• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dalam "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dan Perikanan oleh NGO dan

Hubungannya dalam Sistem Neoliberalisme

Pada perkembangannya, angka penduduk dunia yang semakin meningkat diikuti pula dengan permintaan pangan yang tinggi. Dalam hal ini, berbagai jenis komoditas menjadi sasarannya, termasuk sumber daya laut. Perkembangan teknologi dan investasi juga mendukung peningkatan ekploitasi laut, yang kemudian mempengaruhi keseimbangan ekosistem didalamnya. Menghadapi hal ini, muncul berbagai pihak non-negara yang berupaya mengatasi permasalahan eksploitasi sumber daya laut melalui berbagai metode, seperti menekan pemerintah, edukasi masyarakat, hingga pendekatan terhadap pelaku-pelaku bisnis atau sistem pasar. Namun secara khusus, Jason Konefal berpendapat bahwa pendekatan berbasis pasar sebagai bentuk upaya pelestarian laut dan perikanan justru berkontribusi dan melegitimasi sistem neoliberalisasi yang ada. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini akan membahas tulisan Konefal yang berjudul “Environmental Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization Study of the Sustainable Seafood Movement”. Tulisan kemudian dilanjutkan dengan pembanding literatur, analisa oleh penulis, dan diakhiri dengan kesimpulan.

Dalam tulisannya, Konefal menjelaskan bahwa mayoritas organisasi gerakan lingkungan Amerika Serikat (US Environmental Movement Organizations/EMOs) kini fokus pada sistem pasar dalam mencapai tujuannya. Strategi utama yang diambil adalah dengan berupaya mengubah permintaan pasar terhadap komoditas yang lebih sustainable. Melalui hal ini, pebisnis diharapkan menerapkan praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi degradasi lingkungan. Dengan kata lain, organisasi-organisasi ini berupaya mencapai tujuannya melalui sistem pasar, namun tanpa ikut serta dalam logika, praktik, dan dominasi aktor pasar. Adapun gerakan yang disebut sebagai “sustainable seafood movement” (atau SSM) ini berawal pada akhir 1990-an, sebagai respon minimnya kesuksesan kelestarian lingkungan melalui tekanan terhadap pemerintah dan kondisi politik serta ekonomi kearah yang lebih ramah lingkungan.

Adapun pendekatan berbasis pasar dilakukan melalui berbagai inisiatif, yang dibagi kedalam dua kategori; demand-oriented dan supply-oriented. Inisiatif demand-oriented

berupaya mengubah pasar dan konsumsi seafood ke pilihan yang lebih sustainable. Hal ini dilakukan melalui single-species campaign—yang mencakup strategi seperti edukasi konsumen (melalui seafood cards)1, kerjasama dengan retailer, kampanye media, menekan pemerintah

(2)

untuk memberlakukan aturan baru, dan promosi melalui restoran dan juru masak selebriti untuk mengkonsumsi produk laut yang sustainable. Kemudian supply-oriented—yaitu melalui pembentukan private governance body yang disebut Marine Stewardship Council (MSC). Badan ini dibentuk untuk menyusun standar sustainable fishing, sertifikasi, dan mempromosikan konsumsi sustainable seafood melalui penyediaan produk laut yang ramah lingkungan.

Namun, Konefal memandang pendekatan berbasis pasar yang digunakan oleh SSM pada dasarnya sejalan dengan teori dan praktik neoliberal. Secara gamblang, Konefal menyatakan argumen utamanya bahwa pendekatan berbasis pasar yang digunakan oleh organisasi-organisasi sustainable seafood telah berkontribusi dalam neoliberalisasi dan legitimasinya. Bahkan, pendekatan berbasis pasar secara tidak langsung “menyokong” prinsip utama neoliberalisasi, yaitu prinsip individualisme, marketisasi, dan devolusi otoritas regulasi. Individualisme terlihat dari bagaimana organisasi-organisasi SSM memberikan berbagai informasi terkait produk laut apa saja yang boleh dan sebaiknya dihindari untuk dikonsumsi, namun menyerahkan keputusan sepenuhnya terhadap individu. Terlebih, informasi yang disampaikan oleh SSM (misalnya melalui seafood cards) tidak mendorong masyarakat untuk mengurangi kuantitas konsumsi hidangan laut, melainkan hanya mengganti pilihan ke produk yang lebih sustainable. Dengan kata lain, pendekatan ini bersifat pasif dan hanya bersifat temporer (tidak sebagai alternatif jangka panjang pelestarian produk laut). Hal ini dirasa Konefal kurang efektif dan memiliki dampak yang terbatas, karena total konsumsi seafood terus mengalami peningkatan, dan permasalahan kerusakan lingkungan laut dan perikanan telah terjadi dalam level berbahaya dan skala yang besar, yaitu global.

Selanjutnya, marketisasi terlihat dari SSM yang cenderung terjun kedalam pasar dalam mencapai dukungan yang besar dari retailer—artinya mendukung marketisasi masyarakat AS. Kemudian devolusi otoritas regulasi dapat dilihat dari pembentukan private governance body, misalnya MSC). Terlebih, Konefal berpendapat bahwa penggunaan pendekatan ini telah menandakan bahwa sistem pasar yang ada saat ini adalah yang “tepat” terhadap environmental governance.

(3)

neoliberalisasi hasil kapitalisme untuk benar-benar menyelesaikan permasalahan lingkungan, khususnya terkait laut dan perikanan. Dengan kata lain, dengan mengubah sistem yang ada saat ini kearah yang lebih environmental sustainable dan bersifat jangka panjang.

Kontradiktif dengan argumen Konefal, Becky Mansfield berpendapat bahwa sistem neoliberalisasi, khususnya praktik privatisasi laut dan perikanan justru mendukung kesejahteraan sosial dan lingkungan. Adapun argumen ini berangkat dari pemikiran terkait “common goods” (dalam hal ini laut beserta isinya) yang secara historis menjadi objek eksploitasi manusia, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Secara detil, hal ini bermula dari sejarah bahwa lautan dan samudera dianggap sebagai “common heritage of mankind”—yang terbuka bagi setiap pihak untuk dimaksimalkan dan dieksploitasi. Logika ini juga memandang laut sebagai ruang gerak dan transportasi, yang memfasilitasi merkantilisme, penjelajahan, ekspansi kolonial, dan manuver militer perang dingin.2 Mansfield juga mendasari pemikiran ini berdasarkan pendekatantragedy of the commons” menurut Hardin, yang menurutnya menjadi eksplanasi abadi tentang degradasi lingkungan.3 Sebagai solusinya, hak kepemilikan (property rights) menjadi metode yang dirasa dapat menahan “kerakusan” manusia terhadap common goods, sehingga pemanfaatannya dapat diatur dan ditekan. Dengan kata lain, melalui privatisasi.4

Solusi terkait masalah perikanan sendiri tidak fokus pada ikan dan kondisi biologisnya, melainkan fokus pada efisiensi ekonomi dan cara-cara untuk mereformasi rejim kepemilikan untuk menopang pengambilan keputusan individu terhadap realita ekonomi dan ekologis. Dengan kata lain, Mansfield menyatakan bahwa efisiensi ekonomi merupakan kunci dari kesejahteraan sosial dan lingkungan.5

Pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan berbasis pasar sebagai upaya penyelesaian masalah lingkungan memang mendominasi kondisi saat ini. Namun, penulis sendiri memandang bahwa pada dasarnya sistem neoliberal—dengan praktik kapitalisme tidak dapat berjalan beriringan dengan upaya pelestarian lingkungan, khususnya pelestarian laut dan perikanan. Hal ini kembali pada logika bahwa sistem neoliberal (dengan kapitalisme atau privatisasi-nya) merupakan sistem ekonomi yang berupaya memaksimalkan profit. Untuk itu, sangat mungkin praktik eksploitasi sumber daya alam dilakukan. Sekalipun pendekatan berbasis pasar ini dijalankan oleh aktor non-negara, efektivitasnya sangat terbatas dan tidak dapat berhasil untuk jangka panjang dan dalam level global. Hal ini didukung dengan penjelasan Bram Büscher dan Murat Arsel terkait “neoliberal conservation”.

2 Becky Mansfield, “Neoliberalism in the Oceans: “Rationalization,” property Rights, and the Commons Question,”

Geoforum, no. 35 (2004): 314.

3 Becky Mansfield, “Rules of Privatization: Contradictions in Neoliberal Regulation of North Pacifis Fisheries,”

Annals of the Association of American Geographers no. 3 (2004): 367.

4 Becky, “Neoliberalism in the Oceans: “Rationalization,” property Rights, and the Commons Question,” 316.

(4)

Menurut Büscher dan Arsel, masalah lingkungan dan kemiskinan telah mengundang munculnya berbagai “partnership” antarnegara, korporasi, institusi akademik, badan-badan pembangunan, dan NGO. Namun, upaya utama yang dilakukan pihak-pihak ini terbatas pada penyelesaian masalah dasar, bukan mengatasi akar permasalahan lingkungan—yaitu neoliberalisme itu sendiri. Oleh karenanya, respon mainstream krisis lingkungan saat ini adalah “neoliberal conservation”—yaitu usaha konservasi lingkungan agar dapat sejalan dengan kapitalisme.6 Dari sini, terlihat bahwa upaya perubahan radikal sistem dan struktur secara luas tidak dilakukan oleh para aktor non-negara, karena kemunculan pihak-pihak ini sendiri adalah sebagai akibat perkembangan sistem neoliberal (yaitu yang memberikan ruang gerak bagi aktor non-negara untuk melakukan aktivitas dan pengaturan tertentu).

Lebih lanjut, apabila sebelumnya Konefal menyatakan bahwa organisasi-organisasi perlindungan laut dan perikanan mayoritas menggunakan pendekatan berbasis pasar, maka hal ini terlihat dari program perlindungan laut dan perikanan yang dijalankan oleh salah satu organisasi lingkungan terbesar, yaitu World Wide Fund (WWF). Dalam situs resminya, dituliskan terdapat tiga cara bagaimana masyarakat dapat bertindak untuk mengatasi masalah kerusakan laut dan perikanan, yaitu dengan [1] membeli seafood yang sustainable, [2] Memberikan donasi ke WWF, dan [3] menyebarluaskan informasi (spread the word). Khusus mengenai cara pertama, hal ini dapat dilakukan dengan membeli produk seafood yang sudah berlabel MSC, serta mendorong retailer dan pedagang untuk menyediakan produk yang

sustainable.7 Selanjutnya, WWF juga menyediakan seafood card yang selalu diperbarui tiap tahunnya untuk disebarluaskan ke masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa penjelasan Konefal sebelumnya memang benar terjadi, bahkan pada NGO besar semacam WWF. Terlebih, WWF juga tidak menyebutkan atau mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi

seafood, melainkan mengubah preferensinya berdasarkan sertifikasi, dan seafood card yang disediakan.

Selanjutnya, menanggapi pembahasan Konefal terkait Sustainable Seafood Movement

(SSM), maka Cathy A. Roheim dalam tulisannya menjelaskan berbagai tantangan dan halangan SSM untuk mencapai tujuan utamanya; yaitu kelestarian lingkungan laut dan perikanan. SSM pada dasarnya adalah pendekatan yang berupaya menciptakan permintaan seafood yang

6 Bram Büscher dan Murat Arsel, “Introduction: Neoliberal Conservation, Uneven Geographical Development and the Dynamics of Contemporary Capitalism,” Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie, no. 2 (2012): 129.

7 World Wide Fund, “Unsustainable Fishing,”

(5)

sustainable, termasuk melalui boikot, seafood guide (dalam bentuk seafood card), dan

ecolabeling8 (yang dilakukan oleh MSC, ASC, BAP atau Food Alliance).9

Namun, berbagai cara ini memiliki kendala dalam implementasinya. Pertama, kategorisasi jenis seafood yang dirancang dalam species ranking berbeda—tergantung lokasi publikasi dan organisasi apa yang mempublikasikannya. Dalam artian, urutan jenis dan spesies apa saja yang boleh di konsumsi hingga dihindari berbeda di tiap wilayah atau organisasi.10 Contoh dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 111

Tabel diatas memperlihatkan jenis produk laut yang sama, yaitu Swordfish, masuk kedalam tiga kategori sekaligus (hijau, kuning, merah)—tergantung dari cara penangkapan, area penangkapan, dan daerah asal. Kategorisasi juga bergantung dari NGO apa yang menetapkan kategorisasi Swordfish. Hal ini menyebabkan pedoman yang benar-benar dapat dijadikan acuan bagi masyarakat sebagai konsumen dan retailer tidak ada, karena terlalu banyak dan bervariasi. Oleh karena itu, meskipun distribusi species ranking ini luas, namun efektivitasnya sedikit terhadap masyarakat.

Kedua, validitas terkait species ranking banyak yang tidak disetujui oleh para retailer

atau industri seafood. Apa yang dianggap unsustainable bagi NGO tertentu sering bertentangan

8 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implications for Environmental Groups and the Seafood Industry,” Marine Resources Economies, No. 3 (2009): 301.

9 Marine Stewardship Council (MSC) fokus pada sertifikasi produk seafood hasil tangkap laut lepas/liar. The Aquaculture Stewardship Council (ASC) fokus pada sertifikasi produk seafood hasil tambak.

Best Aquaculture Practices (BAP) fokus pada standar metode, elemen, dan evaluasi terkait aktivitas tambak. Food Alliance fokus pada sertifikasi pertanian, peternakan, produsen dan distributor makanan yang berkelanjutan. Sumber: Fishchoice.com, http://www.fishchoice.com/content/sustainable-seafood-partners (diakses pada 5 Oktober 2014).

10 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implications for Environmental Groups and the Seafood Industry”, 302.

(6)

dengan pandangan pelaku-pelaku bisnis. Ketiga, organisasi yang berbeda dapat menggunakan mekanisme penilaian yang berbeda pula tentang bagaimana mengevaluasi spesies, lingkungan, atau praktik memancing dan tambak. Hal ini mengakibatkan munculnya rekomendasi NGO yang beragam, sehingga membingungkan pelaku bisnis. Bahkan, Roheim menyebutkan 72% pihak yang menjadi sasaran tujuan kebingungan dengan rekomendasi tersebut.12

Setelah membandingkan tulisan Konefal dengan berbagai sumber literatur, selanjutnya pembahasan masuk kedalam analisis penulis. Adapun analisis ini berupaya menjawab tiga pertanyaan utama terkait topik yang dibahas, yaitu [1] Bagaimana efektivitas rejim non-negara dalam menyelesaikan persoalan lingkungan global? [2] Apakah dengan semakin banyaknya kemitraan antara sektor privat dan masyarakat sipil menggoyahkan sentralisasi negara dalam tata kelola lingkungan global? [3] Tantangan apa saja yang dihadapi rejim lingkungan non-negara dalam mewujudkan legitimasi dan orotirasnya di mata publik?.

Pertama, sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, efektivitas rejim non-negara dalam menyelesaikan persoalan lingkungan global adalah minim dan berskala kecil. Hal ini dikarenakan upaya pelestarian lingkungan merupakan usaha yang harus dilakukan secara kolektif, dalam skala yang besar dan global, serta didukung oleh sistem serta struktur global yang pro-lingkungan. Dalam hal ini, rejim non-negara atau NGO lingkungan berdiri sebagai pihak yang hanya mampu mengayomi dan mengajak masyarakat untuk mulai pro-lingkungan, namun tidak dapat memaksakan penerapannya.

Kedua, “apakah dengan semakin banyaknya kemitraan antara sektor privat dan masyarakat sipil menggoyahkan sentralisasi negara dalam tata kelola lingkungan global?” menurut penulis, tidak. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, meski kemunculan berbagai NGO dan kemitraan publik-swasta meningkat, namun tata kelola lingkungan global baru akan efektif apabila diatur oleh negara (yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk menyusun regulasi pro-lingkungan). Hal ini terlihat dari bagaimana pada awalnya gerakan-gerakan pelestarian lingkungan mengawali usahanya dengan melakukan pendekatan terhadap pemerintah—menandakan bahwa pihak yang benar-benar dapat mengatur pencapaian pelestarian lingkungan adalah melalui komitmen pemerintah. Dalam hal ini, aktor non-negara masih terbatas sebagai pihak yang mendorong, mengayomi, dan menyakinkan masyarakat serta pebisnis untuk mulai aktif dalam menjaga lingkungan, namun tidak secara legal menyusun regulasi yang harus atau wajib dijalankan oleh tiap masyarakat. Selain itu, NGO pelestarian lingkungan juga tidak memiliki otoritas untuk menghukum pihak-pihak tertentu yang melanggar atau melakukan

(7)

aktivitas yang merusak lingkungan, karena otoritas ini tetap berada di tangan pemerintah berdaulat.

Ketiga, tantangan yang dihadapi rejim lingkungan non-negara dalam mewujudkan legitimasi dan orotirasnya di mata publik telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peran NGO terbatas sebagai penyedia informasi, namun keputusan untuk bertindak (atau tidak) sepenuhnya tergantung dari individu atau masyarakat.13 Selain itu, apabila NGO berusaha untuk memboikot perdagangan produk laut tertentu, hal ini akan mempengaruhi retailer yang menjual produk tersebut, dan tidak menutup kemungkinan munculnya konflik. Hal ini kemudian memperlihatkan ketergantungan pencapaian tujuan pelestarian lingkungan berada di tangan individu secara kolektif, bukan NGO yang berdiri sendiri. Selain itu, sistem neoliberal yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa keuntungan ekonomi masih sangat mendominasi sistem, sehingga eksploitasi sumber daya, khususnya laut dan perikanan akan terus berjalan (bahkan meningkat). Hal ini terlihat dari data berikut:

Grafik 114

Berdasarkan grafik diatas, terlihat kecenderungan produksi perikanan dari tahun 1950 hingga 2002 terus mengalami peningkatan. Adapun produk yang berasal dari hasil tangkap laut lepas yang mencapai lebih dari 60 juta metrik ton perkapita dunia di tahun 2002. Peningkatan produksi seafood ini menurut penulis sebagai akibat tingginya permintaan akan seafood global, yang didorong oleh peningkatan angka populasi dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya-upaya yang dijalankan berbagai pihak non-negara belum terlihat signifikansinya, karena permintaan akan seafood justru meningkat tiap tahunnya, dan menandakan eksploitasi sumber 13 Jason Konefal, “Environmental Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization: A Case Study of the Sustainable Seafood Movement,” Organization Environment, no. 26 (2013): 343.

(8)

daya laut terus berjalan. Akibat permintaan seafood yang tinggi, Perusahaan-perusahaan seafood

transnasional ikut mengalami perkembangan—dimana hal ini juga ditunjang oleh sistem kapitalisme yang berlangsung saat ini.

Tabel 215

Sepuluh Perusahaan Transnasional Seafood Terbesar di Dunia

No

Dari tabel diatas, terlihat bahwa privatisasi laut dan perikanan memang telah terjadi, sejalan dengan penjelasan Becky Mansfield. Namun, hal ini bukan berarti kesejahteraan lingkungan ikut tercapai, karena privatisasi justru memberikan ruang eksploitasi yang lebih teroganisir, hanya seakan-akan terlihat “baik”. Pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan besar ini terus mengambil sumber daya laut, baik yang dianggap sustainable ataupun tidak, sehingga mengakibatkan angka ketersediaan sumber daya laut berkurang, dan mengganggu keseimbangan ekosistem didalamnya.

Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya pelestarian lingkungan laut dan perikanan memerlukan usaha yang sangat keras dan bersifat luas (global), karena masalah lingkungan adalah masalah bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia. Apabila upaya-upaya yang dilakukan kebanyakan NGO saat ini dilakukan dengan pendekatan berbasis pasar, hal ini menurut penulis terjadi karena dua alasan besar. Pertama, tekanan terhadap pemerintah untuk mulai pro-lingkungan masih sangat sulit dicapai, karena kepentingan politik dan ekonomi masih sangat mendominasi sistem yang ada saat ini. Di saat yang sama, kerusakan lingkungan terus terjadi, sehingga opsi kedua adalah dengan mengajak tiap-tiap pihak (masyarakat, pebisnis, dan pihak lainnya) untuk turut serta dalam menjaga lingkungan. Memang benar, bahwa efektivitas

(9)

usaha ini masih sangat minim, namun setidaknya sebagian masyarakat sudah mencoba menjaga lingkungan. Apabila upaya pelestarian benar-benar sepenuhnya ingin dilakukan, maka cara yang paling efektif adalah mengubah sistem neoliberal saat ini (yang menunjang eksploitasi sumber daya alam). Selain itu, sebagaimana dijelaskan oleh National Geographic, yaitu “marine ecosystems can be restored and success depends on setting areas aside from human encroachment.”16

Daftar Pustaka

Büscher, Bram dan Arsel, Murat. “Introduction: Neoliberal Conservation, Uneven Geographical Development and the Dynamics of Contemporary Capitalism,” Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie, no. 2 (2012): 129-135

Fishchoice.com, “Sustainable Seafood Partners,” http://www.fishchoice.com/content/sustainable-seafood-partners (diakses pada 5 Oktober 2014).

(10)

Global Education Project, “Fishing & Aquaculture,” http://www.theglobaleducationproject.org/earth/fisheries-and-aquaculture.php (diakses pada 6 Oktober 2014).

Konefal, Jason. “Environmental Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization: A Case Study of the Sustainable Seafood Movement,” Organization Environment, no. 26 (2013): 336-352

Mansfield, Becky. “Neoliberalism in the Oceans: “Rationalization,” property Rights, and the Commons Question,” Geoforum, no. 35 (2004): 313-326

Mansfield, Becky. “Rules of Privatization: Contradictions in Neoliberal Regulation of North Pacifis Fisheries,” Annals of the Association of American Geographers no. 3 (2004): 565-584

National Geographic, Declining Fish, MP4. Dibuat oleh National Geographic,

http://video.nationalgeographic.com/video/declining-fish (diakses pada 6 Oktober 2014). OECD, Globalisation in Fisheries and Aquaculture: Opportunities and Challenge, (OECD

Publishing, 2010), 113.

Roheim, Cathy A. “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implications for Environmental Groups and the Seafood Industry,” Marine Resources Economies, No. 3 (2009): 301-310

World Wide Fund, “Unsustainable Fishing,”

Gambar

Tabel 111
Grafik 114Berdasarkan grafik diatas, terlihat kecenderungan produksi perikanan dari tahun 1950
Tabel 215

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini salah satu bentuk partisipasi para arsitek dalam upaya perbaikan iklim, peningkatan kawasan yang nyaman (comfort zone), dan pelestarian lingkungan. Dengan kata

Selain itu nara sumber diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan komunikasi horisontal dan diagonal, yang melibatkan komunikasi antar personil pada level posisi

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Hal ini membuktikan bahwa berasal dari komitmen pimpinan akan dukungan pelestarian lingkungan dengan mengurangi resiko produk perusahaan tidak merusak lingkungan

Mata kuliah ini bersifat informatif, yang meliputi sejumlah materi yang berkenaan dengan lingkungan di laut, energi dan materi dalam ekosistem laut serta beberapa metode yang

Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, berkata bahwa: Dua belas tahun setelah penobatan saya sebagai seorang raja, saya mulai menuliskan maklumat Dhamma demi kesejahteraan

Tetapi kamu berkata: "Dengan cara bagaimanakah kami menyusahi Dia?" Dengan cara kamu menyangka: "Setiap orang yang berbuat jahat adalah baik di mata TUHAN;

Black hole (Indonesia: lubang hitam) merupakan bagian dari alam semesta yang menempati ruang Black hole (Indonesia: lubang hitam) merupakan bagian dari alam semesta yang menempati