• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerbit dan Alamat Redaksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerbit dan Alamat Redaksi"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

i JURNAL ILMIAH

TRANSFORMASI GLOBAL

LABORATORIUM HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA

ISSN: 2406-9531

Jurnal Transformasi Global adalah Jurnal Hubungan Internasional yang terbit dua kali dalam

setahun (setiap bulan Juni dan Desember). Penebitan jurnal ini dimaksudkan untuk

meningkatkan apresiasi dan menyebarluaskan konsep serta teori dalam kajian Ilmu Hubungan

Internasional.

Susunan Pengurus

Penanggung Jawab : Ketua Program Studi Hubungan Internasional

Dian Mutmainah

Pemimpin Redaksi : Lia Nihlah Najwah

Anggota Redaksi : M. Riza Hanafi

P.M Erza Killian

Dewa Ayu Putu Eva Wishanti

Redaktur Pelaksana : Yustika Citra Mahendra

Mitra Bestari : Abubakar Eby Hara

Siti Muti’ah Setiawati Nur Rachmat Yuliantoro

Adminitrasi dan Distribusi: Muhammad Farayunanda R.

Kharisma Ridho Anugrah

Nurul Lailiy

Layout/Printing : Nessya Sidya R.S.

Nublah Fillah Iskandar

Rachmadea Aisyah

Penerbit dan Alamat Redaksi Jurnal Transformasi Global Laboratorium Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 Indonesia

(2)

ii

Daftar Isi

Halaman Sampul Susunan Redaksi i Daftar Isi ii

Editorial iii

1.

Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di Kawasan Asia Timur 1

2.

Konvensionalisme Ilmu Hubungan Internasional: Sebuah Proyeksi untuk Metode Terintegrasi 23

3.

Natuna dan Transformasi Eksternal

Regional Security Supercomplexes Laut China Selatan 39

4.

ASEAN sebagai Instrumen Adaptasi Singapura terhadap Globalisasi 55

5.

Pembangunan era Desentralisasi: Kedaulatan Ekonomi dan

Kelestarian Alam yang Terabaikan 75

(3)

iii

EDITORIAL

Jurnal Transformasi Global Volume 1 No. 1 berisikan artikel-artikel ilmiah tentang kajian Ilmu Hubungan Internasional dengan topik yang menarik, bervariasi, dan kritis. Dimana beberapa diantaranya mengulas analisis kritis mengenai fenomena-fenomena Hubungan Internasional dari berbagai perspektif. Kita diajak untuk memahami situasi terkini mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi khususnya di kawasan Asia, mulai dari isu ekonomi, politik identitas, hingga tinjauan kritis. Keberagaman permasalahan tersebut ditunjang pula oleh keberagaman latar belakang dan kapabilitas penulis yang tentunya akan memperkaya wawasan dan referensi bagi para pengkaji, peneliti, pelajar, dan praktisi Ilmu Hubungan Internasional di tingkat nasional, regional, dan global.

(4)

iv

Artikel kedua ditulis oleh Ziyad Falahi yang melakukan analisis kritis terhadap pendekatan teoritis kajian Ilmu Hubungan Internasional dengan menempatkan benturan potensi pada paham reflektivis dan positivis. Tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi pentingnya konvensionalisme sebagai upaya mencapai kolekivitas metode dalam Ilmu Hubungan Internasional. Ditambah lagi untuk menjawab dialektika mencari objektivitas Ilmu Hubungan Internasional, karena pada awal perkembanganya mendapat kritikan tidak dapat mengembangkan suatu koridor berpikir obyektif sebagaimana kaidah ilmu baik secara ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Bongkar-pasang ulang diperagakan penulis dengan menjabarkan kritik terhadap perspektif aliran behavioralis dengan menggunakan metode filsafat ilmu. Sehingga Ilmu Hubungan Internasional kedepannya tidak lagi terjebak hanya dalam perdebatan antara dua sisi, melainkan memiliki sense of problem solving fenomena-fenomena Hubungan Internasional.

(5)

v Artikel ke empat ditulis oleh Rindi Eka Rachmawati dan Dian Mutmainah, membahas bahwa pada dasarnya fenomena globalisasi menuntut adanya peningkatan intensitas hubungan politik, ekonomi, dan budaya lintas negara. Dalam penjelasan penulis, Singapura dapat dilihat sebagai negara anggota regional ASEAN yang mampu untuk meningkatkan kapasitas negaranya bahkan memperluas pasarnya dalam persaingan global. Fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan bentuk fokus Singapura merespon upaya perluasan akses pasar dalam regionalisme ASEAN dan perkembangan ekonomi global. Penulis menjelaskan bagaimana keberhasilan Singapura memaikan peran integrasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan terhadap ASEAN.

Artikel ke lima ditulis oleh Joko Purnomo menjelaskan orientasi pembangunan dimasa rezim Orde Baru yang lebih mengejar pada pencapaian pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kelestarian lingkungan membuat proses desentralisasi menjadi fokus utama bagaimana kuasa ekonomi atas lingkungan melalui laju koorporasi global. dalam rezim orde baru yang telah berjalan lebih dari 30 tahun, desentralisasi lahir sebagai bentuk baru pembingkaian kekuasaan ekonomi politik Indonesia pasca tumbuhnya disparitas antara pusat dan daerah. Dari keadaan yang paradoks tersebut, penulis mencoba menganalisis proses eksploitasi hutan di era otonomi daerah dengan mengambil kasus alih fungsi hutan di Kabupaten Banyuwangi.

Artikel terakhir ditulis oleh Henny Rosalinda yang menjelaskan analisis studi kasus hubungan Jepang dan Brazil dalam mengembangkan aktivitas migrasi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui perkembangan kota Hamamatsu. Dengan menggunakan metode studi literatur, wawancara, dan observasi langsung, penulis mencoba menganalisis program multicultural coexistence. Program tersebut menggerakan sebuah kebijakan yang menjelaskan bagaimana salah satu kota di Jepang tersebut mampu membangun sebuah keharmonisan pendatang asing dengan masyarakat lokal melalui proses historis kebijakan multikultural.

(6)

vi

bermanfaat bagi seluruh pembaca sebagai tambahan referensi untuk mengarungi cakrawala pengetahuan dan memahami masalah-masalah yang menjadi topik dalam Ilmu Hubungan Internasional.

Tentunya kritik, saran, dan masukan dari Anda akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan serta kualitas jurnal ilmiah ini.

Selamat Membaca, Malang, Juni 2014

(7)

1

Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi

Internasional di Kawasan Asia Timur

Dewa Ayu Putu Eva Wishanti1

Abstract

East Asian economic characteristics that involve the role of the state as well as the development of the industry, has been relatively creates confidence in the market so that the flow of capital, goods, and services began to lead to the region since the late 20th century. The excess of the advance of China as the new political economic power is also growing wider market in Southeast Asia. The emergence of China as the dominant country in the world political economy are not purely derived from the ability of domestic governance, but also factor disclosure strategy in East Asian economies led by the extractive industry transformation towards manufacturing industry. This expansion translates into core industry sectors in East Asia.

This article is intended as a preliminary study on the degree of China's industrial sector expansion in East Asia, as well as identifying the internal factors in the expansion of China's influence. By using the approach as well as the extended behavioralism regionalism as a tool of analysis , this article finds that China is a state actor who is more emphasis on manufacturing and trade sectors of consumer goods as a strategy into an economic hegemon in its own region , formerly controlled by Japan.

Keywords; China, East Asia, economic expansion, industrial economy regionalism

Pendahuluan

Kebangkitan ekonomi China merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut secara khusus tercermin dari kebutuhan China akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai penanda kebangkitannya. Pada abad ke-20, China mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan sentralistiknya berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar, utamanya untuk merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi

(8)

2

perdagangan pada masa Mao. Keterbukaan ini juga disertai dengan perlahan masuknya unsur demokrasi dalam tata kelola hubungan internasionalnya.

Pada abad-21, keterbukaan ini semakin menjurus pada tujuan kebijakan ekonomi politik internasional China yang ekspansif dan hegemonik. Hu Jintao mewujudkan tujuan ini dengan mencanangkan The Peaceful Rise of China, yakni kebangkitan China yang damai, pada 22 Desember 2005 dalam dokumen China Peaceful Development Road (yang dikenal dengan istilah heping fazhan dalam bahasa Mandarin). Oleh Amerika Serikat (AS), dalam dokumen tersebut China dipersepsikan memiliki lima strategi untuk meraih keunggulan ekonomi dalam kerangka pembangunan (The State Council Information Office, 2006 : 1-2), yakni a) Pembangunan yang berkedamaian merupakan cara yang tidak terhindarkan dalam menuju modernisasi China; b) mempromosikan perdamaian dan pembangunan dunia seiring dengan pertumbuhan China sendiri; c) reformasi dan inovasi dalam pencarian keuntungan bersama dan pembangunan umum dengan negara-negara lain; d) pengembangan dengan bergantung pada kekuatan sendiri; serta e) membangun dunia yang harmonis dalam perdamaian yang berkesinambungan dan kesejahteraan bersama.

China juga mulai memasuki era perdagangan multilateral setelah memasuki World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tahun 2005. Hal ini merupakan manuver penting bagi China, karena China secara penuh telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pasar. Namun pada praktiknya, China ditengarai tengah membangun keunggulan untuk menyaingi kekuatan ekonomi AS.

(9)

3 Terdapat tiga karakteristik yang patut diperhatikan di Asia Timur (Yoshimatsu, 2008 : 8-9) menyebutkan, yakni a) politik great power yang mengkonstruksi kerangka kerja dinamika regional di Asia Timur, yang sebelumnya didirikan oleh AS melalui perang Pasifik; b) negara-negara besar Asia Timur memiliki ketahanan yang kuat terhadap kedaulatannya masing-masing dalam ranah sosial budaya, sehingga menghambat terbentuknya identitas regional (Pempel, 2005 : 257 dalam Yoshimatsu, 2008); serta c) superioritas negara dalam mengontrol masyarakat dan komunitas di dalamnya. Hal yang tersirat dari karakteristik tersebut ialah bahwa Asia Timur merupakan suatu kawasan yang memiliki relasi langsung dengan kepentingan AS, dan hubungan tersebut difasilitasi oleh negara. Implikasi dari karakteristik tersebut secara langsung dari segi globalisasi ekonomi ialah pertumbuhan pasar uang dan transaksi keuangan yang secara simultan juga memberi dampak pada restrukturisasi produksi transnasional dalam skala global. Bagi negara, akan sangat menguntungkan apabila dapat memanfaatkan kedekatan geografis dengan negara-negara besar di sekitarnya, karena akan mengurangi biaya perdagangan dan pembangunan. Namun tidak selalu demikian dengan aliansi politik yang relatif sulit dibangun, khususnya karena faktor karakteristik yang telah dibahas sebelumnya. Untuk itu, sangat wajar jika China memiliki beberapa strategi integrasi ekonomi yang memberi warna politik baru dalam pembentukan Asia Timur dari kacamatanya sendiri sebagai suatu cara untuk mempromosikan kebangkitan China ini.

Urgensi Kepemimpinan China di Asia Timur

(10)

4

sekelilingnya. Terlebih lagi, konsep tersebut akan membuka kerja sama ekonomi yang lebih bervariasi.

Terdapat beberapa peluang strategi kerja sama ekonomi yang telah terbangun sebelumnya di Asia Timur. Peluang-peluang ini juga mencerminkan opsi-opsi politik yang memiliki konsekuensi bagi sektor ekonomi. Pasca Perang Dingin, kerja sama ekonomi Asia Timur banyak diwarnai dengan kerangka regionalisme. Regionalisme tersebut terbangun dalam konteks bahwa keberadaan negara tertentu berperan sebagai inti dari kerjasama yang masih mengarahkan strategi pembangunan yang berbasis pada negara pemegang posisi terkuat sebagai pengendali (Grimes, 2009 : 107).

Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep Asia Timur, misalnya sejatinya konsep Asia Timur sebagai suatu kawasan merupakan pemikiran yang relatif baru, demikian juga dengan kepemimpinan di kawasan tersebut. Konsep East Asia Economic Caucus (EAEC) yang dicetuskan Mahathir Mohammad pada era 1990-an, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, gagal dalam realisasi (Terada, 2003 : 255-256) .

EAEC mengarahkan kerja sama ekonomi Asia Timur yang dimotori oleh Jepang, karena Jepang sebagai negara anggota G7 dan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Karena orientasi politik luar negerinya yang koheren dengan AS, usulan Mahathir menjadi tidak berjalan, walaupun Malaysia sangat membutuhkan tampilnya Jepang karena kesamaan orientasi kebijakan ekonomi kedua negara. Jepang juga enggan untuk kembali memimpin secara politik atau militer di Asia Timur, utamanya karena faktor sejarah Perang Pasifik yang secara politis tidak akan menguntungkan bagi Jepang. Jepang banyak mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi.

(11)

5 unilateral karena terikat dengan peraturan WTO; (c) tidak hadirnya sebuah manajemen tingkat atas selain dalam kerangka WTO, yang nantinya dapat mencegah konflik perdagangan menyebar ke seluruh kawasan.

Gagasan mengenai ASEAN+3 tersusun berdasarkan konteks tatanan resistensi tehadap resiko krisis. ASEAN+3 diharap mampu menjadikan dirinya wadah bagi pertukaran budaya, bisnis, dan bahkan praktik diplomasi ekonomi dan diplomasi komersial. Pasca krisis Asia 1997-1998, Chiang Mai Initiatives (CMI) muncul sebagai alternatif menghadapi gelombang krisis yang mungkin akan menyerang kembali, dalam kerangka kerja ASEAN+3 tahun 2000. Kerja sama ini baru diperbarui menjadi Chiang Mai International Initiatives (CMII) pada 2010 (Peterson Institute of International Economics, 2011). CMI adalah usulan kerja sama currency swap atau pertukaran mata uang dalam konteks finansial, terutama mengenai cadangan devisa suatu negara. Jika mata uang suatu negara sedang lemah karena krisis, maka mekanisme konversi mata uang dalam cadangan devisa ini menjadi pilihan yang bijak untuk tidak mengurangi kuantitas nilai cadangan devisa. Melalui salah satu contoh tersebut, masalah finansial merupakan masalah makro-ekonomi yang tak terhindarkan lagi untuk dipertimbangkan kala menghadapi krisis.

Terdapat wacana pembentukan East Asian Economic Community (EAEC), yang sekiranya diprediksikan akan terjadi pada tahun 2050. Kerangka East Asian Economic Caucus terdahulu yang hanya berbasiskan negara-negara Asia Timur, lebih menguntungkan bagi negara-negara kecil. Pasalnya, jika harus membentuk sebuah kerja sama regional, bentuk East Asian Cooperation akan lebih diutamakan, karena lebih bernuansa “Asia” daripada “Pasifik” yang diusung oleh APEC. Karena agenda liberalisasi ekonomi yang dikemukakannya, tentu akan berujung pada pembukaan pasar bebas yang luas. Sementara jika AS dan Kanada juga telah tergabung dalam North American Free Trade Area (NAFTA) yang telah mantap sebagai suatu pasar bebas regional. Hal tersebut akan mungkin menjadikan posisi tawar negara Asia Timur lain menjadi tersubordinasi.

(12)

6

tolok ukur kebijakan luar negeri sektor ekonomi di kawasan. Uni Eropa (UE) dan AS diramalkan akan tetap menjadi pasar terbesar, namun China akan mampu mengimbangi Jerman pada dekade berikut dalam gross domestic products (GDP) nominal nya. Salah satu indikator GDP ialah kemampuan suatu negara meraup keuntungan perdagangan.Grafik di bawah ini merupakan cerminan perkembangan GDP pada 2020.

Grafik 1. Prediksi Pembagian GDP Nominal Dunia tahun 2020

Sumber : WEO, 2007 dan Winters & Yusuf, 2007 dalam Baldwin & Carpenter, 2008

(13)

7 dalam perdagangan. Dengan masih kuatnya kepentingan ekonomi AS di Asia Timur, akan sangat sulit bagi China untuk mempertahankan pasar yang telah didapatnya. Untuk itulah, China perlu mengeluarkan banyak inisiatif multilateral untuk membendung skenario multilateral AS di kawasan.

Status Ekonomi-Politik China di Kawasan Asia Timur

Kebijakan luar negeri China di abad ke-21 lebih mengemukakan prinsip non konfrontasi namun tetap proaktif. Hal tersebut ditujukan untuk mencitrakan China yang tidak agresif dan dapat bekerja sama dengan mudah. Prinsip tersebut merupakan refleksi dari kepentingan domestik China dan Partai Komunis China (PKC) melalui internal balancing dan soft balancing American Power. China menitikberatkan pembangunan ekonomi sebagai upaya membendung unipolaritas AS pasca Perang Dingin. Selain itu, penting bagi PKC untuk mempertahankan legitimasinya melalui politik kesejahteraan setelah komunisme mulai luntur di China (Wang, 2010 : 557-558).

Pembangunan ekonomi merupakan langkah mundur perlahan dari kebijakan ekonomi terkendali, dimana negara mengatur pasar, dan pasar mengatur badan-badan usaha. Kebijakan ini terwujud dalam penyelenggaraan perdagangan, investasi, dan zona khusus perusahaan di provinsi-provinsi pesisir (Hasan, 2008 : 580-587). Namun terdapat beberapa kondisi yang harus diperhatikan perkembangannya sebagai barometer ambisi China untuk mengejar posisi sentral di sektor ekonomi Asia Timur.

(14)

8

power dan exceptionalism China sebagai negara yang melihat negara lain beroperasi dibawah pengaruhnya, sehingga segala kebijakan luar negerinya pun betul-betul diarahkan ke dalam negeri (Zhang, 2013:306-323).

Sementara itu, China melihat wilayah Asia sebagai saluran strategis untuk merangkul masyarakat internasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni “Asia yang Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral. China membidik Asia Selatan, Asia Tengah dan wilayah timur laut Asia, dengan menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan bilateral (Hwang dan Chen, 2010:109-110).

Kedua, China juga memainkan peranan penting dalam stabilitas perdagangan dan finansial pasca krisis ekonomi global tahun 2008. Cadangan devisanya yang besar memudahkan China bermanuver dalam hal ini. Pilihan antara China dan Asia Timur untuk kerja sama kawasan ialah dengan mengukuhkan new regionalism (Pangestu dan Gooptu, 2003:107). Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain a) motivasi negara-negara Asia Timur untuk tidak terlarut dalam krisis finansial, b) negara-negara Asia Timur cenderung ingin bekerja sama lebih erat dengan China, c) kepentingan bisnis masing-masing negara untuk lebih terintegrasi ke pasar internasional, dan d) pergerakan ekonomi skala sedang berkembang untuk meningkatkan daya saing. Sementara itu, China lebih memilih untuk bermain aman dalam setiap gelaran East Asia Summit karena masalah keanggotaan East Asia Community (EAC), dimana negara-negara seperti India, Australia, dan Pasifik selalu terlihat dibendung oleh China dalam upaya mereka untuk dimasukkan menjadi anggota.

Pasca krisis ekonomi global seputaran 2007-2008, negara anggota G3 yakni Uni Eropa, Jepang, dan AS mengalami perlambatan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi agregat di Asia Timur saja telah mencapai rata-rata 8% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi dunia hanya 4% per tahun pada 2010 (UNESCAP, 2011). Momentum perlambatan ekonomi AS juga merupakan peluang besar bagi China untuk menumbuhkan kepercayaan Korea Selatan dan Jepang sebagai sekutu utama di kawasan.

(15)

9 investasi asing yang masuk ke dalam negeri (World Investment Report, 2013). Berikut ini sebaran aliran investasi asing langsung di kawasan Asia Timur.

Tabel 1.

Sebaran Aliran Investasi Asing di Antara Ekonomi Kawasan Asia Timur (2012)

Sumber : United Nations Conference on Trade and Development, 2013

Manuver China untuk menarik investasi pasca krisis perlu dicermati sebagai upaya untuk menjadi hegemon ekonomi-politik di kawasan, bukan hanya sebagai aksi profit-taking belaka, China memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara Asia Tenggara, sementara AS masih bersikukuh mempertahankan kebijakan neoliberalnya untuk mendevaluasi mata uangnya. Kepemimpinan China didominasi oleh soft-power utamanya sejak 1990-an, dengan menampilkan kebijakan luar negeri yang merangkul dan lebih konstruktif (Sohn, 2010:504-505).

(16)

10

post-communist emerging market di era Deng Xiaoping. Selain itu China juga mengadopsi model East Asian Developmental State dengan meniru karakter kunci dari pembangunan di Jepang pada tahun 1950-1960-an dan Korea pada tahun 1970an. Kedua negara itu utamanya menerapkan kebijakan transformasi industri. Situasi ekonomi di Asia Timur selama kurang lebih 20 tahun belakangan, di mana pola kerja sama ekonomi industrial dipimpin oleh Jepang. Selama itu pula Jepang bertindak sebagai aktor terdepan dalam formasi V atau the flying geese formation dalam pola pembangunan. Namun, hal tersebut menjadi kurang relevan di era kontemporer, karena China perlahan muncul sebagai aktor strategis baru. Secara bertahap, pola interaksi antar wilayah industri di Asia Timur menjadi berubah, fokusnya adalah pada kebangkitan wilayah pantai China dalam mengarahkan ekonomi regional.

ASEAN dan Asia Tenggara menjadi medan perebutan pasar antara kedua negara, sehingga ASEAN juga menjadi prioritas politik luar negeri China. Pada tahun 2000, ACFTA diimplementasikan, dan satu dekade kemudian, China telah menyumbangkan jumlah simpanan yang sama dengan Jepang (38,4 juta Dolar AS) kepada Asian Currency Crisis Fund (120 milyar Dolar AS) di bawah Chiang Mai Initiative Multilateralisation Agreement. China juga berupaya menyeimbangkan posisi tawar dengan Jepang di berbagai forum multilateral. Tabel di bawah ini berusaha menunjukkan kecenderungan tersebut.

Tabel 2.

Keanggotaan China dan Jepang dalam Organisasi Internasional/Multilateral

(17)

11 Proyeksi Strategi Ekonomi Multilateral China di Asia Timur

Dalam mempertimbangkan kesesuaian bentuk kerja sama, maka sangat penting untuk melihat kembali kompleksitas suatu kawasan. Regionalisme, harusnya menjadi sebuah bentuk kerja sama yang mencerminkan persamaan identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang mencerminkan collective action. Namun, para aktor (terutama negara) di Asia Timur terkesan lebih melihat ke arah mana konstelasi politik global akan mengarah. Melihat kondisi tersebut, integrasi Asia Timur masih dalam bentuk regionalisme terbuka atau open regionalism, dimana belum terdapat kesepakatan yang mengikat dalam hal teknis maupun substansial. Asia Timur juga masih dalam tahap pencarian bentuk kerja sama regional yang sesuai. Ketidakpastian ini nampaknya dimanfaatkan secara afirmatif oleh China, dengan menampilkan beberapa inisitaif yang menguntungkan negara tersebut.

Pertama, krisis ekonomi membawa banyak negara bersikap pragmatis dan lebih proteksionis terhadap ekonominya, namun kawasan Asia Timur justru mulai berbenah untuk membentuk “monetary regionalism” (Dieter dan Higgot, 2002). Hal tersebut juga dapat ditentang dengan berbagai argumen, namun perlu untuk melihat celah perkembangan lain yang terdapat di dalamnya, dan apa saja faktor penggeraknya. Namun China juga tetap berupaya mengamankan kepemimpinannya di sektor keuangan dan investasi. Wakil Menteri Keuangan China, Zhu Guangyao, menegaskan bahwa China mendukung terbentuknya Asian Infrastructure Investment Bank, serta menyatakan niatan politik untuk membangun infrastrukturnya di negara berkembang di Asia Timur (Xinhua, Oktober 2013).

(18)

12

Grafis 2. Arus FDI menuju China (1990-2005)

Sumber : UNCTAD, 2007

Inisiatif China untuk mengembangkan kerja sama regional di bawah pengaruhnya akan memerlukan struktur finansial yang kuat, terlebih lagi pertumbuhan ekonomi sebagai strategi sentralnya. Sebelumnya, jumlah FDI yang masuk ke dalam negeri terbanyak diraih oleh Jepang, dimana China merespon secara reaktif pada masa pemerintahan Deng Xiaoping tanpa strategi tertentu dengan kebijakan Open Door Policy-nya. Hingga 2008, China telah mampu menjadi negara dengan perekonomian yang didorong oleh produksi dan mengalami pertumbuhan GDP sebesar 10% (Wang, 2011:200-201). Menariknya, China juga menjadi anggota WTO, namun lebih memilih menjalankan kerja sama ekonomi regional daripada multilateral karena mempertimbangkan stagnasi WTO yang berkepanjangan (Zhang, 2010).

(19)

13 kepercayaan bahwa China ialah sebuah ancaman, sekaligus menumbuhkan sektor keuangan China seperti terlihat pada Grafik 2 di atas.

Tidak jelas mengapa China terkesan kurang transparan dalam pemaparan nilai investasi riilnya, namun justru anggaran pertahanan China yang meningkat dapat diketahui dengan estimasi dalam berbagai rilis yang mengarah pada peningkatan yang tajam. Kecenderungan yang dapat diamati ialah bahwa negara-negara di kawasan Asia Timur mengalami China Shock karena pertumbuhan ekonomi dan militernya yang berbasis nilai-nilai.

Kedua, inisiatif industri dan perdagangan. Kebanyakan dari seluruh bentuk rezim kerja sama regional memiliki kekuatan dominan yang mengarahkan prospek kerja sama itu sendiri, baik dari aktor negara maupun poros aliansi tertentu. Kekuatan dominan tersebut akan relatif memengaruhi peta persaingan, konflik, dan pola-pola interaksi antar aktor di dalamnya secara umum. Demikian pula dengan wilayah Asia Timur, yang menitikberatkan peran China yang sangat signifikan dalam menentukan pola hubungan antara delapan wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Kedelapan wilayah tersebut terdapat di negara China (Zhujiang, Changjiang, Jing-Jin-Ji); Jepang (Kanto, Chubu, Kinki); dan Korea Selatan (Seoul dan wilayah Yeongnam).

Grafis 2. Delapan Wilayah Inti Industri Asia Timur

(20)

14

Kim mengutip Akamatsu (1961) bahwa transfer teknologi dapat terjadi dari impor produk yang dilakukan oleh negara-negara kurang berkembang dari negara maju. Sedangkan Vernon (1966) memfokuskan bahwa industri hanya berkembang di negara maju yang berpendapatan tinggi, yang berkembang karena ekspornya meningkat. Namun terdapat kekurangan dalam konsep tersebut, yang meminggirkan realita bahwa perdagangan saat ini terbingkai dalam globalisasi ekonomi, yang melibatkan kerja sama multilateral. Kim mempertegasnya dengan mengutip Bernard dan Ravenhill (1995) bahwa terlah terbentuk jaringan produksi global yang melampaui batas-batas negara, sehingga strategi kerja sama perlu bergeser dari inter-state menjadi inter-region. Kim menyimpulkan, terdapat 3 level difusi sektor industri sebagai salah satu inti aktivitas ekonomi di Asia Timur, yakni domestik, supranasional, dan inter-regional relations.

Kedelapan wilayah tersebut terpencar dalam tiga negara : China, Jepang, dan Korea Selatan. Jika melihat angka pendapatan bersih domestik regional/ gross regional domestic product (GDRP), daerah Kanto di Jepang unggul jauh. Namun hal tersebut diukur dengan indikator nilai tukar mata uang. Di sisi lain, jika diukur menggunakan ukuran daya beli masyarakat, Jepang disaingi secara ketat oleh China. Padahal selama beberapa dekade Jepang telah merajai sektor jaringan industri dan perdagangan di Asia Timur laut dan Asia Tenggara. Tulisan ini juga memetakan bahwa sejak tahun 1980an China mulai sukses berkecimpung di produksi manufaktur mengalahkan Jepang, namun Jepang masih unggul di sektor jasa, dan bersama Korea, Jepang terdepan dalam sektor finansial. Pada 2007, terdapat klasifikasi landscape ekonomi, yakni besar (Kanto), sedang (Changjiang, Zhujiang termasuk Hong Kong), dan 5 daerah sisanya yang termasuk memiliki pengaruh ekonomi kecil. Ukuran besar kecilnya skala ekonomi dilihat dari persen sumbangan mereka terhadap agregat GDRP.

(21)

15 ini melalui industri. Negara lain hanya dapat melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang teknologi dan teknik, namun hanya untuk menyesuaikan diri dengan gerakan-gerakan China. Untuk sekedar mampu menyamai nampaknya relatif berat bagi Korea dan Jepang, terlebih lagi jika hendak melewati kemajuan China.

Perluasan pengaruh politik di luar kawasan Asia Timur dapat dipandang sebagai faktor penarik investasi. Strategi lain untuk meningkatkan keunggulan China di Asia Timur adalah dengan ikut menerapkan pengelompokan sektor industri atau cluster, yang melibatkan pemerintah lokal dan nasional. Di Jepang, terdapat pengelompokan wilayah industri yang kuat dan terspesialisasi, dengan fokus industri automobil, mengejar transformasi industri berteknologi tinggi termasuk robot, luar angkasa, dan nano teknologi. Sementara Korea, berkutat dalam teknologi informasi, perkapalan, dan lingkungan. China merespon dengan membangun cluster dalam automobil, petrokimia, permesinan, elektronik, baja, pakaian, tekstil dan makanan. Pemerintah China berencana menjadikan Beijing sebagai pusat politik, keuangan, dan teknologi industri; beserta perangkat industri lain yang berbasis pengetahuan.

Sementara itu, China berkembang menjadi mitra dagang teratas bagi kebanyakan negara Asia Timur, dan kebanyakan hubungan dagang tersebut digerakkan oleh delapan wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Antara 2000-2007, volume perdagangan Korea dan Jepang ke China makin meningkat, dan sekali lagi berpusat pada kedelapan wilayah inti ekonomi itu. Namun bagi China, Korea dan Jepang menjadi kurang diprioritaskan sebagai mitra dagang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah pantai China merupakan aktor terpenting dalam hubungan antar regional industri di Asia Timur, dan menjadi penghubung inti setiap hubungan inter-regional domestik di kawasan.

(22)

16

ekonomi untuk mencapai critical mass atau kemampuan untuk berproduksi secara berkelanjutan, serta c) perubahan nuansa interdependensi Utara-Selatan dan persyaratan kerjasama.

Penerapan strategi open regionalism juga menjadi ciri pendekatan pemerintah China dalam merangkul kawasan (Carl, 2001 dalam Jilberto dan Hogenboom, 2007:324). Pendekatan ini juga dilakukan di kawasan Asia Timur, sehingga upaya-upaya politik China menjadi lebih fleksibel, mengingat China juga memiliki berbagai problem keamanan regional serta sengketa teritorial yang mampu memberi konsekuensi negatif jika Asia Timur berada dalam regionalisme tertutup.

Dalam bingkai perdagangan, China sangat konsisten dalam berekspansi baik antar sub regional maupun hubungan langsung dari kota ke kota. Terdapat dua poin unik dalam hubungan regional ini. Pertama adalah Jepang, yang mengintensifkan perdagangan antar sub regional domestik Jepang dengan area Kinki sebagai pusatnya. Hal ini tidak dilakukan di China maupun Korea. Sedangkan yang kedua, Korea tidak dalam posisi memperluas pengaruh terhadap wilayah lain, serta sangat pasif dalam menerima pengaruh wilayah lain. Pemerintah China sendiri dikatakan tidak terlalu terpengaruh apakah Jepang dan Korea intens berdagang ke negaranya. Wilayah Jing-Jin-Ji dan Chanjiang adalah dua area pesisir China yang sangat berpengaruh di kawasan, karena mampu meminimalisasi resiko bisnis dengan menjalin banyak kerja sama industrial.

Kesimpulan

(23)

17 yang mengharuskan reposisi dan mengkondisikan wilayah mereka untuk aktivitas ekonomi trans-border.

Namun memasuki abad ke-21, pergerakan globalisasi, perjanjian perdagagan bebas, serta aktivitas transnasionalisme dalam politik global berperan signifikan dalam membentuk perilaku para aktor di dalamnya, terutama para pengambil keputusan. Untuk itu, Kim memberi spekulasi bahwa pemenang dalam persaingan ekonomi regional ini adalah para aktor yang memiliki “bakat” atau talent, serta teknologi. Hal tersebut dirasanya lebih penting bagi pertumbuhan ekonomi daripada sekedar memerhatikan pembagian kerja atau division of labor.

China memang menjadi aktor yang tangguh dalam bidang ekonomi dengan meminimalisasi biaya produksi dan segala macam efisiensi yang terkait. Sejak tahun 1978 pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, China mulai terbuka bagi perdagangan luar negeri yang tidak ekslusif walaupun hanya dalam beberapa konteks. Hal tersebut kemudian diikuti oleh doktrin politik luar negeri The Peaceful Rise of China yang dicanangkan pada tahun 2000-an untuk memberi kesan pada dunia bahwa China bukan berdiri sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra negara-negara di dunia. Dengan mengedepankan soft power diplomacy, China mengembangkan konsep negara yang bersahabat dan turut bertanggung jawab terhadap perdamaian dunia.

Kesimpulan mengenai artikel ini dapat dimulai dari analisa situasional kontemporer. Menilik keadaan politik terkini di Asia Timur dan sekitarnya, berkembangnya China menyebabkan terjadinya dominasi dan hubungan luar negeri yang asimetrik antar negara di Asia Timur, bahkan di belahan dunia lain. Perilaku aktor lain di dalam kerangka delapan wilayah ekonomi regional inti, sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil China. Pertanyaan besarnya adalah, apakah dominasi ekonomi China akan semakin mengintegrasikan kawasan Asia Timur, ataukah sebaliknya. Hal ini bisa menjadi paradoks yang rentan berbalik pada China setiap waktu, jika tidak diimbangi dengan kalkulasi perilaku di bidang keamanan regional yang diharapkan tidak agresif.

(24)

18

Jepang dan Korea Selatan seakan terabsorpsi, selain karena krisis ekonomi global dan bencana alam telah merenggut kemajuan ekonomi mereka.

Intensitas perdagangan di wilayah Asia Timur cukup besar sejalan dengan naiknya popularitas China di dunia. Tak pelak jika China menjadi sentra dari perumusan kebijakan luar negeri berbagai negara. Pola interaksi dan kerja sama di Asia Timur telah dalam kendali China. Dominasi wilayah zona industri inti ini menjadikan konstelasi ekonomi-politik di Asia Timur menjadi statis, karena kekurangan warna kompetisi terutama dalam menghadapi daya saing China.

China memang fleksibel dalam pembangunan ekonomi dengan mekanisme penyesuaian dirinya yang sangat cepat. Hal tersebut berarti transformasi ekonomi juga mengalami penguatan. Namun berkaitan dengan ekonomi-politik, cerminan sikap bandwagoning Jepang dan Korea dari artikel ini mencerminkan kuatnya politik luar negeri China dalam bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan.

Unifikasi regional dalam bidang ekonomi-politik nampaknya memiliki kemungkinan, hanya apabila jika China mengarahkan dominasi ekonominya ini kepada integrasi kawasan. Bentuk yang cukup sesuai dengan cita-cita politik seperti ini ialah regionalisasi, yang didefinisikan sebagai ekspresi meningkatnya transaksi komersial dan transaksi-transaksi lain yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan regionalisme kurang cocok dijadikan tujuan integrasi, jika tidak hendak menafikan kemungkinan akan diwujudkan. Regionalisme merupakan bentuk integrasi yang lebih canggih lagi, di mana terdapat perasaan persamaan identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang mencerminkan collective action.

(25)

19 mulai beralih ke negara-negara berkembang yang lain, karena pasar yang ditarget akan lebih luas. Dengan fenomena seperti itu, hubungan interdependence antar kawasan industri di kawasan Asia Timur dapat berubah menjadi dependence Korea dan Jepang yang kemudian mendudukkan China sebagai dominator.

Jika situasi dependence Korea dan Jepang tersebut terus berlangsung, hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap integrasi kawasan Asia Timur. Secara logis, implementasi kebijakan integrasi, baik secara utuh maupun sektoral, akan mengorbankan sebagian kedaulatan dari suatu negara. Tidak mengherankan jika China nantinya akan enggan menyetarakan posisi tawarnya untuk mengembangkan integrasi di bidang ekonomi ini sendiri. Namun, di sisi lain, dengan adanya dominasi, integrasi tersebut dapat saja terlaksana, dengan syarat Korea dan Jepang rela menyesuaikan sebagian visi ekonominya di bawah kendali China. Dengan sikap politik yang lebih akomodatif, akan lebih menguntungkan bagi Jepang dan Korea untuk bekerja sama, daripada misalnya menyiapkan strategi hambatan perdagangan yang merugikan dan konfliktual. Namun, Jepang dan Korea hendaknya juga memerhatikan kompensasi politik yang akan didapatkan, agar tetap tercipta stabilitas ekonomi di dalam negeri masing-masing.

(26)

20

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Evans, Paul. 2005. Between Regionalism and Regionalization : Policy Networks and The Nascent East Asian Institutional Identity. Dalam Pempel, T. J. (eds). Remapping East Asia The Construction of A Region. New Jersey : Cornell University Press

Jacob, Jabin T. 2012. China report :China in Southeast Asia: The Search for a Chinese Model of International Relations. Sagepub online

Kim, Won Bae. 2010. The Rise Of Coastal China And Inter-Regional Relations Among Core Economic Regions Of East Asia. Springer-Verlag.

UNCTAD. 2005. World Investment Report 2005: Transnational Corporations and the Internationalization of R&D. New York and Geneva: United Nations.

Yoshimatsu, Hidetaka. 2008. The Political Economy of Regionalism in East Asia Integrative Explanation for Dynamics and Challenges. New York : Palgrave MacMillan

Jurnal

Baldwin, Richard E. 2008. Managing The Noodle Bowl: The Fragility Of East Asian Regionalism. The Singapore Economic Review, Vol. 53, No. 3

Hasan, Rumy. 2008. Reflections on the Impact upon China's Polity from the Retreat of State Capitalism. Jurnal Critical Sociology. Crit Sociol 2008 34: 575.

Hwang, Jaeho dan Chen Dongxiao. 2010. China's Harmonious Asia Strategy. Jurnal International Area Studies Review 2010 13: 105

Jilberto, Alex E. Fernández dan Barbara Hogenboom. 2007. Developing Regions Facing China in a Neoliberalized World. Journal of Developing Societies. 23: 305

Lee, Jae-Seung. 2002. Building an East Asian Economic Community. Jurnal Les Etudes du CERI, no.87, Mei 2002. Centre d’etudeset de Recherces Internationales. Paris : Sciences Po.

Sohn, Injoo. 2012. After Renaissance: China's Multilateral Offensive in the Developing World. European Journal of International Relations Sage Publication http://ejt.sagepub.com/content/18/1/77

Terada. Takashi. 2003. Constructing an ‘East Asian’ Concept and Growing Regional Identity: from EAEC to ASEAN+3. Jurnal The Pacific Review , Vol. 16 No. 2.

Wang, Yuan Kang. 2010. China's response to Unipolar World : The Strategic Logic of Peaceful Development. Journal of Asian and African Studies vol 45 http://jas.sagepub.com/content/45/5/554

Wang, Yuzhu. 2011. China, Economic Regionalism, and East Asian Integration. Japanese Journal of Political Science 12 (2) 195–212

Yang, Jian. 2010. Japan's Decline Relative to China: Scenarios and Implications for East Asia. Jurnal Political Science. Vol 62 : 146

(27)

21 http://ejt.sagepub.com/content/19/2/305

Zhang, Yunling. 2010. East Asian Cooperation Need Innovations, Guoji Jingji Pinglun (International Economic Review), 1: 29–37.

UNCTAD Investment Brief. Number 2, 2007

Website

Kroeber, Arthur. China’s Industrial and Foreign Trade Policies: What Are They and How Successful Have They Been?. 2006. Halaman 1 website : <http://www.polsci.indiana.edu/China/papers/kroeber.pdf> diakses pada 2 Oktober 2011. Pukul 17.25

Pangestu, Mari dan Sudarshan Gooptu. 2003. New Regionalism, Options for China and East Asia. Jurnal East Asia Integrates : A Trade Policy Agenda for Shared Growth. 2003. World Bank Site Source Publications.

The Chiang Mai Initiatives. Institute for International Economics. http://www.iie.com/publications/chapters_preview/345/3iie3381.pdf

(28)
(29)

23

Konvensionalisme Ilmu Hubungan Internasional: Sebuah

Proyeksi untuk Metode Terintegrasi

Ziyad Falahi2

Abstract

This Article try to discuss the prospect of Conventionalism in international relation studies. International Relations (IR) has been undergoing a great upheaval in the last three decades as positivism, the foundational epistemology of most schools of thought in IR, has come under attack by a loose confederation of theories tied together through their critique of the basic positivist assumptions. This debate is not a simple two-sided discussion, however, as reflectivists are not united by anything more than their disagreement of positivism, and each reflectivist disagrees with various positivist assumptions for different reasons. Some framework within IR study to prevent the anarchy that could follow in the wake of reflectivism and while positivism is in no ways perfect, or even close to it, it still provides such a framework that if made to be self-reflective and continually evolving, could provide the stability needed.

Keyword: conventionalism, methodology, post-positivist, realism

“International relation theories is not only about politics, it also is itself political”

Ketika para positivis terpacu untuk membingkai studi hubungan internasional sebagai sebuah disiplin yang praktis dan scientific, ungkapan diatas mendekonstruksi proyek intelektualitas kaum positivis tersebut (Hutching, 2009; Burchill, 2009). Kimberly Hutching dan para penganut teori kritis lainya skeptis bahwa Ilmu Hubungan Internasionaldapat dipelajari terpisah dari subyektivitas penelitinya. Sehingga perlu di pertanyakan kembali mengenai apakah free-value memang benar-benar ada dan perlu dalam ilmu sosial. Kemunculan kaum critical theory merefleksikan suatu agenda baru dalam studi hubungan internasional, dimana para ilmuwan sesungguhnya membawa suatu misi “emancipatory” (Habermas, 2004).Dengan demikian perlu kiranya menyadari bahwa studi hubungan internasional tidaklah murni akademis, melainkan “knowledge is always constituted in relection of interest (Ashley, 1988: 227-262).

(30)

24

Secara ontologis, kaum positivis berkeyakinan bahwa kebenaran ada diluar pemikiran manusia (external world). Melalui artikel Richard Devetak dapat disimak bahwa keyakinan positivisme terkenal sebagai idiom “the truth is out there” (Donnely, 2009). Sehingga perlu adaya sikap distansi penuh antara subyek peneliti dengan obyek yang diteliti. Penempatan subyek terlepas terhadap obyek menjadi penting guna mendapatkan suatu pengetahuan yang bebas nilai. Realitas internasional sebagai obyek kajian yang diamati, haruslah dijauhkan dari ideologi, kepercayaan, dan etika dari sang peneliti, sehingga antara fakta dan value haruslah dipisahkan.Namun permasalahan yang muncul dari keyakinan ontologi kaum positivis adalah bahwa sesungguhnya belumlahada yang dinamakan pengetahuan bebas nilai. Latar belakang peneliti, tempat, dan waktu sangat menentukan hasil pemikiran dari para teoritisi, seperti yang disebut sebagai “situated knowledge” (Honneth, 2004). Bahkan Robert Cox menyebutkan “Theories is always for someone and for some purpose” (Cox, 1981). Oleh karenanya, pengetahuan dan politik sulit dipisahkan karena fondasi kekuasaan ternyata membutuhkan legitimasi pengetahuan. Sebagaimana asumsi Karin Frierke bahwa dogmatisme ternyata tidak hanya dalam ajaran agama, atau militer, melainkan juga dalam dunia akademis yang lebih mengandalkan kebenaran prosedural.

(31)

25 hidup dalam bumi yang sama. Oleh karena itulah, kaum reflektivis mendapat kritik karena dianggap justru memungkinkan adanya egosentrisme masing-masing komunitas intelektual untuk eksklusif pada asumsinya masing-masing-masing-masing.

Sebelumnya, penelitian kuantitatif cukup ampuh dalam rangka mencari tautology antar variabel. Hasil yang didapatkan cenderung presisi karena dengan kemajuan teknologi, maka data dapat dengan mudah didapatkan dan dikoreksi. Metode kuantifikasi mampu menjadi inductive behavior dengan melakukan apa yang disebut sebagai generalisasi deskriptif. Namun aspek semacam identitas, persepsi menjadi aspek yang sulit ditelaah dengan metode kuantitatif.

Padahal Ilmu Hubungan Internasional bersifat persepsional, semisal contoh deterrence, game theory dan hegemoni (Jervis, 1988: 317-349). Dengan kemunculan metode linguistik dalam literatur hubungan internasional, membuat angka dan statistik tidak cukup untuk menganalisa problem yang berkaitan dengan aspek non fisik, yakni bahasa.

Dengan kata lain, teori dalam Ilmu Hubungan Internasional merupakan sebuah basis opini yang tentunya tidak bisa dilepaskan dalam ikatan historis/realitas. Sebuah teori terlepas dari kekuranganya sukar untuk dijustifikasi “tidak relevan” karena pada hakikatnya realitas tidaklah juga tidak bisa dilepaskan dari teori. Pandangan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa dilema antara logika deduksi (kuantitatif) dan induksi (kualitatif) bisa jadi merupakan dikotomi. Oleh karena itulah, sekalipun terkesan utopis, tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi pentingnya konvensionalisme sebagai upaya mencapai kolekivitas metode dalam Ilmu hubungan Internasional (Chemoff, 2010).

Problem Aksiomatik Realisme

(32)

26

Thucydides, Clauzewitz, Grotius dan Machiavelli. Beberapa nama populer tersebut dikaitkan dengan tradisi logika realisme klasik lantaran model berpikir dengan menekankan raison d’etat yang memperlihatkan urgensi strategi manajemen kekuasaan dalam menghadapi ancaman entitas eksternal. Dengan begitu, maka penting untuk mempertanyakan kembali benarkah siklus perang dan damai alamiah? Pertanyaan tersebut ternyata dapat ditinjau secara filosofis melalui trayektori pemikiran realisme. Realisme dalam studi Ilmu Hubungan Internasional menjadi paradigma yang menghalalkan strategi manajemen kekuasaan berbasis kekerasan karena sekali lagi, “anarki” merupakan kondisi alamiah yang senantiasa terjadi.

Pemikiran kaum realis klasik menekankan analisanya pada The Nature of Man. Sebagai contoh Morgenthau yang melihat manusia pada hakikatnya “animus dominandi”.Sedangkan Machiavelli dalam karyanya ill principe menekankan bahwa negara menjadi kuat ketika politik yang kejam dilakukan dalam koridor the ethic of responsibility. Asumsi mengenai hakikat manusia dapat ditinjau lebih kebelakang ketika Thucydides dalam bukunya tentang Peloponesian War memaparkan adanya security dilemma yang dihadapi oleh Athena menunjukkan jika naluri berperang menjadi sulit dihidari. (Viotti dan Kauooi, 2010:78-89). Yang sedikit mengherankan adalah Hugo Grotius yang menekankan urgensi adanya international ethics and norms masuk kedalam komunitas realisme, padahal dalam beberapa literatur, Grotius dikaitkan dengan pemikiran English School. Grotius pada akhirnya bersikap pesimis akan adanya perdamaian jika tanpa adanya konsensus bersamasehingga membuatnya dikaitkan dengan filsafat realisme klasik.

(33)

27 menguasai. Hubungan antar negara digambarkan dalam sebuah logika anarkis dimana tidak ada kekuasaan tunggal dan konsensus bersama, sehingga negara bertindak atas dasar kepentingan nasional. Lebih daripada itu, menelaah trayektori pemikiran menjadi penting karena teori lahir karena aspek-aspek yang melatarbelakanginya. Semisal pandangan Thomas Hobbes mengenai Leviathan tak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya dalam nuansa civil war inggris tahun 1640. Begitu pula seorang Clauzewitz yang memandang perang sebagai langkah rasional tak terlepas dari status jabatanya sebagai panglima perang Prussia pada abad ke 19 (Krassner, 2009).

Secara general, Viotti dan Kauppi menderivasikan realisme menjadi empat prinsip. Pertama realisme menekankan negara sebagai aktor utama. Kedua, negara merupakan aktor yang otonom dan terintegrasi dimana artikulasi kebijakan dalam black box tidaklah dipandang sebagai faktor determinan dari luar yang mempengaruhi otensitas kebijakan. Yang ketiga menjadi asumsi yang rentan dikritik adalah esensialisme realisme yang menyatakan bahwa negara selalu rasional dan purposif. Asumsi yang tentu menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana mengukur rasionalitas negara. Dan yang keempat sekaligus terakhir adalah prioritas masalah keamanan dan hard politics sebagai core issues dalam studi hubungan internasional.

Selain itu muncul problem ontologis ketika realis senantiasa dikaitkan dengan negara.Padahal terdapat perbedaan antara model city state pada era Yunani dengan model nation state yang muncul pasca Westphalia tahun 1648. Disini tampak bahwa negara bangsa dititikberatkan realis sebagai aktor utama. Namun dalam era ekolonisasi pasca Perang Dunia, model negara bangsa mulai dipertanyakan kembali. Terutama banyak munculnya negara baru dimana dalam satu state terdapat beberapa nation, semisal negara Afrika yang batas kedaulatanya ditentukan oleh penjajah sehingga perpolitikanya menjadi tidak stabil. Ditambah dengan fenomena pasca Perang Dingin seperti etnosentrisme, seccesionisme dan irredentisme semakin menunjukkan lemahnya analisa dalam level state (Ashley, 1984).

(34)

28

Internasional dikenal adanya terminologi agen dan struktur dimana kedua istilah tersebut berkaitan dengan metodologi. Analisa agent memandang bahwa perilaku aktor, atau dalam realis adalah negara, dilakukan berdasarkan rational choice. Sehingga tidak ada sebab (causa) atau faktor determinan eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku aktor. Sebaliknya pendekatan struktural menekankan bahwa perilaku negara sebagai aktor sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni struktur yang bersifat constraint. Oleh karenanya aktor melakukan sesuatu dalam kondisi keterpaksaan akibat dorongan faktor eksternal.

Richard Ned Lebow menguraikan realisme dalam bentuk yang lebih ringkas. Power tak lain merupakan hakikat utama hubungan internasional seperti yang digambarkan Morgenthau dalam “Politics Among Nation”. Morgenthau menekankan bahwa politik dalam bentuk yang substansial adalah arena “Struggle for Power”. Pesimisme Morgenthau dipererkuat oleh Edward Hewlet Carr yang dalam bukunya “Twenty Years Crisis”menunjukkan secara empiris bahwa rasa takut masih muncul pasca Versailles 1919 hingga meledaknya Perang Dunia II tahun 1939. Sehingga, Carr menyimpulkan bahwa ketakutan adalah inti dari hubungan internasional dimana yang ada hanyalah perdamaian semu. Balance of Power menjadi obyek kajian yang meskipun sangat ambigu tetapi masih bisa menjelaskan perihal era kontemporer (Dunne, 2008).

Dominasi madzhab realisme hubungan internasional menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana metode kuantitatif melakukan pengukuran power negara? Secara epistemologi pertanyaan tersebut akan berimplikasi pada dua hal. Pertama kaitan erat antara power dengan negara menjadi lebih meluas dengan multiplisitas aktor non-negara. Kedua, power mengalami perluasan makna dengan tidak hanya berkutat pada masalah hard politics, melainkan juga soft politics. Dengan perluasan dari banyak sisi, maka operasionalisasi power menjadi lebih sukar dari sebelumnya terutama bagi penelitian kuantitatif yang menekankan definisi operasional dari setiap konsep penelitian.

(35)

29 (Keohanne, 1977; Nye Joseph, 1977). Oleh karena itulah neorealisme mengangankan jika negara adalah aktor yang tidak sepenuhnya bebas. Dualisme premis antara perilaku dipengaruhi dan perilaku bebas berusaha diatasi oleh pemikiran konstruktivis dengan meminjam teori sosiologi strukturasi atau dualitas agen-struktur Kritik Wendt sekaligus menjelaskan kelemahan realisme yang terjebak dalam esensialisme terkait pandangan tentang security dilemma dan self-help yang secara tidak langsung mengkonstitusi perilaku negara (Wendt, 1987:104-148).Dengan demikian sebagaimana sebuah konsep, maka powersebagai keyword realisme tak lepas dari permasalaahan dalam pendefinisian dan pengukuran. Secara epistemologi, konseptualisasi power bersifat abstrak dan sukar dalam dikuantifikasi sekalipun Waltz pernah mencoba mengukur power secara material (Onuf, 2002:211-228).

Mencari Dimensi Obyektivitas Ilmu Hubungan Internasional

Ilmu Hubungan Internasional pada awal perkembanganya mendapat kritikan karena tidak dapat mengembangkan suatu koridor berpikir obyektif sebagaimana kaidah ilmu alam (eksakta). Oleh karena itu dalam perkembanganya muncul revolusi behavioralisme yang terjadi dalam ilmu sosial secara umum yang kemudian berdampak pada studi Hubungan Internasional. Salah satu terminologi yang dimunculkan oleh kaum behavioralis Hubungan Internasional adalah international system. Dengan demikian, maka tulisan ini akan berupaya menelaah baik secara ontologi, maupun epistemologi, mengenai hakikat sistem international dan relevansinya dalam konteks kekinian.

(36)

30

berdaulat. Oleh karenanya, analisa makro dalam Ilmu Hubungan Internasional perlu dibedakan dengan analisa makro dalam ilmu politik. Jika dalam ilmu politik terdapat suatu set of norms yang jelas diantara aktor yang bermain, sebaliknya kondisi tersebut tidak ditemui dalam sistem Internasional. Karena absennya rules yang jelas, maka sistem internasional dianggap sebatas environmentatau arena tempat negara beradu kekuatan. Pandangan tersebut dikritik karena menganggap seolah-olah lingkungan adalah benda mati dan statis yang tidak memiliki kekuatan mengekang. Dengan demikian, sistem internasional bagi kaum positivis dianalogikan layaknya sistem dalam pandangan ilmu alam yang memiliki kapabilitas mengatur sub-sistem dibawahnya.

(37)

31 bipolaritas tidaklah dengan mudah digeneralisasi sebagai dua an sich. Karl Deutch yang melihat bahwa sistem multipolar merupakan sistem terbaik karena peperangan hanya terjadi pada scope yang terbatas, tidak perang total yang dikhawatirkan muncul pada sistem bipolar.Meskipun sistem-sistem tersebut dianggap terlalu imajiner, kaku dan senantiasa menjadi perdebatan (Haas, 2000).

Sedangkan berdasarkan asumsi yang lain menyebut bahwa polaritas dari sistem dapat disimak berdasarkan tingkat kohesivitasannya. Yang tergolong sebagai tingkat kohesivitas tinggi adalah model sistem hierarki dimana logika asimetris sesungguhnya memungkinkan adanya kontrol. Namun sayangnya sistem tersebut jarang ditemukan karena relasi antar negara sesungguhnya tidak sepenuhnya hierarkis, apalagi tidak adanya kedaulatan diatas nation-state (Singer, 1961: 77-92). Sehingga dalam derajat kohesivitas yang kedua muncul suatu sistem piramida yang dianggap masih dapat dimungkinkan adanya realita tersebut. Piramida dapat menggambarkan fenomena pasca Perang Dingin, dimana AS sebagai superpower mendapat tantangan dari dibawahnya. Namun pandangan akan sistem piramida ini juga dikritik karena seakan-akan negara-negara terintegrasi dibawah AS. Oleh karenanya muncul sistem poligarki dimana terdapat beberapa unit atau negara yang tidak berada dalam domain kekuasaan AS. Sedangkan yang terakhir merupakan sistem chaos dan paling anarki karena negara berada dalam sistem yang equal dimana antar negara bisa saling menyerang (Frankel, 1998: 126).

(38)

32

Sistem akan senantiasa beradaptasi secara diskontinuitas, meskipun perubahan dalam sistem bersifat gradual, dan jarang ditemukan suatu sistem yang revolusioner. Perubahan dapat dilihat jika muncul suatu tatanan yang baru menggantikan tatanan yang lama. Kondisi revolusioner hampir tidak pernah ditemui kareana tatanan yang lama senantiasa berusaha mempertahankan status quo-nya. Perubahan bisa muncul ketika fungsi antar unit digantikan oleh fungsi yang lain. Perubahan tipe demikian lebih sering ditemui lantaran indikator yang dapat dijadikan landasan adalah distribusi kapabilitas aktor. Perubahan distribusi mencakup aspek abstrak yang bisa mendorong struktur berubah dari hierarkis menuju ke anarkis. Perubahan dapat diukur melalui beberapa derajat pengukuran dimana struktur hierarkis disumsikan memiliki tingkat kohesivitas sistem yang tinggi (Singer, 1996: 77-92).

Perubahan sistem menjadi sulit diukur lantaran parameter yang dianggap sebagai indikator dalam sistem internasional tidaklah tetap. Bahkan variabel-variabel yang berkaitan dengan perubahan suatu sistem seperti common value, interest bukanah variabel diskret sebagaimana variabel ilmu alam. Meskipun kaum positivis dalam hubungan internasional berupaya untuk memakai metode ilmu alam seperti Game Theory, Domino Theory sebagai teori siap pakai. Namun terbentur ketika mencoba mengkuantifikasi model sistem internasional yang persepsional. Dengan demikian, maka terlepas dari permasalahan mengenai konseptualisasi level analisis sistem internasional, namun beberapa pihak meyakini kapabilitas level analisis sistem dalam menjelaskan perilaku negara. Setidaknya beberapa premis diatas menunjukkan kelemahan Ilmu Hubungan Internasional yang sempat fanatik tehadap metode kuantitatif pada dekade 1960 ketika pengaruh positivistik begitu mengemuka bahkan statistik menjadi primadona pada masa itu, seperti yang diperagakan oleh David Mittrany dalam meneliti derajat spillover dalam regionalisasi dan juga Ernest Haas dalam mencari derajat kuantifikasi dari konsep power.

(39)

33 menunjukkan kemunduran para strukural realisme (neorealis) pasca Perang Dingin guna menekankan relevansinya pemikiran realisme klasik. Lebow memandang bahwa neorealisme tidak lebih dari suatu ideologi yang cenderung deduktif (Lebow, 1994: 277). Realisme klasik relevan ketika menyoroti tindakan unilateralisme AS yang diartikulasikan secara elitis sesuai asumsi realis klasik.

Konvensionalisme untuk Metode Terintegrasi

Selama ini, variabel ruang dan waktu tidak terlalu menjadi concern akademisi ilmu sosial, tak terkecuali Ilmu Hubungan Internasional. Hal tersebut terjadi karena adanya sebuah kepercayaan mengenai adanya obyektifitas dalam menganalisa realitas internasional. Padahal perbedaan posisi dan waktu menentukan hasil dari analisa. Implikasinya, perdebatan yang terjadi sulit menemukan akar permasalahan obyektif. Oleh karena itulah, dilatarbelakangi oleh stagnasi Ilmu hubungan internasional dalam mengkonstitusi teori obyektif, maka sebuah tinjauan filosofis mengenai hukum relativitas ruang dan waktu perlu untuk dikonseptualisasi sebelum masuk kedalam upaya penyelesaian permasalahan (problem solving). Tanpa pemahaman mengenai hakikat ruang dan waktu, maka perdebatan akademis yang terjadi hanya akan menghasilkan partikularitas diagnosa.

(40)

34

stressing point urgensi Verstehen dimana“The Truth in There”(Fairclough, 1995).Yang menjadi slogan andalan kaum fenomenologi mampu menjadi keyakinan dalam mengembangkan penelitian yang hendak menangkap makna sebagai materi. Tak pelak, materialisme historis memberi ruang gerak yang lebih bebas terhadap kemungkinan kolaborasi metode kualitatif dan kuantitatif.

Dapat diasumsikan, realitas sosial bukan tak mungkin dikuantifikasi mengingat diskursus senantiasa inheren dengan aspek material. Materialisme historis menunjukkan bahwa bahasa dan makna bukanlah aspek metafisis. Semisal, Antonio Gramscy yang berasumsi bahwa praktik hegemoni mengarah pada kemampuan teks dari hegemon untuk menciptakan konteks yang dalam perkembanganya senantiasa berdialektika. Implikasinya, agen sebagai obyek kekuasaan akan mengalami ketidaksadaran (unconciousness) atau istilah Marx disebut sebagai keterasingan alienasi (Arnsperger, 2008). Praktik Hegemoni menstimulasi agen secara voluntary melakukan tindakan yang diinginkan oleh kekuasaan. Hegemoni merupakan upaya minimalis struktur kekuasaan untuk mengontrol agent. Mengapa dikatakan minimalis? Hal tersebut karena langkah koersif membutuhkan ongkos yang tidak sedikit, dan tentu imagekekuasaan yang tercemar.

Ditinjau lebih dalam melalui artikel Robert Cox, teoritisi kritis sesungguhnya tidak secara langsung menyerang studi Hubungan Internasional. Para penganut teori kritis yang tergabung dalam Mahzab Frankfurt sesungguhnya lebih banyak berbicara mengenai filsafat epistemologi. Serangan utama Mahzab Frankfurt terutama ditujukan bagi kaum positivis yang menekankan bahwa ilmu sosial akan lebih pakem jika menggunakan prinsip keilmuan ilmu alam. Kaum positivis atau behavioralis mengasumsikan bahwa ilmu sosial sudah seharusnya bersifat obyektif dan problem solving(Cox, 1981). Asumsi positivis inheren dengan klaim neorealis dan neoliberal yang membingkai suatu teori determinan macam prissoner’s dilemma, game theory,dan nuclear detterence dimana perilaku aktor internasional dapat diukur dan diprediksi menggunakan suatu logika kausalitas.

(41)

35 makna pakem dengan semakin dikotomisnya signified dan signifier (Strauss, 1973). Andrew Linklater melakukan rethinking terhadap makna dari “politik” yang seringkali dimaknai secara sempit. Linklater lebih menyoroti premis yang mengungkap mengapa negara diasumsikan sebagai produk natural dari kesejarahan. Dalam karyanya “Man and Citizen”, Linklater mengungkapkan bagaimana pemisahan manusia dalam entitas politik (negara) akan menyebabkan hilangnya interaksi komunikasi keduanya (Linklater, 1991: 23-37). Namun sebaliknya juga bermasalah karena ketika manusia diberikan kebebasan tanpa entitas politik, maka manusia menurut akan terjebak pada “self” dan kemudian melupakan “others”. Menurut Anthony Giddens realitas dalam kondisi time-space distanctiation memungkinkan adanya konstruksi sosial (Giddens, 1984). Sehingga menjadi ambivalen untuk memisahkan ruang dan waktu seperti penelitian kuantitatif. Pra kondisi inilah yang kemudian merangsang masuknya linguistik dalam Hubungan Internasional. Semua ilmu akhirnya senantiasa terikat dengan teks seperti yang diasumsikan Derrida“we need to interpret

intrepretation more than interprete thing’(Foucault, 1984).

Oleh karenanya, Fred Chernoff mengutarakan urgensi metatheory dalam mendorong lahirnya konvensionalisme dalam Ilmu Hubungan Internasional. Mengapa? Karena teori cenderung terjebak dalam premis aksiomatik. Metateori dirasa lebih fleksible dalam mendiagnosa suatu permasalahan ketimbang teori. Dalam teori, maka akan ada semacam “prasangka” sebagai suatu arahan untuk membingkai suatu hipotesis yang mana seringkali membuat peneliti apriori tehadap kebaruan. Sedangkan metateorilebih menekankan “praduga” sebagai bentuk imanensi dalam berpikir. Meta teori bahkan tidaklah sepenuhnya ditujukan untuk menunjukkan sebuah realitas obyektif. Metateori memiliki visi aksiologis untuk membebaskan subyek peneliti dari dogmatisme teori sebelumnya (Chernoff, 2010).

Konvensionalisme mendorong lahirnya perdebatan antara self-reflective theory yang bertujuan untuk mendiagnosa problem sosial secara partisipastif. Teori refleksi tersebut akan membantu dalam menganalisa sebab kenapa

(42)

36

oleh kaum positivis, sesungguhnya lebih merupakan konstruksi sosial yang eksis melalui suatu permainan bahasa dan politik pengetahuan (Murphy, 2007: 45). Dengan metateori, maka proses retifikasi pemaknaan terhadap realitas dapat lebih obyektif, sekalipun tanpa harus mengeliminasi aspek subyektivitas. Dengan demikian, maka konvensionalisme memberi ruang dan harapan bagi integrasi metodologi hubungan internasional meskipun dalam prakteknya tidak semudah yang dibayangkan.

Kesimpulan

Dalam Ilmu Hubungan Internasional, perang dan damai adalah siklus dalam kehidupan manusia. Sehingga dalam masa perdamaian pasca perang, ternyata hanyalah fase sementara untuk persiapan sebelum perang. Sebuah siklus yang yang berulang ulang terus menerus sehingga banyak pihak mengangapnya sebagai kondisi alamiah dalam kehidupan manusia. Bahkan perang diasumsikan rasional meskipun ongkos baik material maupun non material banyak yang dikorbankan. Tanpa disadari perang juga terjadi dalam Ilmu Hubungan Internasional. Dalam beberapa hal peperangan tersebut memperkaya Ilmu Hubungan Internasional. Namun di sisi lain, sirkuit perdebatan yang penuh hiruk pikuk justru urung menghasilkan problem solving. Tak ayal, setiap diskusi atas permasalahan global, maka kesimpulanya adalah kembali pada perspektif masing-masing.

(43)

37 dapat diraih melalui konvensi, maka setiap permasalahan internasional memiliki indikator yang seragam.

Namun. teringat ucapan Bung Hatta bahwa bahwa didalam persatuan, sesungguhnya adalah persatean. Tentu, mempersatukan metode dalam sebuah konvensi bukan pekerjaan mudah. Namun apakah karena tidak mudah, lalu konvensionalisme menjadi tidak perlu dilakukan? Sekali lagi pilihan akademisi hubungan internasional kini hanya ada dua. Pertama ialah menyerah dan kembali pada perspektif masing-masing sehingga perdebatan dalam Hubungan Internasional hanya akan menghasilkan perdebatan yang berulang ulang. Atau yang kedua dengan mengupayakan persatuan metode supaya problem manusia secara kolektif dapat teratasi. Diantara dilema tersebut, penulis lebih memilih yang kedua sekalipun terkesan utopis, karena utopis itulah yang membuat akademisi tetap hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arnsperger, Cristian. 2008. Critical Political Economy: Complexity, Rationality and The Logic of Post-Orthodox Pluralism. London: Routledge.

Cox, Robert. 1981. Social forces, States, and World Order.“International Relation Theory”. Cambridge University press.

Chernoff, Fred. 2010. Metatheory in International Relation. New York Palgrave Macmiliian.

Donelly, Jack.Realism. 2009. Dalam Burchill, S.et.all Theories of International Relation 4th Edition. New York: Palgrave Macmilian.

Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis, The Critical Study of Language. London: Longmann.

Foucault, Michael. 1998. The Archeology of Knowledge,London: Verso.

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Cambridge: Polity press.

Habermas, Jurgen. 2004. The Theory of Communicative Action. London : Beacon Press.

Haas, Ernst B. 2000. Nationalism, Liberalism and Progress. The Dismal Fate of New Nations. Ithaca, NY: Cornell Univ. Press.

Gambar

Grafik 1. Prediksi Pembagian GDP Nominal Dunia tahun 2020
Tabel 1. Tipe Security Complex
Gambar 1. Persentase Migran asal Brazil di Jepang (2009)
Gambar 2.Populasi Warga Asing di Hamamatsu (2010)
+2

Referensi

Dokumen terkait

diduga berpengaruh pada manifestasi klinis thalassemia Pada subyek dengan jenis mutasi ivs1-nt5/ivs1-nt, ivs1- yang diderita, namun demikian pada penelitian ini juga

Komunikasi antara penulis dengan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten kerinci dan kepala dinas Peternakan Provinsi Jambi, kegiatan pemurnian dan budi daya itik Kerinci

1  Dr., H. Ainur Rofiq  M.Kes.  KANDUNGAN BERBAGAI MIKROB DAN HUBUNGANNYA  DENGAN KADAR ALERGEN INHALAN DALAM DEBU 

Pesantren yang telah berdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren Sunan Ampel Surabaya yang didirikan oleh Raden Rahmat ( Sunan Ampel ) dan Pesantren Sunan

Sistem informasi akuntansi manajemen mempunyai tiga tujuan utama, yaitu (1) untuk menyediakan informasi yang digunakan dalam perhitungan biaya jasa, produk dan tujuan lain

Dengan hasil penelitian dimensi Assurance merupakan dimensi yang berpengaruh dominan terhadap kepuasan nasabah BMI KCP Tulungagung, sehingga dapat disimpulkan bahwa

Dari semua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perencanaan adalah serangkaian proses penentuan tindakan masa depan yang disertai pertimbangan yang logis