ISRÂ'ÎLIYYÂT DAN PENAFSIRAN BIAS JENDER: Kajian tentang Isu Penciptaan Perempuan dalam Tafsir al-Thabarî
TESIS
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister dalam ilmu-ilmu Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh: SYAMSUNI
NIM: 06.2.00.1.14.08.0090
Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, MA
Konsentrasi Ulûm al-Qur'ân
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PERSETUJUAN TIM PENGUJI
Tesis saudara Syamsuni (NIM. 06.2.00.1.14.08.0090) yang berjudul
Isrâ'îliyyât dan Penafsiran Bias Jender: Kajian tentang Isu Penciptaan Perempuan dalam Tafsir al-Thabarî telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada hari Selasa tanggal 10 Maret 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
TIM PENGUJI
Ketua Sidang/Merangkap Penguji,
Dr. Udjang Thalib, MA Tanggal: 13 Maret 2009
Pembimbing/Merangkap Penguji,
Dr. Yusuf Rahman, MA Tanggal: 13 Maret 2009
Penguji,
Dr. Abdul Chair Tanggal: 13 Maret 2009
Penguji,
Dr. Faizah Ali Sybramalisi Tanggal: 13 Maret 2009
ABSTRAK
Tesis ini membuktikan bahwa penggunaan riwayat-riwayat isrâ'îliyyât dalam penafsiran al-Qur'ân tidak sercara otomatis menghasilkan penafsiran yang bias jender. Dengan begitu riset ini pada dasarnya membantah kesimpulan yang menyatakan bahwa penafsiran yang bias jender dipengaruhi oleh penggunaan riwayat-riwayat
isrâ'îliyyât dalam penafsiran al-Qur'ân. Kesimpulan tersebut didukung oleh Riffat Hassan, Barbara Freyer Stowasser, Nasaruddin Umar, dan kalangan feminis muslim lainnya. Sebaliknya penelitian ini memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa
isrâ'îliyyât itu tidak berpengaruh terhadap penafsiran bias jender yang didukung oleh Abdul Mustaqim dan Quraish Shihab. Penafsiran tentang Hawa diciptakan dari Âdam yang bersumber dari riwayat-riwayat isrâ`îliyyât oleh para ulama klasik tidak dimaksudkan untuk memojokkan perempuan sebagaimana yang diasumsikan oleh kaum feminis muslim, itu hanya rekayasa untuk meligitimasi pendapat mereka sendiri, karena sebenarnya para ulama tidak pernah bermaksud demikian.
Dengan demikian, tesis ini menguatkan pendapat kedua dengan menunjukkan bukti bahwa al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) yang dikenal banyak memuat riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam fatwa hukumnyajusteru bersikap relatif liberal dan pro perempuan. Ia berpendapat tentang bolehnya perempuan untuk menjadi imam shalat bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki, dan untuk menjadi qâdhî.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran al-Thabarî tentang penciptaan perempuan dan riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang digunakannya. Sumber utama yang mendokumentasikan riwayat-riwayat isrâ`îliyyât
tersebut adalah karya al-Thabarî Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân. Semua riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang digunakan oleh al-Thabarî dalam menafsirkan ayat-ayat penciptaan perempuan dianalisis dengan cara memperhatikan komentar-komentarnya terhadap riwayat-riwayat itu, baik dalam bentuk kritik maupun apresiasinya. Kemudian dilihat pula korelasinya dengan penafsiran al-Thabarî terhadap ayat tersebut. Selanjutnya dibandingkan dengan penafsiran dari kalangan feminis muslim semisal Riffat Hasan dan Amina Wadud. Berikutnya penafsiran tersebut dianalisis dengan pendapat-pendapat hukum al-Thabarî tentang perempuan dan sikapnya terhadap riwayat-riwayat isrâ`îliyyât. Akhirnya diambil kesimpulan berdasarkan analisis semua data tersebut.
ABSTRACT
This thesis proves that the usage of isrâ'îliyyât in interpretation al-Qur'ân does not automatically yield to bias gender. This research concludes that interpretation is influenced by the usage of isrâ’îliyyât in interpretation of al-Qurân. This conclusion is supported by Riffat Hassan, Barbara Freyer Stowasser, Nasaruddin Umar, and other Muslim feminist circles. On the contrary this research strengthens the opinion that says that isrâ'îliyyât don't have an effect on bias-interpretation supported by Abdul Mustaqim and Muhammad Quraish Shihab. Interpretation concerning Hawa created from Âdam steming from isrâ`îliyyât by classic moslem scholars is not meant to marginalize woman as assumed by moslem feminist, because in fact moslem scholars have never meant that way.
Thereby this thesis strengthens the second opinion by discussing the interpretation of al-Thabarî, which known so much to introduce isrâîliyyât in his religious fatwas which relatively liberalizes women. He is of the opinion that a woman may be lead prayer for menfolk and women, and become qâdhî.
The Primary data that's used in this research is al-Thabarî's interpretation concerning creation of woman and histories isrâ`îliyyât used in it. Especial source which documents the histories isrâ`îliyyât the is masterpiece al-Thabarî Jâmi al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân. All isrâ`îliyyât used by al-Thabarî in interpreting the sentences creation of woman analysed by paying attention to some comments of that histories, either in the form of criticism or appreciation. It is then seen also their correlation with interpretation of al-Thabari to the sentence. After that, it compared to interpretation of moslems feminist circles, like Riffat Hassan and Amina Wadud. The next, the interpretation is analyzed with al-Thabarî's jurisprudence opinions concerning woman and his attitude to histories isrâ`îliyyât. Finally, the conclusion is taken by analysis of all the data.
KATA PENGANTAR
Puji syukur hamba kehadirat Tuhan Yang Maha Berilmu menjadi ungkapan
wajib dari sanubari penulis. Dia-lah yang telah memberi potensi-potensi kecerdasan,
pemberi rizki, pemotivasi jiwa-jiwa, salawat dan salam penulis sampaikan kepada
Nabi Muhammad Saw sehingga penulis mampu menyelesaikan jenjang pendidikan
Strata 2 dan menyelesaikan tugas penyusunan tesis ini.
Kepada Bapak Menteri Agama RI dan Rektor IAIN Antasari Banjarmasin
penulis sampaikan terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk belajar di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, guna peningkatan SDM
dan profisionalitas penulis.
Kepada Direktur dan Asisten Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan staf pengajarnya, penulis sampaikan terima kasih yang
tulus atas dorongan dan perhatiannya.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Bapak Pembimbing, yaitu Dr. Yusuf Rahman, MA, Bapak Dr. Udjang Thalib,
MA selaku pimpinan sidang sekaligus penguji, Bapak Dr. Abdul Chair dan Ibu Dr.
Faizah Ali Sybramalisi selaku penguji; atas diskusi dan bimbingannya bahkan
terkadang ada sedikit perdebatan. irsyad al-asâtidz dalam penyusunan tugas ini sangat terasa intens dan terkadang harus menguras pemikiran untuk memecahkan satu
persoalan-persoalan dalam belajar.
Kepada Ibunda Risna, Ayahnda H. Herman, Ayahnda Drs. H. Murjani A.
Malik, S.Sos, MAP, Ibunda Hj. Hafifah, S.Pd.I, istriku tercinta dan tersayang
Mawaddah Amaliyah, S.Pd.I, Adik Asmuni dan Muhammad Syafi'i, serta keluarga
lainnya diucapkan banyak terimakasih atas diukungannya selama ini.
Kepada teman-teman di majlis dirâsah pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan sahabat-sahabatku pada program beasiswa UQ Depag angkatan 2006 yang
senantiasa memberikan semangat dan waktu berdikusi untuk segera menyelesaikan
Program Magister khususnya penulisan Tesis ini. Dan, semua pihak yang telah
membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu.
Akhir kalam, semoga Tesis ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
penulis sehingga terlimpah pahala yang tidak akan terputus, dan menambah wawasan
keilmuan dalam khazanah masyarakat ilmiah. Amin
Jakarta, 10 Maret 2009
Penulis,
Syamsuni
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
No. Arab Indonesia No. Arab Indonesia
01 ا a 16 ط th
02 ب b 17 ظ zh
03 ت t 18 ع ‘
04 ث ts 19 غ gh
05 ج j 20 ف f
06 ح h 21 ق q
07 خ kh 22 ك k
08 د d 23 ل l
09 ذ dz 24 م m
10 ر r 25 ن n
11 ز z 26 و w
12 س s 27 ﻩ h
13 ش sy 28 ء ,
14 ص sh 29 ي y
15 ض dh 30 ة t/h
Vokal panjang (mad) dan diftong: a panjang : â
i panjang : î → ْيِا ay → ْيَا
u panjang : û → ْوُا aw → ْوَا
Catatan:
Huruf hamzah ( ء ) di awal kata ditulis dengan vokal tanpa didahuli tanda ( ‘ ). Contoh: kata مﺎَﻣإ ditulis imâm, bukan ‘imâm.
Transliterasi Arab-Indonesia di atas tidak diterapkan secara ketat dalam penulisan nama orang dan tempat yang berasal dari bahasa Arab tetapi sudah lazim dan dikenal di Indonesia.
DAFTAR ISI
BAB II DISKURSUS BIAS JENDER DALAM PENAFSIRAN
A. Makna dan Indikator Bias Jender dalam Penafsiran ...
B. Konsep Kesetaraan Jender dalam al-Qur'ân...
C. Faktor-faktor Penyebab Bias Jender...
D. Tafsir Jender dan Isrâ`îliyyât... E. Pandangan Feminis Terhadap Isrâ`îliyyât... BAB III MEMBACA ULANG RIWAYAT ISRÂ`ÎLIYYÂT DALAM
TAFSIR AL-THABARÎ
B. Urgensi Isrâ`îliyyât dalam Perkembangan Ajaran Islam... C. Eksistensi dan Fungsi Riwayat Isrâ'îliyyât dalam Tafsir al-Thabarî D. Sikap al-ThabarîTerhadap Riwayat Isrâ`îliyyât... BAB IV PENCIPTAAN PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-THABARÎ
A. Image Penciptaan Perempuan………....………..….
B. Proses Penciptaan...
1. Dari Nafs Wâhidah... 2. Dari Saripati Tanah...
C. Tujuan Penciptaan...
1. Perempuan Sebagai Hamba...
2. Perempuan Sebagai Khalîfah... 3. Perempuan sebagai Penenag Jiwa Laki-laki...
4. Perempuan Sebagai Partner laki-laki...
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...
B. Inplikasi Penelitian...
DAFTAR PUSTAKA...
LAMPIRAN... 72
79
111
119
128
128
147
149
150
152
156
157
165
166
167
180
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu latar belakang pemilihan topik penelitian ini adalah pengamatan
penulis terhadap kitab-kitab tafsir klasik yang banyak memasukkan unsur
isrâ`îliyyât1 dalam penafsiran. Riwayat-riwayat tersebut dituduh oleh kalangan feminis muslim sebagai salah satu sumber penyebab bias jender2 dalam
penafsiran al-Qur'ân.
Mereka telah melakukan kajian terhadap riwayat-riwayat isrâ`îliyyât
khususnya tentang penciptaan perempuan, karena konsep penciptaan perempuan
ini merupakan isu yang memang sangat penting dan mendasar untuk dibicarakan
dalam diskursus feminisme,3 baik ditinjau secara filosofis maupun teologis
1
Isrâ`îliyyât berasal dari bahasa Ibrani dari akar kata isrâ yang berarti “hamba” dan El yang berarti “Tuhan”, jadi Isrâel berarti hamba Tuhan. Istilah isrâ`îliyyât, merupakan bentuk jamak dari
isrâ`îliyyat, yaitu kisah atau kejadian yang diriwayatkan dari sumber-sumber isrâ`ili. Isrâ`îliyyât
dinisbahkan kepada 12 orang putera keturunan Nabi Ya’qûb ibn Ishâq ibn Ibrâhîm as. yang kemudian disebut banî isrâ`îl. Menurut Muhammad Husain al-Dzahabî, sekalipun menunjukkan kepada kisah-kisah atau kejadian yang berasal dari sumber-sumber Yahudi, ulama tafsir dan hadîts mempergunakan istilah tersebut untuk cakupan yang lebih luas. Menurut mereka, isrâ`îliyyât adalah segala dongengan klasik yang dinisbahkan asal riwayatnya kepada sumber-sumber Yahudi, Nasrani dan yang lainnya. Termasuk cerita-cerita yang tidak berdasar dan tidak jelas sumbernya yang sengaja dibuat oleh musuh-musuh Islam untuk mengacaukan ajaran Islam. Muhammad Husain al-Dzahabî, Isrâ`îliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1986), Cet. III, h. 13
2
Jender diartiakan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Lihat Victoria Neufelt (ed.) Webster's New World Dictionary (New York: Webster's New World Clevenland, 1984), h. 561 Dalam Women's Studies Encyclopedia, jender diartikan sebagai suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Lihat Hellen Tierney (ed.), Women's Studies Encyclopedia. Vol. I, (New York: Green Wood Press), h. 153
3
Meskipun sulit memberikan definisi teoritik tentang feminisme dalam berbagai bentuk pemikiran maupun gerakan, tetapi tetap ada yang disebut “kesadaran feminis” yang mewarnai seluruh gerakan feminisme di manapun, yaitu “kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, di tempat kerja dan di dalam keluarga, serta suatu tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kondisi tersebut”. Sedangkan feminisme Islam secara garis besar adalah “kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut…[dengan mengambil teks-teks sakral sebagai dasar pijakannya]. Lihat Budi Munawar-Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina,
dibandingkan dengan isu-isu feminisme yang lain. Sebab, konsep kesetaraan
musâwah/eaquality) atau ketidaksetaraan dapat dilacak akarnya dari konsep penciptaan perempuan yang diintrodusir oleh para mufassir klasik dari
riwayat-riwayat isrâ`îliyyât.4
Mereka menolak riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang berkaitan dengan penciptaan perempuan walaupun itu diriwayatkan oleh dua imam besar
al-Bukhârî5 (194-256 H/ 810-870 M) dan Muslim6 (204-261 H/ 819-875 M), pada
dua kitab kumpulan hadîts yang paling otoritatif di kalangan Islam Sunni,7
sehingga terkesan mereka sangat anti terhadap isrâ`îliyyât. Hal ini dikarenakan riwayat-riwayat tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang meraka anut.
Diantara mereka adalah Riffat Hassan,8 ia menjelaskan bahwa adanya anggapan
2001), h. 392-393. Bandingkan dengan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 5
4
Abdul Mustaqim, “Metodologi Tafsir Perspektif Gender (Studi Kritis Pemikiran Riffat Hassan)”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi al-Qur’ân Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 79 Lihat Riffat Hasan, Women's and Men's Liberation: Testimonies of Spirit, (New York: Grenwood Press, 1991), h. 44
5
Nama lengkap al-Bukhârî ialah al-Imam Abû 'Abdillâh Muhammad ibn Ismâ'il ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah al-Bukhârî. Ia dilahirkan pada hari Jum'at 13 Syawwâl 194 H/810 M di Kota Bukhârâ dan wafat pada 30 Ramadhan (malam Idul Fitri), tahun 256 H/870 M pada usia 62 tahun. Muhammad Mubârak al-Sayyid, Manâhij al-Muhadditsîn, (Cairo: Dâr al-Thibâ'ah, 1984), cet. I, h. 108
6
Nama lengkap Imam Muslim ialah Abû Husain Muslim ibn Hajjâj al-Qusyairî. Ia dilahirkan di Naisabur, sebuah kota kecil di Iran bagian timur laut, pada tahun 204/819 M, sepuluh tahun setelah kelahiran Imam al-Bukhârî. Dia wafat pada tahun 261 H/875 M, pada usianya yang ke-57 tahun. Al-Qusyairî merupakan nisbah kepada moyang atau kabilahnya: Qusyair ibn Ka'ab ibn Rabî'ah ibn Sha'sha'ah, keluarga bangsawan Arab terpandang. Muhammad ibn Ja'far al-Kattânî (w. 463 H), al-Risâlah al-Mutatharrifah li Bayâni Masyhûr Kutub al-Sunnah al-Musyarrafah (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), cet. I, h. 16-17
7
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000), h. 71
8
Feminis Muslim kelahiran Lahore-Pakistan ini memperoleh gelar Ph.D bidang filsafat Islam dari Universitas Durkheim-Inggris, pada usia 24 tahun, dengan Muhammad Iqbal sebagai subjek disertasinya. Sejak tahun 1976 menetap di Amereka Serikat, menjabat Ketua Jurusan Religious Study Program di University of Lousville, Kentucky. Tahun 1986 hingga 1987 menjadi dosen tamu di Divinity School Harvard University tempat ia menulis bukunya yang berjudul “Equal Before Allah”. Sejak tahun 1974 ia mempelajari teks al-Qur'ân secara seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'ân khususnya yang berhubungan dengan persoalan perempuan. Ia memberikan sumbangan besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan terutama di saat-saat pemerintah gencar melaksanakan islamisasi dengan penerapan undang-undang yang memenjara dan mengurung kaum perempuan, yang menurut Riffat hanya suatu kompensasi dari ketidakberhasilan menciptakan ekonomi
Islam ini tampak diskriminatif, atau bahkan misoginis9 terhadap perempuan
disebabkan oleh asumsi-asumsi teologis yang keliru. Hal ini disebabkan oleh
adanya penafsiran-penafsiran yang bias patriarkhi dan juga pengaruh-pengaruh
tradisi Yahudi-Kristen yang masuk lewat hadîts-hadîts10 yang dikategorikan
sebagai hadîts isrâ`îliyyât.11
Di sini perlu digaris bawahi bahwa tidak setiap riwayat isrâ`îliyyât harus ditolak. Jika memang shahîh, dan tidak bertentangan dengan al-Qur'ân mengapa mesti ditolak. Demikian juga, jika terdapat kesamaan dengan cerita-cerita dalam
Injil atau Taurat tidak dengan sendirinya mesti salah. Nabi Muhammad Saw
sendiri telah memberikan lampu hijau untuk meriwayatkan cerita-cerita tersebut
dari orang Yahudi atau Nasrani, meskipun beliau tetap memberikan pesan agar
hati-hati.12
Barbara Freyer Stowasser juga memaparkan hal senada bahwa gambaran
tentang sekitar watak kurang baik perempuan -secara halus- telah terintegrasi ke
dalam kerangka agama Islam melalui tradisi isrâ`îliyyât oleh para mufassir abad
Islam, politik Islam, dan lainnya. Lihat Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah,
h. 4-5 9
Kata misoginis berasal dari akar kata bahasa Ingris misogyny yang berarti kebencian kepada perempuan. Lihat Jonathan Cother, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (ttp: Oxford University, 1995), h. 745
10
Hadîts adalah pernyataan, perbuatan, taqrîr, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Hadîts dalam pengertian ini disinonimkan dengan istilah al-sunnah. Lihat M. Syuhudi Islmail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadîts, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1995), h. 27 Bandingkan dengan pengertian hadîts, menurut Fazlur Rahman: istilah agama yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan dari sunnah. Hadîts secara harfiyah berarti “tradisi” dan “tidak lain kecuali sebuah refleksi dalam bentuk verbal” dari praktek aktual (sunnah). Oleh sebab itu, hadîts Nabi tidak lain kecuali refleksi dalam bentuk verbal dari sunnah Nabi. Dengan kata lain hadîts Nabi merupakan karir sunnah
Nabi. Liahat Ahmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam, (Yogyakarta: UII press, 2001), h. 32
11
Abdul Mustaqim, “Metodologi Tafsir Perspektif Gender (Studi Kritis Pemikiran Riffat Hassan)”, h. 93. Lihat Riffat Hasan, Equal Before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition,
(Kumpulan artikel yang diterbiatkan oleh The Commite on South Asian Women bulletin, vol 4, tth), h. 44, dimuat pula dalam Harvard Divinity Bulletin, The Divinity School, Harvard University, edisi Jan-May 1987/Volume WVII. No. 2. Kemudian diterjemahkan oleh Wardah Hafizh ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam jurnal Ulumul Qur'ân, no. 4, tahun 1990, h. 48-55
12
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 171-172
pertengahan, sehingga menumbuhkan pemahaman yang bias jender.13 Kemudian diikuti pula oleh Nasaruddin Umar dalam bukunya, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân. Ia berkesimpulan bahwa salah satu faktor yang berperan melahirkan pemahaman yang bias jender adalah, karena diadopsinya
riwayat-riwayat isrâ`îliyyât kedalam kitab-kitab tafsir.14
Mereka menyadari adanya sekian banyak pandangan negatif terhadap
perempuan, atau rasa ketidakadilan yang ditemukan dalam literatur keagamaan
dan dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga terdorong oleh semangat
begitu menggebu –baik disadari maupun tidak- telah melahirkan
pemikiran-pemikiran yang masih sangat perlu untuk didiskusikan, bahkan disempunakan
agar benar-benar sejalan dengan ajaran Islam serta sesuai dengan kodrat
perempuan. Mereka itu terkesan berupaya untuk mempersamakan perempuan
dengan lelaki secara mutlak, padahal upaya mempersamakan dua jenis kelamin
yang berbeda itu tidak akan melahirkan kecuali jenis makhluk ketiga, yang bukan
laki-laki dan bukan juga perempuan.15
Abdul Mustaqim pada sebuah artikel yang berjudul “Metodologi Tafsir
Perspektif Gender (Studi Kritis Pemikiran Riffat Hassan)”, dalam buku Studi al-Qur’ân Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir memberikan kritikkan kepada Riffat Hassan dengan melontarkan pertanyaan, apakah benar
bahwa penafsiran tentang Hawa diciptakan dari Âdam yang bersumber dari
riwayat isrâ'îliyyât oleh para ulama klasik dimaksudkan untuk memojokkan perempuan sebagaimana asumsi Riffat? Jangan-jangan Riffat hanya merekayasa
13
Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam al-Qur’ân, Hadîts dan Tafsîr, diterjemahkan dari dari buku berbahasa Inggris: Women in the Qur’ân, Traditions, and Interpretation, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 60-61
14
Menurut Nasaruddin Umar, contoh kisah isrâ`îliyyât dalam penafsiran al-Qur'ân ialah tentang asal-usul kejadian perempuan. Dalam Kitab Perjanjian Lama diceritakan kisah-kisah yang secara umum cenderung memberikan citra negatif kepada perempuan. Lebih-lebih lagi kalau yang dijadikan rujukan adalah kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Talmud, yang sarat dengan mitos-mitos Babilonia yang sangat merugikan perempuan. Baca Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'ân (Jakarta: Paramadina: 2001),h. 288-289.
15
Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 257-258
asumsi tersebut untuk meligitimasi pendapat-pendapatnya sendiri, karena
mungkin sebenarnya para ulama klasik tidak pernah bermaksud demikian.16
Menurut hemat penulis tuduhan kalangan feminis muslim ini tidak
sepenuhnya benar, karena penggunaan riwayat-riwayat isrâ`îliyyât oleh para mufassir klasik itu tidak dapat dipastikan untuk tujuan memojokkan posisi
perempuan seperti yang mereka asumsikan selama ini. Lagi pula kisah-kisah
tersebut, pada umumnya tidak dijadikan rujukan dalam meng-istimbath hukum. Kisah-kisah itu hanya sekedar untuk dijadikan pelajaran dari nasehat-nasehat
moral yang dikandungnya. Karena itulah, manakala tidak bersentuhan dengan
aspek akidah dan hukum, mereka cenderung kurang selektif menerima riwayat
dari luar yang dimaksudkan sebagai alat untuk menafsirkan kisah-kisah dalam
al-Qur’ân.17 Oleh sebab itu, penulis merasakan perlunya penelitian lebih lanjut
tentang segala hal-hal yang yang berkaitan dengan riwayat-riwayat isrâ`îliyyât
yang ada hubungannya dengan tema penciptaan perempuan guna menepis
tuduhan kaum feminis di atas.
Kisah-kisah isrâ`îliyyât tersebut banyak ditemukan ketika menjelaskan beberapa kisah dalam al-Qur’ân, seperti awal penciptaan perempuan, komentar
sekitar Ya'jûj dan Ma'jûj (Q., S. al-Anbiyâ/1:96) Dzû al-Qarnain (Q., S. al-Kahf/18: 83), Ashhâb al-Kahf (Q., S. al-Kahf/18:9), Kisah beberapa Nabi dan
Fir'aun. Termasuk diantaranya kisah penciptaan alam raya dan manusia.18
16
Lihat “Metodologi Tafsir Perspektif Gender (Studi Kritis Pemikiran Riffat Hassan)”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi al-Qur’ân Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, h. 92
17
Musâ’id Muslim ‘Abdullâh Âli Ja’far, Atsar al-Tathawwur al-Fikri fî al-Tafsîr fî al-Ashri al-Abbâsi, (Bairut: Muassasah al-Risâlah, 1984), h. 125
18
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'ân, h. 289
Dalam penelitian ini penulis memilih tokoh al-Thabarî19 (839-923
M/224-310 H), karena ia dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik
pasca tabi' al-tâbi'în. Lewat karya monomentalnya Jâmi Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân20 ia mampu memberikan inspirasi baru bagi para mufassir sesudahnya. Kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan nuansa baru dalam blantika
penafsiran dimana struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad ke-3 H.
Abû Hâmid al-Isfahânî (w. 101 H) sebagaimana dikutip oleh Quraish
Shihab menyatakan bahwa semua informasi yang diberikan oleh al-Thabarî
(839-923 M/224-310 H) diperoleh secara berntai dari para periwayat. Mata rantai ini
dipelajari oleh H. Horst, yang menghitung ada 13.026 mata rantai yang berbeda
dalam tiga jilid tafsir al-Thabarî. Duapuluh satu dari 13.026 ini termasuk di
dalamnya 15.700 dari 35.400 macam bentuk informasi, "hadîts-hadîts", yang
menjadi jaminan bagi kebenaran atas berbagai mata rantai peristiwa."21
Dalam sebuah Ensiklopedi, dinyatakan bahwa karya al-Thabarî, Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, adalah sebuah ensiklopedi komentar dan pendapat tafsir tradisional, dan merupakan contoh khas tafsir bi al-ma'tsûr.22 Ia
19
Thabarî adalah Abû Ja'far Muhammad Ibn Jarîr Ibn Yazid Ibn Ghalib Thabarî al-Amulî. Nama ini disepakati oleh al-Khatîb al-Baghdadî (392-463 H/1002-1072 M), Ibn Katsîr dan Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Dzahabî. Tanah kelahirannya di kota Amul, ibukota Thabaristan, Iran, sehingga nama paling belakangnya sering disebutkan al-Amulî penisbatan tanah kelahirannya. Ia dilahirkan 223 H (838-839 M), sumber lain menyebutkan akhir 224 H atau awal 225 H (839-840 M), dan meninggal 311 H/923 M. sementara dari sumber informasi lain disebutkan pada 310 H/ 922 M. Muhammad Bakr Isma'il, Ibn Jarîr al-Thabarî wa Manhajuh fi al-Tafsîr (Cairo, dar al-Manâr, 1991),h. 9-10. Bandingkan dengan Mannâ' al-Qaththân, Mabâhits fi Ulûm al-Qur'ân (Bairut: Mansyûrât al-Ashr al-Hadîts, 1973), h. 373. Bandingkan juga dengan Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 20-21
20
Sebagian sumber menyebutnya dengan Jâmi al-Bayân fi Tafsîr Âyi al-Qur’ân, dan tafsir ini sering hanya disebut Jâmi al-Bayân, Tafsîr Ibn Jarîr dan lebih popular Tafsîral-Thabarî.
21
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad 'Abduh dan M. Rassyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 22-23
22
bi al-ma'tsûr adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur'ân, Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai keterangan atau penjelasan maksud dari Firman Allah, dalam hal ini penafsiran al-Qur'ân dengan al-Qur'ân, penafsiran al-Qur'ân dengan al-Sunnah atau penafsiran al-Qur'ân dengan
Atsar yang timbul dari kalangan sahabat. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, Tafsir wa al-Mufassirun, h. 237
memaksudkan karyanya ini lebih bersifat komprehensif daripada selektif sehingga
kiranya menjadi gudang infornmasi. Ciri-ciri ini memberi kitab al-Thabarî
tersebut objektivitas yang menjadikannya layak diistimewakan.23
Ali al-Shabûnî menyatakan bahwa kitab tafsir al-Thabarî termasuk tafsir bi al-ma'tsûr yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan tabi'in serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mufassir.24 Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Mannâ' al-Qaththân bahwa kitab
tafsir al-Thabarî merupakan tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan
penting bagi para mufassir bi al-ma'tsur.25 Muhammad Husain al-Dzahabî menyatakan bahwa tafsir al-Thabarî merupakan tafsir yang pertama dalam hal
masa dan ilmunya diantara sekian banyak kitab tafsir awal, karena ia adalah kitab
tafsir yang pertama diketahui, meskipun ada kemungkinan kitab-kitab tafsir yang
tertulis sebelumnya telah hilang dalam peredaran masa. Al-Thabarî adalah pelopor
dalam ilmu tafsir, terlihat kekhasan kitabnya yang berbeda dengan kitab tafsir
lainnya yang mampu mempersentasikan kepada masyarakat sebagai kitab bernilai
tinggi.26
Ignaz Goldziher secara jujur mengakui kapasitas tafsir al-Thabarî dengan
mengatakan bahwa di Eropa, karya sejarahnya pernah menjadi Masterpiece, karena kelengkapan informasi dan kompleksitas materi kajiannya, banyak di
antara para ilmuan dan sejarawan yang mengadopsi data-data darinya 27
Kitab ini memuat eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen
terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal
secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan
23
Mannâ' al-Qaththân, Mabâhits fi Ulûm al-Qur'ân, h. 386 24
Muhammad 'Alî al-Shabûnî, al-Tibyân fi Ulûm al-Qur'ân, (Iskandaria: Dâr 'Umar Ibn al-Khathâb, 1970), h. 210
25
Mannâ' al-Qaththân, Mabâhits fi Ulûm al-Qur'ân, h. 353. Lihat al-Suyûthi, al-Itqân fi Ulûm al-Qurân,(Bairut: Dar al-Fikr, tt),Juz II, h. 190
26
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz. I, h. 221 27
Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islamî, terj. Abdul Halîm al-Najjâr (Bairut: Dâr Iqrâ', 1983), h. 107. Hal senada juga diakui oleh orientalis lainnya seperti Theodor Noldeke dan W. Montgomery Watt, dan sebagainya.
riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma'tsûr) yang disandarkan kepada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi'in dan tabi' al-tâbi'în melalui hadîts yang mereka riwayatkan. Kitab ini juga didukung dengan nalar kritis (ra'y) untuk membangun pemahaman-pemahaman objektifnya. Namun kitab ini cukup banyak
mengintrodusir riwayat-riwayat isrâ`îliyyât dari kalangan Yahudi dan Nasrani dari kalangan tâbi’în, yang telah memeluk Islam semisal Ka’b al-Ahbâr,28 Wahb ibn Munabbih al-Shan’ânî,29 dan dari kalangan tâbi’ tâbi’în semisal Muhammad ibn as-Sâ`ib al-Kalbî,30 ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Abd al-‘Azîz ibn Juraij,31 Muqâtil ibn
Sulaimân,32 Muhammad ibn Marwân as-Sudî,33 dan lainnya.
Kisah penciptaan perempuan pada tafsir al-Thabarî dapat ditemukan
dalam tafsirannya terhadap ayat-ayat tentang kisah penciptaan manusia. Dalam
al-Qur’ân, kisah penciptaan manusia ini disebutkan secara garis besar pada
beberapa kelompok ayat. Itu pun tidak secara kronologis tetapi dihubungkan
dengan tugas dan kapasitasnya sebagai khalîfah di muka bumi.
28
Ka’b al-Ahbâr, oleh jumhur ulama kritikus hadîts dinilai tsiqah, karenanya tidak ditemukan kritikan terhadap dirinya di dalam kitab-kitab kumpulan periwayat yang dha’îf dan al-matrûkîn. Cerita-cerita palsu yang diriwayatkan darinya merupakan kebohongan dari orang lain yang dinisbahkan kepadanya. Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isră`ĭliyyăt, h. 77.
29
Wahb ibn Munabbih, jumhur ulama juga menilainya tsiqah; al-Nasâ`î, dan Abû Zur’ah menilainya tsiqah, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Dzahabî (w. 747 H) menilainya tsiqah shadûq. Seperti halnya Ka’b, riwayat-riwayat palsu banyak disandarkan kepada Wahb, sebagai sebuah kebohongan, sementara ia sendiri bersih dari kebohongan itu. Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isră`ĭliyyăt, h. 85.
30
Muhammad ibn al-Sâ`ib al-Kalbî, jumhur ulama kritikus hadîts menilainya sebagai
kadzdzâb, wadhdhâ’, sehingga tidak dapat diterima riwayatnya. Lihat Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Dzahabî (w. 1348 M), Mîzân al-I’tidâl fĭ Naqd al-Rijâl, di-tahqîq oleh, ‘Aliy Muhammad al-Bajâwiy dan Fathiyyah ‘Aliy al-Bajâwiy, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Araby, t.th.), juz ke-3, h. 557.
31
‘Abd al-Malik ibn ‘Abd al-‘Azîz ibn Juraij, para ulama kritikus hadis berbeda dalam menilainya. Al-‘Ijliy, Yahyâ ibn Ma’în dan Ibn Hibbân menilainya tsiqah, al-Daruquthnî menilainya seorang mudallis, al-Dzahabî menilainya termasuk a’lâm al-tsiqâh, tetapi yudallis, Ahmad ibn Hambal, menilainya telah memursalkan hadis yang maudhu’. Pada akhirnya Muhammad Husain al-Dzahabî mengingatkan agar berhati-hati menerima riwayat dari Ibn Juraij agar terhindar dari riwayat
dha’îf dari beliau. Lihat al-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât, h. 90-91. 32
Muqâtil ibn Sulaimân, terkenal sebagai penulis tafsir yang meriwayatkan isrâ`îliyyâtdan al-khurafât, para kritikus hadîts sepakat menilainya sebagai kadzdzâb, matrûk al-hadîts, bahkan
wadhdhâ’. Lihatal-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât, h. 92-93. 33
Muhammad ibn Marwân al-Sudî, dia adalah murid Muhammad ibn al-Sâ`ib al-Kalbî, seperti gurunya, oleh jumhur kritikus hadis dinilai sebagai kadzdzâb dan wadhdhâ’. Lihatal-Dzahabî, al-Isrâ`îliyyât, h. 94.
kelompok ayat tersebut antara lain adalah: Q., S. Baqarah ayat 30-38, Q., S.
A’râf ayat 11-25, Q., S. Hijr ayat 28-40, Q., S. Isrâ ayat 61-65, Q., S.
al-Kahfi ayat 50-53, Q., S. Thâhâ ayat 115-123 dan Q., S. Shâd ayat 83.34
Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya masalah ini layak untuk dijadikan
sebagai objek penelitian. Sehingga dengan tesis ini, penulis dapat membuktikan
bahwa riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang diintrodusir oleh para mufassir klasik semisal Ibn Jarîr al-Thabarî, tidak berpengaruh secara signifikan bagi munculnya
pemahaman yang bias jender dalam penafsiran, dan riwayat-riwayat isrâ`îliyyât
itu tetap dibutuhkan untuk menjelaskan kisah-kisah al-Qur'ân yang bersifat
global, namun tetap harus waspada dan selektif.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka
melakukan indentifikasi terhadap suatu permasalahan merupakan kegiatan yang
sangat penting. Diharapkan dengan melakukan kegiatan tersebut, akan semakin
jelas masalah-masalah mana yang akan menjadi fokus dalam penelitian.
Berdasarkan uraian tersebut, berikut ini akan dikemukakan masalah-masalah yang
dianggap penting, yaitu:
1. Bagaimanakah Sikap al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) terhadap
riwayat-riwayat isrâ`îliyyât?
2. Bagaimana pendapat-pendapat al-Thabarî yang menggambarkan kesetaraan
jender?
3. Sejauh mana riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang diintrodusir oleh al-Thabarî berpengaruh terhadap penafsirannya, apakah menjadi penyebab bias jender
atau sebaliknya, tidak berimplikasi negatif terhadap penafsirannya?
4. Apakah penafsiran tentang Hawa diciptakan dari Âdam oleh para ulama
klasik dimaksudkan untuk memojokkan perempuan, sebagaimana
diasumsikan oleh kalangan feminis muslim?
34
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'ân, h. 233.
5. Sebenarnya faktor apa saja yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap bias
jender dalam penafsiran?
6. Sejauh mana urgensi riwayat-riwayat isrâ`îliyyât dalam penafsiran al-Qur'ân? Dalam penelitian ini penulis tidak menjawab seluruh pertanyaan yang telah
dikemukakan di atas, namun penulis hanya membatasi pada: Sejauh mana
riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang diintrodusir oleh al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) berpengaruh terhadap penafsirannya? Apakah menjadi penyebab bias jender atau
sebaliknya, tidak berimplikasi negatif terhadap penafsirannya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menguji pengaruh
riwayat-riwayat isrâ'îliyyât dalam tafsir al-Thabarî, apakah menjadi penyebab bias jender atau sebaliknya, tidak berimplikasi negatif terhadap penafsirannya.
D. Signifikansi Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Membuktikan sejauhmana kebenaran pendapat yang sudah populer di
kalangan feminis muslim, bahwa riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang diintrodusir oleh para mufassir klasik berpengaruh terhadap bias jender dalam
penafsiran al-Qur'ân.
2. Menjelaskan bagaimana sikap yang seharusnya terhadap riwayat-riwayat
isrâ`îliyyât.
3. Mengembangkan wawasan tertang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir klasik, khususnya tafsir-tafsir bi al-ma'tsur.
4. Menegaskan kembali urgensi isrâ`îliyyât dalam penafsiran al-Qur’ân.
E. Kajian Terdahulu yang Relevan
Menelusuri karya atau penelitian terdahulu yang relevan sangat
dibutuhkan, karena dengan mengetahui penelitian terdahulu penulis akan dapat
membandingkan dan membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan. Hal
ini juga akan sangat bermanfaat bila penelitian yang akan dilakukan belum pernah
diteliti oleh peneliti sebelumnya.
Adapun tentang penelitian yang mengaitkan antara isrâ`îliyyât dan bias jender secara langsung belum penulis temukan, namun ada dibahas dalam
beberapa penelitian, yakni:
1. Equal before Allah Woman-Man Equality in Islamic Tradition,35 oleh Riffat Hasan, Asumsi dasar yang menjadi pijakan Riffat dalam buku ini adalah
bahwa jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara di hadapan Allah,
maka di kemudian hari mestinya tidak berubah menjadi tidak setara. Jika
kenyataannya kemudian berubah menjadi tidak setara, ini berarti menyalahi
desain yang telah direncanakan dan ditetapkan Allah. Oleh Karenanya, dalam
konsep penciptaan perempuan perlu dikaji ulang apakah betul perempuan
diciptakan dari laki-laki yang berarti perempuan hanya merupakan derivasi
saja dan hanya sebagai pelengkap. Artinya, secara substansial perempuan dan
laki-laki tidak setara. Sehingga ia menolak pendapat yang mengatakan bahwa
perempuan (Hawa) tercipta dari tulang rusuk laki-laki (Âdam) dan ia
berkeyakinan Âdam bukanlah berjenis kelamin laki-laki.
2. Women in the Qur’ân, Traditions, and Interpretation36 oleh Barbara Freyer Stowasser; dalam buku ini ia berusaha membuktikan kebenaran bahwa tema
"kelemahan perempuan" dengan tema kembarnya yang paradok, "perempuan
sebagai ancaman bagi laki-laki dan masyarakat," mendominasi paradigma
yang berdasarkan kitab suci tentang jender sepanjang abad pertengahan, dan
paradigma isrâ`îliyyât memainkan peran penting dalam pembentukannya.
35
Makalah tersebut dimuat dalam Harvard Divinity Bulletin (The Divinity School, Harvard University), edisi Jan-May 1987/Volume WVII. No. 2. Kemudian diterjemahkan oleh Wardah Hafizh ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam jurnal Ulumul Qur'an, no. 4, tahun 1990, hlm. 48-55. Lihat juga kumpulan artikel yang diterbiatkan oleh The Commite on South Asian Women bulletin, vol 4, tt)
36
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2001)
3. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'ân37, oleh Nasaruddin Umar; dijelaskan bahwa pada tradisi Islam, bias jender dalam penafsiran teks dapat
ditelusuri dalam beberapa faktor seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca,
qirâ'at, pengertian kosa kata (mufradât), penetapan rujukan kata ganti (dhamîr), batas pengecualian (istitsnâ), arti huruf 'athf, dan bias dalam struktur bahasa. Termasuk diantara faktor-faktor tersebut adalah
riwayat-riwayat isrâ`îliyyât.38
4. Tafsîr Feminis Versus Tafsîr Patriarki39(diterbitkan dari tesis S2 Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga 1999) oleh Abdul Mustaqim; membahas secara kritis
pemikiran Riffat Hasan tentang metodologi tafsir perspektif jender, ia
mengkritisi Riffat Hasan tentang penolakannya terhadap riwayat-riwayat
isrâ`îliyyât tentang penciptaan perempuan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Riffat dinilainya gegabah dalam men-dha'îf-kan hadîts-hadîts tersebut.
Penelitian yang akan penulis lakukan ini berbeda dengan
penelitian-penelitian tersebut di atas. Penelitian ini lebih fokus pada masalah penciptaan
perempuan dan secara khusus membahas penafsiran al-Thabarî (839-923
M/224-310 H) yang mengitrodusir riwaayat-riwayat isrâ`îliyyât.
Sedangkan pada lingkup kajian isrâ`îliyyât, penulis temukan penelitian dan karya tulis, yakni:
1. al-Isrâ`îliyyât fî at-Tafsîr wa al-Hadîts40 oleh Muhammad Husain al-Dzahabî, dalam kitab ini dijelaskan bagaimana transformasi isrâ`îliyyât ke dalam tafsir dan hadîts, siapa saja yang dikenal banyak meriwayatkannya, kemudian apa
saja isrâ`îliyyât yang terdapat pada kitab-kitab tafsir dan hadîts, juga dijelaskan bagaimana seorang mufassir harus menyikapinya, dan apa yang
37
(Jakarta: Paramadina, 2001) 38
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'ân, h. 265-286 39
(Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta, 2003) 40
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1411 H/ 1990 M), cet. IV
mesti dilakukan para ulama untuk memurnikan kitab-kitab tafsir tersebut dari
isrâ`îliyyât.
2. al-Isrâ`îliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kutub al-Tafsîr41 oleh Abû Syahbah Muhammad ibn Muhammad; kitab ini mengungkap beberapa riwayat
isrâ`îliyyât danhadîts-hadîts maudhû' yang terdapat pada beberapa kitab tafsir seperti tafsir al-Thabarî, Ibn Katsîr, al-Khâzin, al-Alûsî, al-Manâr dan lain
sebagainya.
3. al-Isrâ`îliyyât wa Atsaruhâ fi Kutub al-Tafsîr42 oleh Ramzî Na'na'âh; (Disertasi) kitab ini membahas tentang bagaimana masuknya isrâ`îliyyât
dalam tafsir al-Qur'ân, bagaimana sikap para mufassir terhadap isrâ`îliyyât
sejak zaman al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) sampai Rasyid Ridha, di
antara mereka ada yang sedikit meriwayatkannya dan ada pula yang banyak.
Dan menyarankan kepada para mufassir agar berhati-hati terhadap
riwayat-riwayat isrâ`îliyyât tersebut yang mungkin saja dimasukkan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan ajaran Islam dari dalam.
Kitab-kitab ini hanya mebahas tentang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât dan pengaruhnya dalam tafsir secara umum, baik yang terdapat dalam kitab-kitab
hadîts maupun dalam kitab-kitab tafsir, tanpa mengaitkannya dengan isu bias
jender dalam penafsiran.
Sedangkan tentang penelitian pada lingkup isrâ`îliyyât dan al-Thabarî (839-923 M/224-310 H), penulis menemukan penelitian dan karya tulis, yakni:
1. al-Isrâ`îliyyât fi Tafsîr al-Thabarî (Dirâsah fi Lughah wa Mashâdir al-'Ibariyyah43 oleh Âmâl Muhammad Abdurrahmân al-Rabĩ' (Disertasi); membahas tentang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang terdapat pada tafsir al-Thabarî dengan menggunakan pendekatan bahasa.
41
(Cairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H/ 1987 M) 42
(Bairut: Dâr al-Dhiyâ, 1390 H/1970 M), cet. ke-1 43
(Cairo: al-Majlis al-A'lâ li al-Syu'ûn al-Islamiyyah, 2001)
2. Qishshah al-Khalq fî al-Isrâ'îliyyât Hasb Wurûduhâ fî Tafsîr al-Thabarî Ma'a Mâ Yuqâbiluhâ fî al-Taurâh wa al-Talmûd,44 oleh Rev. Ramzî Habîb Mâlik; Tesis ini membahas tentang penciptaan secara umum yang terdapat pada
riwayat-riwayat isrâ'îlyyât dalam tafsir al-Thabarî dan membandingkannya dengan riwayat yang terdapat dalam Taurat dan Talmud, namun tidak
mengaitkannya dengan kajian jender.
3. al-Riwâyât al-Isrâ`îliyyât fi Tafsîr al-Thabarî min Surah al-Fâtihah ila Akhîr Surah al-Isrâ' Jam'an wa Dirâsatan,45 oleh Ahmad Najib Ibn Abdullah Shalih; membahas tentang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang terdapat pada tafsir al-Thabarî dengan meneliti kualitas sanadnya, dari surah al-fâtihah hingga akhir surat al-Isrâ.
4. al-Riwayât al-Isrâ`îliyyât fi Tafsîr al-Thabarî min Surah al-Kahf ila Akhîr Surah al-Nâs,46 oleh Ma'mun 'Abdurrahman Muhammad Ahmad; membahas tentang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang terdapat pada tafsir al-Thabarî dengan meneliti kualitas sanadnya di batasi pada surah al-kahf hingga surah
al-Nâs.
5. al-Dakhîl wa al-Isrâ`îliyyât fi Tafsîr Ibn Jarîr al-Thabarî (al-Juz al-Tsâni wa al-Tsâlis wa al-Râbi wa al-Khâmis Asyar min al-Qur’ân al-Karîm,47 oleh Ibrahim Khalih Barakah; membahas tentang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang terdapat pada tafsir al-Thabarî dengan meneliti kualitas sanadnya dan hanya di
batasi pada al-Qur’ân juz ke-2, ke-3 dan ke-14.
6. al-Daikhîl wa al-Isrâ`îliyyât fi Tafsîr Ibn Jarîr al-Thabarî (al-Juz al-Khamîs wa al-Sadîs min al-Qur’ân al-Karîm48 oleh Tâl Hâdi Muntaqa Thaha al-Snaghali; membahas tentang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât yang terdapat pada
44
(Beirût: al-Jâmi'ah al-Amrîkiyyah, 1393 H/1973 M) 45
http://Tafsîr.org 46
http://Tafsîr.org 47
http://Tafsîr.org 48
http://Tafsîr.org
tafsir al-Thabarî dengan meneliti kualitas sanadnya di batasi pada al-Qur’ân
juz ke-lima dan ke-enam.
7. Melacak Unsur-Unsur Isrâ`îliyyât dalam Tafsir al-Thabarî dan Tafsir Ibn Katsîr49 oleh Rosihon Anwar; membahas tentang riwayat-riwayat isrâ`îliyyât
yang terdapat pada tafsir al-Thabarî dan Ibn Katsîr.
Buku-buku ini hanya membahas tentang isrâ`îliyyât yang terdapat dalam tafsir al-Thabarî dengan meneliti kualitas matan dan sanadnya, tanpa dikaitan
dengan isu bias jender dalam penafsiran.
F. Metode Penelitian
1. Jenis, Metode dan Pendekatan
Sesuai dengan karakter tema dan pokok permasalahan yang akan penulis
teliti, maka jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini
akan dideskripsikan dan dianalisis dengan kata-kata dan kalimat secara sistematis
sebagai hasil pembacaan dan analisis terhadap objek kajian dan bukan
disampaikan dengan angka-angka statistik. Seperti dijelaskan oleh Bogdan,
bahwa penelitian kualitatif itu merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati.50
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kepustakaan (library reserch), karena semua data penelitian diperoleh melalui buku, jurnal ilmiah, majalah, serta data-data berupa artikel ilmiah yang diambil dari website dan
digital library. Data-data yang sudah diperoleh ini kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosial-antropologis; pendekatan ini penulis pergunakan
untuk kajian data tentang hhal yang ikut mempengaruhi konteks penafsiran
49
(Bandung: Pustaka Setia, 1999) 50
Robert C. Bogdan, Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar, Teori dan Metode,
Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud, 1990, hlm. 34. Baca juga Zaini Hasan, "Karakteristik Penelitian Kualitatif" dalam Aminudin, Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, Malang: HISKI-YA3, 1990, hlm. 14. Baca juga Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Dari Denzin Guba dan Penerapannya), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001, hlm. 8.
Thabarî (839-923 M/224-310 H), baik yang berkaitan dengan aspek
sosial-budaya, adat, kepercayaan dan lain sebagainya.51
2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Setelah peneliti menetapkan tema dan fokus penelitian, peneliti menetukan
proses pengumpulan dan analisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan ayat-ayat penciptaan perempuan dan riwayat-riwayat
isrâ`îliyyât yang digunakan al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) dalam menafsirkannya;
b. Mengumpulkan pandangan para mufassir lain baik yang klasik maupun
kontemporer tentang isrâ`îliyyât, termasuk juga dari kalangan feminis; c. Menganalisis fungsi dan urgensi isrâ`îliyyât dalam tradisi Islam;
d. Mengkaji penafsiran al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) tentang penciptaan
perempuan yang mengintrodusir riwayat-riwayat isrâ`îliyyât dalam menafsirkannya;
e. Mengkaji penafsiran feminis tentang ayat penciptaan perempuan;
f. Membandingkan penafsiran al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) dengan
penafsiran feminis muslim;
g. Keterpengaruhan atau tidaknya al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) terhadap
riwayat-riwayat isrâ`îliyyât dalam menafsirkan ayat-ayat penciptaan perempuan dianalisis dengan cara membandingkannya dengan
pendapat-pendapat hukumnya tentang perempuan dan sikap serta kritiknya terhadap
riwayat riwayat isrâ`îliyyât; dan
h. Melakukan kesimpulan berdasarkan analisis semua data penelitian.
51
David Daiches menawarkan formula pendekatan ini, untuk penelitian kandungan teks dalam konteks sosial-antropologis masyarakat, dalam bukunya Literature and society. Buku tersebut secara jelas menggambarkan teori dan praktek penelitian teks dihubungkan dengan aspek ekstrinsik teks, khususnya bagi peneliti yang ingin mengkorelasikan dan membuktikan hasil produk teks dalam konteks sosial, buku tersebut juga telah diterjemahkan ke bahasa Arab dengan judul Adab wa al-Mujtama’. Lihat, David Daiches, al-Adab wa al-Mujtama’, terj. ‘Arif Hudaifah, (Damasqus: Wizarat al-Tsaqafah, 1987)
Adapun dalam tekhnik penelitian dan transliterasi, peneliti mengacu pada
buku "Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)" karya Hamid Nasuhi et. al., terbitan CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayullah, Jakarta Cetakan II Tahun 2007.
3. Data dan Sumber Data
Data pokok yang penulis sajikan dan analisis dalam penelitian ini adalah
ayat-ayat al-Qur'ân tentang penciptaan perempuan dan riwayat-riwayat
isrâ`îliyyât yang dipergunakan al-Thabarî (839-923 M/224-310 H) dalam melakukan penafsiran.
Pada studi pendahuluan penulis temukan peta pembahasan tentang
penciptaan perempuan dan riwayat-riwayat isrâ`îliyyât dalam tafsir al-Thabarî pada kelompok-kelompok ayat berikut:
No AYAT-AYAT PENCIPTAAN PEREMPUAN Jilid Hal
1 al-Baqarah/02: 35 01 466-592
2 al-Nisâ'/04: 1 06 339-351
3 al-An'âm/06: 98 09 432-444
4 al-A’râf/07: 19-25 10 75-119
5 al-A'râf/07: 189 10 617-622
6 al-Hijr'/15: 28-40 14 65-69
7 al-Nahl/16: 72 14 295-304
8 al-Isrâ/17: 61-65 14 653-667
9 al-Kahfi/18: 50-53 15 285-300
10 Thâhâ/20: 115-123 16 181-192
11 al-Rûm/30: 20-21 18 477-479
12 Luqma/31: 28 18 574-576
13 al-Fathir/35:11 19 341-345
14 Shâd/38: 81- 83 20 147-148
15 al-Zumar/39: 6 20 161-168
Berikutnya materi-materi pembahasan tersebut penulis kembangkan dan
jadikan sebagai data primer. Sebagai sumber data primer penulis tetapkan karya
al-Thabarî (839-923 M/224-310 H), yaitu Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân.52 Kitab ini dipergunakan untuk melacak penafsiran al-Thabarî (839-923 M/224-310 H)
tentang penciptaan perempuan yang mengintrodusir riwayat-riwayat isrâîliyyât. Pemilihan tafsir al-Thabarî sebagai sumber data primer dalam penelitian
ini berdasarkan alasan bahwa tafsir ini merupakan tafsir bi al-ma'tsûr pertama yang paling lengkap dan banyak mengintodusir riwayat-riwayat isrâ`îliyyât dan menurut penulis cukup representatif untuk mewakili tafsir-tafsir bi al-ma'tsûr
lainnya.53
Adapun data skunder yang penulis perlukan adalah meliputi teori
isrâ`îliyyât, teori bias jender dan penafsiran kalangan peminis tentang penciptaan perempuan, yang juga berfungsi sebagai alat analisis data. Sumber data skunder
ini dapat dikelompokkan kepada kitab-kitab ulûm al-Qur’ân, tafsir, sejarah, sosial-budaya, dan buku-buku pendukung lainnya yang relevan dengan tema
penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis dalam lima bab; yakni pendahuluan, diskursus bias jender
dalam penafsiran, membaca ulang riwayat isrâ`îliyyât dalam tafsir al-Thabarî, penciptaan perempuan dalam tafsir al-Thabarî, dan penutup.
Bab ke-1, pendahuluan, berisi latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kajian terdahulu
yang relevan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab ke-2, diskursus bias jender dalam penafsiran, berisi tentang makna dan
indikator bias jender dalam penafsiran, konsep kesetaraan jender dalam al-Qur'ân,
52
(Cairo: Markaz al-Buhûts wa Dirasât al-Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, Dâr Hijr, 2001 M/1422 H), Cet. I
53
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 221
faktor-faktor penyebab bias jender, tafsir jender dan isrâ`îliyyât, dan pandangan feminis terhadap isrâ`îliyyât
Bab ke-3, membaca ulang riwayat isrâ`îliyyât dalam tafsir al-Thabarî, berisi tentang transformasi isrâ`îliyyât dalam literatur keislaman, urgensi isrâ`îliyyât
dalam perkembangan ajaran Islam, eksistensi dan fungsi riwayat isrâ`îliyyât dalam tafsir al-Thabarî, dan sikap al-Thabarî terhadap riwayat isrâ`îliyyât.
Bab ke-4, penciptaan perempuan dalam tafsîr al-Thabarî, Image penciptaan
perempuan, proses penciptaan, dan tujuan penciptaan.
Bab ke-5, penutup, berisi kesimpulan, dan implikasi penelitian. []
BAB II
DISKURSUS BIAS JENDER DALAM PENAFSIRAN
Pada bab ini dijelaskan tentang pengertian bias jender dan apa saja indikator
yang dapat dilihat untuk mengukur apakah penafsiran tentang suatu ayat al-Qur'ân
dianggap bias jender atau tidak. Kemudian dijelaskan juga faktor-faktor yang
menyebabkan bias jender dalam penafsiran al-Qur'ân, penjelasan tentang tafsir jender
dan isrâ'îliyyât, serta pandangan feminis terhadap isrâ'îliyyât. Uraian pada bab ini adalah bertujuan sebagai pengantar untuk menganalis ayat-ayat tentang penciptaan
perempuan yang ditafsirkan oleh al-Thabarî dengan banyak mengutip riwayat-riwayat isrâ'îliyyât dalam kitab tafsirnya Jâmi al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, apakah menyebabkan bias jender atau tidak.
A. Makna dan Indikator Bias Jender dalam Penafsiran 1. Makna Bias Jender dalam Penafsiran
Kata jender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”.
Dalam Webster’s NewWorld Dictionary, jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di
dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.1
Kata jender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan
yang diambil dari bahasa Inggris.2 Kata jender ini jika dilihat posisinya dari segi
1
Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, vol. I (New York: Green Wood Press), h.153.
2
Mengingat istilah jender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbenda-haraan kata di Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata tersebut tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap bagian dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan kata gender menjadi jender.
struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab. Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang jender maka yang dimaksud
adalah jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih
terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata
bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa
dekade terakhir.
Pengertian jender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh
para feminis dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chance mendefinisikan Jender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan
agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin.3
Suke Silverius memberi pengertian tentang jender sebagai pola relasi
hubungan antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat
sosial dalam rangka validitasi dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan
dalam tatanan sosial.4 Sedangkan Ivan Illich5 mendefinisikan jender dengan
pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk pembicaraan,
tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya
sosial.6 Zaitunah Subhan juga mengemukakan bahwa, yang dimaksud dengan
jender adalah konsep analisis yang dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang
3
Lihat Julia Cleves Mosse, Half the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender dan Pembangunan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.
4
Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi, Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id
5
Illich dianggap sebagai orang yang pertama menggunakan istilah jender dalam analisis ilmiahnya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas pada penggunaan jenis kelamin semata. Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Persfektif Islam: Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Jender dalam Islam”, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 23.
6
didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial
budaya.7
Adapun Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal
dikemukakan oleh Nasaruddin Umar. Ia mengemukakan bahwa jender adalah
konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal
peran, prilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di
dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial.8
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jender adalah sebuah konsep
yang dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan
yang didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat (social contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang
sifatnya biologis.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua
ketetapan masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan adalah termasuk bidang kajian jender (What a given society defines as masculine orfeminim is a componen of gender).9
Kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “jender”. Jender
diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin
7
Lihat Zaitunah Subhan, “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2, Maret, h. 128.
8
Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember 1998, h. 99.
9
yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan.10
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah
suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Jender dalam arti ini adalah
suatu bentuk rekayasa masyarakat (social contructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Jender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan
posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan
masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, jender bisa dikategorikan sebagai
perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran
dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Jender bukan
hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya
saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak
perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk
mengejar kesetaraan jender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat
dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah
diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan
berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Sedangkan pengertian bias salah satunya adalah: simpangan; atau
menyimpang (tentang nilai, ukuran) dari yang sebenarnya. Selanjutnya kata bias
adalah semacam prasangka, yakni pendapat yang terbentuk sebelum adanya
alasan untuk itu, dalam penelitian ilmiah bias dapat menyelinap ke dalam
pengamatan atau penafsiran data eksperimen. Bias ini dapat mengakibatkan
kurangnya validitas dan nilai ilmiah dari hasil yang di peroleh.
Dari pengertian bias apabila dihubungkan dengan jender dan penafsiran
akan memberikan pemahaman bahwa dalam penafsiran terjadi penyimpangan
10
atau ketimpangan terhadap jenis kelamin perempuan. Dengan demikian, istilah
"bias jender dalam penafsiran al-Qur`an", dapat dipahami sebagai suatu bentuk
penyimpangan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur`an, jika diukur berdasarkan
prinsip-prinsip kesetaraan jender yang telah digariskan al-Qur`an.
2. Indikator Bias Jender dalam Penafsiran
Adapun indikator adanya bias jender dalam penafsiran al-Qur`ân, dapat
dilihat pada ada tidaknya diskriminasi terhadap salah satu pihak, baik pihak
perempuan maupun pihak laki-laki. Al-Qur`an memang mengakui perbedaan
(distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination) antara keduanya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi al-Qur'ân, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari
rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga (Q. s., al-Rûm/30: 21) sebagaimana cikal bakal terwujudnya komonitas ideal dalam satu
negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr) (Q. s., Saba/34: 15). Diskriminasi terhadap salah satu pihak, hanya akan melahirkan ketidakadilan jender.
Manifestasi dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan jender ini, antara lain
dapat berupa:
a. Subordinasi;
Ordinat adalah titik pusat, sementara subordinat adalah sesuatu yang
bergantung pada titik tersebut. Secara sederhana, subordinasi berarti
pengkondisian atau penetapan seseorang pada keadaan yang tidak mandiri, tidak
diakui dan tentu saja tidak diperhitungkan. Kecuali dia harus melekat dan
bergantung, atau subordinat pada orang lain. Relasi jsender yang timpang bias
mengakibatkan subordinasi salah satu jenis kelamin, biasanya perempuan, yaitu
ketika keberadaan perempuan tidak diakui dan tidak diperhatikan.11
11
b. Marginalisasi;
Marjinalisasi adalah suatu proses peminggiran seseorang atau suatu
kelompok masyarakat. Jika subordinasi biasanya digunakan untuk aspek
politik-sosial, marjinalisasi biasanya menunjuk pada peminggiran aspek ekonomi,
sehingga mengakibatkan yang bersangkutan menjadi dimiskinkan. Banyak cara
yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau suatu kelompok.
Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi jender.12
Mansour Fakih mencontohkan program Revolusi Hijau yang hanya
memfokuskan pada petani laki-laki. Program ini telah nyata memarjinalkan kaum
perempuan yang telah lama bergelut dengan pertanian. Karena, definisi petani
hanya untuk petani laki-laki; baik mengenai kredit petani maupun pelatihan untuk
para petani. Semua hanya diberikan kepada petani laki-laki. Para petani
perempuan semakin tergusur dengan hadirnya teknologi pertanian, karena mereka
mengandalkan alat manual ani-ani. Sementara teknologi yang dihadirkan, hanya dilatihkan kepada laki-laki.13
c. Stereotype;
Stereotipe berarti pelabelan secara negatif terhadap salah satu pihak dalam
pola hubungan relasi antar dua pihak. Pelabelan muncul karena ada relasi kuasa
yang saling mempengaruhi dan mendominasi. Biasanya, pihak yang dominan
akan lebih banyak melakukan pelabelan negatif, memproduksinya terus-menerus
dan menyebarkannya ke masyarakat luas. Pelabelan ini seringkali dijadikan
legitimasi untuk membenarkan tindakan dari satu pihak atau kelompok yang
dominan kepada pihak atau kelompok yang lain.14
12
Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 18
13
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformaasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 73
14
d. Doble Burden;
Istilah doble burden (beban ganda), digunakan untuk seseorang yang mengalami situasi di mana ia harus menanggung kedua wilayah kerja sekaligus;
domestik dan publik. Biasaya, beban ganda diberikan kepada perempuan yang
bekerja di luar rumah, dan masih harus bertanggung jawab atas kerja domestik. Di
dalam rumah mereka bertanggung jawab mengurus rumah tangga, memasak,
mencuci, mengurus anak-anak dan memenuhi kebutuhan emosional dan biologis
suaminya, sementara di luar rumah mereka juga dituntut sebagai pekerja yang
harus bekerja secara profesional oleh perusahaan atau kantor tempat dia bekerja.15
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan
permanen. Peran yang tidak bisa diganggu-gugat dan tidak bisa dialihtugaskan
kepada laki-laki. Peran ini dikonstruksikan masyarakat sebagai kodrat perempuan,
bukan sebagai jender yang dibentuk masyarakat sendiri. Sementara, karena
capaian pendidikan perempuan semakin tinggi, permintaan pasar akan tenaga
kerja perempuan juga meningkat. Dalam situasi seperti itu tidak sedikit
perempuan yang masuk ke dalam sektor-sektor formal sebagai tenaga kerja. Akan
tetapi, masuknya perempuan ke sektor publik tidak senantiasa diiringi dengan
berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh
anggapan tentang tanggung jawab yang dilimpahkan kepada perempuan dalam
mengurus rumah tangga. Paling jauh pekerjaan itu dialihtugaskan kepada
perempuan lain, baik itu pekerja rumah tangga, atau anggota keluarga perempuan
lainnya. Dan meskipun tugas itu dialihtugaskan kepada pihak lain, namun
tanggung jawabnya masih tetap ada pada pundak perempuan. Akibatnya,
perempuan mengalami beban ganda (double burden). Beban di wilayah domestik dan beban kerja di wilayah publik. 16
15
Tim Penulis Komnas Perempuan, Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 19
16
Jika beban ganda merupakan bentuk ketidakadilan jender, maka
menghapuskan beban ganda dari perempuan merupakan bentuk keadilan jender.
Cara yang terbaik untuk mengatasi persoalan beban kerja itu adalah dengan
memberikan nilai dan penghargaan yang sama untuk kerja produksi dan kerja
reproduksi. Dengan itu lelaki juga didorong untuk masuk ke wilayah kerja
reproduksi tanpa merasa mendapatkan sanksi sosial berupa perendahan atas
perubahan peran itu.17
e. Violence (kekerasan);
Violence (kekerasan) secara sederhana diartikan sebagai ketidaknyamanan yang dialami seseorang. Kekerasan yang menimpa perempuan, umumnya karena
perbedaan jender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, dan
kekerasan yang berdimensi ekonomi yang disebut juga sebagai penelantaran.
Kekerasan fisik merujuk pada serangan terhadap kondisi fisik seseorang,
misalnya pemukulan, penganiayaan, pembunuhan. Kekerasan psikis merujuk
pada serangan terhadap kondisi mental seseorang, misalnya merendahkan,
menghina, memojokkan, menciptaan ketergantungan, pembatasan aktivitas,
ancaman termasuk yang sangat subtil melakukan rayuan yang membuat
perempuan tidak berdaya. Kekerasan seksual mengarah pada serangan atas
alat-alat kelamin/seksual atau reproduksi, misalnya pelecehan seksual, pemaksaan
hubungan seksual tertentu, perkosaan (termasuk dengan menggunakan alat/bukan
penis), perbudakan seksual. 18
17
Abdul Mustaqim, "Feminisme dalam Perspektif Riffat Hassan" Tesis S2 Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga 1999, h. 60 Bandingkan dengan Wardah Hafizh, "Feminisme Islam" dalam Majalah Suara Hidatullah 10/VIII Februari, 1996, h. 66-67
18