• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Komunikasi antara Mertua dan Menantu di Karo (BAB I PENDAHULUAN )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hambatan Komunikasi antara Mertua dan Menantu di Karo (BAB I PENDAHULUAN )"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

BAB I  PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh

budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa sendiri. Banyak generasi

muda yang malu melaksanakan budaya itu sendiri dikarenakan tidak up to date atau ketinggalan

zaman. Misalnya, para generasi muda enggan untuk belajar alat musik tradisional seperti

angklung, gamelan dan lain-lain karena mereka lebih cenderung menyukai belajar alat musik

modern seperti gitar, piano, bass, drum sehingga mereka dapat memainkan segala jenis aliran

musik modern yang mereka sukai dengan alat musik modern tersebut.

Salah satu budaya Indonesia yang lama kelamaan sudah jarang diterapkan lagi khususnya

di daerah perkotaan seperti kota Medan adalah Rebu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh

bapak Antoni Bangun selaku ketua adat desa Batukarang, dahulu kala rebu masih dijalankan oleh masyarakat Karo baik di kota maupun di desa tetapi sejalan dengan cepatnya perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan-perubahan terjadi meliputi perubahan tata kelakuan

atau tingkah laku atau tata krama yang telah terpola dengan perilaku “hubungan sungkan” (rebu)

. Masyarakat Karo yang telah lama tinggal di kota sebagian besar sudah tidak menjalankannya

karena mereka menganggap rebu menjadikan hubungan antara mertua dan menantu pada suku

Karo menjadi kaku untuk berkomunikasi satu sama lain dan lama-kelamaan mereka telah

menganggap bahwa antara mertua dan menantu mempunyai hubungan layaknya orang tua

dengan anak sehingga satu sama lain dapat berkomunikasi secara langsung seperti mereka

berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya.

Rebu dianggap sulit untuk diterapkan dikarenakan antara mertua laki-laki dan menantu perempuan begitupun sebaliknya memiliki jarak pemisah dalam melakukan komunikasi serta

untuk melakukan kegiatan sehari-hari di dalam rumah juga tidak semudah layaknya mertua dan

menantu pada umumnya. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari mereka harus menjaga tingkah

laku/perilaku serta tutur kata seperti tidak boleh berkomunikasi secara langsung karena harus

melalui perantara/orang ketiga dan apabila secara tidak sengaja saling berpapasan maka sebisa

mungkin untuk saling menghindar agar tidak saling bertatap muka dan kalau sudah terlanjur

penyesalan karena tidak sengaja melakukannya. Walaupun rebu yang dianggap sulit untuk dilakukan namun begitu masih ada yang masih melaksanakan hal tersebut seperti yang dilakukan

oleh masyarakat desa Batukarang karena mereka menganggap bahwa adat istiadat yang telah

diberikan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun maka harus tetap dijaga dan

dilakukan sebagaimana seharusnya. Pada saat berkomunikasi para pelaku rebu harus menjaga

jarak satu sama lain sehingga tidak memungkinkan untuk saling berdekatan misalnya tidak boleh

satu tempat duduk dan juga melalui orang ketiga/perantara. Hambatan komunikasi yang seperti

itulah memungkinkan pelaku rebu tidak dapat menerima pesan secara lengkap karena pada saat

penyampaian pesan, orang ketiga tidak sepenuhnya menyampaikan pesan sesuai dengan aslinya

karena bisa saja pihak ketiga tidak mengerti pesan yang disampaikan ataupun dia tidak dapat

mendengar dengan baik karena sesuatu hal ataupun tidak dapat mengingat pesan secara lengkap

seperti yang disampaikan, maka sebaiknya harus memilih pihak ketiga yang mengerti dan bisa

menyampaikan pesan dengan baik (dikutip dari skripsi Heksanta Bangun, Antropologi USU).

Komunikasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Hafied Cangara

(2006:4) mengungkapkan bahwa komunikasi merupakan salah satu aktivitas yang sangat

fundamental dalam kehidupan umat manusia. Melalui komunikasi pula seseorang dapat

menumbuhkan, mempelajari serta mengembangkan budaya itu sendiri.Setiap aktivitas manusia

tidak lepas dari komunikasi karena komunikasi tersebut berfungsi untuk menyampaikan

keinginan seseorang kepada seorang lainnya atau lebih. Proses Komunikasi adalah rangkaian

kejadian dengan melakukan hubungan, kontak, interaksi satu sama lain berupa penyampaian

pesan melalui penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti dan makna. Proses

komunikasi yang baik apabila hubungan interaksi penyampaian pesan/informasi yang dilakukan

tertuju kepada penerima pesan/informasi itu dan secara timbal balik disampaikan melalui

media/saluran yang cocok serta dapat dipahami oleh pihak yang terlibat dalam penyampaian dan

penerimaan pesan tersebut. Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukanlah hal yang

mudah, dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain. Jadi, melalui

komunikasi kita dapat bertukar informasi tentang budaya kita dengan orang lain dengan latar

belakang budaya yang berbeda ataupun sebaliknya dan dapat saling memahami tentang budaya

lain sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.

Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang

berhubungan erat dengan berbedanya peranan dan kedudukan masing-masing anggota kerabat

dan kelompok kekerabatannya. Selain itu dalam berinteraksi dengan para kerabat, dikenal

berbagai aturan dan nilai agar seorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai

tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan menjadi sebagai pola dalam berinteraksi.

Akibatnya ada interaksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan, dan tidak sungkan

atau bersikap akrab, bebas. Dengan kata lain dalam kekerabatan dalam hubungannya dengan

istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus dituruti. Seorang yang tidak

tahu istilah dan adat sopan santun kekerabatan dikategorikan sebagai “tidak beradat” atau dicap

tidak tahu sopan santun.

2013). Sebagai contoh keluarga yang tidak menjalankan adat rebu yaitu keluarga Selo Purba dan

Rosnani Ginting dari Kampung Lau Cimba. Pasangan ini menikah tahun 1986 dan memiliki dua

orang anak, sewaktu mereka tinggal bersama di rumah mertuanya mereka tidak menjalankan

rebu. Sebelumnya perbuatan keluarga ini yang tidak menjalankan rebu tidak begitu diperdulikan oleh masyarakat tetapi karena diluar lingkungan rumah mereka juga sering berkomunikasi antara

mami dan kela sehingga masyarakat setempat tidak dapat menahan emosi sehingga masyarakat melempari batu kerumahnya sampai akhirnya kepala kampung mengajak masyarakat untuk

bermusyawarah. Dan dari hasil musyawarah tersebut keluarga ini tidak jadi diusir karena mereka

termasuk keturunan dari merga pemuka kampung Lau Cimba yang merupakan keluarga kepala

kampung juga. (dikutip dari skripsi Heksanta Ginting, Departemen Antropologi, Universitas

Sumatera Utara).

Menurut Elly M.Setiadi (2006: 33-34), kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap

masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa

yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut

bukan diartikan secara spesifik, melainkan universal. Dimana sifat-sifat budaya itu akan

memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras,

lingkungan alam, atau pendidikan. Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:

1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya generasi tertentu dan tidak akan mati  dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang

diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Secara garis besar, setiap masyarakat di negeri ini memiliki kekhasan tersendiri. Seperti

di beberapa tempat, ada tabu atau pantangan dalam suatu keluarga seorang anak yang lebih muda

menikah terlebih dahulu dari yang lebih tua. Tabu berasal dari kata taboo yang diambil dari

bahasa Tonga, salah satu bahasa dari rumpun Polinesia. Pada masyarakat Tonga kata taboo

merujuk pada tindakan yang dilarang atau yang harus dihindari. Bila tindakannya saja dilarang,

maka bahasa atau kata-kata yang merupakan simbol dari tindakan itu pun dilarang. Dengan

demikian dapat mendefinisikan “tabu sebagai kata-kata yang tidak boleh digunakan, setidaknya

tidak dipakai di tengah masyarakat beradab”.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada tanggal 20 Maret 2012). Tabu yang mungkin sebagai sebuah bentuk sikap untuk menghormati yang lebih tua meski

dibungkus dengan alasan bahwa akan membuat yang lebih tua kesulitan mendapat jodoh ketika

didahului yang lebih muda. Demikian juga dengan masyarakat Karo, terdapat pantangan yang

menjadi sebuah aturan meski tidak tertulis, hanya disampaikan secara lisan saja. Salah satu yang

unik dalam kajian komunikasi antarbudaya ini adalah ketika seorang mertua laki-laki dan

menantu perempuan ataupun mertua perempuan dan menantu laki-laki pada etnis ini masih tabu

saling berbicara satu sama lain.

Adat istiadat yang tabu dalam berbicara antara mertua laki-laki dan menantu perempuan

dan juga sebaliknya inilah yang dinamakan rebu. Istilah rebu berarti “pantang’, ‘dilarang’, ‘tidak

dapat’, tidak diiijinkan melakukan sesuatu hal atau perbuatan’. Manifestasi rebu (dilarang) ini dalam adat istiadat Karo, adalah dilarang berbicara, dilarang duduk sebangku/setikar, misalnya

antara mertua laki-laki dengan menantu perempuan dan juga mertua perempuan dengan menantu

laki-laki. Rebu ini sebagai tanda adanya batas kemerdekaan diri karena melalui perilaku seperti

ini dapat mengingatkan dan sadar akan prinsip sosial dalam cara hidup berkerabat, maka melalui

rebu, setiap pelaku rebu akan mampu mengkontrol perbuatan dirinya sendiri. rebu menimbulkan rasa enggan, dari enggan menimbulkan rasa hormat dan juga hormat

menimbulkan sopan santun. Adat sopan santun pada dasarnya adalah segala tingkah laku,

perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucapan dan cakap yang sesuai dengan kaidah atau norma

tertentu. Sifatnya yang normatif menyebabkan rebu menjadi pola kelakuan sosial warga

keyakinan yang secara keseluruhan pedoman bertindak dan bertingkah laku bagi setiap warga

masyarakatnya, sehingga individu-individu anggota masyarakat yang melanggar atau tidak

menjalankan rebu sebagaimana mestinya dapat dipandang telah melanggar norma.

Konsep yang timbul dari asumsi mengenai rebu adalah konsep sopan-santun,

kepercayaan (religius), mite dan fungsi. Norma sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul

dari hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan

pergaulan sehari-hari masyarakat itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang

dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.

Norma kesopanan sangat penting diterapkan, terutama dalam bermasyarakat karena norma ini

sangat erat kaitannya terhadap masyarakat, sekali saja kita melanggar terhadap norma kesopanan

pasti akan mendapat sanksi dari masyarakat misalnya “cemoohan” atau yang lainnya. Norma

adalah suatu aturan yang mengatur sikap, perilaku dan tindakan seseorang di dalam kehidupan

masyarakat, sehingga hubungan antara mereka dapat terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan

oleh anggota masyarakat, pada etnis karo rebu merupakam hal yang tabu bila aturan tersebut

dilanggar pada masa lalu.

Seorang mertua laki-laki dan menantu perempuan ataupun mertua perempuan dan

menantu laki-laki dalam suku Karo yang ingin berkomunikasi satu sama lain harus melalui

perantara. Dan hal inilah yang menjadi suatu hambatan komunikasi dimana seorang mertua

laki-laki yang ingin menyampaikan suatu pesan kepada menantu perempuan begitupun sebaliknya

harus melalui perantara misalnya menantu perempuan ingin pergi kerja dan ingin berpamitan

kepada mertua laki-laki tetapi karena adat yang mengharuskan mereka untuk tidak saling

berbicara maka menantu tersebut menyampaikan kepada mertua perempuan untuk diberitahukan

kembali kepada mertua laki-laki. Misalnya saja, di suatu rumah kebetulan hanya ada seorang

menantu wanita dengan ayah mertuanya. Sang Ayah mertua jatuh sakit dan benar-benar butuh

pertolongan cepat, dalam kondisi seperti ini sang menantu wanita tetap tidak boleh

berkomunikasi atau menyentuh sang ayah mertua. Tidak menutup kemungkinan kalau sang ayah

mertua tiba-tiba meninggal pada saat itu. Dan pada kondisi seperti ini adat rebu tersebut terkesan

seperti sebuah kesalahan. Seperti halnya ada seorang ibu mertua (mami) hanyut di sebuah sungai

dikarenakan yang melihat kejadian tersebut si menantu pria (Kela). Dikarenakan “Rebu/Tabu”

(Topik cerita ini pernah diangkat dalam “Sarasehan Budaya Karo” di gedung Alpha Omega

Medan, pada tahun 1989)

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hambatan

Komunikasi Antara Mertua dan Menantu Pada Suku Karo di Desa Batukarang Kecamatan

Payung Kabupaten Karo.

1.2. Fokus Masalah

Fokus masalah dalam penelitian ini adalah, untuk mengetahui hambatan komunikasi

antara mertua dan menantu pada suku Karo di desa Batukarang kecamatan Payung kabupaten

Karo, karena di daerah ini masyarakat Karo itu sendiri masih memegang teguh adat-istiadat

termasuk masih menjalankan Rebu yang dilakukan antara mami (mertua perempuan) dengan kela

(menantu laki-laki) dan juga antara bengkila (mertua laki-laki) dengan permain (menantu

perempuan).

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui komunikasi Verbal antara mertua dan menantu pada suku Karo.

2. Untuk mengetahui komunikasi Nonverbal antara mertua dan menantu pada suku Karo.

3. Untuk mengetahui alasan mertua dan menantu masih melaksanakan “Rebu”.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan sumber

bacaan di lingkungan FISIP USU Medan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bagi generasi muda Karo mempelajari serta

melestarikan kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan.

3. Secara teoritis, penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu

 

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan data dilakukan selama 10 menit sehingga diperoleh hasil yaitu dimana ikan yang paling besar merespon bunyi yaitu ikan lele dengan bunyi surah

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang peta dan supaya lebih memahami serta bias membaca peta dengan baik

Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan dalam pelaksanaan penelitian, peneliti memberi saran sebagai berikut: (1) untuk guru-guru bidang studi matematika,

Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian berupa hasil dari daftar pertanyaan (angket), yaitu karakteristik anak

Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah laporan keuangan yang dibuat Primkopkar Carathana Jita Vina Kubu Raya, bagaimanakah kesesuaian laporan keuangan yang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara peggunaan APD masker, kebiasaan merokok, dan volume kertas bekas terhadap kejadian ISPA

Berdasarkan peneitian yang telah dilaksanakan dan hasil yang diperoleh, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa pengaruh status sosial keluarga terhadap pendidikan