• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Falsafah Jawa dalam Pandangan L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Falsafah Jawa dalam Pandangan L"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Falsafah Jawa dalam Pandangan Linguistik-Filsafat

(Analisis semantik-aksiologi terkait perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Nama: Riris Sumarna NIM: 15/0389048/PSA/07902 Dosen pengampu: Prof. Dr. Lasiyo, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA LINGUISTIK FAKULTAS ILMU BUDAYA

(2)

Abstract

Science and technology are two aspects in human being. It can be harmful or useful. The usage of science is studied in axiology. The usage of science and technology are based on the people who use it. People can use these science and technology to make easier in human life. But, sometimes people used it for doing something which do not see the aspect of human being, such as killing each others, war and soon. Based on that phenomena, in social society people need something norms and philosophy to control their action to role in the right way.

Javanese society has Javanese philosophy. That philosophy is a symbol which signed something and has meaning. Semantics is the branch of linguistics which study in sign and meaning. That philosophy is a group of words which have meaning.

This paper has 2 purposes (1) to find the type of Javanese philosophy (2) The cultural meaning and the contribution of these philosophies in developing of science and technology. This analysis used the qualitative analysis. Based on the result there are three types of philosophy, there are: prohibition, advice, and combination between prohibition and advice. Besides it, there are some cultural meanings which based on that philosophy. The contribution of Javanese philosophy is very useful to control the human life and stay in the right way.

Key words: Axiology, semantics, Javanese philosophy, norms.

Pendahuluan

Dalam pikiran manusia tersimpan berbagai pertanyaan atau keingintahuan tentang segala sesuatu yang mungkin ataupun sebaliknya. Adanya rasa ingin tahu, keragu-raguan untuk sebuah kepastian maka pengetahuan itu menjadi ada (Suriasumantri, 2009:19). Kemudian, pengetahuan tersebut disusun secara sistematis maka terbentuklah ilmu. Ilmu adalah pengetahuan yang teruji secara empiris dengan menggunakan logika yang induktif yang meningkatkan manusia untuk menguasai untuk menguasai dunia fisik yang berguna bagi kemaslahatan hidupnya (Suriasumantri, 2009:184).

(3)

fisik manusia yang akhirnya akan memudahkan kehidupan manusia. Lebih lanjut Bacon (1561-1626) via Muslih (2005:110) memberikan pernyataan bahwa Science is power ‘ilmu pengetahuan adalah kekuasaan’. Menurut Bacon sejak awal manusia ingin menguasai alam, tetapi logika ilmu berusaha untuk menjawab segala kemungkinan yang terjadi di alam ini, yang dirasakan dan dipertanyakan oleh manusia hanya membawa kerugian daripada keuntungan.

Kembali mengenai fungsi dan kegunaan ilmu yang telah dikemukakan Suriasumantri sebelumnya. Selain mengemukakan tentang fungsi dan kegunaan ilmu, Ia juga sependapat dengan pernyataan Bacon yang bertentangan dengan pendapatnya yang sebelumnya. Suriasumantri kembali mengemukakan bahwa ilmu tidak saja digunakan untuk menguasai alam melainkan memerangi sesama manusia dan memerangi mereka (2009:229). Adanya ilmu terbentuklah berbagai macam teknologi yang semakin lama semakin maju seperti senjata, peralatan kesehatan, dan teknologi nuklir. Hasil teknologi canggih ini apakah cukup memberikan jawaban hakikat fungsi dari ilmu. Agaknya seiring perkembangan ilmu manusia semakin mengabaikan faktor manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi menjadi sarana untuk memudahkan kehidupan manusia lagi akan tetapi sebaliknya. Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sering sekali menanggalkan norma dan falsafah hidup manusia. Pada akhirnya manusia semakin pandai akan tetapi tidak bernorma, antar manusia saling menyakiti, saling berebut kekuasaan dan saling memerangi. Oleh karena itu peran norma dan falsafah hidup sangatlah penting untuk perkembangan mental manusia dalam menyeimbangi berkembangnya ilmu dan teknologi.

(4)

Setiap masyarakat mempunyai berbagai cara untuk menyampaikan pandangan hidup, gagasan, identitas diri. Dengan berkembangnya ilmu bahasa (linguistik) pandangan yang berupa falsafah tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan. Secara linguistik tulisan tersebut berupa bahasa nonverbal (tak terucap). Lebih lanjut Syamsudin menyebutkan bahwa (1) bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi (2) bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan (1986:2). Dalam linguistik kajian antara tulisan dan makna merupakan kajian semantik. Semantik adalah kajian yang menelaah hubungan tanda dengan obyek-obyek yang merupakan wadah penerapannya (Tarigan:1993:13).

Tanda tersebut berupa falsafah yang tak jarang ditemukan di tempat-tempat umum ataupun papan pengumuman. Obyeknya adalah masyarakat suatu komunitas tertentu. Dalam makalah ini obyeknya adalah masyarakat Jawa yang menandai falsafah tersebut sebagai pandangan hidup. Menurut Skinner via Chaer (2009:90) dalam teori “pembiasaan operan” yang terdiri dari stimulus-respon-reinforcement mengemukakan bahwa stimulus yang diberikan akan menimbulkan respon, apabila penguatan (reinforcement) dilakukan berulang-ulang. Skinner menyimpulkan bahwa hal tersebut akan menambah kemungkinan untuk berulangnya suatu perilaku. Dalam hal ini falsafah di dipasang ditempat-tempat umum sehingga mudah dibaca seseorang dengan tujuan mengingatkan, mempengaruhi dan akhirnya menjadi kebiasaan yang tertanam pada pribadi seseorang yang membacanya. Sehingga seseorang tersebut tetap menjadi pribadi yang baik yang tetap memegang pandangan suatu norma dalam komunitasnya, meskipun berada pada era kemajuan teknologi.

(5)

Nisbet menjelaskan, orang Eropa mempunyai pandangan hidup yang berbeda dibandingkan dengan pandangan orang India di Amerika. Dalam konteks ini penggunaan kosakatanya dalam falsafah Jawa pasti ada kaitannya dengan lingkungan keseharian maupun norma yang terkandung dalam tradisi Jawa. Contohnya dalam penggunaan kosakata dalam falsafah Jawa sering dijumpai menggunakan bagian tubuh manusia, tumbuh-tumbuhan, benda, keadaan lingkungan dan lain-lain. Hal ini karena orang Jawa mempunyai alasan tertentu kenapa menggunakan kosakata tersebut. Penggunaaan kosakata tersebut terkadang dimaknai sebagai makna konotatif atau makna yang tidak sebenarnya. Dalam makalah ini makna konotatif dimaknai sebagai makna kultural. Contoh salah satu falsafah yang menggunakan kosakata benda berupa ‘air’ adalah : aja ngubak-ubak banyu bening mengandung makna ‘jangan mengotori (perbuatan tidak benar) di tempat/ keberadaan yang damai tentram. Banyu adalah ‘air’, ‘air’ bagi tradisi Jawa adalah simbol syang menandai suatu kedamaian atau ketentraman.

Berdasarkan uraian diatas, makalah ini bertujuan untuk mengetahui (1) Tipe falsafah Jawa yang ada. (2.) Makna kultural serta peran falsafah Jawa bagi masyarakat Jawa secara mental dalam perkembangan iptek. Falsafah ini mencakup falsafah dari zaman dulu hingga sekarang yang telah dikumpulkan oleh penulis dari beberapa sumber. Penulis mangambil falsafah Jawa sebagai obyek analisis dikarenakan masyarakat Jawa dipandang lebih maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat penduduknya yang paling padat, tersebarnya berbagai Perguruan Tinggi Negeri. Sehingga dimungkinkan secara sumber daya manusianya lebih maju dibandingkan wilayah lainnya. Oleh karena itu peranan falsafah Jawa harus semakin ditanamkan kepada orang-orangnya agar tidak salah dalam menggunakan ilmunya.

(6)

menjadi beberapa bagian, pertama adalah pendahuluan, kedua adalah analisis dan pembahasan, yang terakhir adalah kesimpulan.

Analisis dan Pembahasan 1. Tipe Falsafah Jawa

Berdasarkan data falsafah Jawa yang diperoleh oleh penulis. Terdapat tiga tipe falsafah jawa. Yaitu nasihat, larangan, dan kombinasi nasihat dan larangan. Larangan adalah perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan karena berbagai faktor yang melatarbelakanginya (KBBI, 1989:409). Salah satunya adalah karena melanggar norma ataupun falsafah dalam suatu masyarakat. Sedangkan nasihat adalah ajaran atau pelajaran baik; anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) yang baik (KBBI, 1989:609). Jadi nasihat merupakan ajaran, anjuran yang baik dalam suatu masyarakat agar dipatuhi masyarakatnya.

Tipe larangan yang ada dalam falsafah Jawa dapat ditandai dengan kata “aja” dalam bahasa Indonesia mempunya arti “jangan”. Falsafah yang mempunyai tipe larangan dapat dilihat pada falsafah berikut ini:

“Aja leren lamun durung sayah” dalam bahasa Indonesia mempunyai makna “jangan berhenti sebelum capek”.

“Aja dumeh” dalam bahasa Indonesia mempunyai makna “jangan mentang-mentang”

“Aja milik barang kang melok, aja mangkro mundak kendo” dalam bahasa Indonesia mempunyai makna ‘Jangan tergiur yang tampak indah, jangan mendua agar tetap semangat”.

Falsafah Jawa yang mempunyai tipe nasihat dapat dilihat pada falsafah berikut ini:

“Pupur sadurunge benjut” dalam bahasa indonesia mempunyai makna “berhati-hatilah sebelum celaka”.

(7)

2. Makna kultural serta peran falsafah Jawa bagi masyarakat Jawa secara mental dalam perkembangan iptek

Dalam kajian linguistik cabang linguistik yang membahas arti atau makna adalah semantik (Verhar, 2010:13). Menurut Hofmann (1993:7) makna dalam semantik dibagi menjadi dua yaitu sign dan referent. Sign adalah tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili yang lain pada kapasitas tertentu. Sedangkan referent adalah obyek yang ada dalam pikiran manusia.

Makna adalah gabungan antara sign dan referent. Misalnya kata ‘kucing’ (tanda), yang terbentuk dalam pikiran kita adalah binatang yang berkaki empat (referent). Sehingga makna ‘kucing’ bagi yang menyukai kucing adalah hewan yang lucu dan menggemaskan, sedangkan makna kucing bagi orang yang pernah dicakar oleh kucing adalah hewan yang menyebalkan.

Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-laian, makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Kridalaksana, 2008:149). Dalam makalah ini hanya akan membahas makna kultural saja, akan tetapi terkadang makna leksikalpun disertakan untuk memperjelas dan mempermudah dalam menganalisis makna kultural. Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Abdullah, 1999:3). Pada masyarakat Jawa falsafah Jawa merupakan obyek yang dijadikan patokan dan aturan dalam kehidupan sehari-hari. Makna kultural biasanya berupa konotasi atau makna yang tidak sesungguhnya. Berikut ini adalah keseluruhan penjelasan makna kultural dalam falsafah Jawa:

1.Holobis Kuntul Baris= bergotong royong.

(8)

modern harus ada gotong-royong atau kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Dengan adanya kemajuan iptek pemerintah menyediakan peralatan kesehatan, balai kesehatan dan puskesmas. Sedangkan masyarakat harus memanfaatkan fasilitas tersebut dengan sebaik mungkin. Selain itu untuk meminimalisir terjangkitnya penyakit, masyarakat harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar dengan membuang sampah pada tempatnya. Sehingga upaya menciptakan masyarakat yang sehat segera tercapai.

2.Bramara mangun lingga=laki-laki yang bertingkah laku berlebihan.

Dalam falsafah ini menunjukkan sebuah nasihat bahwa laki-laki haruslah bersikap sewajarmya dan tidak bertingkah laku berlebihan. Dengan adanya perkembangan iptek, sering sekali laki bertingkah laku melebihi kodratnya. Banyak dijumpai seorang laki-laki yang merasa pandai dalam segala hal, akan tetapi sering sekali menindas wanita dan meremehkan wanita. Padahal seharusnya wanita adalah sosok yang harus di ayomi.

3. Kenes ora ethes=sombong (harta) tapi botol(bodoh dan tolol).

Kenes ora ethes mempunyai makna sombong dalam hal harta akan tetapi bodoh. Secara makna kultural falsafah ini merupakan sebuah nasihat. Agar manusia tidak hanya kaya akan harta akan tetapi juga kaya dalam ilmu. Manusia sekarang dalam menghadapi iptek harus mempunyai ilmu. Kaya harta tanpa ilmu akan menyebabkan harta habis. Ilmu akan kekal sedangkan harta tidak.

4.Mburu uceng kelangan dheleg=memburu hal kecil,kehilangan yang besar.

Mburu secarara leksikal bermakna ‘mengejar’, kelangan bermakna ’kehilangan’. Sedangkan uceng dan deleng adalah sebuah perumpamaan, uceng berupa simbol yang menandai hal yang kecil sedangkan deleg adalah hal yang besar. Makna kultural dalam falsafah ini adalah; karena mengejar sesutu yang sepele akibatnya mendapatkan kemalangan besar. Terkait perkembangan iptek fenomena ini sering sekali dijumpai, misalnya dengan adanya kemajuan teknologi dalam kedokteran banyak orang yang melakukan operasi plastik untuk mempercantik diri. Akan tetapi tidak jarang yang gagal sehingga menyebabkan kematian.

5. Mburu kidang lumayu=mengejar hal yang sia-sia.

(9)

Falsafah tersebut secara kultural bermakna mengejar sesuatu yang sia-sia. Rusa disimbolkan dengan obyek yaitu binatang yang ditandai dengan hewan yang kencang dalam berlari, manusia jika akan mengejar rusa tidak akan tertangkap. Dalam perkembangan iptek manusia tidak boleh ikut-ikutan gaya hidup mewah seperti orang yang berkelas atas, kalaupun mengikuti gaya hidup mereka akan sia-sia dan rugi.

6. Tinggal nglanggancolong playu=menghindari tanggung jawab.

Secara kultural falsafah ini bermakna agar kita mau bertanggung jawab atas perbuatan yang telah kita lakukan.

7. Tuna sathak bathi sanak =kehilangan harta tambah saudara.

Secara leksikal tuna bermakna ‘rugi’, bathi bermakna ‘untung’, sanak ‘saudara’ Falsafah ini bukan bermakna rugi sedikit mendapatkan untung saudara. Secara kultural mempunyai makna dengan berbagi (memberi) sedikit kita akan memperbanyak saudara. Terutama dalam ilmu, meskipun sedikit ilmu harus dibagikan agar ilmu berkembang dan membuat perubahan yang baik bagi masa depan.

8. Sanding kebo gupak =terpengaruh jelek karena lingkungan yang jelek.

Sanding secara leksikal bermakna ‘dekat’, kebo ‘kerbau’, gupak ‘kotor’. Falsafah ini bukan bermakna ‘dekat dengan kerbau kotor’. Secara kultural falsafah berupa nasihat agar kita berhati-hati dalam memilih teman. Seiring kemajuan iptek semuanya tidak melulu tentang hal yang baik. Jika seseorang berteman dengan orang yang jahat secara otomatis lama kelamaan akan mengikuti perangainya.

9. Jalma angkara mati murka = kemalangan karena tindak anarkis sendiri.

Falsafah ini berupa nasihat, secara kultural bermakna; agar manusia dapat menahan ego dan emosinya. Apabila tidak dapat mengendalikan ego dan emosinya akan rugi sendiri. 10.Ciri wanci lali ginawa mati = hal buruk yang hanya bias dirubah setelah mati

(10)

11. Ngalaske Negara =tidak nurut aturan Negara.

Secara kultural falsafah ini berupa nasihat agar senantiasa patuh terhadap aturan negara yang berlaku. Tindakan melanggar hukum akan dikenai sanksi oleh negara. Oleh karena itu pentingnya ilmu berguna untuk mengetahui yang benar agar tidak melanggar hukum ataupun aturan Negara.

12.Obah ngarep kobet mburi = bersusah dahulu, bersenang kemudian.

Secara kultural falsafah ini bermakna agar manusia bekerja keras selagi muda. Pada akhirnya ketika sudah tua nanti manusia akan menuai hasilnya dengan hidup bahagia. Terkait dengan sudut pandang aksiologi. Ketika menuntut ilmu manusia harus sabar dan berusaha semaksimal mungkin, agar kelak ilmu yang didapatkan dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

13.Ana catur mungkur = membicarakan hal negatif orang lain.

Falsafah ini berupa nasihat ataupun larangan, yaitu agar tidak membicarakan kejelekan orang lain. Secara kultural falsafah ini mempunyai makna agar kita terlebih dahulu intropeksi pada diri sendiri, apakah diri kita sudah baik sebelum membicarakan kejelekan orang lain.

14. Jajah desa malang kori = menjelajah kemana-mana.

Falsafah ini berupa nasihat. Secara kultural mempunyai makna bahwa anak muda harus mencari jati dirinya sendiri dengan mencoba hal-hal yang positif. Hal ini bertujuan untuk menambah pengalaman agar kelak bermanfaat.

15.Golek banyu bening = belajar pada gurur yang benar

Banyu atau ‘air’ pada masyarakat Jawa merupakan obyek yang berupa simbol yang menandai sumber kehidupan. Sedengkan bening secara leksikal bermakna bersih. Sehingga bening identik dengan hal yang menandai kebenaran. Oleh karena itu golek banyu bening secara kultural bermakna ketika manusia belajar atau menimba ilmu harus pada orang adan tempat yang benar. Agar ilmu yang didapat merupakan ilmu yang bermanfaat.

16.Jembar segarane = berjiwa besar memaafkan.

(11)

17. Ojo leren lamun durung sayah = jangan berhenti sebelum capek.

Secara kultural manusia diajarkan untuk terus berusaha semaksimal mungkin dalam berbagai hal. Salah satunya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar tidak cepat puas dan menyerah.

18. Menthung koja kena sembagine =membohongi, justru sebenarnya dibohongi.

Secara kultural memiliki; seseorang apabila membohongi orang lain perlahan-lahan dirinya justru akan membohongi dirinya sendiri.

19. Sedhakep ngawe-awe = tergoda untuk berbuat lagi, walau sudah tobat.

Tidak ada satu orangpun yang luput dari kesalahan. Ketika menyadari dirinya berbuat salah dirinya akan bertobat ataupun memohon maaf kepada pihak yang dirugikan. Akan tetapi manusia adalah makluk biasa, meskipun sudah bertobat sering kali mereka melakukan kesalahan kedua kalinya. Oleh karena itu peran falsafah dan norma yang dijadikan pegangan hidup sangatlah penting untuk memberikan jalan kehidupan agar senantiasa berada pada jalan yang benar.

20. Alon-alon waton klakon = pelan-pelan namun pasti terlaksana.

Secara kultural falsafah ini mmeberikan nasihat agar kita bersabar dalam menimba ilmu dan bersabar dalam menghadapi atau menginginkan sesuatu. Suatu saat sesuatu tersebut akan tercapai.

21.Sapa sira sapa ingsun =siapa anda siapa aku.

Sapa sira sapa ingsun merupakan sebuah fenomena yang sering sekali terjadi di kota-kota besar. Masyarakat di kota-kota besar kebanyakan tidak mengenal tetangga satu sama lain (individualistis). Falsafah ini bertujuan untuk menasihati masyarakat kota besar untuk menanamkan sifat kekeluargaan, kegotong-royongan seperti layaknya di desa-desa yang masih mempunyai jiwa gotong-royong. Sehingga sapa sira sapa ingsun tidak akan terjadi lagi.

22.Mbuwang tilas = pura-pura tidak bersalah.

(12)

23. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan = bukan siapa-siapa tapi ikut merasa kehilangan.

Falsafah ini secara leksikal mengandung makna orang yang baik jika suatu saat meninggal banyak orang yang merasa kehilangan. Meskipun orang tersebut bukan saudaranya sendiri. Falsafah ini memberikan nasihat agar manusia senantiasa berbuat baik dalam hidupnya agar dikenang orang yang masih hidup.

24. Durung pecus keselek besus =belum terampil, sudah berkeinginan bermacam-macam. Falsafah ini secara kultural mengajarkan kepada generasi muda untuk melakukan sesuatu sesuai dengan masanya. Perkembangan iptek seperti internet pada saat ini memberikan pengaruh kepada generasi muda. Mereka sering melakukan hal yang seharusnya belum boleh dilakukan. Contohnya maraknya seks bebas. Perbuatan tersebut selayaknya dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Oleh karena itu peranan falsafah dan norma harus ditanamkan pada mereka semenjak dini.

25. Dahwen ati open = mencela tapi menginginkan.

Falsafah ini secara kultural memiliki makna bahwa ketika orang mencela pada dasarnya mereka iri dan menginginkan apa yang mereka celakan, hanya saja mereka tidak dapat memilikinya.

26.Pupur sadurunge benjut = berhati-hatilah sebelum celaka.

Falsafah ini merupakan sebuah nasihat agar manusia senantiasa bersiap-siap dan berhati sebelum kemalangan datang. Dalam kehidupan manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu dan bekerja keras selagi muda, agar nanti ketika tua tidak miskin ilmu dan harta.

27. Kumenthus ora pecus = berlagak pinter tapi sebenarnya tidak paham.

Secara kultural falsafah ini mengajarkan manusia untuk tidak sombong ataupun merasa pandai karena dirinya belum tentu pandai. Selain itu manusia diajarkan untuk memainkan peran sesuai bidang dan kemahirannya. Sehingga kumenthus ora becus tidak akan pernah ada.

28. Micakake wong melek = tidak tahu malu, padahal mengetahui orang lain tahu perbuatan jeleknya.

(13)

menunjukkan kepada orang lain bahkan merasa bangga. Pada zaman sekarang pelaku seks bebas dengan bangganya ditunjukkan kepada orang lain tanpa malu. Falsafah ini memberikan nasihat agar manusia tidak melakukan sesuatu yang memunculkan fenomena micakake wong melek.

29.Aja dumeh =jangan mentang-mentang.

Secara makna leksikal aja bermakna ‘jangan’ sedangkan dumeh memiliki makna ‘mentang-mentang/sombong’. Falsafah ini melarang kita untuk bertindak sombong atau berlaku semaunya sendiri terhadap orang lain.

30.Yuyu rumpung, mbarong ronge = kediaman besar/mewah, namun sejatinya miskin.

Falsafah ini memberikan nasihat yang mengingatkan agar manusia memiliki kekayaan hati berupa ketekunan dalam beragama, kaya ilmu, dan perbanyak teman. Hal ini karena di zaman iptek yang canggih ini sering kali mereka kaya harta akan tetapi tidak disukai orang lain.

31. Belo melu seton =ikut-ikutan tetapi tidak paham.

Belo adalah kuda jantan yang identik dengan hewan yang kuat, sedangkan seton adalah binatang yang kecil. Maksud dari falsafah ini agar manusia jangan hanya ikut-ikutan karena tidak paham. Dalam masyarakat sering kali ditemui fenomena ikut-ikutan supaya menjadi ngetren, padahal dibalik ajang mengikutnya mereka tidak paham maksudnya apa.

32. Kutuk marani sunduk, ula marani gebuk = menerjang mara bahaya.

Dalam perkembangan ilmu falsafah ini sering sekali dialami oleh orang-orang yang beraksi dalam ajang ilmunya, seperti ilmu sulap dan lain-lain. Kurang profesionalnya seorang pesulap dapat mengakibatkan celaka yang besar pada dirinya. Terlebih lagi apabila tindakan tersebut ditiru oleh orang awam. Falsafah ini juga berlaku pada bidang lain. Falsafah ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dan berfikir sebelum bertindak. 33. Nandur pari jero = menanam kesabaran/kebaikan

(14)

untuk sabar dalam memperoleh sesuatu hal. Karena sesuatu yang dimulai secara wajar dan sungguh-sungguh akan memberikan hasil dalam jangka panjang juga.

34.Aji mumpung= manfaatkan kesempatan demi kepentingan pribadi.

Untuk mewujudkan suatu keinginannya sering kali orang melakukan aji mumpung suapaya cepat dalam memperolehnya. Hasilnya pun tidak berjangka panjang karena hanya memanfaatkan situasi tanpa menggunakan aspek keterampilan atau kemampuan yang seharusnya digunakan dalam bidang itu. Secara kultural falsafah ini mempunyai makna agar dalam upaya memperoleh sesuatu harus dilakukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki.

35.Ajining diri ana ing busana = kehormatanmu berada di pikiranmu

Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia senantiasa menjaga pikirannya, pikiran yang baik akan merepresentasikan tindakan yang baik pula, yang pada akhirnya membentuk suatau kepribadian yang baik pula.

36.Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang = berani (menghadapi) bahaya yang tak terduga.

Falsafah ini merupakan nasehat agar manusia menjadi pribadi yang siap dalam menghadapi rintangan dalam hidup. Kehidupan manusia tidak selamanya baik, adakalanya manusia mengalami masalah. Peran dari falsafah sangat penting untuk menguatkan diri ketika menghadapi masalah. Selain itu ilmu yang baik akan membantu dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.

37.Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendo = jangan tergiur yang tampak indah, jangan mendua agar tetap semangat.

Falsafah ini mengajarkan manusia untuk konsisten terhadap pandangan hidup yang diyakininya. Sehingga tidak mudah tergiur yang terlihat indah ataupun tergiur dengan cara cepat untuk mendapatkan sesuatu. Karena hal tersebut sebenarnya menjerumuskan. 38.Mumpung gede rembulane, mumpung jembar segarane= selagi kesempatan banyak

terbuka, manfaatkan untuk peningkatan kawruh laku.

Falsafah ini dapat dimaknai bahwa sebagai kawula muda sebaiknya memanfaatkan waktu sebaiknya untuk menimba ilmu, karena jika masa tua dating mereka tidak dapat lagi memeperoleh kesempatan yang sama seperti selagi muda.

(15)

Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia senantiasa menjunjung tinggi norma, meneladani kebaikan dan senantiasa menjaga nama baik dirinya maupun keluarganya.

40.Ngundhuh wohing panggawe= memetik hasil perbuatannya sendiri.

Falsafah ini secara kultural mengajarkan manusia untuk berbuat baik dalam segala hal, bersungguh-sungguh dalam segala hal. Karena pada akhirnya apa yang manusia usahakan akan memperoleh hasilnya pada kemudian hari. Begitu juga kebaikan yang dilakukan manusia akan berbuah manis pada akhirnya. Kaitan dalam menuntut ilmu manusia harus bersungguh-sungguh pada akhirnya bagi yang bersungguh-sungguh akan memperoleh sesuatu sesuai usahanya yaitu prestasi.

41.Lamun sira durung wikan kadangira pribadi, coba dulunen sira pribadi= bila belum mengenal saudara sejatimu di dalam diri, ketemu dulu dirimu yang sejati.

Falsafah ini mengajarkan kepada manusia untuk mengenali dirinya sendiri. Mengenali dalam maksud tahu kelemahan dan kekurangan serta sifat-sifatnya. Dengan mengenali diri sendiri manusia akan melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

42.Memayu hayuning bawana= menjaga/melindungi seluruh dunia/alam.

Seiring perkembangan iptek manusia melakukan ekplorasi dan ekploitasi alam untuk mengambil manfaatnya tanpa memperhatikan kelestariannya. Falsafah ini mengajarkan manusia untuk menyayangi dan melindungi alam sekitar.

43.Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman= jangan dikungkung keinginan menguasai/kedudukan dan kepuasan duniawi.

Secara kultural falsafah ini mempunyai makna agar manusia tidak serakah terhadap segala sesuatu yang ada di dunia, seperti kedudukan, harta dan lain sebagainya.

44.Ngelmu kang nyata, karya reseping ati=berilmu yang sejati, beroleh ketentraman di hati.

Secara kultural falsafah ini merupakan sebuah nasihat bagi manusia untuk menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh. Ketika manusia memiliki ilmu maka hatinya akan tentram karena tau kebenaran yang sesungguhnya.

45.Mulat sarira hangrasa wani=berani untuk intropeksi diri.

(16)

temuan-temuannya sebelumnya, hal apakah yang menjadi kekurangannya dan terus berusaha untuk menyempurnakan penemuaj-penemuan tersebut.

46.Aja kurang pamariksanira den agung pangapura= jangan sampai tidak peduli dan berjiwalah besar untuk mengampuni.

Secara kultural falsafah ini memiliki makna agar manusia mempunyai jiwa untuk saling memaafkan terhadap sesama. Selain itu manusia juga memiliki jiwa besar untuk kepentingan bersama.

47.Aja sira deksura, ngaku pinter tinimbang sejene= janganlah congkak, merasa lebih pintar daripada yang lainnya.

Secara kultural falsafah ini bermakna agar manusia tidak sombong terhadap kepandaiannya. Lebih baik menjadi ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk, semakin pandai maka semakin rendah hati.

48.Urip rukun, aja gawe pati lan larane liyan= hiduplah akur, jangan melakukan hal yang menyebabkan penderitaan dan binasanya sesama.

Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar antar manusia dan lainnya dapat hidup rukun dan tidak menyakiti satu dan lainnya. Dalam kaitannya dengan kemajuan iptek, teknologi selayaknya digunakan semestinya agar tidak merugikan orang lain. Contohnya; adanya penemuan senjata, janganlah digunakan untuk saling membunuh ataupun berperang yang pada akhirnya menyakiti orang lain.

49.Yen arep weruh trahing ngaluhur, titiken alusing tingkahlaku budi bahasane= yang memiliki tradisi berbudi luhur akan terlihat kehalusan tingkah laku, budi pekerti dan bahasanya.

Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia memiliki budi pekerti yang baik. Budi pekerti yang baik akan mencerminkan tingkah laku yang baik. Atau dalam kata lain tingkah laku nyang baik akan terlihat karena memiliki budi pekerti yang baik

50.Darbe kawruh ora ditangkarake, bareng mati tanpa tilas= memiliki pengertian benar jika tidak dikembangkan saat mati tidak berbekas.

Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia mengajarkan dan mengembangkan ilmu yang manusia miliki. Jika tidak ilmu itu akan hilang jika manusia mati.

(17)

Berdasarkan hasil analisis falsafah Jawa diatas. Terdapat tiga tipe falsafah Jawa, diantaranya tipe larangan, nasihat serta kombinasi antara nasihat dan larangan. Penggunaan kosakata dalam falsafah tersebut disesuaikan dengan pandangan masing-masing komunitas masyarakat yang bersangkutan. Kosakata tersebut dalam linguistik merupakan suatu tanda yang memaknai sesuatu berupa pandangan hidup yang luhur.

Berdasarkan uraian makna kultural dalam falsafah Jawa diatas, secara mentalitas falsafah tersebut sangatlah penting dalam perkembangan iptek. Berdasarkan analasis secara kultural falsafah Jawa mengajarkan tentang; kesetiaan, kerja keras, pantang menyerah, berperilaku baik, menyayangi alam ataupun sesama, rendah hati dan lain-lain. Secara umum mengingatkan anggota masyarakatnya untuk berpegang teguh pada falsafah Jawa agar menjadi manusia yang baik yang memegang nilai, norma dan falsafah hidup. Sehingga perbuatan terhadap penyimpangan penggunaan ilmu dan teknologi tidak akan terjadi.

Falsafah tersebut dipasang di tempat-tempat umum agar mengingatkan orang-orang yang membacanya yang akhirnya menjadi kebiasan dan tingkah laku kesehariannya. Apabila kebiasaan telah dimiliki, perbuatan-perbuatan mengalir secara spontan dan hampir-hampir otomatis sehingga unsur bimbingan yang sengaja menjadi tidak perlu (Poespoprodjo, 1986:96).

Referensi

Abdullah, W. 2013. Etnolinguistik: Teori,metode dan aplikasinya. Sukarta: FSSR UNS.

Chaer, A. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Endaswara, S. 2006. Metode, Teori,Teknik Penelitian Kebudayaan: Idiologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Hofmann.Th. R. 1993. Realms of Meaning: An Introduction to Semantics. England: Longman.

Kridalaksana, H. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Moeliono, A,M dkk. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

(18)

Poedjosoedarmo, S. 2009. Perspektif Ilmu Linguistik (makalah kuliah Perdana Program S3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada). Yogyakarta.

Poespoprodjo, W. 1986. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Remadja Karya CV Bandung.

Suriasumantri, J,S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tarigan, H, G. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah

This study aims to find translation procedures from source language (English) to target language (Indonesian) used in translating the Eclipse novel which have

[r]

diterima, dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered

Memperhatikan ketentuan-ketentuan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir dengan

Kinerja kelompok tani berdasarkan fungsi dan tugas kelompok tani di Kecamatan Suranenggala tergolong kategori tinggi, yang dinyatakan oleh 61,25% responden.Kinerja kelompok

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti tentang pemahaman perawat tentang penerapanRJPdipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur, pendidikan,

Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada saat Initial Public Offering (ipo) di Bursa Efek Indonesia Periode 2005–2009. Skripsi, Program