Dibutuhkan Oleh Lingkungan Kerja Yang Belum
Terakomodasi Oleh Kurikulum Yang Ada
Oleh: Raymond Valiant
Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jalan Surabaya No 2A Malang 65115 E‐mail: raymond_valiant@yahoo.com
Daftar Isi
1. Pendahuluan ... 2
2. Pendidikan untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam ... 3
3. Relevansi Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia ... 6
4. Pendidikan Tinggi dan Relevansi Kurikulum ... 10
4.1 Pendidikan Tinggi yang Emansipatoris ... 10
4.2 Kolaborasi Kurikulum dan Peningkatan Kompetensi Secara Sinergis ... 12
5. Isu Strategis dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Masa Depan ... 15
5.1 Penyediaan Energi Bersih ... 16
5.2 Adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global ... 18
5.3 Pemenuhan Sanitasi dan Layanan Air Bersih ... 20
6. Kesimpulan ... 21
Daftar Pustaka ... 22
Lampiran ... 24
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu isu nasional yang tak lekang oleh waktu. Perguruan tinggi diharapkan dapat menghasilkan sarjana yang berkualitas, setidaknya dengan tolok ukur kesesuaian terhadap keperluan dunia kerja. Melalui sarjana‐sarjana yang berkualitas dan sesuai keperluan dunia kerja, diharapkan Indonesia mampu bersaing dengan negara‐negara lain pada aras global.
Tak pelak, tolok ukur kesesuaian dengan dunia kerja menjadi penting bagi tiap perguruan tinggi. Tuntutan pasar kerja terhadap mutu sarjana teknik yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, dianggap sebagai patok ukur (benchmark) bagi keberhasilan suatu pendidikan tinggi keteknikan. Hal tersebut tanpa terkecuali juga berlaku bagi sarjana teknik lulusan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.
Pasar kerja menuntut sarjana teknik yang tidak saja berpengetahuan dan berkemampuan dalam bidang rekayasa (engineering) yang bersesuaian dengan tugas‐tugas tertentu – yang seringkali sangat spesifik – tetapi dituntut pula berkemampuan komunikasi, berorganisasi, mandiri, berjiwa wiraswasta dan lain‐lain. Tuntutan mutu lulusan yang tampaknya wajar tersebut, seringkali sulit untuk dapat terpenuhi oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan keteknikan.1
Menjadikan lulusan perguruan tinggi bersesuaian dengan setiap tuntutan pasar kerja adalah hal yang mustahil. Terlebih di saat ini maupun masa mendatang. Perkembangan pengetahuan dan teknologi yang pesat membuat jangka waktu keilmuan dan produk teknologi menjadi berdaya laku singkat. Bahan yang diajarkan di perguruan tinggi keteknikan, cenderung memiliki usia keilmuan yang pendek. Sesuatu yang diajarkan sekarang, tidak jarang sudah menjadi kadaluwarsa saat para lulusan bekerja. Sementara itu, untuk negara seperti Indonesia, kemajuan pengetahuan dan teknologi sangat cepat dan bergantung pada suatu pool of technology yang bersifat global.
Kondisi sosial ekonomi yang mendorong segala sesuatu kegiatan harus dijalankan secara efisien dan efektif, juga melanda sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Kriteria jumlah lulusan yang dikaitkan dengan waktu penyelesaian studi, indeks prestasi, lama tunggu (dalam mencari kerja) dan besar upah‐gaji pertama, seringkali menjadi tolok ukur (utama) yang digunakan.2 Tidak jarang, akibat upaya yang terlalu bersemangat untuk memenuhi kriteria tersebut, mutu lulusan menjadi masalah.
Sementara, pada sisi lain, sistem pendidikan nasional di Indonesia juga mensyaratkan proses pemandirian pendidikan tinggi. Pemerintah merubah strategi finansial bagi pendidikan tinggi yang dikelola negara, sehingga sejumlah perguruan tinggi negeri harus merubah tata kelola
1
Tingginya angka pengangguran dari lulusan perguruan tinggi di Indonesia menjadi latar belakang kecemasan bahwa pendidikan tinggi di negeri ini hanya mencetak sejumlah “manusia bergelar” tanpa kemampuan menerapkan ilmunya di dalam masyarakat. Jumlah sarjana yang mengganggur berjumlah 183.629 orang tahun 2006 menjadi 409.890 orang tahun 2007, bila dengan pemegang gelar diploma I, II, dan III yang menganggur, berdasarkan pendataan tahun 2007 lebih dari 740.000 orang (Prof Dr H.A.R. Tilaar dalam Kompas, 16 Pebruari 2008)
2
kelembagaannya agar dapat berswasembada menyelenggarakan proses pendidikan. Hal ini menimbulkan kesulitan tersendiri karena untuk memenuhi berbagai keperluan – baik penyelenggaraan pendidikan, pengembangan keilmuan dan pengabdian kepada masyarakat – diperlukan dana yang tidak sedikit.
Memperhatikan tiga hal tersebut di atas, telah banyak hal yang dilakukan, mulai dari skala nasional sampai ke lokal (kelas). Berbagai pihak telah terlibat, mulai menteri sampai mahasiswa. Tanpa mengingkari para pengajar (dosen) yang berperan kepada keberhasilan pemecahan masalah, fokus dari program hibah kompetisi institusi – yang merupakan salah satu instrumen manajemen dari Departemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi – berupaya untuk mencermati pencitraan dan pengembangan sistem informasi untuk menajamkan proses pendidikan keteknikan.
Melalui Program Hibah Kompetisi‐I (PHK‐I) 2008‐2010 di Universitas Brawijaya, diupayakan meningkatkan daya saing lulusan melalui penguatan kompetensi pengelolaan sumberdaya alam dan pengembangan pendidikan kewirausahaan untuk peningkatan layanan jasa konsultasi dan produk teknologi terapan. Dua kegiatan peningkatan efisiensi pendidikan diarahkan untuk: (a) meningkatkan produktivitas penelitian dan pengajaran melalui resource sharing; dan (b) membangun pencitraan UB di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
Melalui PHK‐I 2008‐2010, dikembangkan program dengan sasaran pokok, yakni: peningkatan daya saing lulusan melalui penguatan kompetensi pengelolaan sumberdaya alam, dan pengembangan pendidikan kewirausahaan untuk peningkatan layanan jasa konsultasi dan produk teknologi terapan. Sasaran pertama diikhtiarkan melalui peningkatan kompetensi secara sinergis di antara 3 jurusan di Universitas Brawijaya yang masuk dalam pengelolaan sumberdaya alam, yakni Jurusan Pengairan serta Pengembangan Wilayah dan Kota (PWK) di Fakultas Teknik, dan Jurusan Tanah di Fakultas Pertanian. Adapun sasaran kedua, dicapai dengan penguatan jiwa kewirausahaan dan pengembangan teknologi untuk pemberian layanan terapan dari ilmu pengelolaan sumberdaya alam.
Makalah ini ditulis untuk memberikan masukan dalam kerangka PHK‐I 2008‐2010, yang secara khusus akan melihat bagaimana peningkatan kompetensi secara sinergis di antara 3 jurusan di Universitas Brawijaya tersebut dapat dilaksanakan. Selain itu, juga akan diberikan beberapa masukan mengenai isu‐isu strategis dalam bidang sumberdaya alam, sebagai tantangan ke depan bagi pengembangan kurikulum yang lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan sains, teknik dan rekayasa.
2.
Pendidikan untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam
Oleh karena merupakan suatu ilmu terapan yang mempertalikan unsur ilmu pasti dan ilmu manusiawi, maka pengelolaan sumberdaya alam lazimnya diajarkan pada tingkat pendidikan tinggi.
Sejarah pendidikan tinggi di Indonesia sendiri, relatif dimulai terlambat dan penuh keragu‐raguan, dibandingkan dengan negeri‐negeri lain di Asia yang turut mengalami penjajahan.3 Pemerintah Hindia Belanda membuka pendidikan tinggi yang sebenarnya di Indonesia pada tahun 1902 di Batavia (Jakarta) dengan didirikannya sebuah sekolah tinggi bernama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumiputera. Sekolah tinggi serupa didirikan di Surabaya tahun 1913, Neederlandsch Indische Artsen School (NIAS).
Adapun pendidikan tinggi keteknikan di Indonesia baru diawali pada tahun 1920, ketika di Bandung dibuka Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch‐Indië yang dikenal secara ringkas sebagai Technische Hooge School (THS). Pendidikan tinggi keteknikan ini diprakarsai Dr Jan Willem Ijzerman – seorang insinyur yang terlibat antara lain dalam penggalian tapak bagian bawah dari Candi Borobudur di Magelang (1858) – pada puncak karirnya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat di Negeri Belanda. Sebagai rektor pertama ditunjuk Prof Ir J. Klopper dan pada tahun 1924 THS diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai pendidikan tinggi milik negeri.
Relatif sedikit terlambat, dalam bidang pertanian Pemerintah Hindia Belanda tidak langsung membuka pendidikan tinggi pertanian di Indonesia. Meskipun beberapa balai penelitian pertanian telah dibuka sejak 1923 di bawah Departemen Pertanian namun baru pada 1940, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan lembaga pendidikan tinggi pertanian pertama di Bogor dengan nama Landbouw Hogeschool. Pada tahun 1941, pendidikan tinggi pertanian ini dinamakan Landbowkundige Faculteit, dan terpaksa ditutup pada masa pendudukan Jepang.
Segera setelah Republik Indonesia berdiri, dirasakan keperluan mendidik sarjana untuk mengisi kekosongan para ahli yang ditinggalkan orang Belanda. Pada 4 Januari 1946 Soekarno dan Hatta memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Dengan maraknya pertempuran antara pejuang kemerdekaan dan Sekutu serta NICA di Jakarta dan Bandung, maka sebagian civitas academica THS ikut pindah ke Yogyakarta. Pada 17 Februari 1946, THS dihidupkan kembali di Yogyakarta dengan para pengajarnya antara lain Prof Ir Rooseno dan Prof Ir Wreksodhiningrat.
Landbouwkundige Faculteit di Bogor dibuka kembali pada 1947 dengan nama Faculteit Voor Landbouw‐Wetenschappen yang mempunyai dua jurusan, yakni Pertanian dan Kehutanan. Selanjutnya, dengan perkembangan situasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, pada 1949 sebagian dari THS yang dipindahkan ke Yogyakarta melebur ke dalam Universitas Gajah Mada yang didirikan atas prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwana IX.
3
Penjajah Inggris membuka Thomason College of Civil Engineering pada 1847 yang pada saat ini telah menjadi Indian
Sementara pada 1950, Faculteit voor Landbouw‐wetenschappen berubah nama menjadi Fakultas Pertanian di bawah Universitas Indonesia yang baru didirikan. Fakultas ini memiliki tiga jurusan yaitu Sosial‐Ekonomi Pertanian, Pengetahuan Alam dan Kehutanan.
Pada tanggal 10 Nopember 1957, sebuah yayasan di Surabaya mendirikan Perguruan Tinggi Teknik 10 Nopember Surabaya, yang kelak menjadi cikal bakal Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. Sementara itu THS di Bandung yang sempat berhenti beroperasi antara 1942‐1949, kembali dibuka sebagai Institut Teknologi Bandung (1959) dengan rektor Indonesia pertama, Prof R.O. Kosasih
Sementara itu pada 1960, Akademi Teknik di Semarang diubah menjadi Fakultas Teknik dan disatukan dengan Universitas Diponegoro yang telah didirikan sebelumnya sebagai Universitas Semarang pada 1958. Jurusan Teknik Sipil adalah jurusan yang pertama di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro sebelum jurusan lainnya dibuka. Sebagai dekan pertama ditunjuk Prof Ir Soemarman.
Sementara itu, di Malang, Jawa Timur, sejak 1960 telah didirikan Universitas Kotapraja Malang, dengan antara lain Fakultas Pertanian di bawah naungannya. Pada 1961 nama universitas ini diubah menjadi Universitas Brawijaya (Unibraw) melalui keputusan Presiden Republik Indonesia. Bersama itu, Fakultas Pertanian di bawah Universitas Brawijaya diberi status negeri oleh Menteri Pendidikan dan ditempatkan di bawah Universitas Airlangga Surabaya.
Fakultas teknik didirikan di Unibraw pada 1962 dengan dua jurusan yakni Teknik Sipil dan Teknik Mesin. Pendirian fakultas teknik di Unibraw didorong antara lain oleh adanya kebutuhan sarjana teknik untuk pelaksanaan sejumlah pekerjaan pembangunan prasarana pengairan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, yang saat itu merupakan kegiatan pembangunan yang terbesar di Jawa Timur.. Selain menjadi menyediakan tenaga pengajar bagi fakultas yang baru berdiri tersebut, proyek pembangunan prasarana pengairan di DAS Brantas itu juga menyediakan tempat dan sarana perkuliahan. Sebagai dekan pertama ditunjuk pejabat di salahsatu proyek pengairan di Kali Brantas, Prof Dr Ir Soeyono.
Pada 1963 dengan diberikannya status negeri kepada Unibraw melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan Republik Indonesia maka Fakultas Pertanian yang sebelumnya berada di bawah Universitas Airlangga dikembalikan lagi kepada Unibraw.
Tidak lama setelah pendirian Fakultas Teknik di Unibraw, dibentuk pula Fakultas Teknik di Universitas Indonesia (UI) pada 1964 atas prakarsa sejumlah sarjana teknik yang juga terlibat dalam pembangunan stadion nasional Senayan dan simpang susun Semanggi, seperti Ir Sutami dan Prof Ir Rooseno. Dorongan pendirian Fakultas Teknik di Universitas Indonesia juga disebabkan adanya kebutuhan sarjana teknik untuk berbagai proyek pembangunan di Jakarta dan Jawa Barat pada saat itu. Sehingga UI menjadi perguruan tinggi ke 5 di Indonesia yang mendirikan fakultas teknik, setelah THS, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi 10 Nopember dan Unibraw.
mendukung upaya tersebut. Desakan ini mewujud di dalam berkembangnya ilmu terapan (keteknikan dan pengelolaan sumberdaya alam) sebagai primadona pendidikan tinggi.
Pada tahun 1975, sebagai akibat dari desakan untuk menyempurnakan sistem pendidikan, Fakultas Pertanian Unibraw yang semula hanya memiliki dua jurusan, yaitu Teknik Pertanian dan Sosial‐ Ekonomi Pertanian dipisahkan ke dalam 4 jurusan yakni: Agronomi, Sosial‐Ekonomi Pertanian, Proteksi Tanaman dan Ilmu Tanah. Pembagian ini mendorong pendidikan tinggi di bidang pertanian untuk selangkah lagi maju ke arah orientasi pengelolaan sumberdaya alam.4
Seiring dengan desakan itu, untuk mengembangkan pendidikan tinggi keteknikan yang juga memiliki orientasi pengelolaan sumberdaya alam maka didirikan Jurusan Pengairan di FT Universitas Brawijaya pada 1976. Jurusan ini diprakarsai sekali lagi oleh sejumlah sarjana teknik yang terlibat dalam pembangunan prasarana pengairan di DAS Brantas, seperti Ir Husni Sabar, Ir Mardjono Notodihardjo dan Dr Ir Suyono Sosrodarsono. Jurusan Pengairan bertahan menjadi suatu program ilmu keteknikan yang unik karena relatif independen sebagai ilmu terapan: menggabungkan keteknikan sipil dengan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya air.
Dalam perjalanan selanjutnya, makin berkembangnya kebutuhan infrastruktur mendorong sejumlah perguruan tinggi ikut serta menyelenggarakan pendidikan keteknikan dan pertanian. Meskipun pada awalnya terkonsentrasi di Pulau Jawa, beberapa perguruan tinggi di luar pulau tersebut juga memulai penyelenggaraan pendidikan tersebut. Penekanan pada pembangunan ekonomi semasa Orde Baru (1966‐1998) turut mendorong perkembangan pendidikan keteknikan, karena secara fisik, pembangunan ekonomi banyak bertumpu pada pengembangan infrastruktur untuk transportasi, pemberian air, penyediaan energi dan fasilitas umum bagi masyarakat.
Pada saat ini terdapat kurang lebih 2.900 perguruan tinggi, di mana 112 dimiliki pemerintah di mana sekitar 78 perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan keteknikan baik dalam bidang rekayasa maupun sains terapan.5 Jumlah sarjana teknik di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 350.000 orang, hampir sejumlah sarjana ilmu terapan semacam pertanian, peternakan dan perikanan.
3.
Relevansi Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia
Salahsatu tujuan akhir dari seluruh proses pendidikan – termasuk di dalamnya pendidikan tinggi – adalah meningkatkan kualitas hidup manusia. Kualitas ini tidak saja berarti kemakmuran yang secara kapital dinikmati setiap orang di dalam suatu masyarakat, namun juga kelayakan dan kepantasan hidup. Berkaitan kelayakan dan kepantasan maka dikenal istilah mutu sumberdaya
4
Pendidikan di bidang ilmu tanah merupakan salah satu ilmu terapan di bidang pertanian yang relatif langka, bahkan hingga kini. Di Indonesia hanya ada 18 jurusan ilmu tanah dari 28 perguruan tinggi negeri yang memiliki fakultas pertanian, sementara dari 179 perguruan tinggi swasta hanya tercatat 9 jurusan ilmu tanah (data per‐tahun 2003, lihat http://fp.brawijaya.ac.id/content.php?cd=about&cf=sejarah)
5
manusia. Mutu ini disepakati oleh berbagai pihak dinyatakan dalam apa yang disebut indeks pengembangan sumberdaya manusia (human development index) atau disingkat HDI.6
Berdasarkan hasil kajian United Nations Development Program (UNDP, 2009) dapat HDI diketahui untuk 182 negara di dunia. Dari hasil perhitungan diketahui pada 2009, HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 di dunia. Kedudukan ini turun lima peringkat dari tahun 2006 serta tetap berada di bawah Singapura (23), Brunei Darusalam (30), Malaysia (66), Thailand (87), Filipina (105). Indonesia masih sedikit lebih baik dari Vietnam (116).
HDI dihitung dari indikator‐indikator yang tersedia secara global untuk berbagai negara, dengan rumus yang sederhana dan transparan. Ada tiga aspek yang dipertimbangkan dalam pemeringkatan HDI, yakni: (a) indeks harapan hidup, yang menyatakan bagaimana manusia di suatu negara memperoleh jaminan hidup yang produktif dan sehat; (b) indeks pendidikan, yang menyatakan bagaimana manusia di suatu negara memperoleh pendidikan untuk mengembangkan akal‐budi dan budaya; dan (c) indeks pendapatan domestik bruto, yang menyatakan distribusi pendapatan secara kolektif untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat suatu negara.
Pada Tabel 1 disajikan hasil perhitungan HDI untuk kawasan Asia Tenggara yang dibandingkan pula terhadap prosentase kemampuan baca‐tulis untuk usia di atas 15 tahun dan prosentase siswa berlatarbelakang pendidikan sains, teknik dan rekayasa.
Tabel 1 Korelasi HDI dan EI terhadap kemampuan baca tulis dan pendidikan dalam sains, teknik dan rekayasa 7
Negara HDI EI Baca Tulis >
15 Thn
Pendidikan Sains, Teknik & Rekayasa
% populasi % populasi
pendidikan lanjut
Singapura 0,944 0,913 94,4 40
Brunei Darussalam 0,920 0,891 94,9 10
Malaysia 0,829 0,851 91,9 40
Thailand 0,783 0,888 94,1 ‐‐‐
Filipina 0,751 0,888 93,4 27
Indonesia 0,734 0,840 92,0 ‐‐‐
Vietnam 0,725 0,810 90,3 20
Laos 0,619 0,683 72,7 6
Kamboja 0,593 0,704 76,3 19
Myanmar 0,586 0,787 89,9 42
Hasil analisa menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara HDI dengan EI. Hubungan yang muncul dari kedua indeks ini memiliki koefesien korelasi dari Pearson sebesar 0,91 (skala 0 sampai 1), sehingga dapat disimpulkan, negara dengan HDI yang tinggi memiliki komitmen pendidikan (EI) yang juga tinggi. Bila dicermati, dapat dilihat negara‐negara dengan EI tinggi juga memiliki prosentase baca‐tulis untuk usia > 15 tahun yang lebih tinggi. Selain itu, EI yang tinggi tersebut
6
HDI dihitung dari indikator‐indikator yang tersedia secara global untuk berbagai negara, dengan rumus yang sederhana dan transparan: HDI = 1/3 LEI + 1/3 EI + 1/3 GDPI. Di mana: LEI = Life Expectancy Index atau indeks harapan hidup; EI = Education Index atau indeks pendidikan; dan GDPI = Gross Domestic Product Index yang merupakan indeks pendapatan domestik bruto.
7
berkaitan pula dengan tingginya tingkat bersekolah (school enrollment) untuk usia 8‐15 tahun dan besar pengeluaran per‐kapita untuk pendidikan.
Untuk kawasan Asia Tenggara, Singapura, Malaysia dan Filipina memiliki EI yang relatif baik. Hal lain yang menarik adalah penemuan, negara‐negara dengan EI dan HDI yang baik umumnya juga memiliki prosentase siswa berlatarbelakang pendidikan sains, teknik dan rekayasa yang memadai. Beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia dengan HDI tinggi, memiliki prosentase siswa yang cukup signifikan di bidang sains, teknik dan rekayasa.
Selanjutnya, ada fenomena yang menarik antara HDI dengan variabel lain yang berkaitan dengan pengelolaan air. Dalam penelitian ini, dipilih dua variabel yang tercantum dalam millenium development goals (tujuan pembangunan semesta) atau yang disingkat MDG, yakni: ketersediaan air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat. Melalui analisa korelasi terhadap 177 negara, didapatkan HDI berkaitan erat dengan kedua variabel MDG tersebut. Koefesien korelasi untuk hubungan HDI dengan ketersediaan air bersih adalah sebesar 0,79 dan untuk sanitasi yang memadai adalah sebesar 0,85 (Valiant, 2008).
Sebagai ilustrasi, untuk kawasan Asia Tenggara, dapat dilihat hubungan HDI dengan air bersih dan akses sanitasi sebagaimana Tabel 2.
Tabel 2 Hubungan HDI dengan akses air bersih dan sanitasi untuk negara Asia Tenggara (UNDP, 2007 dan Tortajada, 2006)
Negara HDI Air Bersih Sanitasi
% populasi % populasi
Singapura 0,944 100 100
Brunei Darussalam 0,920 ‐‐‐ ‐‐‐
Malaysia 0,829 99 94
Thailand 0,783 99 99
Filipina 0,751 85 72
Vietnam 0,734 85 61
Indonesia 0,725 77 55
Laos 0,619 51 30
Kamboja 0,593 41 17
Myanmar 0,586 78 77
Dalam kenyataan, ketersediaan air bersih dan akses sanitasi yang memadai memerlukan investasi yang berasal baik dari dana publik maupun pribadi. Untuk itu, dapat dikembangkan analisa lebih lanjut untuk melihat bagaimana hubungan dari prioritas pengeluaran dengan ketersediaan fasilitas air bersih dan sanitasi di berbagai negara. Dari data global, tampak pengeluaran untuk sektor‐ sektor tertentu yang berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat seperti kesehatan, sanitasi, pendidikan dan juga riset, dapat berbeda‐beda antar negara.
Dari Tabel 3 tampak, terdapat keterkaitan antara HDI dengan prioritas pengeluaran dari masing‐ masing negara. Negara dengan HDI tinggi cenderung mengeluarkan lebih banyak investasi untuk kesehatan, pendidikan dan riset.
Tabel 3 Hubungan antara GDP, nisbah pengeluaran untuk sektor kesehatan, pendidikan dan riset, dalam hubungan terhadap akses ke air bersih dan sanitasi
Klasifikasi Negara GDP Nisbah Pengeluaran Air Bersih Sanitasi
Kesehatan Pendidikan Riset
$ AS/kapita % GDP % GDP % GDP % populasi % populasi
Maju (OECD) 29.197 2,4 100 100
Berkembang 5.282 1,0 79 49
HDI Tinggi 23.982 4,9 5,0 2,4 98 92
HDI Sedang 4.876 3,0 4,6 0,8 82 48
HDI Rendah 1.112 2,4 3,9 ‐‐‐ 49 34
Dunia 9.543 3,6 4,7 2,3 83 59
Indonesia 3.843 1,0 0,9 0,1 77 55
Sutanto (2009) melaporkan jumlah anggaran riset yang disediakan pemerintah hanya 0,07% dari GDP (gross domestic product) tahun 2009.8 Angka ini sangat di bawah standar yang disyaratkan UNESCO, yakni sebesar 3% dari GDP. Sebagai pembanding, katanya, negara tetangga Malaysia mempunyai anggaran riset sebesar 1% dari GDP, Singapura 2,2% dari GDP, serta Korea dan Jepang sebagai negara industri lebih dari 3% dari GDP. Bila hal ini dihubungkan dengan situasi pendidikan tinggi kita akan tampak bahwa memang lambat laun akan muncul involusi keilmuan di berbagai perguruan tinggi bila pendanaan riset tidak mendapat cukup prioritas.
Selain persoalan pendanaan riset, hal menarik lain adalah salah satu cara pemerintah mewujudkan kemaslahatan masyarakat dengan menyediakan air bersih dan layanan sanitasi yang memadai. Kedua variabel MDG ini secara signifikan berhubungan dengan pengembangan kualitas manusia. Negara dengan kebijakan publik dan partisipasi masyarakat yang memadai untuk mencukupi pemenuhan air bersih dan sanitasi akan memetik manfaat dalam wujud penguatan nilai HDI.
Negara dengan HDI yang tinggi cenderung memiliki pengeluaran yang signifikan untuk sektor kesehatan, pendidikan dan riset. Dampak dari kebijakan ini mendorong pemenuhan dari aspek dasar bagi kesejahteraan hidup manusia, yang antara lain dapat dilihat dalam tingginya akses air bersih dan sanitasi yang memadai. Sebaliknya negara dengan HDI sedang memiliki nisbah pengeluaran yang lebih kecil untuk sektor‐sektor tersebut di atas, dan hal ini secara kolektif akan mempengaruhi penyediaan aspek dasar bagi kesejahteraan masyarakat.
Pada negara dengan HDI rendah, pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan secara nyata berhubungan dengan rendahnya akses air bersih dan sanitasi. GDP yang rendah mendorong kebijakan publik yang lebih mementingkan pengeluaran untuk keperluan‐keperluan pokok lain, berakibat langsung pada kecilnya pengeluaran untuk penyediaan layanan dasar kesejahteraan manusia termasuk di dalamnya air bersih dan akses sanitasi yang memadai. Padahal, keterbatasan air bersih dan akses sanitasi akan menurunkan produktifitas sehingga memiliki sumbangsih nyata pada proses pemiskinan kembali.
8
Maka, usaha‐usaha untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan teknik, merupakan hal yang harus selalu dilakukan.
4.
Pendidikan Tinggi dan Relevansi Kurikulum
4.1 Pendidikan Tinggi yang Emansipatoris
Pendidikan dalam beberapa hal dikatakan Driyarkara (1980) sebagai proses pelibatan pendidik dan peserta didik dalam suatu «hidup bersama». Tujuan dari pendidikan secara falsafi adalah membentuk kesadaran (consciousness) akan eksistensi keillahian, kesadaran akan diri sendiri, mewariskan sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem teknologi – sehingga bila dirangkum dalam satu frasa: merupakan pewarisan ideologi, mentalitas dan peradaban. Baik pendidik dan peserta didik secara bersama‐sama ada di dalam suatu totalitas yang transformasional. Maka, dengan demikian «mendidik» adalah sekaligus «dididik» (oleh peserta didik sehingga pendidik menjadi lebih baik lagi). Pendidikan adalah proses interaktif‐komunikatif.
Justeru sebaliknya, proses pendidikan sering disamakan dengan proses belajar. Padahal keduanya merupakan hal yang sama sekali berbeda.
Pendidikan itu tidak terbatas hanya pada peristiwa belajar – di mana seseorang sekarang mengetahui sesuatu atau dapat mengerjakan sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengetahui atau tidak dapat mengerjakannya. Proses belajar‐mengajar lebih merupakan unsur dari suatu proses pelibatan pendidik dan peserta didik dalam totalitas yang transformasional.
Salah kritik terbesar terhadap modernisme diberikan oleh aliran filsafat kritis. Jürgen Habermas, seorang filsuf terkemuka, menilai modernisme di Dunia Barat beberapa dekade belakangan ini sudah terjebak di dalam rasionalitas instrumental belaka (Habermas, 1990). Dalam pendidikan, hal ini dapat diamati peran dominan dari subyek‐subyek pendidik telah digantikan oleh instrumen‐ instrumen pendidikan seperti: sistem birokrasi, kurikulum, silabus, sistem kredit, tujuan instruksional, garis‐garis besar pengajaran, kontrak mengajar dan lain sebagainya. Pendidik dan peserta didik seringkali menjadi subyek yang tunduk patuh pada sistem instrumental atau yuridis‐ birokratis. Sangat boleh jadi, ini adalah tanda pendidikan kita sudah bergeser – sedikit demi sedikit – dengan makin berkurangnya unsur interaksi manusiawi.
Berpijak pada filsafat komunikasi, Habermas menawarkan pengembangan dari interaksi sosial – yang disebutnya sebagai rasionalitas komunikasi – sebagai pelengkap dari rasionalitas instrumental dan paham modernisme yang telah mandeg. Pemikiran utama Habermas adalah menempatkan kembali manusia sebagai subyek di dalam sistem. Manusia dan aspek kemanusiaan harus menjadi lebih dominan dalam modernitas, bukan birokrasi, administrasi atau sistem rasionalistik yang diciptakan.
sains dan modernisasi. Manusia memiliki gagasan, inovasi dan empati. Dia dilahirkan dengan kemampuan menggunakan akal‐budinya untuk menimbang yang baik dan memisahkannya dari yang jelek, maka modernisme yang hanya menekankan pada pengembangan aspek ragawi akan gagal menghasilkan manusia yang utuh. Demikian pula pendidikan yang hanya menekankan pada rasionalitas instrumental akan gagal menghasilkan manusia terdidik.
Pemujaan terhadap rasionalitas yang berlebihan hanya akan memungkiri hakikat spiritualitas manusia. Bila hal ini terjadi di dalam dunia pendidikan maka tak pelak, harus dicari cara mengembalikan pendidikan agar menjadi suatu totalitas transformasional yang manusiawi. Agar pendidikan tidak menjadikan manusia yang tidak‐manusiawi, yang teknokratik dan serba‐ rasionalistik, maka diperlukan suatu pendidikan yang emansipatoris.
Pendidikan yang emansipatoris menjamin subyek‐subyek yang terlibat di dalamnya, baik sebagai pendidik maupun peserta didik menempatkan dirinya senantiasa sebagai pribadi intelektual. Artinya, pendidikan yang emansipatoris menjamin bahwa selain pengembangan aspek rasionalitas instrumental, juga dilakukan upaya‐upaya yang cukup untuk mengembangkan interaksi sosial dan penajaman wacana keilmuan secara terus‐menerus melalui penelitian, pengabdian masyarakat dan pengembangan etika ilmiah.
Beberapa bentuk pendekatan dalam pendidikan emansipatoris yang dapat diterapkan untuk pendidikan keteknikan adalah antara lain:
1. Pengembangan wawasan keilmuan yang bersifat strategis, mengingat pendidikan keteknikan sangat dipengaruhi kebijakan global dan nasional, sehingga perluasan pengetahuan (knowledge) menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan pendidikan yang lebih baik. Para pendidik harus memiliki penguasaan atas materi perkuliahan dan wawasan keilmuan pada umumnya.
2. Pengembangan aspek metodologis dalam pengajaran, yang menyangkut pemilihan cara mengajar dan pengoperasian simbol‐simbol rujukan dalam bentuk serta media komunikasi. Pendidikan tidak boleh dimaknai berhenti pada proses pembelajaran – seperti yang biasa dipahami dalam menyusun tujuan instruksional pengajaran – namun harus diperluas menjadi suatu proses totalitas yang transformasional.
3. Kepribadian dari pendidik berperan penting, karena selain menyangkut aspek intelektualitas maka diperlukan pula kepribadian (mentalitas) yang baik. Pendidik harus memiliki keluhuran budi dan etika ilmiah, yang dicerminkan melalui kegiatan belajar dan meneliti.
4. Mengembangkan penulisan esai dan interaksi kelompok untuk menciptakan proses pembelajaran yang melengkapi tujuan pendidikan. Dalam proses ini, para pendidik memberikan ruang bagi perkembangan rasionalitas komunikasi.
4.2 Kolaborasi Kurikulum dan Peningkatan Kompetensi Secara Sinergis
Pertimbangan atas kurikulum keteknikan pada perguruan tinggi, tidak saja menyangkut kesesuaian dari matakuliah dengan kebutuhan di dunia kerja, namun juga menyangkut kritik terhadap proses rasionalisasi yang dikembangkan pendidikan tersebut. Proses rasionalisasi ini seharusnya tidak melihat pendidikan teknik semata‐mata dari pengetahuan dan kemampuan dalam bidang rekayasa (engineering) yang bersesuaian dengan tugas‐tugas tertentu yang seringkali sangat spesifik – namun juga dari tantangan dan peluang yang dihadapi sarjana teknik di kemudian waktu.
Pendidikan keteknikan yang sangat kuat dalam corak rasionalitas instrumental, seharusnya diperlengkapi pula dengan pengembangan interaksi sosial dan pengembangan wacana keilmuan yang berlandaskan pada penelitian, pengabdian masyarakat dan pengembangan etika ilmiah. Pendidikan tinggi teknik seharusnya beradaptasi dengan perubahan teknokrasi dan menyiapkan diri untuk secara strategis menempatkan diri dalam trajektori perubahan di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan tidak harus selalu «berorientasi pada kebutuhan pasar». Penempatan pendidikan tinggi secara strategis berarti membekali seluruh subyek pendidikan dengan cukup interaksi sosial, etika ilmiah dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Bila disimak hubungan antara perubahan bentuk pemerintahan dengan metode pengelolaan air maka akan tampak bahwa bidang rekayasa (engineering) sangat dipengaruhi kebijakan global dan nasional dalam kerangka penciptaan infrastruktur, pemenuhan kebutuhan energi, pangan dan air, serta pertumbuhan sosial.
Bidang sumberdaya air – sebagai salahsatu sub sistem dalam bidang rekayasa sipil – memiliki keterkaitan yang erat dengan kebijakan global dan nasional. Tidak saja karena air merupakan sumberdaya alam yang bersifat lintas administrasi dan lebih sulit dijinakkan tanpa kerjasama yang erat namun juga karena sosiologis, air tidak pernah lepas dari ranah publik meskipun pemanfaatannya memiliki fungsi ekonomis (Sneddon dan Fox, 2008).
Terkait dengan air, juga terdapat tanah sebagai wadah di mana air itu berada dan mengalir. Sifat dan perilaku tanah, baik pada cakupan geo‐morfologis maupun meso‐lokal, selain memberikan karakteristik pada sumberdaya air yang menyatu dengannya, juga mempengaruhi kekayaan hayati yang ada di dalam dan di atasnya.
Lebih luas lagi, kegiatan kultivasi yang merupakan suatu upaya mengerucutkan rantai energi di alam pada usaha‐usaha terkonsentrasi yang disebut pertanian, menuntut adanya pengelolaan air dan tanah secara serempak untuk memberi hasil terbaik. Kegiatan bercocok tanam sejak lama telah dilekatkan dengan pengembangan sumberdaya air. Prasasti Tugu dari abad 5 M, memberi gambaran bagaimana Kerajaan Tarumanegara di Jawa sudah memaknai air dan tanah sebagai kekuatan yang menyatu. Pembangunan Saluran Çhandrabaga oleh sang raja, selain berfungsi mengendalikan air permukaan juga untuk memberi air pada sistem bercocok tanam padi. Beberapa ahli sejarah menyatakan Saluran Çhandrabaga sebagai Sungai Bekasi saat ini.
tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak‐anak sungainya menjadi sumber air yang memadai.
Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Kali Brantas, lewat prasasti Harinjing di Pare, Kediri. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yang sekarang bernama Kali Serinjing (Lombard, 2000).
Pengelolaan air dan tanah dalam suatu sistem pertanian akhirnya membangun apa yang disebut teknokrasi. Teknokrasi ini adalah suatu birokrasi yang mengelola sumberdaya alam dengan menggunakan prinsip‐prinsip teknis – pada derajat perkembangannya masing‐masing. Wittvogel (1930) menyebutnya sebagai suatu kebudayaan hidrolik, perpaduan antara kekuatan pertanian yang agraris dengan pengelolaan air yang bersifat transversal.
Perkembangan teknokrasi ini erat terkait dengan perkembangan kekuasaan. Berbagai pemerintah telah muncul dan surut di Indonesia. Tidak saja pada zaman kerajaan, namun lebih ekstensif lagi pada masa penjajahan dari Eropa hingga kini. Pada lampiran, disajikan korelasi antara bentuk pemerintahan dengan pengelolaan sumberdaya air. Tampak, berbagai kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya air bersumber pada kebijakan publik masing‐masing pemerintah, yang dalam konsekuensinya menimbulkan investasi dalam bentuk prasarana pengairan yang berbeda‐ beda.
Dari tabel di lampiran, dapat disimpulkan: berbagai kegiatan dalam bidang sumberdaya alam, baik air, tanah bahkan tata ruang, sangat dipengaruhi prioritas yang ditetapkan masing‐masing pemerintahan. Dalam tata kepemerintahan ada evolusi birokrasi, yang bertumbuh dan bertambah matang dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan. Hal ini dapat dilihat dari semakin tertata dan rapihnya proses pembangunan prasarana pengairan. Walau demikian, dalam perkembangan, perkembangan di bidang pengairan tidak saja ditentukan oleh visi dari birokrasi yang ada namun juga oleh persoalan global dan makro‐ekonomi. Tuntutan secara kurikulum untuk menciptakan sarjana teknik (pengairan) yang memiliki daya saing dan ketrampilan untuk bekerja dipengaruhi secara signifikan oleh berbagai masalah (adversities) yang muncul untuk rentang 10‐20 tahun ke depan.
Menghubungkan kurikulum dari Jurusan Pengairan, PWK dan Tanah, dapat dilakukan untuk menciptakan suatu kerjasama pengajaran (collaborative teaching) yang pada akhirnya mengembangkan suatu sinergi kompetensi. Baik Jurusan Pengairan, PWK maupun Tanah pada intinya merupakan ilmu terapan dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam. Jurusan Pengairan belajar mengelola air, PWK belajar mengelola keruangan dan Tanah belajar mengelola tanah itu sendiri. Sinergi pada platform pengetahuan (knowledge) dapat saling memperkaya satu sama lain.
1. Terdapat sejumlah matakuliah yang dapat didekatkan atau bahkan disatukan satu sama lain dalam silabus dan rancangan instruksionalnya, agar memberikan manfaat dan kesamaan pemahaman yang bersifat lintas jurusan. Contohnya adalah:
a. Matakuliah Pemetaan dan SIG (TKP4123) di Jurusan Pengairan dapat didekatkan dengan matakuliah Dasar Pengindraan Jauh dan IFU di Jurusan Tanah (PTT4202).
b. Matakuliah Kewirausahaan di Jurusan Pengairan (UBU4005), Jurusan PWK (TKW4005) dan Jurusan Tanah (UBU4005) dapat disatukan silabusnya.
c. Matakuliah Teknik Lingkungan dan AMDAL (TKP4132) dan Geologi Teknik (TKP4214) di Jurusan Pengairan dapat disatukan dengan matakuliah serupa di Jurusan PWK (TKW4120 dan TKW4110).
d. Matakuliah Pengukuran Tanah dan Kartografi (PTT4106) di Jurusan Tanah dapat
digabung dengan matakuliah Ilmu Ukur Tanah (TKP4209) di Jurusan Pengairan.
2. Terdapat sejumlah matakuliah di suatu jurusan yang dapat ditawarkan sebagai matakuliah pilihan di jurusan lain untuk memperkaya kemampuan dan wawasan. Contohnya adalah:
a. Matakuliah Rekayasa Distribusi Air Bersih (TKP4124), Manajemen Konstruksi (TKP4137), Rancangan Drainase (TKP4211), Reklamasi (TKP4212) dan Teknologi Pengolahan Limbah (TKP4224) di Jurusan Pengairan dapat ditawarkan sebagai matakuliah pilihan untuk Jurusan PWK.
b. Matakuliah Pengelolaan DAS (TKP4130), Pengelolaan Kualitas Air (TKP4206), Hidrologi Teknik (TKP4208), Pengelolaan Sumberdaya Air (TKP4226) dan Aliran Air Tanah (TKP4233) di Jurusan Pengairan dapat ditawarkan sebagai matakuliah pilihan untuk Jurusan Tanah.
c. Matakuliah Perencanaan Wilayah (TKW4129) di Jurusan PWK dapat ditawarkan sebagai matakuliah pilihan di Jurusan Pengairan dan Jurusan Tanah.
3. Terdapat sejumlah matakuliah yang dapat di‐sinergi‐kan dan di‐share secara kolektif oleh semua jurusan baik sebagai wajib maupun pilihan dengan beberapa pendalaman/perubahan pada silabus dan tujuan instruksionalnya.
a. Matakuliah Perencanaan Pengembangan (PTT4208) disinergikan dengan matakuliah serupa di Jurusan PWK seperti Perencanaan Desa Terpadu (TKW4121) atau Perencanaan Wilayah (TKW4129).
b. Matakuliah Morfologi Sungai (TKP4122) dan Angkutan Sedimen (TKP4222) sebagai pemerkayaan di Jurusan Tanah.
c. Matakuliah Ilmu Tanah dan Tanaman (TKP4225) di Jurusan Pengairan dengan matakuliah Dasar Agronomi (PTF4001) di Jurusan Tanah.
1. Tidak ada pembanding dari kurikulum yang dibuat oleh Jurusan Pengairan dengan kurikulum serupa di Indonesia, selain (barangkali) program spesialis hidrolika atau hidrologi yang ditawarkan universitas di luar negeri pada jenjang sekunder (strata dua).
2. Secara umum 70% atau kurang lebih 100 Satuan Kuliah Semester (SKS) yang ditawarkan di Jurusan Pengairan maupun Tanah, tidak berubah dari kurikulum yang diberikan sekitar 20 tahun silam. Peta‐jalan (road map) dari Jurusan Pengairan dan Jurusan Tanah secara spesifik dapat dikembangkan dalam proses pemerkayaan matakuliah yang diberikan. Sekali lagi ada persoalan wawasan keilmuan dan kedalaman aplikasi akan menjadi tantangan bagi para pendidik untuk memberikan matakuliah dimaksud.
3. Untuk merangkum berbagai tuntutan pasar kerja ke dalam penyajian sejumlah matakuliah untuk menciptakan ketrampilan tertentu, dapat dikembangkan kegiatan studio untuk mendukung skill. Tuntutan pasar kerja ini memang bersifat spesifik namun penajaman terhadap landasan yang menyebabkan ketrampilan itu diperlukan, perlu tetap diberikan penekanan.
4. Kerjasama dalam pengajaran memerlukan platform yang bersifat menerus dan saling menyempurnakan.
5.
Kompetensi dan Kebutuhan Dunia Kerja
Kompetensi adalah suatu penguasaan atau kebolehan yang dinyatakan baik secara kognitif, afektif maupun motorik.
Dorongan untuk mengembangkan kompetensi adalah salah satu tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan, tidak saja pada tingkat dasar dan menengah, namun juga (secara khusus) pada pendidikan tinggi. Bahkan, keberhasilan suatu pendidikan tinggi tidak saja dinyatakan dalam ukuran yang bersifat akademik ataupun terhadap kesesuaian terhadap kebutuhan dunia kerja, namun juga dinyatakan dalam semakin kuatnya kompetensi seorang lulusan pendidikan tinggi, meskipun istilah «kompetensi» dalam hal ini bisa bervariasi menurut berbagai penilaian.
Ukuran kompetensi kerapkali dikaitkan pada penguasaan atau kebolehan tertentu seperti: penguasaan bahasa, pengolahan data, pengelolaan informasi, kemampuan menulis atau kemampuan manajerial. Dalam banyak peristiwa, ukuran kompetensi inilah yang diperlukan ketika lulusan pendidikan tinggi memasuki dunia kerja.
Kebutuhan dunia kerja tidak pernah dapat ditakrifkan secara baku. Apa yang tampak perlu dulu, kerapkali pada saat ini sudah tidak terlalu penting. Demikian pula apa yang tampak penting saat ini dapat menjadi tidak penting di masa datang. Kebutuhan dunia kerja, khususnya terhadap lulusan pendidikan tinggi pada umumnya, akan selalu berubah mengikuti dinamika dan kekuatan penggerak (driving forces) yang berkembang. Kekuatan penggerak ini, seringkali, dikaitkan dengan isu‐isu strategis yang berkembang di masa depan.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah lulusan dari Jurusan Pengairan, Perencanaan Wilayah dan Kota, serta Tanah, diperoleh beberapa masukan mengenai kompetensi yang dirasakan perlu di dunia kerja:
1. Kemampuan berbahasa merupakan salah satu desakan yang kuat, khususnya dalam aras globalisasi dunia di masa kini di mana kemampuan menggunakan bahasa selain bahasa ibu akan menjadi kebutuhan dunia kerja yang riil.
2. Kemampuan mengolah data dan informasi khususnya ketrampilan penggunaan piranti keras maupun lunak untuk menerima, menyimpan dan mengolah data sehingga dapat menjadi informasi untuk keperluan pengambilan keputusan, merupakan kompetensi yang tidak terelakkan. Perkembangan teknologi informasi telah membuat pengelolaan sumberdaya alam tidak dapat dipisahkan dari sistem informasi yang memadai. Penguasaan terhadap sistem informasi untuk pengambilan keputusan dalam mengelola sumberdaya alam menjadi kepastian di masa kini dan mendatang.
3. Kemampuan menulis sebagai salah satu bentuk rasionalitas komunikasi adalah kompetensi yang sangat diperlukan di masa kini dan mendatang. Seorang lulusan pendidikan tinggi dituntut untuk mampu mengkomunikasikan kemampuan secara runut, nalar dan cergas.
4. Kemampuan manajerial seringkali menjadi tuntutan yang diminta dari seorang lulusan pendidikan tinggi. Meskipun aspek manajemen secara umum diajarkan pada pendidikan tinggi, namun kemampuan manajerial sebenarnya merupakan sesuatu yang harus dilatih agar menjadi kompetensi. Mengajak mahasiswa berorganisasi adalah salah satu cara mengasah kemampuan manajerial di samping membentuk kematangan emosional melalui pendidikan yang bersifat etis.
6.
Isu Strategis dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Masa Depan
6.1 Penyediaan Energi Bersih
Penyediaan energi bersih dari sumberdaya alam yang terbarukan – seperti air – menjadi salah satu isu strategis masa depan.
Meski potensi tenaga air untuk pembangkitan energi listrik bervariasi antar negara, Indonesia merupakan negara dengan pemanfaatan energi terbarukan semacam tenaga air yang relatif rendah. Menggunakan data konsumsi energi dan sumber‐sumber pembangkitannya (2005) berdasarkan purchasing power parity dengan tahun dasar 2000 oleh Bank Dunia dengan data dari International Energy Agency (IEA) dapat dilakukan analisa lebih lanjut untuk mengetahui keterkaitan antara konsumsi energi dengan sumber‐sumber energi tersebut.
Dapat dilihat, hanya 12,6% dari energi di dunia berasal dari sumber tenaga terbarukan, di mana 17% dari jumlah itu berasal dari tenaga air, 1% dari geotermal, angin dan surya, sedangkan 72% berasal dari biomassa (seperti kayu, jerami, serasah dan lain‐lain). Porsi air sebagai bagian dari sumber tenaga terbarukan memang relatif kecil dalam seluruh skema pembangkitan energi listrik di dunia, walaupun demikian, dalam kerangka pengurangan emisi karbon, peralihan dari sumber tenaga tak‐terbarukan ke sumber tenaga terbarukan, telah menjadi kemestian.
Tabel 4 Perbandingan konsumsi energi, biaya penyediaan energi dan sumber energi dari beberapa kelompok negara (UNDP, 2007 dan Ebenhack & Martínez, 2008)
Klasifikasi
Sumber Energi9
Emisi CO2
Maju (OECD) 10.360 5,3 4.213,4 132,6 173,4 12.137,5
Berkembang 1.221 4,6 3.565,3 133,2 827,0 12.303,3
HDI Tinggi 7.518 5,0 5.783,6 200,6 269,8 16.615,8
HDI Sedang 1.146 4,5 3.034,3 95,4 641,2 10.215,8
HDI Rendah 134 ‐‐‐ 1.110,0 46,0 836,0 161,7
Dunia 2.701 4,8 9.261,5 297,3 1.143,4 28.982,7
Indonesia 476 4,1 121,8 6,6 51,2 378,0
Indonesia sebagai negara dengan potensi air yang berlimpah memiliki potensi pembangkitan energi listrik dari tenaga air yang cukup besar, setidaknya untuk kapasitas sebesar 74.976 MWatt. Dari potensi sebesar ini baru 5% atau setara 3.455 MW yang dimanfaatkan oleh perusahaan listrik milik negara dan swasta (Sarwono & Siswoyo, 2007).
Sebagian besar negara di dunia telah melangkah ke upaya mengurangi emisi gas‐gas rumah kaca dan salah satu upaya konkrit di dalam kerangka bertindak itu adalah dengan memperbesar pemakaian sumber tenaga terbarukan. Terdapat prospek yang menjanjikan di masa depan bagi air sebagai sumber tenaga yang ramah lingkungan (minimal dalam pencemaran) untuk memberikan peran yang nyata bagi penyelamatan lingkungan dari pemanasan global yang diakibatkan emisi gas rumah kaca.
9
Gambar 1 Sumber tenaga untuk pemenuhan energi dunia dan emisi gas rumah kaca
Sekalipun demikian, konsumsi energi saat ini mencerminkan ketimpangan ekonomi dunia. Terdapat korelasi yang nyata antara pemakaian atau ketergantungan pada sumber tenaga tak‐ terbarukan (seperti batubara, minyak dan gas bumi) dengan komitmen untuk mereduksi emisi gas‐ gas rumah kaca seperti karbondioksida. Negara‐negara dengan struktur penyediaan energi yang berbasis sumber tenaga tak‐terbarukan mengalami kesulitan yang besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (lihat Gambar 1).
Ketimpangan ekonomi global juga tampak dalam fakta, negara‐negara maju menghabiskan lebih banyak energi dan melepas jauh lebih banyak gas rumah kaca. Sebaliknya negara‐negara berkembang, harus menguras sumberdaya alamnya – termasuk hutan – untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pemeliharaan urusan rakyatnya. Negara‐negara berkembang umumnya menanggung porsi pembayaran hutang (debt serve ratio) yang besar pada struktur GDP‐ nya. Porsi pembayaran hutang yang besar umumnya bertalian dengan perubahan luas hutan dan peningkatan emisi gas rumah kaca (UNDP, 2007). Padahal kedua hal ini merupakan picu pemanasan global.
6.2 Adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global
Bila terjadi pemanasan global, yang menimbulkan ketidakseimbangan hidrometeorologi di seluruh penjuru dunia, maka dampak paling nyata dirasakan justru oleh negara‐negara dengan pendapatan rendah dan sedang. Skenario pemanasan global yang dikembangkan Arnell (2004) berdasarkan beberapa varian pemodelan iklim menunjukkan, akan terjadi tekanan air (water crisis) pada negara‐negara yang memiliki ketersediaan air < 1.000 m³/kapita/tahun. Dampak tidak saja dirasakan pada ketersediaan air untuk keperluan domestik ataupun industri, namun juga pada sektor pertanian yang mengkonsumsi air dalam jumlah besar.10
10
Sektor pertanian mengkonsumsi air secara eksesif akibat revolusi hijau yang mendorong pengembangan varietas tanaman pangan dengan produktifitas tinggi namun dengan memakai zat hara dan air dalam jumlah besar. Lundqvist & Falkenmark (2007) memperkirakan untuk menghasilkan 1.000 k‐kalori dari pertanian tanaman pangan
-30%
Sejumlah negara dengan ketersediaan air < 1.000 m³/kapita/tahun justru merupakan negara‐ negara dengan HDI sedang, tersebar di Benua Afrika (bagian utara dan tengah), Asia bagian tengah dan Amerika bagian tengah. Untuk memperoleh gambaran tekanan air akibat pemanasan global dapat dilihat Gambar 2. Perubahan iklim akibat pemanasan global harus diantisipasi agar tidak menimbulkan dampak pada kesejahteraan manusia, khususnya berkaitan dengan pemenuhan aspek dasar dari kehidupan yang layak seperti penyediaan pangan, air bersih dan sanitasi yang memadai. Maka, harus diciptakan kebijakan publik yang mendukung investasi untuk di sektor penyediaan air bersih dan sanitasi, agar memberi manfaat pada peningkatan kelayakan hidup dan produktifitas masyarakat.
Gambar 2 Hasil analisa tekanan air akibat pemanasan global menurut Arnell (2004)
Meskipun Indonesia dikaruniai potensi air yang berlimpah (lebih dari 1.700 m³/kapita/tahun) namun kesiapan dalam menyediakan layanan air bersih dan sanitasi yang layak menjadi suatu persoalan. Badan Pusat Statistik (2007) Republik Indonesia telah menggunakan survei pada tahun 2005 untuk mengetahui ketersediaan air bersih dan sanitasi layak di berbagai penjuru negeri ini. Gambaran ketersediaan air bersih untuk berbagai provinsi di Indonesia disajikan pada Gambar 3. Dapat dilihat, sebaran dari ketersediaan air bersih masih bervariasi dari pulau ke pulau, dari provinsi ke provinsi. Diperkirakan baru 54% penduduk Indonesia menikmati layanan air bersih.11 Prosentase ini masih relatif rendah, bahkan untuk ukuran Asia Tenggara sekalipun.
dipergunakan air sebesar 0,5 m³. Sedangkan untuk jumlah energi yang sama dari produk hewani diperlukan air lima kali lipat.
11
6.3 Pemenuhan Sanitasi dan Layanan Air Bersih
Untuk tingkat pelayanan sanitasi, juga tampak Indonesia masih harus bergumul untuk menyediakan sarana peturasan dan pengolahan limbah yang memadai. Di kawasan Asia Tenggara tingkat derajat sanitasi diperlihatkan sebagaimana diperlihatkan Tabel 5.
Tabel 5 Tingkat pelayanan sanitasi di Asia Tenggara
Nama Negara Penduduk Pelayanan Sanitasi
Perkotaan Pedesaan Total
juta % % %
Singapura 4,0 100 ‐‐‐ 100
Thailand 62,4 96 96 96
Filipina 78,4 93 60 83
Malaysia 23,5 100 98 75
Myanmar 50,1 84 57 65
Indonesia 206,3 69 46 55
Vietnam 77,6 82 38 49
Laos 5,2 67 19 28
Kamboja 12,8 56 10 18
Rerata 520,3 81 56 64
Dengan demikian, masih tersedia pekerjaan yang cukup panjang untuk pemenuhan aspek dasar dari kehidupan yang layak seperti air bersih dan sanitasi yang memadai di Indonesia. Dengan perkiraan prosentase layanan air bersih dinikmati baru oleh sekitar 54% penduduk dan akses sanitasi yang memadai sekitar 55%, diperlukan kebijakan publik yang lebih mengerucut pada upaya pemenuhan aspek dasar dari kehidupan yang layak tadi bagi masyarakat Indonesia.
Sejauh ini Departemen Pekerjaan Umum dalam rencana strategisnya hingga 2010 telah berusaha menyediakan sebanyak mungkin pelayanan air bersih dan sanitasi yang memadai, baik melalui kerjasama dengan pemerintah daerah maupun melalui kegiatan yang diinisiasi secara langsung.
Gambar 3 Ketersediaan air bersih di provinsi-provinsi Indonesia
Untuk mencapai separuh tujuan MDG di bidang air bersih dan sanitasi pada tahun 2010 diperlukan
namun pemenuhan tujuan MDG di bidang air bersih dan sanitasi diharapkan dapat memperbaiki penghidupan dan meningkatkan produktifitas secara keseluruhan dari masyarakat Indonesia. Perbaikan dan peningkatan kualitas hidup manusia ini akan memperbaiki kondisi negara secara keseluruhan.
7.
Kesimpulan
Beberapa hal yang akhirnya dapat disimpulkan:
1. Indonesia masih merupakan negara dengan HDI sedang‐rendah. Diperlukan investasi yang lebih besar dari negara untuk mengembangkan sektor kesehatan, pendidikan dan riset agar kesejahteraan hidup manusia Indonesia meningkat. Terkait dengan aspek rekayasa sumberdaya air, terdapat target MDG (akses air bersih dan sanitasi yang memadai) sebagai salah satu elemen penting bagi perkembangan HDI Indonesia. Negara yang enggan menginvestasikan kapital publik untuk sektor‐sektor tersebut di atas secara kolektif akan menuai kesulitan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Perlu dikembangkan pendidikan keteknikan yang emansipatoris agar subyek‐subyek yang terlibat di dalamnya, baik sebagai pendidik maupun peserta didik berkembang sebagai pribadi intelektual. Pendidikan yang emansipatoris menjamin selain pengembangan aspek rasionalitas instrumental, juga dilakukan upaya‐upaya yang cukup untuk mengembangkan interaksi sosial dan penajaman wacana keilmuan secara terus‐menerus melalui penelitian, pengabdian masyarakat dan pengembangan etika ilmiah. Pengembangan rasionalitas komunikasi merupakan dasar bagi suatu pendidikan emansipatoris.
3. Bidang sumberdaya alam memiliki keterkaitan yang erat dengan kebijakan global dan nasional. Tidak saja karena sumberdaya alam – baik air, tanah dan ruang – bersifat vital dan mendasar bagi pemenuhan kehidupan manusia yang layak.
4. Menghubungkan kurikulum dari Jurusan Pengairan, PWK dan Tanah, dapat dilakukan untuk menciptakan suatu kerjasama pengajaran (collaborative teaching) yang pada akhirnya mengembangkan suatu sinergi kompetensi. Baik Jurusan Pengairan, PWK maupun Tanah pada intinya merupakan ilmu terapan dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam. Sinergi di tingkat kurikulum dan pengembangan wawasan serta tukar pengetahuan akan memegang peran penting dalam menciptakan sinergi kompetensi ini.
5. Untuk merangkum berbagai tuntutan pasar kerja ke dalam penyajian sejumlah matakuliah untuk menciptakan ketrampilan tertentu, dapat dikembangkan kegiatan studio untuk mendukung skill. Tuntutan pasar kerja ini memang bersifat spesifik namun penajaman terhadap landasan yang menyebabkan ketrampilan itu diperlukan, perlu tetap diberikan penekanan.
penajaman nomenklatur matakuliah dan pemerkayaan silabus. Peran serta collaborative teaching dapat menjadi pilihan untuk memenuhi tuntutan dari adopsi ini.
Daftar Pustaka
Arnell, N.W. 2004. Climate Change and Global Water Resources: SRES Emissions and Socio Economics Scenarios. Global Environmental Change 14: 31‐52.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2007. Informasi Umum dan Indikator Penting Indonesia. Jakarta.
Calcutta, University. http://www.caluniv.ac.in (10 Pebruari 2010)
Ebenhack, B.E. & Martínez, D.M. 2008. Understanding the Role of Energy Consumption in Human Development Through the Use of Saturation Phenomena. Energy Policy 36 (4): 1430‐1435.
Falkenmark, M. 1997. L'interaction de la société et du cycle hydrologique: un cadre conceptuel pour une approche globale. Joumal‐des Sciences Hydrologiques 42 (4): 421‐454.
Kompas, 16 Pebruari 2008. Perguruan Tinggi Menjadi Sumber Penggangguran.
http://www.dikti.org/?q=node/82 (9 Pebruari 2010)
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lundqvist, J. & Falkenmark, M. 2007. Scenarios on Economic Growth and Resource Demand. Background Paper, Swedish Environmental Advisory Council.
Malaya, University. http://www.um.edu.my (10 Pebruari 2010)
Ravensteijn, W. 1997. De Zegenrijke Heeren der Wateren: Irrigatie en staat op Java 1832‐1942. Delft University Press, Delft, Belanda.
Sarwono, M. & Siswoyo, D.S. 2007. Pengembangan Pembangkit Listrik Mini Hidro dan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Jurnal HATHI 1: 25‐34.
Sneddon, C. & Fox, C. 2008. River‐basin politics and the Rise of Ecological and Transnational Democracy in Southeast Asia and Southern Africa. Water Alternatives 1 (1): 66‐88.
Sonhadji, A. 1995. Kegiatan Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Belajar pada Perguruan Tinggi dalam
Seminar dan Lokakarya Peningkatan Pendidikan. Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang. Tanudirjo, D.A. 1997. «Pertanian Majapahit sebagai Puncak Evolusi Budaya» dalam Kartodirdjo (ed.), 700 Tahun Majapahit, Surabaya: Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, hlm. 131‐152.
Tortajada, C. 2006. Water Management in Singapore. Water Resources Development 22 (2): 227‐ 240.
United Nations Development Programme (UNDP). 2006. Human Development Report 2006,
Beyond Scarcity: Power, Poverty and the Global Water Crisis. New York, Amerika Serikat: Pallgrave Macmillian.
United Nations Development Programme (UNDP). 2009. Human Development Report 2009, Overcoming Barriers: Human and Mobility Development. New York, Amerika Serikat: Pallgrave Macmillian.
Valiant, R. 2008. Hubungan Kualitas Sumberdaya Manusia terhadap Pengembangan Sumberdaya Air: Suatu Tinjauan Global untuk Indonesia dalam Seminar Nasional Teknik Sumberdaya Air Peranan Sumberdaya Manusia dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. Universitas Ahmad Yani dan Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia. Bandung, Indonesia.
Yangoon, University. http://en.wikipedia.org/wiki/University_of_Yangon (10 Pebruari 2010)
Lampiran
Tabel 6 Bentuk pemerintahan dan hubungannya dengan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam
Bentuk Pemerintahan Pengelolaan Sumberdaya Alam Prasarana Pengairan Hasil
Pengembangan Sistem Kolonial Lama (1816‐1885)
1830‐1870 Sistem tanam paksa
(cultuurstelsel)
sementara (temporary) 1871 Pengembangan lebih lanjut jajahan (volksraad)
Bentuk Pemerintahan Pengelolaan Sumberdaya Alam Prasarana Pengairan Hasil
Listrik (Kabinet Dwikora I)
1965 Sistem komando proyek
1980 Inpres Pertanian, kredit kecil