• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGELOLA EKOSISTEM EKONOMI DAN SUMBER D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGELOLA EKOSISTEM EKONOMI DAN SUMBER D"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII, Denpasar, 10-12 Oktober 2014

MENGELOLA EKOSISTEM, EKONOMI DAN SUMBER DAYA MANUSIA

KOMUNITAS LOKAL BERBASIS BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL MINAHASA

(TRIANGEL PA’DIOR)

1

Pieter George Manoppo2

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kaitan pendekatan “Triangel Pa’Dior

sebagai kerangka Budaya dan Kearifan Lokal Minahasa” dengan “Mengelola Ekosistem,

Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Komunitas Lokal.” Riset menggunakan pendekatan

kualitatif dengan metode Partisipatory Action Research. Pengumpulan data menggunakan

teknik Focus Group Discussion (FGD), in-depth interview, studi dokumenter, dan observasi.

Hasil studi membuktikan bahwa “pengelolaan ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia

komunitas lokal” menggunakan pendekatan “Triangle Pa’Dior, sebagai kerangka budaya

dan kearifan lokal Minahasa” memiliki manfaat strategis. Pertama, Triangle Pa’Dior

sebagai kerangka budaya dan kearifan lokal Minahasa berkaitan dengan konsep holistik dan

integral Eluren Eng Kayobaan (jaga dan pelihara bumi:dimensi ekosistem), Mapalus

(kerjasama dan gotong royong: dimensi ekonomi) dan Sitou Timou Tumou Tou (hidup untuk

menghidupkan orang lain: dimensi sumber daya manusia). Konsep tersebut masih hidup dan

menjadi acuan perilaku komunitas lokal sehari-hari. Kedua, berbasis pada konsep budaya

dan kearifan lokal Triangel Pa’dior tersebut, komunitas lokal dapat mengelola potensi

ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia secara holistik dan integral pula. Terbukti,

pengelolaan potensi ekologi, ekonomi dan sumber daya manusia oleh komunitas lokal

berbasis pada pendekatan Triangle Pa’Dior sebagai kerangka budaya dan kearifan lokal

Minahasa: berdayaguna dan berhasilguna dalam mengelola potensi ekologi-ekonomi-SDM

secara holistik dan integral; dan menjadi model sistem pencegahan dan respon dini destruksi

ekologi-ekonomi-SDM komunitas lokal berbasis budaya dan kearifan lokal. Merujuk pada

temuan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan ekologi, ekonomi dan

sumber daya manusia oleh komunitas lokal dengan berbasis pada budaya dan kearifan lokal

Triangel Pa’Dior - Minahasa, terbukti berdampak konstruktif terhadap penataan,

pemberdayaan dan dayaguna modal natural, ekonomi dan sosial (SDM) komunitas

masyarakat lokal Minahasa secara terpola, sistematis dan berkelanjutan.

Keyword: Triangel Pa’Dior; budaya dan kearifan lokal; pengelolaan ekosistem, ekonomi

dan SDM; komunitas lokal.

ABSTRACT

1

Makalah Disampaikan pada Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII, Denpasar, 10-12 oktober 2014 dengan Tema: INOVASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL

2

(2)

PENDAHULUAN

Selang 7 Tahun lebih, sejak tahun 2007, Yayasan Institut Seni Budaya Sulut (YISBSU)

menunjukkan kepedulian dan komitmennya menghidupkan kembali identitas dan citra diri, melalui

kekayaan seni budaya Sulut. Hal mana diekspresikan melalui serangkaian aktivitas Festival Seni

Budaya Sulawesi Utara (FSBSU) dan pemberdayaan masyarakat secara berkala. Suatu perjalanan

sejarah penuh suka-duka dalam rangka mengidentifikasi, menata, memberdayakan dan

mendayagunakan kembali kekayaan seni budaya Sulut secara sistematis. Baik, sebagai wujud

identitas dan jatidiri bangsa Minahasa, maupun sebagai asset kebudayaan nasional, yang berdayaguna

dan berhasilguna dalam proses komunikasi, interaksi dan transformasi sosial bangsa Indonesia di era

globalisasi. (http://maengket.blogspot.com/2012/08/sekilas-yayasan-institut-seni-budaya.html).

Begitu banyak kekayaan seni budaya dan kearifan lokal Minahasa yang meliputi dimensi

artifak, perilaku, sampai sistem nilai dan norma, berhasil diidentifikasi, diorganiser, ditata dan

diberdayakan YISBSU sebagai aktualitasi identitas dan jatidiri masyarakat adat Minahasa. Melalui

proses snow-ball, berhasil mengekspresikan konfigurasi kekayaan budaya bangsa Minahasa, hingga

kini menjadi kekaguman bagi masyarakat Minahasa sendiri, bahkan masyarakat Indonesia dan dunia.

Upaya yang tulus, langkah tegas dengan fasilitasi terbatas, tetapi konsisten melalui berbagai kegiatan

festival dan pemberdayaan seni budaya yang dikelola YISBSU, berhasil menoreh sejarah yang belum

pernah terukir di bumi Nyiur Melambai sebelumnya. Kekayaan seni budaya bangsa Minahasa kini

mendapat pengakuan dan penghargaan masyarakat Indonesia berupa Rekor Muri, dan masyarakat

internasional berupa Guinness World Records. Akibatnya, kegiatan festival dan pemberdayaan seni

budaya Minahasa yang diinisiasi YISBSU kini berkembang pesat, melibatkan peserta berjumlah

besar, didukung dan diminati berbagai kalangan lintas suku, agama, status sosial, dan teritori.

Lotulung, dalam studinya menemukan bahwa, seperti halnya batik di Jawa, songket di

Sumatera Selatan, dan ulos di Sumatera Utara, di Sulawesi Utara, khususnya etnis Minahasa,

mengenal kain tenun tradisional yang popular disebut “kain bentenan.” Keberadaan kain ini cukup

kontroversial. Setelah menghilang sekitar 200 tahun dari tanah Minahasa, kini hadir kembali atas

prakarsa para tokoh masyarakat Minahasa yang telah berhasil dirantau, dan memelopori pelestarian

kembali. Saat ini, seperti halnya batik - yang telah menjadi pakaian kesehariannya orang Indonesia -

kain bentenen diproduksi dengan cara ditenun dan print. Tujuannya, agar kain bentenan

memasyarakat secara luas di Sulawesi Utara, Indonesia, bahkan dunia. Pemerintah Provinsi Sulut

merespon niat para tokoh masyarakat yang ingin melestarikan kain bentenan dengan cara mewajibkan

para pegawainya pada setiap hari Kamis menggunakan seragam kain bentenan. Bahkan para siswa

sekolah dasar sampai menengah atas diwajibkan pula menggunakan seragam dari kain bentenan.

Termasuk diikuti pemerintah kota/kabupaten di Sulut untuk memasyarakatkannya melalui para

pegawai (Lotulung, tanpa tahun: 1.

Menurut Fong, identitas budaya sebagai identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis

(3)

rasa saling memiliki dan saling membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma yang sama. Identitas

budaya merupakan konstruksi sosial komunitas lokal (Fong dalam Samovar, 2010:184).

Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara (YISBSU), yang berkantor pusat/kampus di

Tompaso, Kabupaten Minahasa - Sulut, adalah salah satu inisiator yang mendorong pengembangan

seni budaya Sulut sebagai entry poinet pemberdayaan terpola. Terutama melalui pendekatan Pa’Dior

(yang terdepan), sebagai suatu kerangka kerja budaya dan kearifan lokal Minahasa. Pada kampus

YISBSU atau Pa’Dior ini, terdapat museum yang memvisualisasi rekam jejak sejarah masa lalu dan

gaya hidup masyarakat berbagai etnis di Sulut. Rekam jejak seni-budaya Minahasa divisualisasi

melalui benda-benda bersejarah, dokumentasi foto, pola bangunan, dsb. Termasuk 31 rekor Muri

dan 7 Rekor

internasional terhadap kekayaan seni-budaya dan kearifan lokal Minahasa. Wadah rekam jejak seni

budaya tersebut diberi nama “museum Pinawetengan.” Selain itu, terdapat juga rumah tenun kain

Pinawetengan yang menyajikan proses pembuatan kain tenun khas Minahasa yang sudah mendunia,

yakni Kain Pinawetengan, Kain Pina Bia, dan Kain Pina Tembega. Termasuk aneka ativitas pelatihan

masyarakat.

Rekam jejak proses menata, memberdayakan dan mendayagunakan potensi seni budaya sebagai

aktualisasi identitas dan eksistensinya menjadi pintu masuk YISBSU memfasilitasi rangkaian Festival

Seni Budaya Minahasa: “Festival Malesung.” Festival Malesung tingkat lokal dilaksanakan di Sulut,

dan tingkat nasional di Jakarta, sebagai media pemberdayaan sistematis, terpola dan berkelanjutan

Melalui aktivitas seni budaya sebagai entry point, YISBSU secara perlahan dan bertahap sejak berdiri

pertengahan tahun 2000-an, berkomitmen mengembangkan program pemberdayaan strategis dengan

pendekatan Pa’Dior. Pendakatan ini berhasil mengintegrasikan aspek kepedulian pengelolaan ekologi,

ekonomi dan sumber daya manusia secara holistik berbasis budaya dan kearifan lokal Minahasa.

Seluruh proses tersebut bergerak bagaikan bola salju. Namun, rekam jejak bola salju penataan,

pemberdayaan dan pengembangan seni budaya Minahasa tersebut, kemudian dikonstruksi berupa

desain terpola dan sistematis sebagai ciri khas kenerja manajemen YISBSU berbasis Pa’Dior.

Setelah perjalanan panjang menjelang satu dekade sejak tahun 2007, YISBSU merasa penting

melakukan studi sistematis tentang kinerjanya sebagai salah satu inisator pengembangan seni budaya

Sulut. Hasil studi tersebut akan menjadi landasan bagi penyusunan Reancara Strategis (renstra) atau

grand design pengelolaan ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia komunitas lokal berbasis

budaya dan kearifan lokal Minahasa periode berikut.

Fokus penelitian adalah “Pengelolaan Ekosistem, Ekonomi, dan Sumber Daya Manusia Komunitas Lokal Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal Minahasa.” Fokus tersebut dijabarkan ke

dalam sub fokus penelitian sbb: (1) konstruk budaya dan kearifan lokal Minahasa: ekologi, ekonomi,

(4)

kearifan lokal Triangel Pa’Dior; (3) konstruk desain renstra pengelolaan ekosistem, ekonomi dan

SDM komunitas lokal berbasis budaya dan kearifan lokal, Triangle Pa’Dior.

Berdasar latar belakang dan fokus penelitian di atas, dirumuskan masalah penelitian sebagai

berikut: (1) Bagaimana konstruk budaya dan kearifan lokal Minahasa: ekolgi, ekonomi, sumber daya

manusia? (2) Bagaimana pola pengelolaan ekosistem, ekonomi dan SDM berbasis budaya dan

kearifan lokal Triangel Pa’Dior yang dilakukan YISBSU? (3) Bagaimana konstruk desain renstra

pengelolaan ekosistem, ekonomi dan SDM komunitas lokal berbasis Triangle Pa’Dior?

Bertolak dari rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi

konstruk budaya dan kearifan lokal Minahasa: ekologi, ekonomi dan sumber daya manusia. (2)

Mengungkapkan pola pengelolaan ekosistem, ekonomi dan SDM berbasis budaya dan kearifan lokal

Triangel Pa’Dior. (3) Mengidentifikasi dan merumuskan konstruk desain renstra pengelolaan

ekosistem, ekonomi dan SDM komunitas lokal berbasis Triangle Pa’Dior.

Lokasi penelitian adalah Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, dan komunitas basis

pemberdayaannya di Sulawesi Utara yang dilaksanakan pada bulan Januari – Desember 2013.

Pelaksanaan kegiatan meluputi tiga tahapan. Empat bulan pertama, dilaksanakan penelitian lapangan.

Tiga bulan kedua, difokuskan pada pengolahan dan analisis data sampai penarikan kesimpulan. Lima

bulan ketiga, berkonsentrasi pada proses penulisan dan penyelesaian tuntas hasil penelitian serta

penyusunan renstra.

KAJIAN PUSTAKA

Budaya dan Kearifan Lokal.

Pengertian dan ruang lingkup. Kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus Indonesia terdiri

dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols

dan Hassan Syadil y, l okal ber ar ti setempat , sedangkan wi sdom ( kearif an) sama

dengan kebij aksanaan. Secara umum maka l ocal wi sdom ( keari fan set empat) dapat

di pahami sebagai gagasan-gagasan set empat at au lokal yang ber si fat bij aksana,

penuh keari fan, berni lai bai k, yang tert anam dan di i kut i oleh anggot a

masyar akat nya. Dal am di sipli n antropologi dikenal istilah local genius. Gobyah (2003)

mengatakan bahwa kearifan lokal atau local genius adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg

dalam suatu daerah. Kerifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan

berbagai nilai yang ada. Kearif an l okal t er bent uk sebagai keunggul an budaya masyar akat

setempat maupun kondi si geogr afi s dalam ar ti l uas. K eari fan l okal mer upakan

pr oduk budaya masa l al u yang pat ut secar a ter us-mener us dij adi kan pegangan hi dup.

Meski pun bernil ai l okal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal.

Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang

diselenggarakan secara dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi

(5)

unt uk pengambi l an kebij akkan pada l evel l okal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan,

pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyar akat pedesaan. Dalam kear i fan l okal,

t er kandung pula keari fan budaya l okal. K eari fan budaya l okal sendi ri adalah

pengetahuan lokal yang sudah sedemi ki an menyat u dengan si stem keper cayaan,

nor ma, dan budaya ser ta di ekspr esi kan dal amtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka

waktu yang lama (Sartini, tanpa tahun:111).

Local Genius sebagai Local Wisdom. Menurut Sartini, dalam disiplin antropologi dikenal

istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch

Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi,

1986). Selanjutnya, menurut Sartini, dengan mengutip Haryati Soebadio, mengatakan bahwa local

genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa

tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri

(Ayatrohaedi, 1986:18-19).

Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah

potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.

Ciri-cirinya adalah: mampu bertahan terhadap budaya luar; memiliki kemampuan mengakomodasi

unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam

budaya asli; mempunyai kemampuan mengendalikan; mampu memberi arah pada perkembangan

budaya. Karena itu, menurut Sartini, kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci

firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya

masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan local merupakan produk

budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal

tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Fungsi budaya dan kearifan lokal. Sartini, dengan mengutip Prof. Nyoman Sirtha dalam

“Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” (http://www.balipos.co.id), mengemukakan bahwa

bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan,

adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia

hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam.

Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur

Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu

untuk: konservasi dan pelestarian sumber daya alam; pengembangan sumber daya manusia, misalnya

berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate; pengembangan kebudayaan dan ilmu

pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji; sebagai

petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; bermakna sosial misalnya upacara integrasi

(6)

yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur; bermakna politik, misalnya upacara

ngangkuk merana dan kekuasaan patron client. Artinya, dari penjelasan tentang fungsi-fungsi tersebut

tampak betapa kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat,

tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam

mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai

yang profan.

Kearifan lokal Minahasa. Dalam konteks studi ini, terdapat tiga konsep budaya dan kearifan

lokal Minahasa yang menjadi rujukan, yakni: lingkungan (ekosistem), ekonomi, dan manajemen

sumber daya manusia.

Aspek lingkungan (ekosistem), konsep yang dijadikan rujukan adalah Eluren Eng Kayobaan, yang berarti jaga dan pelihara bumi (YISBSU, 2013: 22). Eluren Eng Kayobaan, mengandung kerangka nilai, norma, etika sebagai acuan kultural dan kearifan lokal terhadap cara

pandang, sikap dan perilaku masyarakat adat Minahasa dalam rangka “membangun relasi dan

komunikasi dengan lingkungan sekitar.” Eluren Eng Kayobaan, mengandung mandat budaya dan

kearifan lokal untuk membangun diri dan masa depan bersama dengan senantiasa menjaga dan

memelihara alam. Mapalus sebagai filosofi agraris masyarakat adat Minahasa, merupakan wujud

implementasi kerangka makna Eluren Eng Kayobaan. Pandangan kultural-ekologis Eluren Eng

Kayobaan nampak pula melalui kerjasama, berbagi, dan saling mendukung di antara komunitas

masyarakat adat Minahasa dalam menata dan mengelola pekerjaan sebagai petani & mengolah hutan..

Aspek ekonomi, konsep kultural dan kearifan lokal yang dirujuk adalah mapalus. Mapalus adalah suatu sistem atau teknik kerja sama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku

Minahasa (Turang, 1984). Mapalus merupakan formula filosofi masyarakat adat dan petanian

Minahasa dalam mengimplementasikan kerangka makna dari Eluren Eng Kayobaan. Pandangan

kultural-ekologis Eluren Eng Kayobaan nampak pula melalui kerjasama, berbagi, dan saling

mendukung di antara komunitas masyarakat adat Minahasa dalam menata dan mengelola pekerjaan

sebagai petani. Mapalus merupakan fondasi kultural-ekonomi petani Minahasa dalam konteks

agraris-kontinenal dalam membangun modal sosialnya: saling percaya, relasi sosial, solidaritas, integrasi,

sinergisitas, kohesi sosial, jaringan sosial dsb.

Mapalus adalah hakikat dasar dan aktivitas kehidupan orang Minahasa (Manado) yang

terpanggil dengan ketulusan hati nurani yang mendasar dan mendalam (touching hearts) dengan

penuh kesadaran dan tanggung jawab menjadikan manusia dan kelompoknya (teaching mind) untuk

saling menghidupkan dan menyejahterakan setiap orang dan kelompok dalam komunitasnya

(transforming life). Menurut buku, The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja yang

memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong

(7)

Prinsip ekonomi “Tamber” merujuk pada suatu kegiatan untuk memberikan sesuatu kepada

orang lain, atau warga sewanua (sekampung) secara sukarela dan cuma-cuma, tanpa

menghitung-hitung atau mengharapkan balas jasa. Prinsip ekonomi Tamber berasaskan kekeluargaan. Dari segi

motivasi adat, prinsip ini mengandung suatu makna perekat kultural (cagar budaya) yang

mengungkapkan juga kepedulian sosial, bahkan indikator keakraban sosial.

Aspek manajemen sumber daya manusia, sitou timou tomou tou, yang berarti “manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.”

Agar mata rantai kultural-ekologis-ekonomis itu senantiasa

kokoh, maka mata rantai Si Tou Timou Tumou Tou memperoleh tempat dan fungsinya. Bukan Si Tou

Timou Tumengko Tou, yakni “manusia hidup untuk menghancurkan manusia lain.” Manusia dan

masyarakat adat Minahasa tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak memangsa saudara dan

keluarganya sendiri, bukan untuk keluarganya sendiri, bukan untuk dusun-dusunnya sendiri, tetapi

untuk seluruh alam, seluruh ulayat, seluruh manusia, dan seluruh masyarakat adat Minahasa. Bukan

untuk sejarah masa lalu saja, bukan juga hanya untuk hari ini, tetapi untuk sejarah gerenasi ke

generasi masyarakat adat Minahasa secara berkelanjutan.

Mengelola ekosistem, ekonomi dan SDM Komunitas Lokal secara Integral.

Perlindungan ekosistem, mengedepankan hak masyarakat adat, ekonomi petani dan

nelayan. IUCN - The World Conservation Union dalam studina tentang “kebijakan untuk

mangrove: mengkaji kasus dan merumuskan kebijakan” (IUCN - The World Conservation Union,

2007) mengemukakan bahwa Mangrove Action Project, adalah lembaga non profit yang

mendedikasikan dirinya pada upaya perbaikan kerusakan dan pengembalian ekosistem hutan

mangrove di seluruh dunia. Tujuan utama MAP (Mangrove Action Plan) dan pengelolaan hutan

mangrove adalah mengedepankan hak masyarakat tradisional setempat, termasuk nelayan dan petani,

dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Melalui jaringan global dan perwakilan di

Amerika Serikat (sebagai kantor pusat), Thailand (kantor regional Asia), Indonesia dan Amerika

Latin, MAP memfasilitasi pertukuran ide-ide dan informasi dalam hal konservasi dan restorasi hutan

mangrove, sekaligus pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan oleh masyarakat persisir.

Dengan menelusuri beberapa kasus hutan mangrove di Indonesia, para pemangku kepentingan

diharapkan lebih mengerti dan memahami pesoalan yang terjadi pada hutan mangrove di Indonesia

yang sedang mengalami tekanan akibat pengaruh globalisasi ekonomi dan industri. Mangrove di

Indonesia yang dapat dikatakan sebagai mangrove terluas di dunia kini sedang sakit akibat dikonversi

menjadi tambak, lahan ekspolari arang, dan dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit. Indonesia

nampaknya harus belajar dari beberapa kawasan mangrove yang diangkat dalam studi kasus seperti:

Kasus pertama, isue di Segara Anakan yang dikelola secara ketat oleh pemerintah. Masyarakat

membutuhkan alternatif penghidupan yang lain, akan tetapi kebijakan yang diterapkan pemerintah

(8)

Kasus kedua, berkebalikan dengan Segara Anakan, masyarakat Jaring Halus adalah contoh

pengelolaan kawasan mangrove yang murni dikelola oleh masyarakat. Desa Jaring Halus memiliki

hutan desa yang ditumbuhi mangrove seluas 57,789 hektar. Hutan desa yang tidak kurang dari 19

spesies mangrove itu dikelola dengan sangat baik melalui peraturan adat yang disepakati bersama oleh

warga desa; sedangkan ribuan hektar mangrove di sekitarnya yang dikelola negara justru rusak karena

tambak dan perusahaan arang. Kasus ketiga, di antara dua tingkat partisipasi masyarakat tersebut,

terdapat kasus Bengkalis dan Tiwoho yang berada di tengah-tengah. Dari kawasan ini kita bisa belajar

mengenai proses pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove dan strategi perumusan

kebijakan.

Ekosistem, mata pencaharian dan bencana. Sudmeier-Rieux, Masundire, Rizvi and

Rietbergen, Editors (2006) dalam studi mereka tentang ecosystem, livelihoods and disasters: an

integrated approach to disaster risk management, mengemukakan betapa pentingnya mengelola

ekosism senantiasa dikaitkan dengan mata pencaharian atau ekonomi masyarakat sekitar dan

sensitivitas terhadap bencana ekosistem dan tata ruang. IUCN kemudian berusaha untuk

mempengaruhi, mendorong dan membantu masyarakat di seluruh dunia untuk melestarikan integritas

dan keanekaragaman alam melalui berbagai program concervasi dalam rangka memastikan bahwa

pengelolaan ekosistem sumber daya alam dilaksanakan secara adil dan berkelanjutan. Baik pada

tingkat lokal, regional dan global. Konservasi ekosistem dilaksanakan dengan memastikan bahwa

mata pencaharian (ekonomi) dan sumber daya manusia masyarakat lokal juga ikut dijaga,

diberdayakan, dan didayagunakan secara integral, holistik dan berkelanjutan berbasis budaya dan

kearifan lokal masyarakat adat setempat. Mata pencaharian masyarakat adat/lokal di seluruh dunia

bergantung pada barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem: air bersih dan udara, makanan,

bahan bakar dan bahan bangunan. Ekosistem, bagaimanapun, berada di bawah tekanan yang

meningkat dari penggunaan yang tidak berkelanjutan dan konversi langsung. Untuk mengatasi

ancaman atau bencana ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia lokal, IUCN mempromosikan

pendekatan ekosistem atau strategi untuk mengelola sumber daya tanah, air dan sumber daya hidup

yang terintegrasi secara holistik dengan kebutuhan manusia dan pembangunan berkelanjutan.

Sustainability dalam ekologi, ekonomi ekologi, dan mata pencaharian. Christopher S.

Sneddon (2000) dalam studinya mengemukakan bahwa untuk mewujudkan keadilan penuh berkaitan

dengan berbagai pemikiran yang dikemas oleh ekonomi ekologi dalam ruang ini tidak dapat lagi

dipertahankan. Namun, adopsi dari keberlanjutan sebagai pedoman dan dampaknya terhadap pembuat

kebijakan, menjamin beberapa pemeriksaan kritis karya representatif. Kontribusi yang paling

menonjol dari ekonomi ekologi adalah tantangan banyak prinsip dasar dari teori ekonomi neoklasik.

Dalam pandangan dianjurkan para ahli ekologi ekonomi, bahwa ekonomi adalah 'satu arah entropis

(9)

sirkuler berkaitan dengan nilai tukar tanpa hubungan eksplisit ke dunia biofisik. Meremehkan nilai

ekologis dan kegagalan untuk memperhitungkan beberapa variabel ekologi penting seperti penipisan

sumber termodinamika dan saling ketergantungan energi, struktur material dan proses biofisik

berdampak serius tentang hubungan ekologi, ekonomi ekologi, mata pencaharian dan pembangunan

berkelanjutan.

Pendekatan sistem, rencana strategis dan pembangunan berkelanjutan.

Pendekatan sistem dan pembangunan berkelanjutan. Gilberto Gallopin (2003:74),

pendekatan sistem, keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan mengemukakan bahwa konsep

keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan dianalisis dari perspektif sistem. Dalam istilah yang

paling umum, sistem keberlanjutan apapun, dapat diwakili oleh fungsi penilaian output dari

kepentingan sistem yang dipertimbangkan dalam rencana strategis pembangunan berkelanjutan.

Perspektif yang berbeda pada referensi sistem yang dibahas, dari ekstrim antroposentris dengan bio

ekstrim atau posisi ecocentrik, dan terkait dengan kriteria (berdasarkan asumsi substitusi antara modal

alam dan diproduksi) berada dalam kenyataan faktual: sangat kuat, kuat, lemah, dan sangat lemah

keberlanjutan. Gallopin mengemukakan bahwa upaya keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan

perlu secara tersistem mengintegrasikan faktor ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ekologi. Hal ini

membutuhkan artikulasi konstruktif pendekatan top-down pembangunan dengan bottom-up atau

inisiatif akar rumput. Hal ini membutuhkan pertimbangan simultan dimensi lokal dan global dan dari

cara mereka berinteraksi. Hal itu memerlukan perluasan cakrawala spasial dan temporal untuk

mengakomodasi kebutuhan kesetaraan atau equity intra-generasi serta antar-generasi manusia atau

masyarakat.

Perencanaan strategic. Bryon (1998) mengemukakan bahwa: perencanaan strategik: adalah

proses dimana hasil-hasil pengambilan keputusan tentang tindakan yang dijadikan landasan untuk

memandu atau mengarahkan seluruh program strategik; didesain untuk membantu publik dan

organisasi non profit dan komunitas untuk merespons secara efektif situasi baru mereka; suatu usaha

disiplin untuk menghasilkan pengambilan keputusan dan tindakan mendasar yang membentuk

aktivitas organisasi secara natural dan langsung dengan batas-batas legal; proses praktis untuk

membantu pelaksana mengesuaikan produk, pelayanan, dan aktivitas yang dibutuhkan untuk

memasyarakatkan pelayanan; manfaat perencanaan strategis termasuk meningkatkan kinerja program,

penggunaan sumberdaya, memahami konteks program, pengambilan keputusan, komunikasi

pemangku kepentingan, dan suport politik terhadap program. Dengan demikian, perencanaan strategis

merupakan acuan terhadap desain program pada tingkat operasional.

Sementara Rencana Strategis adalah dokumen yang menjabarkan kekuatan, kelemahan,

peluang dan ancaman program serta skema strategis dan langsung terhadap kesepakatan kerjasama

(10)

Bryon, manfaat perencanaan strategis adalah: berfikir secara strategis, melakukan klarifikasi masa

depan secara langsung, membuat keputusan hari ini dalam terang konsekuensi masa depan;

membangun basis pengambilan keputusan yang logis dan dapat dipertahankan; menjalan kebijakan

maksimum dalam kontrol organisasi; memecahkan masalah organisasi secara makro; meningkatkan

kinerja; melakukan deal efektif dengan perubahan cepat; membangun tim kerja dan tenaga ahli.

Kerangka konseptual (teoretik) penelitian. Berdasarkan urauian kajian teoritik sebagaimana dikemukakan di atas, maka dikonstruksikan kerangka konseptual atau teoritik penelitian sebagai

acuan penelitian lapangan dan mendesain rencana strategis sebagai berikut.

METODE PENELITIAN

Pendekatan dan metode. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi-deskriptif melalui Riset Tindakan Partisipatori (Participatory Action Research – PAR)

dan bertujuan mencari dan menemukan pemahaman menyeluruh, penafsiran makna dan pengertian

yang bersifat kontekstual tentang fenomena ““Pengelolaan Ekosistem, Ekonomi, dan Sumber

Daya Manusia Komunitas Lokal Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal Minahasa (Triangel Pa’Dior)” di Provinsi Sulawesi Utara (Saladien, 2006). Fenomenologi-deskriptif melalui PAR adalah studi tentang pengalaman yang datang dari kesadaran, “mengacu pada pengalaman sebagaimana

pengalaman itu muncul pada kesadaran”, menggambarkan apa yang seseorang atau sekelompok orang

terima, rasakan, dan ketahui di dalam kesadaran langsung pengalamannya. Apa yang mucul dari

kesadaran itulah yang disebut sebagai fenomena (Prianti, 2011). Fenomenologi memiliki tiga prosedur

pengumpulan data: (1) intuisi, peneliti tenggelam dalam fenomena penyelidikan “Mengelola

Ekosistem, Ekonomi, dan Sumber Daya Manusia Komunitas Lokal Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal Minahasa (Triangel Pa’Dior)”; (2) analitik, dimana peneliti mendengarkan uraian kualitas kehidupan responden berdasar data dasar dan sepenuhnya terlibat dalam proses analitik. (3)

menjelaskan adalah berkomunikasi serta membawa ke deskripsi tertulis hal-hal yang berbeda atas

(11)

Data dan sumber data. Data kualitatif yaitu data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristk berwujud pertanyaan atau berupa kata-kata. Data ini biasanya didapat dari wawancara

dan bersifat subjektif sebab data tersebut ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda (Riduwan, 2003).

Data kualitatif berbentuk deskriptif, berupa kata-kata lisan atau tulisan tentang tingkah laku manusia

yang dapat diamati (Tailor dan Bogdan, 1984) dan dapat dipilah menjadi tiga jenis (Patton, 1990)

yakni: Hasil pengamatan. Merupakan uraian rinci tentang situasi, kejadian, interaksi, dan tingkah

lakun yang diamati di lapangan; Hasil pembicaraan. Kutipan langsung dari pernyataan orang-orang

tentang pengalaman, sikap, keyakinan, dan pemikiran mereka dalam kesempatan wawancara

mendalam; Bahan tertulis. Petikan atau keseluruhan dokumen, rekaman, rencana kegiatan, laporan,

dan kasus-kasus yang nampak dalam rekam jejak sejarah. Sumber data kualitatif. Menurut Lofland &

Lofland (1984) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan.

Selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. “Dengan data kualitatif peneliti dapat

mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup

pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.” (Smith,

1978; Miles & Huberman, 1992).

Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data. Tehnik dan prosedur koleksi data berdasar pada prinsip fenomenologi sebagai metode penelitian kualitatif, tidak menggunakan hipotesis dalam proses,

dan tidak diawali dan tidak bertujuan untuk menguji teori. Data dan prosedur pendataan melalui

tehnik wawancana, diskusi kelompok (FGD), studi dokumentasi, dan observasi. Dipilih berdasar

perspektif trianggulasi.

Teknik dan Prosedur Analisis Data. Pendekatan dan prosedur analisis data menggunakan pendekatan yang dikemukakan Miles & Huberman (1984) bahwa prosedur analisis data kualitatif

terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data,

penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung

secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh (tidak diperolehnya lagi data atau

informasi baru dari data yang ada). Dalam konteks ini, Unit Analisis berfokus terutama pada

YISBSU.

Pemeriksanaan Data. Pemeriksanaan data berfokus pada dua hal utama: kriteria dan Tehnik. Kriteria. Keabsahan data kualitatif berdasar empat kriteria: kredibilitas (derajat kepercayaan);

transferabilitas (keteralihan atau kesamaan konteks); dependabilitas (kebergantungan);

konfirmabilitas (kepastian). Tehnik pemeriksanaan data: terhadap kriteria kredibilitas, dengan tehnik:

perpanjangan keikutsertaan (derajat kepercayaan data); ketekunan pengamatan; triangulasi (melalui

sumber lain); pengecekan sejawat (diskusi teman sejawat); kecukupan referensi; kajian kasus

negatif; pengecekan anggota/tim riset. Kriteria keteralihan, dengan Teknik : uraian rinci; kriteria

(12)

HASIL PENELITIAN

Gambaran umum. Teknik studi dokumentasi, wawancara, FGD dan observasi lapangan digunakan untuk mengumpulkan data dan memperoleh informasi dalam menjawab Sub Fokus

(tujuan) Penelitian 1. Berkaitan dengan konstruk budaya dan kerifan lokal Minahasa (Triangel

Pa’Dior) oleh Yayasan ISBSU sejak berdirinya sampai tahun 2013. Juga menjawab Sub Fokus

(tujuan) Penelitian 2., yang masih terkait erat dengan Sub Fokus (tujuan) Penelitian 1., berupa

kegiatan-kegiatan pengelolaan kegiatan ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia berbasis

budaya dan kearifan lokal Minahasa (Triangel Pa’Dior), serta untuk mengumpul data dan menjawab

pertanyaan Sub Fokus (tujuan) Penelitian 3.

Berkaitan dengan konstruk desain renstra pengelolaan ekosistem, ekonomi dan sumber daya

manusia komunitas lokal berbasis budaya dan kearifan lokal Triangel Pa’Dior. Data FGD diperoleh

melalui kelompok diskusi dengan aparat pelaksana Yayasan ISBSU maupun komunitas basis

program. Data wawancara diperoleh dari infooman kunci dalam jajaran pelaksana program. Data

melalui tehnik observasi diperoleh melalui keterlibatan langsung peneliti mengamati kondisi nyata

berkaitan dengan aktivitas, kejadian, peristiwa, obyek, suasana sosial dan emosi warga yang terkena

program pemberdayaan. Tehnik ini dipakai utamanya untuk klarifikasi bekaitan dengan Sub Fokus

(tujuan) Penelitian 1, 2, dan 3. Kerangka deskripsi dan sajian analisis data pada uraian temuan Sub

Fokus (tujuan) Penelitian 1 sd 3., merujuk kerangka (alur) analisis data dari Miles dan Hubermas

(1992), yakni melalui tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Konstruk Budaya dan Kearifan Lokal Triangle Pa’Dior.

Temuan hasil studi membuktikan bahwa Yayasan ISBSU, secara sistematis dan kosisten

mengembangkan program-program penataan dan pemberdayaannya, mengacu setidaknya pada tiga

program utama, yakni: ekologi, ekonomi dan sumber daya manusia. Ketiga program utama tersebut

senantisa mengacu pada pendekatan budaya dan kearifan lokal Minahasa sebagai berikut.

Penataan dan pemberdayaan ekologi berbasis pendekatan euleren eng kayobaan. Dalam

diskusi bersama dengan pihak YISBSU, yakni: pengelola yayasan, fasilitator dan komunitas basis,

terbukti bahwa konsep euleren eng kayobaan sebagai cerminan dari dimensi ekologis/ekosistem

nampak dalam tanggung jawab pihak yayasan dan jajarannya sampai komunitas basis menjaga dan

pelihara bumi. Pengelola yayasan, fasilitator dan komunitas binaan senantiasa menjadikan filosofi ini

sebagai dasar pengembangan program-program bernuansa ekologi seperti: usaha tanaman produk

pertanian unggulan melalui pengembangan ubi-ubian berupa kentang dataran menengah dengan

pendekatan kultur jaringan. Di sektor kehutanan dan lingkungan hidup berkelanjutan, terwujud

melalui prioritas tanaman pengembangan tanaman gaharu dan jabon karena memiliki nilai ekonomis

tinggi, juga nilai perlindungan dan perlestarian lingkungan berkelanjutan dalam jangka panjang.

(13)

kera yang kini serius dilindungi karena terancam punah. Selain, pengembangan produk anggur lokal

melalui bahan baku bunga rosela, dsb.

Dari hasil studi lapangan diperoleh gambaran bahwa, keputusan YISBSU bersama komunitas

basis pemberdayaan untuk memilih jenis tanaman pertanian, perkebunan dan/atau kehutanan tersebut

sebagai prioritas pengembangan, baik karena memiliki makna ekologi/ekosistem maupun ekonomi

dan sumber daya manusia (penyerapan tenaga kerja) dalam semangat budaya dan kearifan lokal

Minahasa, euleren eng kayobaan. Hasil studi lapangan juga membuktikan bahwa, euleren eng

kayobaan sebagai kerangka kultural dan kearifan lokal masyarakat adat Minahasa, secara dominan

berkembang pada konteks daratan atau kontinental tanah Minahasa. Dari rekam jejak kinerja aktivtas

penataan dan pemberayaan YISBSU, baik secara sentrifugal pada laboratorium/kampus sosio-kultural

Pa’Dior di Tompaso, maupun secara sentrpetal melalui forum-forum diskusi dan pelatihan yang

dilakukan di komunitas basis, senantiasa difasilitasi proses dialog, komunikasi dan interaksi beruansa

ekologi/ekosentris. Dari para fasilitator dan peserta pemberdayaan diperoleh gambaran bahwa, “hal

seperti ini bertujuan untuk membangun hidup yang bermakna bersama alam.” Karena euleren eng

kayobaan mengandung mandat, amanat, panggilan dan tanggungjawab kultural-ekologis Minahasa untuk membangun diri dan masa depan bersama.

Melalui wawancara, observasi dan diskusi dengan pihak pengelola YISBSU, fasilitator dan

komunitas basis pemberdayaan, diperoleh gambaran bahwa “aktivitas menjaga dan memelihara

lingkungan alam Minahasa adalah panggilan masyarakat adat Minahasa sebagai mandat kebudayaan

dan kearifan lokal.” Mandat tersebut, “untuk melindungi dan menjamin masa depan lingkungan dan

tata ruang berkelanjutan bagi generasi anak-cucu Sulut.” Berbagai bentuk-bentuk komunikasi, dialog

dan interaksi dengan lingkungan alam dan tata ruang (ekosistem) sebagai pelaksanaan mandat

tersebut, terwujud melalui aktivitas pertanian, mengelola hutan, konservasi dan pengelolaan

lingkungan hidup berkelanjutan. Ketika ditanyakan, “mengapa demikian?” Diperoleh gambaran

bahwa “karena manusia dan masyarakat adat Minahasa menyadari bahwa lingkungan dan tata

ruangsebagai basis aktivitas pertanian, kehutanan, perternakan, dsb itu, merupakan rumah kehidupan

dan masa depan generasi manusia dan masyarakat adat Minahasa. Menurut Ketua YISBSU, “rumah

kehidupan tersebut, mencerminkan kesadaran dan komitmen kultural-ekosentris dan

transendensial-religius berkelanjutan dari masyarakat adat Minahasa.”

Penataan dan pemberdayaan ekonomi berbasis pendekatan mapalus. Temuan hasil

penelitian membuktikan bahwa dimensi nilai, norma, dan semangat kultural-ekologis elureng eng

kayobaan, tidak dapat dilepaskan dari apa yang dikenal pada tingkat perilaku ekonomi agraris-kontinental, yakni mapalus. Basis kultural dan kearifan lokal Minahasa ini, menjadi rujukan jajaran

YISBSU, fasilitator dan komunitas basis pemberdayaan untuk mengembangkan usaha ekonomi.

(14)

dan fasilitator untuk mengembangkan usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, tenunan dan

konservasi yang berorientasi ekonomi komunitas basis.

Hasil studi ke kampus Pa’Dior dan komunitas basis pemberdayaan YISBSU, membuktikan

bahwa dalam rangka mengembangkan ekonomi komunitas, semangat mapalus senantiasa rujukan

inspiratif. Misalnya, saat komunitas basis bersama pengurus YISBSU dan fasilitator bersepakat

menetapkan kampung-kampung tertentu sebagai lokasi kebun pembibitan jabon, dan tidaklah lagi

dipusatkan di kampus Pa’Dior. Ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata hal tersebut dimaksudkan untuk

mengatasi tingkat permintaan suplai bibit yang tidak dapat dipenuhi sepenuhnya dari kampus Pa’Dior.

Para petani antar komunitas basis tidak perlu membuang waktu mengakses bibit usaha pertanian,

kehutanan dan perkebunan dari kampus Pa’Dior. Pada saat yang sama, usaha pembibitan

dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan petani.

Usaha membangun ekonomi dengan spirit Mapalus dan Eluren Eng Kayobaan sebagaimana

dikembangkan melalui kultur-ekonomi petani binaan YISBSU tersebut, terbukti mengekspresikan

pula makna budaya agraris-kontinenal Minahasa dalam membangun modal sosial masyarakat petani,

yakni: relasi sosial, saling percaya, solidaritas, integrasi, sinergisitas, kohesi & jaringan sosial.

Penataan dan pemberdayaan sumber daya manusia berbasis pendekatan Si Tou Timou

Tumou Tou. Program. Temuan hasil studi membuktikan bahwa berbasis nilai “Si Tou Timou Tumou Tou”, YISBSU mengembangkan program SDM berupa aktivitas pendidikan dan pelatihan

serta pusat informasi melalui: lab komputer dan bahasa, perpustakaan, museum, pelatihan pertanian

dan kehutanan. Pengembangan SDM difokuskan bagi kalangan pemuda, siswa SD-SMU, mahasiswa

dan umum. Secara khusus, dengan semangat Si Tou Timou Tomou Tou, YISBSU menaruh perhatian

terhadap pencegahan narkoba dengan membangun pusat informasi narkoba yang dikenal dengan

nama Wale Narkoba. Wale Narkoba ini lebih berperan sebagai pusat informasi dan pendidikan

pencegahan dini (preventif). Hal mana didorong oleh kondisi Sulut dimana angka pengguna narkoba

makin memprihatinan. Penataan dan pemberdayaan SDM juga dilakukan melalui aktivitas seni

budaya seperti festival tingkat lokal dan nasional.

Konstruk Pa’Dior: dimensi kepeloporan. Hasil diskusi dengan pengelola YISBSU tentang

pilihan konsep Pa’Dior yang digunakan, dikemukakan kata ini berasal dari bahasa Tontemboan yang

artinya: “Yang Terdepan”, atau “Yang Terdahulu”. Temuan hasil studi membuktikan bahwa

penggunaan icon kultural ini sebagai basis nilai aktivitas YISBSU, berkaitan dengan semangat

kepeloporan dan keteladanan dalam perjuangan melindungi, menegakkan dan memajukan budaya

Sulawesi Utara. Terutama kepeloporan dalam rangka menanggulangi destruksi ekosistem, ekonomi,

dan sumber daya manusia Sulut. Kepeloporan dimulai dengan menata dan memberdayakan kekayaan

(15)

mulai ditemukan makna konsep-konsep eluren eng

kayobaan, mapalus dan sitou timou tomou tou. Aneka

konsep tersebut relevan dengan kegiatan YISBSU,

seperti nampak pada diagram berikut.

Temuan hasil studi tersebut membuktikan bahwa

YISBSU berhasil mengkonstruksikan suatu kerangka

filosofis yang diberi nama: Triangel Pa’Dior dengan

mengintegrasikan dimensi budaya dan kearifan lokal

Minahasa: eluren eng kayobaan, mapalus dan si tou

timou tumou tou sebagai pilar penataan dan pemberdayaan. Pendekatan budaya dan kearifan lokal

tersebut diintegrasikan dengan dimensi ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia sebagai suatu

kerangka sistem kepeloporan perubahan sosial masyarakat adat Minahasa secara mendasar, sistematis

dan berkelanjutan. Dengan demikian upaya mengelola esosistem, ekonomi dan sumber daya manusia

dilakukan tidak parsial, eksklusif dan disintegral.

Pengelolaan ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia.

Hasil studi membuktikan, dua hal penting dalam konteks ini, terdapat dua gambaran penting,

yakni: (1) adanya gambaran latar belakang atau alasan bagi YISBSU, berupa ancaman-ancaman

serius berkaitan dengan kondisi ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia di Sulut.

Ancaman ekosistem. Disadari bersama bahwa, ancaman serius yang kini datang dari kondisi

ekologi dan tata ruang dewasa ini di Indonesia yang mengalami kondisi destruksi amat serius,

termasuk di wilayah Sulawesi Utara. Hal mana sangat berkaitan erat dengan tindakan-tindakan

intervensi dan alih fungsi lahan pertanian, kehutanan, dan pengelolaannya yang tidak menghormati

hak-hak natural ekologi untuk ditata dan dikelola berperspektif daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup dan berkelanjutan. Terutama berkaitan dengan intervensi berbagai kepentingan

sektor pertambangan, kehutanan, perumahan dan pemukiman, kawasan komersial, akselesari

insfrastruktur yang mendukung sektor usaha swasta, dsb.

Ancaman perubahan pola daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan berkelanjutan

menjadi lingkungan buatan secara dominan, berdampak nyata pada terjadinya bencana alam dan tata

ruang serius seperti banjir, longsor, menurunnya indeks kualitas lingkungan, terabaikannya orientasi

kebijakan politik ekonomi dan pembangunan terhadap lingkungan hidup berkelanjutan, dsb yang

membawa korban harta benda, manusia, trauma psikososial berkepanjangan di kalangan masyarakat

adat dan lokal. Karena itu, upaya menata, memberdayakan dan mengembangkan ekologi dilakukan

oleh Pa’Dior ISBSU melalui program Sulut Green dan Organic 2015 Berbasis Budaya dan Kearifan

(16)

Ancaman ekonomi. Kondisi kehancuran kedua, yang masih sangat berkaitan erat dengan

kondisi ekologi, yang pengelolaan ekonomi. Pertanyaan mendasar bagi keluarga besar Yayasan

Institut Seni Budaya Sulawesi Utara adalah “Mungkinkah ancaman kehancuran ekologi dan tata

ruang, tidak berkatan dengan ancaman hancurnya sumber-sumber utama dan struktur dasar usaha

ekonomi sebagian terbesar masyarakat adat atau rakyat Sulawesi Utara yang masih menggantungkan

hidupnya pada tanah dan hutan?

Mungkinkah ancaman ekonomi ditangani, tanpa berhubungan dengan kondisi ekologi, indeks

kualitas lingkungan serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup berkelanjutan? Jawabnya,

TIDAK.” Bagaimana pun juga, upaya menata, mengelola serta mengembangkan daya dukung dan

daya tampung ekologi atau lingkungan hidup berkelanjutan senantiasa berkaitan erat dengan

sumbangannya sebagai basis strategis pengelolaan ekonomi kerakyatan masyarakat adat Sulut yang

berbudaya khas agraris-kontinental. Karena itu, upaya pencegahan ancaman kehancuran ekonomi

masyarakat adat itu dilakukan melalui pendekatan berbasis budaya dan kearifan lokal “MAPALUS”.

Upaya tersebut diwujudkan dengan mengembangkan tanaman kehutanan produktif seperti

jabon dan gaharu, juga di bidang pertanian dengan pendekatan pertanian organik yang telah mencapai

keberhasilan dalam mengembangkan kentang dataran menengah dengan pendekatan kultur jaringan

yang hasilnya jauh lebih maju dari kondisi produk aslinya secara konvensional. Juga keberhasilan

dalam mengembangkan produk tanaman bunga Rosela menjadi anggur bunga Rosela dan hasilnya

dapat disuplai sebagai alternatif dalam mendukung pelayanan keagamaan berkaitan dengan

pelaksanaan parjamuan kudus bagi komunitas Kristen.

Ancaman Sumber Daya Manusia. Pada saat upaya mencari solusi alternatif terhadap ancaman

ekologi dan ekonomi dikembangkan, masyarakat adat dan rakyat Sulawesi Utara dihadapkan dengan

ancaman ketiga yang tak kalah serius, mendasar dan strategis, yakni destruksi sumber daya manusia.

Ancaman mana datang dari bahaya narkotika. Menurut data hasil penelitian Puslitkes Universitas

Indonesia dalam kerjasama dengan BNN, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba cenderung terus

meningkat.

Proyeksi penyalahgunaan narkoba pada tahun 2008-2015, di Provinsi Sulawesi Utara sendiri,

diperkirakan setiap 58 orang penduduk, terdapat 1 orang yang sudah terkena narkoba. Gaya hidup

anak-anak muda di Sulawesi Utara dalam struktur

kemiskinan dan intervensi kultur global dewasa

ini, sangat rentan untuk dipengaruhi narkoba.

Jargon “Biar kalah nasi, asal jangan kalah aksi”

secara moral dan spiritual, bahkan cultural,

memudahkan sindikat narkotika untuk

memengaruhi generasi muda Sulut untuk mencoba narkoba. Selain berbagai kasus kriminal,

(17)

Indonesia di mata sindikat jaringan narkoba internasional dipandang sebagai pasar potensial narkoba

karena angka permintaannya tinggi, harganya bagus, dan penegakkan hukumnya masih lemah.

Apalagi Indonesia sudah berubahan posisi strategisnya dari wilayah transit menjadi pusat produksi

narkoba sebagaimana nampak dari temukannya berbagai pabrik barang haram itu di Indonesia.

Kemampuan menekan angka pasokan melalui upaya pemberantasan jaringan sindikat narkoba

masih rendah dan keterlibatan oknum aparat semakin banyak. Di samping itu, kemampuan untuk

menekan angka permintaan melalui rehabilitasi korban narkoba masih sangat rendah pula. Dari

jumlah sekitar 4.000.000, orang yang terkena narkoba, hanya 18.000 orang yang mampu direhabilitasi

setiap tahun. Kalau hal ini dibiarkan berlangsung terus, maka Indonesia, dalam hal ini generasi muda

bangsa, akan terus menjadi pasar potensial jaringan narkoba yang tak terkendalikan. Tidak tertutup

kemungkinan bahwa korban-korban tersebut adalah anak cucu, saudara dan keluarga dari komunitas

masyarakat adat atau rakyat Sulawesi Utara sendiri.

Temuan penelitian terhadap rekam jejak pengalaman YISBSU merespons berbagai ancaman

tersebut sejak berdiri sampai dengan tahun 2013, membuktikan bahwa YISBSU secara strategis telah

mengembangkan program Triangel Pa’Dior melalui mekanisme snow-ball process. Suatu kerangka

aktivitas yang mengintegrasikan program-program utama/strategis bidang: ekologi, ekonomi dan

SDM, dengan program pendukung: seni budaya, litbang, kelembagaan dan jaringan sebagai berikut.

Program Utama dan Strategis, meliputi:

1. Penataan dan pengelolaan bidang ekosistem (ekologi).

a) Penghijauan mandiri berbasis kultur jaringan : a. Jabon

b. kentang dataran menengah, c. gaharu

b) Pusat pengembangan jabon merah dan gaharu: a. pesemaian,

b. pembibitan, c. demplot

2. Penataan dan pengelolaan bidang ekonomi.

a) Pusat Pengembangan tanaman organik: a. display/demplot kentang organik, b. display/demplot sayuran organik. b) Pusat koleksi tanaman hias dan langka :

a. display/koleksi anggrek liar Sulawesi, b. display/koleksi Kantung Semar Sulawesi, c. display/koleksi tumbuhan langka Sulawesi.

3. Penataan dan pengelolaan sumber daya manusia.

a) Laboratorium komputer dan bahasa b) Pusat pengembangan tenunan c) Wale Anti Narkoba

d) Perpustakaan e) Museum

Program Pendukung, meliputi:

1. Penataan dan pengelolaan seni budaya.

(18)

b) Festival/lomba: Maengket, Kolintang, Musik bamboo Tingkat Nasional dan Lokal, Mahamba bantik, Tari Jajar, Masamper.

c) Seminar: Maengket Tingkat Nasional, Musik Kolintang.

d) Pagelaran Tahunan Upacara Adat: Watu Pinawetengan & Watu Tumotowa setiap 7 Juli, sejak 2007.

2. Penelitian dan Pengembangan.

a. Riset isu-isu staregis : ekologi, ekonomi, SDM dan seni-budaya. b. Desain manual pelatihan ekologi, ekonomi, SDM dan seni-budaya c. Pelatihan dan pemberdayaan petani trampil/fasilitator komunitas d. Desain kerangka kerja pengelolaan seni budaya Triangel Pa’Dior e. Pengorganisasian komunitas basis pemberdayaan dan pemandirian

3. Pengembangan Kelembagaan dan Jaringan

a. Pengorganisian jaringan: lokal, nasional dan internasional b. Penguatan kapasitas jaringan dan kerjasama

c. Kampanye publik dan pendidikan publik

d. Sistem peringatan dan respons dini bencana pertanian organik e. Advokasi ekologi, ekonomi, SDM dan budaya.

Konstruk desain renstra pengelolaan ekosistem, ekonomi dan SDM komunitas lokal berbasis budaya dan kearifan lokal triangle Pa’Dior.

Temuan hasil studi membutktikan terdapat dua faktor strategis sebagai berikut. Pertama,

terbentuknya Pilar Kebijakan Strategis Triangel

Pa’Dior, sebagai kerangka dasar manajemen

kinerja Yay ISBSU dan seluruh simpul kerja secara

struktural dan fungsional sebagaimana nampak pada

diagram berikut.

Enam pilar tersebut kemudian disepakati YISBSU,

pengelola Program Triangel Pa’Dior, fasilitator dan

komunitas basis sebagai kerangka dasar desain kerja

sejak berdirinya. Dari sana diperoleh gambaran

sekarang ini tentang bagaimana kinerja YISBSU

mengacu pada Program Triangel Pa’Dior selama ini. Sekaligus, sebagai wujud rekam jejak kinerja

Triangle Pa’Dior selama periode prakondisi atau proteksi sosial (social protection) dan memasuki

tahapan pemberdayaan sistematis (systemic social empowerment) serta mempersiapkan tahapan

pengembangan konstruk terpola pengelolaan eksosistem, ekonomi, dan sumber daya manusia Sulut

berbasis budaya dan kearifan lokal Triangel Pa’Dior secara berkelanjutan.

Kedua, berkaitan dengan konstruk desain renstra. Temuan hasil studi terhadap rekam jejak

Yayasan ISBSU dalam mengelola ekosistem, ekonomi dan SDM komunitas lokal Sulut berbasis

pendekatan Triangel Pa’Dior, nampak sebagaimana diuraikan pada lampiran.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

(19)

sebagai kerangka sistem nilai, norma, serta acuan proteksi dan pemberdayaan ekosistem, ekonomi dan

sumber daya manusia; berbasis pada konsep integral eluren eng kayobaan, mapalus dan sitou timou

tumou tou. 2) Terbukti bahwa berbasis pada pendekatan kultural dan kearifan lokal Triangle Pa’Dior,

Minahasa tersebut, terselenggara manajemen kegiatan-kegiatan ekosistem, ekonomi dam sumber daya

manusia secara integral yang didukung dengan aktivitas penelitian dan pengembangan atau Litbang

secara intensif. 3) Terbukti dari hasil penelitian, bahwa dengan mengacu secara terpola dan sistematis

pada konsep atau pendekatan budaya dan kearifan lokal Triangel Pa’Dior, serta implementasinya dan

terwujud dalam rekam jejak Yayasan ISBSU mengelola program ekosistem, ekonomi dan sumber

daya manusia secara integral, maka berhasil diformulasikan suatu konstruk desain rencana strategis

pengelolaan ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia Sulut berbasis budaya dan kearifan lokal

Triangel Pa’Dior ke depan.

Rekomendasi. Terhadap pengembangan keilmuan. 1) Hendaknya studi manajemen ekosistem, ekonomi dan SDM dapat dilakukan dengan pendekatan lintas disiplin; sehingga dapat memperdalam

pemahaman tentang model-model pendekatan pembangunan yang bersifat tersistem, holistic; berbasis

budaya dan kearifan lokal secara integral; sehingga dapat disumbangkan bagi pembangunan

berkelanjutan di Indonesia pada era reformasi dan otonomi daerah sekarang ini. 2) Seyoginya studi

manajemen ekosistem, ekonomi dan SDM yang berfokus pada pendekatan berbasis budaya dan

kearifan local masyarakat adat setempat; juga dapat dilakukan lintas wilayah; agar dapat

disumbangkan bagi kerjasama masyarakat adat lintas wilayah. 3) Kiranya studi yang menghasilkan

adanya model pengelolaan ekosistem, ekonomi dan SDM berbasis budaya dan kearifan lokal

Minahasa ini; dapat menginspirasi berbagai stakeholders, termasuk mahasiswa dan pengajar di

Perguruan Tinggi serta lembaga-lembaga penelitian; agar secara intensif melakukan studi lintas

disiplin berkaitan dengan manajemen SDM dalam konteks budaya dan kearifan lokal yang masih

perlu diintensifkan.

Terhadap kebutuhan praktikal. 1) Hendaknya hasil studi ini dapat dijadikan referensi utama

bagi Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, dalam menyusun Rencana Strategis Pengelolaan

Ekosistem, Ekonomi dan SDM Masyarakat Adat Berbasis pendekatan Budaya dan kearifan Lokal

Minahasa, Triangel Pa’Dior, sehingga upaya proteksi dan pemberdayaan sistematis selama ini

berdayaguna dan berhasilguna ke depan. 2) Hendaknya hasil penelitian yang akan disumbangkan bagi

penyusunan renstra ini, dapat dipublikan kepada berbagai pihak sebagai pembelajaran bersama. 3)

Kiranya berkenan dengan perkembangan era reformasi dan otonomi daerah, studi ini telah

menghasilkan model desain sistem peringatan dan respons dini bencana (disaster early warning and

early response system) manajemen ekosistem, ekonomi dan sumber daya manusia berbasis budaya

dan kearifan lokal, dapat mendorong dan memberikan inspirasi bagi kerja-kerja penelitian dan

(20)

PUSTAKA RUJUKAN

Adeney, Bernard T., (1995), Etika Sosial Lintas Budaya, Kanisius, Yogyakarta.

csujabodetabek (2012), Pesta Akbar Seni Budaya Kawanua Akan Digelar di Jakarta.

Ayatrohaedi, (1986), Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta.

Berger, Peter L. & Thomas Luckmann (1990).Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.

Bourdieu, P. (1983).“Forms of capital” in J. C. Richards (ed.). Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Greenwood Press, New York.

Bryon, John M. (1998), A Strategic Planning Process for Public and Non-Profit Organization, Long Range Planning, Vol.21. No.1. pp. 73-81. Pergoman Journal: Great Britanian, 1998.

Chariri, A. (2009). Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif, Paper disajikan pada Workshop Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), 31 Juli - 1 Agustus 2009. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.

Chitiga, Margaret dan Mabugu, Ramos (2008). Evaluating the Impact of Land Redistribution: A CGE (computable general equilibirium) Microsimulation Aplication to Zimbabwe, Journal of Afrikan Economies, Volume 17, Number 4, 31 January 2008.

Creswell, John.W (2010). RESEARCH DESIGN, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approach, Third Edition, Penerjemah Achmad Fawaid. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogayakarta. Cross, Susan and Rosenthal, Robert. Three Models of Conflict resolution: Effects on Intergroup

Expectancies and Attitudes, Jurnal of Social Issues, 1999.

Franke, Sandra (2005). Measurement of Social Capital, Reference Document for Public Policy Research, Development, and Evaluation. PRI Project, Canada.

Fuad Hassan, “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia”, dalam http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm, didownload 7/15/04.

Gallopin, Gilberto (2003), A system approach to sustainability and sustainable development. Sustainable Development and Human Settlements Division, Santiago, Chile.

IUCN - The World Conservation Union (2007), Kebijakan untuk Mangrove: Mengkaji Kasus & Merumuskan Kebijakan. IUCNPublications Services Unit, United Kingdom.

Knorringa, Peter and Staveren Irene van (2006). Social Capital for Industrial Development: Operatizing the Concept (summary), Unido Research Programme, Combating Marginalization and Poverty Through Industrial Development (COMPID). United Nations – Industrial Development Organization, Vienna.

Lotulung, L.J.J (tanpa tahun). Kain Bentenan: Proses Pembentukan Identitas Budaya di Sulawesi Utara. Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Mapalus:

Pfeffer, M.J., Wagenet, L., Stycos, J.M., Syndenstricker, J., Meola, C. (2002). Value Conflict and Use Planning: an Example at the Rural/Urban Interface, Prepared for the Northeast Regional Center for Rural/Urban Development, Workshop on Land Use Problem. Cornel University, Center for the Environment, USA.

Prianti, Desi.Dewi (2011). Petunjuk Praktis Cara Melakukan Penelitian Fenomenologi,

Raturandamg, Joan. 2007. Buku Acara Peresmian Bentenan Center. Manado.

Riduwan (2003). Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta, Bandung.

Rupasingha, Anil and J. Goetz, Stephan (2007). Social and political forces as determinnts of foverty: a spatial analysis, ELSEVIER, The Journal of Socio-Economics 36, 2007.http://nercrd.psu. edu/ social capital/SocialPoliticalForces.pdf

Samovar, Larry, H, dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7. Penerbit Salemba Humanika, Jakarta.

(21)

Sartini (tanpa tahun), Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat.

Sneddon, Christopher S (2000), Sustainability’ in ecological economics, ecology and livelihoods: a review. Journal of Progress in Human Geography 24,4 (2000) pp. 521–549., Department of Geography/Program in Environmental Studies, Dartmouth College, USA.

Soerjanto Poespowardojo, (1993), Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sudmeier-Rieux, Karen., Hillary Masundire, Ali Rizvi and Simon Rietbergen, Editors (2006), Ecosystems, Livelihoods and Disasters: An integrated approach to disaster risk management. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK .

Turang, Jan (1984), Pembangunan Daerah

(Prisma), Yayasan Mapalus. Veldy, Umbas (2011), The Mapalus Way.

Wallis, Joe & Dollery, Brain (2001), Government Failure, Social capital and the Appropriateness of the New Zealand Model for Public Sector in Dvelopment Countries, World Development Vol.29, No.2, pp.245-263, Great Britanian.

Wenas, Jessy. 2007. Sejarah & Kebudayaan Minahasa. Penerbit Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, Jakarta.

Wichery, Elisabeth (2009). Land is Life, Land is Power: Landlessness, Exclusion, and Deprivation in Nepal, Fordham International Law journal Vol. 34:930., 2009.

YISBSU (2013), Eluren Eng Kayobaan: Rencana strategis Pemberdayaan, Pemandirian dan Dayaguna Sulut Green dan Organik. YISBSU, Tompaso-Tomohon, Manado.

Zhang, Ying dan Fishbach, Ayelet (2000). The Role of Anticipated Emotions in the Endowment Effect. Journal of Consumer Psychology, 15 (4), 316-324. University of Chicago: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Lampiran : Kegiatan YISBSU yang mengintegrasikan aspek lingkungan, ekonomi dan SDM.

BIDANG LINGKUNGAN DAN BUDAYA a. Sub Bidang Lingkungan (ekosistem)

Program Kegiatan Volume (sasaran) Tujuan Pelaksana

1. Identifikasi dan Pemetaan potensi SDA, Lingkungan dan tata Ruang SULUT.

Identifikasi dan pemetaan berbagai potensi SDA, lingkungan dan tata ruang SULUT: - pulau besar

Sulawesi - maritim-kepulaan:

Siauw, Sangihe dan Talaud.

- perbatasan negara (Filiphina), provinsi (Maluku, Maluku Utara, Sulteng, Gorontalo, Kaltim).

Tersedia peta dasar (data base) potensi SDA, lingkungan dan tata ruang Sulut.

Mengidentifikasi dan memetakan berbagai potensi SDA, lingkungan dan tata ruang Sulut

•Yayasan ISBSU •Kelompok basis

pemberdayaan •Narasumber

(22)

2. Pengorganisasian - perikanan/pesisir - infrastruktur langka atau dilindungi: satwa (Yaki dsb), dan pelestarian potensi SDA, lingkungan dan seni budaya, serta

5. Pemberdayaan dan penguatan dan tata ruang, baik langka maupun SDA dan lingkungan SULUT yang langka:

(23)

7. Kampanye,

8. Penyusunan Blue Print

Penyusunan Blue Print Pemberdayaan dan Pengembangan SDA, Lingkungan, dan tata ruang Sulut. perlindungan dan pengelolaan dan

1. Identifikasi dan Pemetaan potensi

3. Pemberdayaan dan pengembangan seni budaya SULUT:

(24)

4. Pelembagaan

7. Penyusunan Blue Print

Program Kegiatan Volume (sasaran) Tujuan Pelaksana

(25)

2. Pengorganisasin ekonomi dan tata niaga berbasis budaya dan

3. Pemberdayaan & pengembangan basis dan SDM lokal dalam kompetensi di seluruh kab dan kota.

(26)

6. Kampanye, dan kearifan lokal Triangel Pa’Dior. lokal Triangel Pa’Dior

dan kearifan lokal Triangel Pa’Dior dan kearifan lokal Triangel Pa’Dior.

7. Penyusunan Blue Print Triangel

BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Program Kegiatan Volume (sasaran) Tujuan Pelaksana

(27)

Satu lokasi demplot di

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun desain optimasi pengelolaan untuk meningkatkan kondisi ekologi dan ekonomi terumbu karang yang berorientasi pada

Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun desain optimasi pengelolaan untuk meningkatkan kondisi ekologi dan ekonomi terumbu karang yang berorientasi pada

Hasil dari penelitian pada tahun ke-2 ini adalah mengimplementasikan Model Pengelolaan Kawasan Wisata Berbasis Masyarakat Sebagai Upaya Penguatan Ekonomi Lokal dan Pelestarian

Keenam fungsi kearifan lokal yang telah diuraikan, menegaskan pentingnya pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai atau kearifan lokal (local wisdom), dimana

Pembangunan ekonomi di Kawasan Istana Basa Pagaruyung sudah menunjukkan pengembangan dari ekonomi berbasis kearifan lokal. Dari ketiga indikator pembangunan ekonomi, faktanya

Pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pengetahuan dan kearifan lokal demikian niscaya akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, baik generasi kini

Pembangunan ekonomi di Kawasan Istana Basa Pagaruyung sudah menunjukkan pengembangan dari ekonomi berbasis kearifan lokal. Dari ketiga indikator pembangunan ekonomi, faktanya

Dengan melihat betapa pentingnya penguatan karakter berbasis kearifan lokal pada anak didik dan perlunya inovasi pembelajaran IPS yang berbasis kearifan lokal maka peneliti bermaksud