sehingga sulit untuk membuat suatu proyeksi.
3) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Contohnya, dapat dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; dan yang macet, dilancarkan.
4) Faktor masyarakat
Yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor keuangan, psikis, sosial, atau politik, dan lainnya.
5) Faktor kebudayaan.
Yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam lingkungan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman, nilai jasmanni/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, nilai kelenggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
G. Tugas Yuridis POLRI Di Bidang Penegakan Hukum
Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara pada Pasal 1 menyatakan bahwa :54
1) Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri.
2) Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara.
Pasal 2 menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan pada Pasal 1, Kepolisian Negara mempunyai tugas :55
54 Dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian,
Pasal 1
32 Ayat (1) :
a. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; b. Mencegah dan memberantas menjalarnya
penyakit-penyakit masyarakat;
c. Memelihara keselamatan Negara terhadap gangguan dari dalam;
d. Memelihara keselamatan orang, benda, dan masyarakat termasuk memberi perlindungan dan pertolongan; dan e. Mengusahakan ketaatan warga-warga dan masyarakat
terhadap peraturan-peraturan Negara;
Ayat (2) : Dalam bidang peradilan mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara
Fungsi Aparat Kepolisian dalam menertibkan dan mengayomi masyarakat, diatur dalam Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, menyatakan bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, melindungi, mengayomi, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.56
Kemudian pada pasal 13, tugas pokok Kepolisian adalah :57
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarkat; b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada mayarakat.
Tugas POLRI pada intinya ada dua, yakni POLRI di bidang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum dibidang peradilan pidana (Dengan sarana penal) dan penegakan hukum dengan sarana non-penal.58
56 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 2 57 Ibid., Pasal 13